ANALISIS POTENSI EKONOMI DAN KEUANGAN WILAYAH SEBAGAI DASAR PERENCANAAN DALAM WACANA PEMBENTUKAN PROPINSI KAPUAS RAYA
OLEH RESTU MARTANI H14104092
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN
RESTU MARTANI. Analisis Potensi Ekonomi dan Keuangan Wilayah Sebagai Dasar Perencanaan dalam Wacana Pembentukan Propinsi Kapuas Raya (dibimbing oleh WIWIEK RINDAYATI)
Dengan disahkannya UU No.22 Tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi UU No.32 Tahun 2004 mendorong banyak daerah untuk melepaskan diri dari ikatan wilayah administrasi di atasnya. Begitu pula dengan lima Kabupaten di Propinsi Kalimantan Barat yaitu Kabupaten Sintang, Sanggau, Kapuas Hulu, Melawi dan Sekadau yang ingin membentuk Propinsi Kapuas Raya. Pembangunan yang tidak merata serta rentang kendali yang sangat lemah yang dikarenakan faktor jarak yang sangat jauh dari ibu kota Pontianak dijadikan sebagai alasan dalam upaya tersebut. Keinginan untuk membentuk sebuah daerah otonom baru, dalam hal ini adalah propinsi Kapuas Raya perlu didukung oleh potensi daerah yang baik termasuk di dalamnya yaitu potensi ekonomi dan keuangan. Kedua potensi tersebut merupakan faktor yang sangat penting karena akan mendukung kemandirian Propinsi Kapuas Raya di masa yang akan datang apabila telah lepas dari Propinsi Kalimantan Barat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis potensi ekonomi dan keuangan, serta membangun model perencanaan pembangunan wilayah di Propinsi Kapuas Raya. Potensi ekonomi dilihat dari sektor yang menjadi basis bagi Propinsi Kapuas Raya yang diukur dengan menggunakan metode Location Quotient (LQ) serta potensi ekonomi daerah berdasarkan perhitungan DAU yang sangat bermanfaat dalam menentukan besarnya DAU yang akan diterima. Sedangkan potensi keuangan dapat diukur melalui seberapa besar kontribusi pajak dan retribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD), seberapa besar rasio PAD, pajak dan retribusi terhadap PDRB serta seberapa besar derajat desentralisasi fiskal Propinsi Kapuas Raya. Untuk membangun model perencanaan pembangunan digunakan analasis gravitasi dan model interaksi ruang yang bermanfaat dalam menentukan pusat pertumbuhan yang terbaik, yang mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi tertinggi sehingga dapat memebrikan efek multiplier bagi daerah disekitarnya. Selain analisis gravitasi dan model interaksi ruang digunakan pula analasis deskriptif untuk mendapatkan model pembangunan yang sesuai dengan potensi-potensi yang dimiliki oleh Propinsi Kapuas Raya. Berdasarkan analisis yang dilakukan, sektor yang menjadi basis bagi setiap kabupaten di Propinsi Kapuas Raya adalah sektor pertanian dan sektor pertambangan dan penggalian. Namun sektor basis tersebut mengalami pergeseran ketika dibandingkan terhadap Propinsi Kapuas Raya dan terhadap ratarata PDB Indonesia, di mana sektor sektor sekunder dan tersier seperti sektor listrik, gas dan air bersih; sektor bangunan; sektor perdagangan hotel dan restoran serta sektor jasa menjadi sektor basis di beberapa kabupaten. Kabupaten Kapuas Hulu memiliki nilai Potensi Ekonomi Daerah (PED) tertinggi. Hal ini menunjukkan bahwa Kabupaten Kapuas Hulu merupakan kabupaten yang paling mandiri di antara keempat kabupaten yang lainnya.
Untuk potensi keuangan, kontribusi pajak dan retribusi masih mengalami fluktuasi dengan rata-rata 18,31 persen dan 27,65 persen. Rasio pajak masih berfluktuasi dengan rata-rata 0,08 persen, rasio retribusi dan PAD meningkat dengan rata-rata 0,19 persen dan 0,55 persen. Derajat desentralisasi fiskal masih sangat rendah, terlihat dari proporsi PAD dan BHPBP yang rendah dengan ratarata sebesar 2,44 persen dan 9,09 persen serta tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap dana transfer dari pemerintah pusat dengan rata-rata sebesar 81,73 persen. Berdasarkan analisis gravitasi, interaksi antara Kabupaten Sintang dengan Sanggau memiliki nilai tertinggi, ini menandakan bahwa kedua kabupaten tersebut dijadikan sebagai pusat pertumbuhan karena mampu memberikan pertumbuhan ekonomi yang paling tinggi dan diharapkan akan memberikan dampak (efek multiplier) terhadap kabupaten yang lainnya. Menurut data potensi, Propinsi Kapuas Raya sangat berpotensi menjadi kawasan agropolitan dengan komoditi kelapa sawit dan karet sebagai komoditi unggulan. Berdasarkan keunggulan komparatif (Comparatif Advantage), pengembangan kawasan agropolitan dengan komoditi unggulan kelapa sawit dikembangkan di Kabupaten Sanggau dan karet di Kabupaten Sintang.. Sebaiknya pemekaran Propinsi Kapuas Raya ditunda selama beberapa tahun ke depan dikarenakan masih ada kabupaten yang belum genap berumur tujuh tahun (PP No. 78 Tahun 2007), selain itu sektor primer dan sekunder masih belum mampu memberikan kontribusi yang besar. Bila dilihat dari segi kemampuan keuangan daerah, Propinsi Kapuas Raya masih sangat tergantung terhadap bantuan dari pemerintah pusat. Untuk menunjang kawasan agropolitan maka perlu dibangun kawasan industri (industrialisasi) untuk menampung hasil panen yang dihasilkan. Selain itu perlu dibangun infrastruktur yang baik guna memudahkan dalam distribusi serta mobilisasi orang dan barang. Yang terakhir yaitu pembangunan fasilitas pelayanan publik yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat di kawasan agropolitan tersebut.
ANALISIS POTENSI EKONOMI DAN KEUANGAN WILAYAH SEBAGAI DASAR PERENCANAAN DALAM WACANA PEMBENTUKAN PROPINSI KAPUAS RAYA
OLEH RESTU MARTANI H14104092
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi Pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN ISTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
Dengan ini, menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa
: Restu Martani
Nomor Registrasi Pokok : H14104092 Program Studi
: Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi
: Analisis Potensi Ekonomi dan Keuangan Wilayah Sebagai
Dasar
Perencanaan
Dalam
Wacana
Pembentukan Propinsi Kapuas Raya
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si NIP. 131 653 137
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS NIP. 131 846 872
Tanggal Kelulusan :
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir dengan nama Restu Martani pada tanggal 20 Maret 1986 di Gunung Kidul, Jogyakarta. Penulis merupakan anak terakhir dari tiga bersaudara dari pasangan Noor Siswanto dan Siti Samsilah. Jenjang pendidikan penulis lalui tanpa hambatan, penulis pernah bersekolah di SDN 3 Tomalima, Passo, Ambon dari tahun 1992 hingga tahun 1996 karena orang tua dipindahtugaskan, maka penulis melanjutkan di SDN 15 Pontianak hingga tahun 1998. Pendidikan menengah penulis tempuh di dua sekolah yaitu SLTP N 3 Pontianak pada tahun 1998 hingga 2000 dan SLTP N 2 Karanganom, Klaten hingga tahun 2001 kemudian menamatkan sekolah di SMUN 1 Karanganom, Klaten pada tahun 2004. Pada tahun 2004, penulis diterima di IPB melalui jalur USMI pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi Mahasiswa, penulis aktif di beberapa organisasi yaitu FORMASI dan KMK (Keluarga Mahasiswa Klaten). Penulis pernah mengikuti beberapa kepanitian yaitu Java Cup dan Seminar Pra Nikah sebagai Danus serta Eksmus (Ekspresi Muslimah) sebagai Koordinator konsumsi.
KATA PENGANTAR
Puji Syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Analisis Potensi Ekonomi dan Keuangan Wilayah Sebagai Dasar Perencanaan Dalam Wacana Pembentukan Propinsi Kapuas Raya”. Pembentukan daerah otonom baru tidaklah mudah karena memerlukan analisis mendalam mengenai potensi yang dimiliki untuk mendukung kemandirian daerah otonom tersebut. Oleh karena itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai topik ini. Di samping hal tersebut, skripsi ini juga merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, kepada pihakpihak di bawah ini : 1. Allah swt. Hanya dengan rahmat-Mu lah hamba bisa menyelesaikan skripsi ini. Ampunilah hamba-Mu yang tidak pandai mensyukuri nikmat yang Engkau berikan 2. Ibu Wiwiek Rindayati selaku dosen pembimbing skripsi yang telah dengan sabar membimbing dan memberikan nasehat-nasehat, masukan, serta kritikan yang sangat membantu dalam penulisan skripsi ini 3. Pak Alla Asmara selaku dosen penguji utama serta Ibu Fifi Diana Thamrin selaku dosen dari Komisi Pendidikan (Komdik) yang telah memberikan saran serta kritikan yang sangat mambangun dan membantu dalam proses perbaikan skripsi ini. 4. Seluruh keluarga, kedua orang tua Bpk. Noor Siswanto dan Ibu Siti Samsilah yang selalu memberi dorongan untuk segera menyelesaikan skripsi ini. Ketiga kakak penulis, yaitu Mbak Ita, Mas Untung dan Mbak Lia. Terima kasih atas dukungan serta omelannya 5. Teman-teman satu bimbingan Irma, Della, dan Anwar. Terima kasih atas dukungan serta perhatiannya. 6. Sahabat-sahabat IE’41 : Khurum, Laswati, Nina, Ela, SunSun, Merlin, Bagus, Dwita, serta teman-teman yang tidak bisa ditulis satu per satu. Terima kasih
atas segala dukungan, tangis dan tawa yang memberi warna dalam persahabatan. 7. Sahabat-sahabat Klaten (KMK) : Ningtse, Yunita, Haris, Yodhi, Nanang, Chabib, Tika, Tuti, Ririn, Ari, Shohib, Ringga, Azhar, Catur, Wulan, Mitha, Udin, Rukin. Terima kasih atas canda tawa serta dukungannya 8. Teman-teman di Klaten : Trikun, Anik, Ipul, Mulyono, Dika, Tiwi, Indri, Retno, Ijul, Teguh, Mas Sarmin dan Ipin terima kasih perhatiannya serta dorongan 9. Sahabatku di Pontianak : Bangun Subekti. Terima kasih atas perhatian yang tidak pernah berhenti. 10. Aulia Crew : Tiara, Supi, Irup, Ajeng. Aku merindukan tawa bersama kalian. 11. Adik-adikku di Griya Biru : Avi, Zafira, Eva, Muthi, Cher, Atis, Laila, Yaya, Mia. Tetap rajin ya 12. Mbak-mbakku di Casper : Mbak Nita dan Mbak Riya. Ayolah semangat. Cepet lulus 13. Adik-adik di FORMASI : Ririn, Devi, Novi, Wina, Vivi 14. Teman-teman yang telah memberikan saran dan kritik pada seminar penulis. Terima kasih atas saran dan kritik yang sangat membantu dalam perbaikan skripsi ini
Bogor, Januari 2009
Restu Martani H14104092
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR ........................................................................................ viii DAFTAR TABEL ................................................................................................. xi DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiv DAFTAR LAMPIRAN......................................................................................... xv I.
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 1 1.2 Perumusan Masalah ................................................................................ 4 1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................... 7 1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................. 7 1.5 Ruang Lingkup Penelitian ....................................................................... 8
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1
Pengertian Daerah dan Wilayah ................................................. 9
2.1.2 Pengertian Pembangunan Ekonomi dan Pertumbuhan Ekonomi ................................................................................... 10 2.1.3 Konsep Desentralisasi dan Otonomi Daerah ............................ 13 2.1.4 Konsep Pembentukan dan Pemekaran Daerah/Wilayah ........... 16 2.1.5 Fungsi dan Peran Pemerintah .................................................... 18 2.1.6 Keuangan dan Desentralisasi Fiskal ......................................... 19 2.1.7 Struktur Keuangan Daerah......................................................... 21 2.1.8 Birokrasi dan Biaya Birokrasi ................................................... 22 2.1.9 Strategi Pembangunan yang Seimbang dan Keseimbangan antar Daerah ............................................................................... 23 2.1.10 Teori Pusat Pertumbuhan (Cental Place Theory) ..................... 24 2.1.11 Model Perencanaan Pembangunan Wilayah Agropolitan ........ 25 2.2 Tinjauan Empiris ................................................................................... 27 2.3 Kerangka Pemikiran .............................................................................. 29 III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data .......................................................................... 32
3.2 Metode Analisis Data 3.2.1 Analisis Potensi Ekonomi 3.2.1.1 Analisis Location Quotient (LQ).................................. 32 3.2.1.2 Analisis Potensi Ekonomi Menurut Perhitungan DAU ............................................................................ 35 3.2.2 Analisis Potensi Keuangan Daerah 3.2.2.1 Kontribusi Pajak dan Retribusi Daerah ........................37 3.2.2.2 Rasio PAD, Pajak, dan Retribusi Daerah .................... 38 3.2.2.3 Derajat Desentralisasi Fiskal ....................................... 39 3.2.3 Model Perencanaan Pembangunan Wilayah Berdasarkan Data Potensi Wilayah 3.2.3.1 Analisis Gravitasi dan Interaksi Ruang ...................... 40 3.2.3.2 Deskripsi Perencanaan Pembangunan Wilayah ......... 41 3.3 Konsep dan Definisi Data 3.3.1
Produk Domestik Reginal Bruto (PDRB) ............................... 42
3.3.2
PAD, Pajak dan Retribusi ........................................................ 42
IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH 4.1 Letak dan Kondisi Geografis ................................................................ 44 4.2 Penduduk ............................................................................................... 46 4.3 Kondisi Perekonomian Daerah ............................................................. 47 4.4 Kondisi Keuangan Daerah .................................................................... 49 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Potensi Ekonomi 5.1.1
Analisis Location Quotient (LQ) ............................................. 52
5.1.2
Analisis Potensi Ekonomi Menurut Perhitungan DAU ........... 64
5.2. Potensi Keuangan Daerah 5.2.1
Kontribusi Pajak dan Retribusi Daerah terhadap PAD ............ 66
5.2.2
Rasio PAD, Pajak, dan Retribusi Daerah terhadap PDRB ...... 71
5.2.3
Derajat Desentralisasi Fiskal antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah ............................................................. 78
5.3 Model Perencanaan Pembangunan Wilayah Berdasarkan Data Potensi Wilayah 5.3.1
Analisis Indeks Gravitasi dan Interaksi Ruang ....................... 86
5.3.2
Deskripsi Perencanaan Pembangunan Wilayah ....................... 87
VI. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 94 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 97 LAMPIRAN ....................................................................................................... 101
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1.1
Pertumbuhan Ekonomi Menurut Kabupaten Tahun 2004-2006 Menurut Harga Konstan Tahun 2000 Propinsi Kalimantan Barat (dalam persen) .................................................................................... 3
1.2
Sumbangan Daerah Propinsi Kapuas Raya .................................................. 6
4.1
Kabupaten dan Jumlah kecamatan di Propinsi Kapuas Raya .................... 44
4.2
Angka Melek Huruf dan Indeks Pembangunan Manuasia di Propinsi Kapuas Raya Tahun 2006 ........................................................... 47
4.3
PDRB ADHK Tahun 2000 Propinsi Kapuas Raya Menurut Kabupaten Tahun 2004-2006 (dalam jutaan rupiah).................................. 47
4.4
Pendapatan Per Kapita ADHK Tahun 2000 Propinsi Kapuas Raya Menurut Kabupaten tahun 2004-2006 (balam jutaan rupiah) ................... 48
4.5
Pertumbuhan Ekonomi Propinsi Kapuas Raya Menurut Kabupaten Tahun 2004-2006 (dalam persen)............................................................... 49
4.6
Realiasasi Pajak Propinsi Kapuas Raya Tahun 2004-2006 ....................... 50
4.7
Realisasi Retribusi Propinsi Kapuas Raya Tahun 2004-2006 ................... 50
5.1
Nilai Rata-Rata LQ Propinsi Kapuas Raya Menurut Kabupaten Terhadap Propinsi Kalimantan Barat, Kapuas Raya dan PDB Rata-rata Indonesia Tahun 2004-2006 ...................................................... 52
5.2
Potensi Ekonomi Daerah Berdasarkan Perhitungan DAU Propinsi Kapuas Raya............................................................................................... 65
5.3
Kontribusi Pajak dan Retribusi terhadap PAD Kabupaten Sintang Tahun 2004-2006........................................................................................ 66
5.4
Kontribusi Pajak dan Retribusi terhadap PAD Kabupaten Sanggau Tahun 2004-2006 ........................................................................ 68
5.5
Kontribusi Pajak dan Retribusi terhadap PAD Kabupaten Kapuas Hulu Tahun 2004-2006 ................................................................. 68
5.6
Kontribusi Pajak dan Retribusi terhadap PAD Kabupaten Melawi Tahun 2005-2006 ....................................................................................... 70
5.7
Kontribusi Pajak dan Retribusi terhadap PAD Kabupaten Sekadau Tahun 2004-2006 ....................................................................................... 70
5.8
Rasio Pajak dan Retribusi terhadap PDRB ADHK Tahun 2000 Kabupaten Sintang Periode 2004-2006 ..................................................... 72
5.9
Rasio PAD Kabupaten Sintang terhadap PDRB ADHK Tahun 2000 Periode 2004-2006 ................................................................ 73
5.10 Rasio Pajak dan Retribusi terhadap PDRB ADHK Tahun 2000 Kabupaten Sanggau 2004-2006 ................................................................. 73 5.11 Rasio PAD terhadap PDRB ADHK Tahun 2000 Kabupaten Sanggau Tahun 2004-2006 ........................................................................ 74 5.12 Rasio Pajak dan Retribusi terhadap PDRB ADHK Tahun 2000 Kabupaten Kapuas Hulu 2004-2006 ......................................................... 75 5.13 Rasio PAD terhadap PDRB ADHK Tahun 2000 Kabupaten Kapuas Hulu 2004-2006 ............................................................................ 76 5.14 Rasio Pajak dan Retribusi terhadap PDRB ADHK Tahun 2000 Kabupaten Melawi 2005-2006 .................................................................. 76 5.15 Rasio PAD terhadap PDRB ADHK Tahun 2000 Kabupaten Melawi Tahun 2005-2006 ......................................................................... 77 5.16 Rasio Pajak dan Retribusi terhadap PDRB ADHK Tahun 2000 Kabupaten Sekadau 2006 .......................................................................... 77 5.17 Rasio PAD terhadap PDRB ADHK Tahun 2000 Kabupaten Sekadau Tahun 2004-2006 ........................................................................ 78 5.18 Perbandingan PAD terhadap Total Penerimaan Daerah Kabupaten Sintang Tahun 2004-2006 ......................................................................... 79 5.19 Perbandingan PAD terhadap Total Penerimaan Daerah Kabupaten Sanggau Tahun 2004-2006 ........................................................................ 79 5.20 Perbandingan PAD terhadap Total Penerimaan Daerah Kabupaten Kapuas Hulu Tahun 2004-2006 ................................................................. 80 5.21 Perbandingan PAD terhadap Total Penerimaan Daerah Kabupaten Melawi Tahun 2005-2006 ......................................................................... 80 5.22 Perbandingan PAD terhadap Total Penerimaan Daerah Kabupaten Sekadau Tahun 2006 ................................................................................. 80 5.23 Perbandingan BHPBP terhadap Total Penerimaan Daerah Kabupaten Sintang Tahun 2004-2006 ......................................................................... 81 5.24 Perbandingan BHPBP terhadap Total Penerimaan Daerah Kabupaten Sanggau Tahun 2004-2006 ........................................................................ 81 5.25 Perbandingan BHPBP terhadap Total Penerimaan Daerah Kabupaten Kapuas Hulu Tahun 2004-2006 ................................................................. 82 5.26 Perbandingan BHPBP terhadap Total Penerimaan Daerah Kabupaten Melawi Tahun 2005-2006 ......................................................................... 82 5.27 Perbandingan BHPBP terhadap Total Penerimaan Daerah Kabupaten Sekadau Tahun 2006 ................................................................................. 83 5.28 Perbandingan Sumbangan Daerah terhadap Total Penerimaan Daerah Kabupaten Sintang Tahun 2004-2006 ....................................................... 83
5.29 Perbandingan Sumbangan Daerah terhadap Total Penerimaan Daerah Kabupaten Sanggau Tahun 2004-2006 ..................................................... 84 5.30 Perbandingan Sumbangan Daerah terhadap Total Penerimaan Daerah Kabupaten Kapuas Hulu Tahun 2004-2006 .............................................. 84 5.31 Perbandingan Sumbangan Daerah terhadap Total Penerimaan Daerah Kabupaten Melawi Tahun 2006-2006 Proporsi SD .................................. 85 5.32 Perbandingan Sumbangan Daerah terhadap Total Penerimaan Daerah Kabupaten Sekadau Tahun 2006 ............................................................... 85 5.33 Nilai Indeks Gravitasi dan Interaksi Ruang ............................................... 86 5.34 Potensi Luas Wilayah dan Demografi (2006) ........................................... 88 5.35 Keunggulan Komparatif Komoditi Karet dan Kelapa Sawit Kabupaten Sintang ..................................................................................... 90 5.36 Potensi Komoditi Pertanian dan Perkebunan Propinsi Kapuas Raya Tahun 2006............................................................................................... 104 5.37 PDRB per Kapita dan Jumlah Penduduk Propinsi Kapuas Raya Tahun 2004-2006 ..................................................................................... 108 5.38 Jarak antara Kabupaten Sintang dengan Keempat Kabupaten yang Lain dan Nilai Rata-rata Indeks Gravitasi Propinsi Kapuas Raya.................... 108
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
2.1 Kerangka Pemikiran .................................................................................... 31
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman 1. Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Konstan (PDRB ADHK) Tahun 2000 Propinsi Kapuas Raya Tahun 2004-2006 ................ 97 2.
Sektor Keuangan Propinsi Kapuas Raya Tahun 2004-2006 ..................... 99
3.
Potensi Ekonomi Daerah, Potensi Pertanian dan Perkebunan Propinsi Kapuas Raya............................................................................................. 100
4.
Perhitungan Potensi Ekonomi, Potensi Keuangan dan Keunggulan Komparatif................................................................................................ 101
5.
Perhitungan Indeks Gravitasi ................................................................... 104
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional.
Pembangunan daerah adalah upaya dalam peningkatan kapasitas pemerintahan daerah sehingga tercipta suatu kemampuan yang handal dan profesional dalam menjalankan
pemerintahan
serta
memberikan
pelayanan
prima
kepada
masyarakat. Pembangunan daerah bertujuan untuk memampukan daerah untuk mengelola sumber daya ekonominya secara berdaya guna dan berhasil guna untuk kemajuan daerah dan kesejahteraan masyarakat (Saragih, 2003). Sebelum memulai pembangunan diperlukan perencanaan pembangunan agar pembangunan yang dilakukan dapat berjalan dengan baik. Namun pembangunan yang terjadi di Indonesia tidak sesuai dengan apa yang telah direncanakan, di mana pembangunan di Indonesia tidak merata, hanya terpusat pada daerah-daerah tertentu saja terutama pada Kawasan Barat Indonesia yang dekat dengan Jakarta. Yang merupakan pusat pemerintahan dan perekonomian. Menurut Dusseldorp dalam Dianawati (2004) perencanaan pembangunan yang baik adalah perencanaan yang bersifat sektoral maupun regional karena mempunyai keterkaitan antar sektor maupun antar tingkat administrasi, yaitu antara perencanaan pusat, regional, dan lokal. Perencanaan pembangunan harus memperhatikan hubungan yang saling menguntungkan antara pembangunan di berbagai tingkat administrasi, nasional, regional mapun lokal, hubungan antara pembangunan di berbagai sektor, dan keterkaitan antar aspek sosial, ekonomi dan fisik dalam proses pembangunan.
Kondisi seperti itu mendorong munculnya desentralisasi dan otonomi daerah. Sesuai dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 yang direvisi menjadi Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, desentralisasi dan otonomi daerah merupakan pelimpahan serta penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah otonom, sehingga pembangunan tidak lagi dikendalikan oleh pemerintah pusat tetapi telah diserahkan kepada daerah otonom masing-masing. Dengan otonomi daerah berarti telah memindahkan sebagian besar kewenangan yang tadinya berada di pemerintah pusat diserahkan kepada daerah otonom, sehingga pemerintah daerah otonom dapat lebih cepat dalam merespon tuntutan masyarakat daerah sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Dengan disahkannya undang-undang tersebut barakibat banyak daerah yang menuntut untuk dapat merdeka dan lepas dari ikatan administrasi di atasnya dengan menuntut diadakannya pemekaran wilayah. Salah satu daerah yang menuntut diadakan pemekaran wilayah yaitu Propinsi Kalimantan Barat. Terdapat lima kabupaten yang ingin membentuk propinsi baru menjadi Propinsi Kapuas Raya. Kelima Kabupaten tersebut adalah Kabupaten Sintang, Sanggau, Kapuas Hulu, Melawi dan Sekadau. Propinsi Kalimantan Barat dengan luas wilayah 146 807 km2 merupakan propinsi terluas keempat di Indonesia. Jumlah penduduknya pada tahun 2006 sebanyak 4 118 225 juta jiwa (proyeksi penduduk BPS), sehingga kepadatan penduduknya sangat rendah yaitu 28 jiwa per km2. Wilayah yang sangat luas sedangkan jumlah penduduk yang relatif sedikit menyebabkan rentang kendali propinsi tersebut sangat rendah. Sehingga pembangunan yang terjadi tidak merata karena terhambat oleh faktor jarak dan juga faktor sumber daya manusia.
