ANALISIS STRUKTUR, KINERJA DAN KLUSTER INDUSTRI LOGAM DASAR BESI DAN BAJA DI INDONESIA
OLEH MEGA DARMAYANTI H14103044
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
RINGKASAN
MEGA DARMAYANTI. Analisis Struktur, Kinerja dan Kluster Industri Logam Dasar Besi dan Baja di Indonesia (dibimbing oleh BUNGARAN SARAGIH). Industri logam dasar besi dan baja merupakan industri strategis karena sebagai penggerak utama pertumbuhan ekonomi suatu negara dan sebagai bahan baku vital bagi industri-industri secara keseluruhan. Permasalahan yang paling utama terjadi pada industri besi baja Indonesia yaitu industri ini memiliki ketergantungan impor bahan baku yang sangat tinggi. Hal ini karena industri besi baja nasional belum mampu menciptakan atau mengembangkan teknologi untuk pengolahan bijih besi lokal menjadi bahan mentah yang digunakan sebagai bahan baku untuk industri besi baja tersebut. Saat ini mulai terjadi krisis baja dunia akibat adanya permintaan besi baja yang sangat besar dari negara-negara seperti China, Irak, dan Rusia. Industri besi baja nasional ini pun masih menggunakan sumber energi gas yang harganya semakin meningkat dalam proses produksinya menyebabkan teknik pengolahannya pun menjadi kurang efisien. Berdasarkan permasalahan ini mencerminkan bahwa industri besi baja Indonesia sangat dipengaruhi oleh kondisi pasar baja internasional sehingga sedikit saja terjadi guncangan perekonomian yang menyebabkan terjadinya kenaikan harga bahan baku baja sangat berpengaruh buruk terhadap struktur dan kinerja industri besi baja Indonesia. Guncangan perekonomian seperti yang terjadi di pertengahan tahun 1997 yaitu adanya krisis ekonomi yang melanda beberapa negara Asia termasuk juga Indonesia yang menyebabkan kenaikan harga-harga yang tajam, termasuk kenaikan harga bahan baku baja. Hal ini tentu berdampak pada struktur pasar besi baja dan juga mempengaruhi kinerja industrinya. Pada akhirnya dapat berdampak pula pada daya saing produk yang dihasilkan industri ini. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa struktur pasar dan juga kinerja industri logam dasar besi dan baja di Indonesia, serta mengidentifikasi kabupaten-kabupaten yang merupakan kluster (pengelompokan) industri besi baja di Indonesia. Untuk menganalisa struktur pasar industri besi baja dilakukan analisis struktur industri dengan menggunakan rasio konsentrasi empat perusahaan terbesar (CR4). Untuk menganalisa kinerja industrinya maka dilakukan analisis kinerja yang dilihat berdasarkan pertumbuhan output dan nilai tambah; kontribusi industri besi baja terhadap industri manufaktur dari sisi tenaga kerja, unit usaha, dan nilai tambah yang dihasilkan; efisiensi; serta keuntungannya. Untuk melihat daya saing industri dilakukan dengan melihat kluster-kluster yang ada pada industri tersebut. Maka dalam penelitian ini dilakukan analisis kluster industri untuk melihat bagaimana kluster atau sebaran geografis industri logam dasar besi dan baja. Analisis kluster ini menggunakan alat analisis Sistem Informasi Geografis (SIG), skala, dan indeks spesialisasi. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder time series tahun 1995-2004, sumber data Badan Pusat Statistik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur industri logam dasar besi dan baja Indonesia adalah oligopoli ketat dengan CR4 sebesar 71,15 persen. Krisis ekonomi telah melemahkan struktur industrinya karena sejak krisis ekonomi nilai rasio konsentrasinya terus mengalami penurunan sehingga keuntungan yang diperoleh semakin menurun. Saat krisis ekonomi, terjadi pertumbuhan output dan nilai tambah yang negatif pada industri besi baja Indonesia. Ini karena adanya kenaikan biaya input produksi yang sangat besar akibat kenaikan harga bahan baku baja impor. Pertumbuhan output dan nilai tambah yang negatif juga terjadi setelah krisis ekonomi, dimana pada tahun 2002 pertumbuhan negatif tersebut karena industri besi baja nasional menghadapi serangan dari produk-produk baja impor dimana hampir sebagian besar produk baja impor tersebut adalah produk dengan harga dumping dan ilegal sehingga hal ini mematikan perusahaanperusahaan baja dalam negeri karena adanya persaingan yang tidak sehat. Hal ini menyebabkan banyak perusahaan terpaksa menutup usahanya sehingga menurunkan output industri besi baja. Isu terjadinya kelangkaan bahan baku besi baja yang menyebabkan kenaikan harga bahan baku dunia pada tahun 2003 menyebabkan pertumbuhan output dan nilai tambah yang negatif pula. Kondisi-kondisi yang mengancam industri besi baja Indonesia tersebut menyebabkan kinerja industri besi baja nasional sangat terganggu sehingga menurunkan kontribusi industri besi baja terhadap industri manufaktur dalam penyerapan tenaga kerja, nilai tambah,dan jumlah unit usahanya; menurunkan efisiensi dan juga keuntungan yang diperoleh perusahaannya. Dari analisis sebaran geografis dapat disimpulkan bahwa sampai tahun 2004 diindikasikan terdapat satu kluster terbesar industri logam dasar besi dan baja di Indonesia yaitu terletak di kabupaten Cilegon Propinsi Banten. Hal ini terbukti karena industri logam dasar besi dan baja di Cilegon memberikan sumbangan cukup besar baik pada penyerapan tenaga kerja maupun nilai tambahnya. Kabupaten-kabupaten dengan nilai indeks spesialisasi lebih dari satu cukup potensial untuk dibangun dan dikembangkan menjadi kluster-kluster industri logam dasar besi baja yang kuat sehingga dampaknya dapat meningkatkan daya saing industrinya. Berdasarkan penelitian ini, peran pemerintah dapat membuat kebijakan yang mengatur dan mengontrol terlaksananya program pengolahan bijih besi lokal dengan memprioritaskan dana-dana untuk tujuan tersebut agar ketergantungan impor bahan baku baja dapat berkurang. Untuk meningkatkan daya saing produk yang tinggi, peran yang dilakukan oleh pemerintah yaitu dengan kebijakan pengembangan kluster-kluster industri terutama kluster industri besi baja Indonesia yang kuat.
ANALISIS STRUKTUR, KINERJA DAN KLUSTER INDUSTRI LOGAM DASAR BESI DAN BAJA DI INDONESIA
Oleh MEGA DARMAYANTI H14103044
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa
: Mega Darmayanti
Nomor Registrasi Pokok
: H14103044
Program Studi
: Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi
: Analisis Struktur, Kinerja dan Kluster Industri Logam Dasar Besi dan Baja di Indonesia
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec. NIP. 130 350 045
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S. NIP. 131 846 872 Tanggal kelulusan :
PERNYATAAN
DENGAN
INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH
BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Agustus 2007
Mega Darmayanti H14103044
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Mega Darmayanti lahir pada tanggal 31 Juli 1985 di Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang berada di Provinsi Banten. Penulis anak keempat dari empat bersaudara, dari pasangan Dharma Sastra dan Rani Susanti. Jenjang pendidikan penulis dimulai dari menamatkan sekolah di TK dan SD Mardi Yuana Labuan, kemudian melanjutkan sekolah ke SLTP Negeri 1 Labuan dan lulus pada tahun 2000. Setelah itu, kembali melanjutkan sekolah ke SMU Mardi Yuana Serang dan lulus pada tahun 2003. Pada tahun 2003 penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI), akhirnya penulis diterima sebagai mahasiswi Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di organisasi Keluarga Mahasiswa Buddhis Adhithana (KMBA) serta berperan aktif dalam kepanitiaan-kepanitiaan acara di kampus.
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Analisis Struktur, Kinerja dan Kluster Industri Logam Dasar Besi dan Baja di Indonesia”. Topik struktur, kinerja dan kluster terutama terhadap industri logam dasar besi dan baja di Indonesia sangat menarik untuk dianalisis. Selain karena masih sedikitnya analisis ekonomi yang dilakukan kepada industri logam dasar besi dan baja Indonesia, hal ini juga karena ada beragam permasalahan yang terjadi pada industri tersebut. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang struktur, kinerja dan kluster pada industri ini. Di samping hal tersebut, penulisan skripsi ini juga merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya, penulis sampaikan kepada : 1.
Papa (Dharma Sastra) dan Mama (Rani Susanti) atas kasih sayang, doa, semangat dan motivasi yang telah diberikan kepada penulis. Ko Ahaw, Ko Cun-cun, Ko Ayong yang selalu membantu dan melindungiku. Semoga selalu berbahagia.
2.
Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec. yang banyak membantu dalam membimbing penulis baik secara teknis dan teoritis serta baik moril dan materil dalam proses pembuatan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan.
3.
Ir. Tanti Novianti, M.Si yang telah bersedia menguji dan memberikan masukan yang sangat berharga dalam penyempurnaan skripsi ini. Widyastutik, M.Si sebagai penguji dari komisi pendidikan yang juga telah memberikan masukan dalam perbaikan tata cara penulisan skripsi ini.
4.
Syamsul Hidayat Pasaribu, S.E, M.Si sebagai pembimbing akademik yang telah bersedia memberikan bimbingan dalam proses akademik selama perkuliahan.
5.
Bapak Marsel sebagai guru di SMU. Mardi Yuana serang yang telah memperkenalkan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB kepada penulis. Terima kasih kepada keluarga besar Departemen Ilmu Ekonomi yang banyak membantu. Guru-guru tercinta di SMU Mardi Yuana Serang, SLTP. N. 1 Labuan, TK/SD Mardi Yuana Labuan atas bekal pendidikan yang penulis dapatkan.
6.
KMBA 40 (Linda, Hudar, Beni, Hansen, Rika, Herni, dan Hendri) sebagai teman yang selalu membawa keceriaan dan semangat. KMBA 39 (Ci Fany, Ko Edi.C, Ko Pocil, Ko Andi, Ko Edi. S) yang telah memberikan semangat luar biasa bagi penulis. KMBA 41, 42, 43, dan 44. Semoga kalian berbahagia.
7.
Ci Hanie (IE 39) yang selalu meminjamkan buku-buku perkuliahan dan juga memberikan segala masukan yang bermanfaat dalam proses akademik. Teman-teman IE 40, terutama Ria Lubis, Dewi Sondari, dan Mukti Asih atas persahabatan yang telah terjalin selama ini. Rina, Erni, Dian Timor, dan Winsih atas bantuan yang diberikan. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat banyak
kekurangan, tetapi semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan.
Bogor, Agustus 2007
Mega Darmayanti H14103044
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................... vi DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... vii DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... viii I.
II.
PENDAHULUAN .....................................................................................
1
1.1. Latar Belakang ....................................................................................
1
1.2. Perumusan Permasalahan ....................................................................
6
1.3. Tujuan Penelitian ................................................................................
7
1.4. Manfaat Penelitian ..............................................................................
7
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ....................
9
2.1. Tinjauan Teori .....................................................................................
9
2.1.1. Definisi Industri .......................................................................
9
2.1.2. Struktur Pasar ........................................................................... 10 2.1.3. Kinerja Industri ........................................................................ 13 2.1.4. Teori Lokasi ............................................................................. 15 2.1.5. Kluster Industri ........................................................................ 18 2.2. Penelitian Terdahulu ........................................................................... 19 2.3. Kerangka Pemikiran ............................................................................ 22 III. METODE PENELITIAN ........................................................................... 25 3.1. Jenis dan Sumber Data ........................................................................ 25 3.2. Metode Analisis .................................................................................. 25 3.2.1. Analisis Struktur Industri .......................................................... 26 3.2.2. Analisis Kinerja Industri ........................................................... 26 3.2.3. Analisis Kluster Industri ........................................................... 27 IV. GAMBARAN UMUM .............................................................................. 32 4.1 Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia .................................. 32 4.2 Sejarah Perkembangan Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia ............................................................................................. 33 4.2.1. Periode Antara 1950-1960 ........................................................ 33
4.2.2. Periode Antara 1960-1965 ........................................................ 34 4.2.3. Periode Antara 1965-1997 ........................................................ 35 4.2.4. Periode Antara 1997-2007 ........................................................ 36 4.3. Regulasi Pemerintah Terhadap Industri Logam Dasar Besi dan Baja ...................................................................................... 38 4.4. Produksi Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia .................. 41 4.5. Perkembangan Ekspor dan Impor Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia ..................................................................... 43 V.
HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................. 45 5.1. Analisis Struktur Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia ............................................................................................. 45 5.2. Analisis Kinerja Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia ............................................................................................. 50 5.2.1. Pertumbuhan Output Produksi dan Nilai Tambah Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia ....................... 50 5.2.2. Kontribusi Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia terhadap Industri Manufaktur .................................................... 54 5.2.3. Efisiensi Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia ........ 58 5.2.4. Keuntungan Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia ................................................................................. 62 5.3. Analisis Kluster Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia ...... 66 5.4. Rekomendasi Kebijakan .................................................................... 77
VI. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 81 6.1. Kesimpulan ........................................................................................ 81 6.2. Saran ................................................................................................... 82 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 83 LAMPIRAN ........................................................................................................ 86
vi
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1.1. Kontribusi Produk Domestik Bruto (PDB) Menurut Sektor Tahun 1993 dan 2006 Triwulan I (persen) .................................................. 2 1.2. Nilai Ekspor dan Impor Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Tahun 2001-2004 (US $ juta) .................................................... 3 2.1. Contoh Tipe Pasar mulai dari Monopoli Murni sampai Persaingan Murni ....................................................................................... 10 3.1. Prosedur dan Aktifitas Utama dalam SIG .................................................. 28 4.1. Pertumbuhan Subsektor Industri Pengolahan Indonesia Tahun 1996-2000 ....................................................................................... 37 4.2. Perkembangan Volume Produksi Beberapa Produk Besi Baja Indonesia Tahun 2002-2004 (ribu ton) ...................................................... 42 4.3. Perkembangan Ekspor Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Tahun 2000-2005 ....................................................................... 43 4.4. Perkembangan Impor Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Tahun 2000-2005 ....................................................................... 44 5.1. CR4 Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Tahun 1995-2004 ....................................................................................... 45 5.2. Pertumbuhan Output dan Nilai Tambah Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Tahun 1995-2004 (persen) ................................. 51 5.3. Kontribusi Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia terhadap Industri Manufaktur 1995-2004 (persen) .................................... 55 5.4. Tingkat Efisiensi Industri Logam Dasar Besi dan Baja di Indonesia Tahun 1995-2004 (persen) ......................................................................... 59 5.5. Efisiensi Industri Penggilingan Baja Indonesia, tahun 1998 ..................... 60 5.6. Keuntungan Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia .................... 63 5.7. Rasio Skewness dan Kurtosis Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Tahun 1995 dan 2004 ................................................................ 69
vii
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1.1. Konsumsi Baja Dunia Tahun 2003 ............................................................
4
2.1. Kerangka Pemikiran ................................................................................... 24 5.1. Peta Sebaran Geografis Industri Logam Dasar Besi dan Baja Pulau Jawa ................................................................................................. 67 5.2. Peta Sebaran Geografis Industri Logam Dasar Besi dan Baja Pulau Kalimantan ....................................................................................... 68 5.3. Peta Sebaran Geografis Industri Logam Dasar Besi dan Baja Pulau Sumatera .......................................................................................... 68 5.4. Histogram Distribusi Tenaga Kerja dan Nilai Tambah Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Tahun 1995 .............................................. 70 5.5. Histogram Distribusi Tenaga Kerja dan Nilai Tambah Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Tahun 1995 .............................................. 70
viii
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1.
Data Nilai Tambah, Output, Tenaga Kerja, dan Input Industri Logam Dasar Besi dan Baja Per Kabupaten Indonesia Tahun 1995 ...................... 87
2.
Data Nilai Tambah, Output, Tenaga Kerja, dan Input Industri Logam Dasar Besi dan Baja Per Kabupaten Indonesia Tahun 2004 ...................... 89
3.
Keuntungan Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Tahun 1995-2004 ....................................................................................... 91
4.
Peringkat Kabupaten/Kota Menurut Jumlah Tenaga Kerja dan Nilai Tambah Industri Logam Dasar Besi Baja Indonesia Tahun 1995 .... 92
5.
Peringkat Kabupaten/Kota Menurut Jumlah Tenaga Kerja dan Nilai Tambah Industri Logam Dasar Besi Baja Indonesia Tahun 2004 .... 93
6.
Daerah Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Berdasarkan Subsektor Tahun 2004 ............................................................................... 94
7.
Indeks Spesialisasi Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia 2004 ........................................................................................... 95
8.
Indeks Spesialisasi Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia 1995 ........................................................................................... 96
9.
Hasil Analisis Frequencies Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Tahun 1995 ................................................................................ 97
10.
Hasil Analisis Frequencies Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Tahun 1995 ................................................................................ 98
1
I. PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Globalisasi dan liberalisasi ekonomi telah membawa perubahan yang
sangat cepat bagi dunia perekonomian. Dampak yang sangat dirasakan yaitu semakin ketatnya persaingan sektor industri di berbagai negara. Oleh karena itu, agar sektor industri ini mampu berkembang dalam ketatnya persaingan dunia pada saat ini maka industri harus mampu meningkatkan perekonomian yang berdaya saing tinggi. Hal ini juga yang hendaknya dimiliki oleh sektor industri di Indonesia agar mampu bertahan dalam perekonomian dunia. Dengan demikian, banyak tantangan yang harus dihadapi bangsa Indonesia dalam membangun sektor industrinya. Adanya industrialisasi mengakibatkan transformasi struktural di Indonesia, ditandai dengan terjadinya penurunan kontribusi sektor pertanian (sektor primer) dan peningkatan di sektor sekunder atau tersier. Kinerja suatu industri, dapat dilihat dari kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Pada tahun 1993 sampai 2006, sektor industri manufaktur atau industri pengolahan telah menjadi penyumbang terbesar dalam pembentukan PDB dibandingkan sektorsektor lainnya. Pada tahun 1993, kontribusi sektor industri pengolahan terhadap PDB sebesar 22,30 persen, dan pada tahun 2006, kontribusi industri pengolahan telah mencapai 28,72 persen (Tabel 1.1). Bila dibandingkan dengan sektor pertanian bahwa pada tahun 1993, kontribusi sektor pertanian terhadap PDB sebesar 17,88 persen dan di tahun 2006, kontribusi sektor pertanian menurun
2
menjadi 13,36 persen. Hal ini menunjukkan bahwa sektor industri telah menggeser sektor pertanian dalam pembangunan. Tabel 1.1. Kontribusi Produk Domestik Bruto (PDB) menurut Sektor Tahun 1993 dan 2006 Triwulan I (persen) Sektor / Lapangan Usaha
Kontribusi PDB 1993 2006
1. Pertanian 2. Pertambangan 3. Industri Pengolahan 4. Listrik, Gas, Air bersih 5. Konstruksi 6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 7. Pengangkutan dan Komunikasi 8. Keuangan, Persewaan, Jasa Perusahaan 9. Jasa-jasa PDB
17,88 9,55 22,30 1,00 6,83 16,77 7,05 8,51 10,30 100,00
13,36 10,51 28,72 0,87 6,43 14,97 7,04 8,32 9,78 100,00
Sumber : BPS, Pendapatan Nasional Indonesia, 1993 dan 2006 (Triwulan I)
Perkembangan
ekspor
industri
nasional
menunjukkan
adanya
ketergantungan ekspor andalan pada sepuluh komoditi industri. Kesepuluh industri andalan tersebut adalah tekstil dan produk tekstil; pengolahan kayu; kulit, barang kulit, dan sepatu/alas kaki; pengolahan karet; elektronika; logam dasar besi dan baja; mesin dan automotif; pengolahan kelapa/kelapa sawit; pulp dan kertas; makanan dan minuman; pengolahan tembaga dan lainnya. Dari sepuluh komoditas andalan tersebut, terdapat tiga komoditas andalan yang padat modal yaitu industri elektronika, industri logam dasar besi dan baja serta industri mesin dan automotif. Pada tahun 1995, kontribusi kesepuluh komoditas ekspor andalan tersebut terhadap
nilai
total
ekspor
nonmigas
yakni
sebesar
72,08
persen
(ElektoIndonesia,2006). Kasus yang menarik terjadi pada industri logam dasar besi dan baja adalah walaupun industri logam dasar besi dan baja menjadi salah satu ekspor andalan
3
tetapi penerimaan industri ini masih tetap defisit karena nilai impornya masih lebih besar daripada nilai ekspor (Tabel 1.2). Industri logam dasar besi dan baja nasional mempunyai ketergantungan yang sangat besar pada impor bahan bakunya. Padahal, Indonesia dikenal kaya akan sumber daya alamnya tetapi masih harus mengimpor hampir 100 persen pellet (bahan baku baja) dan 60 sampai 70 persen scrap (potongan) baja untuk keperluan industri bajanya (Ikhsan,2005). Sementara itu, untuk mendapatkan impor baja ini pun, Indonesia harus bersaing dengan negara-negara lain yang juga mengkonsumsi baja lebih banyak daripada Indonesia seperti China, Irak dan Rusia. Tabel 1.2. Nilai Ekspor dan Impor Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Tahun 2001-2004 (US $ juta) Tahun Nilai Ekspor Nilai Impor 2001 451 1.547 2002 476 1.695 2003 578 1.738 2004 883 3.400 Sumber : Departemen Perindustrian, 2001-2004
Pada tahun 2003, konsumsi baja China sebesar 246,5 juta ton atau sebesar 28,5 persen dari konsumsi baja dunia (Gambar 1.1). Namun, China juga merupakan salah satu produsen baja terbesar di dunia dengan produksi 220 juta ton pada tahun 2003. Produksinya terus meningkat hingga menjadi 300 juta ton pada 2004. Pada tahun 2005, angkanya meningkat menjadi 350 juta ton tetapi hal ini tetap belum mampu memenuhi peningkatan kebutuhan baja negara tersebut (Ikhsan,2005). Meningkatnya jumlah permintaan baja oleh negara-negara seperti China, Irak, Rusia, dan negara-negara lainnya dalam jumlah cukup besar, dapat menyebabkan terjadinya peningkatan harga baja di pasar internasional. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya eksploitasi besi baja terutama eksploitasi bijih
4
besi sebagai bahan baku pembuatan besi baja untuk memenuhi permintaan yang besar terhadap besi baja tersebut.
