ANALISIS LUAS TUTUPAN HUTAN TERHADAP KETERSEDIAAN GREEN WATER DAN BLUE WATER DI SUB DAS GUMBASA DAN SUB DAS CISADANE HULU DENGAN APLIKASI MODEL SWAT
NANA MULYANA
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “Analisis Luas Tutupan Hutan Terhadap Ketersediaan Green Water dan Blue Water di Sub DAS Gumbasa dan Sub DAS Cisadane Hulu dengan Aplikasi Model SWAT” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau yang dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2012
NANA MULYANA NRP E061040082
ABSTRACT NANA MULYANA Analysis of Forested Cover Area to Green Water and Blue Water Availability in Gumbasa and Cisadane Sub Watershed by Applied SWAT Model suvervised by CECEP KUSMANA, KAMARUDDIN ABDULAH and LILIK B. PRASETYO The relationship between forested area and water yield in a watershed is still uncertain and has been a subject to prolonged debates among foresters. To clarify this problem, in this study a modeling approach has been adopted and tested with collected data from Cisadane sub watershed (1,811.6 ha) in West Java and Gumbasa sub watershed (120,292.3 ha) in Central Sulawesi. The objectives of this study were: a). To determine suitable software which could validate the positive relation between forest cover and the water yield of the forest. b). To determine optimum forest cover in the two sub-watersheds understudy and c) To determine the distribution of green and blue waters in the two sub-watersheds. To achieve these objectives, the study has been conducted by first to test several available models foe analysis and finally, selecting the most appropriate hydrologic model which could serve the purpose of this study. The SWAT model was selected for further use in this study due to its effectiveness in studying the complex nature of water availability in a watershed, water balance, run-off, erosion, sedimentation and water quality in a watershed. In order to ensure the suitability of the SWAT model to study the current problem, it was first tested following three steps of model test, namely, the verification and conducted calibration stage in 2007, the validation stage, comparing the results of analysis using SWAT model and observed data in 2008 and finally the simulation stage, resulting in ten probable scenarios determining the relations between forest area and water yields.. The results of SWAT model calibration have indicated that the obtained value of R2 was equal to 0.881 and NSE, 0.88. After the validation process the R2 was reduced to 0.72 and NSE 0.7. Using the validated SWAT model, it was found that an increase in forest area would result in the decreasing trend in run-off. In other words that forested area could be used as an effective means to reduce run-off. SWAT analysis for Cisadane upper-catchment had indicated that optimum water availability could be obtained if 44,1% of the area or 799 ha could be covered by forest. Share of green waters availability in Cisadane was 28.13 % and blue waters, 71.87 %, respectively, indicating that this sub-watershed is dominated by the blue waters. The validation test results of SWAT model in Gumbasa sub watershed has given the best correlation between computed results and the observed data where R2 was 0.74 and the NSE, value of 0.79. From the model test it was found that soil moisture content, slope factor and the factor of evaporation from the soil play important roles in controlling water availability in the Gumbasa. The optimum forest cover area in Gumbasa was found to be 53% (63,760 ha), while the distribution of green water in Gumbasa was 51.64% and 48.36 % for blue water, respectively. The optimum of water yield if the forest cover caused balance between run off and recharge. The water yield (WYLD) would optimally be achieved in an increase of run off (Qsurf) offset by rising ground water (Qgw). Keyword:
SWAT Model, Water Yield, Blue Water, Green Water, Cisadane Hulu, Gumbasa
RINGKASAN
NANA MULYANA. Analisis Luas Tutupan Hutan Terhadap Ketersediaan Green Water dan Blue Water di Sub DAS Gumbasa dan Sub DAS Cisadane Hulu dengan Aplikasi Model SWAT. Dibimbing oleh : CECEP KUSMANA, KAMARUDDIN ABDULAH dan LILIK B. PRASETYO
Hubungan antara luasan hutan dan hasil air (water yield) masih tidak tentu da masih bahan perdebatan diantara ahli hidrologi hutan. Pada umumnya penelitian di Sub Tropis menyatakan bahwa hutan yang luas mengkonsumsi air lebih banyak dibandingkan dengan penutupan lahan berupa padang rumput. Penelitian dilakukan di dua lokasi yaitu Sub DAS Cisadane Hulu (1.812 Ha) di Bogor dan Sub DAS Gumbasa (120.292,3 Ha) di Palu Sulawesi Tengah. Penelitian ini bertujuan (1) mendapatkan model yang sesuai untuk menentukan hubungan luasan hutan dan hasil air (2) Mendapatkan luasan hutan optimal di Sub Gumbasa dan Sub DAS Cisadane Hulu (3) Mengetahui distribusi green water dan blue water di Sub DAS Gumbasa dan Sub DAS Cisadane Setelah dilakukan beberapa ujicoba model hidrologi DAS, akhirnya terpilih model Soil Water Assessment Tool (SWAT). Pelaksanaan pemodelan SWAT dilakukan dengan tahapan kalibrasi, validasi dan simulasi. Bahan yang dipergunakan untuk pemodelan DAS dengan SWAT terdiri dari peta tanah skala 1:250.000, peta sistem lahan skala 1:250.000, peta DEM SRTM 90 m, peta tutupan lahan SPOT5 15 m di Sub DAS Cisadane Hulu, dan Citra Landsa TM 7 di Sub DAS Gumbasa. Hasil pemodelan SWAT di Sub DAS Cisadane Hulu menunjukkan nilai efesiensi model 0,88. Parameter p-factor menunjukkan nilai 0,86. Model SWAT dapat diaplikasikan di Sub DAS Cisadane Hulu karena hasil kalibrasi mempunyai nilai R2 = 0,881 dan setelah validasi R2 = 0,72. Lamanya air tersimpan (residence time) setelah adanya hujan di Sub DAS Cisadane Hulu adalah (GWDELAY) 288 hari. Parameter yang sensitif dalam model output debit dari SWAT terdapat 7 parameter, yaitu: GWHT (13,06 m), SLSUBBSN (123,75 mm), GWQMN (387,5 mm), CH_K2 (19,125 mm/jam), SOL_AWC (0,3175 mm/mm), CH_N1 (0,1773125) dan CH_N2 (0,00075) dari data parameter ini terlihat bahwa faktor kadar air tanah, faktor bentang sungai memegang peranan penting dalam mengatur keseimbangan dan ketersediaan air . Hubungan antara jumlah evapotranspirasi aktual dan luas hutan di Sub DAS Cisadane Hulu bersifat linier positif dengan R2=0,679. Hubungan luasan hutan dengan ground water bersifat liniear positif dengan R2=0,8502. Hubungan antara luas huta dengan run off bersifat liner negatif dengan R2 =0,96, Hubungan luas hutan dengan base flow linier positif dan luasan hutan dengan fluktuasi debit
linier negatif dengan R2 = 0,76. Hubungan antara jumlah debit sungai dan proporsi luas hutan mengikuti pola polynomial quadratik (R2 = 0,77). Pola ini sebanding dengan pola water yield yang dihasilkan dari DAS. Water yield menggambarkan efektivitas DAS dalam mengendalikan jumlah air dalam suatu DAS. Luas hutan optimum di Sub DAS Cisadane hulu adalah 44,1 % (799 ha). Dengan bertambahnya proporsi luas hutan akan meningkatkan water yield sampai dengan optimum di 44,1 %, dan debit sungai rata-rata akan meningkat sebesar 0,1135 mm/ha/tahun atau 0,0652 l/det/ha. Keadaan sebaliknya terjadi jika proporsi luas hutan bertambah melebihi nilai optimumnya, rata-rata penurunannya sebesar 0,226 mm/tahun/ha atau 0,121 l/det/ha . Berdasarkan hasil simulasi dengan model SWAT, jumlah air mengalami penyimpanan di Sub DAS Gumbasa selama 176,876 hari (GW_DELAY); CH_K2 9,7613 mm/jam; nilai CN2 rata-rata 66; SOL_CRK 0,621 m3/m3; SLOPE 0,451 m/m; DEEPST 2.096,25 mm; GW_REVAP 0,051; SURLAG 18,796 hari; ESCO 0,209 dan REVAPMN 161,875 mm. Dari data ini menujukkan bahwa faktor kadar air tanah, faktor lereng dan faktor penguapan dari tanah memegang peranan penting dalam pengendalian hasil air di Sub DAS Gumbasa. Simulasi dengan model SWAT di Sub DAS Gumbasa ternyata luas hutan optimal di Sub DAS Gumbasa 53 % dari total luas DAS. Korelasi hubungan antara luas hutan dan water yield di Sub DAS Gumbasa mempunyai nilai R2 =0.899. Distribusi green water di Sub DAS Gumbasa 51,64 % dan blue water 48,36 % dan di Sub DAS Cisadane Hulu green water 28,13 % dan blue water 71,87 %, di Sub DAS Cisadane dominan blue water dan di Sub DAS Gumbasa dominan green water. Pendekatan blue water dan green water dapat menjelaskan komponen neraca air secara detail. Keseimbangan dan ketersediaan air dalam suatu DAS optimal akan tercapai apabila
memenuhi persamaan -
(
) ( )
=
(
) ( )
.
Keseimbangan antara blue water dan green water adalah kunci dalam mengatur kuantitas air dalam suatu DAS. Luas hutan di Sub DAS Gumbasa dan Sub DAS Cisadane Hulu sangat berperan dalam menjaga pasokan water yield, mengatur fluktuasi debit, mengendalikan limpasan, meningkatkan base flow dan mengurangi erosi dan sedimentasi. Hubungan antara luas hutan dengan erosi dan sedimentasi di Sub DAS Gumbasa bersifat linier negatif dengan R2 = 0.83 sehingga hutan sangat berperan dalam menurunkan laju erosi dan sedimentasi.
(c) Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penulisan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengunakan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
ANALISIS LUAS TUTUPAN HUTAN TERHADAP KETERSEDIAAN GREEN WATER DAN BLUE WATER DI SUB DAS GUMBASA DAN SUB DAS CISADANE HULU DENGAN APLIKASI MODEL SWAT
NANA MULYANA
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
KATA PENGANTAR Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini saya menghaturkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada : 1. Prof. Dr. Cecep Kusmana, MSi selaku ketua komisi pembimbing yang dengan sabar telah banyak memberikan masukan dan arahan selama penulis menempuh pendidikan 2. Prof. Dr. Kamaruddin Abdulah, MSA selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan arahan, bimbingan dan pemahaman yang mendalam tentang matematika selama penulis melakukan penelitian dan menempuh jenjang pendidikan 3. Prof. Dr. Ir. Lilik B. Prasetyo MSc yang telah dengan penuh kesabaran membimbing selama penelitian ini dilakukan terutama berkaitan dengan pemodelan spatial 4. Prof Dr. Ir. Budi I. Setiawan selaku dosen penguji luar komisi, dosen dan teman sejawat yang telah memberikan saran selama penelitian ini dilaksanakan 5. Prof Dr. Ir. Hidayat Pawitan, MSc selaku dosen penguji luar komisi yang telah memberikan masukan yang berharga selama penelitian dilaksankan 6. Dr. Ir. Yuli Suharnoto MSc selaku dosen penguji luar komisi dan telah memperkenalkan model SWAT untuk dipelajari dan digunakan dalam penelitian ini 7. Dr. Harry Santoso Dirjen Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial Kementerian Kehutanan selaku dosen penguji luar komisi 8. Dr. Ir. Soedarsono Soedomo, dan Prof. Dr. Ir. Hendrayanto, Magr rekan sejawat yang telah banyak memberikan masukan dan motivasi kepada penulis 9. Kepala Balai Pengelolaan DAS Citarum Ciliwung Kementerian Kehutanan yang telah memberikan ijin pemanfaatan data SPAS Cisadane Hulu 10. Kepada Project STORMA-D5 yang telah memberikan data yang memungkinkan penelitian dilakukan di Sub DAS Gumbasa Palu 11. Sdr Yanto Adrianto, SSi; Sdr Ir. Idung Risdianto, MSc dan Sdr Getsamany, SSi rekan kerja yang telah membatu dalam pengolahan data 12. Direktorat Pendidikan Tingi (DIKTI) Kementerian Depdiknas yang telah memberikan besiswa BPPS selama menempuh pendidikan di IPB 13. Keluargaku tercinta istri Dini Jihadini Arifjaya, dan kedua putraku Idan dan Taza yang telah menjadi lentera semangat dalam hidup ini terima kasih atas pengorbanannya 14. Rekan rekan sejawat handai tolan, aksenters dan seluruh keluarga yang tidak dapat disebutkan satupersatu terima kasih atas saran, doa, dan perhatiannya kepada penulis Akhirnya tentu tulisan ini masih banyak kekurangan kami sangat mengharapkan masukan dan kritik untuk perbaikan tentang pemodelan DAS di Indonesia di masa mendatang. Bogor, Januari 2012 Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan tanggal 1 Mei 1966 di Majalengka, Jawa Barat dari pasangan ayah Buchori Muslim (alm) dan ibu Anijah (alm). Penulis merupakan anak ke dua dari empat bersaudara. Penulis menempuh pendidikan SD di Cikondang, SMP di Cikijing dan SMA di Majalengka. Tahun 1985, penulis meneruskan pendidikan di Fateta IPB dan lulus dari program studi teknik tanah dan air Tahun 1990, dengan skripsi berjudul Model Simulasi untuk Perencanaan Penggunaan Lahan di Sub DAS Cimanuk Hulu DTA Calon Waduk Jatigede. Sejak lulus, antara tahun 1990-1992, penulis banyak melakukan kajian lingkungan. Pada Bulan Maret 1992 Penulis bergabung menjadi staf pengajar di Fahutan IPB dan mengajar mata kuliah Pengelolaan DAS dan Hidrologi Hutan. Pada Tahun 2000, Penulis lulus Program Master dari Sekolah Pasca Sarjan IPB program studi Pengelolan DAS Faperta IPB, dengan judul Tesis Pengaruh Hutan Pinus (P. merkusii) terhadap Karakteristik Hidrologi di SUB DAS Ciwulan Hulu KPH Tasikmalaya Perum Perhutani Unit III Jawa Barat (Kajian menggunakan Model Powersim-Pinus Ver 3.1). Pada Tahun 2004, Penulis melanjutkan pendidikan pada Program Doktor Pasca Sarjana IPB dengan pogram Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan (IPK) Fahutan IPB dengan mendapat beasiswa dari BPPS–DIKTI. Selama menempuh pendidikan Doktor penulis mempublikasikan hasil penelitian pada Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol XVII No.2 Agustus 2011 dengan Topik Application of Tank Model for Predicting Water Balance and Flow Discharge Components of Cisadane Upper Catchment dan juga Pada Jurnal Irigasi Vol. 6 No.2 Tahun 2011 dengan Topik Aplikasi Model SWAT dan Pemodelan Ketersediaan–Permintaan Air di Daerah Tangkapan Air Irigasi Gumbasa yang terbit pada bulan Desember 2011. Selain itu, penulis mempublikasikan hasil penelitiannya secara oral pada pertemuan konferensi di SWAT-SEA di Chiangmay Thailand Tanggal 5-8 Januari 2009, pertemuan Internasional Alumni University Kyoto (HOKU) di Bogor, melalui dua buah poster pada pertemuan international conference pada pertemuan Paddy and Water Environment Enggineering (PAWEES 2009) Tanggal 7-9 Oktober di Bogor, melalui dua poster dalam pertemuan STORMA Tanggal 19-23 September di Jerman. Selain itu selama menempuh pendidikan Doktor, Penulis berkesempatan melakukan training dalam bidang water resources management di Chiba dan Kyoto University, Jepang. Penulis juga mengikuti workshop pengelolaan sumber daya air di Monash University, Melborne, Autralia. Penulis menikah dengan Dini Jihadini Arifjaya dan dikarunia dua anak laki-laki yaitu Tajali Tigin Shahidan Arifjaya dan Tajali Jauhar Ramadan Arifjaya.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI ...................................................................................
i
DAFTAR TABEL ..........................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................
iv
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................
vii
DAFTAR NOMENKLATUR…………………………………....
viii
DAFTAR ISTILAH……………………………………………..
xiii
PENDAHULUAN...........................................................................
1
1.1. Latar Belakang ........................................................................... 1.2. Perumusan Masalah ................................................................. 1.3. Tujuan Penelitian ....................................................................... 1.4. Manfaat Penelitian ..................................................................... 1.5. Kerangka Pikir Penyelesaian Masalah .......................................
1 4 4 5 5
II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................
8
I.
2.1.Green Water dan Blue Water ...................................................... 2.2.Hutan dan Hasil Air..................................................................... 2.3.Model SWAT (Soil Water Assessment Tools) ...........................
8 11 14
III. METODE ........................................................................................
17
3.1.Tempat dan Waktu Penelitian ..................................................... 3.2.Alat dan Bahan ............................................................................ 3.3.Sistem Dinamika Tata Air DAS .................................................. 3.4.Pemetaan Sifat Hidrologi Permukaan ......................................... 3.5.Pemodelan Hidrologi dan Erosi .................................................. 3.6.Pembangkitan Data Hujan ...........................................................
17 20 22 23 29 41
IV. KALIBRASI DAN VALIDASI MODEL SWAT ........................
42
4.1.Kalibrasi dan Validasi di Sub DAS Cisadane Hulu .................... 4.2.Kalibrasi dan Validasi di Sub DAS Gumbasa .............................
44 60
i
V. SIMULASI LUAS HUTAN TERHADAP HASIL AIR .............
71
5.1. Simulasi di Sub DAS Cisadane Hulu ......................................... 5.2. Simulasi di Sub DAS Gumbasa ..................................................
71 77
VI. DISKUSI UMUM DAN PEMBAHASAN ...................................
89
6.1.Pemodelan dan Aplikasi Model SWAT ..................................... 6.2.Perubahan Luas Hutan Terhadap Jumlah Blue water dan Green Water................................................................................
89 91
VII. KESIMPULAN DAN SARAN.....................................................
102
7.1.Kesimpulan ................................................................................. 7.2.Saran ...........................................................................................
102 103
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................
104
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................
114
ii
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Karakteristik Blue Water dan Green Water ………….. ..................
9
2. Kualifikasi data yang digunakan di Sub DAS Gumbasa…. ............
20
3. Lokasi AWS di Sub DAS Gumbasa ................................................
21
4. Kualifikasi data yang digunakan di Sub DAS Cisadane Hulu…. ....
21
5. Tipe penutupan lahan di Sub DAS Cisadane Hulu ………….. .......
45
6. Prosentase setiap kelas lereng di Sub DAS Cisadane Hulu…. ........
48
7. Kisaran nilai parameter yang digunakan dalam SUFI2…………………………………………………………. ......
54
8. Hasil kalibrasi model dengan alogaritma SUFI2 …………….. ......
57
9. Berbagai tipe penutupan lahan di Sub DAS Gumbasa ………. ......
61
10. Sebaran jenis tanah di Sub DAS Gumbasa ………………….. .......
63
11. Distribusi kelas lereng di Sub DAS Gumbasa ………………. .......
63
12. Nilai unsur-unsur cuaca setiap stasiun di Sub DAS Gumbasa.........
65
13. Kisaran nilai paremeter dalam kalibrasi SUFI2……….. .................
66
14. Parameter model terbaik hasil iterasi dengan kalibrasi SUFI2 ......
69
15. Simulasi luas hutan di Sub DAS Cisadane Hulu ……………... .....
71
16. Luas tutupan hutan pada berbagai simulasi di Sub DAS Gumbasa .
79
17. Kombinasi skenario perubahan curah hujan dan tutupan lahan di Sub DAS Gumbasa ......................................................................
83
18. Rekapitulasi output sedimentasi setiap skenario di Sub DAS Gumbasa .......................................................................
iii
86
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Skema pola pikir penyelesaian masalah...........................................
6
2. Siklus hidrologi dalam suatu DAS berbasis green water dan blue water........................................................................................
10
3. Pembagian wilayah Indonesia menurut pola curah hujan dan penyebaran awan ..............................................................................
17
4. Lokasi studi di Sub DAS Gumbasa.................................................
19
5. Peta situasi Sub DAS Cisadane Hulu, Kab Bogor ...........................
19
6. Skema proses hidrologi dalam model SWAT .................................
22
7. Tahapan pemetaan sifat hidrologi permukaan .................................
24
8. Skema penggambaran ketinggian di dalam setiap sel ......................
22
9. Nilai arah aliran dan contoh hasil perhitungan arah aliran ..............
26
10. Hasil perhitungan akumulasi aliran .................................................
27
11. Pengaruh jeda aliran permukaan dan waktu konsentrasi terhadap fraksi aliran permukaan yang mencapai sungai ...............................
37
12. Penampakan penutupan lahan dari citra SPOT 5 tahun 2005 di Sub DAS Cisadane Hulu ..............................................................
45
13. Hasil interpretasi citra SPOT5 kombinasi dengan RBI skala 1: 25.000 .........................................................................
46
14. Peta sebaran jenis tanah di Sub DAS Cisadane Hulu ......................
46
15. Sebaran topografi di Sub DAS Cisadane Hulu ................................
47
16. Sebaran kemiringan lahan di Sub DAS Cisaden Hulu .....................
47
17. Struktur formasi geologi daerah Sub DAS Cisadane Hulu…………
48
18. Penampang outlet di Sub DAS Cisadane Hulu ...............................
49
19. Tampilan input Model SWAT .......................................................
50
20. Proses pembuatan pembatasan DAS secara otomatis ......................
50
21. Penetuan Hidrologi respon unit berbasis data tanah dan land use ...
51
22. Input data iklim pada model SWAT ..............................................
51
23. Input parameter sub basin dan input parameter HRU......................
52
iv
24. Input parameter ground water dan saluran sungai ........................
52
25. Halaman user interface input RUN model SWAT..........................
53
26. Perbandingan data observasi terhadap kisaran hasil model ...........
57
27. Hubungan antara debit model dan debit observasi ..........................
59
28. Hasil kalibrasi harian antara keluaran model dan hasil observasi ...
59
29. Hubungan antara debit simulasi dan debit observasi ......................
60
30. Perbandingan debit observasi dan simulasi hasil validasi ...............
60
31. Sebaran jenis tanah di Sub DAS Gumbasa......................................
62
32. Tampilan 3D Sub DAS Gumbasa....................................................
64
33. Pola sebaran curah hujan di Sub DAS Gumbasa……….................
66
34. Perbandingan debit simulasi dan observasi pada proses kalibrasi ..
68
35. Hubungan antara debit observasi dan simulasi SWAT ...................
68
36. Luas hutan dan persen luas pada berbagai alternative simulasi .....
72
37. Hubungan luas hutan dengan jumlah run off di Cisadane Hulu ....
73
38. Hubungan luas hutan terhadap Kadar Air Tanah (KAT) ...............
74
39. Hubungan persen luas hutan dengan laju evapotranspirasi aktual .
75
40. Hubungan antar persen luas hutan terhadap jumlah base flow........
76
41. Perbandingan Qmax/Qmin rata-rata bulan dan luas hutan .............
77
42. Perbandingan rasio base flow dan direct run off pada berbagai skenario luasan hutan .......................................................
78
43. Hubungan antara Q out flow(Blue Water) di Sub DAS Gumbasa ..
79
44. Hubungan antara water yield dengan dengan (Qout flow) di Sub DAS Gumbasa ..................................................
80
45. Hubungan antara luasan hutan dengan Qmax/Qmin di Sub DAS Gumbasa ......................................................................
80
46. Rasio total base flow pada berbagai skenario luasan hutan di Sub DAS Gumbasa ......................................................................
82
47. Skenario perubahan tutupan lahan di Sub DAS Gumbasa .............
83
48. Perbandingan water yield pada berbagai skenario luas hutan ........
84
49. Perbandingan pola evapotranspirasi aktual (ETA) antar skenario ..
84
50. Perbandingan curah hujan netto setiap scenario ..............................
85
v
51. Dinamika kadar air tanah pada berbagai scenario di Sub DAS Gumbass ...........................................................................................
86
52. Hubungan luas hutan dengan laju sedimentasi di Sub DAS Gumbasa ......................................................................
87
53. Perbandingan curah hujan hasil simulasi dan hasil pengukuran di Sub DAS Gumbasa ......................................................................
87
54. Hubungan jumlah water yield dengan debit sungai (Qoutflow) ......
91
55. Hubungan antara persen luas hutan dengan debit di sub DAS Cisadane Hulu ..............................................................
92
56. Hubungan antara persen luas hutan dengan water yield di Sub DAS Cisadane Hulu..............................................................
92
57. Hubungan antara luasan hutan dengan water yield di Sub DAS Gumbasa ..........................................................................
93
58. Hubungan antara luasan hutan dengan blue water di Sub DAS Cisadane Hulu ..............................................................
95
59. Hubungan antara green water dan luas hutan di Sub DAS Cisadane Hulu ..................................................................
95
60. Proporsi keberadaan green water dan blue water di Sub DAS Cisadane Hulu dan Sub DAS Gumbasa ......................
vi
96
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Dinamika cuaca tahun 2004 di stasiun Sigimpu ..............................
114
2. Dinamika cuaca tahun 2004 di stasiun Rore Katimbu .....................
115
3. Dinamika cuaca tahun 2004 di stasiun Nopu ...................................
116
4. Dinamika cuaca tahun 2004 di stasiun Rore Katimbu .....................
117
5. Dinamika cuaca tahun 2004 di stasiun Pandere ...............................
118
6. Dinamika cuaca tahun 2004 di stasiun Mutira-Palu ........................
119
7. Dinamika cuaca tahun 2004 di stasiun Toro ...................................
120
8. Ketersediaan air dalam 1 tahun pada berbagai skenario perubahan hujan ...............................................................................