Ketidakmerataan pembangunan dapat dilihat pada Tabel 1.1 di bawah. Pertumbuhan ekonomi kabupaten-kabupaten tersebut berkisar antara -1,95 hingga 17,62 persen pada periode tahun 2004 hingga 2006. Kabupaten Ketapang mengalami pertumbuhan ekonomi sangat tinggi yaitu mencapai 17,62 persen pada tahun 2005 dan menurun menjadi 12,45 persen pada tahun 2006. Namun pertumbuhan ekonomi yang paling rendah terjadi pada Kabupaten Kapuas Hulu yaitu sebesar 3,27 persen bahkan mengalami pertumbuhan ekonomi yang negatif pada tahun 2004 sebesar -1,95 persen. Dari data tersebut terlihat bahwa telah terjadi ketimpangan ekonomi akibat ketidakmerataan pembangunan. Tabel 1.1 Pertumbuhan Ekonomi Menurut Kabupaten Tahun 2004-2006 Menurut Harga Konstan Tahun 2000 Propinsi Kalimantan Barat (dalam persen) Pertumbuhan Ekonomi No Nama Kabupaten Rata-rata 2004 2005 2006 1 Kota Pontianak 4,91 4,88 5,04 4,94 2 Kota Singkawang 5,04 5,83 5,93 5,60 3 Kab. Sambas 4,96 5,68 3,87 4,84 4 Kab. Bengkayang 6,68 9,07 6,29 7,35 5 Kab. Landak 4,18 3,61 4,73 4,17 6 Kab. Pontianak 1,76 3,89 4,15 3,27 7 Kab. Ketapang 7,23 17,62 12,45 12,43 8 Kab. Sintang 2,04 3,89 4,93 3,62 9 Kab. Sanggau 7,96 3,35 8,23 6,51 10 Kab. Kapuas Hulu -1,95 0,39 3,27 0,57 11 Kab. Sekadau 2,56 5,69 6,13 4,79 12 Kab. Melawi 3,64 3,58 4,79 4,00 Rata-Rata Kabupaten Prop. Kalimantan 4,08 5,62 5,82 5,17 Barat Rata-Rata Kabupaten Prop. Kalimantan Barat setelah Pemekaran 4,97 7,23 6,07 6,09 Rata-Rata Prop. Kapuas Raya 2,85 3,38 5,47 3,90 Rata-Rata Kabupaten Seluruh Indonesia 4,07 5,08 4,82 4,66 Sumber : BPS 2007
Pemekaran wilayah yang dilakukan hendaknya memperhatikan kondisi daerah otonom baru tanpa melupakan kondisi propinsi induk. Terlihat pada Tabel
1.1, pertumbuhan ekonomi Propinsi Kalimantan Barat meningkat dan berada di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi kabupaten seluruh Indonesia apabila Propinsi Kapuas Raya terbentuk. Tetapi Propinsi Kapuas Raya pertumbuhan ekonominya berada di bawah rata-rata pertumbuhan ekonomi seluruh kabupaten di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi suatu daerah merupakan indikator dari adanya pembagunan di daerah tersebut. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan menjamin daerah tersebut untuk bisa mandiri, sehingga tidak tergantung terhadap bantuan dari pemerintah pusat dalam melaksanakan kegiatan operasional pemerintahan ataupun dalam pelaksanaan pembangunan.
1.2.
Perumusan Masalah Pembangunan yang dilakukan haruslah memperhatikan pemerataan hasil-
hasil pembangunan. Salah satu cara yang dapat ditempuh yaitu dengan melaksanakan otonomi daerah, yaitu dengan melakukan pemekaran wilayah. Propinsi Kapuas Raya merupakan propinsi yang direncanakan akan dimekarkan dari Propinsi Kalimantan Barat. Melalui pemekaran propinsi ini diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan juga pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi. Hal ini disebabkan karena wilayah Propinsi Kalimantan Barat sangat luas (propinsi keempat terluas), dengan adanya pemekaran maka jangkauan teritorial atau rentang kendali dalam melakukan pelayanan publik akan semakin dekat, selain itu jumlah penduduk yang akan dilayani juga semakin sedikit. Otonomi daerah merupakan pemberian wewenang yang lebih luas kepada pemerintah daerah dalam mengatur dan mengelola daerahnya sendiri. Dalam melakukan pemekaran daerah harus didahului dengan analisis serta penelitian
mengenai persyaratan pemekaran daerah dan potensi-potensi daerah seperti, potensi ekonomi, sumber daya alam, sumber daya manusia dan potensi keuangan. Hal ini sangat penting untuk dilakukan agar daerah otonom yang baru dapat mandiri setelah berhasil lepas dari propinsi induknya dan tidak bergantung kepada bantuan dari pemerintah pusat. Dengan adanya otonomi daerah, maka kewenangan pemerintah daerah dalam mengelola daerahnya dalam segala bidang menjadi lebih luas, kecuali bidang-bidang yang ditetapkan oleh undang-undang. Peranan pemerintah menjadi sangat penting dalam menentukan keberhasilan dalam menciptakan kemandirian daerah. Perekonomian dan keuangan daerah memegang peranan yang sangat penting dalam menunjang tujuan kemandirian tersebut. Dengan potensi ekonomi yang baik akan menjaga kestabilan perekonomian dalam memenuhi tuntutan masyarakat akan kondisi perekonomian yang lebih baik. Sedangkan kemampuan keuangan
daerah
diharapkan
memiliki
tingkat
ketergantungan
terhadap
pemerintah pusat yang semakin kecil, dengan harapan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) memiliki proporsi terbesar dalam penerimaan daerah. Pertumbuhan ekonomi berdasarkan atas dasar harga konstan tahun 2000 (Tabel 1.1) terlihat bahwa pertumbuhan ekonomi kabupaten-kabupaten di Propinsi Kapuas Raya masih sangat rendah bahkan berada di bawah rata-rata pertumbuhan
ekonomi
Propinsi
Kalimantan
Barat.
Sedangkan
kondisi
keuangannya masih tergantung terhadap dana transfer dari pemerintah pusat. Dapat dilihat pada Tabel 1.2 bahwa sumbangan daerah cenderung meningkat setiap tahun. Pada tahun 2005 terjadi penurunan pada Kabupaten Sintang dan Sanggau yang disebabkan karena terjadi pemekaran wilayah menjadi Kabupaten
Melawi dan Sekadau, sehingga kedua Kabupaten tersebut harus membagi sumbangan daerah yang diperolehnya kepada kedua Kabupaten tersebut.. Tabel 1.2 Sumbangan Daerah Propinsi Kapuas Raya Tahun 2004-2006 Sumbangan Daerah (juta) Kabupaten 2004 2005 2006 Sintang 276 219,00 211 506,5 479 944,00 Sanggau 142 394,06 119 247,40 392 130,20 Kapuas Hulu 210 290,00 244 496,00 458 072,00 Melawi 88 069,00 231 748,00 Sekadau 103 12,94 86 351,58 263 128,00 Sumber : Depkeu 2007
Sebuah propinsi baru hendaknya memiliki kondisi perekonomian dan kondisi keuangan yang baik. Kondisi tersebut akan membantu propinsi yang baru untuk menciptakan sistem pemerintahan (birokrasi) yang baik dan membangun fasilitas-fasilitas publik sebagai sarana pelayanan bagi masyarakat. Karena untuk menciptakan hal tersebut membutuhkan dana yang sangat besar. Penelitian ini akan menganalisis potensi-potensi ekonomi serta keuangan yang dimiliki oleh Propinsi Kapuas Raya dengan beberapa permasalahan yaitu : 1. Sektor apa yang menjadi basis bagi perekonomian Propinsi Kapuas Raya? 2. Seberapa besar Potensi Ekonomi Daerah Propinsi (PED) Kapuas Raya Menurut perhitungan DAU? 3. Bagaimana kontribusi pajak dan retribusi daerah Propinsi Kapuas Raya terhadap PAD di Propinsi Kapuas Raya? 4. Seberapa besar rasio PAD, pajak dan retribusi di Propinsi Kapuas Raya? 5. Seberapa besar tingkat kemandirian fiskal Propinsi Kapuas Raya? 6. Kabupaten apa yang memiliki potensi terkuat untuk dikembangkan menjadi pusat pertumbuhan bagi Propinsi Kapuas Raya? 7. Bagaimana model perencanaan pembangunan wilayah Propinsi Kapuas Raya?
1.3.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis potensi-potensi ekonomi dan
keuangan yang dimiliki oleh Propinsi Kapuas Raya dengan cara : 1. Menganalisis sektor yang menjadi basis perekonomian Propinsi Kapuas Raya 2. Menganalisis Potensi Ekonomi Daerah (PED) di Propinsi Kapuas Raya dalam penentuan DAU 3. Menganalisis kontribusi pajak dan retribusi terhadap PAD di Propinsi Kapuas Raya 4. Menganalisis besarnya rasio pajak, retribusi, dan PAD terhadap PDRB di Propinsi Kapuas Raya 5. Menganalisis tingkat kemandirian fiskal Propinsi Kapuas Raya 6. Menganalisis kabupaten yang memiliki potensi terkuat untuk dikembangkan menjadi pusat pertumbuhan bagi Propinsi Kapuas Raya 7. Membangun model perencanaan wilayah berdasarkan data potensi wilayah Propinsi Kapuas Raya
1.4.
Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah :
1. Bagi penulis, penelitian ini merupakan sarana pembelajaran mengenai masalah perwilayahan (regional) yang merupakan konsentrasi penulis, selain itu penelitian ini merupakan sarana pembelajaran dalam hal menulis karya ilmiah. 2. Bagi pembaca, dengan membaca penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan pembaca mengenai potensi-potensi yang dimiliki oleh Propinsi
Kapuas Raya sehingga pembaca dapat menilai apakah layak untuk dimekarkan atau tidak 3. Bagi Pemerintah Daerah, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan sebelum memutuskan pemekaran Propinsi Kalimantan Barat menjadi Propinsi Kapuas Raya
1.5.
Ruang Lingkup Penelitian ini akan membahas mengenai potensi-potensi Propinsi Kapuas
Raya. Potensi-potensi yang dimaksud adalah potensi ekonomi dan potensi keuangan. Potensi ekonomi dilihat dari kabupaten yang memiliki potensi paling besar untuk dikembangkan dan juga sektor apa yang menjadi basis bagi Propinsi Kapuas Raya selama periode 2004-2006, sedangkan potensi keuangan dilihat dari perkembangan sektor keuangan yaitu sumber keuangan utama, seperti pajak, retribusi, dan juga sumbangan daerah selama periode 2004-2006.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Tinjauan Teoritis
2.1.1. Pengertian Daerah dan Wilayah Daerah merupakan wilayah yang dibatasi berdasarkan ruang lingkup kewenangan administrasi daerah.
Sedangkan pengertian ruang adalah wadah
yang berada pada permukaan bumi termasuk apa yang ada di atasnya dan yang terkandung di dalamnya sepanjang manusia masih dapat menjangkaunya. Dengan demikian, ruang merupakan bagian yang berada di atas permukaan bumi yang berfungsi untuk mendukung kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya (Tarigan, 2005). Wilayah setidaknya harus memiliki unsur lokasi, bentuk, luas , dan fungsi (Tarigan, 2005). Tata ruang yang mempunyai unsur-unsur jarak, lokasi, topografi, dan luas menyusun suatu unit tata ruang yang unik yang disebut wilayah (Budiharsono dalam Dianawati, 2001). Sehingga wilayah dapat didefinisikan sebagai suatu unit geografi yang dibatasi oleh kriteria tertentu yang bagianbagiannya tergantung secara internal. Hoover dan Giarratani (2002) menyatakan bahwa pandangan yang umum mengenai sebuah wilayah adalah suatu unit geografi yang diakui secara hukum sebagai sebuah kesatuan. Adanya kepentingan yang sama merupakan dasar mengapa suatu wilayah itu muncul, hal ini sangat menguntungkan karena dapat memungkinkan adanya usaha bersama untuk meningkatkan kesejahteraan wilayah tersebut. Kesamaan dalam kepentingan bisa tercermin dalam berbagai cara, tetapi pada dasarnya adalah kesamaan secara ekonomi dari subarea di wilayah tersebut
dan adanya kepentingan kelompok. Oleh karena itu wilayah dapat dibagi menjadi dua, yaitu : 1. Wilayah Homogen, merupakan wilayah yang mempunyai ciri-ciri yang relatif sama. Misalnya, dalam hal ekonomi ( kesamaan dalam sektor yang menjadi unggulan), kondisi geografi, agama, suku, dan sebagainya. Wilayah homogen dibatasi berdasarkan keseragaman secara internal (internal uniformity). 2. Wilayah Fungsional, adalah suatu wilayah yang didasarkan karena adanya kesamaan secara fungsional. Misalnya, wilayah yang khusus difungsikan untuk dijadikan sebagai kawasan industri seperti Karawang.
2.1.2. Pengertian Pembangunan Ekonomi dan Pertumbuhan Ekonomi Secara tradisional pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai kapasitas dari sebuah perekonomian nasional yang kondisi ekonomi awalnya kurang lebih statis dalam kurun waktu yang cukup lama untuk menciptakan dan mempertahankan kenaikan pendapatan nasional bruto (GNP) tahunan pada tingkat yang telah ditetapkan atau bahkan lebih tinggi. Tetapi definisi tersebut mengalami perubahan seiring dengan fenomena yang terjadi di berbagai negara yang tidak sesuai dengan definisi tersebut. Pengertian pembangunan ekonomi yang baru ini menyatakan bahwa tujuan pembangunan ekonomi bukan lagi menciptakan pertumbuhan GNP yang setinggi-tingginya, melainkan penghapusan atau pengurangan tingkat kemiskinan, penanggulangan ketimpangan pendapatan, penyediaan lapangan kerja dalam konteks perekonomian yang terus berkembang (Todaro dan Smith, 2003).
Pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses bagaimana suatu perekonomian berkembang atau berubah dari waktu ke waktu. Perkembangan perekonomian ini dianalisis dari kenaikan output total (PDB) dari satu sisi dan jumlah penduduk di sisi lain. Proses pekembangan itu terjadi dalam jangka waktu yang cukup lama di mana dapat terjadi penurunan atau kenaikan, namun secara umum menunjukan kecenderungan untuk naik (Boediono, 1982). Sementara itu Schumpeter dalam Jhingan (2004) mendefinisikan perkembangan ekonomi sebagai perubahan spontan dan terputus-putus dalam keadaan stasioner yang senantiasa mengubah dan mengganti situasi keseimbangan yang ada sebelumnya. Perkembangan ekonomi inilah yang selalu dihadapi oleh negara-negara yang sedang berkembang. Sedangkan pertumbuhan adalah perubahan jangka panjang secara perlahan dan mantap yang terjadi melalui kenaikan tabungan dan penduduk. Pertumbuhan ini yang diacu bagi negara-negara maju. Aspek pertumbuhan ekonomi sangat terkait erat dengan aktivitas ekonomi di suatu daerah dan tidak mungkin lepas dari faktor perubahan penduduk serta kebutuhan masyarakat. Perubahan yang terjadi pada penduduk akan berdampak terhadap perubahan pada jumlah kebutuhan masyarakat dan akhirnya akan berdampak terhadap perubahan aktivitas ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang dicapai adalah pertumbuhan ekonomi yang menjamin keberlanjutan ekonomi dengan tetap memperhatikan keterbatasan sumberdaya alam dan lingkungan yang ada (Marfiani, 2007).
Menurut Kuznet dalam Jhingan (2003) pertumbuhan ekonomi memiliki 5 ciri, yaitu : 1. Pertumbuhan ekonomi ditandai dengan laju kenaikan produk per kapita yang tinggi dibarengi dengan laju partumbuhan penduduk yang cepat 2. Pertumbuhan ekonomi terlihat dari semakin meningkatnya laju pendapatan per kapita terutama sebagai akibat adanya perbaikan kualitas input yang meningkatkan efisiensi atau produktivitas per unit input 3. Pertumbuhan ekonomi ditandai dengan adanya perubahan struktur ekonomi yaitu dari sektor pertanian ke sektor industri jasa 4. Pertumbuhan ekonomi ditandai dengan meningkatnya jumlah penduduk yang berpindah dari pedesaan ke perkotaan 5. Pertumbuhan ekonomi terjadi karena adanya ekspansi negara maju dan adanya kekuatan dalam hubungan internasional. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pembangunan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi yang dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu faktor ekonomi dan faktor non ekonomi. Faktor ekonomi antara lain sumber daya alam (penyediaan bahan baku), jumlah dan kualitas sumber daya manusia (jumlah yang besar merupakan pasar yang potensial sedangkan kualitas yang baik akan mementukan produktivitas tenaga kerja), sumber daya modal (untuk mengolah sumber daya alam), dan keahlian/kewirausahaan (untuk mengolah bahan mentah menjadi sesuatu yang memiliki nilai guna serta nilai tambah yang lebih tinggi). Sedangkan faktor non ekonomi meliputi kondisi sosial budaya, kondisi politik, dan sistem yang berlaku di masyarakat (Wikipedia.com, 2008).
2.1.3. Konsep Desentralisasi dan Otonomi Daerah Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, desentralisasi merupakan penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kewenangan yang diserahkan tersebut mencakup semua kewenangan bidang pemerintahan, kecuali kewenangan politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lainnya yang akan ditetapkan dalam pertauran pemerintah. Desentralisasi merupakan transfer kewenangan untuk menyelenggarakan beberapa pelayanan kepada publik dari seseorang atau agen pemerintah kepada beberapa individu atau agen lain yang lebih dekat kepada publik yang dilayani (Turner dan Hulme dalam Yuwono, 2001). Yang mendasari adanya transfer ini adalah territorial dan fungsional. Yang dimaksud dengan territorial adalah menempatkan kewenangan pada level yang yang lebih rendah dalam wilayah hirearki yang secara geografis lebih dekat kepada penyedia layanan dan yang dilayani. Sedangkan funsional berarti bahwa transfer kewenangan kepada agen yang secara fungsional terspesialisasi. Dalam Irayani (2006), menurut UU No.32 Tahun 2004 dapat disimpulkan bahwa pengelolaan daerah lebih dititikberatkan kepada Kabupaten/Kota, sedangkan
propinsi
melaksanakan
kewenangan
pemerintah
pusat
yang
didelegasikan kepada gubernur dan daerah propinsi. Sebenarnya dalam pelaksanaan desentralisasi pemerintah daerah memiliki keuntungan yaitu : 1. Dengan adanya desentralisasi maka hubungan kegiatan disuatu daerah akan dapat disesuiakan dengan kebutuhandaerah yang bersangkutan
2. Dengan adanya desentralisasi maka pembuatan keputusan dan kebijakan daerah akan lebih efektif dan efisien Menurut Direktorat Jenderal Otonomi Daerah tahun 2005, penerapan kebijakan desentralisasi mempunyai dua tujuan utama yaitu demokrasi dan kesejahteraan. Tujuan demokrasi memposisikan pemerintah daerah sebagai instrumen pendidikan politik di tingkat lokal sedangkan tujuan kesejahteraan dicapai melalui penyediaan pelayanan publik secara efisien dan efektif. Sebagai bentuk penerapan kebijakan desentralisasi tersebut adalah kebijakan penataan daerah otonom. Saat ini penataan daerah masih identik dengan pemekaran daerah atau pembentukan daerah otonom, padahal sesungguhnya penataan daerah meliputi pembentukan daerah, penghapusan dan penggabungan daerah (Marfiani, 2007). Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007, Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Otonomi daerah memberikan pengertian bahwa bidang dan jenis kewenangan yang diserahkan kepada daerah otonom untuk diatur dan diurus sendiri (Saragih dalam Irayani, 2006). Pemberian kewenangan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah Kabupaten ataupun Kota didasarkan pada asas desentralisasi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Daerah
Otonom
menyelenggarakan
memiliki
pemerintahannya
kewenangan yang
yang
mencakup
luas
dalam
seluruh
bidang
pemerintahan, kecuali di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, bidang keagamaan serta bidang-bidang lainnya
yang akan ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah. Otonomi daerah yang nyata merupakan keleluasaan daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan yang nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah. Sedangkan
otonomi
yang
bertanggung
jawab
merupakan
perwujudan
pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, berupa pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antar pemerintah pusat dengan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Republik Indonesia (Bratakusumah, 2001). Menurut Halim (2001), yang merupakan ciri utama suatu daerah mampu melaksanakan Otonomi Daerah adalah : 1. Kemampuan keuangan daerah, yang berarti daerah tersebut memiliki kemampuan serta kewenangan untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola dan menggunakan keuangannya sendiri untuk menyelenggarakan kegiatan pemerintahan. 2. Minimalisasi ketergantungan terhadap bantuan pusat, oleh karena itu sumber keuangan terbesar harus bersumber dari PAD yang sangat didukung oleh perimbangan keuangan pusat dan daerah. Dalam Irayani (2006) terdapat beberapa kriteria agar pembangunan kewenangan dapat terwujud secara proporsional seperti yang tercermin di dalam UU No.32 tahun 2004. Kriteria tersebut adalah sebagai berikut :
1. Kriteria
eksternalitas
adalah
pendekatan
dalam
urusan
pembagian
pemerintahan dengan mempertimbangkan dampak/akibat yang ditimbulkan dalam penyelenggaran urusan pemerintahan tersebut 2. Kriteria
akuntabilitas
adalah
pendekatan
dalam
pembagian
urusan
pemerintahan dengan mempertimbangkan bahwa tingkat pemerintahan yang menangani sesuatu bagian urusan adalah tingkat pemerintahan yang langsung/dekat dengan dampak/akibat dari urusan yang ditangani tersebut 3. Kriteria efisiensi adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan tersedianya sumber daya (personil, dana dan peralatan) untuk mendapatkan ketepatan, kepastian dan kecepatan hasil yang harus dicapai dalam penyelenggaraan urusan tersebut.
2.1.4. Konsep Pembentukan dan Pemekaran Daerah/Wilayah Menurut PP Nomor 78 Tahun 2007, pembentukan daerah adalah pemberian status pada wilayah tertentu sebagai daerah propinsi atau daerah kabupaten/kota. Pembentukan daerah bisa berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran satu daerah menjadi dua daerah atau lebih. Sedangkan pemekaran daerah adalah pemecahan daerah propinsi atau daerah kabupaten/kota menjadi dua daerah atau lebih. Pembentukan daerah propinsi harus memenuhi tiga sayarat, yaitu syarat administratif, teknis dan fisik.
Berdasarkan PP No. 78 Tahun 2007 tentang
Pembentukan Daerah syarat administratif pembentukan propinsi terdiri dari (1) keputusan masing-masing DPRD kabupaten/kota yang akan menjadi cakupan wilayah calon propinsi tentang persetujuan pembetukan calon propinsi
berdasarkan hasil rapat paripurna, (2) keputusan bupati/walikota ditetapkan dengan keputusan bersama bupati/walikota wilayah calon propinsi tentang persetujuan pembentukan calon propinsi, (3) keputusan DPRD propinsi induk tentang persetujuan pembentukan calon propinsi berdasarkan rapat paripurna, (4) keputusan gubernur tentang persetujuan pembentukan calon propinsi, (5) rekomendasi Menteri. Syarat teknis meliputi faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, kemampuan keuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat dan rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan daerah. Yang terakhir adalah syarat fisik kewilayahan meliputi cakupan wilayah, lokasi calon ibukota, sarana dan prasarana pemerintahan. Cakupan wilayah yang dimaksudkan dalam proses pembentukan propinsi adalah paling sedikit terdiri dari lima kabupaten/kota. Potensi ekonomi diukur melalui PDRB non migas per kapita, rata-rata pertumbuhan ekonomi dan jumlah sector non basis. Sedangkan kemampuan keuangan diukur melalui ratarata pertumbuhan PAD selama lima tahun terakhir, rasio PAD terhadap APBD dan rasio PAD terhadap belanja aparat. PP No.78 Tahun 2007 merupakan peraturan yang lebih memperketat persyaratan pemekaran wilayah yang terdapat pada PP No.129 tahun 2000. Adapun persyaratan tersebut antara lain : pada PP No.129 tahun 2000, daerah yang baru dimekarkan bisa langsung dimekarkan lagi, pada PP No.78 tahun 2007 propinsi yang akan dimekarkan harus berusia minimal 10 tahun, sedangkan untuk kabupaten/kota minimal berusia 7 tahun. Persyaratan yang lainnya adalah pada PP No.129 tahun 2000 untuk pembentukan propinsi baru jumlah minimal kabupaten/kota hanya empat kabupaten/kota, kemudian diperketat menjadi
minimal lima kabupaten/kota. Untuk pembentukan kabupaten baru, pada peraturan yang lama diperlukan minimal empat kecamatan, kemudian diperketat menjadi minimal lima kecamatan dan untuk pembentukan kota baru dipersyaratkan yang dulunya tiga kecamatan sekarang menjadi empat kecamatan. Persyaratan pembentukan daerah otonom sudah seharusnya semakin diperketat. Mengingat tren pelepasan berbagai daerah yang timbul setelah disahkannya undang-undang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Hal ini penting untuk dilakukan karena pemekaran wilayah yang akan dilakukan haruslah memberikan jaminan bahwa aparatur pemerintahannya mampu untuk melakukan fungsi dalam melakukan pelayanan publik terhadap masyarakat serta fungsi pemerintahan secara maksimal. Dengan wilayah yang semakin kecil, maka akan memperluas jangkauan pelayanan dan akan mendorong kemauan untuk menuju menjadi daerah yang mandiri secara bersama-sama. Namun terdapat beberapa masalah dalam implementasi pemekaran wilayah yaitu munculnya konflik keuangan mengenai pembagian aset dan pendapatan daerah yang disebabkan adanya ketidakseimbangan antara pendapatan daerah yang diperoleh oleh wilayah induk dan daerah pemekarannya. Ketidakseimbangan itu didukung pula oleh kebutuhan dana yang tidak sedikit dari wilayah induk untuk menyusun anggaran daerah, memberi dukungan pada daerah pemekaran, mengembangkan potensi dan wilayah serta memindahkan lokasi ibukota (Marfiani, 2007).
2.1.5. Fungsi dan Peran Pemerintah Pemerintah mempunyai peranan yang sangat penting baik dalam bidang pemerintahan maupun dalam bidang ekonomi. Menurut Adam Smith dalam
Mangkoesoebroto (2001) pemerintah mempunyai tiga fungsi, yaitu : pertama fungsi pemerintah untuk memelihara keamanan dalam negeri dan pertahanan. Kedua, fungsi pemerintah dalam menyelenggarakan peradilan. Yang terakhir fungsi pemerintah untuk menyediakan barang-barang yang tidak disediakan oleh pihak swasta, seperti jalan, dam-dam, dan sebagainya Pemerintah memiliki tiga peran yang dapat diklasifikasikan menjadi : 1. Peranan alokasi, yaitu peranan pemerintah dalam alokasi sumber-sumber ekonomi. Barang publik, yaitu barang dan jasa yang disediakan oleh pemerintah karena tidak disediakan melalui transaksi antara penjual dan pembeli. Hal ini dapat terjadi karena adanya kegagalan sistem pasar (market failure) di mana sistem pasar tidak dapat menyediakan barang dan jasa publik, karena manfaat barang dan jasa publik tersebut dirasakan oleh banyak orang. 2. Peranan distribusi, yaitu peran pemerintah sebagai alat distribusi pendapatan atau kekayaan. Di mana distribusi pendapatan sangat tergantung dari pemilikan faktor-faktor produksi, permintaan dan penawaran faktor produksi, sistem warisan dan kemampuan memperoleh pendapatan. 3. Peranan stabilisasi. Pemerintah mempunyai tugas untuk menjaga stabilisasi perekonomian. Perekonomian tidak bisa diberikan kepada pihak swasta secara penuh, karena sektor ini sangat peka terhadap goncangan keadaan yang menimbulkan pengangguran dan inflasi.
2.1.6. Keuangan Daerah dan Desentralisasi Fiskal Tingkat kemampuan keuangan daerah merupakan salah satu faktor penentu kemampuan serta keberhasilan suatu daerah dalam melaksanakan
fungsinya
sebagai
pemerintah
dalam
proses
pembangunan.