Gambar 1.1 Konsumsi Baja Dunia Tahun 2003 Sumber : Warta Ekonomi, 2006
Eksploitasi besi baja saat ini menduduki peringkat pertama diantara barang tambang logam lainnya, melingkupi hampir 95 persen dari produk berbahan logam (Rochman,2003). Dengan adanya eksploitasi ini, dalam jangka panjang dikhawatirkan dapat menyebabkan kelangkaan besi baja di dunia. Hal ini juga sangat mengkhawatirkan keberlanjutan aktivitas produksi industri logam dasar besi baja di Indonesia yang sebagian besar bahan bakunya diimpor. Permasalahan lainnya pada industri besi baja nasional adalah industri ini masih menggunakan teknologi pengolahan baja yang kurang efisien karena masih menggunakan sumber energi gas yang harganya semakin meningkat dan kondisi mesin produksi yang sudah tua pada beberapa pabrik sehingga memberikan skala produksi yang terbatas dan tingkat efisiensi rendah. Pokok permasalahan bagi industri besi baja nasional adalah adanya ketergantungan impor bahan baku yang tinggi, ini menunjukkan bahwa aktivitas
5
produksi industri besi baja nasional sangat dipengaruhi oleh kondisi yang terjadi di pasar internasional sehingga sedikit saja terjadi guncangan perekonomian di pasar internasional sangat mempengaruhi kondisi industri besi baja nasional. Guncangan perekonomian seperti krisis ekonomi yang melanda beberapa negara Asia termasuk juga Indonesia di pertengahan tahun 1997 menyebabkan fluktuasi kenaikan harga-harga yang tajam, begitu pula dengan kenaikan harga bahan baku baja yang meningkat. Kenaikan harga bahan baku baja selain akibat pengaruh krisis ekonomi juga akibat kelangkaan baja di dunia dapat mempengaruhi output produksi besi baja Indonesia. Selain itu, tantangan lain bagi industri besi baja Indonesia yaitu masuknya produk-produk baja impor dengan harga dumping atau ilegal, inefisiensi produksi, hingga tidak kondusifnya iklim persaingan di dalam negeri. Semua ini akan berpengaruh pada struktur pasar dan kinerja industri besi baja nasional serta berpengaruh pula pada daya saing produknya. Dengan demikian, baja dengan nilai ekonomi tinggi dan berfungsi vital dalam pembangunan industri perlu mendapatkan perhatian yang baik agar produkproduk industri besi baja nasional mampu berkompetisi dengan produk dari negara lain baik dalam hal harga, jumlah produksi, kualitas, dan ketepatan waktu penyebaran karena besi baja merupakan bahan baku vital untuk industri-industri keseluruhan. Porter (1990) berpendapat bahwa derajat pengelompokan industri secara geografis dalam suatu negara memainkan peranan penting dalam upaya meningkatkan daya saing produk yang berkelanjutan. Porter (1990) mengatakan bahwa kluster industri yang ditandai dengan konsentrasi geografis dari perusahaan-perusahaan, lembaga dan industri-industri yang saling berkaitan satu
6
sama lain pada suatu bidang tertentu lebih produktif untuk meningkatkan daya saing produk suatu industri. 1.2.
Perumusan Permasalahan Banyaknya permasalahan pada industri logam dasar besi dan baja di
Indonesia seperti ketergantungan impor bahan baku industri yang sangat tinggi, adanya permintaan besi baja yang sangat besar dari negara-negara di dunia menyebabkan industri besi baja nasional harus bersaing untuk mendapatkan bahan baku tersebut dengan harga bahan baku yang tinggi pula, dan adanya teknologi pengolahan baja yang kurang efisien, serta masuknya berbagai produk baja impor dengan harga dumping dan ilegal sangat mengganggu kondisi industri besi baja nasional. Adanya permasalahan ini juga sangat mengkhawatirkan keberlanjutan proses produksi industri ini kedepannya. Apalagi dipicu oleh kondisi perekonomian yang kacau dan tidak menentu, seperti yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 yaitu saat terjadi krisis ekonomi yang melanda beberapa negara Asia termasuk Indonesia yang menyebabkan kenaikan harga bahan baku baja di pasar internasional. Hal ini tentu saja mempengaruhi struktur industri dan kinerja industri besi baja Indonesia. Berdampak pula pada daya saing produk industri besi baja tersebut. Salah satu pendekatan yang dikemukakan oleh Porter (1990) untuk melihat daya saing industri adalah dengan menciptakan dan mengembangkan kluster-kluster yang kuat pada industri tersebut. Bila suatu industri memiliki kluster-kluster industri yang kuat maka diharapkan industri tersebut mampu menciptakan produk yang berdaya saing tinggi.
7
Berdasarkan uraian tersebut, ada beberapa perumusan masalah yang akan di jawab dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut : 1.
Bagaimana struktur pasar industri logam dasar besi dan baja di Indonesia ?
2.
Bagaimana kinerja industri logam dasar besi dan baja yang dihasilkan ?
3.
Apakah terdapat pengelompokan (pengklusteran) industri logam dasar besi dan baja di suatu area tertentu ?
1.3.
Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisa kondisi yang terjadi
pada industri baja di Indonesia yang sangat dipengaruhi oleh kondisi perekonomian internasional. Berdasarkan pada perumusan masalah yang telah diungkapkan sebelumnya, maka tujuan spesifik dari penelitian ini adalah : 1.
Menganalisa struktur pasar industri logam dasar besi dan baja di Indonesia.
2.
Menganalisa kinerja industri logam dasar besi dan baja yang dihasilkan.
3.
Mengidentifikasi pengelompokan (pengklusteran) industri logam dasar besi dan baja di Indonesia.
1.4.
Manfaat Penelitian Manfaat dari hasil penelitian ini adalah agar dapat memberikan informasi
mengenai kondisi pada industri logam dasar besi dan baja di Indonesia. Manfaat penelitian ini secara lebih khusus adalah sebagai berikut : 1.
Merekomendasikan wilayah-wilayah yang potensial untuk dibangun dan dikembangkan kluster industri besi baja berdasarkan analisis kluster
8
industri agar industri mampu menghasilkan daya saing produk yang berkelanjutan. 2.
Bagi para pelaku pasar, semoga penelitian ini bisa memberikan tambahan informasi atas kondisi yang terjadi pada industri logam dasar besi dan baja Indonesia sehingga menjadi motivasi untuk meningkatkan kinerja industrinya dan mencari solusi untuk mengurangi ketergantungan impor bahan bakunya.
3.
Bagi penulis, penelitian ini sebagai proses belajar dalam menganalisa suatu permasalahan yang ada dan tentunya memberikan tambahan ilmu pengetahuan yang sebelumnya tidak diketahui serta membuka pemahaman untuk mencari jawaban atas perumusan masalah.
9
II. 2.1.
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
Tinjauan Teori
2.1.1. Definisi Industri Dumairy (1995) mengatakan ada dua pengertian industri. Pertama, industri adalah himpunan perusahaan sejenis. Kedua, industri diartikan sebagai suatu sektor ekonomi yang didalamnya terdapat kegiatan produktif yang mengolah bahan mentah menjadi barang jadi atau barang setengah jadi. Industri logam dasar besi dan baja merupakan salah satu dari berbagai macam industri manufaktur yang ada. Menurut BPS (Badan Pusat Statistik) (1999), industri manufaktur adalah suatu kegiatan ekonomi yang melakukan kegiatan mengubah suatu barang dasar menjadi barang jadi atau setengah jadi dan barang yang kurang nilainya menjadi barang yang lebih tinggi nilainya dan sifatnya lebih dekat kepada pemakai akhir secara mekanis, kimia, atau dengan tangan. Menurut BPS (1999), sektor industri digolongkan menjadi empat golongan berdasarkan banyaknya pekerja, yaitu : 1. Industri Besar, dengan tenaga kerja 100 orang atau lebih. 2. Industri Sedang, dengan tenaga kerja antara 20 sampai 99 orang. 3. Industri Kecil, dengan tenaga kerja antara 5 sampai 19 orang. 4. Indusri Rumah tangga, dengan tenaga kerja satu sampai empat orang. BPS mempunyai sistem klasifikasi standar industri yang terperinci yang biasa dikenal sebagai International Standard Industrial Classification (ISIC) atau
10
Klasifikasi Lapangan Usaha Indonesia (KLUI). Sistem penggolongan ISIC ini ditetapkan oleh Organisasi Industri pada Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNIDO). 2.1.2. Struktur Pasar Salah satu ukuran yang digunakan untuk mengetahui struktur pasar suatu industri adalah rasio konsentrasi. Nilai rasio konsentrasi ini merupakan intensitas kompetisi yang terjadi diantara perusahaan-perusahaan dan industri (BPS,1999). Kondisi utama dari tipe struktur pasar dapat dilihat pada Tabel 2.1. Tabel 2.1. Contoh Tipe Pasar mulai dari Monopoli Murni sampai Persaingan Murni Tipe Pasar
Kondisi Utama
Contoh Sehari-hari 100
PLN, Telkom, PAM.
Monopoli Murni
Suatu perusahaan memiliki persen dari pangsa pasar
Perusahaan yang dominan (dominant firm)
Suatu perusahaan yang memiliki 50100 % dari pangsa pasar dan tanpa pesaing yang kuat.
Surat kabar lokal/nasional, film kodak, batu bateray.
Oligopoli ketat
Penggabungan 4 perusahaan terkemuka yang memiliki pangsa pasar 60-100 %. Kesepakatan di antara mereka untuk menetapkan harga relatif mudah.
Perbankan lokal, siaran TV, bola lampu, sabun, toko buku, rokok kredit dan semen.
Oligopoli longgar
Penggabungan 4 perusahaan terkemuka yang memiliki 40% atau kurang, kesepakatan di antara mereka untuk menetapkan harga sebenarnya tidak mungkin.
Kayu, pekakas rumah, mesin-mesin kecil, perangkat keras, majalah, batu bateray, obat-obatan.
Persaingan monopolistik
Banyak pesaing yang efektif, tidak satupun yang memiliki lebih dari 10 % pangsa pasar.
Pedagang eceran, pakaian.
Persaingan murni
Lebih dari 50 pesaing yang mana tidak satu pun yang memiliki pangsa pasar yang berarti.
Sapi dan unggas
Sumber : Stepherd dalam Jaya, 2001
Menurut Shaw dan Sutton (1976) dalam Jaya (2001), ada dua pengertian struktur industri. Pertama, struktur menggambarkan karakteristik dan komposisi
11
pasar atau industri di suatu ekonomi. Kedua, struktur juga berarti jumlah dan ukuran distribusi perusahaan di suatu ekonomi secara keseluruhan. Struktur industri juga berhubungan dengan karakteristik dan pentingnya pasar tertentu (individual) di dalam ekonomi. Dalam hal ini, struktur pasar menggambarkan lingkungan dimana suatu pasar beroperasi. Elemen-elemen struktur pasar antara lain pangsa pasar (market share), konsentrasi, dan hambatan untuk memasuki pasar (barrier to entry). a. Pangsa Pasar (market share) Menurut Jaya (2001), yang menjadi landasan posisi pasar perusahaan adalah pangsa pasar yang diraihnya. Pangsa pasar dalam praktek bisnis merupakan tujuan atau motivasi perusahaan. Perusahaan dengan pangsa pasar yang besar akan menikmati keuntungan dari penjualan produknya. Peranan pangsa pasar, seperti halnya elemen struktur pasar yang lain adalah sebagai sumber keuntungan bagi perusahaan. Jika skala ekonomi besar, maka tingkat keuntungan yang diraih akan semakin tinggi karena pangsa pasar yang naik. Pangsa pasar yang kuat biasanya menandakan kekuatan pasar yang besar, sebaliknya pangsa pasar perusahaan yang kecil berarti perusahaan tidak mampu bersaing dalam tekanan persaingan. b. Konsentrasi Konsentrasi (pemusatan) merupakan kombinasi pangsa pasar dari perusahaan-perusahaan “oligopolis” dan adanya saling ketergantungan. Kelompok perusahaan ini terdiri dari 2 sampai 8 perusahaan. Kombinasi pangsa pasar ini akan membentuk suatu tingkat pemusatan dalam pasar. Bain dalam Jaya (2001)
12
mengatakan bahwa antara tingkat konsentrasi dengan penghasilan terdapat tingkat korelasi yang rendah. Penerimaan rata-rata industri yang terkonsentrasi akan lebih tinggi daripada penghasilan jenis industri yang kurang terkonsentrasi. Weiss dalam Jaya (2001) dengan mengunakan suatu regresi berganda mendapatkan suatu hubungan yang positif antara keuntungan (profit) dengan produk-produk yang berkonsentrasi tinggi. Ada hubungan positif antara keuntungan dengan tingkat konsentrasi mengindikasikan adanya halangan masuk yang besar bagi perusahaan baru, karena dengan keuntungan yang besar maka perusahaan tersebut akan terus berusaha untuk meningkatkan lagi konsentrasinya (Jaya, 2001). c. Hambatan Untuk Masuk (Barrier to entry) Segala sesuatu yang memungkinkan terjadinya penurunan, kesempatan atau kecepatan masuknya pesaing baru merupakan hambatan untuk masuk. Hambatan-hambatan ini mencakup seluruh cara dengan menggunakan perangkat tertentu yang sah seperti paten, hak mineral, dan franchise. Ada beberapa hal umum mengenai hambatan memasuki suatu pasar. Pertama, hambatan-hambatan timbul dalam kondisi pasar yang mendasar, tidak hanya dalam bentuk perangkat yang legal atau dalam bentuk kondisi-kondisi yang berubah dengan cepat. Kedua, hambatan dibagi dalam tingkatan mulai dari tanpa hambatan sama sekali (bebas masuk), hambatan rendah, sedang sampai tingkatan tinggi di mana tidak ada lagi yang masuk. Ketiga, hambatan merupakan sesuatu yang kompleks.
13
2.1.3. Kinerja Industri Menurut Caves (1982) dalam Marbun (2004), kinerja adalah seberapa baik hasil yang dicapai atau prestasi yang diperlihatkan oleh perusahaan dalam mencapai tujuan perekonomian dimana tujuan perekonomian adalah untuk memaksimumkan kesejahteraan ekonomi yang meliputi : 1.
Penggunaan faktor produksi secara efisien, dimana efisiensi ini dapat diukur melalui return (profit) yang dihasilkan atau dari struktur biayanya.
2.
Progresifitas yang meliputi peningkatan kualitas produksi, jenis produk dan peningkatan teknik produksi.
3.
Tingkat tenaga kerja penuh (full employment) dan kestabilan harga.
4.
Pemerataan. Menurut Shepperd (1990) bahwa kinerja didefinisikan dan diakibatkan
dari nilai yang dihasilkan oleh perilaku pasar. Kinerja berhubungan dengan pencapaian atau hasil akhir dari fungsi pasar. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa kinerja berhubungan dengan seberapa baik (how well) pasar berfungsi. Menurut Jaya (2001) dikatakan bahwa kinerja dalam kaitannya dengan ekonomi memiliki banyak aspek, namun hanya dipusatkan pada tiga aspek pokok yaitu efisiensi, kemajuan teknologi dan keseimbangan dalam distribusi. 1.
Efisiensi dalam Pengalokasian Sumber Daya Efisiensi adalah menghasilkan suatu nilai output maksimum dengan
menggunakan sejumlah input tertentu, secara kuantitas fisik maupun nilai ekonomis (harga). Dengan kata lain, sejumlah input yang boros dapat dihindarkan sehingga tidak ada sumber daya yang tidak digunakan dan terbuang. Efisiensi
14
digolongkan dalam dua kategori yaitu efisiensi internal dan efisiensi pengalokasian. a. Efisiensi Internal Efisiensi Internal diperoleh melalui pengelolaan yang baik dalam perusahaan. Para manager menggunakan segala macam cara untuk memacu para pekerja, menekan segala macam biaya dan mengawasi pelaksanaan-pelaksanaan yang menyimpang. b. Efisiensi Alokasi Alokasi yang efisien terjadi pada saat output berada pada tingkat dimana marginal cost (MC) sama dengan harga (P) dari masing-masing produk setiap perusahaan di dalam perekonomian secara keseluruhan. 2.
Kemajuan Teknologi Melalui penemuan dan pembaharuan teknologi, seseorang dapat membuat
suatu karya yang baru serta dapat meningkatkan produktivitas suatu produksi barang yang telah ada. Jika kemajuan teknologi bekerja dengan baik, produksiproduksi baru ditawarkan, biaya-biaya menurun dan harga-harga yang turun akan memperbesar keuntungan konsumen. 3.
Keadilan (equity) Keadilan adalah keseimbangan dalam distribusi. Keadilan memiliki tiga
dimensi
yaitu
kesejahteraan,
pendapatan,
dan
kesempatan
(oportunity).
Kesejahteraan dan pendapatan berhubungan dengan nilai uang sedangkan kesempatan berhubungan dengan keinginan atau kemampuan seseorang untuk memperoleh kesejahteraan, pendapatan dan kedudukan ekonomi lainnya di masa
15
depan. Keseimbangan mempengaruhi etika dan terdapat kriteria etika yang harus dikombinasikan yaitu equity (kesamarataan), effort (upaya), dan contribution (kontribusi) atau produktivitas (Sheppred, 1990). 2.1.4. Teori Lokasi Menurut Djojodipuro (1992) bahwa dalam usaha untuk meminimumkan biaya, maka suatu perusahaan berusaha untuk memilih lokasi yang tepat. Barang yang diproduksi memerlukan bahan mentah dan tenaga kerja yang tidak jarang harus diperoleh dari berbagai tempat yang berbeda, yang memerlukan biaya angkutan untuk mendatangkannya. Pada umumnya biaya angkutan bagi bahan mentah akan makin rendah bila ia menentukan tempat usahanya mendekati tempat bahan mentah tersebut, sebaliknya akan makin tinggi bila menjauhi lokasi maupun pasar tempat menjual hasilnya. Oleh karena itu, penting untuk menentukan lokasi sehingga diperoleh biaya angkutan total yang minimum. Djojodipuro (1992) mengungkapkan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi lokasi industri. Adapun faktor yang mempengaruhinya adalah sebagai berikut : 1. Factor endowment Tersedianya faktor produksi secara kualitatif maupun kuantitatif di suatu negara atau daerah. Factor endowment meliputi tanah, tenaga kerja dan modal. Makin banyak factor endowment yang dimiliki suatu negara atau daerah maka makin banyak pula yang harus diperhatikan dalam menentukan lokasi suatu industri.
16
2. Pasar dan Harga Suatu daerah yang berpenduduk banyak secara potensial merupakan pasar yang perlu diperhatikan pengusaha. Bila daerah ini disertai pendapatan per kapita yang tinggi, maka pasar tersebut akan menjadi efektif. Gejala ini makin meningkat, bila distribusi pendapatan merata. 3. Bahan baku dan Energi Proses produksi merupakan usaha untuk mentransformasikan bahan baku ke dalam hasil akhir yang mempunyai nilai lebih tinggi. Proses transformasi ini terjadi dengan mempergunakan energi dalam berbagai bentuk. Bahan baku yang dipergunakan dapat merupakan bahan mentah atau barang setengah jadi. Minyak bumi, biji besi, dan kayu gelondongan merupakan bahan mentah, sedangkan besi baja, kayu lapis dan bebagai sekrup atau baut merupakan barang setengah jadi. 4. Aglomerasi, Kaitan antar Industri dan Penghematan Ekstern Kota-kota besar biasanya sering dijadikan sebagai lokasi industri sehingga kota mudah terjadi gejala aglomerasi. Berkumpulnya berbagai jenis industri mengakibatkan timbulnya penghematan eksternal, dalam hal ini merupakan penghematan aglomerasi. Penghematan ini terjadi karena faktor-faktor luar yang dinikmati oleh semua industri yang ada di kota tersebut. Terdapat dua jenis penghematan aglomerasi, yaitu : 1. Penghematan yang diperoleh industri sejenis atau industri yang mempunyai hubungan satu sama lain.
17
2. Penghematan yang diperoleh perusahaan individual yang berlokasi di daerah perkotaan. Penghematan ini terutama didapat karena adanya infrastruktur di daerah perkotaan yang telah berkembang pesat. Infrastruktur meliputi jalan yang lebar dan licin, pelabuhan laut dan udara, sarana telekomunikasi, daerah pertokoan, lembaga pendidikan dan latihan, lembaga penelitian dan jasa lainnya. 5. Kebijaksanaan Pemerintah Pemerintah dapat menentukan lokasi industri, kebijakan ini dapat merupakan dorongan atau hambatan dan larangan untuk industri berlokasi di tempat tertentu. 6. Kebijakan Pengusaha Dalam hal ini menyangkut penentuan lokasi cabang suatu perusahaan oleh pusat perusahaannya. Lokasi cabang ini ditentukan sesuai dengan fungsinya sebagai unit produksi, unit distribusi atau unit penjualan. Bila cabang berfungsi sebagai unit produksi maka masalah bahan baku maupun pasar akan masuk dalam pertimbangan, sebaliknya bila cabang berfungsi sebagai unit distribusi maka lokasi persimpangan jalan raya akan menarik karena memungkinkan penggunaan sarana angkutan ke berbagai arah. Cabang yang berfungsi sebagai unit pemasaran akan berlokasi mendekati konsumen yaitu di kota-kota besar.
18
2.1.5. Kluster Industri Kluster (pengelompokan) menurut teori lokasi tradisional terjadi karena adanya minimisasi biaya transportasi atau biaya produksi. Pemilihan lokasi suatu industri merupakan upaya dari industri tersebut untuk menguasai areal pasar terluas melalui maksimisasi penjualan. Kluster industri pada dasarnya merupakan kelompok aktifitas produksi yang amat terkonsentrasi secara spasial dan biasanya berspesialisasi pada satu atau dua industri saja (Kuncoro,2002). Perusahaan-perusahaan atau industri tersebut memiliki persamaan kebutuhan terhadap tenaga kerja, teknologi dan infrastruktur. Perusahaanperusahaan atau industri yang termasuk dalam kluster tersebut saling berkompetisi antar sesama anggota kluster, membeli bahan baku, atau bergantung pada layanan jasa sesama anggota untuk mengoperasikan bisnisnya masing-masing. Kluster industri yang dikelola atau terorganisir dengan baik akan memberikan sumbangan kesejahteraan bagi daerah tersebut karena dapat meningkatkan sumber daya manusia melalui pelatihan terprogram atau tidak terprogram bagi tenaga kerjanya, pembangunan infrastruktur yang diperlukan daerah tersebut dan penelitian di berbagai universitas. Porter (1990) telah meneliti tentang kluster industri di tingkat kota atau kabupaten,
propinsi,
dan
internasional.