121
9. Volume aliran antar skenario perubahan jumlah curah hujan dan perubahan tutupan luas hutan ..................................................
122
10. Perbandingan hasil simulasi volume aliran antar skenario perubahan curah hujan .....................................................................
123
11. Perbandingan hasil simulasi sedimentasi antara skenario perubahan curah hujan dan luasan hutan ........................................
124
12. Perbandingan hasil simulasi sedimentasi antar skenario perubahan curah hujan dan luas hutan ............................................. 13. Distribusi HRU (Hidrological Respons Unit) di Sub DAS Gumbasa
125 126
14. Distribusi HRU (Hidrological Respons Unit) pada tutupan lahan existing di DAS Cisadane Hulu ........................
127
15. Perbandingan distribusi ETA dan ETP harian di Sub DAS Gumbasa dan Sub DAS Cisadane Hulu.......................
vii
128
DAFTAR NOMENKLATUR
Limpasan Permukaan (Run Off) : Qsurf Rday Ia S CN
Limpasan permukaan (mm) Curah hujan pada satu hari (mm) Abstraksi awal termasuk simpanan permukaan, intersepsi tajuk dan infiltrasi sebelum terjadi aliran permukaan (mm) Parameter retensi (mm) SCS Curve Number
Puncak Limpasan Permukaan : qpeak α
Laju limpasan permukaan maksimum (m3 s-1)
Qsurf Area 0.5
Limpasan permukaan (mm) Luas wilayah sub DAS (km2) Fraksi hujan harian yang jatuh selama setengah jam-an intensitas CH tertinggi Waktu konsentrasi pada sub DAS (jam) Waktu konsentrasi untuk aliran di lahan (jam) Waktu konsentrasi untuk aliran di sungai (jam) Panjang lereng sub DAS (m) Rata-rata panjang aliran sungai pada sub DAS (km)
tc
tconc tov tch Lslp L slp slpch n
Fraksi curah hujan yang terjadi selama waktu konsentrasi
-1
Rata-rata lereng di lahan (m m ). -1
Rata-rata lereng di sungai (m m ). Koefesien kekasaran manning
Surface Runoff lag Qsurf Q’surf Qstor,i-1 surlag tconc
Jumlah aliran permukaan yang mencapai sungai utama pada satu hari (mm) Jumlah aliran permukaan yang dibangkitkan pada sub DAS dalam satu hari (mm) Jumlah aliran permukaan yang tersimpan dari hari sebelumnya (mm) Koefisien jeda aliran permukaan Waktu konsentrasi pada sub DAS (jam)
viii
Transmission Loss 3
volQsurf,f
Volume limpasan permukaan setelah transmission losses (m )
volQsurf,i
Volume limpasan permukaan sebelum transmission losses (m )
volthr
Batas volume channel (m ) Slope regresi dengan panjang L dan lebar W Regresi intersceptor untuk saluran dengan panjang L dan lebar W (m) Lamanya aliran (jam) Limpasan permukaan (mm) Puncak limpasan permukaan setelah dikurangi transmission loss (m3/s) Puncak limpasan permukaan sebelum dikurangi transmission loss (m3/s) Konduktivitas hidrolika untuk saluran aluvium (mm/hr)
bx ax durflw Qsurf Qpeak,f Qpeak,i Kch
3 3
Erosi Dan Sedimentasi Sed’ Sed sed′
Sediment yield dari HRU (ton) Jumlah sedimen yang masuk sungai (ton)
q
Puncak laju run off (m /s)
stor,i-1
Jumlah sedimen yang masuk sungai hari kemarin (ton) 3
peak
Q
Rrun off (mm)
surf
area
hru
Luas HRU (ha)
K
Erodibilitas tanah
C
USLE
Faktor tanaman
P
USLE
Faktor Konservasi Tanah
USLE
LS
USLE
Faktor lereng
CFRG surlag t
Faktor kekasaran permukaan Faktor waktu jeda
Sedlat Qlat Qgw areahru concsed
Sedimen yang berasal dari lateral dan base flow (ton) Lateral flow (mm) Base flow (mm) Luas HRU (Km2) Konsentrasi sedimen yang berasal dari lateral dan base flow (mg/L)
conc
Waktu konsentrasi (jam).
ix
Evapotranspirasi Evapotranspirasi Potensial (ETP) -2
-1
λ
fFuks bahang penguapan (MJ m d )
E
Evaporasi (mm d )
Δ
Slope dari kurva tekanan uap jenuh dan suhu udara (de/dT) (kPa °C )
-1 -1 -2
-1
H
Radiasi netto (MJ m d )
G
Fluks bahang permukaan tanah (MJ m d )
ρ
Massa jenis udara (kg m )
c
Kalor spesifik pada tekanan tetap (MJ kg °C )
net
-2 -3
air
e e
-1 p o
-1
Tekanan uap air jenuh pada ketinggian z (kPa)
z
Tekanan uap air pada ketinggian z (kPa)
z
-1
γ
Tetapan psikometri (kPa °C )
r
Resistensi pada kanopi (s m )
r
-1
-1 c
-1
H0 Tmn Tmx
Tahanan difusi pada lapisan udara (resistensi aerodinamis) (s m ) Koefesien, bernilai 1.28 Radiasi extraterrestrial (MJ m -2 d-1) Suhu udara minimum (°C) Suhu udara maksimum (°C)
Tav
Suhu udara rata-rata (°C)
a
pet
Evapotranspirasi Aktual can can
day mx
LAI LAI
mx
Kapasitas aktual kanopi menahan air (mm) Kapasitas maksimum kanopi menahan air (mm) Indeks luas daun Maksimum indeks luas daun
R
Jumlah awal curah huan yang terintersep kanopi (mm)
R
Jumlah akhir curah hujan yang terintersep kanopi (mm)
INT(i) INT(f)
R′
day
R
day
E E
a
Jumlah curah hujan sebelum terintersep kanopi (mm) Jumlah curah hujan setelah terintersep kanopi (mm) Evapotranspirasi potensial (mm) Evapotranspirasi aktual di DAS (mm) x
E
Evaporasi dari CH yang terintersep kanopi (mm)
E
Jumlah transpirasi maksimum dari vegetasi (mm)
Es ,act
Jumlah evaporasi aktual dari tanah (mm)
w
up,z
Water uptake potensial dari kedalaman tanah z (mm)
β
w
Parameter distribusi penggunaan air (default value : 10)
root
Kedalaman perakaran dalam tanah (mm)
can t
z
w
Water uptake potensial dari lapisan tanah ly (mm)
w
Water uptake potensial dari bagian bawah lapisan tanah ly (mm)
w
Water uptake potensial dari bagian atas lapisan tanah ly (mm)
' wup ,ly
Water uptake potensial yang terkoreksi (mm)
" wup ,ly
Water uptake potensial yang terkoreksi ketersediaan air tanah (mm)
AWCly
Ketersediaan air tanah (mm)
wactualup ,ly
Water uptake aktual di setial lapisan tanah ly (mm)
wactualup
Total Water uptake aktual (mm)
Et ,act
Transpirasi aktual dari vegetasi (mm)
E
Jumlah evaporasi maksimum dari vegetasi (mm)
E0′
Evapotranspirasi potensial yang terkoreksi oleh evaporasi dari kanopi(mm) Evaporasi maksimum dari tanah yang terkoreksi oleh transpirasi (mm)
up,ly up,lz up,uz
s
E′s cov
sol
CV E
soil,z
Indeks penutupan tanah Jumlah residu dan biomassa di permukaan tanah (Kg/Ha) Evaporative water demand di kedalaman z (mm)
Z E
Kedalaman tanah (mm)
E
Evaporative water demand di bagian bawah lapisan tanah ly (mm)
E
Evaporative water demand di bagian atas lapisan tanah ly (mm)
Esco
Evaporative soil compensation coefecient Evaporative water demand di lapisan tanah ly yang terkoreksi oleh ketersedian air tanah(mm)
soil,ly soil,zl soil,zu
E’
soil,ly
SW
Evaporative water demand di lapisan tanah ly (mm)
ly
Kandungan air tanah di lapisan tanah ly (mm)
ly
Kapasitas lapang di lapisan tanah ly (mm)
FC
WP
ly
E”soil.ly
Titik layu permanen di lapisan tanah ly (mm) Jumlah evaporasi aktual dari lapisan tanah ly (cm) xi
Weather Generator Curah Hujan : Rday μmon σmon SNDday gmon Rday rnd1 rnd2 rexp
Jumlah curah hujan harian (mm H2O), Rata-rata curah hujan bulanan (mm) Standar deviasi curah hujan bulanan (mm) Standar normal deviasi harian Koefisien acak (skew coeffecient) untuk CH harian dalam satu bulan Jumlah curah hujan harian (mm) Nilai acak antara 0.0 dan 0.1 Nilai acak antara 0.0 dan 0.1 Eksponen antara 1.0 dan 2.0 (default value 1.3).
B
Matrik 3x3 yang elemennya didefinisikan sebagai urutan baru yang memiliki koefisien korelasi berkesinambungan (serial-correlation) dan korelasi silang (cross-correlation).
ε
i
χ (j) i-1
χ (j) i
Matrik 3x1 dari komponen acak independen Matrik 3x1 hari sebelumnya Matrik 3x1 untuk hari i yang elemennya adalah sisa dari suhu udara maksimum (j = 1), suhu udara minimum (j = 2) dan radiasi matahari (j = 3)
xii
DAFTAR ISTILAH
AWS
Automatic Weather Station
BPDAS
Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
CN
Curve Number
DAS
Daerah Aliran Sungai
DEM
Digital Elevation Model
EPA
Environmental Protection Agency
ETA
Eavpotranspirasi Aktual
ETP
Evapotranspirasi Potensial
FAO
Food and Agriculture Organization
HRU
Hydrology Respond Unit
LAI
Leaf Area Index
MUSLE
Modified Universal Soil Loss Equation
NSC
Nash Sutcliffe Coefficient
RBI
Rupa Bumi Indonesia
SDR
Sediment Delivery Ratio
SPAS
Stasiun Pengamat Arus Sungai
STORMA
The Stability of Rainforest Margins in Indonesia
SUFI
Sequential Uncertainty Fitting
SWAT
Soil Water Assessment Tools
SWRB
Simulation for Water Resources in Rural Basins
TMDL
Total Maximum Daily Load
TNLL
Taman Nasional Lore Lindu
USA
The United States of America
USLE
Universal Soil Loss Equation
xiii
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Sudah lebih dari dua dekade terakhir banyak publikasi penelitian yang terkait dengan hubungan antara luas hutan dengan hasil air dan respon hidrologi (Bosch dan Hewlett, 1982; Bruijnzeel, 2004; Brown et al., 2005; Farley et al., 2005). Pada umumnya hasil hasil penelitian tersebut dilakukan di daerah sub tropika dan hasilnya menyatakan bahwa hutan yang luas mengkonsumsi air lebih banyak dibandingkan dengan padang rumput. Tanaman hutan mempunyai Leaf Area Index (LAI) yang lebih besar serta tingkat kekasaran daun yang lebih kasar, perakaran yang lebih dalam, dan perkembangan akar yang lebih baik sehingga hutan mempunyai laju evapotarsnpirasi yang tinggi.
Intersepsi oleh tajuk dan
serasah hutan juga memperbesar laju intersespsi hutan (Farley et al., 2005). Pada hutan konifer intersepsi mencapai 24 %
(Le Maitre et al., 1999).
Namun
demikian besaran perubahan hasil air (water yield) akibat perubahan penambahan hutan (afforestrasi)
sangat tergantung pada kondisi iklim, tipe vegetasi hutan,
umur dan akitivas silvikultur (Bosch dan Hewlett, 1982). Hubungan antara hutan dengan hasil air telah menjadi debat sejak abad sembilan belas (Saberwal, 1997),
terdapat disparitas antara kubu peneliti di
daerah sub tropik yang meyakini bahwa luas hutan berkorelasi negatif dengan hasil air Bruijnzeel (1990), Calder (2003), Zhang (2009), Buytaert (2007) dan persepsi “publik” dan sebagian peneliti yang yakin bahwa makin banyak hutan makin banyak air, akan tetapi seberapa luasan hutan yang efektif yang memberikan pengaruh yang optimal terhadap tata air DAS belum terjawab.
2
Dengan berkembangnya ilmu komputer dan ilmu pemodelan matematika saat ini maka, hidrologi
proses-proses yang rumit dan kompleks yang terkait dengan
dapat dipahami dan dilakukan pemodelan.
Proses-proses hidrologi
yang ada di dalam suatu Daerah Alian Sungai (DAS) khususnya di daerah tropik menjadi pertanyaan besar bagaimana hal itu bisa diterangkan lebih jelas dan terperinci sehingga diperlukan penelitian yang lebih terarah tentang hubungan antara luasan hutan dengan hasil air.
Untuk itu diperlukan pemodelan yang
memperhatikan dimensi ruang dan waktu, serta meniru proses-proses yang terjadi sebenarnya di alam. Pemodelan hidrologi terus berkembang seiring dengan berkembangnya pengetahuan dan teknologi komputer. DAS merupakan batas ekologis sehingga pemodelan berbasis DAS merupakan pemodelan yang paling mewakili kondisi di alam. Proses-proses pemodelan iklim, vegetasi, pola manajemen, tipe penutupan lahan, erosi, kualitas air dan jumlah air dapat dimodelkan dengan akurat dengan mengggunakan DAS sebagai unit kajian. Perkembangan pemodelan hidrologi DAS di Indonesia dimulai dengan model neraca air dengan pendekatan analisa sistem (Budiono, 1978). Kemudian berkembang sering dengan adanya pemodelan erosi USLE (Weismier, 1978), model simulasi penutupan lahan berbasis DAS (Mulyana, 1990) dan pemodelan hidrologi berbasis model dinamik powersim (Mulyana, 2000) dan pemodelan hidrologi dengan Tank Model (Setiawan, 2003).
Sejalan dengan itu banyak
digunakan model juga model ANSWERS dan AGNPS pada era tahun 19952005, akan tetapi model tersebut tidak berbasis ruang (spasial) yang memadai
3
sehingga tidak mampu menggambarkan distribusi proses yang mendekati proses sebenarnya di alam dalam suatu DAS. Dalam perkembangan pemodelan DAS yang menghubungkan proses hidrologi dan aktivitas manajemen pertanian secara keseluruhan mulai berkembang dengan adanya adalah model CREAMS (Chemicals, Run off, and Erosion from Agricultural Management System) (Knisel, 1980), kemudian berkembang
GLEAMS
(Groundwater
Loading
Effects
Management System dan EPIC, (Leonard et al., 1987).
on
Agricultural
Model terakhir yang
banyak digunkaan saat ini dalam pemodelan DAS adalah model SWAT (Soil Water Assessment Tool). Model SWAT yang dikembangkan oleh (Arnold et al., 1998; Arlnold dan Fohrer, 2005) telah terbukti dan efektif untuk menilai dan menganalisis ketersediaan air, neraca air, limpasan, erosi, sedimentasi dan kualitas air DAS dan sumber pencemar, baik yang berasal dari sumber pencemar tetap (poin sources) maupun dari sumber pencemar yang acak (non point sources) dari lahan pertanian dalam sutau DAS.
Model SWAT telah dijadikan model secara
resmi untuk menduga Total Maximum Daily Load (TMDL) di USA atau beban maksimum pencemar yang diperkenankan di dalam suatu DAS (Borah et al., 2006). Demikian juga untuk wilayah Eropa dan Asia telah banyak publikasi dan aplikasi model SWAT dengan hasil yang memuaskan. Sampai saat ini terdapat lebih dari 250 karya tulis khusus aplikasi SWAT untuk pemodelan DAS di seluruh dunia (Gassman et al., 2007). Model SWAT adalah model yang paling banyak digunakan di seluruh dunia saat ini yang berkait dengan pemodelan hidrologi DAS.
4
Khusus untuk aplikasi model SWAT di Indonesia sampai saat ini belum banyak dilakukan untuk analisis DAS dengan menggunakan data dari Indonesia, dilakukan oleh peneliti Indonesia. Permasalahan ini disebabkan karena penerapan model SWAT memerlukan data
yang lengkap, kontinyu
dari data harian
sehingga diperlukan jangka waktu lama. 1.2. Perumusan Masalah Permasalahan hasil air dalam suatu DAS sangat tergantung kepada kondisi topografi, geologi dan bentuk DAS, serta unsur cuaca, iklim dan terutama curah hujan dan pola tutupan lahan memegang peranan penting sebagai input dalam suatu sistem DAS. Untuk melihat pengaruh tutupan lahan hutan terhadap ketersediaan sumber daya air maka timbul pertanyaan: 1. Metode seperti apa untuk menetapkan luas hutan dalam suatu DAS ? 2.
Berapa luas hutan optimal untuk pengelolaan sumber daya air dalam DAS?
3. Apakah dapat dibuktikan bahwa luasan hutan di daerah tropis berfungsi sebagai pengatur sumberdaya air ? 1.3.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini mempunyai tujuan untuk: 1. Mendapatkan model yang sesuai untuk menentukan hubungan luasan hutan dan hasil air 2. Mendapatkan luasan hutan optimal di Sub DAS Gumbasa dan Sub DAS Cisadane Hulu 3. Mengetahui distribusi green water dan blue water dan Sub DAS Gumbasa dan Sub DAS Cisadane Hulu
5
1.4. Manfaat Penelitian Dalam perkembangan sains dan ilmu pengetahun penelitian ini bermanfaat sebagai penjelasan tentang karakteristik dan hubungan antara DAS luas hutan dan ketersediaan air di Indonesia serta sebagai salah satu metode aplikasi pemodelan hidrologi DAS berbasis data spasial dan proses hidrologi. Buat para pengambil keputusan penelitian ini sebagai metode pendekatan dan pengumpulan informasi dalam pemodelan berskala DAS sebagai dasar perencanaan wilayah berbasis daya dukung DAS. Bagi para praktisi bermanfaat untuk mengetahui secara detail neraca air dan distribusi air dalam suatu DAS. 1.5.
Kerangka Pikir Penyelesaian Masalah Permasalahan
pemodelan hidrologi DAS sangat kompleks karena
melibatkan komponen biofisik berupa topografi, tanah, tutupan lahan, geologi, karakteristik sungai, pola hujan, yang sangat beragam. hidrologi DAS berdasarkan data
Untuk memodelkan
yang rinci, waktu harian yang relatif
menggambarkan kondisi sebenarnya merupakan tantangan tersendiri. Pemodelan DAS selama ini yang paling mutahir adalah pemodelan dengan model SWAT yang dikembangkan oleh
Arnold et al. (1998) dan sekarang sudah sangat
berkembang akan tetapi pemodelan tersebut umumnya dilakukan di luar Indonesia, sehingga parameter-paremeter yang terkandung dalam model tersebut bukan parameter yang dikembangkan di Indonesia. Setelah memilih SWAT tentunya ada suatu teori yang dibuktikan kehandalan model SWAT.
Karena parameter model SWAT tidak menggam-
barkan kondisi lokal Indonesia maka diperlukan kalibrasi dan validasi model dengan nilai variabel yang sesuai. Kondisi DAS di Indonesia sangat beragam
6
sehingga diperlukan pemodelan di dua lokasi yang menggambarkan lokasi basah dan kering, Tahapan dalam penyelesaian permasalahan dalam penelitian ini secara komprehensif disajikan pada Gambar 1.
Penerapan SWAT
Gambar 1. Skema skenario pola pikir penyelesaian masalah Tahapan dalam penelitian ini dilakukan dengan melakukan pemilihan model yang mampu menggambarkan fenomena dan karakteristik hidrologi DAS yang mampu memperhatikan aspek iklim, tanah, topografi, karakteristik sungai dan tutupan lahan. Setelah dilakukan pemilihan model, dilakukan kalibrasi parameter yang sesuai dengan kondisi di Indonesia, setelah itu dilakukan validasi untuk melihat konsistensi model.
7
Hubungan antara luasan hutan dalam suatu DAS sampai saat ini masih sangat kontroversi sehingga ada yang beranggapan bahwa penghijauan dan reboisasi
adalah sangat positif terhadap hasil air di lain pihak hasil-hasil
penelitian di tempat lain menunjukkan bahwa penghutanan daerah hulu menyebabkan air berkurang.
Rincian mengenai tinjauan pustaka tentang green
water dan blue water serta hubungan antara tipe hutan dan hasil air disajikan pada BAB II, metode penelitian secara rinci disajikan pada BAB III. Dalam rangka membuktikan permasalahan hubungan luasan hutan dan hasil air
diperlukan pemodelan untuk mensimulasikan skenario perubahan luasan
hutan dalam suatu DAS terhadap kondisi hidrologi. dan validasi
Setelah dilakukan kalibrasi
model dapat diterima berdasarkan prinsip-prinsip pemodelan,
sebagimana disajikan pada BAB IV maka tahap selanjutnya dilakukan simulasi. Alternatif simulasi luasan hutan dalam suatu DAS dipilih dengan melakukan alternatif perubahan tutupan lahan yang rasional karena tutupan lahan sangat menentukan karakteristik hidrologi DAS. Dalam hal ini dilakukan 10 alternatif simulasi luasan hutan dalam suatu DAS serta 3 simulasi perubahan iklim (curah hujan) di Sub DAS Gumbasa sebagaimana disajikan pada BAB V. Perubahan dan distribusi blue water dan green water serta luasan hutan optimal dalam suatu DAS disajikan pada pembahasan BAB VI. Kesimpulan dan saran hasil penelitian ini disajikan pada BAB VII serta daftar pustaka dan rujukan yang dipakai pada penelitian ini disajikan pada Daftar Pustaka dan hasil olahan data yang terkait dengan hasil model disajikan pada Daftar Lampiran.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Green Water dan Blue Water Istilah green water dan blue water di dalam Yang dan Zehnder (2008) mulai diperkenalkan oleh Falkenmark (1995) untuk menunjukkan aliran air kembali ke atmosfire melalui evapotranspirasi termasuk air produktif (transpirasi) dan non produktif (evaporasi) langsung dari permukaan tanah, danau, kolam dan air yang terintersepsi oleh tajuk tanaman. Menurut Savenije (2000) di dalam Yang dan Zehnder (2008) yang dimaksud dengan green water menunjukkan jumlah air yang tersimpan di dalam zona tanah tak jenuh. Green water merupakan sumberdaya air untuk pertanian tadah hujan.
Blue water menunjukkan jumlah air di sungai, danau, waduk,
aquifer. Blue water dipergunakan untuk pertanian irigasi sebagai pengganti curah hujan. (Rockstrom et al., 1999) Menurut Wilibald et al. (2004), green water dapat didefinisikan sebagai bagian dari air hujan yang terinfiltrasi sampai zone perakaran yang digunakan untuk produksi biomasa, atau setara dengan evapotranspirasi. Blue water adalah aliran permukaan, ground water, aliran sungai dan aliran dasar (base flow). Rencana sistem pengelolaan sumberdaya air konvensional fokus pada air dalam cairan (liquid water) atau blue water, sedang konsep terkini membedakan antara dua sumber daya air yaitu blue water dan green water. Blue water adalah air yang tersimpan di aquifer, danau dan bendungan.
Green water adalah
sumber daya air yang tersedia sebagai kelembaban tanah. Green water dan Blue water saling melengkapi dalam proses aliran air. Blue water mengalir ke sungai
9
dan di dalam lapisan aquifer sedangkan green water diuapkan
kembali ke
atmosfir (Falkenmark, 2006). Menurut Wilibald et al. (2004), bagian dari green water yang berada di lapisan zona perakaran sebagian akan menambah ke ground water storage. Menurut
Yang dan Zehnder (2008) karakterisk blue water dan green water
disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Karekteristik blue water dan green water Tipe sumberdaya
Blue water
Green water
Sumber
Sungai, danau,
Air tersimpan didalam zone
bendungan, kolam,
tidak jenuh yang dapat
aquifer
dipergunakan untuk evapotranspirasi
Perpindahan
Sangat tinggi
Sangat rendah
subtitusi dari
Mungkin
Tidak mungkin
kompetisi pengguna
Banyak
Sedikit
fasitas pengaliran
Diperlukan
Tidak diperlukan
biaya penggunaan
Tinggi
Rendah
sumberdaya
Sumber :Yang dan Zehnder (2008) Dalam mendefinisikan sumber daya air saat ini dua pengertian dalam memahami sumber daya air yaitu hidrologis dan agronomis.
Menurut orang
hidrologis blue water adalah ketersediaan sumberdaya air yang setara dengan aliran air permukaan dan aliran bawah tanah. Green water adalah air hujan yang langsung digunakan dan dievaporasikan oleh lahan kering tanpa irigasi, ladang pengembalaan dan lahan hutan (FAO,1997) Green water dapat ditunjukkan oleh nilai evapotranspirasi aktual atau nilai pengurangan limpasan pada setiap
10
tangkapanan air. Green water secara teoritis adalah air yang diperlukan oleh tanaman (FAO, 1997). Faramarzi et al. (2009) telah menggunakan model SWAT untuk menghitung semua komponen neraca air yang terdiri atas blue water flow (water yield and deep aquifer recharge), green water flow (evapotranspirasi potensial dan aktual) dan green water storage adalah kadar air tanah di setiap DAS dalam periode bulanan.