Menurut
Mangkoesoebroto (2001) teori penerimaan serta pengeluaran pemerintah dijadikan dasar teori keuangan daerah. Dikatakan bahwa penerimaan pemerintah daerah berasal dari penerimaan pajak dan bukan pajak, misalnya penerimaan pemerintah yang berasal dari pinjaman baik dari dalam negeri maupun luar negeri, laba badan usaha milik pemerintah, lelang dan sebagainya. Selanjutnya keuangan daerah harus dibukukan dengan terang/transparan, rapi dan pengurusannya dilaksanakan secara sehat termasuk sistem administrasinya. Dengan harapan pemerintah daerah dapat menyusun dan menetapkan APBD sendiri. Menurut Rostow dan Musgrave pengeluaran pemerintah berhubungan dengan tahap pembangunan ekonomi. Pada tahap awal, persentase investasi pemerintah terhadap total investasi masih sangat besar. Hal ini dikarenakan pemerintah harus menyediakan sarana dan prasarana umum, seperti pendidikan, transportasi, kesehatan dan sebagainya. Pada tahap menengah, investasi dari pemerintah masih tetap diperlukan dengan tujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas. Pada tahap ini peranan pihak swasta dalam investasi sudah semakin besar, tetapi hal ini dapat menimbulkan kegagalan pasar selain itu membuat persaingan antara pihak pemerintah dengan pihak swasta, sehingga pemerintah harus berusaha menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih banyak dengan kualitas yang lebih baik. Tahap yang terakhir yaitu tahap lebih lanjut, Rostow mengatakan pada tahap ini aktifitas pemerintah beralih dari penyediaan prasarana ke pengeluaran-pengeluaran aktifitas sosial, seperti program kesejahteraan hari tua, program pelayanan kesehatan masyarakat dan sebagainya (Mangkoesoebroto, 2001).
2.1.7. Struktur Keuangan Daerah Keuangan suatu daerah tercermin dari Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah. Menurut UU No.33 Tahun 2004 Penerimaan Daerah dalam pelaksanaan desentralisasi terdiri dari pendapatan daerah dan pembiayaan. Adapun sumbersumber pendapatan daerah yaitu : 1. Pendapatan Asli Daerah, yang terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah (terdiri dari : hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing dan komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah) 2. Dana Perimbangan, yang terdiri atas : Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus. Dana Bagi Hasil terdiri dari : Dana Bagi hasil yang bersumber dari pajak (Pajak Bumi dan Bangunan, Bea perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, Pajak Penghasilan) dan sumber daya alam (kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas dan pertambangan panas bumi). 3. Lain-lain Pendapatan Sedangkan pembiayaan yang dimaksud dalam UU No.33 Tahun 2004 bersumber dari : 1. Sisa lebih perhitungan anggaran Daerah 2. Penerimaan pinjaman daerah 3. Dana cadangan daerah 4. Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan
2.1.8. Birokrasi dan Biaya Birokrasi Menurut Salam (2007) birokrasi merupakan konsep organisasi yang dipelopori oleh Max Weber dengan konsep pokok otoritas legal rasional, di mana kekuasaan bersumber pada ketentuan atau peraturan formal. Birokrasi adalah penyelenggaraan kekuasaan oleh administrator yang profesional yang bekerja berdasarkan doktrin pejabat tentang administrasi. Birokrasi berarti pula sebagai cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban, serta menurut tata aturan (adat dan sebagainya) yang banyak liku-likunya dan sebagainya. Definisi birokrasi ini mengalami revisi, dimana birokrasi selanjutnya didefinisikan sebagai sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai bayaran yang tidak dipilih oleh rakyat dan cara pemerintahan yang sangat dikuasai oleh pegawai. Biaya birokrasi merupakan biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk membiayai pegawai pemerintah yang tidak dipilih oleh rakyat melainkan melalui penunjukan atau ditunjuk. Biayai birokrasi meliputi gaji, tunjangan, sarana dan prasarana kantor atau rumah dinas, hingga pejalanan dinas. Dari data Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) tahun 2007 terlihat bahwa sebanyak 60 persen hingga 70 persen dana APBN yaitu dana sebesar Rp 457 triliun sampai Rp 534 triliun dari total dana sebesar Rp 763 triliun habis untuk membiayai birokrasi pemerintah, legislatif, dan aparat hukum. Jadi yang digunakan untuk kepentingan masyarakat hanya sebesar 30 persen hingga 40 persen dari total dana APBN tahun 2007 (Wikipedia.com, 2008) Sedangkan untuk pemerintah daerah, dana yang dihabiskan untuk biaya birokrasi berkisar antara 70 - 80 persen dari total dana Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Jadi hanya sebesar 20 persen hingga 30 persen yang
digunakan kepentingan masyarakat serta melaksanakan pembangunan (belanja publik). Menurut Peraturan Pemerintah yang dikeluarkan oleh Departemen Dalam Negeri yang mengatur mengenai rasionalisasi pembiayaan daerah, perbandingan antara belanja publik dengan belanja birokrasi adalah sebesar 60 : 40 persen atau paling tidak perbandingannya sebesar 50 : 50 persen (Wikipedia.com, 2008).
2.1.9. Strategi Pembangunan yang Seimbang dan Keseimbangan antar Daerah Strategi pembangunan yang seimbang adalah melaksanakan pembangunan sector pertanian dan industry secara serentak dan serempak. Sektor pertanian merupakan mata pencaharian sebagian besar penduduk di pedesaan, sedangkan komoditas yang dihasilkan sub sector tanaman pangan digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan peduduk pedesaan dan perkotaan, serta digunakan sebagai bahan baku industry dan sebagian lainnya di kirim ke daerah lain dan juga diekspor. Strategi pembangunan yang menerapkan keseimbangan antar wilayah serupakan salah satu tujuan strategi pembangunan yang tidak berat sebelah. Pemerintah menyusun perencanaan pembangunan yang tidak dipusatkan di suatu daerah, melainkan di beberapa daerah tergantung kepada besar kecilnya potensi sumber daya dan kondisi geografis daerah-daerah yang bersangkutan. Keseimbngan antar daerah sangat penting artinya bagi suatu wilayh yang luas. Dalam upaya mewujudkan keseimbangan antar daerah dapat dipilih strategi pusat-pusat pertumbuhan (growth pole strategy). Pusat petrumbuhan adalah tempat dilaksanakannya berbagai proyek pembangunan yang besar, yang mempunyai daya tarik dan daya dorong terhadap pengembangan industry-industri
terkait, yang selanjutnya keberhasilan pembangunan di kutub pertumbuhan disebarkan ke daerah-daerah di sekitarnya, sehingga pertumbuhan terjadi secara luas.
2.1.10. Teori Pusat Pertumbuhan (Central Place Theory) Inti dari Central Place Theory adalah memandang pusat kota sebagai pusat pertumbuhan inti suatu daerah dan menentukan tingkat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Dalam model ini terdapat ketergantungan antara pusat kota dengan daerah-daerah di sekitarnya. Untuk menunjang pertumbuhan ekonomi yang tinggi, maka suatu daerah harus menentukan pusat pertumbuhannya. Dengan adanya pusat pertumbuhan ini diharapkan dapat mendukung pertumbuhan ekonomi daerah di sekitarnya. Dalam perkembangan berikutnya pendekatan ini dapat digunakan untuk mengkaji hubungan timbal balik antara desa-kota. Dengan mengembangkan kota diharapkan agar perkembangan ini dapat menetes ke desadesa melalui arus barang, bahan pangan, urbanisasi dan bahkan modal. Menurut Myrdal dalam Wiyadi dan Trisnawati (2002) bahwa potensi sumber daya antara daerah yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan daerah tersebut, sehingga daerahdaerah tersebut mengalami pertumbuhan yang berbeda-beda. Oleh karena itu harus ditetapkan pusat-pusat pertumbuhan yang memiliki potensi paling besar, sehingga daerah tersebut mampu tumbuh dengan cepat. Pusat-pusat pertumbuhan tersebut akan memberikan efek yang positif terhadap daerah-daerah di sekitarnya (trickle down effect), yaitu dengan menyerap tenaga kerja yang berasal dari daerah di sekitarnya atau daerah di sekitarnya menghasilkan output yang bersifat
komplementer bagi output yang dihasilkan oleh pusat-pusat pertumbuhan. Dalam rangka pengembangan suatu wilayah maka pusat kota dianggap sebagai tempat sentral bagi pertumbuhan inti di daerah dan menentukan tingkat perkembangan ekonomi secara keseluruhan
dengan demikian terjadi interdependensi antara
pusat-pusat kota dengan daerah-daerah sekitarnya. Menurut PP No. 129 Tahun 2000, dalam menentukan pusat kota (ibu kota propinsi) terdapat beberapa kriteria, yaitu : 1. Aspek Ruang. Yang termasuk ke dalam aspek ini adalah kemampuan daerah tersebut dalam memberikan pelayanan bagi seluruh wilayah propinsi baru, calon ibu kota memiliki pola interaksi yang produktif dengan wilayah hinterland nya dan tidak berdekatan dengan ibu kota propinsi lain serta memiliki akses yang baik terhadap sumber air 2. Luas daerah/wilayah yang memadai untuk mendukung aktifitas sosial ekonomi budaya dan politik 3. Jumlah penduduk besar dengan pertumbuhannya yang positif, serta mata pencaharian mayoritas penduduk bukan di sektor pertanian 4. Sarana dan prasarana yang lebih memadai bila dibandingkan dengan kabupaten yang lainnya.
2.1.11. Model Perencanaan Pembangunan Wilayah Agropolitan Perencanaan ekonomi merupakan upaya-upaya yang sengaja dilakukan oleh pemerintah untuk mengkoordinasikan segala aspek dalam pembuatan keputusan ekonomi dalam jangka panjang, serta untuk mempengaruhi, mengarahkan dan dalam beberapa kasus tertentu, juga untuk mengendalikan
tingkat dan pertumbuhan variabel-variabel ekonomi pokok dari suatu negara demi mencapai tujuan yang sebelumnya telah ditetapkan (Todaro dan Smith, 2004). Konsep agropolitan diperkenalkan pertama kali oleh McDouglass dan Friedman pada tahun 1974 sebagai jalan keluar dalam pelaksanaan pembangunan di pedesaan.
Agropolitan
adalah
kota
pertanian
yang
mampu
memacu
berkembangnya sistem dan usaha agribisnis, sehingga dapat melayani, mendorong, menarik dan menghela kegiatan pembangunan pertanian di wilayah sekitarnya (Pasaribu dalam Syahrani, 2001). Menurut Muhammad (2003), pengembangan kawasan agropolitan bertujuan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat melalui percepatan pembangunan wilayah dan peningkatan keterkaitan desa dan kota dengan mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing. Sasaran pengembangan kawasan agropolitan adalah untuk mengembangkan kawasan pertanian yang berpotensi menjadi kawasan agropolitan, melalui : 1. Pemberdayaan masyarakat pelaku agribisnis agar mampu meningkatkan produksi, produktivitas komoditi pertanian serta produk-produk olahan pertanian, yang dilakukan dengan pengembangan sistem dan usaha agribisnis yang efisien 2. Penguatan kelembagaan petani 3. Pengembangan
kelembagaan
sistem
agribisnis
(penyedia
pengelolaan hasil, pemasaran dan penyedia jasa) 4. Pengembangan kelembagaan penyuluhan pembangunan terpadu 5. Pengembangan iklim yang kondusif bagi usaha dan investasi.
agroinput,
Pada dasarnya konsep agropolitan mencoba untuk mengakomodasi dua konsep utama yaitu menetapkan sektor pertanian sebagai sumber pertumbuhan ekonomi utama dan diberlakukannya ketentuan-ketentuan mengenai otonomi daerah. Menurut Nasoetion dalam Anugrah (2003) terdapat beberapa syarat kunci agar konsep agropolitan ini dapat diterima dan berjalan dengan baik yaitu : 1. Produksi dengan bobot sektor pertanian, yaitu dengan menekankan sektor pertanian sebagai leading sektor dalam perekonomian. 2. Prinsip ketergantungan dengan aktivitas pertanian hingga ke neuro system aktivitas pertanian tersebut. 3. Prinsip pengaturan kelembangaan, yaitu dengan memberlakukan daerah pelaku agropolitan sebagai unit tunggal wilayah otonom yang mandiri sehingga mampu mengatur perencanaan dan pelaksanaan pembangunan pertaniannya sendiri tetapi tetap terintegrasi secara sinergis terhadap keseluruhan sistem pengembangan wilayahnya. 4. Prinsip seimbang dan dinamis.
2.2.
Tinjauan Empiris Penelitian mengenai potensi ekonomi di Kabupaten Bogor Barat (wacana
pemekaran wilayah) dilakukan oleh Teni Marfiani (2007) dengan menggunakan alat analisis Location Quotient (LQ) dan Shift Share (SS). Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa Kabupaten Bogor Barat memiliki potensi yang dapat lebih dikembangkan yaitu pada sektor (1) pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan; dan (2) pertambangan dan penggalian. Sektor-sektor tersebut memiliki nilai kontribusi yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan sektor yang lainnya,
sehingga sektor-sektor tersebut layak untuk dikembangkan guna mendukung peningkatan perekonomian lokal Kabupaten Bogor Barat. Penelitian mengenai kelayakan pemekaran Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang dilakukan oleh peneliti dari PT Sabana dengan menggunakan metode skoring menghasilkan kesimpulan bahwa Propinsi NTT belum layak dimekarkan. Hal ini disebabkan karena nilai (skor) propinsi induk dan calon propinsi tidak memenuhi syarat minimal. Menurut Sembiring (2001) berdasarkan regresi linier yang telah dilakukan bahwa pemasukan yang paling berpengaruh secara signifikan pada Kabupaten Karo adalah retribusi daerah dan pajak daerah. Pajak daerah, retribusi daerah, dan laba BUMD mempunyai pengaruh yang signifikan antara satu dengan yang lain. Selain itu PAD Kabupaten Karo mempunyai hubungan yang signifikan dengan PDRB serta pendapatan per kapita baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan tahun 1993. Dalam penelitian Marina Irayani (2006) yang membandingkan penerimaan daerah Kota Pekanbaru sebelum dan sesudah otonomi daerah dapat disimpulkan bahwa dalam pelaksanaan otonomi daerah baik sebelum maupun sesudah otonomi daerah salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh suatu daerah adalah tersedianya sumber-sumber pembiayaan, baik dari pemerintah pusat dan dana perimbangan maupun sumber pembiayaan dari daerah itu sendiri. Selain itu pajak memiliki kontribusi yang lebih besar bila dibandingkan dengan retribusi. Tetapi kedua sektor tersebut memegang peran yang penting terhadap PAD yang dapat membantu
pembiayaan
daerah
Kota
Pekanbaru.
Sedangkan
tingkat
ketergantungan daerah Kota Pekanbaru terhadap pemerintah pusat masih tinggi dan belum mampu memenuhi kegiatan belanja daerahnya. Propinsi
Gorontalo
merupakan
salah
satu
propinsi
yang
telah
melaksanakan konsep agropolitan dengan baik. Komoditi pertanian yang menjadi unggulan adalah jagung. Dipilihnya komoditi jagung terkait erat dengan keberagaman tanaman hotikultura yang ditanam oleh masyarakat Gorontalo, maka harus dipilh satu komoditi yang paling unggul. Pemerintah Daerah Propinsi akhirnya menetapkan jagung sebagai komoditi unggulan. Konsep agropolitan dapat berhasil karena didukung oleh pemerintah daerah yang melindungi petani jagung yaitu dengan melindungi harga dasar jagung dengan dikeluarkannya Peraturan Daerah (Perda) sehingga petani termotivasi untuk menanam jagung.
2.3.
Kerangka Pemikiran Otonomi Daerah diharapkan akan mewujudkan terciptanya pemerataan
serta peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sistem pemerintahan yang dianut oleh bangsa Indonesia adalah sistem desentralisasi dengan memberikan keleluasaan kepada daerah untuk meyelenggarakan kegiatan perekonomiannya maupun pemerintahan lokal sendiri menurut kepada otonomi daerah. Dengan ditetapkannya UU No.22 Tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi UU No.32 Tahun 2004 mengenai desentralisasi dan otonomi daerah, mendorong banyak daerah untuk melepaskan diri dari tingkatan pemerintahan di atasnya. Hal ini banyak dilakukan terutama oleh daerah-daerah yang kaya akan sumber daya, namun mereka tidak merasakan keuntungannya karena semuanya diserahkan ke pemerintah pusat terlebih dahulu. Adanya ketidakpastian jaminan kekayaan suatu
daerah akan membuat masyarakat di daerah tersebut menjadi lebih makmur menimbulkan rasa ketidakpuasan daerah yang memicu masyarakat untuk merumuskan kembali agenda hubungan kekuasaan pusat-daerah. Adanya rasa ketidakpuasan dapat ditimbulkan karena adanya ketimpangan pembangunan khususnya pembangunan ekonomi. Ketimpangan tersebut dapat dilihat dari adanya pengklasifikasian daerah menjadi daerah maju, berkembang, dan tertinggal atau menjadi daerah kaya, sedang, dan miskin. Menurut Wijaya dalam Marfiani (2007) salah satu faktor yang mempengaruhi keterbelakangan suatu daerah adalah rendahnya aktivitas ekonomi yang ada di daerah tersebut. Untuk melepaskan diri dari tingkatan pemerintahan di atasnya setiap daerah harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah sesuai dengan yang tertuang di dalam PP No. 78 Tahun 2007. PP ini semakin memperketat persyaratan pemekaran wilayah. Di antara persyaratan-persyaratan tersebut terdapat persyaratan mengenai kemampuan ekonomi dan kemampuan keuangan yang termasuk ke dalam syarat teknis. Kemampuan ekonomi diukur dari PDRB non migas kabupaten-kabupaten yang membentuk Propinsi Kapuas Raya atas dasar harga berlaku, sedangkan kemampuan keuangan diukur dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan dana perimbangan dari pemerintah pusat masing-masing kabupaten yang membentuk Propinsi Kapuas Raya. Kedua persyaratan ini merupakan faktor yang sangat penting, karena keduanya akan menjamin keberhasilan serta kemandirian Propinsi Kapuas Raya dimasa yang akan datang tanpa harus bergantung kepada bantuan dari pemerintah pusat. Untuk mencapai suatu kemandirian membutuhkan proses yang tidak mudah. Dalam era otonomi daerah, pemegang kendali perekonomian ada pada
tingkat kabupaten/kota, sehingga kendali perekonomian Propinsi Kapuas Raya berada pada kelima kabupaten yang tergabung di dalamnya. Oleh karena itu kabupaten-kabupaten tersebut harus dapat memanfaatkan sumber daya lokalnya secara maksimal agar dapat mandiri. Ketidakmerataan Pembangunan Keinginan Melepaskan diri dari wilayah administrasi di atasnya UU No.22 Th.1999 jo. UU No.32 Th. 2004 tentang Otonomi Daerah
Kendali Pemerintahan dan Perekonomian berada di tingkat Kabupaten/kota
Kabupaten/Kota Memanfaatkan sumber Daya Lokal
Penentuan Sumber Daya Lokal yang Memiliki Potensi Tertinggi
Analisis Potensi Ekonomi
Analisis Potensi Keuangan
Kemandirian Ekonomi
Kemandirian Fiskal (Keuangan)
Model Perencanaan Pembangunan Wilayah Berdasarkan Data
Kemandirian Propinsi Kapuas Raya Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
Perencanaan Pembangunan yang Tepat
III.
3.1.
METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dari
kelima kabupaten yang akan tergabung ke dalam Propinsi Kapuas Raya, yaitu Kabupaten Sintang, Kapuas Hulu, Sekadau, Sanggau dan Melawi. Data yang diambil berupa data PDRB menurut 9 sektor ekonomi atas dasar harga konstan tahun 2000 periode 2004-2006 dan data keuangan yang berasal dari laporan Realisasi Penerimaan Daerah Otonom masing-masing kabupaten periode 20042006 sera data-data sekunder penunjang lainnya.. Sumber data berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS) Jakarta, BPS Kalimantan Barat, Departemen Keuangan dan media internet.
3.2.
Metode Analisis Data Penelitian ini menggunakan beberapa alat analisis yaitu :
3.2.1.
Analisis Potensi Ekonomi
3.2.1.1. Analisis Location Quotient (LQ) Inti dari model ekonomi basis adalah arah dan pertumbuhan suatu wilayah ditentukan oleh ekspor wilayah tersebut. Menurut toeri ekonomi basis, perekonomian dibagi ke dalam dua sektor yaitu, sektor basis dan sektor non basis. Menurut Glasson dalam Priyarsono dan Sahara (2007) sektor basis adalah sektor yang mengekspor barang dan jasa ataupun tenaga kerja ke tempat-tempat di luar batas perekonomian daerah yang bersangkutan, dapat pula berupa pengeluaran orang asing yang berada di daerah tersebut terhadap barang-barang yang tidak
bergerak, seperti tempat-tempat wisata, peninggalan sejarah, museum, dan sebagainya. Sedangkan sektor non basis adalah sektor yang menyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat yang bertempat tinggal di dalam batasbatas daerah itu sendiri. Sektor ini tidak mengekspor barang, jasa maupun tenaga kerja, sehingga lingkup produksi dan daerah pasar sektor ini hanya bersifat lokal. Location Quotients (LQ) merupakan sebuah indeks yang mengukur overspecialization atau underspecialization dari sektor tertentu dalam suatu daerah. LQ mengukur tingkat spesialisasi relatif suatu daerah di dalam aktifitas sektor perekonomian tertentu. Pengertian relatif ini dapat diartikan sebagai tingkat spesialisasi yang membandingkan suatu daerah dengan wilayah yang lebih besar di mana daerah yang diamati merupakan bagian dari wilayah tersebut. LQ dapat dinyatakan dalam berbagai terminologi (variabel) seperti jumlah tenaga kerja (employment) dan nilai tambah bruto (PDRB). Metode LQ pada penelitian ini menggunakan variabel PDRB yaitu dengan membandingkan antara pangsa relatif PDRB sektor i kabupaten-kabupaten di Propinsi Kapuas Raya terhadap PDRB total sektor i di tingkat Propinsi Kalimantan Barat. PDRB yang digunakan merupakan PDRB atas dasar harga konstan tahun 2000. PDRB dapat dijelaskan melalui tiga pendekatan, yaitu pendekatan produksi, pendekatan pendapatan dan pendekatan pengeluaran. Pada penelitian ini PDRB yang digunakan adalah pendekatan produksi, yaitu jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di suatu daerah dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). Unit-unit produksi tersebut terdiri dari sembilan sektor lapangan usaha, yaitu : 1. Sektor Pertanian
2. Sektor Pertambangan dan penggalian 3. Sektor Industri pengolahan 2. Sektor Listrik, gas dan air 3. Sektor Bangunan 4. Sektor Perdagangan, hotel dan restoran 5. Sektor Pengangkutan dan komunikasi 6. Sektor Keuangan, persewaan dan jasa pengangkutan 7. Sektor Jasa-jasa lainnya Secara sistematis, metode LQ dapat dirumuskan sebagai : Sib
LQ =
Sia
Sb Sa
Keterangan : Sib = Pendapatan (PDRB) sektor i di wilayah administrasi bawah Sb = Pendapatan (PDRB) total di wilayah administrasi bawah Sia = Pendapatan (PDRB) sektor i di wilayah administrasi atas Sa = Pendapatan (PDRB) total di wilayah administrasi atas Suatu sektor dikatakan sebagai sektor basis apabila memiliki nilai LQ
1
yang berarti bahwa pangsa pendapatan (PDRB) pada sektor i di wilayah administrasi bawah lebih besar bila dibandingkan dengan wilayah administrasi atas dan output pada sektor i tersebut lebih berorintasi ekspor. Dikatakan sebagai sektor non basis apabila nilai LQ < 1 yang berarti pangsa pendapatan (PDRB) sektor i di wilayah administrasi bawah lebih rendah dibandingkan wilayah administrasi atasnya serta outputnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan wilayah i sendiri bahkan cenderung untuk mengimpor dalam rangka memenuhi kebutuhan akan output sektor i tersebut. Semakin banyak sektor basis dalam suatu
daerah, maka akan meningkatkan pendapatan daerah tersebut dan bisa meningkatkan pendapatan di sektor non basis (dampak multiplier) di wilayah sekitarnya, dengan kata lain sektor basis merupakan penggerak utama perekonomian suatu wilayah.
3.2.1.2. Analisis Potensi Ekonomi Menurut Perhitungan DAU Di dalam buku Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Bratakusumah dan Solohin, 2004) untuk menghitung potensi ekonomi daerah yaitu dengan didasarkan pada perkalian antara Penerimaan Daerah Rata-rata dengan penjumlahan dari Indeks Industri, Indeks Sumber Daya Alam, dan Indeks Sumber Daya Manusia setelah dibagi tiga. Secara matematis dapat dituliskan sebagai berukut : PED = PDR x
PDR =
Indeks( SDA + SDM + Industrti ) 3
PADT + BHPBPT N PDRBSNPD
Indeks Industri =
PDRBSNPT
PDRBD PDRBT
PDRBSSDAD
Indeks SDA =
PDRBD PDRBSSDAT PDRBT AKD
Indeks SDM =
AKI
PD PI
Keterangan : PED
= Potensi Ekonomi Daerah
PDR
= Pendapatan Daerah Rata-rata
PADT
= Pendapatan Asli Daerah Seluruh Daerah
BHPT
= Bagi Hasil Pajak Seluruh Daerah
N
= Jumlah Daerah
PDRBSNPD
= PDRB Sektor Non-Primer Daerah
PDRBD
= PDRB Daerah
PDRBSNPT
= PDRB Sektor Non-Primer seluruh Daerah
PDRBT
=PDRB Seluruh Daerah
PDRBSSDAD = PDRB Sektor Sumber Daya Alam Daerah PDRBSSDAT = PDRB Sektor Sumber Daya Alam Seluruh Daerah AKD
= Angkatan Kerja Daerah
PD
= Populasi Daerah
AKI
= Angkatan Kerja Indonesia
PI
= Populasi Indonesia Yang dimaksud dengan PDRB sektor non-primer di sini adalah PDRB di
luar sektor sumber daya alam, sedangkan PDRB sektor sumber daya alam sendiri terdiri dari PDRB yang berasal dari sektor minyak dan gas alam, pertambangan umum, kehutanan dan perikanan. Angkatan kerja yang digunakan adalah jumlah penduduk yang termasuk ke dalam usia produktif yaitu usia antara 15 sampai dengan 64 tahun. Adapun fungsi dari Indeks-indeks yang digunakan adalah : Indeks SDA digunakan untuk memperlihatkan perbedaan potensi daerah kaya dengan daerah yang miskin sumber daya alam. Indeks Industri dipergunakan untuk menunjukkan potensi penerimaan suatu daerah dari sumber-sumber yang berasal bukan dari bagi hasil SDA, seperti potensi PAD maupun bagi hasil pajak Bumi dan
Bangunan (PBB). Sedangkan Indeks SDM dimaksudkan untuk menunjukkan perbedaan potensi daerah atas sumber daya manusianya. Suatu daerah yang memiliki SDM yang besar secara relatif akan memiliki potensi penerimaan yang lebih baik, misalnya : Potensi penerimaan bagi hasil Pajak Penghasilan (PPh) perorangan dan PAD (Brodjonegoro dan Pakpahan, 2002). Penghitungan potensi ekonomi ini digunakan untuk menentukan besarnya Dana Alokasi Umum (DAU) yang diterima oleh setiap daerah otonom dari pemerintah pusat. Hal ini perlu dilakukan untuk pemerataan kemampuan daerah di seluruh Indonesia, termasuk adanya jaminan kesinambungan penyelenggaraan Pemerintah Daerah di seluruh daerah dalam rangka penyediaan pelayanan dasar kepada masyarakat. Hal ini menjadi penting untuk diketahui karena potensi ekonomi yang baik akan mengurangi ketergantuan suatu daerah terhadap bantuan dari pemerintah pusat dan dapat menjadi daerah yang lebih mandiri.