Berdasarkan
penelitiannya,
ia
mengembangkan “diamond of advantage”, yaitu suatu model yang menawarkan pemahaman tentang apa yang terjadi di dalam kluster maupun tentang persaingan yang terjadi didalamnya. Porter (1990) berpendapat bahwa daerah akan mengembangkan suatu keunggulan kompetitif berdasarkan kemampuan inovasi,
19
dan vitalitas ekonomi yang merupakan hasil langsung dari persaingan industri lokal. Berbagai faktor yang memicu inovasi dan pertumbuhan kluster diantaranya : 1. Faktor : misalnya tenaga kerja terampil yang dibutuhkan, infrastruktur khusus yang tersedia dan hambatan-hambatan tertentu. 2. Permintaan sektor rumah tangga, atau pelanggan-pelanggan lokal yang mendorong perusahaan-perusahaan untuk berinovasi. 3. Dukungan industri terkait, industri-industri pemasok lokal yang kompetitif yang menciptakan infrastruktur bisnis dan memacu inovasi. 4. Strategi, struktur, dan persaingan. Tingkat persaingan antar industri lokal lebih memberikan motivasi dibanding persaingan dengan pihak luar negeri, dan “budaya” lokal yang mempengaruhi perilaku masing-masing industri dalam melakukan persaingan dan inovasi. Porter (1990) juga menyertakan peran pemerintah dan peluang. Peristiwa historis dan campur tangan pemerintah cenderung berperan pula secara signifikan dalam pembangunan kluster industri. 2.2.
Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu mengenai analisis struktur, kinerja dan kluster telah
dilakukan oleh Sumarno dan Kuncoro (2003). Penelitian ini dilakukan terhadap industri rokok kretek di Indonesia pada periode 1996-1999. Tujuan penelitian tersebut untuk mengetahui apakah struktur dan kinerja industri rokok kretek Indonesia mengalami perubahan pada periode sebelum dan selama krisis ekonomi
20
serta untuk mengetahui dimana lokasi kluster industri rokok Indonesia. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa industri rokok kretek Indonesia merupakan industri yang berstruktur oligopoli dimana pada saat krisis ekonomi industri ini tidak mengalami perubahan secara drastis. Kinerja industrinya juga mengalami pertumbuhan walaupun kondisi perekonomian mengalami krisis. Daerah kluster industri rokok kretek Indonesia terdapat di Kudus, Kediri, Surabaya dan Malang. Terdapat penelitian lain yaitu dilakukan pada industri elektronika Indonesia oleh Kuncoro dan Salamun (2005). Tujuan dari penelitian yang dilakukannya adalah untuk mengetahui struktur kinerja industri elektronika di Indonesia pada periode 1990 hingga 1999; dan untuk mengetahui kluster industri elektronika yang digunakan alat analisis SIG, skala industri, keanekaragaman industri, dan spesialisasi serta melihat apakah variabel tersebut mampu mempercepat pertumbuhan industri pada suatu wilayah. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa struktur industri elektronika di Indonesia dari tahun 1990 hingga 1999 secara umum berbentuk oligopoli dengan tingkat konsentrasi tergolong tinggi. Tingginya rasio konsentrasi berdampak buruk bagi kinerja ekspornya. Jabotabek EIA dan Bandung EIA dapat diindikasikan sebagai kluster industri elektronika di Indonesia. Banyak peneliti yang telah melakukan penelitian yang membahas tentang analisis struktur, perilaku, dan kinerja terhadap berbagai jenis industri. Salah satunya oleh Safitri (2006), ia melakukan penelitian mengenai struktur, perilaku, dan kinerja industri besi baja Indonesia. Hasil dari penelitiannya bahwa struktur pasar pada industri besi baja adalah oligopoli ketat, namun tetap ada persaingan
21
dalam merebut pangsa pasar antara perusahaan. Analisis kinerja dilakukan dengan melihat kemampuan industri besi baja dalam meminimumkan biaya input produksi. Hasil yang didapatkan bahwa industri besi baja menerima margin keuntungan atas biaya langsung (PCM) rata-rata sebesar 36,68 persen dan efisiensi-X yang dicapai (XEF) rata-rata sebesar 71,70 persen. Nilai tersebut menunjukkan
bahwa
adanya
kemampuan
industri
besi
baja
dalam
meminimumkan biaya input produksinya. Selain itu, ia melakukan penelitian tentang adanya hubungan struktur pasar dengan kinerja pada industri tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh nyata pada taraf 10 persen dari seluruh variabel bebas yang digunakan, dimana CR4 dan XEF berhubungan positif terhadap PCM, sedangkan variabel lain (MES, GROWTH, dan DUMMY) berpengaruh negatif terhadap PCM. Berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Safitri terhadap industri besi baja Indonesia, penelitian ini menggunakan konsep analisis yang telah dilakukan oleh Sumarno dan Kuncoro (2003) terhadap industri rokok kretek Indonesia. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Safitri (2006) yaitu pada analisis kinerja dan kluster industrinya. Analisis kinerja yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan indikator kinerja yaitu pertumbuhan output dan nilai tambah, kontribusi industri besi baja terhadap industri manufaktur, efisiensi, dan tingkat keuntungan, sedangkan analisis kinerja yang dilakukan Safitri adalah dengan melihat kemampuan industri besi baja dalam meminimumkan biaya produksi dan tingkat efisiensi yang dihasilkan, serta menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja industrinya. Safitri tidak melakukan analisis kluster
22
melainkan analisis perilaku industrinya, sedangkan penelitian ini melakukan analisis kluster industri. Dalam penelitian ini dilakukan pada industri logam dasar besi dan baja (ISIC 271), juga terhadap subsektor industri lima digitnya yaitu industri besi dan baja dasar (ISIC 27101), industri penggilingan baja (ISIC 27102), dan industri pipa dan sambungan dari besi dan baja (ISIC 27103). 2.3.
Kerangka Pemikiran Penelitian ini dilatarbelakangi oleh permasalahan yang terdapat pada
Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia, antara lain yang disebabkan oleh meningkatnya harga bahan baku baja dan kelangkaan baja di pasar internasional akibat banyaknya permintaan yang sangat besar dari negara-negara yang sedang melakukan program pembangunan negaranya seperti China, Rusia dan Irak. Di lain pihak, industri besi baja Indonesia masih memiliki ketergantungan yang sangat besar terhadap impor bahan baku bajanya. Hal ini tentu akan berdampak pada kondisi industri logam dasar besi dan baja Indonesia. Masalah lainnya dari industri ini yaitu adanya teknologi pengolahan baja yang kurang efisien karena masih menggunakan sumber energi gas yang harganya semakin meningkat serta penggunaan mesin-mesin produksi yang sudah tua . Adanya krisis ekonomi dipertengahan tahun 1997 juga dipastikan turut mempengaruhi struktur dan kinerja industri tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa struktur industri logam dasar besi dan baja Indonesia masih rapuh karena industri besi baja sangat dipengaruhi oleh pasar baja di pasar internasional dan akan berdampak kepada kinerja industrinya sehingga dapat melemahkan daya saing produk industri logam dasar besi dan baja.
23
Berdasarkan latar belakang tersebut mendorong peneliti untuk melakukan penelitian terkait dengan industri logam dasar besi dan baja Indonesia dengan melihat struktur, kinerja dan juga kluster industri tersebut pada periode 1995 sampai 2004. Analisis struktur dilakukan dengan melihat rasio konsentrasi industri, menggunakan salah satu metode yakni metode CR4 (rasio konsentrasi empat perusahaan besar). Dari analisis struktur ini akan dilanjutkan dengan analisis kinerja industrinya karena struktur industri mempunyai pengaruh terhadap kinerja suatu industri. Analisis kinerja industri dilakukan dengan melihat bagaimana kontribusi tenaga kerja, nilai tambah, dan jumlah unit usaha industri logam dasar besi dan baja Indonesia terhadap total industri manufaktur di Indonesia; menganalisa pertumbuhan output produksi dan nilai tambah; efisiensi; serta melihat kinerjanya dari sisi profit (keuntungan) yang diperoleh industri tersebut. Struktur industri yang lemah dapat menyebabkan lemahnya daya saing industrinya sehingga mengacu pada pendekatan yang dikemukakan oleh Porter (1990) bahwa untuk melihat daya saing industri dilakukan dengan melihat klusterkluster yang ada pada industri tersebut. Bila suatu industri memiliki klusterkluster industri yang kuat maka diharapkan industri tersebut mampu menciptakan produk yang berdaya saing tinggi maka dalam penelitian ini dilakukan analisis kluster industri untuk melihat bagaimana kluster atau sebaran geografis industri logam dasar besi dan baja yang ada di seluruh wilayah Indonesia. Analisis kluster ini dilakukan dengan alat analisis yang dikenal dengan Sistem Informasi Geografis (SIG), skala, dan indeks spesialisasi. Dengan analisis kluster, hasilnya
24
dapat dijadikan suatu rekomendasi kepada pemerintah untuk menunjukkan daerah-daerah mana saja yang potensial untuk dikembangkan menjadi kluster industri besi baja di Indonesia sehingga dapat memperkuat daya saing produknya. Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia (Isic 271): • Industri Besi dan Baja Dasar (Isic 27101) • Industri Penggilingan Baja (Isic 27102) • Industri Pipa dan Sambungan Pipa dari Besi Baja
• • • •
Bahan baku vital yang menunjang industri-industri secara keseluruhan dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi.
Ketergantungan impor bahan baku tinggi. Teknologi pengolahan baja kurang efisien. Permintaan bahan baku baja dunia meningkat. Masuknya produk dengan harga dumping dan ilegal
Penurunan kinerja
Struktur industri terganggu
Daya saing menurun
Analisis Kinerja
Analisis Struktur
Analisis Kluster
Metode : Rasio Konsetrasi (CR4)
Metode : SIG, skala, dan indeks spesialisasi.
• Pertumbuhan output dan nilai tambah. • Kontribusi Industri besi baja terhadap industri menufaktur. • Efisiensi • Keuntungan.
Rekomendasi Kebijakan
Keterangan : Analisis Metode Analisis Pengaruh
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran
25
III. 3.1.
METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder time
series dari tahun 1995 sampai 2004. Data ini berupa data industri logam dasar besi dan baja Indonesia yang diperoleh dari Badan Pusat Statistika (BPS). Data ini menggunakan sistem penggolongan industri, yang disebut dengan nama International Standard Industrial Classification (ISIC). Data yang digunakan adalah nilai output, nilai input atau biaya antara, jumlah tenaga kerja, nilai tambah, dan daerah kabupaten maupun propinsi yang mempunyai industri logam dasar besi dan baja. 3.2.
Metode Analisis Penelitian ini menganalisa struktur, kinerja dan kluster industri logam
dasar besi dan baja Indonesia. Analisis struktur industri akan digunakan metode rasio konsentrasi empat (CR4). Analisis kinerja hanya melihat bagaimana kontribusi tenaga kerja, nilai tambah, dan jumlah unit usaha industri baja nasional terhadap total industri manufaktur di Indonesia; menganalisa pertumbuhan output produksi dan nilai tambah; dan efisiensi industri besi baja, serta melihat kinerjanya dari sisi profit (keuntungan) yang diperolah industri baja tersebut. Analisis kluster akan digunakan metode SIG (Sistem Informasi Geografi), skala, dan indeks spesialisasi.
26
3.2.1. Analisis Struktur Industri Struktur industri digunakan untuk menganalisa seberapa jauh konsentrasi perusahaan terbesar dalam industri logam dasar besi dan baja Indonesia. Untuk mengetahui struktur industri ini digunakan metode analisis rasio konsentrasi. Rasio konsentrasi yang umum digunakan adalah CR4, yang menunjukkan pangsa pasar empat perusahaan terbesar dalam industri (Church dan Ware, 2000 dalam Kuncoro dan Salamun,2005), yang dirumuskan sebagai berikut : 4
CR 4 = ∑ MSi ; MSi = t =1
Oi Ot
.....................................................................(1)
Dimana : CR4 = Rasio konsentrasi empat perusahaan terbesar dalam industri MSi = Pangsa pasar perusahaan ke-i Oi
= Nilai output perusahaan ke-i
Ot
= Nilai output seluruh perusahaan dalam industri
Berdasarkan analisis struktur dalam ekonomi industri, struktur industri dikatakan berbentuk oligopoli bila empat perusahaan terbesar menguasai minimal 40
persen
pangsa
pasar
penjualan
dari
industri
yang
bersangkutan
(Kuncoro,2002). 3.2.2. Analisis Kinerja Industri Analisis kinerja industri dalam penelitian ini dapat diamati dari kontribusi tenaga kerja, nilai tambah, dan jumlah unit usaha industri logam dasar besi dan baja Indonesia terhadap total industri manufaktur; dan menganalisa pertumbuhan output produksi dan nilai tambah; efisiensi industri besi baja; selain itu kinerja industri ini juga dilihat dari sudut profit (keuntungan) yang diperoleh.
27
3.2.3. Analisis Kluster Industri Analisis kluster dilakukan untuk melihat daerah sebaran geografis industri logam dasar besi dan baja yang ada di seluruh wilayah kabupaten atau kota di Indonesia. Analisis dilakukan pada daerah industri logam dasar besi dan baja, apakah industri mengelompok di suatu area atau tidak, mengukur besarnya skala kluster industri, dan konsentrasi kluster industrinya. Lokasi wilayah sebaran industri dianalisis dengan mengaplikasikan Sistem Informasi Geografi (SIG), konsentrasi kluster industri dianalisis dengan melihat spesialisasi industri, dan besarnya skala industri dianalisis dengan melihat skala tenaga kerja dan nilai tambah pada lokasi sebaran (Kuncoro,2002) •
Sistem Informasi Geografi (SIG) Dalam menganalisa sebaran geografis dan kluster industri baja di
Indonesia, digunakan metode analisis Sistem Informasi Geografis (SIG). SIG merupakan alat analisis yang bermanfaat untuk mengidentifikasi lokasi industri dan untuk mengidentifikasi di daerah mana mereka cenderung mengelompok secara spasial (Kuncoro,2002). Menurut Kuncoro (2002), SIG dapat mentransformasikan data menjadi informasi dengan mengintegrasikan sejumlah data yang berbeda, menerapkan analisis fokus, dan menyajikan output dalam rangka mendukung pengambilan keputusan. Kemampuan SIG dalam penyimpanan, analisis, pemetaan dan membuat model mendorong aplikasi yang luas dalam berbagai disiplin ilmu, dari teknologi informasi hingga sosial ekonomi maupun analisis yang berkaitan dengan populasi. Beberapa prosedur standar dalam merancang dan menggunakan
28
SIG, yaitu pengumpulan data, pengolahan data awal, konstruksi basis data, analisis dan kajian spasial, dan penyajian grafis. Prosedur dan aktivitas utama dalam Sistem Informasi Geografi dapat dilihat pada Tabel 3.1. Tabel 3.1. Prosedur dan Aktivitas Utama dalam SIG Prosedur
Aktivitas
Memperoleh data
• Pemberian keterangan pada peta-peta dan dokumen-dokumen termasuk juga pengkodean data, verifikasi data, dan pengkoreksian kesalahan. • Menjelaskan sekumpulan data yang telah ada, khususnya yang berasal dari survey industri yang dipublikasikan tahunan oleh BPS.
Persiapan Pengolahan data
• Menginterpretasikan atau mengklasifikasikan data yang dapat dari survey • Menyusun struktur data digital untuk memilih model-spasial/ ruang (berdasarkan objek, jaringan, dan lapangan) • Mentransformasikan atau mengubah menjadi koordinat biasa/ umum. • Membuat mode dari konsep data • Menetapkan struktur data base • Menetapkan prosedur terbaru • Mengirim data ke database
Pengkontruksian data dasar atau database (penyimpanan data dan pemanggilan kembali data) Penelitian spasial/lokasi/wilayah beserta analisanya
• • • • •
Pemanggilan data berdasarkan lokasi Pemanggilan data berdasarkan kelas atau atribut Menemukan lokasi yang paling cocok berdasarkan kriteria Mencari pola, kelompok, jalur dan interaksi Membuat model dan menstimulasikan pada fenomena fisik dan sosial.
Tampilan secara grafik (visualisasi dan interaksi)
• • • •
Menciptakan peta Menggali data Menciptakan tampilan tiga dimensi Membuat laporan
Sumber : Jones dalam Kuncoro, 2002
SIG merupakan alat yang bermanfaat untuk mengidentifikasikan dimana suatu industri cenderung mengumpul atau membentuk kluster. SIG pada dasarnya adalah suatu tipe sistem informasi, yang memfokuskan pada penyajian dan analisis realitas geografis. Titik beratnya adalah mengelola dan menganalisa data spasial dengan suatu sistem informasi.
29
•
Indikator Skala (size) Menurut Kuncoro (2002), indikator skala (size) sangat penting karena
tidak hanya untuk memahami perbedaan skala kluster industri secara spasial, namun juga dapat digunakan untuk membedakan antara kluster dan aglomerasi. Pada pembahasan indikator ini, industri logam dasar besi dan baja dikelompokkan dalam daerah industri utama yang diperluas (EIA atau Extended Industrial Areas). Indikator skala menggunakan data penyerapan tenaga kerja dan nilai tambah. •
Indeks Spesialisasi Spesialisasi digunakan untuk mengukur tingkat konsentrasi industri di
suatu kluster industri. Mengikuti metode yang dirintis oleh Glaeser, et all. (1992) dalam Kuncoro (2002), indeks spesialisasi menunjukkan seberapa jauh spesialisasi industri dalam suatu kluster dibandingkan apabila industri tersebut tersebar secara random di seluruh Indonesia. Perhitungan indeks spesialisasi, sebagai berikut : Ѕirt =
Eir ................................................................................................(2) Eit
Dimana : Sirt = rasio indeks spesialisasi suatu industri Eir = tenaga kerja yang diserap industri i dibagi dengan total penyerapan tenaga kerja dalam daerah tersebut. Eit = tenaga kerja yang diserap industri i untuk seluruh daerah di Indonesia dibagi dengan total penyerapan tenaga kerja untuk seluruh daerah di Indonesia. Dengan ketentuan bahwa jika Sirt lebih dari 1, artinya industri tersebut memiliki pangsa yang lebih besar dalam penciptaan kesempatan kerja di daerah
30
tersebut daripada pangsa industri itu di Indonesia. Sebaliknya, bila nilai Sirt lebih kecil daripada 1, artinya suatu daerah tidak memiliki spesialisasi atas suatu industri karena industri itu memiliki pangsa tenaga kerja yang lebih rendah di daerah tersebut daripada rata-rata pangsa industri tersebut di Indonesia. Bila terdapat kenaikan Sirt untuk suatu daerah maka hal ini mencerminkan adanya kenaikan spesialisasi industri tersebut di daerah itu. Hal ini didasarkan atas suatu asumsi bahwa spesialisasi yang tinggi pada suatu industri di suatu daerah akan mempercepat pertumbuhan industri tersebut di daerah itu. •
Analisis frequencies Analisis frequencies dengan menggunakan SPSS versi 13.0 merupakan
analisis yang digunakan untuk memberikan deskripsi statistika data tentang prosentase, prosentase kumulatif, rata-rata, median, sum, standar deviasi, variasi, range, minimum dan maksimum, sesatan rata-rata, skewness dan kurtosis, kuartil,
serta diagram dalam berbagai bentuk. Dalam penelitian ini melihat nilai skewness dan kurtosis yang dihasilkan dari industri logam dasar besi dan baja dengan menggunakan data tenaga kerja dan nilai tambah untuk melihat distribusi sebarannya. Skewness merupakan ukuran kemencengan suatu data. Untuk mengukur kenormalan distribusi data maka akan digunakan rasio skewness (RS) dengan rumus sebagai berikut : RS =
Skewness ................................ (3) sesa tan s tan darskewness
Dianggap mengikuti distribusi normal jika memenuhi syarat bahwa -2
31
Kurtosis merupakan ukuran keruncingan suatu data. Untuk mengukur kenormalan distribusi data maka akan digunakan rasio kurtosis (RK) dengan rumus sebagai berikut :
RK =
Kurtosis ............................. (4) Sesa tan s tan darkurtosis
Dianggap mengikuti distribusi normal jika memenuhi syarat bahwa -2
32
IV. 4.1.
GAMBARAN UMUM
Industri Logam Dasar Besi dan Baja
Industri logam dasar besi dan baja biasa dikenal dengan sebutan industri besi baja merupakan industri yang memfokuskan dalam memproduksi besi baja. Besi baja digunakan sebagai bahan baku dasar bagi industri-industri lainnya, mulai dari industri peralatan dapur, transportasi, generator pembangkit listrik, kerangka gedung, dan juga jembatan semuanya menggunakan bahan dasar baja. Besi pertama kali ditemukan dalam bentuk pasir-pasir besi dan besi ini tidak digunakan dalam keadaan murni tetapi biasanya digunakan dalam bentuk persenyawaan atau campuran, salah satunya yang disebut Cast Iron. Cast Iron merupakan suatu campuran Fe (besi) dengan C sebanyak 3-4 persen dan beberapa elemen seperti Si, Mn dan sebagainya tetapi bila C sebanyak 2 persen, inilah yang dinamakan baja. Dengan kata lain, baja merupakan paduan logam yang tersusun dari besi sebagai unsur utama dan karbon sebagai unsur penguat. Unsur karbon ini berperan dalam peningkatan performan. Adanya perlakuan panas terhadap baja dapat mengubah baja dari lunak seperti kawat menjadi baja keras seperti pisau karena perlakuan panas mengubah struktur mikro besi yang berubah-ubah dari susunan kristal berbentuk kubik berpusat menjadi kubik berpusat sisi atau heksagonal. Menurut Rochman (2003), saat ini dalam proses pembuatan baja bahwa besi kasar diproduksi dengan menggunakan blast furnace (dapur bijih besi) yang berisi kokas pada lapisan paling bawah kemudian batu kapur dan bijih besi. Kokas terbakar dan menghasilkan gas CO yang naik ke atas sambil mereduksi oksida
33
besi. Besi yang telah tereduksi melebur dan terkumpul dibawah tanur menjadi besi kasar yang biasanya mengandung C, Si, Mn, P, dan S. Kemudian leburan besi dipindahkan ke tungku lain (converter) dan diembuskan gas oksigen untuk mengurangi kandungan karbon. Melalui cara ini dapat diproses besi kasar menjadi baja sebanyak kurang lebih 300 ton dalam waktu 15 sampai 20 menit. Untuk menghilangkan kandungan oksigen dalam baja cair dapat ditambahkan Al, Si, dan Mn, proses ini dinamakan dioksidasi. Setelah dioksidasi, baja cair dialirkan dalam mesin cetakan kontinu berupa slab atau dicor dalam cetakan berupa ingot. Slab dan ingot diproses dengan penempaan panas, rolling panas, penempaan dingin, perlakuan panas, pengerasan permukaan dan lain-lain untuk dibentuk menjadi sebuah produk atau kerangka dasar dari sebuah produk. 4.2.