Sumber : Arnorld et al. ( 2005) Gambar 2. Siklus hidrologi dalam suatu DAS berbasis green water dan blue water Menurut Falkenmark dan Rockstro (2006), perbedaan antara komponen green water dan blue water adalah kadar air tanah dan jumlah dari aktual evaporasi (non produktif) dan aktual transpirasi (produktif), sehingga transpirasi merupakan komponen green water. Mengingat hubungan yang erat antara tanah dan tamanan maka total aktual evapotranspirasi merupakan sisi produktif maka dikategorikan sebagai green water.
Karena green water berasal dari hasil
11
infiltrasi maka green water merupakan water yield yang memungkinkan untuk dikelola. 2.2. Hutan dan Hasil Air Permintaan sumberdaya air terus meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi, penduduk serta adanya degradasi lahan dan polusi lingkungan. Mengetahui secara pasti keberadaan sumberdaya air dalam suatu DAS sangat penting sekali untuk memperkirakan nilai keamanan pangan, keamanan energi dan perencanaan jangka panjang sumberdaya air dalam suatu DAS.
Pemetaan
berdasarkan ruang dan waktu serta skenario perubahan penggunaan penutupan lahan merupakan kebutuhan yang sangat mendesak saat ini. Kelangkaan air yang terjadi akan mengancam tingkat keamanan pangan, kesehatan dan kelangsungan industri. Kelangkaan air akan semakin meningkat dengan adanya perubahan iklim dan kerusakan DAS (Rosegrant, 2002). FAO
dan
CIFOR
(2005)
telah
mengeluarkan
publikasi
yang
menghubungkan antara hutan dan banjir yang seolah-olah bertentangan dengan kearifan lokal. Masih banyak permasalahan dalam hidrologi hutan terutama di tropika yang masih belum dapat diterangkan sepenuhnya oleh ilmu pengetahuan sehingga diperlukan kajian dan penelitian yang mendalam tentang hubungan antara luas hutan dan hasil air dalam suatu DAS di wilayah Tropika. Hubungan antara hutan dan hasil air belum sepenuhnya jelas karena masih ada dua kubu yang saling berbeda pendapat, kubu pertama menyatakan luasan hutan berkorelasi positif terhadap jumlah air dan kubu kedua berpendapat sebaliknya. Fakta di daerah Sub Tropik menunjukkan bahwa hutan mereduksi debit maksimum, akan tetapi tidak meningkatkan water yield tahunan. Hubungan
12
antara hutan dan banjir serta pengaturan air dengan adanya hutan perlu kajian yang lebih mendalam terutama di daerah Tropika karena masih sedikitnya publikasi tentang penelitian ini. Fenomena banjir saat ini lebih banyak berhubungan dengan iklim dan geologi. Secara keseluruhan riset tentang hidrologi hutan selalu mengatakan bahwa semakin banyak hutan semakin banyak air, hal ini didasarkan pada pemahaman dan pengertian yang salah tentang siklus hidrologi di dalam tegakan hutan. Tajuk hutan akan mengurangi air tanah dan aliran batang dan menguapkannya air dari permukaan daun (Hamilton, 1982). Adanya kabut di atas permukaan daun menyebabkan terjadinya tambahan jumlah air dalam suatu DAS sehingga jumlah kabut yang tertangkap menambah jumlah persediaan air (Bruinjnzeel, 2004). Hubungan antara hutan dan air berdasarkan penelitian di Eropa telah membuktikan bahwa dengan adanya hutan debit air akan meningkat (Molchanov, 1966). Di lain pihak, beberapa hasil penelitian yang telah dilaporkan oleh Bosh dan Hewlett (1982) dalam Fauzi (1987) memperlihatkan hasil yang sebaliknya. Gilmour et al. (1982), berdasarkan hasil penelitian di Queens land di bagian utara Australia, menyatakan bahwa penebangan hutan mengakibatkan kenaikan aliran permukaan sebesar 10 % atau 297 mm/tahun. Hubungan antara vegetasi hutan dan hasil air menurut Buytaert et al. (2007), akibat penanaman hutan Pinus patula di Sub DAS Paute di Paramos Equador Selatan menyebabkan berkurangnya water yield 50 % atau setara dengan 242 mm/tahun. Hasil penelitian akibat penebangan hutan terhadap perilaku air di daerah Tropis khususnya di Asia Tenggara pernah dilakukan oleh Nik (1988) di Semenajung Malaysia. Penelitian yang dilakukan di tanah ultisol, dengan tekstur
13
tanah bervariasi antara lempung berpasir sampai liat berpasir, dengan curah hujan 2.125 mm/tahun menunjukkan bahwa konsumsi air oleh vegetasi di tempattempat terbuka akibat aktivitas pembalakan masih tetap lebih kecil daripada konsumsi air oleh vegetasi di hutan yang tidak ditebang serta daerah yang ditebang menunjukkan adanya kenaikan aliran lambat pada musim kering. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di daerah Sub Tropik dan daerah dengan kondisi 4 musim seperti yang dilakukan dengan penanaman menggunakan jenis Pinus radiata di Glendu, New Zeland menurut Rowe (2003) dengan total curah hujan 1.340 mm/tahun, total perubahan 75 % tanaman rumput menjadi hutan P. radiata telah mengakibatkan berkurangnya hasil air pada tahun 1991 sebesar 235 mm/tahun. Sementara di daerah Purukohukohu hasil air yang hilang mencapai 230 mm/tahun. Penelitian Arief et al. (1991) di daerah Cikeruh, Sumedang–Jawa Barat menunjukkan bahwa Sub DAS yang ditanami P. merkusii mempunyai water yield 312 mm, sedangkan pada DAS pertanian pada kondisi geologi dan topografi yang sama mempunyai water yield 37 mm, sedangkan pada DAS dengan penutupan lahan campuran water yield 242 mm, dan pada daerah Cigulung-Maribaya pada kondisi penutupan lahan campuran water yield 254 mm, sehingga dengan demikian DAS berhutan lebih banyak menyimpan air tanah. Hasil penelitian Pudjiharta (1986) di daerah Cipandarum (1.750 m dpl) di RPH Cipatuha, Ciwidey, Bandung menunjukkan bahwa tegakan P. merkusii air yang hilang ke udara sebesar 1.666 mm/tahun atau setara dengan 52,49 % dari total curah hujan, sebagian lagi diresapkan ke dalam tanah dan akhirnya menjadi debit sebesar 1.505 mm atau setara dengan 47,51 %. Pada kondisi tanah dan
14
iklim yang sama tegakan E. urophylla menghasilkan air 64,07 % atau setera 2.034 mm dan kehilangan air ke udara hanya 1.041 mm/tahun, dan pada tegakan S. wallichii mampu mengeluarkan
air
74,6 % atau 2.368.3 mm/tahun dan
kehilangan air ke udara di bawah tegakan tersebut sebesar 25,4 % atau setara dengan 806,6 mm/tahun. 2.3. Model SWAT (Soil Water Assessment Tools) Pemodelan SWAT dikembangkan oleh United State Departemen of Agricultural-Agricultural Research Services (USDA-ARS) yang menggabungkan antara model Chemicals Run off and Erosion from Agricultural Management Systems (CREAMS) yang dikembangkan oleh Knisel (1980) dan model Groundwater Loading Effects on Agricultural Management System (GLEAMS) yang dikembangkan oleh Leonard et al. (1987)
dan gabungan model
Environmental Impact Policy Climate (EPIC) oleh Izaurralde et al. ( 2006) dan model Simulation for Water Resouces in Rural Basins (SWRB) yang dikembangkan oleh
Arnold dan Wiliams (1987).
Model SWAT
terus
berkembang dan menggabungkan model kinematik untuk distribusai aliran dan kualitas air dengan model QUAL2K. Model SWAT melakukan pemodelan pada berbagai tipe penutupan lahan, tanah, topografi dan bentuk DAS. Pada studi DAS umumnya akan dilakukan klasifikasi berdasarkan tipe penutupan lahan dominan dan jenis tanah dominan. Perhitungan limpasan menggunakan dengan metode Soil Conservation Cervices (SCS) dan modifikasi nilai curve number (CN) yang telah berhasil digunakan pada berbagai tipe group hidrologi (Gassman et al., 2007).
Pemodelan SWAT
digunakan interface dengan AVSWAT2000 (Luzio et al., 2001).
15
Model SWAT berbasis DAS, kontinyu dengan step waktu harian, yang didesain untuk mengatur sumberdaya air, sedimen, dan limbah kimiawi dari pertanian dalam suatu DAS. Pemodelan SWAT dapat mensimulasikan dalam jangka waktu lama, efisien, dengan komponen model yang terdiri dari parameter cuaca, hidrologi, tanah, nutrient, pestisida, bakteri patogen dan sistem pengolahan tanah (Gassman, 2007). Simulasi hidrologi dalam suatu DAS hanya dapat diterima apabila telah dilakukan validasi dan kalibrasi secara statistik. Data debit umumnya digunakan untuk melakukan kalibrasi model.
Untuk melakukan validasi dan kalibrasi
umumnya digunakan regresi dan nilai determinasi (R2) dan Nash-Sutcliffe model Efficiency (NSE) coefisien (Nash dan Sutcliffe, 1970). Nilai R2 menggambarkan hubungan seberapa jauh antara hasil simulasi dan hasil pengamatan yang nilainya antara 0-1. Nilai NSE berkisar antara -∞ sampai 1 dan hubungan seberapa jauh hasil pengamatan dan keluaran model dapat diterima apabila mendekati 1. Kalibrasi dapat dilakukan baik secara otomatis maupun manual.
Salah
satu cara kalibrasi yang otomatis adalah dengan menggunakan teknik kalibrasi dan analisis ketidakpastian model simulasi menggunakan algoritma optimasi Sequential Uncertainty Fitting Ver.2 (SUFI2)
yang sudah tercangkup dalam
SWAT-CUP (Abbaspour et al., 2008) Menurut Schuol et al. (2008), aplikasi model SWAT dan prosedur kalibrasi SUFI2 telah berhasil menghitung ketersediaan air di daratan Afrika. Pemodelan dengan SWAT dalam dekade terakhir telah diterima dan lebih banyak keahlian yang terlibat. Model SWAT telah diadopsi dan merupakan bagian dari US Protection Environmenatl Agency (US-EPA) dan telah menjadi paket untuk
16
mengintegrasikan point dan non point sources.
Pengembangan model SWAT
sangat terkait dengan sistem pengembangan SIG, perubahan iklim dan hidrologi, polutan, teknik-teknik kalibrasi dan analisis sensitivitas (Gassman et al., 2007).
III. METODE
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Lokasi yang dipilih untuk melakukan pemodelan dilakukan di Sub DAS Gumbasa, DAS Palu, Propinsi Sulawesi Tengah dan Sub DAS Cisadane Hulu di Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor. Pemilihan ke dua Sub DAS ini dikarenakan pada ke dua wilayah tersebut mewakili kondisi iklim di Indonesia yang berbeda yaitu iklim basah dan iklim kering seperti yang disajikan pada Gambar 3. Sub DAS Gumbasa di Palu mewakili kondisi dengan pola hujan yang rendah di lembah Palu, di Pulau Sulawesi dan Sub DAS Cisadane hulu mewakili kondisi hujan tropis dan berada di pegunungan vulkanik dengan curah hujan yang tinggi di daerah pegunungan di Pulau Jawa bagian Barat.
Sumber : Winarso dan Mcbridge (2004) Gambar 3. Pembagian wilayah Indonesia menurut pola curah hujan dan penyebaran awan
18
Faktor lain dalam pemilihan lokasi adalah terdapat data pengukuran yang lengkap sehingga dapat digunakan untuk validasi dan kalibrasi model SWAT. Pada Sub DAS Gumbasa terdapat data iklim dan cuaca yang lengkap karena merupakan bagian dari riset STORMA sejak Tahun 2002 - 2008 dan di Sub DAS Cisadane juga terdapat stasiun klimatologi dan data hidrologi pada Stasiun Pengamat Arus Sungai (SPAS) yang kontinyu yang diukur oleh Kantor Balai Pengelolaan DAS (BPDAS) Citarum Ciliwung, Kementerian Kehutanan dengan interval waktu 30 menit dengan peralatan yang otomatis yang sudah terpasang sejak Desember 2007 – Januari 2010. Ke dua lokasi penelitian juga berbatasan langsung dengan Taman Nasional, Sub DAS Gumbasa berbatasan langsung dengan Taman Nasional Lore Lindu dan Sub DAS Cisadane Hulu berbatasan langsung dengan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Dengan kondisi ini maka dapat diketahui dan disimulasikan peranan hutan alam dalam mengatur tata air di dalam suatu DAS. Keadaan umum masing masing lokasi adalah sebagai berikut : Sub DAS Gumbasa
Lokasi studi di Sub DAS Gumbasa terletak di 1o 01’ 04” – 1o 30’ 01” LS dan 119o 55’ 44” – 120o 18’ 47” BT. Secara administrasi berada di wilayah Kecamatan Dolo, Biromaru, Parigi, Kulawi dan Lore Utara, Kabupaten Donggala Propinsi Sulawesi Tengah. Lokasi Daerah Irigasi Gumbasa berada di Kampung Pandere Kecamatan Dolo.
Luas Sub DAS Gumbasa 120.292,3 ha dengan
panjang sungai utama 98,75 km kondisi geografis ditunjukkan pada Gambar 4.
19
Gambar 4. Lokasi Studi di Sub DAS Gumbasa, Sulawesi Tengah Sub DAS Cisadane Sub DAS Cisadane Hulu secara geografis terletak pada koordinat 6o 45’ 29’ 5’’ LS dan 106o 55’ 40” BT dengan luas total areal 1.812 ha yang terletak di Desa Pasir Buncir, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor. Data selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Peta situasi Sub DAS Cisadane Hulu, Kabupaten Bogor.
20
3.2. Alat dan Bahan Alat utama yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari seperangkat Automatic Water Level Record (AWLR) dan Automatic Weather Station (AWS). Software
GIS
yang
digunakan
adalah
ArcView
3.X
dengan
extensi
AVSWAT2000 (Di Luzio, et al. 2002; Di Luzio et al. 2004) dan untuk kalibrasi model menggunakan SWAT CUP dengan algoritma Sequential Uncertainty Fitting Version2 (SUFI2), (Abbaspour et al. 2004; Abbaspour et al. 2007). Bahan dan data yang digunakan terbagi menjadi data spasial dan data tabel. Data spasial yang digunakan di Sub DAS Gumbasa tersaji dalam Tabel 2. Data tabel berupa data debit sungai harian yang digunakan untuk kalibrasi dan verifikasi model merupakan hasil pengamatan data tinggi muka air sungai yang telah dikonversi menjadi data debit sungai dengan unit m3/s di tahun 2004. Data tersebut berasal dari AWLR terletak di .Pandere, Kecamatan. Dolo, Kabupaten. Donggala, Propinsi . Sulawesi Tengah.
Data cuaca harian (curah hujan, suhu
udara, kelembaban udara, radiasi surya, kecepatan angin) berasal dari 7 AWS Tahun 2002 -2005. Tabel 2. Kualifikasi Data yang digunakan di Sub DAS Gumbasa
DEM
Skala / Sumber resolusi 90 m SRTM (http://srtm.csi.cgiar.org/SELECTI ON/inputCoord.asp)
Kontur
1:50.000 RBI Bakosurtanal
Jaringan Sungai
1:50.000 RBI Bakosurtanal
Data Spasial
Lokasi AWS Tutupan Lahan Tahun 2003 Tanah
- STORMA 30 m Interpretasi Citra Landsat 7 ETM 1: 250.000 Puslit Tanah, Bogor
21
Sensor pengukur cuaca yang terpasang di AWS meliputi pengukur tinggi curah hujan, suhu, kelembaban udara, radiasi surya, arah angin dan kecepatan angin. Lokasi AWS selengkapnya disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Lokasi AWS di Sub DAS Gumbasa Kode
Lokasi
Lintang*
Bujur*
Ketinggian(m dpl)
pl01
Sigimpu
-1,09228
119,97983
639,50
pl02
Rore Katimbu
-1,28157
120,31240
2274,70
pl03
Nopu (Rahmat)
-1,17947
120,08368
601,70
pl04
Rore Katimbu
-1,30938
120,30905
2025,00
pl07
Pandere
-1,19822
119,94232
93,25
pl10
Mutiara Palu (airport)
-0,91582
119,90552
79,50
pl12
Toro
-1,50390
120,03532
788,00
Ket: *) Format koordinat lokasi dalam decimal degree Data spasial yang digunakan di Sub DAS Cisadane Hulu tersaji dalam Tabel 4. Data tabel debit sungai berasal dari data yang tersimpan dalam AWLR yang terpasang di lokasi dari sejak Januari 2008 - Januari 2010. Tabel 4. Kualifikasi Data yang digunakan di Sub DAS Cisadane Hulu Data Spasial DEM
Skala / Sumber resolusi 90 m SRTM (http://srtm.csi.cgiar.org/SELECT ION/inputCoord.asp)
Kontur
1:25.000 RBI Bakosurtanal
Jaringan Sungai
1:25.000 RBI Bakosurtanal
Lokasi AWS Tutupan Lahan Tahun 2005 Tanah
- BPDAS Citarum Ciliwung 15 m Interpretasi Citra SPOT 5 1: 250.000 Puslit Tanah, Bogor
22
3.3. Sistem Dinamika Tata Air DAS Dalam rangka mengkaji pengaruh penutupan lahan dan tipe penggunaan lahan terhadap tata air dan distribusi air termasuk di dalamnya skenario perubahan iklim dan penggunaan lahan, maka harus dilakukan pemodelan berbasis unit terkecil dari Sub DAS yang masih bisa dibatasi. Proses hidrologi yang disimulasi untuk menghitung debit sungai dan sedimen seperti ditunjukkan pada diagram alir seperti Gambar 6.
Sumber : modifikasi dari Di Luzio et al. (2002) Gambar 6. Skema proses hidrologi dalam model SWAT
23
Pemodelan yang dilakukan merupakan model berbasis DAS. Resolusi temporal yang dapat disimulasi adalah data harian, bulanan atau tahunan. Model yang digunakan harus mampu mensimulasikan dampak perubahan tutupan lahan terhadap ketersediaan sumber daya air. Komponen utama model terdiri dari sub model iklim, hidrologi, pertumbuhan dan perkembangan vegetasi, kualitas air, dan aktivitas pengolahan lahan. Pemodelan menggunakan
Hydrology Respon Unit
(HRU) atau Unit Respon Hidrologi (URH) sebagai unit terkecil analisis yang mempunyai karaktersitik yang sama dalam tipe penutupan lahan, manajemen, dan sifat-sifat
tanah yang homogen.
Skenario perubahan tutupan lahan yang
digunakan terdapat 10 skenario dan untuk perubahan hujan meliputi 3 skenario. Analisis juga dilakukan terhadap perubahan tutupan lahan dan perubahan curah hujan. Periode simulasi hujan untuk Sub DAS Gumbasa dilakukan dari Tahun 2002 – 2050 dengan resolusi bulanan. 3.4. Pemetaan Sifat Hidrologi Permukaan Fisiografi permukaan lahan sangat mempengaruhi sifat-sifat hidrologi suatu DAS. Karakteristik hidrologi permukaan yang penting adalah derajat dan arah kemiringan permukaan, arah aliran, akumulasi aliran, jaringan aliran (stream network) dan pembagian Sub-DAS. Analisis topografi dapat digunakan untuk mengetahui karakteristik hidrologi permukaan (Mohamed et al., 2011; Wu dan Huang, 2007; Maidment dan Djokic, 2000). Dalam sistem informasi geografi (SIG) data topografi ini terlebih dahulu dikonversi sebagai data Digital Elevation Model (DEM). Secara ringkas Gambar 7 menyajikan tahapan penurunan parameter hidrologi permukaan dengan masukan data DEM. Pada umumnya algoritma paling banyak yang digunakan dalam analisis ini adalah algoritma D8
24
(O’Callaghan dan Mark, 1984; Mark, 1984). Algoritma ini memanfaatkan 8 cell di sekitarnya untuk menurunkan karakteristik hidrologi permukaan.
Gambar 7. Tahapan pemetaan sifat hidrologi permukaan. Derajat dan arah kemiringan lahan (slope) Kemiringan suatu permukaan ditentukan oleh perbedaan tinggi pada dua tempat yang berbeda. Penggambaran perbedaan ketinggian antar lokasi dapat dinyatakan sebagai ketinggian setiap sel di mana setiap nilai ketinggian diberikan dua indeks yang menyatakan koordinat lokasi (h(i,j)), Gambar 8.
Gambar 8. Skema penggambaran ketinggian di dalam setiap sel.
25
Untuk menyatakan besarnya kemiringan suatu lahan dapat digunakan satuan derajat kemiringan yang didapatkan dari tangen sudut (Tan(α)) yang dibentuk oleh dua tempat dengan ketinggian yang berbeda, atau dinyatakan sebagai persen yang didapatkan dari rasio antara nilai ketinggian dengan jarak proyeksi horizontal antara dua tempat tersebut terhadap sumbu x dan y. Secara matematis kemiringan lahan (S) dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
S
dz dx 2 dy 2
.................................................... (1)
Arah aliran Arah aliran dimodelkan sebagai satu bentuk hasil turunan yang didapatkan dari arah kemiringan lahan suatu sel. Seperti telah diketahui, bahwa setiap sel mempunyai data ketinggian yang unik, sehingga untuk menentukan arah suatu aliran akan ditentukan dari nilai arah kemiringan lahan yang paling curam yang didapatkan dari persamaan (1). Hal ini berarti bahwa untuk menentukan arah aliran satu sel, maka harus dilakukan perhitungan nilai rasio ketinggian dan jarak sel tersebut terhadap 8 sel di sekitarnya yang dibatasi oleh dua titik diagonal koordinat (i-1, j-1) dan (i+1, j+1). Berikut source code untuk algoritma arah aliran D8, di mana Smax merupakan arah aliran : Smax : 0 For m : i-1 To j+1 For n : j-1 TO j+1 S
Z (i , j ) Z ( m, n )
X
X ( m,n ) Y(i , j ) Y( m,n ) 2
(i , j )
IF S > Smax Then Smax : S Next n Next m
...............................................(2) 2
26
Setelah didapatkan nilai S yang paling curam (Smax), maka arah aliran suatu sel akan dinyatakan sebagai bilangan 2n. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah penggunaan informasi arah aliran tersebut bagi penurunan peubah dan parameter lain yang akan digunakan dalam penelitian ini. Arah aliran tersebut akan menunjuk pada 6 sel di sekitar sel yang ditentukan arah alirannya (sel target).
Gambar 9 menunjukkan nilai arah-arah aliran dan contoh hasil
perhitungan yang telah dilakukan untuk menentukan arah aliran (F dir).
Gambar 9. Nilai arah aliran dan contoh hasil perhitungan arah aliran. Akumulasi Aliran Akumulasi aliran adalah jumlah sel yang terakumulasi di suatu sel tertentu yang disebabkan oleh arah aliran sel-sel dalam suatu data DEM mengarah pada sel tersebut. Pemodelan akumulasi aliran ini berguna untuk menentukan jumlah air limpasan permukaan yang diterima oleh suatu tempat atau titik dalam suatu DAS. Jika kemudian titik tersebut dianggap sebagai keluaran (outlet) bagi suatu jaring-jaring aliran, maka sel tersebut akan mendapatkan jumlah sel yang paling besar jika dibanding dengan sel lain dalam suatu DAS yang sama. Secara
27
matematis, akumulasi aliran (Facc) ini dimodelkan sebagai fungsi dari arah aliran (Fdir) dengan persamaan sebagai berikut :
(
)
∑((
) )
(
).............................(3)
Berdasarkan pada persamaan (3), maka dengan menggunakan contoh pada Gambar 8 akan didapatkan jumlah sel yang terakumulasi pada suatu sel tertentu seperti yang disajikan pada Gambar 10.
Dalam batasan suatu DAS, nilai
akumulasi aliran sama dengan nol menunjukkan bahwa pada tempat-tempat tersebut merupakan batas DAS atau Sub DAS berupa punggung-punggung bukit.
Gambar 10. Hasil perhitungan akumulasi aliran Jaringan aliran (stream network) Setelah parameter permukaan seperti kemiringan, arah aliran dan akumulasi ditentukan, maka model berikutnya adalah penentuan jaringan aliran. Jaringan aliran dapat disebut juga sebagai sungai atau badan air terbuka. Pada parameter ini penentuannya ditentukan oleh parameter akumulasi aliran dengan nilai atau jumlah tertentu. Pada kajian ini, jaringan aliran dimodelkan dengan sebuah asumsi bahwa jumlah sel akumulasi aliran dan jumlah tersebut berfungsi sebagai peubah aliran permukaan. Berikut ini adalah model matematis penentuan jaringan aliran:
28
Stream FAcc( norder ) nCelltreshold( norder ) ..........................(4) di mana : Stream
: badan aliran/sungai
nCelltreshold(n-order) : Jumlah sel minimum yang disyaratkan pada order
yang
sama sehingga suatu sel dapat dikatakan sebagai sungai/ badan air. Pada kajian ini yang dianggap sebagai badan aliran air atau sungai jika suatu sel mengakumulasi jumlah sel tertentu yang ditentukan secara bebas atau dengan kata lain nilai nCelltreshold(n-order) menjadi peubah bebas tergantung dengan tingkat ketelitian hasil model yang diinginkan, sehingga semakin kecil luas daerah kajian maka dimasukkan nilai yang kecil, begitu pula sebaliknya.