3.2.2.
Analisis Potensi Pendapatan Daerah
3.2.2.1. Kontribusi Pajak dan Retribusi Daerah Hal ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar kontribusi pajak dan retribusi terhadap penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Propinsi Kapuas Raya dari setiap kabupaten. Oleh karena itu dilakukan perbandingan antara realisasi penerimaan pajak dan retribusi terhadap PAD. Besarnya kontribusi pajak dan retribusi dapat dihitung menggunakan rumus berikut (Halim, 2004) : Pn =
Qx x100% Qy
Keterangan : Pn = kontribusi penerimaan pajak/retribusi terhadap penerimaan daerah
Qx = jumlah penerimaan pajak/retribusi kabupaten Qy = jumlah penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) n = tahun (periode) tertentu Analisis ini dilakukan untuk mengetahui kontribusi pajak dan retribusi terhadap PAD di Propinsi Kapuas Raya menurut kabupaten selama periode 20042006. Dari hasil analisis ini akan diketahui kontribusi yang terbesar dan yang terkecil dari tahun ke tahun. Sehingga dapat diketahui peranan pajak dan retribusi mempunyai kontribusi yang besar atau kecil terhadap PAD Propinsi Kapuas Raya menurut kabupaten. Apabila pajak dan retribusi meningkat, maka PAD juga akan meningkat. Hal ini akan memberikan dampak yang baik bagi PAD.
3.2.2.2. Rasio PAD, Pajak, dan Retribusi Daerah Analisis dilakukan untuk mengetahui baik atau tidaknya perencanaan penerimaan PAD, pajak dan retribusi daerah. Menurut Halim (2004) rumus yang digunakan adalah sebagai berikut : Rasio PAD =
PAD x100% PDRB
Rasio Pajak =
Pajak x100% PDRB
Rasio Retribusi =
Re tribusi x100 persen PDRB
Keterangan : PAD Pajak
: Penerimaan Pendapatan Asli Daerah : Penerimaan Pajak
Retribusi : Penrimaan Retribusi PDRB
: Produk Domestik Regional Bruto
Untuk mengetahui baik atau tidaknya perencanaan penerimaan PAD, pajak dan retribusi Propinsi Kapuas Raya di tiap-tiap kabupaten dengan memperhatikan kemampuan bayar suatu daerah, maka perlu dilakukan penghitungan rasio PAD, pajak dan retribusi. Dalam melakukan penghitungan rasio terhadap PAD, pajak dan retribusi ini akan dibandingkan dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan dikalikan seratus persen. Jika PDRB suatu daerah meningkat maka kemampuan untuk membayar pajak juga akan meningkat.
3.2.2.3. Derajat Desentralisasi Fiskal antara Pemerintah Pusat dan Daerah
Menurut Halim (2001) untuk mengukur tingkat kemandirian suatu propinsi digunakan alat analisis derajat desentralisasi fiskal yaitu : Proporsi PAD =
PAD x100% TPD
Proporsi BHPBP =
BHPBP x100% TPD
Proporsi SD =
SD x100% TPD
Ket : PAD
: Pendapatan Asli Daerah
BHPBP : Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak SD
: Sumbangan Daerah (DAU+DAK)
TPD
: Total Penerimaan Daerah (TPD = PAD+BHPBP+SD)
Semakin tinggi tingkat persentase dari PAD dan BPHBP maka semakin tinggi pula derajat desentralisasi fiskalnya atau tingkat kemandirian daerahnya. Begitu juga sebaliknya, semakin rendah persentase dari PAD dan BPHBP maka semakin rendah pula derajat desentralisasi fiskalnya atau tingkat kemandiriannya. Apabila SD semakin rendah maka derajat desentralisasi fiskal atau tingkat
kemandiriannya semakin tinggi, begitu pula sebaliknya bila SD semakin tinggi maka semakin rendah derajat desentralisasi fiskalnya. Hal tersebut menunjukkan seberapa besar tingkat ketergantungan daerah otonom terhadap bantuan dari pemerintah pusat.
3.3.
Model Perencanaan Pembangunan Berdasarkan Data Potensi Wilayah
3.3.1. Analisis Gravitasi dan Model Interaksi Ruang
Analisis Gravitasi menggunakan prinsip dasar gravitasi Issac Newton. Dikatakan bahwa dua benda akan saling menarik dengan gaya yang besarnya berbanding lurus dengan perkalian massa kedua benda tersebut dan berbanding terbalik dengan kuadrat jarak antara kedua benda tersebut. Dengan logika tersebut dapat digunakan untuk menentukan besarnya gaya tarik menarik/interaksi antar dua daerah. Dengan mengasumsikan perkalian antara pendapatan per kapita daerah dengan jumlah penduduk sebagai massa benda dan jarak antar kedua benda sebagai jarak antara kedua daerah. Analisis Gravitasi digunakan untuk menentukan kabupaten yang memiliki potensi paling besar untuk tumbuh dan berkembang sehingga bisa memberikan efek multiplier terhadap kabupaten yang lainnya. Adanya interaksi antar desa dengan kota menunjukkan eratnya hubungan antara wilayah 1 dengan wilayah 2 sebagai konsekuensi interaksi kota-desa dalam teori pusat pertumbuhan. Propinsi Kapuas Raya terdiri dari lima kabupaten, kemudian dipilih satu kabupaten sebagai pusat pertumbuhan atau yang disebut sebagai kota, sedangkan keempat kabupaten yang lain dianggap sebagai desa. Dalam penelitian ini Kabupaten Sintang ditetapkan sebagai kota karena kabupaten ini akan menjadi ibu kota dari Propinsi
Kapuas Raya (PP N0. 129 Tahun 2000). Pendapatan per kapita di sini diperoleh melalui pembagian antara PDRB dengan jumlah penduduk tengah tahun masingmasing kabupaten. Menurut Suwarjoko dalam Wiyadi dan Trisnawati (2002) rumus untuk menghitung interaksi dalam hubungan desa-kota dengan menggunakan analisis gravitasi dan model interaksi ruang adalah sebagai berikut: I1,2 = a (W1P1) (W2P2) / J
1,2
Keterangan : I 1,2 : Indeks gravitasi antara wilayah 1 dan 2 W1 : pendapatan perkapita wilayah 1 W2 : pendapatan perkapita wilayah 2 P1 : Jumlah penduduk wilayah 1 P2 : Jumlah penduduk wilayah 2 J 1,2 : jarak antara wilayah 1 dan 2 (dalam meter) : konstanta yang nilainya 1 : konstanta yang nilainya 2.
3.3.2. Deskripsi Perencanaan Pembangunan Wilayah
Deskripsi di sini menggunakan metode deskriptif, yaitu metode yang digunakan untuk menjelaskan suatu kondisi berdasarkan tabel data yang ada. Analisis
deskriptif
bersifat
ekploratif
berupaya
untuk
menelusuri
dan
mengungkapkan struktur dan pola data tanpa mengaitkannya secara kaku dengan asumsi-asumsi tertentu (Juanda, 2007).
3.4.
Konsep dan Definisi Data
3.4.1.
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
PDRB merupakan jumlah nilai tambah yang timbul dari seluruh sektor perekonomian di suatu wilayah dalam jangka waktu tertentu. Sektor perekonomian dibagi menjadi sembilan sektor besar dengan beberapa subsektor. PDRB ADHK memakai harga tahun tertentu yang telah ditetapkan (misalnya tahun 2000) sebagai acuan dalam menentukan besarnya PDRB pada tahun tertentu yang diinginkan. Penilaian seperti ini dilakukan bertujuan untuk melihat perkembangan perekonomian secara riil dari tahun ke tahun. Pendapatan per kapita merupakan PDRB dibagi dengan jumlah penduduk tengah tahun. Dalam penghitungan Potensi Ekonomi Daerah digunakan PDRB sektor non primer. Yang dimaksud dengan sektor non primer yaitu sektor yang berada di luar sektor sumber daya alam (primer). Sektor-sektor yang termasuk ke dalam sektor sumber daya alam adalah sektor yang diatur di dalam UU No. 25 Tahun 1999
untuk dibagihasilkan ke daerah, yaitu sektor kehutanan, perikanan,
pertambangan, minyak dan gas (Brodjonegoro dan Pakpahan, 2002).
3.4.2.
PAD, Pajak dan Retribusi
Menurut UU No. 33 Tahun 2004, PAD (Pendapatan Asli Daerah) adalah pendapatan yang diperolah daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Menurut UU No.34 tahun 2000 (Saragih 2003), PAD terdiri dari pajak, retribusi, laba BUMD dan hasil pendapatan PAD lain-lain yang sah. Pajak merupakan iuran wajib yang dilakukan oleh pribadi dan badan tanpa imbalan langsung yang seimbang, dapat dipaksakan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah. Pajak daerah dibagi menjadi dua yaitu pajak daerah propinsi dan pajak daerah kabupaten/kota. Pajak propinsi terdiri dari pajak kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air, bahan bakar kendaraan bermotor, pengambilan dan pemanfaatan air tanah dan air permukaan, bea balik nama kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air. Sedangkan pajak kabupaten/kota terdiri dari pajak hotel, restoran, hiburan, reklame, penerangan jalan, pengambilan bahan galian Gol. C dan parkir. Retribusi merupakan pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh pemda untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Objek atau jenis retribusi dibagi ke dalam tiga golongan besar, yaitu retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha dan retribusi perizinan tertentu (Saragih, 2003).
IV.
4.1.
GAMBARAN UMUM WILAYAH
Letak dan Kondisi Geografis
Calon Propinsi Kapuas Raya terdiri dari lima kabupaten yaitu Kabupaten Sintang, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Melawi dan Kabupaten Sekadau. Calon Propinsi Kapuas Raya mengambil 54,80 persen dari seluruh luas Propinsi Kalimantan Barat yaitu sekitar 80 428,00 km2. Secara geografis calon Propinsi Kapuas Raya terletak di antara 1o10’ LU – 1o24’ LS dan 109o45’ – 114o10’ BT. Sedangkan secara administrasi dibatasi oleh : -
Sebelah utara
: Serawak (Malaysia)
-
Sebelah selatan
: Kalimantan Barat
-
Sebelah Barat
: Kalimantan Barat
-
Sebelah timur
: Kalimantan Timur
Propinsi Kapuas Raya terdiri dari lima kabupaten (dua kabupaten diantaranya merupakan kabupaten baru) dan 66 kecamatan dengan pembagian sebagai berikut : Tabel 4.1 Kabupaten dan Jumlah kecamatan di Propinsi Kapuas Raya Persentase terhadap Luas Jumlah Propinsi Kalimantan Barat Nama Kabupaten Luas Wilayah Kecamatan (%) (km2) Sintang 21 635,00 14,74 14 Sanggau 12 857,70 8,76 15 Kapuas Hulu 29 824,00 20,33 23 Melawi 10 644,00 7,25 7 Sekadau 5 444,30 3,72 7 Total 80 428,00 54,80 66 Sumber : BPS 2007 dan www.wikipedia.com 2008 Propinsi Kapuas Raya terletak di sekitar daerah katulistiwa, sehingga memiliki iklim tropis lembab dan panas dengan suhu udara rata-rata 27oC, di
mana suhu minimumnya 21oC dan suhu maksimumnya mencapai 32oC. Karena berada di daerah tropis menyebabkan Propinsi Kapuas Raya mempunyai dua musim yaitu musim penghujan dan musim kemarau dengan curah hujan rata-rata per tahun sebesar 3268 mm dan jumlah hari hujan per tahun sebanyak 193 hari. Menurut klasifikasi Schmiat dan Ferguson curah hujan seperti itu tergolong ke dalam tipe A (R14,3 persen) yang berarti bahwa Propinsi Kapuas Raya tidak mempunyai bulan kering nyata. Topografi Propinsi Kapuas Raya berupa dataran rendah yang berawarawa dan juga berupa daerah dataran tinggi yang berbukit dan berawa yang dialiri oleh Sungai Kapuas yang merupakan sungai terbesar di propinsi ini, Propinsi Kapuas Raya juga dialiri oleh beberapa sungai yang lebih kecil yaitu Sungai Melawi, Sungai Sekadau, Sungai Pinoh, Sungai Belitang dan Sungai Sekayam. Sebagian besar sungai-sungai yang ada di Propinsi Kapuas Raya masih digunakan oleh masyarakatnya sebagai sarana transportasi. Sebagian besar tanah yang berada di Propinsi Kalimantan Barat merupakan tanah ultisol dan tanah organosol atau yang lebih dikenal sebagai tanah gambut. Tanah jenis ini jugalah yang menyusun sebagian besar komposisi tanah di propinsi Kapuas Raya. Tanah jenis ultisol merupakan penyusun utama Propinsi Kapuas Raya dengan luas 71 050 km2, sedangkan tanah Organosol (gambut) dengan luas 5 070 km2. Tanah organosol (gambut) merupakan jenis tanah yang berasal dari endapan bahan organik tua yang miskin akan unsur hara dan rentan terhadap kebakaran apabila suhu udara terlalu panas dan kelembaban udara terlalu rendah. Oleh sebab itu, sering sekali terjadi kebakaran hutan apabila musim kemarau tiba (Dinas Pertanian Prop. Kalimantan Barat 2005).
4.2.
Penduduk
Penduduk Propinsi Kapuas Raya terdiri dari berbagai macam etnis (suku), tetapi ada tiga etnis besar yaitu Etnis Melayu, Dayak dan Tionghoa (Cina). Selain ketiga etnis tersebut masih banyak lagi etnis yang lain, tetapi jumlahnya sedikit karena mereka merupakan kaum pendatang seperti Etnis Jawa, Madura, Etnis Bugis, Minang, Batak, dan Sunda. Jumlah penduduk Propinsi Kapuas Raya berdasarkan Survei Penduduk Antar Sensus tahun 2005 adalah 1 252 211 jiwa dan menurut proyeksi yang dilakukan oleh BPS pada tahun 2006, jumlah penduduknya mencapai 1 272 985 jiwa. Pertumbuhan penduduk setiap kabupaten mengalami perbedaan, yaitu Kabupaten Sintang 1,97 persen, Kabupaten Sanggau 1,36 persen, Kabupaten Kapuas Hulu 2,24 persen, Kabupaten Sekadau 1,20 persen dan Kabupaten Melawi 1,44 persen pada periode tahun 2005-2006. Kepadatan penduduk Propinsi Kapuas Raya masih sangat rendah yaitu 16 jiwa per km2. Sebagian besar penduduk Propinsi Kapuas Raya menggantungkan hidupnya dari pertanian. Sektor pertanian yang sedang berkembang yaitu tanaman bahan makanan dan kehutanan. Propinsi Kapuas Raya memiliki lahan yang sangat luas, sehingga sektor ini yang paling berkembang. Pada tabel 4.2 terlihat bahwa bidang pendidikan di Propinsi Kapuas tergolong maju. Terbukti dengan angka melek huruf penduduknya yang tinggi yaitu sebesar 89, 02 persen meskipun rata-rata lama sekolah masih rendah yaitu 6,42 tahun. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) cukup tinggi dengan rata-rata 66,54. Kabupaten Kapuas Hulu memiliki nilai IPM tertinggi dan Kabupaten Sekadau memiliki nilai IPM tertendah, karena Kabupaten Sekadau merupakan
kabupaten termuda di Propinsi Kapuas Raya sehingga masih dalam masa penyesuaian. Tabel 4.2 Angka Melek Huruf dan Indeks Pembangunan Manuasia di Propinsi Kapuas Raya Tahun 2006 Angka Angka Rata-rata Rata-Rata Nama Harapan Melek Lama Pengeluaran IPM Kabupaten Hidup Huruf Sekolah Riil/kapita/tahun (tahun) ( persen) (tahun) (Rp 000) Sintang 67,50 86,20 6,20 597,20 65,70 Sanggau 67,50 89,10 6,40 604,40 67,00 Kapuas Hulu 66,20 90,20 7,10 626,30 68,70 Melawi 67,50 90,60 6,30 588,40 66,00 Sekadau 67,20 89,00 6,10 588,20 65,30 Rata-rata 67,18 89,02 6,42 600,90 66,54 Sumber : BPS 2007
4.3.
Kondisi Perekonomian
Untuk dapat melihat perkembangan perekonomian suatu daerah dalam suatu periode waktu, digunakan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB). Sedangkan untuk melihat perkembangannya dari tahun ke tahun digunakan PDRB atas harga konstan (ADHK) tahun 2000 yang dapat dilihat pada Tabel 4.3. Tabel 4.3 PDRB ADHK Tahun 2000 Propinsi Kapuas Raya Menurut Kabupaten Tahun 2004-2006 (juta) Nama Kabupaten 2004 2005 2006* Sintang 965 470,99 1 002 989,52 1 052 442,26 Sanggau 1 997 447,87 2 064 292,07 2 234 132,33 Kapuas Hulu 996 137,32 999 995,22 1 032 646,43 Sekadau 469 814,49 496 548,66 526 965,05 Melawi 404 439,03 418 919,66 438 990,66 Sumber : PBS 2007 Ket : * = Sementara Berdasarkan PDRB ADHK tahun 2000, PDRB di semua kabupaten mengalami peningkatan di setiap tahunnya, hal ini menunjukkan bahwa kinerja perekonomian yang baik. Menurut PDRB ADHK tahun 2000, Kabupaten
Sanggau memiliki niliai PDRB tertinggi bila dibandingkan dengan kabupaten yang lainnya dengan rata-rata 2 098 624,09 juta rupiah per tahun, sedangkan PDRB terendah dimiliki oleh Kabupaten Melawi dengan rata-rata 420 783,12 juta rupiah per tahun. Hal ini disebabkan karena Kabupaten Melawi merupakan kabupaten baru, sehingga belum bisa memanfaatkan serta mengelola sumber dayanya dengan baik. Tabel 4.4 Pendapatan per Kapita ADHK Tahun 2000 Propinsi Kapuas Raya Menurut Kabupaten tahun 2004-2006 (rupiah) Nama Kabupaten 2004 2005 2006* Sintang 2 903 191,91 2 964 950,91 3 059 407,38 Sanggau 5 424 575,05 5 547 263,50 5 922 954,00 Kapuas Hulu 5 173 610,56 5 125 657,23 5 223 881,40 Sekadau 2 791 248,00 2 898 944,81 3 040 153,76 Melawi 2 564 902,97 2 594 058,25 2 644 761,01 Sumber : PBS 2007 Ket : * = Sementara Pendapatan per kapita di seluruh kabupaten menurut ADHK tahun 2000 mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, kecuali pada Kabupaten Kapuas Hulu. Pendapatan per kapita Kabupaten Kapuas Hulu berdasarkan PDRB ADHK tahun 2000 mengalami fluktuasi, di mana pada tahun 2005 mengalami penurunan dari 5 173 610,56 juta rupiah menjadi 5 125 657,23 juta rupiah. Pada tahun 2006 mengalami peningkatan bahkan melebihi dari tahun 2004 menjadi 5 223 881,40 juta rupiah. Kabupaten Sanggau merupakan kabupaten dengan PDRB per kapita tertinggi. Menurut PDRB ADHK tahun 2000 rata-ratanya sebesar 5 631 597,52 juta rupiah per tahun. Kabupaten Melawi merupakan kabupaten dengan PDRB per kapita paling rendah. Menurut ADHK tahun 2000 rata-ratanya sebesar 2 601 240,74 juta rupiah per tahun.
Tabel 4.5 Pertumbuhan Ekonomi Propinsi Kapuas Raya Menurut Kabupaten 2004-2006 (dalam persen) Nama Kabupaten 2004 2005 2006* Sintang 2,04 3,89 4,93 Sanggau 7,96 3,35 8,23 Kapuas Hulu -1,95 0,39 3,27 Sekadau 2,56 5,69 6,13 Melawi 3,64 3,58 4,79 Sumber : PBS 2007 Ket : * = Sementara Terlihat pada tabel 4.5 bahwa setiap kabupaten mengalami pertumbuhan ekonomi yang berbeda-beda. Kabupaten Sintang, Kapuas Hulu dan Sekadau selalu mengalami peningkatan pertumbuhan ekonomi dari tahun 2004 hingga 2006. Kabupaten yang mengalami fluktuasi pertumbuhan ekonomi yaitu Kabupaten Sanggau dan Kabupaten Melawi. Pada tahun 2005 Kabupaten Sanggau mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi menjadi 3,35 persen dari 7,96 persen pada tahun 2004 dan pada tahun 2006 mengalami peningkatan menjadi 8,23 persen. Kabupaten Melawi mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2005 sebesar 0,06 persen, kemudian pada tahun 2006 mampu meningkatkan partumbuhan ekonomi sebesar 1,21 persen menjadi 4,79 persen.
4.4.
Kondisi Keuangan Daerah
Kondisi keuangan suatu daerah yang baik tercermin dari kondisi Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang baik serta transfer dana yang semakin kecil dari pemerintah pusat. Komponen utama dari PAD adalah pajak dan retribusi. Sedangkan komponen utama dari dana transfer adalah Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Keduanya mencerminkan tingkat
kemandirian suatu daerah. Kondisi tersebut dapat terlihat dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). APBD menurut UU No.33 Tahun
2004 adalah rencana keuangan
tahunan Pemerintah Daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan DPRD dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. APDB terdiri atas pendapatan, anggaran belanja dan anggaran pembiayaan. Pendapatan dan pengeluaran merupakan komponen yang digunakan dalam menganalisis keuangan daerah. Tabel 4.6 Realiasasi Pajak Propinsi Kapuas Raya Tahun 2004-2006 Realisasi Pajak (rupiah) Nama Kabupaten 2004 2005 2006 Sintang 1 276 689 000 1 123 145 000 1 597 540 000 Sanggau 1 935 786 140 2 470 195 970 2 071 871 340 Kapuas Hulu 440 000 000 258 430 000 390 500 000 Sekadau 338 929 624 237 325 429 430 240 964 Melawi 216 165 208 1 041 406 332 Sumber : BPS 2007 Tabel 4.7 Realisasi Retribusi Propinsi Kapuas Raya 2004-2006 Nama Kabupaten Sintang Sanggau Kapuas Hulu Sekadau Melawi Sumber : BPS 2007
Realisasi Retribusi (rupiah) 2004 2005 2006 1 905 643 000 1 821 001 000 9 455 990 000 4 067 138 070 4 518 533 090 5 150 634 970 945 000 000 1 071 288 000 1 356 000 000 140 145 000 185 986 395 381 798 859 499 977 908 1 575 989 152
Dari Tabel 4.6 terlihat bahwa pemasukan dari sektor pajak masih meangalami fluktuasi. Kabupaten Sanggau mengalami peningkatan pamasukan dari sektor pajak setiap tahunnya. Pada kabupaten Sintang, Kapuas Hulu dan Sekadau mengalami penurunan pada tahun 2005. Hal ini menunjukan bahwa pemerintah daerah masih belum mampu mengoptimalkan sumber-sumber pajak
yang ada, sehingga mengalami penurunan meskipun mengalami peningkatan kembali pada 2006. Terlihat pada Tabel 4.7 bahwa penerimaan daerah dari sektor retribusi mengalami peningkatan setiap tahunnya di seluruh kabupaten di Propinsi Kapuas Raya, bahkan pada kabupaten Sintang mengalami peningkatan yang sangat tajam dari 1 821 001 000 rupiah menjadi 9 455 990 000 rupiah. Kondisi seperti ini menunjukan bahwa pemerintah daerah telah mampu memanfaatkan sumbersumber retribusi dengan baik.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1.
Potensi Ekonomi
5.1.1. Analisis Location Quotient (LQ)
Dengan adanya otonomi daerah maka pemegang kendali dalam kegiatan pemerintahan dan juga dalam bidang ekonomi berada di tangan pemerintah daerah terutama Pemerintah Daerah Tingkat II yaitu kabupaten/kota. Dengan mengetahui nilai Location Quotient (LQ) setiap sektor masing-masing kabupaten maka dapat diketahui sektor yang merupakan sektor basis bagi kabupaten-kabupaten tersebut, Nilai LQ dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 5.1 Nilai Rata-Rata LQ Propinsi Kapuas Raya Menurut Kabupaten Terhadap Kalimantan Barat, Kapuas Raya dan Rata-rata Indonesia Tahun 2004-2006 Kabupaten
Sintang
Sanggau
Kapuas Hulu
Melawi
Sekadau
Dibandingkan terhadap Kalbar
1
2
3
4
5
6
7
8
9
2,01
4,25
0,29
0,77
0,39
0,97
0,29
0,99
0,69
Kapuas Raya
1,18
2,14
0,34
1,29
0,56
1,34
0,76
0,51
0,91
Indonesia
3,43
0,53
0,20
0,50
0,56
1,34
0,32
0,51
0,75
Kalbar
1,45
1,06
1,58
0,59
0,49
0,68
0,34
0,60
0,79
Kapuas Raya
0,85
0,53
1,76
0,37
0,65
0,80
0,88
0,74
1,04
Indonesia
2,47
0,13
1,02
0,37
0,63
0,92
0,36
0,31
0,86
Kalbar
1,82
0,92
0,35
0,67
1,54
0,81
0,64
1,06
0,95
Kapuas Raya
1,07
0,47
0,26
1,13
2,05
0,98
1,64
1,30
1,25
Indonesia
3,10
0,12
0,15
0,44
1,98
1,12
0,68
0,55
1,03
Kalbar
1,51
3,37
0,52
0,50
0,64
1,47
0,24
0,62
0,77
Kapuas Raya
0,89
1,70
0,61
0,85
0,85
1,62
0,64
0,76
1,02
Indonesia
2,57
0,42
0,35
0,33
0,82
1,87
0,26
0,32
0,84
Kalbar
1,92
2,20
0,54
0,26
0,93
0,80
0,36
0,97
0,30
Kapuas Raya
1,13
1,08
0,88
0,43
1,24
0,96
0,91
1,17
0,40
Indonesia
3,27
0,27
0,50
0,17
1,20
1,11
0,38
0,49
0,33
Sumber : BPS 2007 (diolah) Ket : 1. Pertanian, 2. Pertambangan dan Penggalian, 3. Industri Pengolahan, 4. Listrik, Gas dan Air Bersih, 5. Bangunan, 6. Perdagangan, Hotel dan Restoran, 7. Pengangkutan dan Komunikasi, 8. Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan, 9. Jasa-jasa
Sebuah sektor dikatakan sektor basis apabila memiliki nilai LQ 1. Pada Tabel 5.1 terlihat bahwa sektor yang menjadi basis yaitu sektor pertanian dan sektor pertambangan dan penggalian, namun sektor-sektor tersebut mengalami pergeseran ketika dibandingkan dengan Propinsi Kapuas Raya dan rata-rata PDB Indonesia. Sektor-sektor yang awalnya bukan basis, bergeser menjadi sektor basis di beberapa kabupaten, seperti sektor listrik, gas dan air bersih; sektor bangunan, sektor perdagangan, hotel dan restoran serta sektor jasa. Pergeseran tersebut menandakan bahwa setiap sektor memiliki kontribusi yang berbeda-beda terhadap perekonomian wilayah yang dibandingkan terhadapnya dan juga tergantung terhadap orientasi yang dimiliki daerah tersebut, untuk ekspor atau untuk memenuhi kebutuhan daerahnya sendiri. Implikasi atau dampak yang ditimbulkan dari pergeseran sektor basis tersebut adalah, pemerintah daerah masing-masing Kabupaten harus lebih memperhatikan sektor yang bergeser tersebut, terutama sektor yang awalnya merupakan sektor basis kemudian bergeser menjadi sektor non basis dan lebih mengembangkan sektor basis yang baru. Kabupaten Sintang memiliki dua sektor basis bila dibandingkan dengan Propinsi Kalimantan Barat, yaitu sektor pertambangan dan penggalian dan sektor pertanian. Namun terjadi pergeseran, sektor perdagangan menjadi basis bila dibandingkan terhadap Propinsi Kapuas Raya maupun terhadap rata-rata PDB Indonesia. Sedangkan sektor listrik, gas dan air bersih hanya menjadi basis bila dibandingkan terhadap Propinsi Kapuas Raya, sedangkan sektor pertambangan dan penggalian tidak menjadi basis bila dibandingkan dengan rata-rata PDB Indonesia.