Sejarah Perkembangan Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia
4.2.1. Periode Antara 1950-1960
Perkembangan industri masih berat sebelah karena perindustrian masih berorientasi pada barang-barang konsumsi yang sebagian besar bahan baku atau penolong masih harus di impor dari luar negeri. Pertumbuhan industri di sektor pembuatan barang-barang modal (capital goods atau mesin-mesin) atau perindustrian kimia dasar dilakukan untuk membantu mengurangi ketergantungan dari luar negeri, namun hal ini kurang mendapat perhatian yang semestinya. Akibatnya pertumbuhan industri tidak terarah dan tidak seimbang sehingga impor bahan baku, penolong atau mesin-mesin masih dirasakan sebagai beban yang berat (kurang lebih 35 persen dari devisa untuk impor).
34
Bahan baku atau penolong yang diperlukan untuk aktivitas industri besi baja masih harus di impor dari luar negeri. Hal ini akan mengganggu kontinuitas produksi karena membutuhkan stok bahan baku atau penolong yang sangat banyak sedangkan devisa Indonesia masih terbatas. Dengan demikian, pada tahun 1955 pemerintah mulai memikirkan untuk membangun industri besi baja dengan menunjuk sebuah firma dari Jerman Barat yang bergerak dalam bidang Engineering dan Consulting untuk mengadakan survey dan mempelajari
kemungkinan didirikannya industri besi baja yang didasarkan pada bahan baku dalam negeri yang bisa diperoleh. Hasil yang diperoleh dari penyelidikan-penyelidikan tersebut memberikan saran-saran untuk mendirikan tiga buah pabrik yang mempunyai keseluruhan hasil produksi 300.000 ton/tahun dan sebuah tanur tinggi (Blast Furnace) di Lampung dengan kapasitas produksi 35.000 ton/tahun. Pada periode 1950-1960 telah didirikan sebuah Reroller (1956) yang mempunyai kapasitas permulaan sebesar 5.000 ton/tahun. 4.2.2. Periode Antara 1960-1965
Setelah pemerintah menerima hasil survey sebuah Firma Jerman Barat yang bergerak dalam bidang Engineering dan Consulting yang ditunjuk pemerintah untuk survey dalam mendirikan industri besi dan baja di Indonesia. Maka pada tahun 1960, terdapat tiga proyek yang direncanakan untuk direalisir yakni tanur tinggi di Lampung, pabrik baja di Cilegon dan sebuah pabrik integrasi yang terletak di Kalimantan Selatan dengan menggunakan bahan baku dari dalam negeri.
35
Tanur tinggi di Lampung, direncanakan untuk menghasilkan 35.000 ton setiap tahunnya dengan memakai biji besi lokal serta double coke dari batu bara Bukit Asam sebagai bahan baku. Persiapan telah diadakan pada awal 1960 akan tetapi proyek ini tidak terealisasikan. Pada tahun 1962, realisasi pembangunan pabrik besi baja tersebut dilaksanakan dan direncanakan akan selesai pada tahun 1968 tetapi pembangunannya terhenti pada tahun 1965 karena meletusnya pemberontakan G30S PKI. 4.2.3. Periode Antara 1965-1997
Tahun 1965 merupakan sejarah baru bagi negara dan bangsa Indonesia karena tumbangnya orde lama dan digantikan oleh orde baru. Tahun 1966 pemerintah menitikberatkan pada rehabilitasi ekonomi, stabilisasi moneter, produksi pangan dan pembangunan fasilitas-fasilitas infrastruktur untuk mendukung produksi pangan nasional. Pada tahun 1967, Undang-Undang Penanaman Modal Asing dikeluarkan dan tahun 1968 dilanjutkan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri. Kedua Undang-Undang tersebut sebagai perangsang bagi pemilik modal untuk berinvestasi di Indonesia. Untuk melanjutkan program pembangunan tersebut maka pada tanggal 20 Desember 1967 dikeluarkan Instruksi Presiden untuk merubah Proyek Baja Trikora menjadi bentuk Perseroan Terbatas (PT) dengan nama PT Krakatau Steel yang diresmikan pada tanggal 27 Oktober 1971 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 35 tanggal 31 Agustus 1970. Proyek baja Kalimantan yang telah diintegrasikan direncanakan untuk memberikan hasil produksi permulaan sebesar
36
250.000 ton baja/tahun. Berbagai penyelidikan dilaksanakan dan beberapa pengusaha swasta melakukan survey terhadap kemungkinan pembangunan sebuah pabrik baja. Pada bulan april 1969, pemerintah memulai Repelita pertama dimana difokuskan pada produksi pangan terutama produksi beras, meningkatkan ekspor dan membangun fasilitas-fasilitas infrastruktur yang harus saling menunjang. Akibatnya pemakaian baja meningkat secara mencolok sehingga terjadi perkembangan yang pesat di pasaran baja. Hal ini menarik perusahaan-perusahaan untuk menanamkan modalnya pada sektor ini. Banyaknya jumlah perusahaan yang bergerak dalam bidang ini dari tahun ke tahun semakin meningkat. Proyekproyek pembangunan di dalam telah berjalan dengan baik sehingga terdapat peningkatan konsumsi besi baja. Oleh karena itu, kondisi industri besi baja nasional menunjukkan hasil yang baik. Pada tahun 1985, industri besi baja nasional mulai melakukan ekspor perdana yang dilakukan oleh PT. Krakatau Steel ke beberapa negara seperti Jepang, Amerika, Inggris, India, China, Timur Tengah, dan Korea. Hingga tahun 1995, industri besi baja Indonesia terus mengadakan proyek-proyek perluasan industrinya. 4.2.4. Periode Antara 1997-2007
Tahun 1997 merupakan tahun awal terjadinya krisis ekonomi yang melanda beberapa negara Asia yang juga melanda Bangsa Indonesia. Krisis ekonomi berdampak buruk terhadap perkembangan sektor industri terutama perkembangan industri manufaktur karena kebanyakan berbahan baku impor yang tinggi sehingga menyebabkan industri ini cukup sulit untuk mempertahankan
37
produksinya. Krisis ekonomi menyebabkan fluktuasi nilai tukar yang tajam, hal ini mengakibatkan industri mengalami pertumbuhan negatif. Tabel 4.1. Pertumbuhan Subsektor Industri Pengolahan Indonesia Tahun 1996- 2000 Subsektor Makanan, Minuman, dan Tembakau Tekstil, Barang kulit dan alas kaki Barang kayu dan hasil hutan lainnya. Kertas dan barang cetakan Pupuk Kimia dan Barang dari Karet Semen dan barang galian Non Logam Logam Dasar Besi dan Baja Alat angkut, Mesin dan peralatan Barang lainnya Total Sumber : BPS, 1996-2000
Pertumbuhan Subsektor Industri Pengolahan 1996 1997 1998 1999 2000 17,2 14,9 -3,1 5,3 0,7 8,7 -4,4 -14,0 8,0 10,5 3,2 -2,1 -26,0 -13,7 6,1 6,9 9,0 -5,4 3,2 10,2 9,0 3,4 -15,0 9,8 12,8 11,0 4,5 -30,5 5,3 7,3 8,0 -1,4 -25,6 -1,1 16,2 4,6 -0,4 -52,6 -10,3 51,5 9,7 6,0 -34,7 -2,8 8,1 11,7 7,4 -14,4 3,8 7,2
Krisis ekonomi berdampak kurang baik bagi kondisi industri besi baja di Indonesia karena dengan krisis ekonomi menyebabkan adanya kenaikan biayabiaya input produksi yang sangat besar sehingga dengan krisis ekonomi jumlah perusahaan dan tenaga kerja industri besi baja di Indonesia mengalami penurunan. Sejak terjadinya krisis ekonomi hingga tahun 1999, kondisi industri besi baja belum menunjukkan perbaikan yang baik. Di tahun 2000, walaupun terjadi penurunan jumlah unit usaha akan tetapi kondisi industri besi baja nasional secara keseluruhan sudah menunjukkan adanya perbaikan ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang membaik seiring dengan berjalannya proyek-proyek pembangunan kembali infrastruktur yang rusak. Pada tahun 2001 hingga saat ini, industri besi baja nasional sangat terancam dengan masuknya produk-produk baja ilegal dan produk baja dengan harga dumping karena menyebabkan adanya persaingan usaha yang tidak sehat. Berbagai kasus mengenai adanya produk baja dumping dan ilegal ini telah ditangani oleh Komite Anti Dumping Indonesia (KADI).
38
Pada tahun 2003, beberapa negara seperti China, Irak, dan Rusia sedang giat-giatnya dalam melakukan pembangunan sehingga hampir sebagian besar bahan baku baja terserap untuk keperluan pembangunan negara tersebut. Menurut laporan Komite Studi Ekonomi Internasional Iron and Steel Institute (IISI) bahwa pada tahun 2003, impor besi baja China mencapai 257 juta ton/tahun atau naik hampir dua kali lipat dibandingkan tahun 2000 yang mencapai 142 juta ton/tahun. China menyerap sepertiga dari total impor besi baja dunia. Hingga tahun 2004, konsumsi baja China meningkat kembali menjadi 290 juta ton/tahun (warta ekonomi, 2006). Hal ini menyebabkan telah terjadi kelangkaan bahan baku baja untuk keperluan produksi industri besi baja Indonesia. Besarnya permintaan bahan baku baja menyebabkan terjadinya kenaikan harga bahan baku baja tersebut sehingga dapat berpengaruh pada aktifitas produksi industri besi baja dalam negeri yang sebagian besar bahan bakunya impor. Barulah diawal tahun 2006, China mengalami kelebihan pasokan besi baja hasil produksi yang berlebihan sehingga banyak produk-produk baja China yang masuk ke Indonesia dan diketahui ada beberapa produk disalurkan dengan harga dumping. Tahun 2006, dikabarkan bahwa China mengalami kelebihan pasokan sebanyak 116 juta ton (Kompas, 2006). 4.3.
Regulasi Pemerintah Terhadap Industri Logam Dasar Besi dan Baja
Industri
baja
sebagai
industri
strategis
yang
cukup
berpotensi
dikembangkan sehingga pemerintah memandang perlu adanya suatu regulasi guna mendorong pertumbuhan industri baja ini. Salah satu langkahnya yaitu dengan memproteksi industri ini. Hal ini tercermin dari kebijakan-kebijakan yang
39
dikeluarkan pemerintah bagi industri baja. Kebijakan-kebijakan proteksi ini menyangkut tata niaga impor, bea masuk dan bentuk proteksi lainnya yang diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi industri baja. Pemerintah
mengeluarkan
tata
niaga
impor
yang
baru
dengan
pertimbangan bahwa perlu adanya : 1. Perlindungan terhadap kelanjutan dan perkembangan industri baja hulu serta peningkatan industri baja hilir di dalam negeri 2. Jaminan kelancaran dan penyederhanaan prosedur pengadaan distribusi besi baja pada tingkat harga yang terkendali 3. Jaminan standar dan mutu bahan baku industri besi baja di dalam negeri. Maka pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor. 36 tahun 1979 tentang pengaturan pengadaan besi baja di Indonesia. Pemerintah beberapa kali mengeluarkan peraturan-peraturan berupa deregulasi disektor industri baja yang menyangkut tata niaga dan bea masuk. Secara kronologis maka proses pelaksanaan deregulasi tersebut adalah sebagai berikut : Tahun 1979 : PT Krakatau Steel sebagai Pusat Pengadaan Besi Baja (PPBB yang bersumber dari dalam negeri maupun impor). Tahun 1981 : Merupakan awal pelaksanaan tata niaga pengadaan impor besi baja, hanya mengatur komoditi bahan baku yaitu billet/ingot, batang kawat dan besi tua. Tahun 1985 : Mengatur 117 tarif pos dengan pelaksanaan impor adalah PT KS, Persero Niaga, PT. Tambang Timah, PT. Giwang Slogam, PT. Kemas Inti Nusa Bakti atas nama PT. KS.
40
Tahun 1986 : Mengatur 100 tarif pos dengan pelaksanaan impor adalah PT. KS, PT Kemas Inti Nusa Bakti, PT. Giwang Slogam atas nama PT. KS dan PT. Tambang Timah. Tahun 1987 : Dalam tata niaga penyederhanaan ketentuan tata niaga impor produk baja dimana 108 komoditi menjadi importir umum (IU) dan sisanya 56 komoditi masih tetap dipegang oleh PT KS sedangkan untuk bea masuk atau bea masuk tambahan diterapkan tarif bea masuk (BM) dan Bea Masuk Tambahan (BMT). Tahun 1988 : - Tata niaga : Perubahan dan tambahan mengenai penyederhanaan tata niaga impor barang yang semula tata niaga dua puluh enam komoditi dipegang oleh PT. KS diubah lima belas komoditi menjadi importir Produsen (IP) dan sebelas menjadi IU. - BM/BMT : Perubahan tarif BM dan pengenaan BMT atas imporimpor tertentu sejumlah 9 komoditi ( 7 komoditi dengan BMT sebesar 30 persen dan 2 komoditi dengan BMT sebesar 20 persen ). Tahun 1990 : - Tata niaga : Perubahan tata niaga yang semula dipegang oleh PT. KS menjadi IP sebanyak 35 komoditi dan menjadi IU sebanyak 18 komoditi. - BM/BMT : Penyempurnaan klasifikasi perubahan BM dan BMT. Tahun 1991 : Surat Keputusan Menteri Perdagangan mengenai tata niaga seluruhnya dicabut dan digantikan dengan SK No. 135/KP/6/91 (Paket Juni 1991) yang mengatur bahwa 32 komoditi tetap
41
dipegang oleh PT. KS dan 135 komoditi menjadi Importir Produsen (IP). Tahun 1992 : Pelepasan tata niaga dari 32 tarif pos yang diatur melalui PT.KS / PPBB menjadi Importir Produsen. Tahun 1994 : Keluarnya paket 27 Juni 1994 yang intinya adalah sebagai berikut : 1) Penetapan kembali IP untuk produk-produk plat baja serta 2) Penghilangan tarif BMT untuk beberapa komoditi tertentu. Adanya peraturan-peraturan yang dikeluarkan pemerintah atau adanya deregulasi terhadap industri besi baja ini, maka dapat dilihat bahwa peranan sektor industri baja ini harus mendapat perhatian yang besar karena industri besi baja dapat menunjang industri-industri terkait lainnya. 4.4.
Produksi Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia
Industri logam dasar besi dan baja yang merupakan salah satu industri strategis dan vital harus cukup mendapatkan perhatian dari pemerintah karena perannya ini sangat dibutuhkan bagi pembangunan industri-industri penting lainnya. Dampak dari adanya globalisasi ini dapat dirasakan oleh negara-negara di dunia, berupa adanya pembangunan-pembangunan infrastruktur yang memadai oleh banyak negara. Dengan banyaknya pembangunan tersebut peran industri besi baja tidak dapat diabaikan karena tentu saja permintaan besi dan baja ini akan meningkat. Industri logam dasar besi dan baja harus pula meningkatkan produksinya. Kendala sekaligus tantangan yang harus dihadapi oleh industri ini yaitu adanya ancaman dari negara luar yang menjual produk-produk yang lebih murah
42
daripada produk yang diproduksi di dalam negeri, salah satu contoh terjadi pada produk tin plate. Perusahaan pembuat tin plate dalam negeri menilai adanya politik dumping yang dilakukan negara pengimpor karena harga yang ditawarkan lebih murah di Indonesia dibandingkan harga yang dijual di negaranya sendiri. Hal ini tentu saja sangat merusak dan dapat mematikan produksi dalam negeri karena produk dalam negeri akan sulit untuk bersaing. Tabel 4.2. Perkembangan Volume Produksi Beberapa Produk Besi Baja Indonesia Tahun 2002-2004 (ribu ton) No
Kelompok 2002 1.478,0
Volume Produksi 2003 1.171,0
2004 1.367,0
1.291,7
1.002,3
1.190,0
976,3
1.042,2
1.198,5
1.141,1
1.212,5
1.423,9
625,3
578,4
651,1
2.032,1
1.928,0
2.441,6
1
Besi Spons
2
Slab Baja
3
Billet
4
Besi Beton
5
Batang Kawat Baja
6
HRC & Plate
7
Pipa Las Lurus/Spiral
405,2
435,6
459,6
8
CRC/Sheet
754,6
680,0
680,0
9
BjLS/warna
437,5
460,5
491,7
10
Tin Plate
88,0
89,6
92,7
Sumber : Departemen Perindustrian dalam Safitri, 2006
Adanya ancaman masuknya produk impor dengan cara dumping dan ilegal sangat berpengaruh pada produksi industri besi baja Indonesia, karena produk baja nasional menjadi kalah bersaing dalam hal harga yang dipasarkan. Menurut catatan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) bahwa KADI pernah menangani kasus anti dumping pipa baja dari Jepang, China, dan Korea Selatan pada tahun 2001. Kemudian menangani dua kasus antidumping terhadap produk baja impor yaitu lembaran baja canai panas (HRC) dari India, Rusia, China, dan Ukraina pada
43
tahun 2002. Selain itu, KADI juga menangani kasus anti dumping besi beton wire rod impor dari India dan Turki pada tahun yang sama (Kompas,2003).
4.5.
Perkembangan Ekspor dan Impor Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia
Hasil produksi industri logam dasar besi dan baja Indonesia tidak hanya dimanfaatkan oleh industri-industri hilir di dalam negeri, tetapi juga telah diekspor ke negara-negara yang membutuhkan besi dan baja. Berdasarkan data tahun 2000 sampai tahun 2002, volume ekspor baik untuk industri besi dan baja dasar (ISIC 27101), industri penggilingan baja (ISIC 27102), dan industri pipa dan sambungan dari besi dan baja (ISIC 27103) mengalami penurunan. Khususnya untuk industri besi dan baja dasar (ISIC 27101) penurunan ekspor cukup besar dimana pada tahun 2000 ekspornya sebanyak 101.270.174 kg per tahun menurun menjadi 73.709.135 kg per tahun. Namun, di tahun 2003 mulai mengalami peningkatan kembali terhadap volume ekspornya dan peningkatan ekspor terus terjadi hingga tahun 2005 tersebut (Tabel 4.3). Tabel 4.3. Perkembangan Ekspor Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Tahun 2000-2005 Tahun
Perkembangan Ekspor Industri Logam Dasar Besi dan Baja ISIC 27101
ISIC 27102
ISIC 27103
2000
Volume 101.270.174
Nilai (US$) 113.963.142
Volume 807.875.285
Nilai (US$) 256.611.100
Volume 230.584.229
Nilai (US$) 128.548.116
2001
79.709.135
65.863.368
686.150.984
181.845.563
245.334.502
136.817.237
2002
73.674.224
50.282.896
824.193.810
241.031.791
155.751.826
126.154.922
2003
110.168.960
94.289.174
828.552.068
285.342.201
178.791.972
135.966.610
2004
160.566.415
119.357.741
979.573.659
519.536.515
139.321.988
145.719.347
2005
202.424.282
130.772.275
777.960.641
486.347.622
200.049.819
246.528.236
Sumber : BPS, 2000-2005
Dari data tahun 2001 sampai tahun 2005 baik volume atau nilai ekspor industri ini mengalami peningkatan tetapi secara keseluruhan ternyata besarnya
44
ekspor diperkirakan hanya sebesar 4 persen saja dari total produk impor yang masuk. Jadi, pendapatan dari ekspor yang diperoleh tidak sebanding dengan nilai impornya. Impor tidak selalu berdampak negatif bagi suatu industri, selama daya saing produk domestik yang dihasilkan lebih baik daripada produk impor atau apabila produsen dalam negeri tidak sanggup memenuhi kebutuhan baja dalam negeri. Tabel 4.4. Perkembangan Impor Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Tahun 2000-2005 Tahun
Perkembangan Impor Industri Logam Dasar Besi dan Baja ISIC 27101
ISIC 27102
ISIC 27103
2000
Volume 2.989.830.445
Nilai (US$) 460.682.992
Volume 1.618.969.328
Nilai (US$) 783.948.179
Volume 517.402.410
Nilai (US$) 365.997.038
2001
2.848.024.786
385.774.627
1.305.634.402
555.427.436
234.622.110
299.568.303
2002
2.878.498.324
413.118.128
1.496.507.379
647.087.516
281.372.849
328.053.090
2003
2.528.721.686
455.257.576
1.500.107.832
697.032.757
239.814.910
254.487.652
2004
3.637.273.905
1.237.303.450
2.101.234.818
1.250.376.271
252.442.382
328.373.007
2005
3.414.466.303
1.232.139.609
2.646.018.785
1.837.219.778
560.628.108
760.205.898
Sumber : BPS, 2000-2005
Bila melihat perkembangan impor industri logam dasar besi dan baja Indonesia dari tahun 2000 sampai 2005, nilai impornya cenderung mengalami trend yang meningkat terutama untuk subsektor industri penggilingan baja (ISIC
27102), pada tahun 2005 mengalami kenaikan nilai impor yang begitu melonjak dari tahun 2004. Untuk volume impor yang sangat tinggi kapasitasnya dialami oleh industri besi dan baja dasar (ISIC 27101) (Tabel 4.4). Masuknya produk besi baja impor ke Indonesia terutama produk baja impor dengan harga dumping atau ilegal menyebabkan industri besi baja Indonesia harus bersaing dalam merebut pangsa pasarnya. Namun, dalam hal ini persaingan menjadi tidak sehat sehingga mematikan perusahaan-perusahaan besi baja dalam negeri.