Batas-batas sub DAS Suatu DAS terdiri dari beberapa Sub DAS. Seperti halnya penentuan jaringan aliran, maka batas-batas Sub DAS dimodelkan dengan menggunakan nilai akumulasi sel sebagai parameter masukannya. Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa nilai akumulasi aliran sama dengan nol menunjukkan bahwa suatu tempat adalah punggung bukit yang secara fisik merupakan suatu titik yang digunakan untuk membatasi satu Sub DAS dengan Sub DAS yang lain. Secara matematik, penentuan batas-batas Sub DAS dimodelkan sebagai berikut:
SubDAS FAcc nCelltreshold ............ ....................................(5) nCelltreshold adalah nilai yang digunakan untuk menentukan jumlah minimum sel yang disyaratkan dalam menentukan Sub DAS. Nilai nSel ini berasosiasi dengan luas minimum suatu area yang dapat dianggap sebagai suatu sub DAS.
29
3.5. Pemodelan Hidrologi dan Erosi Persamaan neraca air umum DAS yang digunakan dalam model SWAT (Luzio et al., 2004), dirumuskan sebagai berikut:
SWt SWt 1 Rdayt (Qsurft Eat Wseept Qgwt ) ….........……..(6) di mana SWt
: kandungan kadar air tanah pada hari ke-t (mm H2O)
SWt-1
: kandungan kadar air tanah awal pada hari ke t-1
Rday t : curah hujan harian pada hari ke-t (mm H2O Qsurft
: run off pada hari ke –t (mm H2O)
Eat
: evapotranspirasi aktual pada hari ke –t (mm H2O)
Wseept : total air yang keluar dari lapisan tanah pada hari ke –t (mm H2O) Qgwt
: total air yang mengalir kembali ke sungai pada hari ke-t (mm H2O)
t
: waktu dalam hari
di dalam Neitsch et al., 2002; Di Luzio et al., 2004 seluruh prosedur untuk menghitung setiap komponen neraca air tersebut diuraikan. Evapotranspirasi Dalam model SWAT, perhitungan evapotranspirasi potensial (ETP) dapat dilakukan dengan 3 metode yaitu Penman-Monteith, Priestley-Taylor dan Hargreaves. Metode Penman-Monteith memerlukan input radiasi surya, suhu udara, kelembaban udara dan kecepatan angin. Metode Priestley-Taylor hanya memerlukan input radiasi surya, suhu udara dan kelembaban udara sedangkan metode Hargreaves hanya memerlukan input data suhu udara. Dalam kajian ini metode perhitungan ETP yang digunakan adalah Penman-Monteith (Penman, 1956; Monteith, 1981; Allen, 1986; Allen et al., 1986). Persamaan Metode Penman-Monteith untuk menghitung ETP adalah sebagai berikut:
30
.( H net
E
air .c p . ezo ez G) ra r .(1 c ) ra
.......................................................(7)
di mana : -2
-1
λ
: fluks panas laten penguapan (MJ m d )
E
: evaporasi (mm d )
Δ
: slope dari kurva tekanan uap jenuh dan suhu udara (de/dT) (kPa °C )
-1 -1 -2 -1
H
: radiasi netto (MJ m d )
G
: fluks panas laten permukaan tanah (MJ m d )
ρ
air
: massa jenis udara (kg m )
c
p
: kalor spesifik pada tekanan tetap (MJ kg °C )
net
-2
-1
-3
eo
-1
z
-1
: tekanan uap air jenuh pada ketinggian z (kPa)
e
: tekanan uap air pada ketinggian z (kPa)
T
: tetapan psikometri (kPa °C )
r
c
: resistensi pada kanopi (s m )
a
: tahanan difusi pada lapisan udara (resistensi aerodinamis) (s m )
z
r
-1 -1 -1
Perhitungan evaporasi curah hujan yang terintersep kanopi, transpirasi oleh vegetasi, evaporasi dari permukaan tanah dan tubuh air (sungai, reservoir) sangat menentukan keseimbangan air dalam DAS. Jumlah air yang hilang melalui evaporasi dan transpirasi ini sebagai evapotranspirasi aktual. Oleh sebab itu sangat penting mengetahui perbandingan antara laju evapotranspirasi aktual dengan laju evapotranspirasi potensial. Perhitungan
untuk
menduga
evapotranspirasi
aktual
terdiri
dari
perhitungan evaporasi curah hujan yang tertahan oleh kanopi tajuk, menghitung
31
laju transpirasi melalui vegetasi dan menghitung evaporasi dari permukaan tanah dan tubuh air. Jika resolusi temporal model harian, maka metode SCS yang digunakan untuk menghitung besarnya air yang tertahan di permukaan. Jumlahnya sebanding dengan besarnya nilai initial abstraction-nya (Ia). Lain halnya jika Jika resolusi temporal model lebih detil lagi (jam-jaman), maka metode yang digunakan adalah metode Green and Ampt, curah hujan yang terintersepi oleh kanopi dihitung terpisah. Jumlah air yang ditranspirasikan oleh vegetasi sebanding dengan jumlah air yang diambil oleh vegetasi (water uptake). Jumlah water uptake potensial oleh vegetasi dihitung dengan rumus (Di Luzio et al., 2004):
wup , z
Et z . 1 exp( . ) zroot 1 exp( )
wup ,ly wup ,lz wup ,uz
.........................................(8)
Prosedur untuk menghitung faktor ketersedian air tanah terhadap water uptake (Di Luzio et al., 2004): ' wup ,ly wup ,ly wdemand .epco if SWly (0.25. AWCly ) then SWly " ' wup w .exp 5. 1 ,ly up ,ly 0.25. AWCly ..........................................(9) '' ' else : wup ,ly wup ,ly endif
Jumlah air aktual yang ditranspirasikan dari vegetasi merupakan jumlah air yang diambil tanaman dari zona perakarannya. Prosedur untuk menghitung water uptake dan transpirasi aktual (Di Luzio et al., 2004).
32
" wactualup ,ly min wup ,ly , ( SWly WPly ) n
wactualup wactualup ,ly
...............................................(10)
ly 1
Et ,act wactualup di mana : Es ,act
: jumlah evaporasi aktual dari tanah (mm)
w
up,z
: water uptake potensial dari kedalaman tanah z (mm)
w
: parameter distribusi penggunaan air (default value : 10)
root
: kedalaman perakaran dalam tanah (mm)
β z
w w w
up,ly
: water uptake potensial dari lapisan tanah ly (mm)
up,lz
: water uptake potensial dari bagian bawah lapisan tanah ly (mm)
up,uz
: water uptake potensial dari bagian atas lapisan tanah ly (mm)
' wup ,ly
: water uptake potensial yang terkoreksi (mm)
" wup ,ly
: water uptake potensial yang terkoreksi ketersediaan air tanah (mm)
AWCly
: ketersediaan air tanah (mm)
wactualup ,ly
: water uptake aktual di setiap lapisan tanah ly (mm)
wactualup
: total water uptake aktual (mm)
Et ,act
: transpirasi aktual dari vegetasi (mm)
E
: jumlah evaporasi maksimum dari vegetasi (mm)
s
Evaporasi dari permukaan tanah merupakan jumlah air yang dapat dievaporasikan dari tanah sangat tergantung evaporatif water demand di atmosfer dan ketersediaan air dalam tanah. (Di Luzio et al., 2004)
Prosedur untuk menghitung evaporasi aktual
33
Es E0' .cov sol : cov sol exp( 5.0 x10 5.CV ) E .E ' ............................................(11) Es' min Es , s 0 Es Et Untuk menghitung evaporasi tanah maksimum untuk setiap lapisan tanah, adalah sebagai berikut (Di Luzio et al., 2004)
z z exp(2.374 0.00713.z ) .....................................................(12) Esoil ,lz Esoil ,uz .epco
Esoil , z Es' . Esoil ,ly
Untuk menghitung pengaruh ketersedian air terhadap evaporasi tanah, adalah sebagai berikut (Di Luzio et al., 2004)
if SWly FCly then 2.5.( SWly FCly ) ' Esoil E .exp ,ly soil ,ly FC WP ly ly ...........................................(13) ' else : Esoil ,ly Esoil ,ly endif Prosedur untuk menghitung evaporasi tanah aktual, adalah sebagai berikut (Di Luzio et al., 2004) : " ' Esoil ,ly min Esoil ,ly , 0.8*( SWly WPly ) n
" Es ,act Esoil ,ly
...........................................................(14)
ly 1
Dimana : E0′
: evapotranspirasi potensial yang terkoreksi oleh evaporasi dari kanopi (mm)
E′s
: evaporasi maksimum dari tanah yang terkoreksi (mm)
cov
: indeks penutupan tanah
CV
: jumlah residu dan biomassa di permukaan tanah (Kg/Ha)
E
: evaporative water demand di kedalaman z (mm)
sol
soil,z
34
Z
: kedalaman tanah (mm)
E
: evaporasi di lapisan tanah ly (mm)
E
: evaporasi di bagian bawah lapisan tanah ly (mm)
E
: evaporasi di bagian atas lapisan tanah ly (mm)
Esco
: evaporasi soil compensation coefecient
E’
: evaporasi di lapisan tanah ly yang terkoreksi oleh ketersedian air
soil,ly soil,zl soil,zu
soil,ly
tanah(mm)
SW
ly
: kandungan air tanah di lapisan tanah ly (mm)
FC
ly
: kapasitas lapang di lapisan tanah ly (mm)
WP
: titik layu permanen di lapisan tanah ly (mm)
E”
: jumlah evaporasi aktual dari lapisan tanah ly (mm)
ly
soil,ly
Run off (Qsurf) Untuk menghitung run off atau limpasan permukaan, model SWAT menggunakan metode SCS (SCS, 1972; Rallison dan Miller, 1981). Metode ini dikembangkan untuk menghitung jumlah run off pada tutupan lahan dan jenis tanah yang bervariasi. Persamaan run off dengan metode SCS seperti di bawah ini, dimana abstraksi awal (Ia) sebesar 0.2S. Limpasan permukaan akan terjadi jika curah hujan (Rday) lebih besar dari Ia.
Qsurf
( Rday 0.2S )2 ( Rday 0.8S )
.....................................................................................(15)
Parameter retensi (S) bervariasi tergantung jenis tanah, penutupan lahan, kelerengan, teknik pengelolaan lahan dan kandungan air tanah. Parameter retensi didefinisikan sebagai berikut:
1000 S 25.4. 10 ......................................................................................(16) CN
35
di mana, Qsurf Rday Ia
: limpasan permukaan (mm) : curah hujan pada satu hari (mm) : abstraksi awal termasuk simpanan permukaan, intersepsi tajuk dan infiltrasi sebelum terjadi aliran permukaan
S CN
: parameter retensi (mm) : SCS Curve Number
Limpasan permukaan maksimum (peak run off) dihitung dengan memodifikasi metode rasional (rational method) dengan persamaan sebagai berikut:
q peak
tc .Qsurf . Area 3.6.tconc
.................................................................................(17)
di mana : qpeak α
: laju limpasan permukaan maksimum (m3 s-1) : fraksi curah hujan yang terjadi selama waktu konsentrasi
Qsurf Area tconc
: : :
tc
limpasan permukaan (mm) luas wilayah sub DAS (km2) waktu konsentrasi pada sub DAS (jam)
Fraksi curah hujan yang terjadi selama waktu konsentrasi (α ) dihitung dengan tc
persamaan sebagai berikut:
tc 1 exp 2.tconc .ln(1 0.5 .................................................................(18) di mana :
0.5
: fraksi hujan harian yang jatuh selama setengah jam-an intensitas curah hujan tertinggi
Prosedur untuk menghitung fraksi hujan harian yang jatuh selama setengah jaman intensitas curah hujan tertinggi (0.5) disajikan dalam pembakitan data hujan. Waktu konsentrasi (tconc) adalah jumlah waktu aliran di lahan (overland flow time / tov) dan waktu aliran di sungai (channel flow time / tch):
36
tov
0.6 L0.6 slp .n
18.slp 0.3
0.62.L.n0.75 dan tch Area 0.125 .slpch0.375
...........................................(19)
di mana : tov
: waktu konsentrasi untuk aliran di lahan (jam)
tch
: waktu konsentrasi untuk aliran di sungai (jam)
Lslp
: panjang lereng sub DAS (m)
L
: rata-rata panjang aliran sungai pada sub DAS (km)
Slp
: rata-rata lereng di lahan (m m ).
slpch
: rata-rata lereng di sungai (m m ). : koefesien kekasaran manning
N
-1 -1
Pada saat waktu konsentrasi lebih dari 1 hari hal ini menyebabkan tidak semua limpasan permukaan pada hari tersebut akan masuk sungai utama, ada yang tertahan di lahan (mengalami lag). SWAT menghitung hal tersebut dengan persamaan sebagai berikut:
surlag ' Qsurf (Qsurf Qstor ,i 1 ). 1 exp ............................................(20) t conc di mana : Qsurf
: jumlah aliran permukaan yang mencapai sungai utama pada satu hari (mm)
Q’surf
: jumlah aliran permukaan yang dibangkitkan pada sub DAS dalam satu hari (mm)
Qstor,i-1 : jumlah aliran permukaan yang tersimpan dari hari sebelumnya (mm) Surlag : koefisien jeda aliran permukaan tconc
: waktu konsentrasi pada sub DAS (jam)
Pengaruh jeda aliran permukaan dan waktu konsentrasi terhadap fraksi aliran permukaan yang mencapai sungai dideskripsikan oleh Gambar 11.
37
Gambar 11. Pengaruh jeda aliran permukaan dan waktu konsentrasi terhadap fraksi aliran permukaan yang mencapai sungai (Neitsch et al., 2002; Di Luzio et al, 2004)
Perkolasi (Wseep) Dalam model SWAT, perkolasi dihitung setiap lapisan tanah. Perkolasi terjadi jika KAT ( SWly ) pada lapisan tersebut melebihi kapasitas lapangnya ( FCly ). Secara matematika, prosedur tersebut dinyatakan sebagai berikut :
SWly FCly SWly ,excess SWly FCly SWly FCly SWly ,excess 0
.............................................................(21)
Jumlah air yang diperkolasikan ke lapisan yang di bawahnya dihitung dengan metode storage routing. Persamaan yang digunakan untuk menghitung jumlah air yang diperkolasikan ke lapisan di bawahnya ( wperc ,ly ) adalah sebagai berikut :
t wperc ,ly SWly ,excess 1 exp ..................................................................(22) TT perc di mana : TTperc
SATly FCly Kly
.........................................................................(23)
SATly : Jumlah air dalam kondisi jenuh (mm) pada lapisan tanah ly
38
K ly
: Konduktifitas hidrolik jenuh pada lapisan tanah ly
TTperc : Travel time untuk perkolasi
Base flow (Qgw) Air perkolasi ( wseep ) dari lapisan tanah selanjutnya memasuki akuifer (groundwater storage). Air yang keluar dari profil tanah ini mengalami delay ( gw ) ketika memasuki akuifer. Lamanya delay ini tergantung kepada tinggi water table dan karakteristik hidrolik formasi geologi di sekitar groundwater zona sehingga jumlah air yang keluar dari profil tanah dengan jumlah air yang memasuki groundwater storage berbeda. Venetis (1969) and Sangrey et al. (1984) telah merumuskan jumlah air yang masuk ke groundwater storage dari profil tanah ( wrchrg ,i )sebagai berikut
wrchrg ,i wrchrg ,i 1.exp
1 gw
wseep .(1 exp
1 gw
) .........................(24)
di mana δgw merupakan delay time (hari) karena faktor karakteristik hidrolik formasi geologi di sekitar groundwater zone. Air yang tertampung dalam groundwater storage
akan memberikan
kontribusi terhadap aliran sungai sebagai baseflow jika jumlah airnya (
aqsh
)
melebihi nilai ambang spesifik groundwater storage untuk mengalirkan base flow(
aqshthr ,q
). Besarnya baseflow ini sangat tergantung kepada faktor baseflow
recession constant (αgw ). Prosedur untuk menghitung baseflow sebagai berikut: g w
aqsh aqshthr ,q Qgwi Qgwi 1.exp aqsh aqshthr ,q Qgwi 0
g w
Wrchrg ,sh .(1 exp
) .............(25)
39
Jika tidak ada masukan dari komponen yang lain, besarnya baseflow sebagai berikut: g w
aqsh aqshthr ,q Qgwi Qgwi 1.exp aqsh aqshthr ,q Qgwi 0
......................................................(26)
Erosi dan Sedimen Perhitungannya erosi dalam model MUSLE
SWAT menggunakan formula
(Modified Universal Soil Loss Equation; Williams, 1995). MUSLE
merupakan formula yang telah di modifikasi dari USLE (Wischmeier dan Smith, 1978). Perbedaan yang mendasar antara MUSLE dan USLE adalah 1. MUSLE tidak menggunakan faktor energi hujan sebagai trigger penyebab terjadinya erosi melainkan menggunakan faktor limpasan permukaan sehingga MUSLE tidak memerlukan faktor sediment delivery ratio (SDR). Faktor limpasan permukaan mewakili energi yang digunakan untuk detaching dan transporting sedimen (Williams, 1975). 2. Output USLE menduga erosi tahunan sedangkan MUSLE dapat menduga erosi setiap kejadian hujan. 3. Faktor sediment delivery ratio (SDR) tidak diperlukan lagi dalam MUSLE untuk menghitung hasil sediment dari hasil erosi Persamaan untuk menghitung jumlah sedimen yang berasal dari HRU adalah sebagai berikut :
sed ' 11.8.(Qsurf .q peak .areahru ).KUSLE .CUSLE .PUSLE .LSUSLE .CFRG di mana,
(27)
...
40
Sed’
: sedimen yield dari HRU (tons)
Sed
: jumlah sedimen yang masuk sungai (tons)
sed′
: jumlah sedimen yang masuk sungai hari kemarin (tons)
q
: puncak laju run off (m /s)
stor,i-1
3 peak
: run off (mm) ha-1
Q
surf
area
: luas HRU (ha)
K
USLE
: faktor erodibilitas tanah (0.013 ton.m hr/(m -metric ton cm))
USLE
: faktor penutupan lahan
USLE
: faktor konservasi tanah dan air
hru
C
2
P
LS
USLE
:
faktor topografi
CFRG
:
faktor kekasaran
3
Untuk jumlah sedimen yang masuk sungai dihitung dengan persamaan sebagai berikut :
surlag sed ( sed ' sed stor ,i 1 ).(1 exp ) ...............................................(28) t conc di mana : Surlag
: surface run off lag coefficient
t
conc
: waktu konsentrasi (jam)
sed stor ,i 1
: jumlah sedimen yang tertahan dilahan pada hari sebelumnya (ton)
Aliran lateral dan base flow juga membawa sedimen masuk ke dalam sungai. Jumlah sedimentasi yang berasal dari aliran lateral flow dan base flow dihitung dengan persamaan berikut :
sedlat di mana,
(Qlat Qgw ).areahru .concsed 1000
..........................................................(29)
41
Qlat
: lateral flow (mm)
Qgw
: base flow (mm)
areahru
: luas HRU (Km2)
concsed
: konsentrasi sedimen yang berasal dari lateral dan base flow
Sedlat
:(mg/l) sedimen yang berasal dari lateral dan base flow (ton)
3.6. Pembangkitan Data Hujan Suatu hari dikategorikan sebagai hari hujan jika curah hujan pada hari tersebut lebih dari atau sama dengan 0,1 mm. Metode rantai markov orde 1 digunakan untuk menentukan hari hujan (Nicks, 1974; Richardson, 1981; Richardson dan Wright, 1984). Metode ini memerlukan informasi peluang hari hujan di mana hari sebelumnya hujan (Pi(W/W)) dan hari sebelumnya kering (Pi(W/D)) rataan bulanan. Pembangkitan data hujan ini diperlukan untuk menghitung puncak limpasan permukaan dan mensimulasi pola ketersedian air sebagai dampak perubahan tutupan lahan dan jumlah CH di Sub DAS Gumbasa. Untuk mendefinisikan hari hujan atau bukan selama proses pembangkitan data, menggunakan data acak antara 0,0 dan 1,0 sebagai pembanding. Jika data acak kurang dari atau sama dengan nilai peluang hari hujan maka didefinisikan sebagai hari hujan, sebaliknya tidak terjadi hujan. Ada dua model pola sebaran data hujan yang dibangkitkan, yaitu skew dan eksponensial. Pola sebaran skew memerlukan data standar deviasi ( mon ) dan skew coeffecient ( g mon ) curah hujan rataan bulanan. Persamaan dalam Nicks, 1974 dan Fiering, 1967 yang digunakan untuk menghitung jumlah curah hujan ( Rday ) dengan pola sebaran skew, sebagai berikut:
42
Rday
3 g mon g mon SNDday . 1 1 6 6 mon 2. mon .......................(30) g mon
Untuk SNDday dihitung dengan persamaan berikut ini:
SNDday cos(6.283.rnd2 ). (2.ln(rnd1 ) ................................………...(31) Sebaran eksponensial memerlukan input yang lebih sedikit dan biasanya digunakan pada wilayah yang data curah hujannya terbatas. Parameter yang perlu ditetapkan terlebih dahulu adalah koefesien eksponensial (rexp). Nilai koefesien ini berkisar antara 1,0 dan 2,0 (default value 1,3). Jika nilai meningkat, jumlah curah hujan ekstrim selama satu tahun akan meningkat juga. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut:
Rday mon .( ln(rnd1))r exp ......................................................................(32) di mana : Rday
:
jumlah curah hujan harian (mm H2O),
μmon
:
rata-rata curah hujan bulanan (mm)
σmon
:
standar deviasi curah hujan bulanan (mm)
SNDday
:
standar normal deviasi harian
gmon
:
skew coeffecient untuk curah hujan harian dalam satu bulan
Rday
:
jumlah curah hujan harian (mm)
rnd1
:
nilai acak antara 0,0 dan 0,1
rnd2
:
nilai acak antara 0,0 dan 0,1
Rexp
:
Koefesien eksponensial
Untuk menghitung puncak limpasan permukaan harian, model SWAT membangkitan data curah hujan maksimum setengah jam-an. Prosedur untuk
43
menghitung fraksi hujan harian yang jatuh selama setengah jam-an intensitas curah hujan tertinggi (0.5) adalah sebagai berikut:
1. Menghitung :
R0.5 sm( mon )
2. Menghitung : 0.5( mon )
R0.5 x ( mon1) R0.5 x ( mon ) R0.5 x ( mon 1) 3
.......(33)
R0.5 sm ( mon ) ...............(34) adj0.5 . 1 exp 0.5 mon .ln yrs.dayswet
3. Menentukan batas atas dan batas bawah fraksi hujan harian yang jatuh selama setengah jam-an dari intensitas curah hujan tertinggi
125 dan 0.5 L 0.02083 .........................................(35) Rday 5
0.5U 1 exp
4. Membangkitkan data acak dengan menggunakan triangular distribution 0.5 L if rand1 0.5 mon Then 0.5U 0.5 L 0.5 rnd1.( 0.5U 0.5 L ).( 0.5 mon 0.5 L ) 0.5 0.5 mon . 0.5 L
0.5U ( 0.5U else : 0.5 0.5 mon . endif
0.5 mean 0.5 (1 rnd1 ) 0.5 L (1 rnd1 ) 0.5 mon ). 0.5U 0.5U 0.5 mon 0.5 mean
.(36)
R0.5 sm( mon )
: Rataan bulanan curah hujan 30 menit-an (mm)
R0.5 x ( mon )
: Curah hujan 30 menit-an maksimum pada bulan ke-mon (mm)
0.5( mon )
: Fraksi rataan bulanan curah hujan 30 menit-an
adj0.5
: Faktor koreksi fraksi rataan bulanan curah hujan 30 menit-an
dayswet yrs
: Jumlah hari hujan dalam sebulan (hari)
0.5U
: Batas atas fraksi rataan bulanan curah hujann 30 menit-an
0.5L
: Batas bawah fraksi rataan bulanan curah hujan 30 menit-an
rnd1
: Bilangan acak 1
0.5mean
: Rataan fraksi curah hujan 30 menit-an
: Jumlah tahun data yang digunakan
IV. KALIBRASI DAN VALIDASI MODEL SWAT
4.1. Kalibrasi dan validasi di Sub DAS Cisadane Hulu Aplikasi model SWAT di Indonesia belum banyak dilakukan, sehingga untuk menguji dan mengetahui tingkat penerimaan dan aplikasi model SWAT di Indonesia perlu dilakukan kalibrasi dan validasi terhadap model SWAT untuk disesuaikan dengan kondisi DAS di Indonesia. berbagai kelebihan karena mampu
Model
mengitegrasikan
SWAT mempunyai antar proses-proses
hidrologi, berbasis data sapasial, proses yang kontinyu dan dapat dikombinasikan dengan berbagai skenario perubahan lahan dan manajemen DAS. Sebelum program SWAT dapat diterima dan diaplikasikan di suatu DAS di Indonesia, diperlukan validasi dan kalibrasi parameter-parameter yang sensitif dan sangat berpengaruh terhadap debit sungai. Kegiatan verifikasi hanya dilakukan khusus membandingkan debit keluaran dari model dibandingkan dengan debit hasil pengukuran di lapangan. Tahapan verifikasi, kalibrasi dan akseptibilitas merupakan tahapan awal dalam aplikasi pemodelan DAS dengan model SWAT sehingga dapat diketahui parameter-paramater yang sangat berpengaruh dan dominan terhadap keluaran model. Berdasarkan tipe penutupan lahan, Sub DAS Cisadane Hulu
lebih
didominasi oleh hutan (± 57,67%) dan semak belukar (± 26,38%). Perincian luas areal setiap tipe penutupan lahan ditunjukkan pada Tabel 5.