Sektor pertama yang menjadi basis di Kabupaten Sintang adalah sektor pertambangan dan penggalian. Terhadap rata-rata PDB Indonesia kontribusi sektor ini terbilang kecil, tetapi secara regional besar sehingga sektor ini hanya mampu memenuhi kebutuhan wilayah Propinsi Kalimantan Barat dan juga Propinsi Kapuas Raya. Kontribusi terbesar diberikan oleh subsektor penggalian dan pertambangan tanpa migas dengan rata-rata menyumbang sebesar Rp 25 766,49 juta per tahun dan Rp 25 271,23 juta per tahun dari tahun 2004 sampai 2006. Sektor ini merupakan sektor yang sangat potensial untuk dikembangkan, diantaranya yaitu mineral logam seperti, air raksa, emas dan perak. Selanjutnya yaitu mineral yang digunakan dalam industri seperti mika dan mineral konstruksi seperti andesit, basal dan granit. Diperkirakan cadangan ketiga mineral konstruksi tersebut bernilai 3 875 miliar rupiah. Pertambangan untuk memperoleh energi juga merupakan sektor yang sangat potensial seperti batu bara. Diperkirakan cadangan batu bara di seluruh wilayah Kabupaten Sintang sebesar 26 670 000 ton. Bagi sektor pertanian Kabupaten Sintang sumbangan terbesar diberikan oleh subsektor tanaman perkebunan dengan rata-rata dari tahun 2004 hingga 2006 menyumbang sebesar Rp 287 506,20 juta per tahun. Daya tarik Kabupaten Sintang di sektor perkebunan memang sangat besar. Terbukti sebanyak 53 investor yang mengajukan izin untuk mendapatkan pengusaan lahan perkebunan pada tahun 2001. Tanaman perkebunan yang menjadi andalan di Kabupaten Sintang adalah tanaman karet dan kelapa sawit. Pada tahun 2005, produksi tanaman karet meningkat sebesar 6,27 persen yang dikarenakan adanya perluasan areal perkebunan karet menjadi 30 397 Ha. Subsektor selanjutnya yang memberikan sumbangan terbesar yaitu sektor tanaman bahan makanan dengan
rata-rata sebesar Rp 176 196,43 juta per tahun. Komoditas utama dari subsektor ini adalah tanaman padi. Tanaman padi ini mendapatkan perhatian yang lebih karena tanaman ini merupakan bahan makanan pokok serta untuk mendukung swasembada beras. Sektor kehutanan juga memberikan sumbangan yang besar dengan rata-rata Rp 160 263,96 juta per tahun, hal ini disebabkan kerena Kabupaten Sintang masih memiliki hutan yang luas. Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah pada tahun 2005 Kabupaten sintang memiliki kawasan hutan seluas 3 227 900 Ha. Sektor listrik, gas dan air bersih merupakan sektor basis bagi Kabupaten Sintang bila dibandingkan dengan Propinsi Kapuas Raya, artinya bahwa sektor ini hanya bisa memenuhi kebutuhan Propinsi Kapuas Raya sendiri. Kontribusi terbesar diberikan oleh subsektor listrik dengan rata-rata sebesar 2 395,74 juta rupiah per tahun. Listrik ini digunakan oleh berbagai kalangan, mulai dari rumah tangga hingga industri. Sektor perdagangan, hotel dan restoran menjadi basis bila dibandingkan terhadap Propinsi Kapuas Raya sendiri dan terhadap rata-rata PDB Indonesia. Ini berarti bahwa sektor tersebut selain mampu memenuhi kebutuhan masyarakat Kabupaten Sintang, sektor ini mampu mengekspor bagi Kabupaten yang lain di Propinsi Kapuas Raya dan juga bagi masyarakat Indonesia. Sumbangan yang sangat besar diberikan oleh subsektor perdagangan besar dan eceran dengan ratarata sebesar 220 507,47 juta rupiah per tahun. Perdagangan merupakan salah satu kegiatan utama bagi perekonomian Kabupaten Sintang. Kabupaten Sanggau memiliki tiga sektor basis yaitu sektor industri pengolahan,
pertanian,
dan
sektor
pertambangan
dan
penggalian
bila
dibandingkan dengan rata-rata PDB Indonesia. Sektor pertanian tidak lagi menjadi basis ketika dibandingkan dengan Propinsi Kapuas Raya, ini berarti bahwa sektor pertanian mempunyai orientasi mengekspor hasil-hasil pertaniannya ke daerah lain terutama komoditi perkebunan, seperti kelapa sawit dan karet. Namun sektor jasa menjadi basis ketika dibandingkan terhadap Propinsi Kapuas Raya, artinya sektor ini hanya mampu memenuhi kebutuhan jasa bagi masyarakat Propinsi Kapuas Raya. Sedangkan sektor pertambangan dan penggalian hanya menjadi basis bila dibandingkan terhadap Propinsi Kalimantan Barat. Hal ini menandakan bahwa sektor pertambangan dan penggalian memiliki kontribusi yang besar bagi perekonomian Propinsi Kalimantan Barat. Bagi sektor pertanian sumbangan terbesar diberikan oleh sektor tanaman perkebunan dan tanaman bahan makanan yaitu dengan rata-rata sebesar Rp 703 318,90 juta per tahun dan Rp 231 264,86 juta per tahun pada periode 2004-2006. Komoditas unggulan pada subsektor tanaman perkebunan adalah kelapa sawit dengan produksi sebesar 1 099 ton pada tahun 2006 dan tanaman karet dengan produksi sebesar 55 082 ton yang perkebunannya tersebar di beberapa kecamatan yaitu Tayan Hilir (9185 Ha), Meliau (8652 Ha) dan Kembayan (7762 Ha). Sedangkan untuk tanaman bahan makanan, jagung merupakan komoditas unggulan di Kabupaten Sanggau dengan total produksi pada tahun 2006 sebesar 2 075 ton pada areal seluas 955 Ha. Sektor basis yang kedua di Kabupaten Sanggau adalah sektor pertambangan dan penggalian. Sumbangan terbesar diberikan oleh subsektor pertambangan non migas dan penggalian yaitu dengan rata-rata sebesar Rp 22 736,02 juta per tahun dan Rp 15 408,58 juta per tahun pada periode 2004-2006.
Bahan tambang yang menjadi andalan yaitu emas dan pasir kuarsa. Berdasarkan hasil Pendataan dan Evaluasi Pemanfaatan Bahan Galian Pada Bekas Tambang dan Wilayah PETI Daerah Sanggau yang dilakukan oleh Badan Geologi dapat dihitung jumlah sisa endapan aluvial yang belum ditambang yaitu di S. Bunan sebesar 761 180 m3, di Hulu S. Salesung sebesar 135 280 m3 dan di S. Raman sebesar 827 640 m3, dengan kadar emas rata-rata 0,11 gr/m3. Jumlah sumberdaya hipotetik emas aluvial yang masih tersisa di daerah S. Bunan sebesar 84 415 kg, di Hulu S. Salesung 15 003 kg dan di S. Raman 91 785 kg. Bahan galian pasir kuarsa dan zirkon berupa bahan galian lain atau mineral ikutan pada proses pengolahan emas aluvial. Jumlah sumber daya hipotetik pasir kuarsa dan zirkon kurang lebih sama dengan jumlah endapan aluvial yang ada (Gunradi 2006). Sektor basis ketiga di Kabupaten Sanggau yaitu sektor industri pengolahan di mana subsektor kayu dan hasil hutan sebagai penyumbang terbesar dengan rata-rata dari tahun 2004 hingga 2006 sebesar Rp 428 358,49 juta per tahun disusul oleh subsektor makanan dengan rata-rata sebesar Rp 421 899,15 juta per tahun. Kedua sub sektor ini merupakan subsektor yang mengolah hasil-hasil dari sektor basis yaitu kehutanan dan pertanian bahan makanan. Perkembangan sektor industri pengolahan sendiri merupakan akibat dari semakin berkembangnya sektor primer terutama sektor pertanian di Kabupaten Sanggau. Sektor jasa hanya mampu menjadi basis bagi Propinsi Kapuas Raya. Jasa pemerintahan memberikan kontribusi terbesar dengan rata-rata 159 797,88 juta rupiah. Pada tahun 2005 sempat mengalami penurunan yang diakibatkan karena adanya pemekaran wilayah, namun meningkat kembali pada tahun 2006.
Pemerintah memiliki peran yang sangat penting terutama dalam melayani kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Dari Tabel 5.1 diketahui bahwa sektor pertanian Kabupaten Kapuas Hulu menjadi basis bila dibandingkan terhadap Propinsi Kalimantan Barat, Propinsi Kapuas Raya dan rata-rata PDB Indonesia. Kontribusi yang paling besar diberikan oleh subsektor kehutanan dengan rata-rata sebesar 187 883,32 juta per tahun. Dari data yang diperoleh dari WWF 2008, Kabupaten Kapuas Hulu memiliki kawasan budidaya hutan seluas 764 543 hektar atau sekitar 25,65 persen dari seluruh luas hutan yang dimiliki oleh Kabupaten Kapuas Hulu. Hutan yang sangat luas untuk dikelola sehingga dapat memberikan kontribusi yang sangat besar. Selain itu, Kabupaten Kapuas Hulu juga memiliki kawasan budidaya pertanian bukan danau seluas 588 481 hektar (19,75 persen). Hal itu sangat mendukung bagi sub sektor tanaman bahan makanan yang memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap perekonomian yaitu dengan rata-rata sebesar 177 718,63 juta per tahun. Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu sedang berusaha untuk mengembangkan sub sektor tanaman bahan makanan dalam rangka mencapai swasembada pangan, perbaikan gizi masyarakat melalui penganekaragaman jenis makanan. Usaha ini dilakukan dengan meningkatkan produktivitas serta memanfaatkan lahan kering, daerah rawa dan melalui irigasi. Tanaman bahan makanan yang dikembangkan yaitu tanaman padi baik padi sawah maupun padi ladang. Pada tahun 2006 jumlah produksi padi mencapai 38 749 ton. Tanaman lain yang dikembangkan yaitu tanaman palawija seperti jagung, ubi kayu, ubi jalar, serta kacang tanah dengan total produksi pada tahun 2006 masing-masing adalah sebesar 962 ton, 7537 ton, 2132 ton, 173 ton.
Sektor listrik, gas dan air bersih hanya mampu menjadi basis ketika dibandingkan terhadap Propinsi Kapuas Raya. Artinya sektor ini hanya mampu mengekspor hasil produksinya untuk memenuhi kebutuhan bagi Propinsi Kapuas Raya sendiri. Kontribusi terbesar sektor diberikan oleh subsektor listrik dengan rata-rata sebesar 2 154,97 juta rupiah per tahun. Kebutuhan akan listrik dari masyarakat sangat tinggi yang digunakan mulai untuk kebutuhan rumah tangga sampai dengan kebutuhan untuk industri. Sektor bangunan Kabupaten Kapuas Hulu menjadi basis bila dibandingkan dengan Propinsi Kalimantan Barat, Propinsi Kapuas Raya dan rata-rata PDB Indonesia. Hal ini menandakan bahwa sektor ini memiliki peran yang yang penting bagi perekonomian Propinsi Kalimantan Barat, Propinsi Kapuas Raya dan Indonesia. Sektor ini menjadi basis tidak terlepas dari proses pembangunan yang dilakukan oleh Kabupaten Kapuas Hulu. Pembangunan berbagai sarana dan prasarana fasilitas umum guna memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Sektor bangunan juga tidak terlepas dari sektor jasa-jasa terutama pariwisata yang sedang dikembangkan oleh pemerintah daerah Kabupaten Kapuas Hulu. Sektor bangunan ini menyumbang dengan rata-rata sebesar 208 096,53 juta per tahun. Sektor perdagangan, hotel dan restoran di Kabupaten Kapuas Hulu mampu menjadi basis bila dibandingkan dengan PDB rata-rata Indonesia. Hal ini menandakan bahwa sektor ini mampu berkontribusi terhadap perekonomian nasional. Perkembangan sektor ini tidak terlepas dari usaha pemerintah dalam mengembangkan sektor pariwisata. Kontribusi terbesar diberikan oleh subsektor perdagangan dengan rata-rata 186 422,35 juta rupiah per tahun. Perdagangan merupakan salah satu aktifitas ekonomi yang sangat penting.
Sektor pengangkutan dan komunikasi di Kabupaten Kapuas Hulu hanya menjadi basis bagi Propinsi Kapuas Raya. Hal ini menandakan bahwa sektor ini hanya mampu memenuhi kebutuhan bagi masyarakat Propinsi Kapuas Raya saja. Kontribusi terbesar diberikan oleh subsektor transportasi terutama transportasi jalan raya dengan rata-rata sebesar 37 963,55 juta rupiah per tahun. Transportasi merupakan sarana untuk mobilisasi manusia dan barang. Sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan di Kabupaten Kapuas Hulu menjadi basis ketika dibandingkan terhadap Propinsi Kalimantan Barat dan Propinsi Kapuas Raya. Hal ini berarti sektor tersebut hanya mampu memenuhi kebutuhan bagi masyarakat Propinsi Kalimantan Barat dan Kapuas Raya. Kontribusi terbesar diberikan oleh subsektor sewa bangunan dengan rata-rata 43 889,36 juta per tahun. Kontribusi yang besar ini disebabkan karena perkembangan sektor perdagangan, hotel dan restoran yang memerlukan bangunan untuk menjalankan usahanya. Sektor jasa mampu menjadi basis bila dibandingkan terhadap Propinsi Kapuas Raya dan terhadap rata-rata PDB Indonesia. Kontribusi terbesar diberikan oleh subsektor jasa pemerintahan umum dengan rata-rata sebesar 87 912,77 juta rupiah per tahun. Kontribusi yang besar tersebut merupakan hasil dari pelaksanaan tugas pemerintah yaitu untuk melayani masyarakat. Sektor pertanian Kabupaten Melawi menjadi sektor basis ketika dibandingkan terhadap Propinsi Kalimantan Barat dan terhadap rata-rata PDB Indonesia. Hal ini menunjukan bahwa sektor pertanian memiliki produksi pertanian yang berlebih, sehingga mampu mengekspor hasil pertanian ke daerah lain. Sumbangan terbesar diberikan oleh subsektor tanaman bahan makanan
sebesar 55 185,47 juta per tahun pada periode 2004 hingga 2006. Sebesar 44,3 persen masyarakat Kabupaten Melawi menggantungkan hidupnya pada subsektor ini dengan menanam padi (sawah dan lading) dan palawija, seperti ubi kayu dan ubi jalar. Menurut data BPS, pada tahun 2006 produksi padi Kabupaten Melawi mencapai 24 506 ton, ubi kayu 5 580 ton, dan ubi jalar 1 031 ton. Sumbangan terbesar kedua disusul oleh subsektor tanaman perkebunan dengan rata-rata sebesar 47 070,80 juta per tahun. Subsektor tanaman perkebunan ini memang sedang berkembang dengan sangat pesat di Kabupaten Melawi, terutama tanaman kelapa sawit dan karet dengan jumlah produksi pada tahun 2006 sebesar 17 109 ton (Dinas Perkebunan Kalbar 2007). Kelapa sawit semakin berkembang dengan hadirnya PT Sinar Dinamika Kapuas (SDK). PT SDK tidak hanya mengusahakan perkebunan kelapa sawit, tetapi juga menyediakan pabrik untuk pengolahan kelapa sawit menjadi minyak sawit mentah (CPO). Pada tahun 2007, produksi tanaman karet Kabupaten Melawi sebesar 15 384,60 ton (BKPM 2006). Tanaman karet di Kabupaten Melawi diusahkan oleh para petani yang membagi lahannya menjadi dua bagian, satu bagian untuk padi dan palawija dan satu bagian lagi ditanami karet. Selain petani ada juga perkebunan besar yang dikelola oleh pihak swasta. Sentra pengembangan tanaman karet terdapat di beberapa kecamatan yaitu Kecamatan Silat Hulu, Hulu Gunung dan Batu Datu. Sektor pertambangan dan penggalian Kabupaten Melawi menjadi basis bila dibandingkan dengan Propinsi Kalimantan Barat dan Kapuas Raya. Ini berarti bahwa sektor tersebut mampu mengekspor hasil produksinya hanya di dalam wilayah Propinsi Kalimantan Barat dan Kapuas Raya. Kontribusi terbesar
diberikan oleh subsektor pertambangan non migas dengan rata-rata sebesar 10 247,6 juta rupiah per tahun. Kabupaten Melawi memiliki potensi yang sangat besar dalam mineral non logam, diantaranya adalah granit, pasir kuarsa dan andesit. Berdasarkan hasil Inventarisasi dan Penyelidikan Mineral non Logam Kabupaten Melawi yang dilakukan oleh Badan Geologi pada tahun 2007 diketahui bahwa jumlah sumber daya hipotik untuk granit sebesar 23,5 juta ton, pasir kuarsa sebesar 11,65 juta ton dan andesit sebesar 17 juta ton. Sektor perdagangan, hotel, dan restoran di Kabupaten Melawi mampu menjadi basis bila dibandingkan baik dengan Propinsi Kalimantan Barat, Kapuas Raya dan rata-rata PDB Indonesia. Hanya dalam kurun waktu enam bulan sejak melepaskan diri dari Kabupaten Sintang, jumlah bangunan toko dan hotel bertambah dengan cepat terutama di Nanga Pinoh, ibu kota Kabupaten Melawi. Hal ini dilakukan sebagai langkah awal untuk mengembangkan kegiatan perekonomian melalui perdagangan dan pariwisata. Kontribusi terbesar yaitu subsektor perdagangan dengan rata-rata sebesar 130 164,93 juta rupiah per tahun. Kontribusi yang besar tersebut disebabkan perdagangan merupakan urat nadi bagi perekonomian suatu daerah. Sektor jasa di Kabupaten Melawi hanya mampu menjadi basis ketika dibandingkan terhadap Propinsi Kapuas Raya. Hal ini berarti bahwa sektor tersebut hanya mampu mengekspor bagi kebutuhan masyarakat Propinsi Kapuas Raya. Kontribusi terbesar diberikan oleh subsektor pemerintahan umum dengan rata-rata sebesar 30 349,24 juta rupiah per tahun. Kontribusi yang besar disebabkan karena masyarakat sangat membutuhkan pelayanan dari pemerintah.
Sektor pertanian Kabupaten Sekadau menjadi basis ketika dibandingkan terhadap Propinsi Kalimantan Barat, Kapuas Raya dan terhadap PDB rata-rata Indonesia. Ini menandakan bahwa sektor tersebut dapat berproduksi secara berlebih, sehingga mampu mengekspor hasilnya ke daerah lain. Sumbangan terbesar diberikan oleh subsektor tanaman perkebunan dengan tanaman andalan yaitu tanaman kelapa sawit dan karet. Pada tahun 2006, produksi tanaman kelapa sawit mencapai 76 915 ton yang dihasilkan baik oleh perkebunan besar maupun perkebunan rakyat pada lahan seluas 42 024 hektar. Sedangkan tanaman karet hanya dihasilkan oleh perkebunan rakyat. Pada tahun 2006 total produksi tanaman karet Kabupaten Sekadau mencapai 18 590 ton pada lahan seluas 29 842 hektar (Dinas Perkebunan Prop. Kalbar 2007). Dilihat dari sisi sumbangan kegiatan ekonomi, perkebunan lebih tinggi dibandingkan lapangan usaha lain di Sekadau. Perkebunan mampu memberikan 28,9 persen dari total kegiatan ekonomi. Dari sisi penciptaan lapangan kerja, sektor ini telah menyerap 36,5 persen tenaga kerja di kabupaten ini. Sektor pertambangan dan penggalian Kabupaten Sekadau menjadi basis ketika dibandingkan terhadap Propinsi Kalimantan Barat dan Kapuas Raya. Kontribusi terbesar diberikan oleh subsektor pertambangan non migas dengan rata-rata sebesar 9 868,89 juta rupiah. Sama seperti Kabupaten Sanggau, potensi pertambangan yang ada di Kabupaten Sekadau adalah emas dan pasir kuarsa. Sektor bangunan Kabupaten Sekadau menjadi basis ketika dibandingkan terhadap Propinsi Kapuas Raya dan terhadap rata-rata PDB Indonesia. Rata-rata penerimaan dari sektor tersebut adalah sebesar 35 391,60 juta rupiah per tahun. Perkembangan sektor ini tidak terlepas dari pembangunan yang dilakukan oleh
Kabupaten Sekadau untuk melakukan pelayanan publik kepada masyarakat setelah pemekaran wilayah dari Kabupaten Sintang. Sektor perdagangan, hotel dan restoran mampu menjadi basis bila dibandingkan terhadap rata-rata PDB Indonesia karena sektor ini mampu memberikan kontribusi yang cukup besar. Sumbangan terbesar diberikan oleh subsektor perdagangan dengan rata-rata sebesar 89 723,37 juta rupiah per tahun. Kontribusi yang besar tersebut dikarenakan sektor perdagangan merupakan sektor yang sangat penting dalam sebuah perekonomian di mana dalam perdagangan terjadi transaksi tukar-menukar barang/jasa. Sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan menjadi basis ketika dibandingkan terhadap Propinsi Kapuas Raya. Kontribusi terbesar diberikan oleh subsektor sewa bangunan dengan rata-rata sebesar 19 869,68 juta rupiah per tahun. Kontribusi tersebut tidak terlepas dari perkembangan sektor perdagangan, hotel dan restoran.
5.1.2. Analisis Potensi Ekonomi Daerah Menurut Perhitungan DAU
Potensi ekonomi suatu daerah merupakan hal yang sangat penting dalam kemandirian suatu daerah karena menentukan tingkat ketergantungan pemerintah daerah terhadap Dana Alokasi Umum (DAU) dari pemerintah pusat. Semakin besar nilai potensi ekonomi daerahnya, maka tingkat ketergantungan terhadap DAU dari pemerintah pusat akan semakin rendah, sebaliknya apabila nilai potensi ekonominya semakin rendah, maka tingkat ketergantungan terhadap DAU dari pemerintah pusat akan semakin tinggi. Besarnya potensi ekonomi daerah setiap kabupaten di Propinsi Kapuas Raya dapat dilihat dalam Tabel 5.2.
Pada Tabel 5.2 terlihat bahwa besarnya Potensi Ekonomi Daerah Propinsi Kapuas Raya yaitu sebesar 134 547,38 juta rupiah. Kabupaten yang memiliki potensi ekonomi daerah paling besar yaitu Kabupaten Kapuas Hulu yaitu sebesar 31 785,81 juta rupiah. Hal ini berarti bahwa Kabupaten Kapuas Hulu merupakan Kabupaten yang paling mandiri di antara keempat kabupaten lainnya karena ketergantungan terhadap DAU dari pemerintah pusat semakin rendah. Rata-rata kebutuhan akan DAU dari pemerintah pusat Kabupaten Kapuas Hulu sebesar 286 553 juta rupiah per tahun. Sedangkan kabupaten dengan potensi ekonomi terkecil yaitu Kabupaten Sanggau sebesar 22 513,67 juta rupiah, hal ini berarti bahwa Kabupaten Sanggau merupakan kabupaten yang paling tidak mandiri. Kabupaten Sanggau memiliki tingkat ketergantungan yang sangat tinggi terhadap DAU dari pemerintah pusat. Rata-rata kebutuhan DAU Kabupaten Sanggau sebesar 199 974,40 juta rupiah per tahun Tabel 5.2 Potensi Ekonomi Daerah Berdasarkan Perhitungan DAU Propinsi Kapuas Raya Indeks Indeks Indeks Potensi Ekonomi Kabupaten Industri SDA SDM Daerah (juta) Sintang 0.93 1.60 1.01 30 155,39 Sanggau 1.07 0.37 1.20 22 513,67 Kapuas Hulu 0.91 1.82 1.01 31 785,81 Melawi 0.97 1.26 0.99 27 498,26 Sekadau 1.04 0.62 0.99 22 594,25 PED Propinsi Kapuas Raya 134 547,38 Sumber : Departemen Keuangan dan BPS 2007 (diolah)
Potensi Ekonomi Daerah Kabupaten Kapuas Hulu yang tinggi didukung oleh luas wilayah yang luas, di mana Kabupaten Kapuas Hulu merupakan kabupaten terluas di Proponsi Kapuas Raya, yaitu seluas 29 824,00 km2(20,33 persen). Selain luas wilayah, Potensi Ekonomi Daerah Kabupaten Kapuas Hulu didukung juga oleh sumber daya manusia yang lebih berpendidikan dibandingkan
dengan keempat Kabupaten yang lain dengan rata-rata lama pendidikan selama 7,1 tahun. Faktor pendukung berikutnya yaitu kesejahteraan masyarakatnya lebih baik bila dibandingkan dengan keempat kabupaten yang lain, hal ini terlihat dari rata-rata pengeluaran riil masyarakatnya yaitu sebesar 626 300 rupiah.
5.2.