45
V. 5.1.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Struktur Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia
Dalam penelitian ini, analisis struktur industri logam dasar besi dan baja di Indonesia dilakukan dengan menggunakan perhitungan rasio konsentrasi empat perusahaan terbesar yang menguasai pangsa pasar dalam industri tersebut, yang dikenal dengan indikator CR4. Hasil perhitungan CR4 untuk industri logam dasar besi dan baja di Indonesia dapat dilihat dalam Tabel 5.1. Tabel 5.1. CR4 Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia, Tahun 19952004 Subsektor Isic 27101 Total ∑ Firm Isic 27102 Total ∑ Firm Isic 27103 Total ∑ Firm CR4 Industri Total ∑ Firm
CR4 Industri Logam Dasar Besi dan Baja 1995 98,74 16 82,52 59 47,92 62 76,39 (137)
1996 96,42 12 88,45 57 54,60 55 79,82 (124)
1997 96,28 17 83,52 60 56,83 61 78,88 (138)
1998 92,90 27 61,64 47 67,18 32 73,91 (106)
1999 66,03 21 84,91 48 53,73 38 68,22 (107)
2000 68,93 16 85,98 44 51,57 38 68,83 (98)
2001 86,24 22 77,56 62 60,68 44 74,83 (128)
2002 81,66 16 74,30 54 40,92 49 65,63 (119)
Rata2 2003 75,79 19 64,11 48 53,98 42 64,63 (109)
2004 71,33 24 60,74 50 49,03 45 60,37 (119)
83,43 76,37 53,64 71,15
Sumber : Diolah dari data BPS, 1995-2004 Keterangan : Isic 27101 = Industri Besi dan Baja Dasar Isic 27102 = Industri Penggilingan Baja Isic 27103 = Industri Pipa dan Sambungan dari Besi dan Baja
Tabel 5.1 menunjukkan bahwa rata-rata struktur pasar industri logam dasar besi baja Indonesia dari tahun 1995 sampai tahun 2004 berbentuk oligopoli ketat dengan nilai rasio konsentrasi sebesar 71,15 persen. Pada tahun 1995, rata-rata rasio konsentrasi industri besi baja sebesar 76,39 persen sedangkan tahun 2004 mengalami penurunan rasio konsentrasi menjadi 60,37 persen. Penurunan ini bukan dikarenakan meningkatnya jumlah perusahaan dalam industri tersebut tetapi justru karena banyak perusahaan yang keluar dalam industri. Perusahaan yang keluar itu merupakan perusahaan dengan skala produksi yang rendah. Penurunan rasio konsentrasi juga karena perusahaan-perusahaan yang bertahan
46
dalam industri ini tidak mampu berproduksi menyamai atau melebihi produksi pada saat sebelum krisis ekonomi dan akibat permasalahan eksternal lainnya yang menghambat aktifitas produksi industri besi baja di Indonesia. Permasalahan eksternal terberat bagi industri besi baja nasional yaitu adanya serbuan produk impor besi baja yang menggunakan harga dumping atau impor ilegal, selain itu juga kendala bahan bakar gas dan pasokan listrik dengan harga yang semakin meningkat dan kurang mencukupi untuk produksi sehingga industri mengalami kendala untuk meningkatkan penjualan output produksinya. Subsektor yang mempunyai rasio konsentrasi terbesar adalah industri besi baja dasar dengan nilai CR4 sebesar 83,43 persen dan struktur pasarnya berbentuk oligopoli ketat. Subsektor industri penggilingan baja memiliki nilai CR4 sebesar 76,37 persen, industri ini juga termasuk tipe oligopoli ketat sedangkan industri pipa dan sambungan pipa dari besi baja memiliki nilai CR4 lebih rendah dibandingkan kedua subsektor industri tersebut. Industri pipa dan sambungan pipa dari besi baja termasuk tipe struktur pasar oligopoli moderat dengan nilai CR4 sebesar 53,64 persen. Tingginya rasio konsentrasi yang terdapat pada industri besi baja menunjukkan bahwa pangsa pasar yang dihasilkan perusahaan-perusahan pada industri ini cukup besar sehingga keuntungan perusahaan yang dapat diperoleh juga besar. Tingginya rasio konsentrasi perusahaan juga mengindikasikan adanya hambatan masuk yang besar bagi perusahaan-perusahaan baru untuk masuk dalam industri tersebut. Begitu pula yang terjadi pada industri logam dasar besi baja di Indonesia yang mempunyai rasio konsentrasi cukup besar, ini berarti ada
47
hambatan masuk bagi perusahaan pada industri besi baja Indonesia. Hambatan masuk yang besar pada industri besi baja ini bukan disebabkan oleh adanya larangan atau adanya kebijakan pemerintah yang membatasi masuknya perusahaan-perusahaan dalam industri ini tetapi hambatan masuk itu lebih disebabkan karena adanya skala ekonomi yang besar untuk membangun perusahaan tersebut agar perusahaan dapat berproduksi dengan efisien, juga hambatan dari besarnya modal yang harus dimiliki untuk mendirikan industri ini. Perusahaan-perusahaan yang ingin masuk dalam industri ini mengalami kendalakendala tersebut karena bila tidak memiliki skala ekonomi yang besar atau modal yang besar, perusahaan akan tidak efisien dalam berproduksi sehingga perusahaan akan kalah bersaing dan sulit mempertahankan keberlanjutan proses produksinya. Krisis ekonomi yang melanda beberapa negara Asia termasuk juga Indonesia menyebabkan harga-harga meningkat dengan tajam terutama untuk harga bahan baku baja di pasar internasional sehingga memberikan dampak negatif bagi proses produksi industri besi baja nasional sebab industri ini masih menggunakan bahan baku yang sebagian besar adalah impor. Adanya ketergantungan impor bahan baku besi baja yang sangat tinggi membuat industri besi baja nasional sangat dipengaruhi oleh kondisi yang terjadi di pasar internasional seperti saat terjadi krisis ekonomi tersebut. Dampaknya, telah mempengaruhi struktur pasar industri besi baja nasional yang ditunjukkan dengan menurunnya rasio konsentrasi industrinya. Menurunnya rasio konsentrasi pada saat terjadi krisis ekonomi ini, bukan karena meningkatnya jumlah perusahaan yang masuk dalam industri ini atau
48
meningkatnya persaingan. Hampir semua subsektor industri besi baja di Indonesia terkena pengaruh krisis ekonomi yang diperkirakan terjadi dari tahun 1997 sampai 1999, yaitu berupa penurunan jumlah unit usaha terutama perusahaan-perusahaan dengan skala usaha yang kecil. Hal ini karena unit usaha yang berskala kecil kurang memiliki efisiensi sehingga banyak unit usaha tidak mampu bertahan dalam persaingan ketika terjadi kenaikan harga bahan baku atau kenaikan biaya input produksinya. Meningkatnya biaya input produksi tersebut juga berdampak pada penurunan output produksi perusahaan-perusahaan terbesarnya. Jadi, menurunnya rasio konsentrasi pada saat krisis ekonomi disebabkan oleh dua hal yaitu karena penurunan output produksi empat perusahaan terbesar dalam industri tersebut dan juga karena banyaknya jumlah unit usaha berskala kecil dengan kapasitas produksi yang rendah keluar dalam industri tersebut. Walaupun bentuk struktur pasar pada industri besi baja di Indonesia adalah oligopoli ketat dengan rasio konsentrasi yang tinggi tetapi persaingan antar perusahaan-perusahaan pada industri ini cukup besar, selain itu persaingan juga terjadi dengan produk-produk impor besi baja yang masuk dari negara lain. Ada beberapa negara yang diindikasikan melakukan praktek dumping dalam memasarkan produknya atau adanya produk baja ilegal sehingga dapat menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat. Hal ini tentu saja sangat mengancam kondisi industri besi baja dalam negeri. Namun, beberapa perusahaan pada industri besi baja nasional yang memiliki efisiensi baik dalam berproduksi masih mampu bertahan dalam persaingan tersebut sehingga masih mendapatkan pangsa pasar yang besar di pasar domestiknya walaupun pangsa pasar cenderung
49
menurun. Justru, yang menjadi kekhawatiran bagi keberlanjutan industri besi baja nasional adalah karena industri ini sangat bergantung terhadap impor bahan baku besi bajanya. Ditambah lagi, muncul permasalahan bahwa telah terjadi krisis baja dunia atau kelangkaan bahan baku baja di dunia akibat besarnya permintaan besi baja dari negara seperti China, Rusia, dan Irak pada tahun 2003. Hal ini tentu saja mempengaruhi struktur pasar pada industri besi baja Indonesia dan juga berpengaruh pula terhadap kinerja industrinya sebab adanya kelangkaan tersebut menyebabkan kenaikan harga bahan baku di dunia. Kondisi tersebut menyebabkan pada tahun 2003 sampai 2004, struktur pasar industri ini semakin memiliki rasio konsentrasi yang rendah. Penurunan ini terjadi akibat naiknya harga bahan baku baja dunia sehingga dengan adanya kenaikan harga bahan baku baja ini menyebabkan banyak perusahaan besi baja Indonesia yang mengurangi output industrinya dan banyak perusahaan dengan skala produksi kecil terpaksa keluar dari industri besi baja karena tidak mampu berproduksi dengan efisien. Penurunan pangsa pasar industri besi baja Indonesia diperkirakan masih akan terus terjadi karena China telah mengalami kelebihan produksi besi bajanya di tahun 2006. Hal ini menyebabkan membanjirnya produkproduk besi baja China di negara-negara berkembang, salah satunya ke pasar Indonesia mengingat proteksi untuk bea masuk impor dan hambatan non tarif besi baja Indonesia masih rendah dibandingkan dengan negara lainnya seperti Malaysia atau Thailand. Oleh karena itu, adanya permasalahan baik internal dan eksternal yang terjadi pada industri besi baja Indonesia menyebabkan lemahnya
50
struktur industri besi baja Indonesia karena pangsa pasar yang diraih industri ini semakin berkurang sehingga mengganggu pula kinerja industrinya. 5.2.
Analisis Kinerja Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia
Kinerja industri logam dasar besi dan baja Indonesia dapat dilihat dari pertumbuhan output produksi dan nilai tambah; besarnya kontribusi industri logam dasar besi dan baja terhadap total industri manufaktur di Indonesia dari sisi total penyerapan tenaga kerja, nilai tambah, dan penyediaan lapangan usaha atau unit usaha yang tersedia. Selain itu, kinerja industri dilihat dari efisiensi, dan besarnya keuntungan yang diperoleh oleh setiap perusahaan pada industri besi baja ini. 5.2.1. Pertumbuhan Output Produksi dan Nilai Tambah Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia.
Untuk melihat pertumbuhan output dan nilai tambah industri besi baja di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 5.2. Pertumbuhan output industri besi baja Indonesia sebelum terjadi krisis ekonomi sebesar 39,16 persen, pada saat itu kondisi perekonomian nasional dan dunia masih stabil. Akan tetapi, pada saat terjadi krisis ekonomi yang melanda beberapa negara Asia termasuk juga Indonesia dipertengahan tahun 1997 menyebabkan pertumbuhan output produksi industri besi baja Indonesia mengalami pertumbuhan yang negatif. Hal ini karena adanya kenaikan biaya produksi yang sangat besar sehingga banyak perusahaan mengurangi output produksinya bahkan menghentikan produksinya. Oleh karena itu, pada saat terjadi krisis ekonomi banyak perusahaan berskala kecil keluar dari industri tersebut, begitu pula dengan perusahaan yang berskala besar juga
51
menurunkan output produksinya sehingga berdampak pada penurunan rasio konsentrasinya. Penurunan output karena kenaikan biaya input tersebut, juga menyebabkan pertumbuhan nilai tambah yang negatif pada saat terjadi krisis. Tabel 5.2. Pertumbuhan Output dan Nilai Tambah Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Tahun 1995-2004 (persen) Tahun
Output Nilai Tambah 27101 27102 27103 271 27101 27102 27103 1995 1996 19,88 41,86 33,93 39,16 13,43 93,46 41,83 1997 - 11,62 - 25,29 -30,56 - 25,05 - 2,43 - 59,70 - 35,39 1998 479,08 - 74,79 - 60,37 - 30,14 141,35 - 63,40 - 69,47 1999 - 84,71 135,72 34,41 - 12,73 - 48,71 7,47 39,89 2000 46,83 0,65 39,61 9,77 55,42 7,67 46,56 2001 92,45 72,87 232,13 96,17 - 20,68 69,46 416,30 2002 - 77,09 - 29,00 58,48 - 17,18 - 39,39 - 11,36 0,18 2003 - 8,51 27,02 - 12,54 9,19 - 61,93 - 41,57 - 5,83 2004 - 64,02 12,22 - 36,06 - 6,40 - 65,04 - 2,51 - 40,88 Sumber : Diolah dari data BPS, 1995-2004 Keterangan : ISIC 271 = Industri Logam Dasar Besi dan Baja ISIC 27101 = Industri Besi dan Baja Dasar ISIC 27102 = Industri Penggilingan Baja ISIC 27103 = Industri Pipa dan Sambungan dari Besi dan Baja
271 83,97 - 55,93 - 49,73 - 9,17 21,04 93,58 - 10,07 - 28,81 - 24,84
Krisis ekonomi cukup berpengaruh terhadap aktifitas produksi industri besi baja nasional karena sebagian besar bahan baku untuk industri besi bajanya adalah impor. Impor bahan baku yang besar ini karena industri besi baja Indonesia tidak memiliki mesin-mesin untuk pengolahan bijih besi (bahan baku baja) yang ada di Indonesia, padahal Indonesia memiliki kandungan bijih besi yang sangat banyak. Seandainya industri besi baja nasional mampu mengolah sendiri bijih besi tersebut maka adanya kenaikan harga bahan baku besi baja dapat memberikan peluang keuntungan yang besar bagi industri besi baja Indonesia sehingga dapat meningkatkan kinerja industrinya dan pengaruh krisis ekonomi tidak terlalu besar mempengaruhi aktivitas produksinya.
52
Adanya krisis ekonomi yang menyebabkan kondisi perekonomian tidak stabil, mengakibatkan segala proyek-proyek pembangunan mulai terhenti sehingga konsumsi besi baja pun mengalami penurunan. Tahun 2000, masa setelah krisis ekonomi industri besi baja mulai mengarah pada usaha pemulihan sehingga industri ini memberikan pertumbuhan output dan nilai tambah yang positif. Hingga tahun 2001, kondisi industri besi baja secara keseluruhan mulai mengalami perbaikan karena perekonomian nasional mulai membaik sehingga konsumsi besi baja mulai meningkat ditandai dengan berbagai proyek pembangunan mulai berjalan kembali seperti proyek jalan tol, jembatan, apartemen, pusat perbelanjaan,
maupun permintaan industri lain yang
menggunakan produk baja sebagai bahan baku industrinya juga meningkat. Oleh karena itu, terjadi peningkatan output produksi besi baja nasional. Namun, hal itu tidak berarti industri besi baja nasional tidak mengalami tantangan lagi. Pada tahun 2002, industri besi baja nasional kembali menghadapi tantangan yang besar karena industri ini mengalami persaingan yang besar dengan produk baja impor. Pada tahun tersebut, banyak produk baja impor yang masuk terutama produk besi baja impor dengan harga dumping dan ilegal sehingga menyebabkan kinerja industri besi baja nasional terganggu. Oleh karena itu, terjadi pertumbuhan output dan nilai tambah yang negatif pula. Menurut data dari Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) (2002) menunjukkan bahwa pada tahun 2002 ada beberapa kasus dumping produk baja impor yang ada di Indonesia yaitu berupa produk lembaran canai panas (hot rolled coil/ HRC) dari India, Rusia, Turki, dan Ukraina; serta adanya kasus dumping
53
besi beton wire rod impor dari India dan Turki (Kompas, 2003). Hal tersebut menyebabkan persaingan yang tidak sehat pada industri besi baja nasional. Dampaknya,
adanya
produk-produk
impor
tersebut
banyak
mematikan
perusahaan-perusahaan besi baja dalam negeri yang kurang efisien. Perusahaan dengan efisiensi produksi yang kurang terpaksa menutup usahanya karena tidak mampu bertahan dalam persaingan tersebut sehingga di tahun tersebut industri besi baja nasional mengalami penurunan jumlah unit usaha dan menyebabkan penurunan output produksinya sebesar 17,18 persen, juga penurunan nilai tambahnya sebesar 10,07 persen. Sejak tahun 2003, terjadi kelangkaan bahan baku baja di dunia karena adanya kenaikan konsumsi besi baja yang sangat besar untuk negara-negara seperti China, Irak, dan Rusia. Besarnya konsumsi baja China ini karena pesatnya pertumbuhan ekonomi China dan adanya rencana pembangunan stadion olimpiade yang diselenggarakan di China pada tahun 2008. Irak pun meningkatkan konsumsi baja untuk memperbaiki infrastruktur yang hancur akibat perang. Begitu pula dengan Rusia, besarnya konsumsi baja karena seiring dengan semakin membaiknya kondisi negaranya. Saat itu, Rusia juga mulai mengurangi ekspor bahan baku besi baja karena untuk memenuhi sendiri kebutuhan bajanya (Ikhsan,2005). Kondisi tersebut menyebabkan bahan baku baja lebih banyak terserap untuk negara-negara yang mengkonsumsi baja dalam jumlah besar sehingga menyebabkan harga bahan baku baja mengalami kenaikan. Hal ini tentu berdampak pada aktivitas produksi dan kinerja industri besi baja Indonesia.
54
Industri besi baja Indonesia harus bersaing dengan negara-negara lain untuk mendapatkan bahan baku baja yang harganya meningkat sehingga industri besi baja nasional mengalami kenaikan biaya input produksi yang besar. Ini menyebabkan terjadi pertumbuhan nilai tambah yang negatif. Pada tahun 2003, pertumbuhan nilai tambah menurun sebesar 28,81 persen dan di tahun 2004 terjadi penurunan output produksi sebesar 6,40 persen serta penurunan nilai tambah sebesar 24,84 persen. Dengan demikian, kinerja industri besi baja nasional sangat dipengaruhi oleh kondisi-kondisi perekonomian dunia yang tidak menentu. Hal ini sangat mengkhawatirkan keberlanjutan proses produksi industri besi baja di masa yang akan datang sehingga menghambat pula perannya dalam memberikan sumbangan atau kontribusi bagi pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. 5.2.2. Kontribusi Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia terhadap Industri Manufaktur
Kontribusi industri besi baja Indonesia terhadap industri manufaktur dapat dilihat pada Tabel 5.3. Kinerja suatu industri dapat dilihat juga dari berapa besar kontribusinya dalam pembentukan PDB. Industri logam dasar besi baja merupakan salah satu industri manufaktur, untuk itu dalam penelitian ini melihat kinerja industri besi baja dari kontribusi yang diberikannya kepada industri manufaktur yang secara tidak langsung juga memberikan sumbangan terhadap PDB Indonesia.