45
Tabel 5. Tipe penutupan lahan di Sub DAS Cisadane Hulu Tipe Penutupan Lahan
Luas (Ha)
Belukar/Semak
(%)
477,96
26,38
1.044,60
57,67
116,11
6,41
13,47
0,74
2,70
0,15
Sawah Irigasi
23,18
1,28
Sawah Tadah Hujan
40,64
2,24
Tegalan/Ladang
92,85
5,13
Hutan Kebun/Perkebunan Pemukiman Rumput/Tanah kosong
Jumlah 1.811,50 Sumber : hasil interpretasi data SPOT 5 Tahun 2005.
100,00
Data penampakan dari Citra SPOT 5 ditunjukkan pada Gambar 12 dan hasil interpretasi citra dengan kombinasi peta RBI skala 1 : 25.000, ditunjukkan pada Gambar 13.
Gambar 12. Penampakan penutupan lahan dari citra SPOT 5 tahun 2005 di Sub DAS Cisadane Hulu
46
Gambar 13. Hasil interpretasi citra SPOT5 kombinasi dengan RBI skala 1 : 25.000 di Sub DAS Cisadane Hulu Berdasarkan klasifikasi
tanah sistem USDA, jenis tanah yang ada di
daerah kajian ada 2 jenis, yaitu distropept dan hidraquent. Jenis tanah distropept merupakan tanah agak lapuk iklim panas dengan nilai jenuh tanah bawah basa yang rendah. Jenis tanah hidraquent merupakan tanah tidak lapuk, kejenuhan permanen, yang lembut bila terinjak dan sebagian besar bertekstur halus. Sebaran tanah distropept hanya sebagian kecil, sekitar 56,2 ha ( ± 3,1 %) dan sisanya termasuk dalam jenis hidraquent sekitar 1.755,3 ha (± 96,9 %).
Peta sebaran
jenis tanah ditunjukkan pada Gambar 14.
Sumber : peta sistem lahan skala 1 : 250.000 Gambar 14. Peta sebaran jenis tanah di Sub DAS Cisadane Hulu
47
Kondisi ketinggian tempat daerah kajian berkisar antara 512,5 – 2.235,4 m dpl seperti disajikan pada Gambar 15 dan sebaran kelas lereng disajikan pada Gambar 16.
Gambar 15. Sebaran topografi di Sub DAS Cisadane Hulu
Gambar 16. Sebaran kemiringan lahan di Sub DAS Cisadane Hulu Daerah hulu DAS Cisadane merupakan daerah sekitar G. Lingkung, termasuk dalam Taman Nasional Gede-Pangrango.
Bentuk fisiografi sangat
curam ( > 40%) paling banyak ditemukan di sekitar Desa Cibedug. Prosentase setiap kelas lereng di Sub DAS Cisadane hulu ditunjukkan pada Tabel 6.
48
Tabel 6. Prosentase setiap kelas lereng di Sub DAS Cisadane Hulu No 1 2 3 4 5
Kelas Lereng
0-8 % 8 - 15% 15 - 25% 25 - 40% >40% Jumlah Sumber : hasil pengolahan
Luas (Ha) 91,8 109,2 384,1 1.031,0 195,5 1.811,6
(%) 5,07 6,03 21,21 56,91 10,79 100,00
Struktur formasi geologi daerah kajian berdasarkan peta geologi lembar Bogor termasuk kedalam batuan gunung api. Daerah kajian termasuk batuan gunungapi tua (Qvt) yang mengandung tuff berbatu apung. Luas daerah yang termasuk Qvt sekitar 101,4 ha (± 5,6 %). Daerah di sebelah selatan terdapat batuan gunungapi G. Pangrango dengan endapan lava dan lahar yang lebih tua (Qvpy), mengandung basal andesit dengan ologoklas-andesin, labradorit, olovin, piroksen dan horenblenda. Kategori batuan ini sekitar 179,7 Ha (± 9,92 %). Sebagian besar daerah kajian termasuk batuan gunung api G. Pangrango dengan endapan lahar yang lebih muda (Qvpo) yang tersusun atas andesit, sekitar 84,49 % (± 1.530,5 ha). Sebaran formasi geologi ditunjukkan pada Gambar 17.
sumber : peta geologi lembar bogor skala 1 : 100.000; Direktorat GTL Bandung Gambar 17. Struktur formasi geologi daerah Sub DAS Cisadane Hulu
49
Data input peta untuk aplikasi model SWAT adalah data spasial dan non spasial. Data spasial yang digunakan adalah tipe penggunaan lahan, jenis tanah, peta Digital Elevation Model (DEM) dan jaringan sungai. Data non spasial meliputi data cuaca dan data hidrologi.
Data cuaca meliputi
curah hujan,
kelembaban, relatif, suhu, radiasi surya dan kecepatan angin sepetrti yang disajikan pada Gambar 18. Berdasarkan data hasil pengukuran suhu udara rata-rata berkisar antara 21,8 oC – 25,4 oC dengan suhu maksimum antara 22,9 oC – 30,8 oC dan suhu minimum berkisar antara 17,8 oC – 22,6 oC. Kelembaban relatif udara berkisar antara 85,8 – 100 %, dengan kecepatan angin berkisar antara 0,02 – 0,716 m/s. Data radiasi surya berkisar antara 13,99 – 21,07 MJ/m2/hari.
Gambar 18. Penampang outlet di Sub DAS Cisadane Hulu. Hubungan antara tinggi muka air (H, m) dengan debit sungai (Q, m3/s) untuk lokasi studi mengikuti persamaan sebagai berikut :
Q 37, 254* H 2.9162 , R2 0.967 .......................................(36) Berikut adalah tampilan beberapa input model SWAT dalam proses input data, kalibrasi dan validasi model :
50
Gambar 19. Tampilan input model SWAT
Gambar 20. Proses pembuatan pembatasan DAS secara otomatis
51
Penutupan Lahan
Jenis Tanah
Gambar 21. Penentuan hidrologi respon unit berbasis data tanah dan landuse
Gambar 22. Input data iklim pada model SWAT
52
Form Input Parameter
Form input parameter HRU Form input parameter Sub Basin
Gambar 23. Input parameter sub basin dan input parameter HRU
Form input parameter main chanel
F E
Form input parameter ground water
Gambar 24. Input parameter ground water dan saluran sungai
53
Gambar 25. Halaman user interface input model SWAT
Prosedur dalam algoritma SUFI2 dalam melakukan kalibrasi adalah sebagai berikut (Abbaspour et al., 2004): 1. Mendefinisikan objective function, g(h), sebagai tujuan optimasi. Dalam studi ini menggunakan Nash-Sutcliffe efficiency (Nash dan Sutcliffe, 1970) : n
NSE 1.0
(O P ) i 1 n
i
2
i
(Oi õ)2
..………………………………….……………(37)
i 1
Dimana : Oi : data observasi ke-i, õ
: rata-rata data observasi
Pi : hasil simulasi ke-i, n
: jumlah data
Mendefinisikan nilai awal kisaran parameter yang digunakan dalam SWAT min,
[abs
abs max] , dengan asumsi parameter tersebar seragam dalam batas kisaran yang
ditentukan (bj: bj, [j,abs min ≤ bj ≤ j,abs max, j = 1.... m, m=jumlah parameter).
54
Dalam studi ini batas kisaran yang ditentukan yang menjadi input parameter SWAT, disajikan Tabel 7. Tabel 7. Kisaran nilai parameter yang digunakan dalam parameter SUFI2 No(j)
Parameter
Keterangan
1
cn2.mgt
Curve number
2
shallst.gw
3
Unit
abs
abs
min
max
-
35
70
Initial depth of water in the shallow aquifer
mm
0
1.000
deepst.gw
Initial depth of water in the deep aquifer
mm
0
3.000
4
gw_delay.gw
Groundwater delay
hari
0
500
5
alpha_bf.gw
Baseflow alpha factor
hari
0,01
1
6
gwqmn.gw
Threshold deep of water in the shallow aquifer required for return to occur
mm
0
5.000
7
gw_revap.gw
Groundwater revap coefficient
0,02
0,2
8
revapmn.gw
Threshold deep of water in the shallow aquifer required for revap to occur
mm
0
500
9
rchrg_dp.gw
Deep aquifer percolation fraction
-
0
1
10
gwht.gw
Initial groundwater height
m 3
-
0
25
3
11
gw_spyld.gw
Specific yield of shallow aquifer
m /m
0
0,4
12
sol_crk.sol
Crack volume potensial of soil
m3/m3
0
1
13
sol_bd.sol
Moisture bulk density
g/cm3
1,1
2,5
14
sol_awc.sol
Available water capacity of the soil layer
mm/mm
0
1
15
sol_k.sol
Saturated hydraulic conductivity
mm/jam
0
2.000
55
Tabel 7. Kisaran nilai parameter yang digunakan dalam parameter SUFI2 (lanjutan) No(j) Parameter
Keterangan
Unit
abs
abs
min
max
16
sol_alb.sol
Moisture soil albedo
-
0
0,25
17
ch_n2.rte
Manning's "n" value for the main channel
-
0
0,3
18
ch_k2.rte
Effective hydraulic conductivity in main channel alluvium
mm/jam
0
10
19
slsubbsn.hru
Average slope length
mm
10
150
20
slope.hru
Average slope steepness
m/m
0
0,6
21
ov_n.hru
Manning's "n" value for overland flow
-
0
0,8
22
Slsoil.hru
Slope length for lateral subsurface flow
m
0
0,6
23
esco.hru
Soil evaporation compensation factor
-
0,01
0,5
24
ch_k1.sub
Effective hydraulic conductivity in tributary channel alluvium
mm/hr
0
150
25
ch_n11.sub
Manning's "n" value for tributary channel
-
0,01
0,3
26
surlag.bsn
Surface run off lag time
hari
1
24
2. Metode latin hipercube sampling digunakan untuk membangkitkan parameter yang digunakan dalam simulasi. Jumlah kombinasi yang muncul sebanyak niterasi simulasi yang dikehendaki. Dalam studi ini dilakukan sebanyak 400 iterasi (rekomendasi 500 – 1000 iterasi).
Kisaran parameter yang muncul
menjadi [j,min ≤ bj ≤ j,max], j,min > j,abs min dan j,max< j,abs max. 3. Menghitung nilai objective function, g(h), sebagai tujuan optimasi. Hasil simulasi yang paling baik dirumuskan sebagai max(wns) dari sejumlah iterasi simulasi yang dilakukan, w sebagai faktor pembobot.
56
4. Menghitung standar deviasi (sj) pada selang kepercayaan 95 % dari parameter yang terbaik hasil iterasi. c, merupakan batas bawah parameter covariance matrix,dimana
sg 2
merupakan
ragam dari objective function sebanyak n iterasi. J merupakan sensitivity matrix yang diperoleh dari persamaan J ij
gi , i=1 bj
to n iterasi, j= 1 sampai jumlah parameter. 6. Menghitung sensitivitas parameter dengan menggunakan t-tes yang diperoleh dengan menggunakan analisis regresi berganda antara sejumlah nilai parameter dengan nilai objective function, dirumuskan sebagai berikut:
Di mana m sebagai jumlah parameter disimulasikan. 7. Menilai tingkat ketidakpastian keluaran model dengan seberapa banyak data observasi masuk dalam 95ppu (batas bawah 2.5 %(xl) dan batas atas 97.5 % (xu) dari akumulasi sebaran setiap n data observasi yang disebut sebagai pfactor
dan
r-faktor (tingkat ketidakpastian) yang diekspresikan sebagai
berikut: di mana x sebagai standar deviasi data observasi. Hasil terbaik dalam proses kalibrasi diperoleh pada iterasi ke 1.260 dari jumlah iterasi 3000. Objective function dengan menggunakan nash Sutcliffe coefficient (NSC) atau efesiensi model menunjukkan nilai 0,88. Parameter pfaktor menunjukkan nilai 0,62; artinya pada selang kepercayaan 95% sekitar 62%
57
data observasi berada dalam kisaran ketidakpastian model. Grafik 95% prediction uncertainty (95PPU) hasil kalibrasi disajikan Gambar 26. Debit (m3/s) 50
Curah Hujan(mm) 0
45 40
50
35 30
100
95PPU
25
Debit observasi
20
150
15 10
200
5 0
250 1/1
2/1
3/1
4/1
5/1
6/1
7/1
8/1
9/1
10/1
11/1
12/1
Gambar 26. Perbandingan data observasi terhadap kisaran hasil model Parameter terpilih yang digunakan dalam model ditunjukkan dalam Tabel 8. Dari 26 parameter yang dikalibrasi terdapat 7 parameter yang sensitif, yaitu gwht, slsubsn, gwqmn, ch_k2, sol_awc, chnii dan ch_n2. Parameter ini memiliki t-stat lebih besar dari p-value. Tabel 8. Hasil kalibrasi model dengan algoritma SUFI2 No
Parameter
1
surlag.bsn
2
cn2.mgt
3
Fitted Nilai Nilai value Minimum Maksimum 1.2875 1 24
t-stat
P-value
-8,61
0,00
77.862495
35
80
-4,99
0,00
sol_bd.sol
2.2025
1.1
2.5
-4,09
0,00
4
deepst.gw
157.5
0
3000
-1,46
0,15
5
sol_k.sol
547,5
0
3000
-1,29
0,20
6
sol_crk.sol
0,1775
0
1
-1,19
0,23
7
rchrg_dp.gw
0,0375
0
1
-1,02
0,31
8
revapmn.gw
251,25
0
500
-0,99
0,32
9
slope.hru
0,0555
0
0.6
-0,87
0,38
58
Tabel 8. Hasil kalibrasi model dengan algoritma SUFI2 (lanjutan) No
Parameter
10
gw_delay.gw
11
shallst.gw
12
Fitted value
Nilai Nilai Minimum Maksimum
T-stat
P-value
288,75
0
500
-0,81
0,42
592,5
0
1000
-0,57
0,57
alpha_bf.gw
1,437825
0,01
2
-0,33
0,74
13
gw_revap.gw
0,19775
0,02
0.2
-0,25
0,80
14
sol_alb.sol
0,109375
0
0.25
-0,24
0,81
15
ch_k1.sub
7,375
0
10
-0,05
0,96
16
gw_spyld.gw
0,255
0
0.4
-0,02
0,99
17
esco.hru
0,329725
0,01
0.5
0,10
0,92
18
slsoil.hru
0,2655
0
0.6
0,27
0,79
19
ov_n.hru
0,166
0
0.8
0,51
0,61
20
gwht.gw*
13,0625
0
25
0,89
0,37
21
slsubbsn.hru*
123,75
10
150
1,22
0,22
22
gwqmn.gw*
387,5
0
5000
1,52
0,13
23
ch_k2.rte*
19,125
0
150
1,61
0,11
24
sol_awc.sol*
0,3175
0
1
2,21
0,03
25
ch_n11.sub*
0,173125
0,01
0,3
3,14
0,00
26
ch_n2.rte*
0,00075
0
0,3
8,07
0,00
Ket: *) parameter yang sensitive (t-stat> p-value)
Pada Gambar 27 menunjukkan bahwa hubungan antara debit sungai keluaran model simulasi dan observasi berupa linear positif dengan koefesien determinasi (R2) sebesar 0,881(n=366). Jika dibandingkan dengan garis y=x (Qobs=Qmodel), terlihat bahwa rat-rata hasil keluaran model 4,4 % relatif lebih tinggi dibandingkan dengan debit hasil pengukuran.
59
12 QObs = 0,957*Qmodel R² = 0,881 n=366
Qobs (m3/s)
10 8 6
4 2 Qmodel (m3/s)
0 0
2
4
6
8
10
12
Q Outflow (m3/s)
20.0 Curah Hujan Observasi Model
15.0 10.0 5.0 0.0 1/1
2/1
3/1
4/1
5/1
6/1
7/1
8/1
9/1
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240
Curah Hujan (mm)
Gambar 27. Hubungan antara debit model dan debit observasi
10/1 11/1 12/1
Gambar 28. Hasil kalibrasi harian antara keluaran model dan hasil observasi. Proses validasi menggunakan data debit 1 Januari 2009 sampai 7 Januari 2010 dengan menggunakan parameter hasil kalibrasi. Pada Gambar 29 menunjukan koefesien determinasi (R2) dari hubungan linear antara debit hasil model dan observasi menunjukan nilai 0,72 (n data 372). Nilai koefesien determinasi hasil validasi lebih rendah dibandingkan hasil kalibrasi. Rata-rata hasil model relatif lebih tinggi 6 %. Nilai nash Sutcliffe coefficient (NSC) menunjukkan nilai 0,7. Hydrograp antara hasil model dan observasi di sajikan
60
Gambar 30. Gambar ini menunjukan pada musim kemarau dan kejadian hujan extrem kurang begitu baik disimulasi oleh model, namun model cukup sensitif terhadap kejadian hujan. 8 7
Qobs= 0,926*Qmodel R² = 0,721 n=372
Qobs (m3/s)
6 5 4 3 2 1 Qmodel (m3/s)
0 0
1
2
3
4
5
6
7
8
Q Outflow (m3/s)
20.0 15.0 Curah Hujan Observasi Model
10.0 5.0 0.0 1/1
2/1 3/1
4/1
5/1
6/1
7/1
8/1
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240
Curah hujan (mm)
Gambar 29. Hubungan antara debit simulasi dan debit observasi
9/1 10/1 11/1 12/1
Gambar 30. Perbandingan debit observasi dan hasil validasi 4.2. Validasi dan Kalibrasi di Sub DAS Gumbasa Lokasi studi merupakan daerah tangkapan air Sungai Gumbasa dengan panjang aliran utama 98,75 Km. Masyarakat sekitar memanfaatkan air Sungai Gumbasa sebagai sumber air untuk pengairan di daerah irigasi Gumbasa. Sumber
61
air
Sungai Gumbasa berasal dari Danau Lindu ( 3.488 ha).
Masyarakat
memanfaatkan Danau Lindu sebagai tempat mencari ikan dan daerah wisata alam. Aliran maksimum di Sungai Gumbasa mencapai 80,5 m3/s yang terjadi pada bulan Januari, dan aliran minimum mencapai 16,87 m3/s yang terjadi pada bulan Maret. Lokasi studi merupakan outlet kawasan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL). Sekitar 83,53 %, tipe penutupan lahannya berupa hutan yang termasuk tipe ekosistem hutan tropika, dengan tipe hutan pegunungan bawah. Tipe vegetasi yang dapat dijumpai di hutan tropika dan pegunungan bawah, antara lain Eucalyptus deglupta, Pterospermum celebicum, Cananga odorata, Gnetum gnemon, Castanopsis argentea, Agathis philippinensis, Philoclados hypophyllus, tumbuhan obat, dan rotan. Tipe penutupan lahan lainnya adalah kebun coklat dan kopi (6,96 %). Tipe penutupan secara lengkap ditunjukkan pada Tabel 9. Tabel 9. Berbagai tipe penutupan lahan di Sub DAS Gumbasa No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tipe Penutupan Lahan
Hutan Alam Hutan Terbuka Tubuh Air Padi sawah Tegalan / Tanah Terbuka Kebun Kelapa Kebun Coklat / Kopi Padang Rumput Ilalang Pemukiman Jumlah Sumber : Hasil analisis
Luas (%) 71,95 11,58 3,15 1,34 3,19 0,02 6,96 0,82 0,83 0,16 100,00
(Ha) 86.547,5 13.924,3 3.793,4 1.616,8 3.835,7 18,3 8.378,2 992,0 998,9 187,1 120.292,3
Berdasarkan klasifikasi tanah Dudal-Supraptoharjo, jenis tanah di lokasi studi terbagi menjadi dua kelompok besar yaitu asosiasi podsolik merah kuning,
62
litosol dan regosol serta asosiasi podsolik coklat kelabu dan renzina. Asosiasi podsolik coklat kelabu dan renzina lebih mendominasi sebaran jenis tanah di lokasi studi, sebesar 84,46%. Sebaran jenis tanah secara lengkap disajikan pada Tabel 10. Peta sebaran jenis tanah di lokasi studi di tunjukkan pada Gambar 31.
Gambar 31. Sebaran jenis tanah di Sub DAS Gumbasa Jenis tanah asosiasi podsolik merah kuning, litosol dan regosol tersebar terutama di daerah dataran-perbukitan. Jenis tanah ini mengalami podzolisasi dan sedikit latosolisasi, di mana hutan merupakan vegetasi utama, bahan organik cukup tinggi, tingkat infiltrasi sedang dan termasuk kelompok hidrologi tanah B. Asosiasi podsolik coklat kelabu dan renzina merupakan tanah yang berkembang pada iklim dengan curah hujan diatas 1.500 mm/tahun, tanpa bulan kering.
63
Terletak pada topografi datar, bergelombang, sampai pegunungan; pada elevasi 10 – 2.000 m dpl. Warna tanah kehitaman, coklat tua hingga kekuningan. Reaksi tanah masam hingga netral (pH 5-7) dan termasuk kelompok hidrologi tanah B. Tabel 10. Sebaran jenis tanah di Sub DAS Gumbasa No
Luas
Jenis tanah
%
Ha
1
Podsolik Merah Kuning, Litosol, Regosol
15,54
18.687,8
2
Podsolik Coklat Kelabu, Renzina
84,46
101.604,5
100,00
120.292,3
Jumlah
Ketinggian tempat lokasi studi berkisar antara 82,9 – 2.525,0 m dpl. Bentuk fisiografi lahan terbentang dari dataran hingga pegunungan. Wilayah datar banyak terdapat di sekitar wilayah Kecamatan Sigibiromaru dan Kulawi. Pada bagian tengah sampai selatan merupakan daerah pegunungan; masing-masing berjejer G. Nokelan (2.350 m), G. Tonosa (2.230 m), G. Lantawungu (2.270 m) dan G. Potowonoa (1.930 m). Tampilan 3 Dimensi dari Sub DAS Gumbasa ditunjukkan pada Gambar 32 dan distribusi kelas lereng disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Distribusi kelas lereng di Sub DAS Gumbasa Luas
No
Kelas Lereng
1
0-8%
Datar
38.705,7
32,2
2
8 - 15 %
Landai
19.175,2
15,9
3
15 - 25 %
Agak curam
31.312,3
26,0
4
25 - 40 %
Curam
27.134,8
22,6
5
> 40 %
3.964,2
3,3
120.292,3
100,0
Klasifikasi Lereng
Sangat curam Jumlah
Sumber : Hasil analisis
( Ha )
(%)
64
Danau Lindu
Gambar 32. Tampilan 3 dimensi Sub DAS Gumbasa Kondisi iklim wilayah studi sangat dipengaruhi oleh kondisi monsunal, yaitu musim barat yang kering dan musim timur yang banyak membawa uap air. Musim timur terjadi sekitar Bulan April sampai dengan September yang ditandai dengan banyak curah hujan, sedangkan musim barat sekitar Bulan Oktober sampai Maret yang ditandai dengan kurangnya curah hujan. Rataan curah hujan tahunan lokasi studi berkisar antara 1.237 – 1.927 mm/tahun. Sebarannya paling tinggi berada di sekitar wilayah dataran yang termasuk Kecamatan Sigibiromaru. Paling rendah berada di sekitar outlet lokasi studi.
Gambaran kondisi iklim
lokasi studi berdasarkan pada data tahun 2001 – 2005 dari 7 stasiun cuaca yang tersebar di sekitar lokasi studi disajikan pada Lampiran 1-7.