Potensi Keuangan
5.2.1. Kontribusi Pajak dan Retribusi terhadap PAD
Salah satu sumber penerimaan daerah yaitu melalui pajak dan retribusi yang sangat memegang peranan penting dalam membiayai pengeluaran pemerintah. Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk melihat kemampuan keuangan suatu daerah yaitu dengan melihat besarnya kontribusi pajak dan retribusi terhadap PAD. Untuk menghitungnya dengan membandingkan realisasi penerimaan pajak/retribusi dengan realisasi penerimaan PAD kemudian dikalikan dengan 100 persen. Tabel
5.3 Kontribusi Pajak dan Retribusi terhadap PAD Kabupaten Sintang Tahun 2004-2006
Realisasi Realisasi Penerimaan Penerimaan Pajak (rupiah) Retribusi (rupiah) 2004 1 276 689 000 1 905 643 000 2005 1 123 145 000 1 821 001 000 2006 1 597 540 000 9 455 990 000 Sumber : BPS 2007 (diolah) Tahun
Realisasi Penerimaan PAD (rupiah) 10 078 780 000 10 336 609 000 20 675 420 000
Kontribusi Pajak ( persen) 12,67 10,87 7,73
Kontribusi Retribusi ( persen) 18,91 17,62 45,74
Dari Tabel 5.3 dapat dilihat bahwa kontribusi pajak terhadap penerimaan PAD di Kabupaten Sintang mengalami penurunan setiap tahunnya. Hal ini terjadi karena Kabupaten Sintang mengalami pemekaran wilayah sehingga obyek pajak di Kabupaten Sintang menjadi berkurang sehingga sangat berpengaruh terhadap penurunan pajak penerangan jalan. Rata-rata kontribusi pajak yang diterima oleh
Kabupaten Sintang yaitu sebesar 10,42 persen per tahun, hal ini menandakan bahwa penerimaan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Sintang mulai dari tahun 2004 hingga tahun 2006 sebanyak 10,42 persen berasal dari sektor pajak. Kontribusi terbesar terjadi pada tahun 2004 sebesar 12,67 persen dan terendah terjadi pada tahun 2006 sebesar 7,73 persen. Rata-rata penerimaan pajak dari tahun 2004 hingga 2006 sebesar 1 332 458 000 rupiah. Pajak penerangan jalan merupakan sumber pajak yang memberikan kontribusi terbesar yaitu sebesar 527 948 000 rupiah disusul oleh pajak restoran sebesar 380 159 000 rupiah pada tahun 2004. Kedua sumber pajak tersebut mampu memberikan kontribusi yang besar disebabkan jumlah rumah tangga pengguna/pelanggan listrik dan juga jumlah restoran di Kabupaten Sintang cukup banyak. Kontribusi retribusi terhadap PAD di Kabupaten Sintang mengalami fluktuasi. Pada tahun 2005 mengalami sedikit penurunan sebesar 1,29 persen dan tahun 2006 meningkat tajam sebesari 28,12 persen. Rata-rata kontribusi retribusi Kabupaten Sintang sebesar 27,42 persen per tahun, angka ini menandakan bahwa penerimaan PAD dari tahun 2004 hingga 2006, sebanyak 27,24 persen berasal dari retribusi. Retribusi dari sektor pelayanan kesehatan memiliki peran yang sangat besar bila dibandingkan dengan sumber retribusi yang lain, hampir separuh dari total retribusi berasal dari pelayanan kesehatan. Kesehatan merupakan hal yang sangat penting, sehingga mampu memebrikan kontribusi yang besar. Pada Tabel 5.4 dapat dilihat bahwa kontribusi pajak terhadap PAD di Kabupaten Sanggau dari tahun 2004 hingga 2006 mengalami fluktuasi. Pada tahun 2005 pajak meningkat sebesar 2,50 persen dan pada tahun 2006 mengalami penurunan sebesar 8,08 persen. Penerimaan terbesar diberikan oleh penerangan
jalan dengan rata-rata 1 299 484 022 rupiah per tahun pada tahun 2005 hingga 2006. Jumlah pelanggan listrik di Kabupaten Sanggau pada tahun 2006 sebanyak 53,04 persen dari seluruh rumah tangga di Kabupaten Sanggau. Tabel 5.4 Kontribusi Pajak dan Retribusi terhadap PAD Kabupaten Sanggau Tahun 2004-2006 Tahun
Realisasi Penerimaan Pajak (rupiah)
Realisasi Penerimaan Retribusi (rupiah)
2004 1 935 786 140 4 067 138 070 2005 2 470 195 970 4 518 533 090 2006 2 071 871 340 5 150 634 970 Sumber : Depkeu 2007 (diolah)
Realisasi Penerimaan PAD (rupiah)
Kontribusi Pajak (persen)
Kontribusi Retribusi (persen)
98 640 917 100 11 160 264 600 14 748 696 070
19,63 22,13 14,05
41,23 40,49 34,92
Kontribusi retribusi terhadap PAD di Kabupaten Sanggau mengalami penurunan setiap tahunnya dengan rata-rata penurunan sebesar 3,15 persen per tahun. Penurunan yang terjadi setiap tahun manandakan bahwa pemerintah daerah belum mampu mengoptimalkan sumber retribusi dan kurang kreatif dalam mencari sumber retribusi yang baru. Kontribusi terbesar terjadi pada tahun 2006 sebesar 41,23 persen dan terendah pada tahun 2004 sebesar 34,2 persen. Seperti halnya di Kabupaten Sintang, penerimaan terbesar bersumber dari pelayanan kesehatan, dengan rata-rata sebesar 32 955 488 82 rupiah pada tahun 2005 hingga 2006. Karena tingkat pendidikan masyarakatnya yang masing rendah, sehingga kesadaran serta pengetahuan tentang kesehatan masih sangat kurang. Tabel 5.5 Kontribusi Pajak dan Retribusi terhadap PAD Kabupaten Kapuas Hulu Tahun 2004-2006 Realisasi Realisasi Penerimaan Penerimaan Pajak (rupiah) Retribusi (rupiah) 2004 440 000 000 945 000 000 2005 25 8430 000 1 071 288 000 2006 390 500 000 1 356 000 000 Sumber : BPS 2007 (diolah) Tahun
Realisasi Penerimaan PAD (rupiah) 3 545 000 000 4 176 838 000 3 840 116 000
Kontribusi Pajak ( persen) 12,41 6,19 10,17
Kontribusi Retribusi ( persen) 26,66 25,65 35,31
Pada Tabel 5.5 dapat dilihat bahwa kontribusi pajak di Kabupaten Kapuas Hulu mengalami fluktuasi, di mana pada tahun 2005 mengalami penurunan sebesar 6,22 persen dan meningkat pada tahun 2006 sebesar 3,98 persen. Hal ini dikarenakan terjadi penurunan pajak penerangan jalan dan pajak lain-lain pada tahun 2005, dan pada tahun 2006 pajak lain-lain mengalami peningkatan yang sangat tajam dari 60 552 000 rupiah menjadi 232 000 000 rupiah. Hal ini menandakan bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten Kapuas Hulu lebih kreatif dalam mencari sumber-sumber pajak baru. Pajak lain-lain menjadi sumber pajak utama bagi Kabupaten Kapuas Hulu karena telah menyumbangkan penerimaan terbesar bagi sektor pajak dengan rata-rata 187 517 333 rupiah per tahun pada periode 2004-2006. Selain pajak lain-lain, pajak reklame juga memberikan pemasukan yang cukup besar dengan rata-rata 107 782 000 rupiah per tahun selama periode 2004 hingga 2006. Kontribusi retribusi di Kabupaten Kapuas Hulu mengalami fluktuasi, pada tahun 2005 mengalami penurunan sebesar 1,01 persen dan meningkat tajam sebesar 9,66 persen pada tahun 2006. Penurunan ini terjadi karena terjadi penurunan pada penerimaan dari retribusi pasar, parkir, sewa rumah, gedung, kos, pondokan, asrama dan administrasi KTP, surat jalan, akte kelahiran. Dan pada tahun 2006 penerimaan meningkat tajam pada sewa rumah, gedung, kos, pondokan,asrama dari 95 832 000 rupiah menjadi
335 000 000 rupiah.
Penerimaan utama sektor retribusi bersumber dari rumah sakit dan balai pengobatan serta puskemas dengan rata-rata sebebar 603 795 000 rupiah per tahun pada 2004 hingga 2006.
Kontribusi pajak di Kabupaten Melawi mengalami peningkatan pada tahun 2006 sebesar 9,45 persen (Tabel 5.6). Sumber pajak yang memberikan kontribusi besar yaitu dari pajak pengambilan bahan galian golongan C sebesar 498 078 594 rupiah pada tahun 2006 dan pajak restoran sebesar 362 495 071 rupiah. Kedua sumber pajak tersebut mampu memberikan kontribusi yang besar karena keduanya merupakan sektor basis di Kabupaten Melawi. Tabel 5.6
Kontribusi Pajak dan Retribusi terhadap PAD Kabupaten Melawi Tahun 2005-2006
Realisasi Realisasi Penerimaan Penerimaan Pajak (rupiah) Retribusi (rupiah) 2005 216 165 208 499 977 908 2006 1 041 406 332 1 575 989 152 Sumber : Depkeu 2007 (diolah) Tahun
Realisasi Penerimaan PAD (rupiah) 2 235 952 174 5 448 010 272
Kontribusi Pajak ( persen) 9,67 19,12
Kontribusi Retribusi ( persen) 22,36 28,93
Sedangkan kontribusi retribusi di Kabupaten Melawi mengalami peningkatan kontribusi pada tahun 2006 dari tahun sebelumnya sebesar 6,57 persen. Sumber retribusi utama di Kabupaten Melawi yaitu retribusi yang bersumber dari pelayanan kesehatan, biaya cetak KTP serta pelayanan sampah. Pelayanan kesehatan mampu berkontribusi sebesar 1 100 415 181 rupiah pada tahun 2006. Kesehatan merupakan kebutuhan setiap masyarakat, sehingga mampu memberikan kontribusi yang besar. Biaya cetak KTP dan pelayanan sampah mampu menyumbang sebesar 99 652 500 rupiah dan 99 130 200 rupiah pada tahun 2006. Tabel 5.7 Kontribusi Pajak dan Retribusi terhadap PAD Kabupaten Sekadau Tahun 2004-2006 Realisasi Realisasi Penerimaan Penerimaan Pajak (rupiah) Retribusi (rupiah) 2004 338 929 624 140 145 000 2005 237 325 429 185 986 395 2006 430 240 964 381 798 859 Sumber : BPS 2007 (diolah) Tahun
Realisasi Penerimaan PAD (rupiah) 497 074 624 721 873 672 3 156 632 575
Kontribusi Pajak ( persen) 68,18 32,88 13,63
Kontribusi Retribusi ( persen) 28,19 25,76 12,10
Terlihat pada Tabel 5.7, kontribusi pajak dan retribusi di Kabupaten Sekadau mengalami penurunan setiap tahunnya. Penurunan kontribusi pajak dan retribusi disebabkan karena peningkatan PAD secara keseluruhan lebih besar bila dibandingkan dengan peningkatan pajak dan retribusi. Penurunan yang sangat tajam terjadi pada sektor pajak, di mana pada tahun 2005 menurun sebesar 35,3 persen dan kemudian meningkat sebesar 19,19 persen pada tahun 2006. Sumber pajak utama di kabupaten Sekadau adalah pajak pengambilan dan pengolahan bahan galian golongan C dan pajak reklame, masing-masing menyumbang sebesar 188 288 665 rupiah 97 678 182 rupiah dan pada tahun 2006. Kontribusi retribusi Kabupaten Sekadau mengalami penurunan setiap tahun. Pada tahun 2005 menurun sebesar 2,43 persen dan 13,66 persen pada tahun 2006. Sumber retribusi utama di Kabupaten Sekadau adalah penggantian biaya cetak KTP yaitu sebesar 95 150 500 rupiah pada tahun 2005 dan meningkat pada tahun 2006 sebesar 128 576 500 rupiah. Kabupaten Sekadau merupakan kabupaten hasil pemekaran, sehingga setiap penduduk yang berumur 17 tahun ke atas harus membuat KTP Kabupaten Sekadau yang baru dan membayar biaya untuk cetak KTP tersebut.
5.2.2. Rasio Pajak, Retribusi dan PAD terhadap PDRB
Penghitungan rasio ini ditujukan untuk mengetahui baik tidaknya sistem penerimaan PAD, pajak, dan retribusi kabupaten-kabupaten di Propinsi Kapuas Raya dengan kemampuan bayar pajak dan retribusi di kabupaten-kabupaten tersebut. Jika PDRB suatu daerah meningkat maka kemampuan membayar pajak
dan retribusi juga akan meningkat. Oleh karena itu, pemerintah daerah bisa meningkatkan pajak, agar penerimaan dari sektor pajak juga akan meningkat. Tabel
5.8 Rasio Pajak dan Retribusi terhadap PDRB ADHK Tahun 2000 Kabupaten Sintang Periode 2004-2006
Realisasi Realisasi Penerimaan Penerimaan Pajak (rupiah) Retribusi (rupiah) 2004 1 276 689 000 1 905 643 000 2005 1 123 140 000 1 821 001 000 2006 1 597 540 000 9 455 990 000 Sumber : BPS dan Depkeu 2007 (diolah) Tahun
PDRB ADHK (rupiah)
Rasio Pajak
Rasio Retribusi
965 470 990 000 1 002 989 520 000 1 052 442 260 000
0,13 0,11 0,17
0,20 0,18 0,90
Pada Tabel 5.8 terlihat bahwa rasio pajak dan retribusi terhadap PDRB ADHK tahun 2000 di Kabupaten Sintang mengalami fluktuasi. Berdasarkan Tabel tersebut, rata-rata rasio pajak terhadap PDRB ADHK tahun 2000 di Kabupaten Sintang sebesar 0,14. Rasio pajak tertinggi terjadi pada tahun 2006, dan terendah pada tahun 2005. Fluktuasi ini dikarenakan Pemerintah Daerah Kabupaten Sintang belum mampu memanfaatkan adanya peningkatan kemampuan bayar pajak yang diakibatkan kenaikan PDRB pada tahun 2005.
Pada tahun 2006
terlihat adanya peningkatan rasio pajak terhadap PDRB ADHK tahun 2000, hal ini menandakan bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten Sintang telah mampu menciptakan sumber-sumber pajak baru. Rasio retribusi Kabupaten Sintang terhadap PDRB ADHK tahun 2000 juga mengalami fluktuasi. Terlihat pada tabel 5.8 bahwa pada tahun 2005, rasio retribusi mengalami penurunan sebesar 0,02 dan mengalami peningkatan pada tahun 2006 sebesar 0,72. Berdasarkan Tabel 5.8, rata-rata rasio retribusi terhadap PDRB ADHK tahun 2000 di Kabupaten Sintang sebesar 0,43 per tahun. Penurunan rasio retribusi terhadap PDRB ADHK tahun 2000 yang terjadi pada tahun 2005 disebabkan karena terjadi sedikit penurunan penerimaan dari beberapa
sumber retribusi, seperti penggantian biaya cetak KTP dan izin mendirikan bangunan. Peningkatan sebesar 0,72 pada tahun 2006, menandakan bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten Sintang telah mampu menciptakan sumber retribusi baru dan menciptakn sistem yang lebih baik. Untuk melihat rasio PAD terhadap PDRB ADHK tahun 2000 di Kabupaten Sintang dapat dilihat pada Tabel 5.10 di bawah ini : Tabel 5.9 Rasio PAD Kabupaten Sintang terhadap PDRB ADHK Tahun 2000 Periode 2004-2006 Realisasi Penerimaan PAD (rupiah) 10 078 780 000 10 336 609 000
PDRB ADHK (rupiah) 965 470 990 000 1 002 989 520 000
2006 20 675 420 000 Sumber : BPS dan Depkeu 2007 (diolah)
1 052 442 260 000
Tahun 2004 2005
Rasio PAD 1,04 1,03 0.19
Berdasarkan Tabel 5.9 tersebut dapat dilihat bahwa rasio PAD terhadap PDRB ADHK tahun 2000 mengalami penurunan setiap tahun. Rata-rata rasio PAD terhadap PDRB ADHK tahun 2000 sebesar 0,75 . Rasio tertinggi terjadi pada tahun 2004 sebesar 1,04 dan terendah terjadi pada tahun 2006 sebesar 0,19 . Penurunan ini terjadi karena Pemerintah Daerah belum mampu memanfaatkan meningkatnya kapasitas/kemampuan membayar pajak dan retribusi dengan adanya kenaikan PDRB, sehingga berpengaruh terhadap penurunan PAD. Tabel 5.10 Rasio Pajak dan Retribusi terhadap PDRB ADHK Tahun 2000 Kabupaten Sanggau 2004-2006 Realisasi Realisasi Penerimaan Penerimaan Pajak (rupiah) Retribusi (rupiah) 2004 1 935 786 140 4 067 138 070 2005 2 470 195 970 4 518 533 090 2006 2 071 871 340 5 150 634 970 Sumber : BPS 2007 (diolah) Tahun
PDRB ADHK (rupiah)
Rasio Pajak
Rasio Retribusi
1 997 447 870 000 2 064 292 070 000 2 234 132 300 000
0,09 0,11 0,09
0,20 0,22 0,23
Berdasarkan Tabel 5.10, rata-rata rasio pajak terhadap PDRB ADHK tahun 2000 di Kabupaten Sanggau sebesar 0,10 per tahun. Rasio tertinggi terjadi
tahun 2005 dan rasio yang sama pada tahun 2004 dan tahun 2006 sebesar 0,09 . Fluktuasi ini terjadi karena Pemerintah Daerah Kabupaten Sanggau belum mampu menciptakan sistem pajak yang efektif dan stabil, sehingga tidak mampu mempertahankan peningkatan pajak yang terjadi pada tahun 2005. Rasio retribusi terhadap PDRB ADHK tahun 2000 di Kabupaten Sanggau mengalami peningkatan setiap tahunnya yang terlihat pada Tabel 5.10 di atas. Rata-rata rasio retribusi tersebut sebesar 0,22 , di mana rasio tertinggi terjadi pada tahun 2006 sebesar 0,23 dan terendah tahun 2004 sebesar 0,20 . Peningkatan rasio retribusi yang terjadi setiap tahun disebabkan karena penerimaan retribusi selalu meningkat dari tahun ke tahun dan juga karena retribusi merupakan sumber pandapatan utama di Kabupaten Sanggau. Terlihat pada Tabel 5.11 rasio PAD terhadap PDRB ADHK tahun 2000 terus mengalami peningkatan setiap tahun. Rata-rata rasio PAD tersebut sebesar 0,57 , di mana rasio PAD tertinggi terjadi pada tahun 2006 sebesar 0,66 dan terendah pada tahun 2004 sebesar 0,52 . Peningkatan yang terjadi setiap tahun tersebut menandakan bahwa dengan adanya peningkatan PDRB setiap tahun, maka kemampuan membayar pajak, retribusi, dan lain-lain akan meningkat yang akhirnya akan berpengaruh terhadap PAD. Tabel 5.11 Rasio PAD terhadap PDRB ADHK Tahun 2000 Kabupaten Sanggau Tahun 2004-2006 Realisasi Penerimaan PAD PDRB ADHK Tahun Rasio PAD (rupiah) (rupiah) 2004 10 343 170 000 1 997 447 870 000 0,52 2005 11 160 260 000 2 064 292 070 000 0,54 2006 14 748 700 000 2 234 132 300 000 0,66 Sumber : BPS 2007 (diolah)
Pada Tabel 5.12 dapat dilihat bahwa rasio pajak terahadap PDRB ADHK tahun 2000 di Kabupaten Kapuas Hulu mengalami fluktuasi meskipun
perbedaannya sangat kecil. Rata-rata rasio pajak tersebut sebesar 0,04 per tahun, di mana rasio pajak tertinggi terjadi pada tahun 2004 dan 2006 sebesar 0,04 , sedangkan rasio terendah terjadi pada tahun 2005 sebesar 0,03 . Fluktuasi yang sangat kecil tersebut menandakan bahwa pengaruh peningkatan PDRB terhadap kemampuan membayar pajak tidak begitu besar, dan Pemerintah Daerah Kabupaten Sanggau telah memiliki sistem perpajakan yang cukup stabil. Tabel 5.12 Rasio Pajak dan Retribusi terhadap PDRB ADHK Tahun 2000 Kabupaten Kapuas Hulu 2004-2006 Tahun 2004 2005 2006
Realisasi Penerimaan Pajak (rupiah) 440 000 000 258 430 000 390 500 000
Realisasi Penerimaan Retribusi (rupiah) 945 000 000 1 071 288 000 1 356 000 000
PDRB ADHK
Rasio Pajak
Rasio Retribusi
996 658 860 000 998 274 160 000 1 032 646 430 000
0,04 0,03 0,04
0,09 0,11 0,13
Sumber : BPS 2007 (diolah) Terlihat pada Tabel 5.12, rasio retribusi terhadap PDRB ADHK tahun 2000 di kabupaten Sanggau mengalami peningkatan setiap tahun. Rata-rata rasio retribusi tersebut sebesar 0,11 per tahun, di mana rasio tertinggi terjadi tahun 2006 sebesar 0,13
dan terendah terjadi pada tahun 2004 sebesar 0,09 .
Peningkatan rasio retribusi yang terjadi setiap tahun tersebut disebabkan karena penerimaan retribusi selalu meningkat dari tahun ke tahun dan juga karena retribusi merupakan sumber pandapatan utama kedua setelah pajak di Kabupaten Kapuas Hulu. Pada Tabel 5.13 terlihat bahwa rasio PAD terhadap PDRB ADHK tahun 2000 di Kabupaten Kapuas Hulu mengalami fluktuasi, di mana pada tahun 2005 mengalami peningkatan sebesar 0,06 dan menurun pada tahun 2006 sebesar 0,05. Fluktuasi ini berarti bahwa pemerintah Daerah Kabupaten Kapuas Hulu belum mampu memaksimalkan peningkatan kemampuan bayar pajak, restribusi dan lain-
lain karena meningkatnya PDRB dan juga karena pemerintah daerah belum mampu menciptakan suatu sistem penerimaan pajak, retribusi dan lain-lain yang baik dan stabil. Tabel 5.13 Rasio PAD terhadap PDRB ADHK Tahun 2000 Kabupaten Kapuas Hulu 2004-2006 Realisasi Penerimaan PAD PDRB ADHK Tahun Rasio PAD (rupiah) (rupiah) 2004 3 545 000 000 996 658 860 000 0,36 2005 4 176 838 000 998 274 160 000 0,42 2006 3 840 116 000 1 032 646 430 000 0,37 Sumber : BPS 2007 (diolah) Tabel 5.14 Rasio Pajak dan Retribusi terhadap PDRB ADHK Tahun 2000 Kabupaten Melawi 2005-2006 Tahun 2005 2006
Realisasi Penerimaan Pajak (rupiah) 216 165 208 1 041 406 332
Realisasi Penerimaan Retribusi (rupiah) 499 977 908 1 575 989 152
PDRB ADHK
Rasio Pajak
Rasio Retribusi
404 439 030 000 438 990 660 000
0.05 0.24
0.12 0.36
Sumber : BPS dan BPK 2007 (diolah) Pada Tabel 5.14 terlihat bahwa rasio pajak terhadap PDRB ADHK tahun 2000 Kabupaten Melawi mengalami peningkatan sebesar 0,19 . Hal ini terjadi karena pada tahun 2006 terjadi peningkatan penerimaan pajak yang sangat tajam sebesar 825 241 124 rupiah. Hal ini menunjukan Pemerintah Daerah Kabupaten Melawi telah mampu mencari sumber pajak dan telah mampu menciptakan sistem perpajakan yang baik. Rasio retribusi terhadap PDRB ADHK tahun 2000 di Kabupaten Melawi juga mengalami peningkatan sebesar 0,24 . Hal ini terjadi karena penerimaan retribusi meningkat sangat tajam sebesar 1 076 011 244 pada tahun 2006. Hal ini berarti pemerintah Daerah Kabupaten Melawi telah kreatif menciptakan sumbersumber retribusi baru dan sistem retribusi yang baik.
Tabel 5.15 Rasio PAD terhadap PDRB ADHK Tahun 2000 Kabupaten Melawi 2005-2006 Realisasi Penerimaan PAD PDRB ADHK Tahun Rasio PAD (rupiah) (rupiah) 2005 2 235 952 174 404 439 030 000 0.55 2006 5 448 010 272 438 990 660 000 1.24 Sumber : BPK 2007 (diolah)
Terlihat pada Tabel 5.15 pada tahun 2006 realisasi PAD Kabupaten Melawi mengalami peningkatan yang sangat besar yaitu 3 212 058 098 rupiah, peningkatan ini menyebabkan rasio PAD terhadap PDRB ADHK juga mengalami peningkatan sebesar 0,69 dari tahun sebelumya. Kenaikan ini disebabkan karena terjadi peningkatan penerimaan pajak dan retribusi karena kemampuan masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi meningkat yang disebabkan karena peningkatan PDRB. Tabel 5.16 Rasio Pajak dan Retribusi terhadap PDRB ADHK Tahun 2000 Kabupaten Sekadau 2006 Realisasi Realisasi Penerimaan Penerimaan Pajak (rupiah) Retribusi (rupiah) 2004 338 929 624 140 145 000 2005 237 325 429 185 986 395 2006 430 240 964 381 798 859 Sumber : BPS 2007 (diolah) Tahun
PDRB ADHK (rupiah) 469 614 490 000 496 548 660 000 526 965 050 000
Rasio Pajak
Rasio Retribusi
0,07 0,04 0,08
0,03 0,04 0,07
Berdasarkan Tabel 5.16 terlihat bahwa rata-rata rasio pajak terhadap PDRB ADHK tahun 2000 di Kabupaten Sekadau sebesar 0,06 . Terlihat pula rasio pajak tersebut mengalami fluktuasi, di mana pada tahun 2005 menurun sebesar 0,03 dan meningkat pada tahun 2006 sebesar 0,04 . Fluktuasi tersebut terjadi karena terjadi fluktuasi pada penerimaan pajak di Kabupaten Sekadau. Selain itu, disebabkan pula karena pemerintah daerah belum mampu menciptakan sistem penerimaan pajak yang baik.
Rasio retribusi terhadap PDRB ADHK tahun 2000 di Kabupaten Sekadau mengalami peningkatan setiap tahunnya yang terlihat pada Tabel 5.16. Rata-rata rasio retribusi tersebut sebesar 0,05 , di mana rasio tertinggi terjadi pada tahun 2006 dan terendah pada tahun 2004. Peningkatan ini terjadi karena penerimaan retribusi meningkat setiap tahun. Retribusi merupakan penerimaan utama setelah pajak di Kabupaten Sekadau. Tabel 5.17 Rasio PAD terhadap PDRB ADHK Tahun 2000 Kabupaten Sekadau 2004-2006 Realisasi Penerimaan PAD PDRB ADHK Tahun Rasio PAD (rupiah) (rupiah) 2004 497 074 624 469 614 490 000 0,11 2005 721 873 672 496 548 660 000 0,14 2006 3 156 632 575 526 965 050 000 1,03 Sumber : BPS 2007 (diolah)
Pada Tabel 5.17 terlihat bahwa rasio PAD terhadap PDRB ADHK tahun 2000 selalu mengalami peningkatan setiap tahun. Rata-rata rasio PAD tersebut adalah sebesar 0,43 , di mana rasio tertinggi terjadi pada tahun 2006 sebesar 1,03 dan terendah sebesar 0,11 pada tahun 2004. Peningkatan terebut terjadi karena adanya peningkatan kemampuan membayar pajak, retribusi dan lain-lain akibat adanya peningktan PDRB yang berpengaruh terhadap PAD.