55
Tabel 5.3. Kontribusi Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia terhadap Industri Manufaktur 1995-2004 (persen) Tahun 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Total
Nilai Tambah 27101 0,35 0,32 0,34 0,88 0,41 0,56 0,40 0,23 0,09 0,04 0,36
27102 5,82 8,92 3,92 1,54 1,51 1,30 2,17 1,80 1,09 1,32 2,94
27103 0,72 0,80 0,57 0,19 0,24 0,23 1,42 1,33 1,30 0,95 0,77
Rata2 1,91 2,12 1,73 1,22 1,06 0,99 1,71 1,26 1,57 1,71 1,36
Tenaga kerja 27101 0.091 0.093 0.103 0.313 0.170 0.168 0.108 0.010 0.113 0.065 0,132
27102 0.595 0.589 0.632 0.325 0.378 0.369 0.471 0.505 0.433 0.495 0,479
27103 0.363 0.361 0.311 0.116 0.176 0.165 0.279 0.309 0.317 0.310 0,271
Rata2 0.350 0.348 0.349 0.252 0.241 0.234 0.286 0.305 0.288 0.290 0,294
Unit Usaha 27101 0,074 0,052 0,076 0,126 0,095 0,072 0,103 0,076 0,094 0,116 0,088
27102 0,274 0,246 0,268 0,219 0,218 0,198 0,290 0,255 0,236 0,242 0,245
27103 0,288 0,265 0,246 0,149 0,172 0,072 0,206 0,232 0,207 0,218 0,205
Sumber : Diolah dari data BPS, 1995-2004
Besarnya kontribusi nilai tambah industri besi baja terhadap industri manufaktur dari tahun 1995 sampai tahun 2004 sebesar 1,36 persen. Pada tahun 2004, kontribusi nilai tambah yang diberikan industri besi baja nasional sebesar 1,71 persen. Tahun 1996 merupakan kondisi sebelum terjadinya krisis ekonomi, kontribusi yang diberikan industri besi baja cukup besar yaitu sebesar 2,12 persen kepada industri manufaktur. Namun, setelah terjadi krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997 sampai 1999 kontribusi nilai tambahnya mengalami penurunan yang cukup besar. Hal ini karena pada saat krisis ekonomi, terjadi kenaikan harga bahan baku besi baja yang diimpor sehingga menyebabkan naiknya biaya-biaya input produksinya. Banyak perusahaan terutama perusahaan berskala kecil terpaksa menghentikan proses produksinya, sedangkan perusahaan berskala besar yang masih bertahan terpaksa juga harus menurunkan kapasitas produksinya. Hal ini mengakibatkan terjadi penurunan nilai tambah industrinya sehingga mengurangi kontribusi nilai tambah industri besi baja terhadap industri manufaktur. Rata-rata kontribusi nilai tambah industri besi baja terhadap industri manufaktur paling besar disumbangkan oleh subsektor industri penggilingan baja
Rata2 0,212 0,188 0,197 0,165 0,162 0,114 0,199 0,188 0,179 0,192 0,179
56
yaitu sebesar 2,94 persen. Hal ini karena nilai tambah yang dihasilkan oleh industri penggilingan baja cukup besar tetapi belum mampu memberikan kontribusi nilai tambah yang menyamai atau melebihi kontribusi pada saat sebelum krisis ekonomi yaitu sebesar 8,92 persen kepada industri manufaktur. Kontribusi nilai tambah terendah diberikan oleh subsektor industri besi dan baja dasar. Rata-rata industri ini memberikan kontribusi sebesar 0,36 persen dari tahun 1995 sampai 2004. Hal ini karena jumlah unit usaha yang terdapat pada subsektor ini masih relatif lebih sedikit dibandingkan jumlah unit usaha dari subsektor industri besi baja yang lain sehingga nilai tambah yang dihasilkan rendah tetapi industri ini mampu menciptakan pangsa pasar terbesar pada industri besi baja di Indonesia. Dampak dari krisis ekonomi ini menyebabkan industri logam dasar besi dan baja sulit untuk memperbaiki bahkan meningkatkan produksinya sehingga mengakibatkan pertumbuhan nilai tambah yang negatif. Sejak krisis ekonomi tahun 1997, kinerja industri logam dasar besi dan baja mengalami penurunan dari tahun ke tahun dalam memberikan sumbangan nilai tambah terhadap total industri manufaktur di Indonesia. Bila dilihat dari kontribusi yang diberikan industri logam dasar besi dan baja Indonesia terhadap industri manufaktur dari sisi penyerapan tenaga kerja menunjukkan bahwa sektor ini merupakan industri yang padat modal karena penyerapan tenaga kerja industri ini rendah. Rata-rata kontribusi total penyerapan tenaga kerja terhadap industri manufaktur selama periode tahun 1995 sampai tahun 2004 hanya sebesar 0,294 persen. Angka ini sangat rendah bila
57
dibandingkan dengan kontribusi sektor industri manufaktur lainnya, seperti industri rokok kretek. Pada tahun 1999, kontribusi penyerapan tenaga kerja industri rokok kretek terhadap industri manufaktur sebesar 4,65 persen (Sumarno dan Kuncoro, 2003) sedangkan untuk tahun yang sama kontribusi penyerapan tenaga kerja industri logam dasar besi dan baja hanya sebesar 0,291 persen. Besarnya penyerapan tenaga kerja industri rokok kretek dikarenakan industri tersebut merupakan industri yang padat karya atau padat tenaga kerja sehingga total penyerapan tenaga kerjanya pun cukup besar. Industri yang padat modal cenderung pada penggunaan mesin-mesin berteknologi tinggi sehingga penyerapan tenaga kerjanya cenderung pada tenaga kerja yang terampil dan terdidik yang menguasai teknologi produksi besi dan baja. Berbeda dengan industri yang padat modal, industri padat tenaga kerja memberikan kinerja yang baik dalam penyerapan tenaga kerja industrinya sehingga memberikan peluang kesempatan kerja yang banyak untuk para pekerja. Hal ini dapat membantu mengatasi masalah pengangguran yang banyak diperbincangkan. Kontribusi industri logam dasar besi dan baja terhadap total industri manufaktur Indonesia dilihat dari sisi kontribusi jumlah unit usaha dari tahun 1995 sampai tahun 2004 secara rata-rata yaitu sebesar 0,179 persen. Nilai kontribusinya rendah karena jumlah unit usaha pada industri logam dasar besi dan baja Indonesia sangat sedikit dibandingkan industri-industri lain yang termasuk dalam industri manufaktur. Selama sepuluh tahun terakhir mulai dari tahun 1995 hingga tahun 2004, rata-rata kontribusi jumlah unit usaha terhadap industri
58
manufaktur untuk industri besi dan baja dasar hanya sebesar 0,088 persen, industri penggilingan baja memberikan kontribusi sebesar 0,245 persen, sedangkan industri pipa dan sambungan pipa dari besi baja memberikan kontribusi sebesar 0,205 persen. Kontribusi jumlah unit usaha terendah adalah industri besi dan baja dasar. Pengaruh dari krisis ekonomi memberikan kontribusi unit usaha industri besi baja terhadap industri manufaktur semakin rendah karena saat krisis banyak unit usaha yang menutup usahanya. Fluktuasi nilai mata uang rupiah terhadap dolar yang berlebihan pada masa krisis ekonomi, yang diikuti oleh peningkatan harga-harga yang sangat tinggi telah membawa kinerja yang kurang baik pada dunia usaha terutama juga yang dialami oleh industri logam dasar besi dan baja. Adanya krisis ekonomi menyebabkan
banyak
dunia
usaha
dalam
industri
ini
tidak
mampu
mempertahankan proses produksinya sehingga banyak unit usaha yang terpaksa tutup akibat fluktuasi harga tersebut. Fluktuasi harga yang tajam ini menyebabkan harga bahan baku yang di impor mengalami peningkatan harga yang cukup tinggi. Kondisi setelah terjadi krisis ekonomi, juga mengancam bahkan mematikan unit usaha besi baja nasional yaitu karena masuknya produk-produk baja impor yang menggunakan harga dumping atau bahkan merupakan produk baja ilegal. 5.2.3. Efisiensi Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia
Salah satu indikator yang juga digunakan untuk melihat kinerja suatu industri adalah dari tingkat efisiensi yang dihasilkan oleh industri tersebut. Efisiensi menunjukkan kemampuan suatu perusahaan atau industri untuk
59
meminimumkan biaya produksi yang dikeluarkan. Tabel 5.4 menunjukkan tingkat efisiensi industri logam dasar besi baja di Indonesia. Tabel 5.4. Tingkat Efisiensi Industri Logam Dasar Besi dan Baja di Indonesia Tahun 1995-2004 (persen) Tahun
Tingkat Efisiensi Industri Logam Dasar Besi dan Baja ISIC 27101 ISIC 27102 ISIC 27103 ISIC 271
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Total
44,34 40,98 47,25 15,45 81,38 86,02 24,34 107,45 27,48 26,50 50,12
94,09 195,05 55,43 107,41 30,91 28,86 32,90 44,10 16,58 14,09 61,94
58,14 63,76 56,81 38,71 40,94 37,81 90,12 42,78 47,63 42,51 51,92
83,86 151,86 54,92 34,27 36,15 35,81 40,63 45,36 25,72 19,65 52,82
Sumber : Diolah dari data BPS, 1995-2004
Kemampuan industri besi baja Indonesia meminimumkan biaya produksi yang dikeluarkan selama sepuluh tahun terakhir dari tahun 1995 sampai 2004 yaitu sebesar 52,82 persen. Bila dibandingkan dengan kondisi sebelum terjadinya krisis ekonomi yaitu di tahun 1996 menunjukkan bahwa tingkat efisiensi industri besi baja nasional cukup besar yaitu sebesar 151,86 persen. Hal ini berarti bahwa sebelum krisis ekonomi, kemampuan industri besi baja dalam menekan biaya produksi sangat baik sehingga menunjukkan industri besi baja berproduksi secara efisien dan memberikan kinerja industri yang cukup baik pula. Dengan demikian, industri besi baja mampu memberikan keuntungan yang besar. Hal ini juga dapat dilihat dari besarnya rasio konsentrasi yang dimiliki industri besi baja pada saat sebelum krisis ekonomi. Pada masa krisis ekonomi yang terjadi dipertengahan tahun 1997, efisiensi yang dihasilkan oleh industri besi baja semakin menurun dibandingkan sebelum
60
terjadi krisis ekonomi. Hal ini karena banyak perusahaan pada industri besi baja yang berproduksi kurang efisien karena adanya kenaikan harga-harga bahan baku besi baja yang sangat tinggi. Di tahun 1998, industri penggilingan baja mempunyai efisiensi yang besar yaitu sebesar 107,41 persen. Ini karena ada sebagian wilayah tempat berproduksinya industri tersebut, mampu menekan biaya input produksinya sehingga perusahaan tersebut efisien dalam berproduksi. Hal inilah yang menyebabkan tingkat efisiensi industri penggilingan baja secara keseluruhan cukup besar. Wilayah yang mampu meminimumkan biaya produksi yaitu industri penggilingan baja yang terletak di kabupaten Surabaya, Bekasi, Serang, dan Jakarta Utara (Tabel 5.5). Tabel 5.5. Efisiensi Industri Penggilingan Baja Indonesia, Tahun 1998 Kabupaten
Nilai Tambah (ribu rupiah) Medan 24198609 Jaktim 100335769 Jakut 54046981 Bogor 86565 Karawang 716659 Bekasi 109109369 Tanggerang 2920088 Serang 18361749 Semarang 49878726 Sidoarjo 131180054 Gresik 2475458 Surabaya 639801121 Pontianak 7471640 Ujung Pandang 4652844 Sumber : Diolah dari data BPS, 1998
Nilai Input (ribu rupiah) 45558501 130319203 42856109 20586512 4778378 83168959 12486954 7940793 164460567 132809098 9989607 360372798 16126604 34763301
Efisiensi (persen) 53,12 76,99 126,11 0,42 14,99 131,19 23,39 231,23 30,33 98,77 24,78 177,54 46,33 13,38
Saat terjadinya kelangkaan bahan baku baja di tahun 2003 akibat meningkatnya permintaan baja oleh negara-negara yang sedang melakukan proyek pembangunan besar-besaran yang menyebabkan kenaikan harga bahan baku baja di pasar dunia, juga mempengaruhi kinerja industri besi baja di
61
Indonesia sehingga industri besi baja nasional memiliki efisiensi produksi yang rendah. Di tahun 2003 tersebut, nilai efisiensinya hanya sebesar 25,72 persen dan efisiensi terendah terjadi pada tahun 2004 yaitu dengan nilai efisiensi sebesar 19,65 persen. Adanya kelangkaan bahan baku baja menyebabkan kenaikan harga bahan baku baja di pasar internasional sehingga mempengaruhi efisiensi produksi bagi ketiga subsektor industri besi baja nasional. Hal tersebut memberikan pertumbuhan nilai tambah yang negatif. Ini berarti bahwa adanya ketergantungan impor bahan baku yang sangat besar untuk industri besi baja Indonesia menjadikan industri besi baja Indonesia sangat tergantung atau terpengaruh dari kondisi yang terjadi di pasar internasionalnya sehingga berdampak kurang baik bagi kinerja industri besi baja Indonesia. Dalam teori ekonomi industri, dinyatakan bahwa semakin tinggi rasio konsentrasi maka dapat menyebabkan semakin tidak efisien industri tersebut berproduksi karena tingginya rasio konsentrasi menunjukkan perusahan dalam industri tersebut tidak bersaing sempurna. Perusahaan pada pasar persaingan sempurna cenderung efisien dalam mengalokasikan sumber dayanya. Namun, kondisi tersebut berbeda dengan yang terjadi pada industri logam dasar besi baja. Misalnya, walaupun industri besi baja mempunyai konsentrasi rasio yang cukup besar saat sebelum terjadi krisis ekonomi tetapi industri ini menunjukkan tingkat efisiensi yang cukup besar. Akan tetapi, setelah terjadi krisis ekonomi mengakibatkan ada sebagian besar perusahaan pada industri ini berproduksi kurang efisien sehingga memberikan rasio konsentrasi yang menurun. Oleh
62
karena itu, tingginya rasio konsentrasi tidak selalu berpengaruh buruk atau merugikan karena ada industri yang harus berproduksi dengan skala ekonomi yang besar atau membutuhkan modal yang sangat besar untuk berproduksi dengan efisien. Bila industri tersebut dipaksa untuk mengurangi atau menurunkan rasio konsentrasinya justru akan membuat perusahaan tersebut kurang efisien. Besarnya rasio konsentrasi sering diidentikkan dengan tingkat persaingan yang rendah. Untuk industri besi baja, tingginya rasio konsentrasi yang dihasilkan bukan karena tidak ada persaingan diantara perusahaannya tetapi karena adanya kemampuan perusahaan untuk meminimumkan biaya input untuk menghasilkan output yang optimal. Persaingan yang ada pada industri ini cukup besar, baik persaingan antar perusahaan di dalam industri tersebut ataupun persaingan dengan produk-produk baja impor. 5.2.4. Keuntungan Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia
Tabel 5.6 memperlihatkan kinerja industri logam dasar besi dan baja Indonesia dilihat dari sisi keuntungan (profit) yang dihasilkan pada tahun 1995 dan 2004. Dari Tabel 5.6 dapat dilihat bahwa kinerja industri logam dasar besi dan baja dari sisi keuntungan yang diperoleh mengalami penurunan baik untuk industri besi dan baja dasar, industri pengilingan baja, dan industri pipa dan sambungan pipa dari besi dan baja. Pada tahun 1995, industri besi dan baja dasar mempunyai keuntungan per perusahaan sebesar 1,92 persen sedangkan pada tahun 2004 menurun menjadi 0,87 persen. Hal ini berarti adanya hubungan yang negatif dengan jumlah perusahaan yang masuk sehingga semakin banyak perusahaan
63
yang masuk maka keuntungan per perusahaan menjadi semakin kecil dan memiliki korelasi positif dengan rasio konsentrasi industri. Tabel 5.6. Keuntungan Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Keuntungan/output Keuntungan/perusahaan (persen) (persen) CR4 (persen) Isic 1995 2004 1995 2004 1995 2004 27101 30,72 20,95 1,92 0,87 98,74 71,33 27102 12,35 0,82 0,25 82,52 60,74 48,48 27103 36,76 0,59 0,66 47,92 49,03 29,83 Sumber : Diolah dari Data BPS, 1995 dan 2004
Jumlah perusahaan 1995 2004 16 24 59 50 62 45
Keuntungan per perusahaan industri penggilingan baja pada tahun 1995 sebesar 0,82 persen kemudian pada tahun 2004 menjadi 0,25 persen. Namun mempunyai korelasi yang positif dengan jumlah perusahaan yang ada. Hal ini berarti bahwa jumlah perusahaan yang keluar dari industri hanyalah perusahaanperusahaan dengan skala usaha kecil atau sedang, juga terjadi penurunan output produksi disebagian besar perusahaan-perusahaan yang ada pada industri tersebut sehingga tidak mampu meningkatkan rasio konsentrasinya. Pada tahun 1995, industri pipa dan sambungan pipa dari besi dan baja mempunyai keuntungan per perusahaan sebesar 0,59 persen dengan jumlah perusahaan sebanyak 62 unit sedangkan pada tahun 2004 keuntungan per perusahaan sebesar 0,66 persen dengan penurunan jumlah perusahaan yang sangat besar sebanyak 17 perusahaan yang keluar dari industri ini. Penurunan jumlah perusahaan yang banyak ini hanya meningkatkan keuntungan per perusahaan sebesar 0,07 persen, kenaikannya hanya sedikit dibandingkan banyaknya jumlah usaha yang keluar. Ini juga berarti bahwa banyaknya jumlah perusahaan yang keluar tersebut merupakan perusahaan dengan skala usaha yang kecil. Begitu pula dengan rasio konsentrasi yang meningkat hanya sebesar 1,11 persen saja,
64
seharusnya secara teori bahwa semakin banyak perusahaan yang keluar maka semakin besar rasio konsentrasinya dan keuntungan per perusahaan yang dapat diperoleh juga besar. Pada saat terjadi krisis ekonomi, jumlah perusahaan pada industri besi baja semakin sedikit dan keuntungan yang diterima perusahaan juga semakin menurun karena nilai rasio konsentrasinya juga mengalami penurunan. Jadi, pada saat krisis ekonomi terdapat korelasi yang positif baik antara jumlah unit usaha, rasio konsentrasi dengan keuntungan per perusahaannya. Saat krisis ekonomi, banyaknya perusahaan yang keluar disertai dengan penurunan keuntungan yang diterima perusahaan dalam industri tersebut dan juga menurunnya rasio konsentrasi menyebabkan penurunan keuntungannya. Dilihat dari keuntungan per output industri logam dasar besi dan baja Indonesia mengalami penurunan, dimana untuk industri besi dan baja dasar pada tahun 2004 terjadi penurunan sebesar 9,77 persen dibandingkan pada tahun 1995, industri penggilingan baja tahun 2004 mengalami penurunan sebesar 36,13 persen dibanding tahun 1995, dan untuk industri pipa dan sambungan pipa dari besi dan baja mengalami penurunan sebesar 6,9 persen pada tahun 2004 bila dibandingkan tahun 1995. Dengan demikian bahwa secara teori, bertambah atau berkurangnya jumlah perusahaan mempengaruhi pangsa pasar industri logam dasar besi dan baja di Indonesia dan mempengaruhi pula nilai rasio konsentrasi industrinya serta akhirnya mempengaruhi keuntungan yang diperoleh tiap perusahaan. Adanya krisis ekonomi pada pertengahan 1997 dengan fluktuasi mata uang rupiah yang
65
sangat tajam disertai dengan stabilitas politik dan keamanan yang sangat kacau telah membawa dampak negatif bagi kinerja industri logam dasar besi dan baja karena secara keseluruhan telah mengurangi total produksinya, juga mengurangi penyerapan tenaga kerja dan penciptaan nilai tambah serta jumlah unit usahanya. Praktek dumping dan masuknya impor besi baja yang sangat besar di pasar dalam negeri terutama pula impor baja illegal, menurut Direktur Utama PT. Krakatau Steel berdampak sangat signifikan terhadap penjualan baja nasional karena penjualan baja menurun tajam (Tempointetaktif,2007). Hal ini karena, harga baja yang diproduksi dalam negeri lebih tinggi daripada baja impor yang djual dengan cara dumping tersebut sehingga keuntungan yang dihasilkan oleh industri besi baja nasional menjadi semakin menurun, berdampak pula pada penurunan kinerja industrinya. Hal pokok yang juga mempengaruhi terjadinya penurunan kinerja industri besi baja nasional sehingga mengganggu proses produksinya adalah karena adanya ketergantungan impor bahan baku baja yang sangat besar dan berpengaruh pula pada daya saing produk besi baja yang dihasilkan. Sangat sulit untuk menjadikan industri besi baja nasional tumbuh menjadi industri yang kuat jika bahan baku utamanya masih tergantung pada impor. Apalagi, adanya kenaikan gas dan energi listrik yang tinggi. Oleh karena itu, pemerintah harus menjadikan industri besi baja nasional tumbuh dan kuat dengan memanfaatkan potensi tambang bijih besi lokal dan juga membangun industri besi baja nasional menjadi kluster-kluster industri yang menghasilkan produk berdaya saing tinggi.
66
5.3.
Analisis Kluster Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia
Adanya kluster suatu industri memberikan banyak keuntungan bagi industri atau perusahaan-perusahaan yang ada dalam industri tersebut karena dengan
pengembangan
kluster
diharapkan
memberikan
penghematan-
penghematan biaya baik biaya transportasi, biaya produksi, pemasaran dan sebagainya. Adanya kluster dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi industri bersangkutan, salah satunya karena industri dengan mudah memiliki akses yang efisien terhadap bahan baku, tenaga kerja, informasi, industri terkait, industri pendukung dan sebagainya. Dengan meningkatnya produktivitas dan efisiensi maka daya saing industri dapat meningkat pula. Industri besi dan baja merupakan industri yang memiliki keterkaitan yang sangat erat antar sektor industri lainnya, baik dengan industri hulu atau industri hilirnya. Secara geografis, industri logam dasar besi dan baja ini amat terkonsentrasi pada sebagian wilayah di Indonesia. Oleh karena itu, masingmasing perusahaan dalam wilayah tersebut dapat berperan dalam tumbuh dan berkembangnya kluster industri logam dasar besi dan baja yang dapat menciptakan keunggulan kompetitif bagi industri tersebut. Pemilihan suatu lokasi industri logam dasar besi dan baja sangat tergantung pada beberapa faktor yang mendukung, diantaranya bahwa lokasi tersebut merupakan daerah bahan baku atau bahan pendukung, memiliki daerah pemasaran yang cukup baik, adanya atau dekat dengan pelabuhan dan prasarana yang mendukung, tersedianya tanah yang cukup luas, tersedia air yang cukup banyak untuk keperluan produksinya, kondisi politis daerah yang baik, serta
67
adanya tenaga kerja yang banyak. Faktor inilah yang cukup menunjang untuk didirikannya industri logam dasar besi dan baja serta potensial untuk dibangun dan dikembangkan suatu kluster industrinya. Berdasarkan analisis sebaran geografis diperoleh bahwa daerah atau lokasi industri logam dasar besi dan baja di Indonesia terdapat di empat pulau Indonesia yaitu Pulau Jawa (Gambar 5.1), Sumatera (Gambar 5.2), Kalimantan (Gambar5.3) dan Sulawesi. Dari empat pulau tersebut, industri logam dasar besi dan baja Indonesia terdapat di 25 kabupaten/kota yang ada. Pulau Jawa merupakan daerah utama industri logam dasar besi dan baja karena industri logam dasar besi dan baja hampir keseluruhan berada di Pulau Jawa yakni terdapat di 18 kabupaten dan kabupaten sisanya terdapat di luar Pulau Jawa. Berdasarkan analisis SIG ditunjukkan bahwa terdapat konsentrasi spasial untuk industri logam dasar besi dan baja, industri cenderung mengelompok di suatu daerah terutama daerah yang memiliki bahan baku atau bahan penolong dan dekat dengan sarana transportasi seperti pelabuhan-pelabuhan. Konsentrasi spasial lebih jelas terlihat di bagian barat Pulau Jawa.
Gambar 5.1. Peta Sebaran Geografis Industri Logam Dasar Besi dan Baja Pulau Jawa Sumber : Diolah dari Peta BPS
68
Gambar 5.2 menunjukkan peta sebaran geografis industri logam dasar besi dan baja di Pulau Kalimantan. Daerah utama industri besi baja di Pulau Kalimantan, tepatnya berada di Kabupaten Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat. Industri besi baja yang terdapat di Kabupaten Pontianak ini hanya terdapat satu subsektor industri yaitu industri penggilingan baja. Pada tahun 1995, jumlah tenaga kerja yang diserap oleh industri penggilingan baja di Kabupaten Pontianak hanya sebanyak 66 tenaga kerja, sedangkan pada tahun 2004, jumlah tenaga kerja yang diserap meningkat menjadi 89 tenaga kerja (Lampiran 1 dan 2).
Gambar 5.2. Peta Sebaran Geografis Industri Logam Dasar Besi dan Baja Pulau Kalimantan Sumber : Diolah dari Peta BPS
Industri logam dasar besi dan baja di Pulau Sumatera terletak di beberapa daerah yaitu di Kabupaten Asahan, Deli Serdang, Medan, Musi Banyuasin, dan Batam (Gambar 5.3). Sebagian besar subsektor industri besi baja di Pulau Sumatera lebih banyak berspesialisasi pada subsektor industri penggilingan baja dan pada industri pipa dan sambungan pipa dari besi baja. Pada tahun 1995, hanya terdapat empat kabupaten di Pulau Sumatera sebagai tempat industri besi baja beroperasi yaitu terletak di Kabupaten Dairi, Medan, Batam, dan Musi Banyuasin.
69
Pada tahun 2004, industri besi baja di Pulau Sumatera terletak di lima kabupaten, akan tetapi industri di kabupaten Dairi sudah tidak beroperasi lagi.
Gambar 5.3. Peta Sebaran Geografis Indsutri Logam Dasar Besi dan Baja Pulau Sumatera Sumber : Diolah dari Peta BPS
Tabel 5.7 menunjukkan hasil analisis frequencies dengan menggunakan SPSS Versi 13 yang memperlihatkan distribusi tenaga kerja dan nilai tambah industri logam dasar besi dan baja di Indonesia. Hasil dari uji tersebut memperlihatkan bahwa pada tahun 1995 dan 2004, distribusi tenaga kerja dan nilai tambah industri logam dasar besi dan baja tidak merata yang dilihat dari hasil uji nilai skewness dan kurtosis dimana rasio skewness dan rasio kurtosis tidak berada diantara -2 dan 2. Distribusi dikatakan normal jika rasio skweness maupun kurtosis berada diantara -2 dan 2.
Tabel 5.7. Rasio Skewness dan Kurtosis Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Tahun 1995 dan 2004 Rasio Tenaga Kerja Nilai Tambah Tahun 1995 Tahun 2004 Tahun 1995 Tahun 2004 Skewness 4,085 3,983 8,658 5,282 Kurtosis 3,392 4,053 18,256 7,795 Sumber : Diolah dari data BPS, 1995 dan 2004.