Rekapitulasi nilai
rataan setiap unsur cuaca setiap stasiun disajikan Tabel 12. Sebaran curah hujan tertinggi ada di lembah Palolo berkisar 1.800 - 1.900 mm/tahun. Pola sebaran curah hujan secara lengkap disajikan pada Gambar 33 Lokasi studi Sub DAS Gumbasa dengan luas 120.292,3 Ha dalam
pembagian
Hydrologi Respon Unit (HRU) ditentukan dengan memilih penutupan lahan dan jenis tanah yang dominan, yaitu hutan dan tanah asosiasi podsolik coklat kelabu
65
dan renzina berdasarkan nilai kisaran awal untuk kalibrasi secara lengkap disajikan pada Tabel 13. Tabel 12. Nilai unsur-unsur cuaca setiap stasiun di sekitar Sub DAS Gumbasa Curah Hujan No
RH
Radiasi
Stasiun (mm)
(HH)
(%)
(MJ/m)
Tmax o
Tmin o
T o
( C)
( C)
( C)
KecAngin (m/s)
1
pl01
1.190
155
80,3
18,7
25,8
19,8
22,8
0,89
2
pl02
1.726
242
83,0
17,1
17,1
11,1
14,1
0,95
3
pl03
1.927
231
86,6
18,0
27,2
21,2
24,2
0,65
4
pl04
1.695
242
84,3
17,1
18,6
12,6
15,6
0,94
5
pl07
1.235
174
80,1
19,6
30,3
24,3
27,3
0,80
6
pl010
582
115
74,5
19,6
30,9
24,9
27,9
1,40
7
pl012
1.935
232
85,0
17,7
26,6
20,6
23,6
0,95
Sumber : Hasil analisis
Gambar 33. Pola sebaran curah hujan di Sub DAS Gumbasa
66
Tabel 13. Kisaran nilai parameter yang digunakan dalam kalibrasi SUFI2 No
Parameter
Keterangan
Unit -
abs
abs
min
max
1
cn2.mgt
curve number
2
shallst.gw
Initial depth of water in the shallow aquifer
mm
0 1000
3
deepst.gw
Initial depth of water in the deep aquifer
mm
0 3000
4
gw_delay.gw
Groundwater delay
Hari
0
500
5
alpha_bf.gw
Baseflow alpha factor
Hari
0,01
1
6
gwqmn.gw
Threshold deep of water in the shallow aquifer required for return to occur
mm
7
gw_revap.gw
Groundwater revap coeffecient
8
revapmn.gw
Threshold deep of water in the shallow aquifer required for revap to occur
9
rchrg_dp.gw
10
-
35
70
0 5000 0,02
0,2
mm
0
500
Deep aquifer percolation fraction
-
0
1
gwht.gw
Initial groundwater height
M
0
25
11
gw_spyld.gw
Specific yield of shallow aquifer
m3/m3
0
0,4
12
sol_crk.sol
Crack volume potensial of soil
m3/m3
0
1
13
sol_bd.sol
Moisture bulk density
gr/cm3
1,1
2,5
14
sol_awc.sol
Available water capacity of the soil layer
mm/mm
0
1
15
sol_k.sol
Saturated hydraulic conductivity
mm/jam
0 2000
16
sol_alb.sol
Moisture soil albedo
-
0
0,25
17
ch_n2.rte
Manning's "n" value for the main channel
-
0
0,3
18
ch_k2.rte
Effective hydraulic conductivity in main channel alluvium
mm/jam
0
10
19
slsubbsn.hru
Average slope length
M
10
150
20
slope.hru
Average slope steepness
m/m
0
0,6
67
Tabel 13. Kisaran nilai parameter yang digunakan dalam (lanjutan) No
Parameter
Keterangan
kalibrasi SUFI2
Unit
abs
abs
min
max
21
ov_n.hru
Manning's "n" value for overland flow
22
slsoil.hru
Slope length for lateral subsurface flow
M
0
0,6
23
esco.hru
Soil evaporation compensation factor
-
0,01
0,5
24
ch_k1.sub
Effective hydraulic conductivity in tributary channel alluvium
mm/jam
0
150
25
ch_n11.sub
Manning's "n" value for tributary channel
-
0,01
0,3
26
surlag.bsn
Surface run off lag time
Hari
1
24
-
0
0,8
Dalam proses kalibrasi model SWAT di Sub DAS Gumbasa, dilakukan iterasi simulasi sebanyak 400 kali. Hasil terbaik diperoleh pada iterasi ke 7 dengan nilai g(h) paling tinggi (0,001388). Parameter model terbaik hasil iterasi disajikan pada Tabel 14. Nilai p-factor sekitar 0,82; artinya 82 % data observasi berada dalam kisaran 95PPU. Nilai d-factor (the degree of uncertainty) sebesar 3,82. Idealnya, nilai (p-factor) adalah 100 % dan d-factor adalah nol (0), karena dalam pengukuran data observasi juga memiliki error dan output model juga memiliki nilai ketidakpastian, maka nilai p-factor dan d-factor yang mendekati nilai ideal juga bisa diterima (Abbaspour et al., 2008 dan Abraham et al., 2007). Nilai koefesien determinasi (R2) dengan intercept 0 sebesar 0,747. Rata-rata hasil model sekitar 10,4 % lebih besar dibandingkan hasil observasi. Nilai
Nash-
Sutcliffe coefficient (NSC) sebesar 0,79. Dalam proses kalibrasi Nilai R2 yang bisa diterima lebih besar dari 0,6 dan NSC lebih besar dari 0,5 (Nash dan Sutcliffe,
68
1970). Perbandingan Q observasi, Q simulasi dan 95 PPU selama periode kalibrasi ditunjukkan pada Gambar 34 dan 35. 200
0
180
Debit sungai (m 3/s)
140
40
120
95PPU Qobs (m3/s)
100
CH(mm) Qmodel (m3/s)
60
80 80
60 40
100
20 0
120 1/1
2/1
3/1
4/1
5/1
6/1
7/1
8/1
9/1
10/1
11/1
12/1
Gambar 34. Perbandingan debit simulasi dan observasi pada proses kalibrasi 70 Qobs= 0,9055Qmodel R2 = 0,7473 n=366
60
Qobs (m3/s)
50 40 30 20 10 0 0
10
20
30
40
50 60 70 Qmodel (m3/s)
Gambar 35. Hubungan antara debit observasi dan debit model SWAT
Curah Hujan (mm)
20
160
69
Tabel 14. Parameter model terbaik hasil iterasi dengan algorithma SUFI2
1
cn2.mgt*
Fitted Value 66,019
4,076
PValue 0,000
2
shallst.gw
23,750
0,0
512,0
0,319
0,750
3
deepst.gw*
2096,250
1047,7
3144,8
1,411
0,159
4
gw_delay.gw
176,875
15,2
338.5 -0,052
0,959
5
alpha_bf.gw
0,115
0,0
0,6 -5,148
0,000
6
gwqmn.gw
4031,250
2014,9
6047,6 -0,599
0,549
7
gw_revap.gw*
0,051
0,0
0,1
1,090
0,276
8
revapmn.gw*
161,875
0,0
331,0
0,676
0,499
9
rchrg_dp.gw
0,584
0,3
0,9 -0,585
0,559
10
gwht.gw
2,281
0,0
13,6 -0,984
0,326
11
gw_spyld.gw
0,118
0,0
0,3
0,299
0,765
12
sol_crk.sol
0,621
0.3
0,9
1,803
0,072
13
sol_bd.sol
2,369
1,7
3,0 -3,115
0,002
14
sol_awc.sol
0,294
0,0
0,6 -0,346
0,729
15
sol_k.sol
517,500
0,0
1259,0 -0,043
0,966
16
sol_alb.sol
0,087
0,0
0,2 -1,206
0,229
17
ch_n2.rte*
0,252
0,1
0,4 30,296
0,000
18
ch_k2.rte*
9,713
4,9
14,6
4,090
0,000
19
slsubbsn.hru
40,975
0,0
95,5
0,316
0,752
20
slope.hru*
0,451
0,2
0,7
1,531
0,127
21
ov_n.hru
0,013
0,0
0,4 -0,115
0,909
22
slsoil.hru
0,196
0,0
0,4
0,487
0,627
23
esco.hru*
0,209
0,1
0,4
0,681
0,497
24
ch_k1.sub
149,813
74,9
224,7 -1,401
0,162
25
ch_n11.sub
0,123
0,0
0,2 -0,182
0,855
26
surlag.bsn*
18,796
9,9
No
Parameter
Nilai Minimum 50,5
Nilai Maksimum 81,5
Ket: *) parameter yang sensitive (t-stat> p-value)
27,7
t-Stat
0,745
0,457
70
Analisis sensitivitas setiap parameter terhadap output model dilakukan dengan menggunakan t-test. Jika nilai t-Stat lebih besar dibandingkan P-Value menunjukan parameter tersebut sensitif. Dari 26 parameter dilakukan pengujian terdapat 10 parameter yang sensitif; yaitu ch_n2, ch_k2, cn2, sol_crk, slope, deepst, gw_revap, surlag, esco dan revapmn. Diantara parameter – parameter yang sensitif tersebut, ch_n2 paling sensitif selanjutnya parameter ch_k2 dan cn2. Pengembangan model SWAT kedepan mengarah pada proses aplikasi di pertanian dalam arti luas (Gassman et al., 2007), untuk bidang perubahan iklim (Gui dan Rosbjerg, 2009). Dari hasil analisis kalibrasi tersebut, maka aplikasi model SWAT di Sub DAS Gumbasa sangat mengembirakan untuk ditindaklanjuti dengan validasi dan simulasi pemodelan sumberdaya air, dan simulasi perubahan penutupan lahan, perubahan iklim dan sosial di masa mendatang dan model SWAT dapat dipergunakan untuk tahapan lebih lanjut dalam pemodelan DAS di Sub DAS Gumbasa.
V. SIMULASI LUAS HUTAN TERHADAP HASIL AIR
5.1. Simulasi di Sub DAS Cisadane Hulu Validasi model dilakukan dengan menggunakan data debit sungai harian tahun 2008 – 2010. Selanjutnya disusun 10 alternatif simulasi perubahan luasan hutan, untuk melihat pengaruh perubahan luas hutan di Sub DAS Cisadane Hulu terhadap perubahan evapotranspirasi aktual, water yield dan debit sungai. Susunan skenario simulasi yang digunakan adalah seperti Tabel 15. Tabel 15. Simulasi luas hutan di Sub DAS Cisadane Hulu
0
Luas hutan kondisi saat ini
Luas (Ha) A* (%) 1.045 0,00
1
Penutupan lahan semuanya hutan
1.811
73,42
2
Tidak ada hutan, hutan existing menjadi semak belukar
0
-100,00
3
Luas hutan bertambah, semak belukar dan lahan tegalan menjadi hutan
1.732
65,76
4
Lereng lahan < 25 % menjadi hutan
589
-43,64
5
Lereng lahan >= 25 % menjadi hutan
1.223
17,05
6
Luas hutan bertambah, semak belukar, rumput ilalang / tanah kosong menjadi hutan
1.523
45,76
7
Luas hutan bertambah, semak belukar, rumput ilalang / tanah kosong dan kebun/perkebunan menjadi hutan
1.641
57,13
8
Luas hutan bertambah, lahan tegalan menjadi hutan
1.137
8,89
9
Lahan tegalan menjadi hutan, dan hutan menjadi lahan tegalan
93
-91,11
10
Kebun perkebunan menjadi hutan, dan hutan menjadi semak belukar
116
-88,89
Skenario
Keterangan
Ket:*) Perubahan luas hutan terhadap kondisi existing; nilai negatif menunjukan luas hutan berkurang
72
Sim mulasi peruubahan luass hutan terrbagi menjaadi dua baagian, yaituu luas hutan berttambah (skeenario 1, 3, 5, 6, 7, 8) dan d luas hutaan berkuran ng (skenarioo 2, 4, 9, 10). Skenario S 0 merupakann kondisi saat s penelittian dilakuk kan. Perubbahan luasan huutan (%) merupakan m luas l hutan simulasi reelatif kondisi aw wal.
terhaadap luas hutan h
Skennario 1 meenggambarkkan luas hu utan bertam mbah 73 % dari
kondisi aw wal. Pada simulasi 2 menunjukkkan luas hutan berkuurang 100% % dari kondisi aw wal, artinyaa tidak ada hutan h samaa sekali; huttan berubahh menjadi semak s belukar. Perubahan luaas hutan ini berasal darri perubahann jenis tutup pan lahan semak belukar, laahan tegalaan, kebun/peerkebunan aataupun rum mput/tanah kosong meenjadi hutan atauu sebaliknyaa. Model yang telah divalidasi, d sebagaimanaa diuraikan pada BAB IV, digunakann untuk melakukan sim mulasi dam mpak perubahan luas hutan h terhadap jumlah j debbit sungai, water yieldd dan evap potranspirassi aktual.
Data
prosentasee luasan huttan relatif teerhadap luaas DAS Cissadane Huluu secara lenngkap
1750
Luas FRST (Ha)
1500 1250 1000 750 500 250 0
0 100 95.58 90.61 9 100.00 90 84.05 80 6 67.50 70 62.79 5 57.66 60 50 40 32.50 30 20 6.41 5.13 3 10 0.00 Skeenario 0 10 9 2 4 0 8 5 6 1 7 3
Gam mbar 36. Luuas hutan daan persen luuas pada berrbagai alterrnatif simulaasi
Luas FRST / luas DAS (%)
disajikan Gambar G 36..
73
Hubungan Perubahan Luas Hutan terhadap Jumlah Run off Limpasan permukaan (run off) merupakan respon DAS terhadap curah hujan akibat perbedaan tutupan lahan. Dalam rangka melihat pengaruh luasan hutan terhadap run off, maka dari hasil simulasi terlihat bahwa hubungan antara luas hutan dalam suatu DAS terhadap run off bersifat linear negatif, artinya luasan hutan bertambah maka akan sangat signifikan dalam menurunkan total run off, sebaliknya juga berlaku berkurangnya luasan hutan dalam suatu DAS akan meningkatkan run off. Hubungan antara luasan hutan dalam Sub DAS Cisadane dengan limpasan permukaan sangat signifikan dengan nilai R2 = 0,961, seperti ditunjukkan pada Gambar 37
Limpasan maksimum terjadi ketika tidak ada
hutan. Bertambahnya proporsi luasan hutan dalam suatu DAS maka limpasan permukaan semakin menurun. Setiap bertambahnya 1 ha luasan hutan, limpasan permukaan berkurang 8,07 mm/tahun/ha hutan atau sebesar 8,06 juta m3/tahun.
Jumlah SurQ/tahun (mm)
2500 2000 1500 SurQ = -8,0687FRST + 1892,9 R² = 0.961, n=11
1000 500
FRST(%)
0 0 Gambar 37.
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Hubungan luas hutan dengan jumlah run off di Sub DAS Cisadane Hulu
Hubungan luasan hutan dengan tingkat kadar air tanah juga bersifat linier positif, sehingga luasan hutan dalam suatu DAS dapat meningkatkan kadar air tanah. Hal ini ditunjukkan pada Gambar 38 di mana luasan hutan menyebabkan
74
kadar air tanah naik dari rata-rata 174,5 mm/th menjadi 187,5 mm/th dengan R2 sebesar 0,66 dan hubungan antara luasan hutan dan kadar air tanah disajikan pada Gambar 38.
Jumlah SW/tahun (mm)
200 180 160 SW = 0,1322FRST + 174,51 R² = 0,6693, n=11
140 120
FRST (%)
100 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Gambar 38. Hubungan antara prosentase luas hutan dengan kadar air tanah (KAT) Perubahan Luas Hutan terhadap Evapotranspirasi Aktual Evapotranspirasi hutan sangat berpengaruh dalam mengendalikan air, karena evapotranspirasi hutan dikendalikan oleh luas daun (LAI). Umumnya nilai LAI hutan sangat besar umumnya di atas 3, sehingga hubungan antara laju evapotranspirasi aktual di Sub DAS Cisadane Hulu dengan luasan hutan bersifat linier positif dengan nilai R2 = 0,679 seperti yang disajikan pada Gambar 39. Perubahan luasan penutupan lahan berupa semak belukar, sawah, lahan tegalan, dan sedikit kebun/perkebunan, jumlah evapotranspirasi aktualnya per tahun sekitar 679,89 mm (12,32 juta m3/tahun). hutan,
jumlah
evapotranspirasi
aktualnya
Dengan bertambahnya luas
semakin
meningkat.
Setiap
pertambahan 1 ha luas hutan, evapotranspirasi aktual bertambah 0,3393 mm/tahun (339,3 m3/th/ha), sehingga dengan adanya kenaikan konsumsi air sebesar 0,3393
75
mm/th/ha ternyata hutan mengurangi limpasan sebesar 8,07 mm/th, sehingga hutan sangat positif menyimpan air sebesar 7,73 mm/th/ha.
Jumlah ET/Tahun (mm)
750 700 650 ET = 0,3393FRST + 676,89 R² = 0,679, n=11
600 550
FRST (%)
500 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Gambar 39. Hubungan antara persen luas hutan dengan laju evapotarnspirasi aktual Luas Hutan terhadap Jumlah Aliran Air Tanah (ground water flow) Hubungan luasan hutan dengan ground water dalam suatu DAS bersifat linear positif seperti yang ditunjukkan oleh base flow dalam setahun terhadap proporsi luasan hutan R2=0,8502 seperti pada Gambar 40.
Pada saat tidak ada
hutan dengan penutupan lahan berupa semak belukar, sawah, lahan tegalan, dan sedikit kebun/perkebunan, jumlah base flow per tahun sebesar 130,73 mm. Dengan bertambahnya luas hutan, jumlah base flow semakin meningkat. Setiap pertambahan 1 ha luas hutan, menambah base flow bertambah 1,24 mm/ha atau 1.240 m3 dalam setahun, sehingga grafik ini secara empiris membuktikan bahwa semakin banyak hutan semakin banyak air tanah yang akan memperbanyak mata air, dan meningkatkan cadangan mata air sehingga dengan demikian hutan adalah induk dari sungai dan menjaga ketersediaan mata air dalam suatu DAS.
76
Jumlah GWQ/tahun (mm)
300
GWQ = 1,2392*FRST + 130,73 R² = 0,8502
250 200 150 100 50
FRST(%)
0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Gambar 40. Hubungan antar persen luas hutan terhadap jumlah base flow Kenaikan jumlah base flow akibat meningkatnya jumlah hutan akan diikuti dengan menurunnya rasio Qmax/Qmin rata-rata bulanan dalam suatu DAS. Pada saat hutan tidak ada rasio Qmax/Qmin sebesar 148,8 dan pada saat hutan 10% rasio Qman/Qmin akan menurun menjadi 47. Hal ini membuktikan bahwa hutan sangat berperan dalam menurunkan debit masimum dan menjaga debit minimum pada musim kemarau.
Hubungan antara luasan hutan dan perbandingan
Qmax/Qmin mempunyai nilai R2 = 0,736 sebagaimana disajikan Gambar 41.
Rata-rata Qmax/Qmin
250
Qmax/Qmin = -1,0128*FRST + 148,84 R² = 0,7363
200 150 100 50 FRST(%)
0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Gambar 41. Perbandingan Qmax/Qmin rata-rata bulan dan luas hutan
77
Pada kondisi tutupan hutan maksimum rasio Qmax/Qmin rataan bulanan adalah 41 dan apabila tidak ada hutan sama sekali, maka rasio Qmax/Qmin akan naik menjadi 149, sehingga terjadi hubungan linier negatif antara proporsi luas hutan dengan rasio Qmax/Qmin dengan nilai R2 = 0,73.
Setiap
penebangan
hutan (pengurangan luas hutan) 1 % hutan di DAS Cisadane Hulu akan menyebabkan menaikkan rasio 1,13 rasio Qmax/Qmin debit rata-rata bulanan, atau setiap penambahan hutan 1 ha menyebabkan pengurangan rasio Qmax/Qmin sebesar -1,012. Hubungan antara luasan hutan dan rasio base flow dan pada berbagai skenario disajikan pada Gambar 42.
Hutan sangat berperan dalam
mengendalikan limpasan, menaikan base flow karena pada kondisi hutan 100% maka rasio base flow dengan total debit dalam 1 tahun adalah 42,4% dan pada kondisi
hutan 0% merupakan aliran
base flow paling rendah dari seluruh
skenario yang ada.
5.2.Simulasi Luas Tutupan Hutan di Sub DAS Gumbasa Skenario simulasi luas tutupan hutan di Sub DAS Gumbasa dilakukan dengan 10 ulangan simulasi perubahan luasan hutan memperhatikan hasil
alam (FRSE) dengan
validasi dan kalibrasi sebelumnya. Skenario perubahan
tutupan lahan secara lengkap disajikan pada Tabel 16. Proses warming up model menggunakan data Tahun 2001-2003 dan kalibrasi menggunakan data Tahun 2004. Hubungan antara luasan hutan dengan debit di Sub DAS Gumbasa secara lengkap disajikan pada Gambar 43.
78
S Skenario 1 (H Hutan 100 %) % rasio ba aseflow 42,,4 %
S Skenario 0 (lluas hutan 55,6 %, exiisting) rasio o base flow 30,3 %
Skenaario 2 (luas hutan 0 %) rasio basefflow 26,9 %
Gambar 42. 4 Perbanddingan rassio base floow dan dirrect run off ff pada berrbagai skenarrio luasan huutan
79
Tabel 16. Luas tutupan hutan pada berbagai simulasi di Sub DAS Gumbasa No
Simulasi
Luas Hutan (Ha)
Rasio (%)
88.152
71,6
119.235
96,9
0
Kondisi Existing hutan every green
1
Semua lahan menjadi hutan every green kecuali tubuh air
2
Hutan ever green menjadi semak belukar
0
0,0
3
Hutan ever green hanya terdapat di lahan dengan lereng >25%
56.675
46,0
4
Hutan ever green hanya terdapat diketinggian > 1000 m
76.657
62,3
5
Hutan ever green hanya terdapat diketinggian > 2000 m
1.978
1,6
6
Hutan ever green hanya terdapat diketinggian < 2000 m
86.164
70,0
7
Hutan ever green hanya terdapat diketinggian < 1000 m
11.486
9,3
8
Hutan every green hanya terdapat di lahan dengan lereng <25 %
31.467
25,6
9
Kebun/perkebunan berubah menjadi hutan every green
111.290
90,4
10
Hutan ever green bertambah dari lahan dengan lereng >25 %
98.405
80,0
Jumlah Q Outflow/Tahun (m3/s)
16300 14300 12300 10300 8300 6300 4300
y = -1.1986FRSE2 + 159.25FRSE + 7526.7 R² = 0.883, n=11
2300 Luas FRSE (%)
300 0.0
Gambar 43.
20.0
40.0
Hubungan antara jumlah Gumbasa
60.0
80.0
100.0
Qoulflow (blue water) di Sub DAS
80
Distribusi Q outflow (blue water) akan meningkat seiring dengan meningkatnya water yield (WYLD) di Sub DAS Gumbasa, hubungan ini sangat
Jumlah QOutflow/Tahun (m3/s)
erat dengan nilai R2 = 0,99 sebagaimana disajikan pada Gambar 44. 14000 13000 12000 11000 10000 9000 8000 7000 6000 5000 4000
QOutflow = 13.653*WYLD + 115.39 R² = 0.9926, n=11
Jumlah WYLD/Tahun (mm) 400
500
600
700
800
900
1000
Gmbar 44. Hubungan antara water yield dengan Q ouflow di Sub DAS Gumbasa 200 180 160 140
Qmax/Qmin= ‐1.2817FRSE+ 129.27 R² = 0.84, n=11
120 100 80 60 40 20
Luas FRSE (%)
0 0.0
20.0
40.0
60.0
80.0
100.0
Gambar 45. Hubungan antara luasan hutan dengan Qmax/Qmin di Sub DAS Gumbasa Meningkatnya jumlah water yield akan mengatur keseimbangan dan distribusi debit aliran. Hal ini terlihat pada Gambar 45 dari hasil simulasi bahwa rasio rata-rata debit maksimum (Q mx/Q min) bulanan pada saat hutan
81
sedikit (0 %) sekitarr 130 dan akkan turun raasionya (Qm max/Qmin) menjadi hanya h menjadi 2 pada saaat seluruh DAS tutuppannya berupa hutann dengan tinngkat mberikan peenjelasan baahwa hutann alam korelasi 0,,84. Hubunngan hasil siimulasi mem yang ada di Taman Nasional Lore L Linduu menujukkkan bahwa sangat berpperan dalam meengendalikaan limpasan dan fluktuaasi debit Sungai di Subb DAS Gum mbasa. Daampak peruubahan tutuupan lahan terhadap volume v aliraan, sangat nyata terlihat paada musim hujan. h Perbandingan output simullasi antar skkenario disaajikan pada Gam mbar 46. utan 96,1 % rasio basee flow 45,6 % Skenarrio luasan hu
Skenariio luasan huutan 71,6 % rasio base flow 37,0 %
82
Skenaario luasan hutan 0 % rasio r base flow f 34.6 %
Gambar 46. 4 Rasio total base flow f pada berbagai b skkenario luassan hutan di d Sub DAS Gumbasa G Peru ubahan luas hutan terrhadap curah hujan, erosi e dan seedimentasii
Daalam rangkka melihatt perubahaan tutupan lahan teerhadap sedimentaasi dan perrubahan ikllim (input curah hujan)
erosi,
dilaku ukan perubbahan
dengan menggunaka m an 3 skenaario perubaahan tutupaan lahan Skenario S 1 (S0) merupakann kondisi existing; e peenutupan laahan dengann total luass hutan 71,,6 %. Skenario 2 (S1), sekkitar 23,39% % lahan, grrass land, coffee, c cocoonut, agricuulture dan open forest beruubah menjadi hutan allam (FRSE)). Skenarioo 3 (S2), seekitar 16.63 % hutan h alam (FRSE) beerubah menjjadi semak belukar. Peeta sebaran tupan t lahan setiaap skenario ditunjukkan n pada Gam mbar 47. Unntuk perubaahan jumlah h curah hujaan ada 3 skkenario. Skeenario 1 (CH H0%) merupakann rata-rata curah hujjan kondissi awal (Tahun 20044).
Skenarrio 2
(CH+25% %), jumlah curah c hujan n bertambahh 25% darii rata-rata curah c hujan awal (tahun 20004). Skennario 3 (CH H-25%), jum mlah curah hujan berk kurang 25% % dari rata-rata curah c hujan kondisi padda Tahun 20004. Skenaario perubah han jumlah curah hujan ini menggunakkan featuree weather generator g y yang tersedia di SWA AT, di mana
peeriode simuulasinya daari Tahun 2002 2 – 20550 dengan resolusi r bullanan.
83
Kombinassi skenario perubahan curah hujann dan tutuppan lahan dii DAS Gum mbasa yang digunnakan dalam m simulasi tersebut t disajikan padaa Tabel 17 .
A
B
C
A. Skenaario (S2): FRSE (hutann alam ) 55.33 %, B. Skenaario (S0): FRSE F (hutann alam ) 71.6 % C. Skenaario (S1): FRSE F (hutann alam ) 96.9 %
Gambbar 47. Tutuupan lahan pada p berbaggai skenarioo di Sub DA AS Gumbasaa Tabel 17.