5.2.3. Derajat Desentralisasi Fiskal antara Pemerintah Pusat dan Daerah
Untuk mengetahui seberapa besar tingkat kemandirian suatu daerah maka perlu dihitung derajat desentralisasi fiskal antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Derajat desentralisasi fiskal untuk kabupaten-kabupaten di Propinsi Kapuas Raya dapat dilihat pada tabel-tabel berikut :
Tabel 5.18 Perbandingan PAD terhadap Total Penerimaan Daerah Kabupaten Sintang Tahun 2004-2006 Realisasi Penerimaan Realisasi total Proporsi PAD Tahun PAD (rupiah) Penerimaan Daerah (rupiah) ( persen) 2004 10 078 780 000 348 045 555 000 2,90 2005 10 336 609 000 291 333 483 000 3,55 2006 20 675 420 000 538 487 420 000 3,84 Sumber : BPS dan Depkeu 2007 (diolah)
Pada Tabel 5.18 terlihat bahwa perbandingan PAD terhadap total penerimaan daerah semakin meningkat setiap tahun. Rata-rata perbandingan tersebut adalah 3,43 persen, di mana perbandingan tertinggi terjadi pada tahun 2006 sebesar 3,84 persen dan terendah pada tahun 2004 sebesar 2,90 persen. Peningkatan nilai perbandingan ini terjadi karena proporsi peningkatan PAD lebih besar bila dibandingkan dengan peningkatan total penerimaan. Tabel 5.19 Perbandingan PAD terhadap Total Penerimaan Daerah Kabupaten Sanggau Tahun 2004-2006 Realisasi Penerimaan Realisasi total Proporsi PAD Tahun PAD (rupiah) Penerimaan Daerah (rupiah) ( persen) 2004 10 343 170 000 182 920 039 210 5,65 2005 11 160 260 000 205 975 292 560 5,42 2006 14 748 700 000 450 664 250 430 3,27 Sumber : BPS dan Depkeu 2007 (diolah)
Terlihat pada Tabel 5.19 bahwa perbandingan penerimaan PAD terhadap total penerimaan daerah mengalami penurunan setiap tahun, meskipun penerimaan PAD sendiri meningkat dari tahun ke tahun. Rata-rata perbandingan penerimaan PAD sebesar 4,78 persen per tahun, di mana perbandingan tertinggi terjadi pada tahun 2004 sebesar 5,65 persen dan terendah di tahun 2006 sebesar 3,27 persen. Penurunan tersebut disebabkan karena Kabupaten Sanggau mengalami pemekaran wilayah, sehingga sumber PAD semakin berkurang. Berdasarkan Tabel 5.20 diketahui rata-rata perbandingan penerimaan PAD terhadap total penerimaan derah Kabupaten Sanggau adalah 1,13 persen. Tidak
terjadi perubahan perbandingan dari tahun 2005 ke 2006, namun pada tahun 2006 menurun sebesar 0,58 persen. Hal ini menunjukan bahwa peranan pajak terhadap penerimaan daerah Kabupaten Sanggau masih belum stabil. Tabel 5.20 Perbandingan PAD terhadap Total Penerimaan Daerah Kabupaten Kapuas Hulu Tahun 2004-2006 (rupiah) Realisasi Penerimaan Realisasi total Proporsi PAD Tahun PAD (rupiah) Penerimaan Daerah(rupiah) ( persen) 2004 3 545 000 000 267 912 884 000 1,32 2005 4 176 838 000 316 308 059 000 1,32 2006 3 840 116 000 515 870 445 000 0,74 Sumber : BPS dan Depkeu 2007 (diolah)
Tabel 5.21 Perbandingan PAD terhadap Total Penerimaan Daerah Kabupaten Melawi Tahun 2005-2006 Realisasi Penerimaan Realisasi total Penerimaan Proporsi PAD Tahun PAD (rupiah) Daerah (rupiah) ( persen) 2005 2 235 950 000 118 826 070 000 1,88 2006 3 156 630 000 262 777 370 000 1,20 Sumber : Depkeu 2007 (diolah)
Terlihat pada Tabel 5.21 terjadi penurunan perbandingan PAD terhadap total penerimaan daerah di Kabupaten Melawi. Penurunan terjadi pada tahun 2006 sebesar 0,68 persen dari tahun sebelumnya. Hal ini menunjukan peran PAD terhadap penerimaan daerah semakin menurun. Tabel 5.22 Perbandingan PAD terhadap Total Penerimaan Daerah Kabupaten Sekadau Tahun 2004-2006 Realisasi Realisasi total Proporsi PAD Tahun Penerimaan PAD Penerimaan Daerah ( persen) 2004 479 074 624 105 630 147 152 0,45 2005 721 873 672 97 858 612 152 0,74 2006 5 448 010 000 300 052 240 000 1,82 Sumber : Depkeu 2007 (diolah)
Pada Tabel 5.22 dapat diketahui nilai perbandingan PAD terhadap total penerimaan daerah Kabupaten Sekadau mengalami peningkatan setiap tahun. Rata-rata proporsi PAD terhadap TPD sebesar 1,00 persen, di mana proporsi tertinggi terjadi pada tahun 2006 sebesar 1,82 persen dan terendah sebesar 0,45
persen pada tahun 2004. Perbandingan yang semakin meningkat ini menunjukan peran PAD terhadap penerimaan daerah semakin kuat dan pemerintah daerah Kabupaten Sekadau telah mampu memanfaatkan sumber-sumber PAD dengan baik. Tabel 5.23 Perbandingan BHPBP terhadap Total Penerimaan Daerah Kabupaten Sintang Tahun 2004-2006 Realisasi BHPBP Realisasi Total Penerimaan Proporsi BHPBP Tahun (rupiah) Daerah (rupiah) ( persen) 2004 29 794 436 000 348 045 555 000 8,56 2005 23 037 012 000 291 333 483 000 7,91 2006 10 794 440 000 Sumber : BPS dan Depkeu 2007
538 487 420 000
2,00
Terlihat pada Tabel 5.23 nilai perbandingan Bagi Hasil Pajak Bukan Pajak (BHPBP) terhadap total penerimaan daerah Kabupaten Sintang semakin menurun. Hal ini disebabkan karena penerimaan dari BHPBP menurun setiap tahun, pada tahun 2006 menurun sangat drastis mendekati nilai 13 miliar rupiah. Rata-rata perbandingan BHPBP tersebut sebesar 6,16 persen per tahun, di mana perbandingan tertinggi terjadi pada tahun 2004 sebesar 8,56 persen dan terendah sebesar 2,00 persen pada tahun 2006. Penurunan perbandingan tersebut menunjukan peran BHPBP terhadap penerimaan Kabupaten Sintang semakin menurun. Tabel 5.24 Perbandingan BHPBP terhadap Total Penerimaan Daerah Kabupaten Sanggau Tahun 2004-2006 Realisasi BHPBP Realisasi Total Penerimaan Proporsi BHPBP Tahun (rupiah) Daerah (rupiah) ( persen) 2004 26 903 494 350 182 920 039 210 14,71 2005 27 627 836 140 205 975 292 560 13,27 2006 31 539 279 810 450 664 250 430 7,00 Sumber : BPS dan Depkeu 2007 (diolah)
Tabel 5.24 menunjukan proporsi BHPBP terhadap total penerimaan Kabupaten Sanggau yang semakin menurun, meskipun penerimaan PAD setiap
tahun meningkat. Rata-rata perbandingan tersebut sebesar 11,66 persen, proporsi tertinggi terjadi pada tahun 2004 sebesar 14,71 persen dan terendah sebesar 7,00 persen pada tahun 2006. Penurunan ini disebabkan karena Kabupaten Sanggau kehilangan sumber daya alamnya dan juga objek pajak akibat adanya pemekaran wilayah. Tabel 5.25 Perbandingan BHPBP terhadap Total Penerimaan Daerah Kabupaten Kapuas Hulu Tahun 2004-2006 Realisasi BHPBP Realisasi Total Penerimaan Proporsi BHPBP Tahun (rupiah) Daerah (rupiah) ( persen) 2004 33 933 000 000 267 912 884 000 12,67 2005 33 352 656 000 316 308 059 000 10,54 2006 19 258 698 000 515 870 445 000 3,73 Sumber : BPS dan Depkeu 2007 (diolah)
Pada Tabel 5.25 dapat dilihat terjadinya penurunan perbandingan BHPBP terhadap total penerimaan daerah Kabupaten Kapuas Hulu setiap tahun. Hal tersebut dapat terjadi karena penerimaan PAD setiap tahun juga mengalami penurunan, bahkan pada tahun 2006 turun sebesar 14 093 958 000 rupiah. Ratarata perbandingan BHPBP tersebut sebesar 8,98 persen per tahun. Perbandingan tertinggi terjadi pada tahun 2004 sebesar 12,57 persen dan terendah pada tahun 2006 sebesar 3,73 persen. Penurunan tersebut menunjukan bahwa peran BHPBP terhadap penerimaan di Kabupaten Kapuas Hulu semakin menurun. Tabel 5.26 Perbandingan BHPBP terhadap Total Penerimaan Daerah Kabupaten Melawi Tahun 2005-2006 Realisasi BHPBP Realisasi Total Penerimaan Proporsi BHPBP Tahun (rupiah) Daerah (rupiah) ( persen) 2005 16 268 990 000 118 826 070 000 13,69 2006 20 237 920 000 262 777 370 000 7,70 Sumber : Depkeu 2007 (diolah)
Tabel 5.26 menujukan terjadinya penurunan perbandingan BHPBP terhadap total penerimaan daerah di kabupaten Melawi. Perbandingan BHPBP
menurun dari 13,69 persen pada tahun 2005 menjadi 7,70 persen pada tahun 2006. Penurunan ini menunjukan bahwa peranan BHPBP terhadap total penerimaan daerah semakin kecil. Tabel 5.27 Perbandingan BHPBP terhadap Total Penerimaan Daerah Kabupaten Sekadau Tahun 2005-2006 Realisasi BHPBP Realisasi Total Penerimaan Proporsi BHPBP Tahun (rupiah) Daerah (rupiah) ( persen) 2005 8 785 209 724 97 858 612 152 8,98 2006 22 394 880 000 300 052 240 000 7,46 Sumber : Depkeu 2007 (diolah)
Tabel 5.27 menunjukan terjadinya penurunan perbandingan BHPBP terhadap total penerimaan daerah Kabupaten Sekadau sebesar 1,52 persen menjadi 7,46 persen pada tahun 2006. Hal tersebut terjadi karena Kabupaten Sekadau belum mampu mengelola sumber daya alam serta objek pajak dengan baik karena belum tercipta suatu sistem yang baik dalam pengelolaan daerah karena Kabupaten Sekadau merupakan Kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Sanggau. Tabel 5.28 Perbandingan Sumbangan Daerah terhadap Total Penerimaan Daerah Kabupaten Sintang Tahun 2004-2006 Sumbangan Daerah Realisasi Total Penerimaan Proporsi SD Tahun (rupiah) Daerah (rupiah) ( persen) 2004 276 218 984 000 348 045 555 000 79,36 2005 211 506 469 000 291 333 483 000 72,60 2006 479 944 100 000 538 487 420 000 89,13 Sumber : BPS dan Depkeu 2007 (diolah)
Dapat dilihat pada Tabel 5.28, perbandingan Sumbangan Daerah (SD) terhadap total penerimaan daerah Kabupaten Sintang mengalami fluktuasi. Ratarata perbandingan tersebut adalah 80,36. Perbandingan tertinggi sebesar 89,13 persen yang terjadi pada tahun 2006 dan terendah sebesar 72,60 persen pada tahun 2005. Nilai rata-rata perbandingan SD terhadap total penerimaan daerah
menunjukkan bahwa Kabupaten Sintang sangat tergantung terhadap penerimaan yang bersumber dari sumbangan pemerintah pusat. Tabel 5.29 Perbandingan Sumbangan Daerah terhadap Total Penerimaan Daerah Kabupaten Sanggau Tahun 2004-2006 Sumbangan Daerah Realisasi Total Penerimaan Proporsi SD Tahun (rupiah) Daerah (rupiah) ( persen) 2004 142 400 060 000 182 920 039 210 77,85 2005 119 247 420 000 205 975 292 560 57,89 2006 392 130 230 000 450 664 250 430 87,01 Sumber : BPS dan Depkeu 2007 (diolah)
Berdasarkan Tabel 5.29 terlihat bahwa perbandingan SD terhadap total penerimaan daerah Kabupaten Sanggau mengalami fluktuasi. Pada tahun 2005 mengalami penurunan sebesar 19,96 persen dan meningkat sebesar 29,12 persen pada tahun 2006. Fluktuasi tersebut terjadi karena penerimaan yang bersumber dari sumbangan daerah juga mengalamai fluktuasi. Hal ini terjadi karena Kabupaten Sanggau harus memberikan sebagian sumbangan daerah yang diterimanya kepada Kabupaten Sekadau karena Kabupaten Sekadau belum mendapatkan sumbangan daerah dari pemerintah pusat. Tabel 5.30 Perbandingan Sumbangan Daerah terhadap Total Penerimaan Daerah Kabupaten Kapuas Hulu Tahun 2004-2006 Sumbangan Daerah Realisasi Total Penerimaan Proporsi SD Tahun (rupiah) Daerah (rupiah) ( persen) 2004 210 190 000 000 267 912 884 000 78,45 2005
244 496 430 000
2006 458 072 000 000 Sumber : BPS dan Depkeu 2007 (diolah)
316 308 059 000
77,30
515 870 445 000
88,80
Pada Tabel 5.30 terlihat meskipun nilai sumbangan daerah meningkat setiap tahun namun perbandingannya terhadap total penerimaan daerah Kabupaten Kapuas hulu mengalami fluktuasi . Perbandingan tersebut memiliki rata-rata sebesar 81,52 persen. Perbandingan tertinggi adalah 88,80 persen yang terjadi pada tahun 2006 dan perbandingan terendah pada tahun 2005 sebesar 77,30
persen. Fluktuasi tersebut menunjukan bahwa peran sumbangan daerah terhadap penerimaan daerah di Kabupaten Sanggau belum stabil. Tabel 5.31 Perbandingan Sumbangan Daerah terhadap Total Penerimaan Daerah Kabupaten Melawi Tahun 2005-2006 Sumbangan Daerah Realisasi Total Penerimaan Proporsi SD Tahun (rupiah) Daerah (rupiah) ( persen) 2005 88 068 580 000 118 826 070 000 74,12 2006 231 748 090 000 262 777 370 000 88,19 Sumber : Depkeu 2007 (diolah) Berdasarkan Tabel 5.31 dapat diketahui rata-rata perbandingan sumbangan daerah terhadap total penerimaan di Kabupaten Melawi sebesar 81,15 persen. Pada tahun 2006 perbandingan sumbangan daerah tersebut meningkat sebesar 14,07 persen dari tahun 2005 menjadi 88,19 persen. Peningkatan ini menunjukan peranan sumbangan daerah terhadap penerimaan daerah semakin besar. Tabel 5.32 Perbandingan Sumbangan Daerah terhadap Total Penerimaan Daerah Kabupaten Sekadau Tahun 2006 Sumbangan Daerah Realisasi Total Penerimaan Proporsi SD Tahun (rupiah) Daerah (rupiah) ( persen) 2004 103 112 940 000 105 630 147 152 97,62 2005 86 351 580 000 97 858 612 152 88,24 2006 263 128 090 000 300 052 240 000 87,69 Sumber : Depkeu 2007 (diolah) Pada Tabel 5.32, terlihat nilai perbandingan sumbangan daerah terhadap total penerimaan daerah Kabupaten Sekadau masih sangat tinggi, dengan rata-rata 91,13 persen. Proprsi tertinggi terjadi pada tahun 2004 mencapai 97,62 persen dan menurun setiap tahunnya menjadi 88,24 persen pada tahun 2005 dan 87,69 persen pada tahun 2004. Hal tersebut disebabkan oleh Kabupaten Sekadau merupakan kabupaten baru hasil pemekaran dari Kabupaten Sintang, sehingga belum mampu memanfaatkan potensi keuangan untuk mendapatkan PAD yang tinggi.
5.3.
Model Perencanaan Pembangunan Berdasarkan Data Potensi Wilayah
5.3.1. Indeks Gravitasi dan Interaksi Ruang
Kemampuan ekonomi suatu daerah di masa yang akan datang dapat dilihat dari potensi yang dimiliki oleh daerah tersebut. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk menentukan potensi suatu daerah yaitu dengan menggunakan analisis gravitasi, yaitu untuk mengukur indeks gravitasi akibat dari interaksi dua buah daerah yang saling berhubungan. Nilai indeks gravitasi antara Kabupaten Sintang sebagai kota dengan keempat kabupaten yang lainnya sebagai desa dapat dilihat dalam Tabel 5.33. Pemilihan Kabupaten Sintang sebagai kota didasarkan pada kesepakatan kelima kabupaten di Propinsi Kapuas Raya bahwa Kabupaten Sintang menjadi ibu kota bagi Propinsi Kapuas Raya, selain itu didasarkan pada letak Kabupaten Sintang yang strategis berada di tengah-tengah Propinsi Kapuas Raya dan juga pada kriteria penentuan ibu kota menurut BPS. Tabel 5.33 Indeks Gravitasi dan Model Interaksi Ruang Lima Kabupaten Pembentuk Propinsi Kapuas Raya Tahun 2004-2006 Daerah 2004 2005 2006 Rata-rata Sintang - Sanggau 11,95 12,59 14,70 13,08 Sintang - Kapuas Hulu 3,70 3,89 4,25 3,95 Sintang - Melawi 8,12 8,61 9,50 8,74 Sintang - Sekadau 7,00 7,85 8,74 7,86 Sumber : BPS dan Depkeu 2007 (diolah)
Dari hasil yang diperoleh dari perhitungan dengan menggunakan analisis gravitasi di atas dapat diketahui nilai indeks gravitasi dari interaksi yang terjadi antara Kabupaten Sintang terhadap empat kabupaten lainnya. Nilai indeks gravitasi antara Kabupaten Sintang dengan Kabupaten Sanggau adalah 11,95 (2004); 12,59 (2005) dan 14,70 (2006). Nilai indeks gravitasi untuk Kabupaten Sintang dengan Kabupaten Kapuas Hulu bernilai 3,70 (2004); 3,89(2005) dan
4,25 (2006). Nilai indeks gravitasi untuk Kabupaten Sintang dengan Kabupaten Melawi sebesar 8,12 (2004); 8,61 (2005) dan 9,50 (2006). Nilai indeks gravitasi untuk Kabupaten Sintang dengan Kabupaten Sekadau 7,00 (2004); 7,85 (2005) dan 8,74 (2006). Terlihat bahwa nilai rata-rata indeks gravitasi yang paling tinggi adalah akibat dari interaksi antara Kabupaten Sintang dengan Kabupaten Sanggau dengan rata-rata 13,08. Ini menunjukkan bahwa interaksi kedua kabupaten tersebut merupakan interaksi yang paling menguntungkan bagi perkembangan perekonomian Propinsi Kapuas Raya, karena dapat memberikan keuntungan yang lebih besar serta efek multiplier yang positif terhadap kabupaten yang lain. Interaksi yang terjalin ini harus terus dikembangkan tanpa mengabaikan potensi yang dimiliki oleh kabupaten yang lain. Agar perekonomian Propinsi Kapuas Raya dapat tumbuh dengan cepat dan dapat memberikan efek multiplier yang positif terhadap kabupaten-kabupaten yang lain maka aglomerasi antara Kabupaten Sintang dengan Kabupaten Sanggau harus cepat dilakukan dan dilaksanakan dengan konsekuen dan berkesinambungan.
5.3.2. Deskripsi Perencanaan Wilayah
Propinsi Kapuas Raya terdiri dari lima kabupaten yaitu Kabupaten Sintang, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Melawi dan Kabupaten Sekadau dengan total luas wilayah seluas 80 428 km2 dan jumlah penduduk sebanyak 1 272 985 jiwa. Pada tabel 5.34 terlihat potensi luas wilayah dan juga demografi Propinsi Kapuas Raya menurut Kabupaten pada tahun 2006.
Tabel 5.34 Potensi Luas Wilayah dan Demografi (2006) Luas Wilayah Jumlah Penduduk Nama Kabupaten (km2) (jiwa) Sintang 21 635,00 350 320 Sanggau 12 857,70 377 199 Kapuas Hulu 29 824,00 208 915 Melawi 10 644,00 163 216 Sekadau 5 444,30 173 335 Total 80 428,00 1 272 985 Sumber : BPS 2007
Kepadatan Penduduk (jiwa/km2) 16 29 7 15 32 16
Propinsi Kapuas Raya beriklim tropis karena letaknya yang berada di sekitar wilayah khatulistiwa. Iklim tersebut berakibat curah hujan yang turun sepanjang tahun atau tingkat curah hujan yang tinggi, sehingga kegiatan pertanian sangat cocok untuk dikembangkan. Berdasarkan analisis Location Quotient (LQ) pada Tabel 5.2, diketahui bahwa sektor pertanian merupakan sektor basis di Propinsi Kapuas Raya. Sektor pertanian memiliki potensi yang sangat besar apabila dapat dikembangkan dengan baik, salah satu cara yang dapat ditempuh yaitu dengan membentuk kawasan agropolitan. Kawasan atau daerah yang disebut sebagai daerah Agropolitas dan Agropolitan yang berbasis komoditas unggulan adalah suatu daerah yang bertumpu dari hasil pertanian dan memiliki komoditas unggulan. Daerah tersebut tidak saja menjadi pemasok dari komoditas unggulan yang dihasilkan, tetapi juga menghasilkan sesuatu produk olahan dari produksi pertanian yang siap dipasarkan dan menjadi ciri khas daerahnya (Hamenda, 2003). Konsep kawasan agropolitan sangat cocok untuk Propinsi Kapuas Raya karena selain pertanian sebagai sektor basis, pertanian juga merupakan mata pencaharian mayoritas penduduknya dan lahan pertaniannya masih sangat luas. Propinsi Kapuas Raya memiliki beberapa tanaman pertanian unggul, baik tanaman bahan makanan, tanaman perkebunan, dan tanaman palawija. Tanaman
bahan makanan seperti padi, baik padi sawah maupun padi ladang. Tanaman perkebunan yang paling menonjol yaitu tanaman kelapa sawit dan tanaman karet yang dikelola oleh perkebunan besar dan perkebunan kecil. Tanaman palawija yang utama yaitu jagung, ubi jalar dan ubi kayu. Produksi tanaman-tanaman tersebut dapat dilihat pada Tabel 5..35 pada lampiran. Berdasarkan data-data potensi komoditi pertanian tersebut, maka komoditi kelapa sawit dan karet dipilih sebagai komoditi unggulan/komiditi utama. Pemilihan ini didasarkan kepada produktivitasnya yang besar serta nilai tambah kelapa sawit dan karet serta produk turunannya yang sangat tinggi baik dipasar domestik maupun di pasar internasional. Sebagian besar perkebunan kelapa sawit dan karet merupakan perkebunan rakyat yang dikelola oleh masyarakat sendiri. Komoditi kelapa sawit sangat cocok untuk dikembangkan di Propinsi Kapuas Raya. Iklim serta kondisi alam yang sangat mendukung menjadi faktor utama dalam upaya tersebut. Tanaman kelapa sawit sangat cocok untuk tumbuh di daerah yang berada di sekitar garis khatulistiwa (12oLU – 12oLS) dengan suhu berkisar antara 22oC sampai 33oC. Tanaman kelapa sawit cocok tumbuh di tanah podsolik, latosol, hidromorf kelabu, regosol dan alluvial dan dapat tumbuh dengan baik pada tanah gambut dengan syarat ketebalan gambut tidak lebih dari satu meter pada ketinggian sampai dengan 1000 meter di atas permukaan laut (mdpl). Komoditi unggulan kedua yaitu tanaman karet. Komoditi dipilih karena lebih dari 90 persen dari luas areal perkebunan merupakan perkebunan rakyat, di mana
masyarakat
terlibat
secara
langsung
dalam
pengelolaannya
menggantungkan mata pencaharian mereka pada perkebunan ini.
dan
Seperti halnya kelapa sawit, tanaman karet sangat cocok tubuh di daerah tropis pada 15oLU-15oLS. Tanaman karet tumbuh dengan baik pada dataran rendah dengan ketinggian hingga 200 mdpl dengan suhu berkisar antara 25oC35oC. Tanaman karet memerlukan curah hujan optimal antara 2 500 mm/tahun sampai 4 000 mm/tahun,dengan hari hujan berkisar antara 100 sampai dengan 150 hari. Berdasarkan teori lokasi dalam Raharjo Adisasmita (2005), pembangunan yang didasarkan pada keunggulan komparatif maka akan memilih pusat pertumbuhan yang memiliki keunggulan komparatif tertinggi. Untuk dapat memperoleh pola produksi dan perdagangan yang mampu memberikan keuntungan sepanjang tahun maka kegiatan ekonomi yang dilakukan berorientasi terhadap sektor unggulan (leading sektor) . Keunggulan komparatif untuk komoditi karet di Kabupaten Sintang dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 5.35 Keunggulan Komparatif Komoditi Karet dan Kelapa Sawit Kabupaten Sintang Komoditi Sintang (ton) Sanggau (ton) Keunggulan Komparatif Karet 28 215 39 741 71,00 persen Kelapa Sawit 82 970 245 000 33,87 persen Sumber : BPS 2007 (diolah)
Berdasarkan analisis gravitasi, pemusatan pertumbuhan dipusatkan di Kabupaten Sintang dan Kabupaten Sanggau. Kabupaten Sintang dipilih sebagai ibukota propinsi sekaligus sebagai pusat pertumbuhan, karena letaknya yang sangat strategis yaitu berada di tengah-tengah Propinsi Kapuas Raya sehingga mudah dijangkau oleh keempat kabupaten yang lainnya. Kabupaten Sintang juga memiliki sarana dan prasarana yang lebih baik dan lebih lengkap. Sebagai pusat pertumbuhan, untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi lebih cepat maka Kabupaten Sintang mengkonsentrasikan pengembangan
komoditi unggulan yaitu tanaman karet karena keunggulan komparatifnya lebih tinggi. Sedangkan untuk Kabupaten Sanggau akan lebih menguntungkan apabila mengembangkan komoditi unggulan yaitu tanaman kelapa sawit. Luas lahan perkebunan karet di Kabupaten Sintang seluas 59 696 Ha dengan total produksi sebesar 28 215 ton. Sedangkan luas lahan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Sanggau seluas 131 148 Ha dengan total produksi sebanyak 245 000 ton. Lahan perkebunan yang sangat luas dengan jumlah produksi yang besar merupakan suatu keunggulan dari kedua daerah tersebut. Kedua komoditi tersebut merupakan komoditi unggulan Indonesia di pasar internasional. Dan salah satu penghasil utama kedua komoditi tersebut adalah kabupaten-kabupaten yang berada di Propinsi Kapuas Raya. Setiap tahun permintaan akan kedua komoditi tersebut meningkat, salah satu cara yang dilakukan untuk meningkatkan produksi yaitu dengan memperluas areal perkebunan. Oleh karena itu dilakukan pengalihfungsian hutan menjadi perkebunan dengan tetap memperhatikan keseimbangan lingkungan. Kedua komoditi tersebut akan memberikan nilai tambah yang tinggi apabila mampu diolah dengan baik. Nilai tambah ini akan memberikan keuntungan berupa jaminan kestabilan harga (Hamenda, 2003). Untuk menciptakan nilai tambah dari kedua komoditi tersebut maka perlu dibangun industri pengolahan yang berbasis pada produk unggulan, oleh karena itu dibutuhkan investasi yang sangat besar. Masuknya investasi ke dalam suatu daerah haruslah didukung oleh iklim investasi yang baik, artinya pemerintah daerah mampu menciptakan peraturan yang menjamin keamanan investasi. Salah satu cara yang dapat ditempuh yaitu
dengan mempermudah dan memperpendek jalur birokrasi yang menghabiskan banyak biaya dan waktu. Kawasan agropolitan berfungsi untuk melayani kawasan produksi pertanian yang disekitarnya berlangsung kegiatan pertanian oleh masyarakat setempat. Untuk menunjang kawasan agropolitan maka harus dibangun sebuah kawasan industri (industrialisasi) dan fasilitas penunjang. Pembangunan kawasan industri tersebut berfungsi sebagai penampung sekaligus pengolah hasil-hasil panen dari perkebunan kelapa sawit dan karet. Pembangunan fasilitas penunjang sangat penting, seperti fasilitas pelayanan publik untuk mempermudah proses produksi dan pemasaran seperti, input sarana produksi misalnya pupuk, bibit, obat-obatan, peralatan pertanian, dan lain-lain. Kemudian fasilitas pelayanan untuk menunjang kegiatan produksi seperti, lembaga perbankan, koperasi, dan listrik. Yang terakhir yaitu sarana untuk pemasaran misalnya pasar, terminal angkutan, sarana transportasi, dan perbaikan jalan raya. Untuk menunjang Pengembangan Kawasan Agropolitan Propinsi Kapuas Raya, maka pembangunan infrastruktur yang harus dikembangkan adalah : a. Pengembangan Transportasi Udara Pengembangan transportasi udara, dalam hal ini bandar udara yang memiliki peran strategis menuju keberhasilan pelaksanaan program agropolitan. b. Pengembangan Transportasi Sungai Sebagai pintu gerbang arus barang dan jasa, pengembangan transportasi sungai menjadi pendukung utama pelaksanaan program agropolitan. Propinsi Kapuas Raya memiliki banyak sungai besar yang dapat dilalui kapal besar
c. Pengembangan Transportasi Darat Jalan akses dan jembatan yang menghubungkan antar sentra produksi dan wilayah pengembangan parsial dalam konteks agropolitan perlu penanganan lebih lanjut. Persoalan pemasaran hasil produksi, mobilisasi dan transportasi menjadi point of view pengembangan transportasi darat ini. d. Pengembangan Kelistrikan Persoalan kelistrikan juga perlu ditangani lebih lanjut, logikanya prospek pengembangan agropolitan yang dapat diasumsikan menarik industri pengolahan produksi pertanian. Pembangunan industri tersebut membutuhkan dukungan energi listrik yang memadai. e. Pengembangan Sarana Air Bersih Dukungan sarana air bersih dalam pengembangan kawasan agropolitan yang berbasis pertanian perlu ditingkatkan. Sentra-sentra produksi sebagai hitterland area membutuhkan pasokan air bersih yang cukup yang wilayah
pengembangan parsial. f. Pengembangan Jaringan Telekomunikasi Pengembangan jaringan telekomunikasi menjadi penting, diharapkan dengan arus globalisasi dan perubahan tren perdagangan dunia. Ketertinggalan informasi penanganan pertanian seringkali berdampak pada kegagalan program yang dilaksanakan.