70
Gambar 5.4 dan 5.5 memperlihatkan histogram distribusi tenaga kerja dan nilai tambah industri logam dasar besi dan baja pada tahun 1995 dan 2004 untuk seluruh kabupaten di Indonesia, dimana menunjukkan adanya kecondongan positif dan memiliki sebaran tidak normal. Kecondongan positif menunjukkan bahwa ada beberapa kabupaten atau kota mempunyai tingkat kepadatan industri logam dasar besi dan baja yang tinggi dilihat dari jumlah tenaga kerja dan nilai tambah yang dihasilkan, tetapi ada juga kabupaten yang memiliki kepadatan industri besi baja yang rendah. Jadi, dari hasil uji frequencies dapat diindikasikan bahwa terdapat kluster industri logam dasar besi dan baja pada beberapa wilayah di Indonesia.
Gambar 5.4 Histogram Distribusi Tenaga Kerja dan Nilai Tambah Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Tahun 1995
Gambar 5.5 Histogram Distribusi Tenaga Kerja dan Nilai Tambah Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Tahun 2004
71
Untuk membedakan kabupaten yang memiliki tingkat kepadatan industri yang tinggi atau rendah pada industri besi baja ini, maka dibuat suatu kriteria “tinggi”, ”sedang”, dan “rendah” berdasarkan penyerapan tenaga kerja dan nilai tambah yang dihasilkan. Penentuan kriteria untuk menentukan daerah kepadatan industri dalam penelitian ini mengikuti kriteria yang digunakan oleh Kuncoro (2002). Kriteria-kriteria tersebut sebagai berikut : 1.
Tinggi, untuk tenaga kerja bila memiliki jumlah tenaga kerja lebih dari 6.000 pekerja, sedangkan untuk nilai tambah bila memiliki nilai lebih dari Rp. 100 miliyar.
2.
Sedang, untuk tenaga kerja bila memiliki tenaga kerja antara 1.000 sampai 6.000 pekerja, sedangkan untuk nilai tambah bila memiliki nilai antara Rp.15 miliyar sampai Rp. 100 miliyar.
3.
Rendah, untuk tenaga kerja bila memiliki jumlah tenaga kerja kurang dari 1.000 pekerja, sedangkan untuk nilai tambah bila memiliki nilai kurang dari Rp. 15 miliyar. Diasumsikan bahwa ciri daerah industri besi baja utama adalah daerah
yang memiliki kepadatan industri yang tinggi atau sedang, yang diterapkan secara bersamaan baik untuk tenaga kerja dan nilai tambahnya. Dapat dilihat pada lampiran 4 dan 5, kabupaten-kabupaten yang merupakan daerah industri besi baja utama di Indonesia pada tahun 2004 terdapat di 9 kabupaten. Kabupaten Cilegon sebagai daerah industri besi baja yang memiliki tingkat kepadatan industri yang tertinggi dalam penyerapan tenaga kerja dan nilai tambah yang dihasilkan dibandingkan kabupaten lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa Cilegon dapat
72
dianggap sebagai daerah kluster industri logam dasar besi baja di Indonesia. Kabupaten lain yang juga merupakan daerah industri logam dasar besi baja di Indonesia adalah Bekasi, Sidoarjo, Surabaya, Semarang, Batam, Medan, Tanggerang dan Jaktim. Daerah-daerah tersebut juga potensial untuk dapat dikembangkan menjadi kluster industri besi baja di Indonesia. Pada tahun 2004, penyerapan tenaga kerja dan nilai tambah terbesar pada industri logam dasar besi dan baja Indonesia berada di kabupaten Cilegon. Sebelum otonomi daerah, Cilegon termasuk ke dalam kabupaten Serang, tetapi setelah otonomi daerah tahun 2001, Cilegon membentuk kabupaten sendiri yaitu kabupaten Cilegon. Hal ini berarti bahwa mulai dari tahun 1995 hingga tahun 2004 penyerapan tenaga kerja dan nilai tambah terbesar untuk industri logam dasar besi dan baja paling besar disumbangkan oleh daerah Cilegon karena Serang sendiri setelah otonomi daerah hanya menduduki kelas “rendah” sehingga tidak dianggap sebagai daerah utama industri besi baja sebab di kabupaten Serang terdapat industri lain yang lebih berperan dalam memberikan nilai tambah dan menyerap tenaga kerjanya. Pada tahun 2004, Cilegon yang termasuk dalam kelas “tinggi” memiliki jumlah unit usaha sebanyak 7 unit usaha pada industri logam dasar besi dan baja. Jumlah unit usaha terbanyak berada di kabupaten Bekasi dengan unit usaha sebanyak 18 unit usaha. Hal ini menunjukkan bahwa banyak perusahaan logam dasar besi dan baja beroperasi di daerah tersebut daripada di daerah lain sehingga dapat disimpulkan terdapat pengelompokan industri besi baja dan dapat diindikasikan ada kluster pada daerah tersebut. Menurut Marshall (1919) dalam
73
Kuncoro (2002), kluster industri terjadi karena adanya konsentrasi pekerja yang terampil, berdekatan dengan pemasok spesialis dan tersedianya fasilitas untuk mendapatkan pengetahuan sehingga membuat perusahaan-perusahaan dalam satu industri cenderung mengelompok. Untuk mengetahui perbedaan skala kluster industri dapat digunakan indikator skala. Indikator skala dihitung dengan menggunakan total penyerapan tenaga kerja dan nilai tambah yang dihasilkan oleh industri tersebut. Dalam pembahasan ini, diasumsikan bahwa industri logam dasar besi dan baja dikelompokkan menjadi kluster-kluster industri dengan cara menggabungkan daerah-daerah industri baja yang saling berdekatan secara geografis menjadi daerah industri besi baja utama yang diperluas (Extended Industrial Areas). Kelompok industri yang diperluas tersebut terdiri dari Serang EIA (Serang dan Cilegon), Jabotabeka EIA (Jakarta, Bogor, Tanggerang, Bekasi, dan Karawang), Bandung, Semarang EIA (Semarang dan Klaten), Surabaya EIA (Pasuruan, Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto, dan Gresik), Medan EIA (Asahan, Deli Serdang dan Medan), Batam, Musi Banyuasin, Pontianak, dan Ujung Pandang. Lampiran 6 menunjukkan daerah industri logam dasar besi dan baja Indonesia dilihat dari sisi skala, daerah yang paling menonjol adalah Jabotabeka EIA dan Serang EIA baik dalam penyerapan tenaga kerja dan nilai tambah yang dihasilkan. Namun, Serang EIA menghasilkan nilai tambah yang lebih besar daripada Jabotabeka EIA. Hal ini berarti Serang EIA merupakan daerah perluasan industri logam dasar besi dan baja terbesar di Indonesia, setelah itu barulah
74
Jabotabeka EIA sebagai daerah perluasan industri logam dasar besi dan baja kedua terbesar. Terdapat ketimpangan distribusi aktivitas industri logam dasar besi baja antara Pulau Jawa dengan pulau lainnya dalam hal penyerapan tenaga kerja dan nilai tambah. Rata-rata kontribusi tenaga kerja dan nilai tambah yang terdapat di kabupaten di Pulau Jawa memberikan kontribusi lebih tinggi dibandingkan kabupaten yang ada di luar Pulau Jawa. Penyerapan tenaga kerja industri besi baja di Pulau Jawa pada tahun 2004 sebesar 84,86 persen terhadap total tenaga kerja industri besi baja di Indonesia, sedangkan untuk kontribusi nilai tambah kabupaten di Pulau Jawa sebesar 78,83 persen, sisanya untuk industri di luar Pulau Jawa. Oleh karena itu, kluster industri logam dasar besi dan baja di Indonesia lebih terkonsentrasi secara spasial di Pulau Jawa. Daerah-daerah industri utama besi baja di Jawa lebih banyak terdapat di daerah bagian barat dan timur Pulau Jawa. Konsentrasi
industri
dalam
suatu
kluster
dapat
diukur
dengan
menggunakan salah satu ukuran yang dinamakan indeks spesialisasi. Indeks spesialisasi juga digunakan untuk mengukur kemampuan suatu daerah dalam menciptakan
kesempatan
kerja
(Kuncoro,
2002).
Lampiran
7
dan
8
memperlihatkan indeks spesialisasi untuk kabupaten atau kota industri logam dasar besi dan baja di Indonesia. Pada tahun 1995, secara rata-rata indeks spesialisasi industri logam dasar besi dan baja di Indonesia sebesar 2,13 sedangkan tahun 2004 nilai indeks spesialisasinya sebesar 3,61. Nilai indeks spesialisasi yang melebihi satu berarti bahwa daerah tersebut mampu menciptakan
75
kesempatan kerja yang sangat besar. Hal ini berarti, industri logam dasar besi dan baja di Indonesia cenderung memberikan kesempatan pangsa tenaga kerja yang besar hingga tahun 2004, terkecuali pada saat terjadi krisis ekonomi dipertengahan tahun 1997 karena pada saat krisis banyak tenaga kerja yang di PHK. Pada tahun 1995, Kabupaten Serang masih tergabung dengan propinsi Jawa Barat memberikan nilai indeks spesialisasi terbesar dibandingkan dengan daerah lainnya yaitu sebesar 16,38. Kemudian pada tahun 2004, setelah otonomi daerah Banten memisahkan diri dari Jawa barat dan membentuk propinsi sendiri ternyata kabupaten Cilegonlah yang mempunyai nilai indeks spesialisasi yang sangat tinggi yaitu sebesar 44,61. Daerah-daerah yang memberikan sumbangan tenaga kerja dan nilai tambah yang besar atau yang termasuk dalam kelas “tinggi” ternyata mempunyai indeks spesialisasi yang lebih dari satu. Menurut Kuncoro (2002) dikatakan bahwa indeks spesialisasi yang tinggi pada suatu industri diasumsikan akan mempercepat pertumbuhan industri yang terdapat di daerah tersebut. Tingginya indeks spesialisasi yang dimiliki Cilegon mengindikasikan ada keunggulan komparatif yang dimiliki daerah tersebut dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya. Artinya bahwa industri logam dasar besi dan baja di Cilegon memiliki pangsa tenaga kerja yang besar. Daerah-daerah yang memiliki indeks spesialisasi kurang dari satu menunjukkan bahwa daerah tersebut kurang atau tidak memiliki keunggulan komparatif. Pada tahun 1995, daerah industri besi dan baja di Indonesia yang memiliki indeks spesialisasi terendah adalah industri di kabupaten Malang sehingga tahun 2004 industri di kabupaten malang sudah tidak beroperasi lagi
76
akibat rendahnya keunggulan komparatif yang dimiliki. Pada tahun 2004, indeks spesialisasi terendah berada di kabupaten Pasuruan karena pangsa tenaga kerja industri besi baja di daerah tersebut sangat rendah. Dari analisis sebaran geografis dapat diindikasikan bahwa sampai tahun 2004 hanya ada satu daerah kluster industri utama logam dasar besi dan baja di Indonesia yaitu terletak di kabupaten Cilegon Propinsi Banten. Hal ini terbukti karena industri logam dasar besi dan baja di Cilegon memberikan sumbangan cukup besar baik pada penyerapan tenaga kerja maupun nilai tambahnya dibandingkan dengan industri logam dasar besi dan baja yang terdapat di kabupaten lain (Lampiran 5). Kabupaten Cilegon pun mempunyai indeks spesialisasi yang besar, oleh karena itu industri besi baja yang ada di Cilegon diharapkan akan mempercepat pertumbuhan industri maupun kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut karena memberikan kesempatan pangsa tenaga kerja yang besar. Cilegon diindikasikan sebagai kluster bagi industri logam dasar besi dan baja karena lokasi Cilegon strategis yaitu dekat dengan pelabuhan Merak sehingga memudahkan untuk mendatangkan bahan baku dan memasarkan produknya; terdapat universitas yang menyediakan banyak tenaga kerja terampil dan terdidik; dekat dengan para pemasok besi baja seperti industri seng, pipa, kaleng dan sebagainya; adanya sarana dan prasarana pendukung seperti infrastruktur jalan yang baik dan sebagainya; selain itu dukungan dari pemerintah daerah setempat.
77
5.4.
Rekomendasi Kebijakan
Berdasarkan analisis struktur, kinerja, dan kluster pada industri logam dasar besi baja maka terdapat beberapa kebijakan yang diajukan dari hasil penelitian ini. Pertama, peran pemerintah dan juga pihak-pihak terkait untuk menciptakan strategi dalam rangka meningkatkan atau memulihkan kembali kinerja industri besi baja. Kinerja industri besi baja nasional yang menurun lebih disebabkan karena adanya ketergantungan impor bahan baku besi baja yang sangat besar sehingga menyebabkan aktivitas produksi industri besi baja nasional sangat dipengaruhi oleh kondisi pasar baja internasional. Sedikit saja terjadi guncangan perekonomian seperti krisis ekonomi di pertengahan tahun 1997 mempengaruhi kinerja industri baja nasional. Ketergantungan impor bahan baku ini dikarenakan industri besi baja Indonesia belum mampu menciptakan dan mengembangkan teknologi pengolahan bijih besi lokal yang digunakan sebagai bahan baku besi baja. Pemerintah dapat membuat kebijakan yang mengatur dan mengontrol terlaksananya program pengolahan bijih besi lokal dengan memprioritaskan danadana untuk tujuan tersebut karena dana yang berkaitan dengan riset untuk pengembangan teknologi pengolahan bijih besi lokal sangat sedikit bahkan tidak ada, selain itu mendorong pihak-pihak terkait lainnya untuk mensukseskan program tersebut seperti peneliti atau lembaga penelitian dan pihak industri itu sendiri. Penciptaan teknologi pengolahan besi baja berbasis sumber daya lokal ini dapat mengurangi ketergantungan impor bahan baku industri besi baja nasional yang sangat besar sehingga industri tersebut tidak lagi terpengaruh oleh kondisi
78
pasar internasional yang tidak menentu. Oleh karena itu, industri besi baja nasional diharapkan mampu memiliki efisiensi yang tinggi sehingga dapat menciptakan nilai tambah yang besar dan memiliki produk yang berdaya saing tinggi di pasar domestik maupun internasional. Kedua, untuk mengatasi persoalan mengenai masuknya produk-produk baja ilegal atau produk impor dengan harga dumping, kebijakan yang harus ditempuh adalah kebijakan yang mengharuskan penggunaan standard nasional (SNI) bagi produk-produk baja yang masuk ke Indonesia atau dengan kata lain memproteksi industri besi baja melalui hambatan non tarif. Hal ini karena hambatan non tarif untuk melindungi industri dalam negeri masih sangat kurang. Selain hambatan non tarif, pemerintah juga perlu melakukan harmonisasi tarif bea masuk agar antara industri hulu dan hilir sama-sama tidak dirugikan. Olah karena itu, untuk perlindungan industri dalam negeri harus dilakukan dengan kebijakan tarif dan non tarif sebab kebijakan tarif saja tidak akan cukup. Selain itu pula, pemerintah perlu menetapkan kebijakan adanya izin impor anti dumping bagi produk baja impor dari negara-negara pengimpor. Mengatasi permasalahan produk dumping yang masuk ke Indonesia, sebaiknya pemerintah memberikan dukungan untuk menjadikan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) sebagai lembaga independen yang benar-benar mengatasi kasus dumping tersebut beserta menetapkan sanksinya dan tidak lagi menjadi lembaga yang hanya sekedar melaporkan atau merekomendasikan kasus dumping kepada pemerintah. Akan tetapi, memberikan wewenang sepenuhnya kepada KADI untuk menuntaskan dan membuat keputusan terhadap kasus
79
tersebut. Untuk mengatasi masalah impor ilegal, hal ini benar-benar perlu pengawasan yang ketat oleh pemerintah seperti pengawasan di sejumlah pelabuhan dan juga pengecekan ulang terhadap dokumen-dokumen impor yang ada sebab tidak menutup kemungkinan adanya pemalsuan dokumen impor tersebut. Misalnya, dengan memasukkan nilai baja impor yang lebih rendah dari seharusnya pada dokumen tersebut sehingga bea masuk impor yang dikenakan menjadi lebih kecil. Ketiga, untuk meningkatkan daya saing produk yang tinggi, peran yang dilakukan oleh pemerintah yaitu dengan kebijakan pengembangan kluster-kluster industri terutama kluster industri besi baja Indonesia yang kuat. Kebijakan umum yang diperhatikan dalam upaya pembentukan kluster industri yang kuat adalah dengan memperkuat industri-industri yang terdapat dalam rantai nilai mencakup industri inti, industri pendukung, dan industri-industri terkait sehingga dapat mendorong keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif. Berdasarkan analisis kluster industri, ada beberapa kabupaten sebagai daerah utama industri besi baja dengan mempunyai indeks spesialisasi lebih dari satu. Daerah yang memiliki indeks spesialisasi lebih dari satu menunjukkan bahwa daerah tersebut memiliki keunggulan komparatif sehingga sangat potensial untuk dikembangkan menjadi kluster-kluster industri yang kuat. Kabupatenkabupaten yang memiliki nilai indeks spesialisasi lebih dari satu meliputi Kabupaten Bekasi, Sidoarjo, Surabaya, Semarang, Batam, Medan, Jakarta Timur, dan Cilegon sehingga berdasarkan analisis kluster ini dapat menjadi rekomendasi kepada pemerintah untuk mengembangkan daerah-daerah tersebut menjadi
80
kluster-kluster industri logam dasar besi baja yang kuat dan berkembang agar industri besi baja Indonesia mampu menciptakan daya saing yang tinggi diantara produk-produk baja dari negara lainnya. Namun, inti permasalahan yang harus diatasi oleh pemerintah adalah dengan mengatasi secepat mungkin ketergantungan impor bahan baku baja bagi industri besi baja Indonesia agar dapat meningkatkan efisiensi sehingga tidak mengkhawatirkan keberlanjutan industri besi baja nasional kedepannya dan kemudian membangun dan mengembangkan menjadi kluster-kluster industri besi baja yang kuat.
81
VI. 6.1.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari hasil analisis mengenai struktur, kinerja dan kluster industri logam dasar besi dan baja Indonesia, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1.
Struktur industri logam dasar besi dan baja Indonesia adalah oligopoli ketat (CR4= 71,15 persen). Tingginya rasio konsentrasi menunjukkan adanya hambatan masuk pada industri ini. Hambatan masuk yang besar pada industri besi baja ini bukan disebabkan oleh adanya larangan atau adanya kebijakan pemerintah yang membatasi masuknya perusahaanperusahaan dalam industri ini tetapi hambatan masuk itu karena adanya skala ekonomi yang besar agar dapat berproduksi dengan efisien.
2.
Kinerja industri logam dasar besi baja di Indonesia secara keseluruhan kurang memberikan kinerja usaha yang memuaskan terutama saat terjadi krisis ekonomi dan setelah munculnya beberapa permasalahan pada industri tersebut ditandai dengan pertumbuhan output dan nilai tambah yang negatif, selain itu terjadi penurunan kontribusi nilai tambah, unit usaha dan tenaga kerja industri logam dasar besi baja terhadap industri manufaktur. Pada saat terjadinya kelangkaan bahan baku baja pada tahun 2003 akibat meningkatnya permintaan baja dunia, juga diindikasikan mempengaruhi kinerja industri besi baja Indonesia sehingga efisiensi yang dihasilkan rendah dan memberikan keuntungan yang menurun.
3.
Pada tahun 2004 diindikasikan terdapat satu kluster terbesar industri logam dasar besi dan baja di Indonesia yaitu terletak di kabupaten Cilegon
82
Propinsi Banten. Hal ini terbukti karena industri logam dasar besi dan baja di Cilegon memberikan sumbangan cukup besar baik pada penyerapan tenaga kerja maupun nilai tambahnya. Kabupaten-kabupaten dengan nilai indeks spesialisasi lebih dari satu cukup potensial untuk dibangun dan dikembangkan menjadi kluster-kluster industri logam dasar besi baja yang kuat sehingga dampaknya dapat meningkatkan daya saing industrinya. 6.2.
Saran
Berdasarkan hasil dan pembahasan dalam penelitian ini, maka ada beberapa saran yang diajukan yaitu sebagai berikut : 1.
Mendorong dan mengembangkan teknologi-teknologi pengolahan untuk mengolah bahan baku baja lokal yang diperlukan industri logam dasar besi dan baja Indonesia yang selama ini masih diimpor karena kandungan bijih besi yang ada di Indonesia tidak bisa diolah dengan menggunakan teknik pengolahan bijih besi yang konvensional. Dengan menciptakan teknologi pengolahan bijih besi tersebut sehingga dapat mengurangi ketergantungan impor yang tinggi di masa yang akan datang.
2.
Perlu dukungan pihak-pihak terkait dalam upaya pengembangan kluster industri yang kuat sehingga diharapkan dapat menghasilkan produk yang berdaya saing tinggi. Dengan daya saing produk yang tinggi maka akan meningkatkan kinerja industri besi baja kedepannya.
83
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistika. 1995-2004. Statistika Industri Besar dan Sedang. BPS, Jakarta. ----------------------------. 1995-2004. Direktori Industri Pengolahan. BPS, Jakarta. ----------------------------. 1995-2004. Indikator Industri Besar dan Sedang. BPS, Jakarta. ----------------------------. 1995-2004. Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB). BPS, Jakarta Barus, B dan U.S. Wiradisastra. 2000. Sistem Informasi Geografi Sarana Manajemen Sumberdaya. Laboratorium Penginderaan Jauh dan Kartografi, Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Departemen Perindustrian. 2005. Perindustrian, Jakarta.
Profil
Industri
Logam.