Kombinaasi skenario perubahan curah hujann dan tutupan lahan di DAS Gumbasaa
S1 S0 S2
Skenario FRSE
J Jumlah Curaah Hujan CH H-25 %
CH0% %
CH+25%
5.33%
S2-CH-25%
S2-CH0 0%
S S2-CH+25% %
71.60%
S0-C CH-25%
S0-CH00%
S00-CH+25% %
96.90%
S1-C CH-25%
S1-CH0 0%
S1-CH+25% %
Ket : CH H= curah huujan
FRSE E = forest every e green
Paada Gambaar 48 terlih hat bahwa pada p simulaasi luasan hutan h yang lebih luas (S1) menghasillkan debit lebih tingggi pada beeberapa harri setelah hujan, h
84
sehingga fungsi regulator air dan penurunan limpasan hutan sangat berperan,
100.0
0
90.0
10
80.0
20
70.0
30
60.0
40
50.0
50
40.0
60
30.0
70
20.0
80
10.0
Curah hujan (mm)
Q (m3/s)
dibandingkan dengan luasan hutan yang lebih kecil pada skenario (S0) dan (S2).
90 Tanggal
0.0 3/19
3/26
4/2
4/9
4/16
4/23
4/30
5/7
100
5/14
CH
Existing / FRSE 71.96 % (S0)
FRSE 95.35 % (S1)
FRSE 55.33 % (S2)
Gambar 48. Perbandingan water yield pada berbagai skenario luasan hutan
5.0 Evapotranspirasi (mm)
4.5 4.0 3.5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5
Tanggal
0.0 1/1
2/1
3/1
4/1
Existing/FRSE 71.96% (S0)
5/1
6/1
7/1
8/1
9/1 10/1 11/1 12/1
FRSE 95.35% (S1)
FRSE 55.33% (S2)
Gambar 49. Perbandingan pola evapotranspirasi aktual (ETA) antar skenario
85
P Pada Gambaar 49 terlihaat bahwa laju evapotrannspirasi aktu ual terjadi ppaling tinggi pad da musim huujan karena faktor ketersediaan kaadar air tanaah, sehingga laju evapotransspirasi aktuual (ETA) sama denngan
laju evapotransspirasi poteensial
(ETP). Daalam hal inii hutan selaain mempunnyai kemam mpuan mengguapkan air yang tinggi jugaa diimbanggi dengen keemampuan meresapkann air yang jauh j lebih tinggi t dibandingkan dengann jenis tutuppan lahan laiinnya. mlah curah hujan selam ma simulasii sekitar 1.722 mm yan ng tersebar dalam d Jum 267 hari hujan. Hassil simulasii menunjukkkan semak kin luas hu utan alami maka jumlah evvapotranspirrasi aktual akan a semakiin tinggi. Hal H ini tercerrmin dari juumlah evapotransspirasi darii S1 (947 mm) relattif lebih tinnggi dibandingkan deengan skenario S0 S (903 mm m) dan S2 (8 811 mm). Meningkatn M nya jumlah evapotransppirasi aktual inii berdampakk pada jumllah curah hhujan netto (CH-ET) yaang lebih reendah dibandingkan S0 dan S2 seperti yang y terlihaat pada Gam mbar 50.
Gambar 500. Perbandinngan curahh hujan nettto setiap skeenario Daari Gambar 51 terlihatt bahwa padda skenarioo hutan lebiih luas distrribusi kadar air tanah beraada di tenngah, sedanngkan pada skenario S3 akan teerjadi
86
pengurangan kadar air tanah secara signifikan, sehingga pada Bulan September dan Oktober akan mengalami kondisi hampir mendekati titik layu permanen. 390
S0
S1
S2
Rata-rata KAT (mm)
370
350 330 310 290 270 250 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Gambar 51.
Dinamika kadar air tanah pada berbagai skenario di Sub DAS Gumbasa
Hubungan antara laju erosi dan sedimentasi dengan luasan hutan di Sub DAS Gumbasa sangat jelas,
makin luas hutan maka sedimen menurun dan
sedimentasi juga akan menurun.
Pada kondisi Tahun 2004 laju sedimentasi 1,5
juta ton/tahun dan akan mengalami kenaikan menjadi 2,2 juta ton/tahun apabila luas lahan hutan berkurang menjadi hanya 55,3% data selengkapnya disajikan pada Gambar 52. Jumlah sedimentasi yang akan terjadi pada berbagai skenario dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. Rekapitulasi output sedimentasi setiap skenario di Sub DAS Gumbasa Variable Sediment Yield (ton/ha/thn) Sediment out (ton/tahun)
Skenario Luas Hutan Alam S0
S1
S2
13.904
11.037
18.527
1.517.023
1.328.895
2.228.415
87
Jumlah sedimen(Juta ton/ tahun)
2.5 Sedimen = -17,903*FRSE + 3E+06 R² = 0,8328
S2 2.0
S0
1.5
S1 1.0 0.5 0.0 60000
FRSE (Ha) 70000
80000
90000
100000
110000
120000
Gambar 52. Hubungan antara luasan hutan dengan laju sedimentasi di Sub DAS Gumbasa Hubungan antara curah hujan simulasi dengan curah hujan hasil pengukuran disajikan pada Gambar 53, dengan nilai korelasi R2 = 0,96, sehingga data bangkitan hujan dari SWAT cukup memadai dan bisa digunakan untuk memprediksi curah hujan ke depan.
Curah Hujan Obs (mm)
300
300 CH-25% CH0% CH+25%
250
250
200
200
150
150
100
100 Curah Hujan model (mm)
50 50
150
250
DataCH = 1,0021*SimCH R2 = 0,9656
Curah Hujan model (mm)
50 50
150
250
350
Gambar 53. Perbandingan curah hujan hasil simulasi dan hasil pengukuran di Sub DAS Gumbasa
88
Skenario perubahan input curah hujan 1.722 mm/th dan akan menjadi 2.152 mm apabila terjadi kenaikan hujan 25% dan akan menjadi 1.291 mm/th apabila terjadi perubahan pola hujan yang berkurang 25%. Ketersediaan air setiap bulan pada berbagai skenario perubahan curah hujan
dan perubahan pola
penutupan lahan secara lengkap disajikan pada Lampiran 8. Sementara kombinasi antara luasan hutan dengan perubahan pola curah hujan sampai dengan tahun 2050 dari hasil simulasi dam keluaran model disajikan pada Lampiran 9 - 12. Dari data tersebut pola pengurangan hutan lebih signifikan dibandingkan dengan adanya perubahan curah hujan.
VI. DISKUSI UMUM DAN PEMBAHASAN
6.1. Pemodelan dan Aplikasi Model SWAT Analisis sensitivitas dan ketidakpastian (uncertainty) dalam proses kalibrasi model SWAT adalah tahapan yang paling penting. Dalam beberapa literatur disebutkan beberapa parameter memberikan efek signifikan dalam output model SWAT. Pendekatan kalibrasi dapat dilakukan secara manual atau otomatis dan dapat dievaluasi setiap tahapannya, baik secara grafik maupun statistik. Spruill et al. (2000), melakukan analisis sensitivitas secara manual untuk 15 parameter input SWAT untuk DAS seluas 550 ha dengan hasil yang akurat di Kentucky USA dengan kondisi batuan karst.
Hasil analisisnya menunjukkan
bahwa konduktivitas hidrolika, faktor alpha base flow, panjang aliran, luas DAS, lebar sungai adalah karakteristik yang mempengaruhi debit aliran. Arnold et al. (2000) menunjukkan bahwa run off, base flow, debit dan evaporasi tanah sangat dipengaruhi oleh curve number, kapasitas ketersediaan air tanah, dan koefisien evaporasi dari tanah. Kalibrasi manual dengan kemampuan keahlian pakar dapat juga digunakan dalam menentukan kalibrasi manual. Efek resolusi peta topografi (DEM), peta tanah dan penggunaan lahan dikemukakan oleh Bosh et al. (2004) yang menyatakan bahwa pendugaan debit dari model SWAT untuk Sub DAS Little River dengan luas 2.210 ha di Goergia, USA akan lebih akurat jika menggunakan resolusi lebih tinggi. Menurut Cotter et al. (2003), resolusi DEM merupakan input yang paling kritis dalam simulasi SWAT. Di Luzio et al. (2005) mengemukakan aplikasi SWAT dengan luasan 2.103 ha di Sub DAS Goodwin di Missisipi, pengaruh resolusi tutupan lahan dan
90
DEM sangat signifikan tetapi resolusi peta tanah tidak terlalu signifikan. Dengan data DEM 90 m dan peta tanah dengan skala 1:250.000 dan pada tutupan lahan skala 1:100.000 sudah dianggap mewakili untuk aplikasi pemodelan DAS di Indonesia hal ini dibuktikan dengan hasil akurat baik di Sub DAS Cisadane Hulu maupun di Sub DAS Gumbasa. Chaplot et al. (2005) menganalisis bahwa distribusi penakar curah hujan dalam simulasi model SWAT mempengaruhi output model. Pada luasan 4 juta km2 di daratan Afrika dengan jarak interval 0.5o memberikan prediksi yang terbaik dalam menduga debit di Afika Barat termasuk DAS Nigeri, DAS Volta dan DAS Sinegal. Hasil yang diperoleh di Sub DAS Gumbasa dengan 7 penakar hujan untuk luasan 120.00 ha dan di Bogor dengan 1 unit penakar hujan untuk luasan 1.800 ha telah memberikan hasil yang baik, sehingga di Indonesia dapat diaplikasikan 1 penakar hujan mewakili 2.000 ha di daerah pegunungan. Van Liew et al. (2003) membandingkan antara model SWAT dengan HSPF pada delapan Sub DAS di Sungai Litel Washita di Oklahoma, menyimpulkan bahwa model SWAT
lebih konsisten, pada berbagai kondisi
iklim. Dalam jangka panjang model SWAT
paling konsisten untuk aplikasi
investigasi perubahan iklim. Aplikasi model SWAT di Sub DAS Gumbasa dengan penggunaan aplikasi pembangkit data iklim sampai 2050 menunjukkan bahwa model SWAT ini dapat digunakan di Indonesia untuk antisipasi perubahan iklim.
91
6.2. Perubahan Luas Hutan terhadap Jumlah Blue Water dan Green Water Pengaruh perubahan penutupan lahan terhadap hasil air dari suatu DAS dapat digambarkan dengan water yield, karena hal ini akan menggambarkan jumlah air netto setelah dikurangi dengan laju evapotranspirasi. Hubungan antara debit sungai di Sub DAS Cisadane Hulu dengan water yield bersifat linier dengan R2 = 0,996, seperti yang disajikan pada Gambar 52, sehingga kalau ingin debit dan sumber daya air meningkat maka hakekatnya yang paling murah adalah mengatur water yield karena air akan tersimpan di dalam DAS. 14000 Jumlah QOutflow/Tahun (m3/s)
13000 12000
QOutflow = 13,653*WYLD + 115,39 R² = 0,9926, n=11
11000 10000 9000 8000 7000 6000 5000 Jumlah WYLD/Tahun (mm)
4000 400
500
600
700
800
900
1000
Gambar 54. Hubungan jumlah water yield dengan jumlah debit sungai (Qout flow) Pola hubungan total debit (Qout flow) yang dihasilkan oleh Sub DAS Cisadane dengan proporsi luas hutan disajikan pada Gambar 55. Hubungan antara jumlah water yield dengan proporsi luas hutan terhadap luas Sub DAS Cisadane Hulu
ditunjukkan pada Gambar 56.
polynomial quadratik (R2 = 0,77).
Hubungan terbaik ditunjukkan pola
Jumlah Q Outflow/Tahun (m3/s)
92
640 620 600 580 560 540
QOutFlow = -0,0126FRST2 + 1,0954FRST + 565,51 R² = 0,7712, n=11
520
FRST (%)
500 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Gambar 55. Hubungan antara persen luas hutan dengan debit sungai di Sub DAS Cisadane Hulu
Jumlah WYLD/Tahun (mm)
2950 2900 2850 2800 2750 2700 WYLD = -0.0583FRST2 + 5.1441FRST + 2712.5 R² = 0.7691, n=11
2650 2600
FRST (%)
2550 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Gambar 56. Hubungan persen luas hutan dengan water yield di Sub DAS Cisadane Hulu
Pola hubungan yang ditunjukkan oleh water yield ataupun debit sungai memberikan informasi bahwa terdapat nilai proporsi luas hutan optimum untuk menghasilkan water yield yang berkorelasi dengan debit sungai. Nilai optimum
93
tersebut merupakan puncak dari pola hubungan tersebut.
Dari Gambar 55 dan
56 di atas terlihat bahwa luasan hutan di Sub DAS Cisadane Hulu untuk menghasilkan water yield yang paling optimal pada luasan 44,1% dari total DAS (799 ha).
Dengan bertambahnya proporsi luas hutan akan meningkatkan water
yield sampai dengan optimum 44,1 %, dan debit sungai rata-rata sebesar 0,1135 mm/tahun atau 0,0652 l/det. Keadaan sebaliknya terjadi jika proporsi luas hutan bertambah melebihi nilai optimumnya, rata-rata penurunannya sebesar 0,226 mm/tahun/ha atau 0,121 l/det/ha, kondisi optimum ini adalah untuk tujuan mengasilkan air, sementara untuk tujuan pengurangan erosi dan sedimentasi adalah makin luas hutan semakin baik. Hasil ini memberikan informasi bahwa hutan di daerah tropis berbeda dibandingkan dengan hasil penelitian oleh Hamilton (1982) dan Rowe (2003) yang menyatakan bahwa luasan hutan berkorelasi negatif dengan hasil air. Lokasi di Sub DAS Gumbasa
dengan pola curah hujan dan kondisi
topografi yang berbeda dengan Sub DAS Cisadane,
pola hubungan antara
proporsi luasan hutan dengan water yield disajikan pada Gambar 57. Jumlah WYLD/Tahun (mm)
1100 1000 900 800 700 600
WYLD = -0.09FRSE2 + 11.86FRSE + 541.16 R² = 0.899, n=11
500 400
Luas FRSE (%)
300 0.0
20.0
40.0
60.0
80.0
100.0
Gambar 57. Hubungan antar luasan hutan alam dengan water yield di Sub DAS Gumbasa
94
Dari Gambar 57
dapat dilihat pada saat proporsi luas hutan kecil maka
jumlah water yield sedikit, dan mencapai optimum pada proporsi luas hutan 53 % (63.760 ha). Pada saat luas hutan meningkat terjadi pengurangan water yield akibat peningkatan laju evapotranspirasi dan jumlah ground water, sehingga jumlah evapotranspirasi aktual mendekati evapotranspirasi potensial.
Korelasi
antara luas hutan dengan water yield di Sub DAS Gumbasa mempunyai
R2 =
0,89. Jumlah debit harian dalam setahun cenderung sesuai dengan peningkatan water yield . Dengan ketetapan dalam UU No 41 Tahun 2009 tentang Kehutanan yang menyatakan
pengelolaan hutan ditetapkan untuk meningkatkan daya dukung
DAS, (Pasal 3 hurup C) dan pada pasal 18 ayat : menyatakan (1) Pemerintah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai dan atau pulau guna optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi masyarakat setempat. (2) Luas kawasan hutan yang harus dipertahankan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal 30% dari luas DAS dan atau pulau dengan sebaran yang optimal proporsional. Dari hasil simulasi terlihat bahwa yang optimal luasan hutan di Sub DAS Cisadane Hulu adalah 44,1 %.
Selisih 14,1 % yang harus dicukupi
dapat berupa kawasan lindung, sempadan sungai dan kawasan perlindungan setempat, atau perlindungan disekitar mata air, dan areal perkebunan. Proporsi luasan hutan di Sub DAS Cisadane Hulu dengan keberadaan blue water bersifat polynomial kuadratik seperti yang disajikan pada Gambar 58. Bentuk grafik seperti ini disebabkan karena pada proporsi luas hutan yang sedikit perubahannya menjadi semak belukar, akan tetapi apabila perubahannya menjadi
95
lahan terbangun (rumah, villa dan jalan raya) maka bentuk persamaannya akan bersifat linier negatif, artinya keberadaan hutan akan berbanding terbalik dengan ketersediaan blue water.
Potensi jumlah Blue Water (juta m3)
53.0 52.0 51.0 50.0 49.0
y = -1056,8x2 + 93185x + 5E+07 R² = 0,7691
48.0
Poly. (Blue Water) Proporsi luas hutan (%)
47.0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Gambar 58. Hubungan antara luasan hutan dengan blue water di Sub DAS Cisadane Hulu
Potensi jumlah Green Water (juta m3)
16.6 y = -61,463x2 + 14520x + 2E+07 R² = 0,6992
16.4 16.2 16.0 15.8 15.6
Poly. (Green Water)
15.4 15.2
Proporsi luas hutan (%)
15.0
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Gambar 59. Hubungan antara green water dan luas hutan di Sub DAS Cisadane Hulu
96
Pada posisi sebaliknya,
keberadaan hutan yang semakin
luas akan
meningkatkan keberadaan green water, seperti yang disajikan pada Gambar 59. DAS yang baik apabila air tersimpan dalam bentuk green water sebagai suplai air karena akan menjadi cadangan bagi
blue water. Proporsi masing-masing
keberadaan air pada kondisi luas hutan optimal di Sub DAS Cisadane Hulu adalah blue water 52,05 juta m3/tahun (71,87 %) dan green water 20,38 juta m3/tahun (28,13 %). Hubungan antara luasan hutan dengan water yield di Sub Cisadane Hulu disajikan pada Gambar 60. Berdasarkan ketersediaan air menurut waktu justru keberadaan green water yang hanya 24,28 % inilah yang sangat penting karena sangat berperan dalam mengendalikan pasokan air di dalam suatu DAS.
di Sub DAS Cisadane Hulu
di Sub DAS Gumbasa
Gambar 60. Proporsi keberadaan green water dan blue water di Sub DAS Cisadane Hulu dan Sub DAS Gumbasa
Kondisi di Sub DAS Gumbasa karena kondisi iklim lebih kering maka ketersediaan air antara green water lebih dominan 51,64 % dibandingkan dengan blue water 48,36 %. Hal ini mengindikasikan bahwa peranan hutan alam yang jauh lebih luas (71,98 %) sangat berperan sebagai penyimpan dan pengatur air di Sub DAS Gumbasa, karena air tersimpan
selama 176,8 hari lebih pendek
97
dibandingkan dengan di Sub DAS Cisadane Hulu 288,75 hari hal ini disebabkan karena daya hantar air di lahan (ch_k1) di Sub DAS Cisadane Hulu hanya 7,3 mm/jam sementara di Sub DAS Gumbasa 149,8 mm/jam, sehingga air yang ada di Sub DAS Gumbasa mudah hilang sehingga peranan hutan sangat tinggi. Guna mendapatkan luas hutan yang optimal dalam suatu DAS untuk menyimpan air dalam bentuk water yield maka harus diketahui hubungan antara variabel yang memepengaruhi water yield (WYLD), run off (Qsurf) , lateral flow (Qlat), base flow (Qgw)
dan total kehilangan air ke deep aquifer (Tloss).
Hubungan tersebut dapat disajikan pada persamaan (43). WYLD = [
]....................….....……………….(43)
Semua peubah yang ada dalam persamaan (43) dipengaruhi oleh perubahan jenis tutupan lahan d(A) seperti yang disajikan pada persamaan (11) sampai persamaan (21). Sehingga persamaan (43) menjadi persamaan: [
]……...........……………..…(44)
Pada saat simulasi dijalankan tidak terjadi perubahan lateral flow ( dan total loss ( dan
karena parameter ini tidak dipengaruhi oleh tutupan lahan,
tidak terjadi perubahan geologi dan topografi, hanya terjadi perubahan
tutupan lahan sehingga
dan
sehingga persamaan di
atas menjadi : [
]……….......................………………………..(45)
98
Pada saat output water yield DAS optimum maka laju perubahan penutupan lahan dan laju perubahan water yield di atas menjadi
= 0 sehingga
persamaan (45) menjadi:
atau
=
……….......................…(46)
Persamaan (46) di atas sejalan dengan kenyataan empirik pada persamaan Gambar 55-59, sehingga dengan demikian dapat diterangkan bahwa jumlah air dalam suatu DAS akan maksimal dengan mengurangi run off dan akan pada posisi optimal apabila jumlah penambahan run off diimbangi dengan peningkatan base flow (Qgw) dalam bentuk sumur resapan (bioretensi). Hal ini berarti untuk menanggulangi banjir di perkotaan yang disebabkan oleh peningkatan limpasan harus diimbangi dengan resapan, sehingga kalau resapan meningkat dan tidak ada evaporasi karena lahan tertutup oleh bangunan, maka jumlah air tanah akan meningkat dan pada gilirannya akan meningkatkan debit sungai. Demikian juga sebaliknya, pada saat ditanami oleh vegetasi maka penurunan
run off akan
diimbangi dengan peningkatan base flow (Qgw) dan evapotranspirasi (ETa). Atas dasar tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa pengendalikan air dalam suatu DAS adalah mengendalikan run off dan mengatur air dalam ground water storage. Oleh sebab itu kalau ada perubahan penutupan lahan menjadi lahan terbangun seperti perumahan dan jalan yang tidak diimbangi dengan resapan akan menjadi bencana karena run off (Qsurf) meningkat dan cadangan air berkurang. Kondisi sebaliknya, apabila peningkatan run off diikuti dengan penerapan teknologi resapan untuk meningkatkan
Qgw adalah solusi terbaik, karena membangun
sekaligus melestarikan sumberdaya air.
99
Berdasarkan kenyataan tersebut maka keseimbangan antara blue water dan green water adalah kunci dalam mengatur kuantitas air dalam suatu DAS. Untuk mengendalikan kuantitas dan kualitas adalah sedimentasi dan erosi.
maka yang harus diperhatikan
Tutupan lahan hutan yang bersifat korelasi negatif
dengan erosi sebagaimana disajikan pada Gambar 52 dan Tabel 18 BAB V. Pengurangan luasan hutan akan meningkatkan sedimentasi, pengurangan hutan sebesar 25 % di Sub DAS Gumbasa akan meningkatkan sedimentasi dari 1,5 juta ton/tahun menjadi 2,2 juta ton/tahun. Hal ini membuktikan bahwa hutan adalah tutupan lahan paling baik dalam menjaga kualitas air. Peranan hutan dalam mengendalikan erosi, sedimentasi dan longsor sama pentingnya dibandingkan dengan pengaturan water yield. Pengendalian keseimbangan antara pengendalian run off guna meningkatkan cadangan kadar air tanah dan mengubah air kedalam air biomasa dalam bentuk green water adalah fungsi hutan yang penting dalam suatu DAS. Ketersediaan air tanah dalam suatu DAS dengan pola pengaturan penutupan lahan, akan sangat tergantung kepada potensi laju evapotranspirasi yang dikendalikan oleh jenis tanaman dan kadar air tanah. Pada Sub DAS Cisadane dengan total ETP = 795 mm/tahun dan ETA = 710 mm/tahun dan rasio ETP/curah hujan = 0,2.
Di Sub DAS Gumbasa
dengan laju ETP = 1.214
mm/tahun dan laju ETA = 931 mm/tahun dan rasio ETP/Curah Hujan = 0,63; maka luasan optimum di Sub DAS Cisadane Hulu adalah
44,1 % dan di Sub
DAS Gumbasa 53 % dari total luas DAS. Karena posisi wilayah Sub DAS Gumbasa di Sulawesi Tengah mendekati katulistiwa maka potensi penguapan lebih tingi, sedangkan makin ke arah kutub
100
utara atau selatan dimana ketersediaan energi matahari berkurang keculi pada musim panas dan curah hujan kurang maka ketersediaan air dalam suatu DAS sangat dipengaruhi oleh ETP. Oleh sebab itu ada benarnya pernyataan Hewlett (1982) dan Hamilton (2000) yang menyatakan bahwa semakin luas hutan di daerah Sub Tropis, water yield semakin berkurang dan pada gilirannya mengurangi
blue water adalah sejalan dengan persamaan
(46).
Kondisi
sebaliknya di daerah Tropis dengan pola curah hujan yang tinggi dan beragam serta potensi ETP yang berbeda-beda luasan optimum hutan mengikuti persamaan kuadaratik seperti pada persamaan (44) sampai dengan (46) dan Gambar 55, 56 dan 58 maka dengan demikian hutan di daerah Tropis sangat mengendalikan jumlah air. Fenomena pengaruh perubahan penutupan lahan terhadap keseimbangan air sangat berperan dalam menyeimbangkan blue water dan green water. Oleh sebab itu mengetahui luasan hutan optimal dalam suatu DAS adalah pendekatan yang paling rasional dalam menyeimbangkan dan mengelola air berbasis vegetatif. Aplikasi model SWAT kedepan
adalah mengkombinasikan dengan
model ekonomi, perubahan tata ruang dan perkembangan dinamika regional. Aplikasi dalam pengembangan rencana tata ruang dan penentuan daya dukung lingkungan merupakan tantangan dan peluang untuk aplikasi model SWAT yang lebih luas di Indonesia. Fenomena
urbanisasi,
peningkatan
pola
pertanian,
pemupukan,
keseimbangan air, erosi dan pengaruh penebangan hutan dan perubahan tata ruang merupakan tantangan pemodelan SWAT di masa mendatang.
Dengan
101
pengalaman aplikasi di Sub DAS Cisadane Hulu dan Sub DAS Gumbasa menunjukkan bahwa pengendalin run off (Qsurf) dan mengatur base flow (Qgw) adalah kunci dalam mengatur tata air.
Hutan sebagai regulator air di daerah
Tropika telah terbukti. Hutan mengedalikan jumlah air dengan kemampuan yang istimewa
antara
evapotranspirasi dan kemampuan mengendalikan run off.