VI.
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Dari analisis yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan, yaitu : 1. Sektor yang menjadi basis bagi kabupaten-kabupaten di Propinsi Kapuas Raya yaitu sektor pertanian dan sektor pertambangan dan penggalian. Namun sektor sektor sekunder dan tersier seperti sektor listrik, gas dan air bersih; sektor bangunan; sektor perdagangan hotel dan restoran serta sektor jasa menjadi sektor basis di beberapa kabupaten ketika dibandingkan terhadap Propinsi Kapuas Raya dan rata-rata PDB Indonesia 2. Potensi Ekonomi Daerah (PED) Propinsi Kapuas Raya adalah 134 547,38 juta rupiah, di mana Kabupaten Kapuas Hulu memiliki nilai PED tertinggi yaitu 31 785,81 juta rupiah 3. Kontribusi pajak dan retribusi terhadap PAD di Propinsi Kapuas Raya sebesar 18,52 persen dan 28,85 persen. Terlihat bahwa kontribusi retribusi lebih besar daripada kontribusi pajak. Kontribusi tersebut masih terbilang kecil karena pajak dan retribusi merupakan sumber pendapatan utama bagi suatu daerah 4. Rasio pajak, retribusi dan PAD terhadap PDRB di Propinsi Kapuas Raya sebesar 0,09; 0,21 dan 0,59. Rasio yang cukup besar ditujukkan oleh rasio PAD, hal ini berarti bahwa apabila PDRB meningkat maka PAD juga akan meningkat karena kemampuan bayar pajak, retribusi dan lain-lain meningkat. 5. Derajat desentralisasi fiskal Propinsi Kapuas Raya masih sangat rendah yang berarti tingkat ketergantungan terhadap dana bantuan dari pemerintah pusat
masih sangat tinggi. Hal tersebut dapat dilihat dari proporsi PAD, BHPBP dan SD terhadap TPD sebesar 2,41 persen; 9,06 persen dan 81,73 persen 6. Kabupaten yang memiliki potensi paling besar untuk dikembangkan yaitu Kabupaten Sintang yang berinteraksi dengan Kabupaten Sanggau 7. Model perencanaan pembangunan yang baik yaitu dengan membangun kawasan agropolitan dengan pengembangan komoditi unggulan lokal yaitu kelapa sawit di Kabupaten Sanggau dan karet di Kabupaten Sintang.
6.2.
Saran dan Implikasi Kebijakan
Saran yang dapat disampaikan peneliti adalah : 1. Sebaiknya rencana pemekaran Propinsi Kapuas Raya ditunda selama beberapa tahun. Karena berdasarkan hasil analisis terhadap potensi ekonomi dan potensi keuangan Propinsi Kapuas Raya belum layak untuk dimekarkan. Apabila dilihat dari segi ekonomi, perekonomian Propinsi Kapuas Raya masih sangat tergantung kepada sektor primer, seperti sektor pertanian dan sektor pertambangan dan penggalian. Sedangkan sektor sekunder dan sektor tersier belum mampu memberikan kontribusi yang besar. Bila dilihat dari potensi keuangan, Propinsi Kapuas Raya masih sangat tergantung terhadap bantuan dari pemerintah pusat. Lagipula menurut PP No.78 Tahun 2007, Kabupaten Melawi dan Sekadau belum dapat dimekarkan menjadi propinsi baru karena belum genap tujuh tahun terbentuk. 2. Kawasan agopolitan berbasis komoditi unggulan lokal harus segera dibentuk dengan perencanaan yang lebih baik, sehingga dapat memacu pertumbuhan ekonomi dengan cepat dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.
Untuk mendukungnya harus dibangun industrialisasi untuk pengolahan komoditi yang dihasilkan oleh kawasan agropolitan serta membangun infrasturktur dan fasilitas pelayanan publik yang mendukung bagi kegiatan di kawasan tersebut. 3. Untuk penembangan kawasan agropolitan lebih lanjut, dibutuhkan investasi yang sangat besar. Sehingga Pemerintah Daerah perlu menciptakan iklim investasi yang baik dan kondusif. Salah satu cara yang dapat ditempuh yaitu dengan mengeluarkan kebijakan tentang kemudahan berinvestasi, sehingga investor tertarik untuk berinvestasi pada kawasan agropolitan tersebut 4. Potensi suatu daerah tidak hanya dilihat dari potensi ekonomi dan potensi keuangan saja. Penelitian selanjutnya dapat menambahkan indikator penelitian seperti, potensi pendudukuk, potensi sarana dan prasarana, dan potensi-potensi yang lainnya
DAFTAR PUSTAKA
[Anonim]. 2008. Pembangunan Ekonomi. www.wikipedia.com. [20 Juni 2008]. Anugrah, I.S. 17 Maret 2003. Kunci-Kunci Keberhasilan Pengembangan Agropolitan. Sinar Tani, Tabloid: 13-15. Boediono, 1982. Teori Pertumbuhan Ekonomi. Fakultas Ekonomi Unversitas Gajah Mada, Yogyakarta. Brodjonegoro, B dan T. Pakpahan. 2002. Evaluasi Atas Alokasi DAU 2001 dan permasalahannya. Di dalam : Sidik, Mahi, SImanjuntak, Brodjonegoro. Dana Alokasi Umum Konsep, Hambatan dan Prospek di Era Otonomi Daerah. Jakarta : Penerbit Buku Kompas. Hlm 53-84. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2008. Kabupaten Kapuas Hulu Dalam Angka 2007. BPS Kabupaten Kapuas Hulu, Putusibau. ---------------------------------------2008. Kabupaten Melawi Dalam Angka 2007. BPS Kabupaten Melawi, Melawi. ---------------------------------------2007. Kabupaten Sanggau Dalam Angka 2007. BPS Kabupaten Sanggau, Sanggau. ---------------------------------------2008. Kabupaten Sintang Dalam Angka 2007. BPS Kabupaten Sintang, Sintang. --------------------------------------- 2008. Kabupaten Sekadau Dalam Angka 2007. BPS Kabupaten Sekadau, Sekadau. ----------------------------------------2008. Kalimantan Barat Dalam Angka 2007. BPS Kalimantan Barat, Pontianak. -----------------------------------------2008. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Sanggau Tahun 2006. BPS Kabupaten Sanggau, Sanggau. -----------------------------------------2008. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Sekadau Tahun 2006. BPS Kabupaten Sekadau, Sekadau. Badrudin, R. 1999. Pengantar Ilmu Ekonomi. [terhubung berkala]. www.stieykpn.ac.id/images/artikel/FIE_FISIP_UAJY_pdf. [26 Juni 2008]. Bratakusumah, DS dan Solihin, D. 2003. Otonomi Pnyelenggaraan Pemerintahan Daerah. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Departemen Keuangan. 2007. Laporan Realisasi APBD Propinsi Kalimantan Barat. www.djpk.depkeu.go.id. [13 juni 2008]. Dianawati, F. 2004. Fungsi Ekonomi Kota Kecamatan Dalam Pembangunan Wilayah (Studi Kasus Kabupaten Semarang, Propinsi Jawa Tengah) [skripsi]. Bogor : Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Gunradi, R. 2006. Pendataan dan Evaluasi Pemanfaatan Bahan Galian Pada Bekas Tambang dan Wilayah PETI Daerah Sanggau Propinsi Kaimantan Barat. http://www.esdm.go.id [14 Juni 2008]. Halim, A. 2001. Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah. UPP AMP YKPN, Jogjakarta. Hoover, EM dan Giarranati, F. 2002. Introduction to Regional Economics. West Virginia University, Virginia. Irayani, M. 2006. Analisa Penerimaan Daerah pemerintah Kota Pekanbaru Tahun 1999/2000-2003 (Studi Komparatif Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah) [skripsi]. Jogjakarta: Jurusan Ekonomi Pembangunan, Fakultas ekonomi,Universitas Islam Indonesia. Jhingan, M.L. 2004. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Juanda, B. 2007. Metode Penelitian Ekonomi dan Bisnis. IPB Press, Bogor. Landiyanto, E.A. 2005. Kinerja Keuangan dan Strategi Pembangunan Kota di Era Otonomi Daerah : Studi Kasus Kota Surabaya, CURES Working Paper No.5. Mangkoesoebroto, G.2001. Ekonomi Publik. BPFE UGM, Jogjakarta. Marfiani, T. 2007. Analisis Potensi Ekonomi dan Srategi Pembangunan Ekonomi di Bogor Barat [Tesis]. Bogor : Sekolah Pasca Sarjana IPB. Muhammad, F. 2003. Pengembangan Agropolitan di Proponsi Gorontalo. Di dalam : John Hamenda. Lokakarya Perumusan Kebijakan Pengembangan Agropolitan dalam rangka Pemberdayaan Ekonomi Perdesaan melalui Kemitraan Masyarakat – Swasta – Pemerintah. Jakarta,12-13 Agustus 2003. Pasaribu, S.H, D. Hartono dan T. Irawan. 2005. Pedoman Penulisan Skripsi. Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Priyarsono, DS dan Sahara. 2006. Modul Ekonomi Regional. Bogor : Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Jakarta. Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentangPemerintahan Daerah. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Jakarta. Republik Indonesia. 2007. Peraturan Pemerintah No.78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Majelis Perusyawaratan Rakyat, Jakarta. Restiviana P, R. 2008. Analisis Transformasi Sektor-Sektor Ekonomi di Kabupaten Banyuwangi Periode 2003-2006 [Skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Riyadi, D.S. 2002. Pengembangan Wilayah : Teori dan Konsep Dasar. Di dalam : Ambardi UM dan Socia Prihawantoro. Pengembangan Wilayah dan Otonomi Daerah (Kajian Konsep dan Pengembangan). Jakarta: Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah: BPPT. Hlm 47-65. Salam, D.S. 2007. Otonomi Daerah dalam Perspektif Lingkungan, Nilai dan Sumber Daya. Djambatan, Jakarta. Saragih, J.P. 2003. Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah dalam Otonomi. Ghalia Indonesia, Jakarta. Sembiring, K. Analisis Potensi Pendapatan Asli Daerah Bagi Pengembangan Wilayah Kabupaten Karo [Tesis]. Universitas Sumatera Utara. www.usurespository.ac.id.[26 Juni 2008]. STIE YKPN. 2008. Pembangunan Ekonomi. www.stieykpn.co.id. [2 juni 2008] Syahrani, H.A.H. 2001. Penerapan Agropolitan dan Pembangunan Ekonomi Daerah. Frontir, No.33.
Agribisnis
dalam
Tarigan, R.2005. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Bumi Aksara, Jakarta. Tim Penyusun. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta. Todaro, M. P dan S. C. Smith. 2003. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Edisi Kedelapan. Erlangga, Jakarta.
Yuwono, T. 2001. Manajemen Otonomi Daerah. Pusat Kajian Otonomi Daerah dan Kebijakan Publik, Semarang. Wiyadi dan Trisnawati, R. 2002. Analisis Potensi Daerah Untuk Pengembangan Wilayah Eks-karesidenan Surakarta Menggunakan Teori Pusat Pertumbuhan. www.idtesis.com. [14 April 2008]. Zen, MT. 2001. Falsafah Dasar Pengembangan wilayah : Memberdayakan Manusia. Di dalam : Alkadri, Muchdie, Suhandojo. Tiga Pilar Pengembangan wilayah. Jakarta: Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah. Hlm 3.
Lampiran 1 Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Konstan (PDRB ADHK) Tahun 2000 Propinsi Kapuas Raya Tahun 2004-2006 (juta) No 1
2
Nama Kabupaten
Sektor Ekonomi
Sintang
Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan
Sanggau
Kapuas Hulu
2005
2006*
487 521,68
498 854,91
520 845.61
48 647,25
50 250,29
52 048.53
51 633,82
56 085,52
60 060.96
Listrik. Gas dan Air Bersih
3 255,84
3 345,07
3 440.64
Bangunan Perdagangan. Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan. Persewaan. dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa
31 549,36
33 575,34
35 824.31
212 298,04
224 636,22
237 402.31
19 413,20
19 711,72
20 460.39
45 624,84
47 376,16
49 461.88
65 526,95
69 152,29
72 897.64
Total
965 470,99
1 002 989,52
1 052 442.26
Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan
709 935,16
739 094,25
818 181.06
27 543,80
25 810,39
25 255.63
516 542,57
623 262,91
658 689.68
Listrik. Gas dan Air Bersih
4 289,55
5 486,83
5 756.98
Bangunan Perdagangan. Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan. Persewaan. dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa
73 093,73
76 082,36
85 172.70
292 595,98
327 709,86
349 704.58
41 654,97
50 710,37
52 052.44
58 265,59
59 152,72
61 106.09
Total 3
Tahun 2004
Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan
160 862,14
156 982,38
178 213.12
1 997 447,87
2 064 292,07
2 234 132.30
461 273,89
454 687,80
451 490.25
9 547,77
10832,43
12 686.99
46 689,94
41 332,82
36 536.15
Listrik. Gas dan Air Bersih
2 845,16
2 914,00
3 068.06
Bangunan Perdagangan. Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-Jasa
107 954,06
108 954,06
140 492.27
184 977,71
191 189,47
192 530.44
42 769,89
43 546,69
43 052.21
49 497,73
50 710,30
51 617,22
91 849,18
94 106,59
101 172.77
Total
996 658,86
998 274,16
1 032 646.43
No
Nama Kabupaten
4
Melawi
5
Sekadau
Sektor Ekonomi Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan
2004
2005
2006
159 797,74
156 740,27
156 617.35
15 760,75
16 533,08
17 819.73
39 429,32
41 830,22
44 176.36
Listrik. Gas dan Air Bersih
854,7
926,75
988.8
Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan. Persewaan. dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa
19 371,22
20 025,82
21 987.47
120 736,70
132 172,35
142 143,41
6 371,63
6 956,80
7 647.19
11 639,50
12 123,21
13 423.15
30 477,47
32 087,57
34 487.21
Total
404 439,03
419 396,07
438 990.66
Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan
219 253,24
236 316,92
255 349.94
12 861,65
12 900,44
12 001.75
69 386,09
70 107,08
71 265.23
Listrik. Gas dan Air Bersih
529,50
547,37
590.35
Bangunan Perdagangan. Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan. Persewaan. dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa
33 495,32
35 039,09
37 640.39
87 767,97
91 825,05
97 323.36
11 143,20
12 052,49
12 109.14
21 280,17
22 593,66
23 653.82
14 117,33
15 166,56
15 731.08
Total Total Propinsi Kapuas Raya
Sumber : BPS 2007
Tahun
469 614,49
495 548,66
526 965.05
4 833 631.24
4 980 500,48
5 285 176,70
Lampiran 2 Sektor Keuangan Propinsi Kapuas Raya Tahun 2004-2006 (rupiah) No 1
Nama Kabupaten
Sektor Keuangan
Sintang
Pajak Retribusi PAD Dana Alokasi Umum (juta) Dana Alokasi Khusus (juta) BHPB
2
Sanggau
4
5
Kapuas Hulu
Melawi
Sekadau
2005
2006
1276689000
1123145000
1597540000
1905643000
1821001000
9455990000
10078 780 000
10336609000
20675420000
268659
193276
445568
7560
18230.469
34376
29794436000
23037012000
10794440000
Pajak
1935786140
2470195970
2071871340
Retribusi
4067138070
4518533090
5150634970
PAD
9864091710
11160264600
14748696070
Dana Alokasi Umum (juta)
136843.46
108707.66
354372
Dana Alokasi Khusus (juta)
5550.60
10539.76
37758.23
26903494350
27627836140
31539279810
BHPB 3
Tahun 2004
Pajak
440000000
258430000
390500000
Retribusi
945000000
1071288000
1356000000
PAD
3545000000
4176838000
3840116000
Dana Alokasi Umum (juta)
202240
228587
428832
Dana Alokasi Khusus (juta)
8050
15909
29240
BHPB
33933 000 000
33352656000
19258698000
Pajak
-
216 170 000
430 240 000
Retribusi PAD
-
499 980 000
381 800 000
-
2 235 950 000
3 156 630 000
Dana Alokasi Umum (juta)
-
84 082
202 150
Dana Alokasi Khusus (juta)
-
3 987
29 598
BHPB
-
16 268 99
7 211 040 000
Pajak
338929624
237325429
430240963.5
Retribusi
140145000
185986395
381798859
PAD
497074624
721873672
3156632574.57
Dana Alokasi Umum (juta)
99 093.54
78 719.34
234 461
Dana Alokasi Khusus (juta)
4 019.40
7 632.24
28 667
8 666 404 093
118 805 631
20 237 916 694
BHPB
Sumber : BPS dan Departemen Keuangan
Lampiran 3 Potensi Ekonomi Daerah, Potensi Pertanian dan Perkebunan Propinsi Kapuas Raya tahun 2006 PAD (juta)
BHPBP (juta)
PDRB (juta)
PDRBSSDA (juta)
PDRBSNP (juta)
Sintang
20675,42
10794,44
1052442.26
169701.49
882740.77
Angkatan Kerja (orang) 228461
Sanggau Kapuas Hulu Melawi
14748,70
31539,28
2234132.3
83930.58
2150201.72
3840,12
19258,70
1032646.43
189138.54
3156,63
7211,04
438990.66
Sekadau
3156,63
20237,92
Total
45577,49
89041,37
Kabupaten
Populasi (orang)
Indeks Industri
Indeks SDA
Indeks SDM
Nilai PED (juta)
342352
0.9325
1.6042
1.0076
30155.39
292784
367661
1.0700
0.3738
1.2024
22513.67
843507.89
135850
203983
0.9081
1.8222
1.0056
31785.81
55795.98
383194.68
106146
160746
0.9704
1.2645
0.9970
27498.26
526965.05
32664.48
494300.57
112983
171265
1.0428
0.6167
0.9961
22594.25
5285176.70
531231.07
4753945.63
876224
1246007
134547.38
Sumber : BPS dan Depkeu (diolah) Catatan : Jumlah Angkatan Kerja Indonesia = 144 437 558 orang dan Jumlah Populasi Indonesia = 2 180 862 800 orang Tabel 5.36 Potensi Komoditi Pertanian dan Perkebunan Propinsi Kapuas Raya Tahun 2006 Kabu paten Sintang
Karet
Padi Sawah dan Ladang ProdukLuas Produksi tivitas (Ha) (ton) (kw/Ha) 25236 59845 23,71
Luas (Ha)
Produksi (ton)
59696
28178
72004
25,55
86690
17101
38749
22,66
31253
Kelapa sawit
Jagung
28215
Produktivitas (kw/Ha) 4,73
34112
82970
Produktivitas (kw/Ha) 24,32
39741
4,58
131148
245000
18,68
13450
4,30
8194
2105
2,57
Luas (Ha)
Produksi (ton)
Ubi Jalar Luas (Ha)
1725
Produksi (ton) 25589
269
Produksi (ton) 2106
1639
22645
114
902
962
553
7537
269
2132
893
Produksi (ton) 1932
955
2075
539
Luas (Ha)
Ubi kayu Luas (Ha)
Sanggau Kapuas Hulu Melawi
12199
24506
20,09
26495
13312
5,02
12000
35205
29,34
93
177
397
5580
135
1031
Sekadau
14065
34444
24,49
29842
18590
6,23
42024
76915
18,30
610
1169
651
8785
47
351
Total
96779
229548
23,72
233976
113308
4,84
227478
442195
19,44
3090
6315
4965
70136
834
6522
Sumber : BPS Kalimantan Barat 2007
Lampiran 4 Perhitungan Potensi Ekonomi, Potensi Keuangan dan Keunggulan Komparatif 1. Analisis Location Quotient (LQ) LQ sektor pertanian Kabupaten Sintang 2004 Sib
LQ =
Sia
Sb Sa
= (487521,68/965470,99)/(5715852,58/22483015,37) =1,98 2. Analisis Potensi Ekonomi Daerah berdasarkan Perhitungan DAU PED = PDR x
PDR =
Indeks( SDA + SDM + Industrti) 3
PADT + BHPBPT N PDRBSNPD
Indeks Industri =
PDRBSNPT
PDRBD PDRBT
PDRBSSDAD
Indeks SDA =
PDRBD PDRBSSDAT PDRBT
AKD
Indeks SDM =
AKI
PD PI
PED Kabupaten Sintang Tahun 2006 PED = 25524,426*((0,93+1,60+1,00)/3) = 30 155,39 (juta) 3. Analisis Potensi Keuangan Kontribusi Pajak dan Retribusi Daerah Pn = (QXn/QYn)100 persen
Kontribusi Pajak Kabupaten Sanggau tahun 2005 Psanggau pajak 2005 = (2470195970/ 11160264600)100 persen = 22,13 persen Kontribusi Retribusi Kabupaten Sanggau Tahun 2006 P sanggau restribusi 2006 = (5150634970/14748696070)100 persen = 34,92 persen Rasio PAD, Pajak dan Retribusi Daerah Rasio PAD =
PAD x100% PDRB
Rasio Pajak =
Pajak x100% PDRB
Rasio Retribusi =
Re tribusi x100 persen PDRB
Rasio Pajak Kabupaten Kapuas Hulu Tahun 2004 = (440 000 000/ 996 658 860 000)*100 persen = 0,04 persen Rasio Retribusi Kabupaten Sekadau Tahun 2006 = (381 798 859/ 526 965 050 000)*100 persen = 0,07 persen Rasio PAD Kabupaten Melawi tahun 2006 = (3 156 630 000/ 438 990 660 000)*100 = 0,72 persen Derajat Desentralisasi Fiskal Proporsi PAD =
PAD x100% TPD
Proporsi BHPBP =
Proporsi SD =
BHPBP x100% TPD
SD x100% TPD
Proporsi PAD Kabupaten Sanggau Tahun 2005 = (205 599 420 000/292 056 872 560)*100 = 70,40 persen Proporsi BHPBP Kabupaten Kapuas Hulu 2006 = (19 258 698 000/515 870 445 000)*100 = 3,73 persen Proporsi Sumbangan Daerah Kabupaten Sintang 2006 =( 479 944 100 000/538 487 420 000) = 8,93 persen 4. Perencanaan Pembangunan Wilayah Analisis Indeks Gravitasi I 1.2 = (W1P1)(W2P2)/J
1.2
Nilai Indeks Gravitasi Kabupaten Sintang-Sanggau Tahun 2004 I 1,2 2004 = 1(3652360,76*335418,42)(66833206,97*370551)/(165000)2 I 1.2 2004 = = 18,93*1013 Perhitungan Keunggulan Komparatif Karet Kabupaten Sintang = (28215/39741)x100 persen = 71,00 persen Kelapa sawit Kabupaten Sintang = (82970/245000)x100 persen = 33,87 persen
Lampiran 5 Perhitungan Indeks Gravitasi Tabel 5.37 PDRB per Kapita dan Jumlah Penduduk Propinsi Kapuas Raya Menurut Kabupaten tahun 2004-2006 Kabupaten Tahun PDRB per kapita (juta) Jumlah Penduduk (jiwa) 2004 2903191,91 335418 Sintang 2005 2964950,91 341145 2006 3059407,38 346857 2004 5424575,05 370551 Sanggau 2005 5547263,50 367661 2006 5922954,00 383199 2004 5173610,56 199792 Kapuas Hulu 2005 5125657,23 204347 2006 5223881,40 208915 2004 2564902,97 159040 Melawi 2005 2594058,25 160746 2006 2644761,01 165646 2004 2791248,00 164531 Sekadau 2005 2898944,81 171265 2006 3040153,76 173335 Tabel 5.38 Jarak antar Kabupaten Sintang dengan Keempat Kabupaten yang Lain dan Nilai Rata-Rata Indeks Gravitasi Propinsi Kapuas Raya Jarak antar Kapuas kabupaten Sintang Sanggau Melawi Sekadau Indeks (km) Hulu Gravitasi Sintang 128 165 70 80 Sanggau 1,31E+20 Kapuas Hulu 3,95E+19 Melawi 8,73E+19 Sekadau 7,86E+19