Departemen
Djojodipuro, M. 1992. Teori Lokasi. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, Jakarta. Dumairy. 2000. Perekonomian Indonesia. Erlangga, Jakarta. Elektro Indonesia. 2006. “Mempertanyakan Struktur Industri Manufaktur Nasional”. http://www.elektroindonesia.com/elektro/khusus4a.html [Desember 1996] Hasibuan, N. 1993. Ekonomi Industri : Persaingan, Monopoli, dan Regulasi. LP3ES, Jakarta. Ikhsan. A. 2005. “Kebutuhan Bahan Baku Baja Masih Terus Meningkat”. BEI NEWS Edisi 28 Thn. V. Jaya, W. K. 2001. Ekonomi Industri. PT.BPFE, Jogyakarta. Kompas. 2006. “Industri Baja Diminta ke Kalsel”. [Kompas Online]. http://kompas.com/kompas-cetak/0603/24/ekonomi/2536494.htm [24 Maret 2006] ----------- 2003. “Industri Baja Tak Sekuat Baja itu Sendiri”. [Kompas Online]. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0305/13/ekonomi/309106.htm [13 Mei 2003]
84
Kuncoro, M. 2002. Analisis Spasial dan Regional Studi Aglomerasi dan Kluster Industri Indonesia. AMP YKPN, Jogyakarta. Kuncoro, M dan A. Salamun. 2005. “Analisis Struktur Kinerja dan Kluster Industri elektronika Indonesia 1990-1999”. Jurnal Kebijakan Ekonomi, Vol 1 No.2. Marbun, S.I. 1994. Dampak Proteksi Bagi Industri Dasar Besi dan Daja di Indonesia: Analisis Tabel I-O 1990 [tesis]. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Fakultas Ekonomi: Universitas Indonesia. Porter, M.E. 1990. The Competitive Adventage Of Nation. Free Press, New York. Prahasta, E. 2002. Konsep-Konsep Dasar Sistem Informasi Geografi. CV Informatika, Bandung. PT. Krakatau Steel. 1973. Sejarah Berdirinya Pabrik Baja Indonesia (P.T Krakatau Steel). PT. Krakatau Steel, Cilegon. Razif, M.2005. Aglomerasi Industri Besar dan Sedang di Jabodetabek [tesis]. Sekolah Pasca Sarjana : IPB, Bogor. Rochman, N.T. 2003. “Baja dan Baja Super, Pilar Masyarakat Berbasis Industri”. [Kompas Online]. www.nano.lipi.go.id/utama.artikel&1112532268&1. [20 Februari 2006]. Safitri, S. 2006. Analisis Struktur Perilaku Kinerja Industri Besi Baja di Indonesia [skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen: IPB, Bogor. Shepherd, W. G. 1990. The Economics of Industrial Organization. Third Edition. Prentice-Hall.Inc, New Jersey. Simatupang, E.P. 2006. Dampak Efisiensi Lokasi Industri Terhadap Nilai Tambah Sektor Industri Manufaktur di Kabupaten Bogor [skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen: IPB, Bogor. Sumarno,S.B dan Mudrajad. K. 2003. “Struktur Kinerja dan Kluster Industri Rokok Kretek Indonesia 1996-1999”. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol 18, No.1 : 61-87. Tempointeraktif. 2007. “30 Persen Perusahaan Baja Kolaps”. http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2007/06/27/brk,20070627102616,id.html [27 Juni 2007]
85
Wartaekonomi. 2006. “Industri Baja: Defisit Mengancam”. http://www.wartaekonomi.com/indikator.asp?aid=7211&cid=25 [12 Juni 2006] Yuliawati. 2007. “Kadin Memuat Sepuluh Kluster Industri Dalam Road Map 2010”.[tempointeratif].http://www.tempointeratif.com/hg/ekbis/2007/03/2 6/brk,20070326-96404,id.html [26 Maret 2007].
86
LAMPIRAN
87
Lampiran 1. Data Nilai Tambah, Output, Tenaga kerja dan Input Industri Logam Dasar Besi Baja Per Kabupaten Indonesia Tahun 1995 Kabupaten Dairi
Tenaga Kerja
Nilai Tambah
Input
27102
27103
27101
27102
27103
27101
27102
27103
27101
27102
27103
82786.687
1292937.72
1167241.28
25
308
241
193343.278
6520675.928
13612424.02
110556.591
5227738.21
12445182.73
31273009.5
12002832.4
207607514
17779363.23
Medan Batam
3582
93920975.2
Musi. B 14684671
Jakarta Barat
587134.07
Jakarta Utara
10875155
270940841
30094852.7
884
3631
157198619
8242476.23
648
1090
33450501.6 100314924
2157526.6
3588595
Serang
377875.26
2222288140
29893610.9
2071246.5
770575.238
5845192.1
3391546.71
181
4255544.47
805030061.5
334
380
7073856.05
89
7252
1412
1306824.54
175
26
275
561 274
Karang Anyar
25554.7268
Pati
28398.2845
Tegal
126960.656 16946846
978
401911303.4
11985828.83
50848871.9
347501504
112149348.3
176424090.1
4916329.48
74524889.1
76109165.58
4033558723
119202124.7
928949.282
1811270583
89308513.89
10693378.71
2443819.69
8622132.2
1673244.453
33865095.1
38190109.08
Pasuruan
33753.4962
33934564.61
23
462381.13
436826.4031
23
89041.5812
60643.29666
45
438842.066
2164
239825915.5
2648
1139
85
60 22
474763799
311881.4097
156963470.1 136288633.2
796145.814
30473548.4
2076142.085
92620.73466
221004.102
45003679.8
2637522.842
20
Gresik
3743352.601 5979221.518
78113484.06
861 1184
244712684 7226408.73
117208160 13232005.4
116726785
145599849.9
38131.6427 103445546
125441700.5
375308528.8
Pasuruan 209653065
534089221
269316.614
Malang Sidoarjo
2551977.438 118250824
13337850.08
420
451
155536553.2
13677184.41
1170
561380.757
53849428.5
127601940
1528
Klaten
Semarang
132935495
142
27807025
Tanggerang Bandung
2704
20220013.1 5188145.627
604
6111441.36
Bekasi
23566885.14
23396233.45
856450.681
7697962.89
Karawang
29782195.6 117487860.3
325 50
Bogor
238880523
120 2636168.19
Jakarta Timur
716 1145
3176220.4
Jaksel
Tanggerang
Output
27101
283741270.7
55261008.76
3051929.89
1643017.9 64764.12456
185976487
140016624.1 54489.09193 19080473.62
265110735
180295724
42029003.36
2830925.79
846872.0865 31010.62838
88
Lampiran 1. Lanjutan. Surabaya
298479.4
Pontianak
1077145285
20103913.9
35
29611131.8 4650881.04
Ujungpandang
15095434.5
475629.312
4013158334
494024545
Sumber : Diolah dari data BPS,1995
969
594407.048
66
Bitung 244561884
2118 88
3786
1590602690
155010707.6
295927.652
43528347.01 23060369.2
426
86
24846
15151
796174988
513457404
134906793.8
13917215.2 18409488.2
73849245.76
5674177.699
8278275625
1343756373
551613104
58753811.3
5198548.387
4265117291
849731828.3
89
Lampiran 2. Data Nilai Tambah, Output, Tenaga kerja dan Input Industri Logam Dasar Besi Baja Per Kabupaten Indonesia Tahun 2004 Nilai Tambah
Tenaga Kerja
Output
Input
Kabupaten 2004 Asahan Deli Serdang
27101
27102
27103
6902.6062
27101
27102
27103
20
27101
27102
27103
22574.7115
27101
27102
27103
15672.1053
7622784.21
941337.283
177
248
70099684.43
4137738.946
62476900.2
3196401.663
Medan
83204627.7
1584017.58
1932
190
765155878.7
8739040.873
681951251
7155023.291
Musi. B
233717.541
Batam Jakarta Timur Jakarta Barat Jakarta Utara
127 263374428
967143.64
85194621.5
60
364996.06 483571.82
2977972.34
Bogor
1408958.94
Karawang
18542103.4
Bekasi
140774919
Bandung
8139583.14
Bekasi
20302564.7
Klaten 31155186.7 40863.811
Sidoarjo
17691615
Gresik
7065035.2 3659026.8
Serang Tanggerang
788
130
9712771.31
359
235122.19
618
11614092.1
3191
140805326 2409109.91
71958250.4
508 860
45733644.2
1112
1040020.31
173
4991037.48
606
152947701
4214487.71
5994705.81
17816692.15
424
4708873.892
77
94933049.38
507
1232605182
227 493
89199705.69
185716428
14838719.81
58109826.57
3299914.96
48397055.25
299336.3751
76390946
64214.18504
69485099.02
1091830263
57871006.9
66712622.5 191627895.4
68897141
620751.5348
2070
283793484.1
1437
83561808.6
230
7455626.96
365
381
33063659.3
1311
2553
360
270
221
1808123.07
74852205.63 686
17340490.9 9844580.87
119669645 458006.2588
196976718.4
252638297
146775468.1
467970132
156727503.4
25232034.8
11539778.31
328444156
585352876.4
13467350
32512015.48
26012.5176 608775458.1
202461147.6
65870193.5
3860560.665
6243535.99
27641144.74
16530815.8
25998624
401503615.5
738300577.6
17681837.75
38506721.29
13681464.1
270101609.4 209
459375549
489020.807
66876.3288 1702
228495628.4 3616245.91
217817582.7
682 7742186.52
544570170.1
145
50201250.3
73059459.2
3499040.16
2291694.9
189
29371405.8 1833809
4583389.55
20
1212091
Surabaya Tanggerang
30
5282195.84 491870056.9
854016.865
162745.276
Pasuruan Mojokerto
947
63 32101154.8
Semarang
5515913.38 2313
27021993.02
2820540.36
240730204 43728259.72
8010771.84
23522952.9
35986073.19
90
Lampiran 2. Lanjutan Cilegon
390230766
Pontianak Ujung Pandang
55875435.4
33325055
184579693
1503
4287143024
89
5755838.13
458149.59
1133901091
816249126
Sumber : Diolah dari data BPS,1995
6412
2804
650425206
3896912257
83737130.03
580
20
21418
13393
159084719
465845512.8
27861694.7
72787635.51
2741029.598
9179645178
2736237474
125759664
67031797.4
2282880.008
8045744088
1919988349
91
Lampiran 3. Keuntungan Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Tahun 1995-2004.
Tahun 27101 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Keuntungan per Output 27102 27103
0.307171021 0.290657915 0.320873394 0.133730613 0.448683628 0.474943276 0.195745309 0.517965602 0.215553052 0.209479925
Sumber : Diolah dari Data BPS.
0.484781918 0.661079393 0.356628471 0.517865472 0.236092412 0.252557258 0.247578171 0.309102127 0.142189622 0.123523412
0.367644429 0.38933418 0.362265979 0.279088277 0.290464427 0.304922348 0.474006227 0.29964354 0.322636157 0.298310776
Keuntungan per Perusahaan (%) 27101 27102 27103 1.919818883 2.422149292 1.887490552 0.495298568 2.136588704 2.968395476 0.889751405 3.237285011 1.134489746 0.872833023
0.821664268 1.159788408 0.594380785 1.10184143 0.491859192 0.573993767 0.399319631 0.572411347 0.29622838 0.247046823
0.592974886 0.627958355 0.593878653 0.872150867 0.76438007 0.802427231 1.077286879 0.611517428 0.768181326 0.662912837
92
Lampiran 4. Peringkat Kabupaten/Kota Menurut Jumlah Tenaga Kerja dan Nilai Tambah Pada Industri Logam Dasar Besi Dan Baja Indonesia Tahun 1995. Kelas
Propinsi
Kabupaten
Tinggi
Jabar DKI Jakarta Jatim Sumut Jateng Jatim Jabar Jabar DKI Jakarta Riau Jatim Jabar Sumut Sulsel DKI Jakarta Jateng Jabar Jatim Jabar Sumsel Sulut Kalbar DKI Jakarta Jateng Jateng Jateng Jatim
Serang Jaktim Sidoarjo Medan Semarang Surabaya Bekasi Tanggerang Jakut Batam Pasuruan Bogor Dairi Ujung P. Jaksel Klaten Bandung Gresik Karawang Musi. B Bitung Pontianak Jakbar Tegal Karanganyar Pati Malang
Sedang
Rendah
Sumber : Diolah dari data BPS, 1995
Unit Usaha 9 16 12 9 7 9 9 13 8 7 2 5 4 5 1 6 2 3 1 1 1 1 2 1 1 1 1
TK 8753 7219 4971 4298 3142 3122 2698 2421 1919 1145 883 604 574 512 325 274 201 145 142 120 88 66 50 45 23 23 20
Kelas
Propinsi
Kabupaten
Tinggi
Jabar Jatim Jatim DKI Jakarta DKI Jakarta Jabar Jatim Riau Jateng Jabar Sumut Kalbar Sulsel Jabar Jabar Sulut Sumsel Jabar DKI Jakarta Sumut Jatim DKI Jakarta Jateng Jateng Jatim Jateng Jateng
Serang Surabaya Sidoarjo Jaktim Jakut Tanggerang Pasuruan Batam Semarang Bekasi Medan Pontianak Ujung P Bogor karawang Bitung Musi. B Bandung Jaksel Dairi Gresik Jakbar Klaten Tegal Malang Pati Karanganyar
Sedang
Rendah
Nilai Tambah (000 Rupiah) 2.252.559.626 1.097.547.679 326.330.616,30 315.720.364,50 176.316.250,20 119.553.329,30 117.241.913,10 93.920.975,20 70.796.274,47 61.257.526,57 43.275.841,88 29.611.131,83 15.571.063,77 7.697.962,89 6.111.441,36 4.650.881,04 3.176.220,40 2.841.821,74 2.636.168,19 2.542.965,69 1.017.149,92 587.134,07 561.380,76 126.960,66 38.131,64 28.398,28 25.554,73
93
Lampiran 5. Peringkat Kabupaten/Kota Menurut Jumlah Tenaga Kerja dan Nilai Tambah Pada Industri Logam Dasar Besi Dan Baja Indonesia Tahun 2004. Kelas Propinsi Kabupaten Unit Usaha TK Kelas Propinsi Kabupaten Nilai Tambah (000 Rupiah) Tinggi Banten Cilegon 7 7915 Tinggi Banten Cilegon 574.810.459,60 Sedang Jabar Bekasi 18 4892 Riau Batam 263.374.428,50 Jatim Sidoarjo 9 4251 jabar Bekasi 244.649.826,30 Jatim Surabaya 8 3864 Jatim Surabaya 226.007.160,40 Jateng Semarang 6 2930 jatim Sidoarjo 204.230.585,50 Riau Batam 11 2313 Sedang DKI jakarta Jaktim 86.161.765,13 Sumut Medan 4 2122 Sumut Medan 84.788.645,28 Banten Tanggerang 11 1780 Jateng Semarang 81.356.437,02 Jatim Gresik 10 1352 Kalbar Pontianak 55.875.435,37 DKI Jakarta Jaktim 5 1007 DKI Jakarta Jakut 35.562.698,93 Rendah DKI Jakarta jakut 6 948 Banten serang 29.371.405,84 Jabar Bogor 3 783 Banten Tanggerang 26.943.256,01 Jabar Karawang 4 695 Jabar karawang 18.777.225,58 Banten Serang 2 682 Rendah Jatim gresik 14.465.182,63 Sulsel Ujung P 4 600 Jabar Bogor 11.121.730,25 Sumut Deli S 4 425 Sumut Deli S 8.564.121,50 Jatim Mojokerto 3 403 Jabar bandung 8.139.583,14 Jabar bandung 1 189 Sulsel Ujung P 6.213.987,72 Jateng klaten 2 145 Jatim mojokerto 2.252.111,27 Sumsel Musi B 127 DKI Jakarta Jakbar 364.996,06 Kalbar Pontianak 89 Sumsel Musi B 233.717,54 DKI Jakarta Jakbar 2 63 Jateng klaten 162.745,28 jatim Pasuruan 1 20 Jatim Pasuruan 40.863,81 Sumut Asahan 1 20 Sumut Asahan 6.902,61 Sumber : Diolah dari data BPS, 2004.
94
Lampiran 6. Daerah Utama Industri Logam Dasar Besi Dan Baja Utama Indonesia Berdasarkan Subsektor Tahun 2004. EIA Serang Jabotabeka Bandung Semarang Surabaya Medan Batam Musi B Pontianak Ujung P EIA (Jawa) Industri Baja
27101 tda 873 tda tda 1911 20 tda tda tda tda 2784 2804
% 0 2,32 0 0 5,08 0,05 0 0 0 0 7,45
27102 7094 6992 189 860 3378 2109 tda 127 89 580 18513 21418
TK % 18,86 18,59 0,50 2,29 8,98 5,61 0 0,34 0,24 1,54 56,94
Sumber : Diolah dari data BPS, 2004.
27103 1503 2303 tda 2215 4601 438 2313 tda tda 20 10622 13393
% 3,99 6,12 0 5,89 12,2 1,16 6,15 0 0 0,05 35,6
Total 8597 10168 189 3075 9890 2567 2313 127 89 600 31919 37615
27101 tda 7308 tda tda 26009 6,9 tda tda tda tda 33318 33325
% 0 0,37 0 0 1,31 0,00035 0 0 0 0 1,68
Nilai tambah (Juta Rupiah) 27102 % 27103 419602 21,1 184579 306037 15,4 110235 8139 0,41 tda 31155 1,57 50363 216273 10,9 204712 90827 4,58 2525 tda 0 263374 234 0,01 tda 55874 2,82 tda 5755 0,29 458 981208 549891 1134901 57,19 816249
% 9,30 5,55 0 2,54 10,32 0,13 13,27 0 0 0,023 41,13
Total 604181 423581 8139 81519 446995 93359 263374 234 55875 6214 1564418 1984475
95
Lampiran 7. Indeks Spesialisasi Industri Logam dasar besi dan Baja Indonesia 2004.
Propinsi
Kabupaten
Sumut
Asahan Deli Serdang Medan Batam Musi B Jaktim
Riau Sumsel DKI Jakarta
TK Industri Besi Baja 20 425 2122 2313 127 1007
Jakbar 63 Jakut 948 Jabar Bogor 783 Karawang 695 Bekasi 4892 Bandung 189 Jateng Klaten 145 Semarang 2930 Jatim Pasuruan 20 Sidoarjo 4251 Mojokerto 403 Gresik 1352 Surabaya 3864 Banten Tanggerang 1780 Serang 682 Cilegon 7915 Kalbar Pontianak 89 Sulsel Ujung P 600 Sumber : Diolah dari data BPS.
TK Eir Eit Sirt Industri Manufa ktur 14419 0,00139 0,00869 0,15995 49162 0,00864 0,00869 0,99425 41650 0,05095 0,00869 5,86306 102278 0,02261 0,00869 2,60184 2442 0,05201 0,00869 5,98504 97036 0,01038 0,00869 1,19448 61370 196314 164145 79514 272751 92721 15125 82520 87916 149267 30436 81116 156101 214752 71740 20417 21848 19804
0,00102 0,00483 0,00477 0,00874 0,01794 0,00204 0,00959 0,03551 0,00023 0,02848 0,01324 0,01667 0,02475 0,00829 0,00951 0,38767 0,00407 0,03029
0,00869 0,11738 0,00869 0,55581 0,00869 0,54891 0,00869 1,00575 0,00869 2,06444 0,00869 0,23475 0,00869 1,10357 0,00869 4,08631 0,00869 0,02647 0,00869 3,27733 0,00869 1,52359 0,00869 1,91829 0,00869 2,84810 0,00869 0,95397 0,00869 1,09436 0,00869 44,61105 0,00869 0,46835 0,00869 3,48562
96
Lampiran 8. Indeks Spesialisasi Industri Logam dasar besi dan Baja Indonesia 1995.
Propinsi
Kabupaten
Sumut
Dairi Medan Batam Musi B Jaksel
Riau DKI Jakarta
TK Industri Besi Baja 574 4298 1145 120 325
Jaktim 7219 Jakbar 50 Jakut 1919 Jabar Bogor 604 Karawang 142 bekasi 2698 Bandung 201 Tanggerang 2421 Serang 8753 Jateng Klaten 274 Karanganyar 23 Pati 23 Tegal 45 Semarang 3142 Jatim Malang 20 Pasuruan 883 Sidoarjo 4971 Gresik 145 Surabaya 3122 Kalbar Pontianak 66 Sulut Bitung 88 Sulsel Ujung P 512 Sumber : Diolah dari data BPS.
TK Industri Manufa ktur 56252 54531 56483 20311 20059
Eir
Eit
Sirt
0,01020 0,07882 0,02027 0,00591 0,01620
0,01049 0,01049 0,01049 0,01049 0,01049
0,97235 7,51382 1,93232 0,56339 1,54433
138671 78801 196999 223987 45731 185930 256333 178994 50938 21826 38706 15596 10378 43690 34659 68047 180568 67359 159295 25898 5033 18095
0,05206 0,00063 0,00974 0,00269 0,00311 0,01451 0,00078 0,01353 0,17184 0,01255 0,00059 0,00147 0,00434 0,07192 0,00058 0,01298 0,02753 0,00215 0,01959 0,00255 0,01748 0,02829
0,01049 0,01049 0,01049 0,01049 0,01049 0,01049 0,01049 0,01049 0,01049 0,01049 0,01049 0,01049 0,01049 0,01049 0,01049 0,01049 0,01049 0,01049 0,01049 0,01049 0,01049 0,01049
4,96282 0,06006 0,92850 0,25643 0,29647 1,38322 0,07436 1,28979 16,38131 1,19638 0,05624 0,14013 0,41373 6,85605 0,05434 1,23737 2,62440 0,20496 1,86749 0,24309 1,66635 2,69685
97
Lampiran 9. Hasil Analisis Frequencies Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Tahun 1995. N
Valid Missing
Mean
Nilai Tambah 27
0
0 175990546.79 59 90333349.709 15 7697962.8900 469385853.94 240 22032307988 1231800.000 3.879
1621.5926
Std. Error of Mean
447.68859
Median
512.0000
Std. Deviation
2326.25818
Variance
5411477.097
Skewness
1.830
Std. Error of Skewness Kurtosis Std. Error of Kurtosis
.448
.448
2.958
15.919
.872
10
23.0000
.872 2252534071.2 7 25554.73 2252559626.0 0 36184.9680
25
88.0000
1017149.9200
50
512.0000
7697962.8900 117241913.10 00
Range
8733.00
Minimum
20.00
Maximum Percentiles
Tenaga Kerja 27
8753.00
75
Sumber : Diolah dari data BPS
2698.0000
98
Lampiran 10. Hasil Analisis Frequencies Industri Logam Dasar Besi dan Baja Indonesia Tahun 2004. N
Valid Missing
Mean
Tenaga Kerja 24
Nilai Tambah 24
0
1.880
0 82644802.969 6 27470945.679 48 22860240.795 0 134579599.33 289 18111668556 600940.000 2.493
.472
.472
3.721
7.156
1567.2917
Std. Error of Mean
400.00760
Median
739.0000
Std. Deviation
1959.62903
Variance
3840145.955
Skewness Std. Error of Skewness Kurtosis Std. Error of Kurtosis Range
.918
.918
7895.00
574803556.99
Minimum
20.00
6902.61
Maximum
7915.00
574810459.60
Percentiles
10
41.5000
101804.5450
25
156.0000
3242580.3825 22860240.795 0 85818485.167 5
50 75
Sumber : Diolah dari data BPS.
739.0000 2265.2500