Hutan banyak, limpasan sedikit akan diimbangi dengan kemampuan menyimpan dalam bentuk air tanah (green water). Permasalahan utama didaerah dengan topografi curam, curah hujan tinggi adalah mengendalikan run off sehingga peranan hutan lindung dan taman nasional sebagai regulator air harus dipertahankan dan dijaga dan hutan alam perperan menyeimbangkan antara blue water dan green water. Perhitungan jasa lingkungan hutan dari taman nasional dan atau menghitung kerusakan ekologi, perhitungan neraca air, daya dukung DAS, air tanah, dan kualitas air serta ketersediaan air di masa datang dapat menggunakan model SWAT. Akan lebih berguna apabila model SWAT digabungkan dengan rencana pembangunan ekonomi dan pengembangan wilayah.
VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan Metode pemodelan DAS mengunakan model SWAT dapat dipergunakan di Indonesia dan mampu menjelaskan hubungan antara hasil air dengan luas hutan dalam suatu DAS. Model SWAT mewakili proses hidrologi DAS yang akurat dan bisa menggambarkan limpasan, ground water, evapotranspirasi, kadar air tanah dan debit secara rinci. Luasa hutan optimal untuk menghasilkan water yield yang maksimal di Sub DAS Gumbasa 53 % atau 63.760 ha dan di di Sub DAS Cisadane Hulu 44,1 % atau 799 ha. Luasan optimal ini hanya ditinjau dari kepentingan tata air. Penetapan luas DAS optimal ini dapat diterapkan untuk DAS yang memiliki karakteristik yang sama dengan Sub DAS Gumbasa dan Sub DAS Cisadaen Hulu. Distribusi green water di Sub DAS Gumbasa 51,64 % dan blue water 48,36 % sedangkan di Sub DAS Cisadane Hulu green water 24,28 % dan blue water 75,72 %. Sub DAS Cisadane dominan blue water dan di Sub DAS Gumbasa dominan green water.
Pendekatan blue water dan green water dapat
menjelaskan komponen neraca air secara detail sehingga menjaga keseimbangan antara jumlah run off dan resapan adalah kunci mengoptimalkan dalam mengelola sumberdaya air dalam suatu DAS. Tutupan hutan di Sub DAS Gumbasa dan sub DAS Cisadane hulu yang mewakili daerah tropis sangat berperan dalam menjaga pasokan water yield, mengatur fluktuasi debit, mengendalikan limpasan, meningkatkan base flow dan mengurangi erosi dan sedimentasi.
103
7.2. Saran 1. Revitalisasi penetapan fungsi hutan dan penataan ruang berbasis luasan hutan optimal di setiap
DAS dengan pendekatan model untuk
meningkatkan dan memelihara daya dukung DAS 2. Pengelolaan sumberdaya air berbasis lahan dan manajemen green water adalah pilihan yang murah dan rasional.
104
DAFTAR PUSTAKA
Abbaspour, K. C., J. Yang, M. Vejdani, and S. Haghighat. 2008. SWATCUP: Calibration and uncertainty programs for SWAT, 4th Int. SWAT Conf. Proc., Eawag Zurich. Switzerland _________, J. Yang, I. Maximov, R. Siber, K. Bogner, J. Mieleitner, J. Zobrist, R. Srinivasan. 2007. Modelling Hydrology and water quality in the Pre-Alpine /Alpine Thur Watershed Using SWAT. Journal of Hydrology (2007) 333, 413– 430 _________, C. A. Johnson, M. Th. van Genuchten. 2004. Estimating Uncertain Flow and Transport Parameters Using a Sequential Uncertainty Fitting Procedure. Journal Soil Science Society of America 3:1340–1352 (2004) Abraham, L.Z.; Roehrig,J.; Chekol, D.A.; 2007. Calibration and Validation for SWAT Hidrologic Model for Meki Watershed, Ethiopia. Tropentag 2007 University of Kassel-Witzenhausen University of Göttingen, October 9-11 october, 2007 Adams, K.N., Fowler. A.M. 2006. Improving empirical relationships for predicting the effect of vegetation change on annual water yield. Journal of Hydrology. 90-115 Allen, R.G., M.E. Jensen, J.L. Wright, and R.D. Burman. 1989. Operational estimates of evapotranspiration. Agron. J. 81:650-662. ________, 1986. A Penman for all seasons. J. Irrig. and Drain Engng., ASCE, 112(4): 348-368. Arnold, J.G. and N. Fohrer. 2005. SWAT2000: current capabilities and research opportunities in applied watershed modeling. Hydrol. Process. 19(3):563-572. ________, and R.S. Muttiah, R . Srinivasan. And P.M. Allen. 2000. Resgional estimation of base flow and groundwater recharge in the upper Mississippi basin. J. Hydrol. 227 b(1-4):21-40 ________, Srinivasan, R.S Mutiah and J.R William. 1998. Large-area Hidrologic Modeling and assesment. Part I, model development. Journal American Water Resources Assoc. 35 (5):1037—1052
105
________, P. M. Allen, R. Muttiah, G. Bernhardt. 1995. Automated Base Flow Separation and Recession Analysis Techniques. Ground Water. 33(6):1010 - 1018 ________, and Williams. 1987. Validation of SWRRB: Simulator for water resouces in rural basin. J. Water Resouces. Plan. Manger. ASCE 113(2): 242-256. Arief, M, I. R Effendy dan S.DM. Kayo. 1991. Hubungan Lahan Penutup (Hutan) terhadap Debit Rendah. Kolokium Hasil Penelitian Puslitbang Air Tahun 1990/1991. Bandung. Bosch, J.M. Hewlett, J.D. 1982. A review of catchment experiments to determine the effect of vegetation change on water yield and evapotranspiration. Journal of Hydrology. 52, 3-23. Brown, A.E., Zhang, L., McMhon, T.A, Western .A.W. Vertessy, R.A, 2005. A review of paired catchment studies for determining change in water yield resulting from alterations in vegetation, Journal of Hydrology. 301, 28-61 Bradshaw C.J, Navjot S. Sodhi, Kelvin S. PEH Barry W. Brook. 2007. Global evidence that deforestration amplifies flood risk and serverity in the developing world. School for Environmental Research, Institute Advance Study Charles Darwin University, Darwin Australia. Bruijnzeel, L.A. 2004. Hydrological functions of tropical forest: not seeing the soil for trees ? Agric. Ecosyst. Environ. 104, 185-228 _________. 1990. Hydrology of Moist Tropical Forest and Effect of Conversion: A State of Knowledge Review. UNESCO/Free University Amsterdam. _________. 1980. Forest hydrology. (J. C. Evans, Ed.) (Vol. 12, p. 349). CRC Press. Buytaert. W., V.Iniguez. B.D. Bievere.2007. The effects of afforestation and cultivation onwater yield in the Andean paramo. Forest. Ecol/Manage. Doi:10.1016/J.Foreco.2007.06.035 Bekele, E.G. and J.W. Nicklow. 2007. Multi-objective automatic calibration of SWAT using NSGA-II. Journal of Hydrology. 341(3-4) : 165-176 Biesbrouck B., Wyseure G., Van Orschoven J. and Feyen J; February 2002. AVSWAT2000. Katholieke Universiteit Leuven (K.U.Leuven).
106
Laboratory for Soil and Water Management (LSWM). Vital Decosterstraat 102, B-3000 Leuven, Belgium Bonell, M. 2002. Ecohydrology—A completely new idea?. Hydrological Sciences Journal 47 (5): 809. Borah, D.K., Yagow, A. Saleh, P.l. Barnes, W. Rosenthal., E.C. Krug. And L.M. Hauck. 2006. Sediment and nutrient modeling for TMDL development and implementation. Trans. ASABE 49 (4): 967-986. Bosch, D.D., J.M. Sheridan, H.L. Batten, and J.G. Arnold. 2004. Evaluation of the SWAT model on a coastal plain agricultural watershed. Trans. ASEA 47 (5):1493-1506 Bosch, J.M. and Hewlett, J.D. 1982. A review of catchment experiments to determine the effect of vegetation changes on water yield and evapotranspiration. Journal of Hydrology 55: 3 – 23. Budiono, E.B. 1978. Pendugaan neraca air dalam sistem hidrologi das waspada garut de ngan metode analisa sistem. Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan. IPB. Bogor. Buytaert, W. Iniguez, V. De Bievre, B. 2007. The effects of afforestation and cultivation on water yield in the Andean paramo. Forest Ecology and Management. Calder, I.R. 2003. Forest and water –Closing the gap between public and science perceptions. Stockholm Water Simposium. Univ. Newcastle upon Tyne .UK. Cotter, A.S.I.Chaubey. T.A. Costello. T.S. Soerens and M.A Nelson. 2003. Water quality model output uncertainty as affected by spatial resolution of input data. J. American Water. Res. Assoc. 39(4) :977-986 Chaplot, V.A. Saleh, D.B. Jaynes. 2005. Effect of the accuracy of spatial rainfall information on the modeling of water, sediemen, and NO3-N loads at the watershed level. Journal of Hydrology. 312(1-4):223-234 Du, B., X.Ji, R.D. Harmel, and L.M. Hauck.2009. Evaluation of a watershed model for estimating daily flow using limited flow measurements. Journal of the American Water Resources Association. 45(2): 475-484 Di Luzio, M., Srinivasan R., Arnold J.G. 2004. A GIS-Coupled hydrological model system for the watershed assessment of agricultural nonpoint and point sources of pollution. Transactions in GIS, 8(1): 113-136.
107
________, M., R. Srinivasan, and J. G. Arnold. 2001. ArcView Interface for SWAT2000 User’s Guide, Blackland Research Center, Texas Agricultural Experiment Sta-tion and Grassland, Soil and Water Research Laboratory, USDA Agricultural Research Service, Temple, Tex. ________, M., R. Srinivasan, J.G. Arnold , and S.L. Neitsch. 2002. Soil and Water Assessment Tool. ArcView GIS Interface Manual: Version 2000. GSWRL Report 02-03, BRC Report 02-07, Published by Texas Water Resources Institute TR-193, College Station, TX 346p. (ftp://ftp.brc. tamus.edu/pub/swat/pc/swatav/avswat2000.zip)
Eisenbies, M., Aust, W., Burger, J., & Adams, M. 2007. Forest operations, extreme flooding events, and considerations for hydrologic modeling in the Appalachians—A review. Forest Ecology and Management, 242(23), 77-98. doi: 10.1016/j.foreco.2007.01.051. Farley, K.A. Jobbagy. E.G., Jacson, R.B. 2005. Effect of afforestation on water yield: a global synthesis with implications for policy. Global Change Bio. 11, 1565-1576 Faramarzi, M. Abbaspour, K.C. Schulin, R. Yang, H. 2009. Modelling Blue and Green Water Resources Availability in Iran. J. Hydrological Processes. 23: 486 – 501. Falkenmark, M., and J. Rockstro¨m. 2006. The new blue and green water paradigm: Breaking new ground for water resources planning and management, J. Water Resour. Plann. Manage., 132(3), 129– 132. ________. 1989. The massive water scarcity now threatening Africa – Why isn’t it being addressed?, AMBIO, 18(2), 112– 118. Fauzi A.M. 1987. Perencanaan penelitian dan monitoring das secara terpadu kemungkinan dan masalahnya. Makalah disampikan dlam lolakarya Hasil Penelitian Hidrologi dan Erosi Malang. FAO &CIFOR. 2005. Hutan dan Banjir, Tenggelam Dalam Suatu Fiksi atau Berkembang dalam Fakta ?. CIFOR-Bogor, ISBN-979-3361-75-1. FAO. 2007. Review of World Water Resources by Country. Natural Resources Management and Environment Departement. www.fao.org/docrep/005/ y4473E /y4473e06.htm Fiering, M.B. 1967. Streamflow synthesis. Harvard University Press, Cambridge.
108
Fohrer, N. S. Haverkamp, and H.G. Frede. 2005. Assessment of the effects of land use patterns oh hydrologic landscape fuctions: Development of suistainabel land use conceps for low mountain range areaa. J. Hydrol. Process. 19(3):659-672. _______. Moller, and N.Steiner. 2002. An interdisciplinary modeling approach to evaluate the effects of land use change. Phys. Chem. Earth. 27 (910):655-662 Gassman, P.W. Reyes, M. R, Green C.H. and Arnold J.G. 2007. The Soil and Water Assesment Tool: Historical Development, Application, and Future Research Directions American Society of Agricultural and Biological Engineers ISSN 0001-2351 Vol 50 (4) 12111-1250 ________. Manoj Jha, Silvia Secchi, Jeff Arnold. 2003. Initial calibration and validation of the SWAT model for the upper Mississippi river basin. Diffuse Pollution Conference Dublin Gui, G.O. and D. Rosbjerg. 2009. Modelling of hydrologic processes and potential response to climate change through the use of a multi site SWAT. Water and Environment Journal in press : 1-11 Green, C. H. and A. van Griensven. 2008 Autocalibration in hydrologic modeling: Using SWAT2005 in small-scale watersheds. Environmental Modelling and Software. 23(4) : 422-434 Harmel, R. D., R. J. Cooper, R. M. Slade, R. L. Haney, J. G. Arnold. 2006. Cumulative uncertainty in measured streamflow and water quality data for small watersheds. American Society of Agricultural and Biological Engineers ISSN 0001−235. Vol. 49(3): 689−701 ________. Patricia K. Smith. 2007. Consideration of measurement uncertainty in the evaluation of goodness-of-fit in hydrologic and water quality modeling. Journal of Hydrology (2007) 337, 326– 336 Hewlett, Jhon D. 1982. Principles of Forest Hidrology. The University of Georgia Press. Athens. Hickey, R., 2000, Slope Angle and Slope Length Solutions for GIS. Cartography, v. 29, no. 1, pp. 1 - 8. Izauralde. R.C., J.R. Williams, W.B. MCGill, N.J. Rosenberg, and M.C. Quiroga Jakas. 2006. Simuating soil C dynamics with EPIC: Model description and testing againts long term data. Ecol. Model. 192(34):362-384
109
Kenneth M. Chomiz and Kanta K. 1996. The Domestic benefits of Tropical Forests. A. Critical Review Emphasizing Hydrological Fuctions. Word Bank. Washington DC. Knisel, W.G. 1980. CREAMS, a field scale model for chemicals run off, and erosion from agricultural management sytems. USDA Conservation Research Report No.26. Washingthon, D.C. Lenhart, T.; K. Eckhardt, N. Fohrer, H.G. Frede. 2002. Comparison of two different approaches of sensitivity analysis. Physics and Chemistry of the Earth 27 (2002) 645–654 Le Maitre, D.C. Scott, D.F. Colvin,, C.C 1999. A review of information on interactions between vegetation and groundwater. Water SA. 25, 137152. Leonard, R.A., W.G. Knisel, and D.A. Still. 1987. GLEAMS: Groundwater loading effects of agricultural management sytems. Trans. ASAE 30(5):1403-1418 Maidment, D., D. Djokic.2000. Hydrologic and hydraulic modeling supprot with geographic information system. Environmental System Research Institute, Inc. Mark, D.M.1984. Automated detection of drainage networks from digital elevation models. Cartographica, 21, 168-178 Migliaccio K. W. and P. Srivastav.2007. Hydrologic components of watershed scale models. Transactions of the ASABE. 50(5) : 1695-1703 Miller, S.N., D.J. Semmens, D.C. Goodrich, M. Hernandez, R.C. Miller, W.G. Kepner, and D.P. Guertin. 2007. The Automated Geospatial Watershed Assessment tool. Environmental Modelling and Software. 22(3) : 365377 Mohamed, M. Y., H. S. M. Hilmi and E. S. Ganawa. 2011. Determination of watershed’s hydrological parameters using remote sensing and geographical information system (GIS) techniques: Case study of Wadi Al-kangar, Sudan. International Journal of Water Resources and Environmental Engineering Vol. 3(11), pp. 258-265, 8 November, 2011 Monteith, J.L. 1981. Evaporation and surface temperature. Quart. J. Roy. Meteorol. Soc. 107:1-27.
110
Moriasi, D. N., J. G. Arnold, M. W. Van Liew, R. L. Bingner, R. D. Harmel, T. L. Veith. 2007. Model Evaluation Guidelines For Systematic Quantification Of Accuracy In Watershed Simulations. J. American Society of Agricultural and Biological Engineers. Vol. 50(3): 885−900 2007 Molchanov, A.A. 1966. The hydrological role of forest translated from rusia. Israel Program for Scientific Translation Jarrusallem. Mulyana, N. 1990. Model Simulasi untuk perencanaan penggunaan lahan di Sub DAS Cimanuk Hulu, Daerah Tangkapan Calon Waduk Jatigede, Skripsi Jurusan Mekanisasi Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. _______. 2000. Pengaruh Hutan Pinus (P. merkusii) terhadap karakteristis hidrologi di Sub DAS Ciwulan Hulu, KPH Tasikmalaya Perum Perhutani Unit III-Jawa Barat Kajian menggunakan Model POWERSIM-PINUS Ver 3.1). Thesis Fakultas Pasca Sarjana IPBBogor Neitsch, S.I., J. G. Arnold, J. R. Kiniry, and J. R. Williams (2005), Soil and Water Assessment Tool - Theoretical Documentation - Version 2005, Grassland, Soil and Water Research Laboratory, Agricultural Research Service and Blackland Research Center, Texas Agricultural Experiment Station, Temple, Tex. _______. J.G. Arnold; J.G. Kiniry; J.R. Williams, K.W. King. 2002. Soil and Water Assesstment Tool Theoretical Documentation, version 2000. Texas Water Resources Institute, College Station, Texas. TWRI Report TR-191 _______. J.G. Arnold; J.G. Kiniry; J.R. Williams. 2001. Soil and Water Assesstment Tool User Manual, version 2000. Texas Water Resources Institute, College Station, Texas. Nash, J.E. and Sutcliffe J.V. 1970. River Flow Forecasting Through Conceptual Models Part I-aDiscussion of Principles. Journal of Hydrology, 10(3),282-290 Nicks, A.D. 1974. Stochastic generation of the occurrence, pattern, and location of maximum amount of daily rainfall. p. 154-171. In Proc. Symp. Statistical Hydrology, Aug.-Sept. 1971, Tuscon, AZ. U.S. Department of Agriculture, Misc. Publ. No. 1275. O'Callaghan, J.F., Mark, D.M.1984.The Extraction of Drainage Networks from Digital Elevation Data. In: Computer Vision, Graphics and Image
111
Processing, 1984, no.28, p. 323-344.Pudjiharta, 1986. Peranan Beberapa Jenis Pohon Hutan dalam Mentransfer Air Hujan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan. Bogor. Buletin Penelitian Hutan No.478 Penman, H.L. 1956. Evaporation: an introductory survey. Netherlands Journal of Agricultural Science 4:7-29. Putuhena, W. M. and Cordery, I. 2000. Some hydrological effects of changing forest cover from Eucalypts to Pinus radiata. Journal Agricultural and Forest Meteorology 100: 59 – 72. Rahim, A.N. 1988. Water yield changes after forest conversion to agricultural land use in Panenisular Malaysia. J. Tropical Forest Science 1(1):67-84 Rallison, R.E. and N. Miller. 1981. Past, present and future SCS runoff procedure. p. 353-364. In V.P. Singh (ed.). Rainfall runoff relationship. Water Resources Publication, Littleton, CO. Richardson, C.W. and D.A. Wright. 1984. WGEN: a model for generating daily weather variables. U.S. Department of Agriculture, Agricultural Research Service, ARS-8. _______. 1981. Stochastic simulation of daily precipitation, temperature, and solar radiation. Water Resources Res. 17(1):182-190. Rijsberman, F. R. 2006. Water scarcity: Fact or fiction?, Agric. Water Manage., 80, 5– 22. Rossi, C.G., T.J. Dybala, D.N. Moriasi, J.G. Arnold, C. Amonett, and T. Marek. 2008. Hydrologic calibration and validation of the Soil and Water Assessment Tool for the Leon River watershed. Journal of Soil and Water Conservation. 63(6) : 533-541 Rowe. L.K., 2003. Land use and water resouces: a comparison of streamflow from New Zealand catchment with different vegetation covers. Landcare Research Contract Report 6, Landcare Research . Lincoln. _______. Taylor, C. H. 1994. Hydrology and related changes after harvesting native forest catchments and Establishing Pinus Radiata Plantation .3. Stream Temperatures. Hydrological Processes .Vol. 8, pp. 281-297 Saberwal, V.K. 1997 Science and the Desiccationist Discources of the 20 th Century. Environment and History 3 (1997): 309-43
112
Sangrey, D.A., K.O. Harrop-Williams, and J.A. Klaiber. 1984. Predicting ground-water response to precipitation. ASCE J. Geotech. Eng. 110(7): 957-975. Schuol, J., K. C. Abbaspour, H. Yang, R. Srinivasan, and A. J. B. Zehnder. 2008. Modeling blue and green water availability in Africa, Water Resour. Res., 44, W07406 _______. and K. C. Abbaspour 2007. Using monthly weather statistics to generate daily data in a SWAT model application to West Africa, Ecol. Model., 201, 301– 311. _______. and C. Abbaspour. 2006. Calibration and uncertainty applied to West Africa. Adv. Geosci. Vol (9) : 137–143 Setiawan, B.I. 2003. Optimasi Parameter Tank Model. Jurnal Keteknikan Pertanian Vo.17, No.1 Hal. 8~20. April 2003. ISSN 0216-3365. Siebert, S. and Doll, P. 2010. Quantifying blue and green virtual water contents in global crop production as well as potential production losses without irrigation. Jurnal of Hydrology 384 : 198 – 217. Soil Conservation Service. 1972. Section 4: Hydrology In National Engineering Handbook. SCS. Soil Conservation Service Engineering Division. 1986. Urban hydrology for small watersheds. U.S. Department of Agriculture, Technical Release 55. Spruil, C.A. S.R. Workman, and J.I. Tanaba. 2000. Simulation of daily and montly stream dischrage from small watershed using SWAT model. Trans. ASAE 4396): 1431-1439. Van Liew, M. W., J.D. Garbrecht, and J.G. Arnold 2003. Simulation of the impacts of flood restarding structures on streamflow for watershed in southwestern Oklahoma under dry, average, and climatic conditions J. Soil Water Cons. 58 (6):340-348 Venetis, C. 1969. A study of the recession of unconfined aquifers. Bull. Int. Assoc. Sci. Hydrol. 14(4): 119-125. Weinberg, M., Lawrence, C. A., Anderson, J. D., Randall, J. R., Botsford, L. W., Loeb, C. J., et al. 2002. Biological and economic implications of Sacramento watershed management options. Journal of The American Water Resources Association, 38(2), 367-384.
113
Williams, J. 1997. A system of erosion—sediment yield models. Soil Technology, 11(1), 43-55. doi: 10.1016/S0933-3630(96)00114-6. Williams, J.R. 1975. Sediment-yield prediction with universal equation using runoff energy factor. p. 244-252. In Present and prospective technology for predicting sediment yield and sources: Proceedings of the sedimentyield workshop, USDA Sedimentation Lab., Oxford, MS, November 28-30, 1972. ARS-S-40. Wischmeier, W.H. and D.D. Smith. 1978. Predicting rainfall erosion losses: a guide to conservation planning. Agriculture Handbook 282. USDAARS Yang, H. and Zehnder, A.J.B. 2008. Globalization of water resources through virtual water trade. Wu, S., J. Li., G. H. Huang. 2007. Characterization and evaluation of elevation data Yang, H. and Zehnder. 2008. Globalization of water resources trough virtual water trade. Swiss Federal Institute for Aquatic Science and Technology. Ueberlandstrasse 133. Switzerland. Zhang, J. Jiang, J. Liu, D. De Angelis, D. L. 2009. Vegetaion coverage influence on rainfall-runoff based on wavelet analysis. Journal of American Science 5 (2): 97-104. Zhang, L. Dawes, W.R. Walker, G.R. 2001. Response of mean annual evapotranspiration to vegetation change at catchment scale. Water Resour. Res. 37, 701-708 _______. Zhao, F.F. Z.X. Xu. 2009. Effect of vegetation cover change on sream flow at a range of spatial scales. 18 th World IMACS/MODSIM Congress. Cairns, Australia 13-17 July. Australia. _______. Zhao, F. 2009. Methods for estimating the effects of vegetation cover and climate change on streamflow. CSIRO Water for Healthy Country Flagship. 14 September 2009. Australia. Zhang, X., R. Srinivasan, and M. Van Liew. 2008. Multi-Site Calibration of the SWAT Model for Hydrologic Modeling, Transactions of the ASABE. 51(6): 2039-2049
114
Lampiran 1. Dinamika cuaca tahun 2004 di Stasiun Sigimpu 30.00
Suhu Udara (o C)
28.00
26.00
24.00
22.00
20.00 01-Jan
01-Feb 01-Mar
01-Apr 01-May
01-Jun
01-Jul
01-Aug
01-Sep
01-Oct
01-Nov
01-Dec
01-Oct
01-Nov
01-Dec
01-Dec
100.00
Kelembaban Udara Relatif (%) 90.00
80.00
70.00
60.00
50.00
40.00 01-Jan
01-Feb
01-Mar
01-Apr
01-May
01-Jun
01-Jul
01-Aug
01-Sep
1.60
Kecepatan Angin (m/s)
1.40 1.20 1.00 0.80 0.60 0.40 0.20 0.00 01-Jan
01-Feb 01-Mar
01-Apr
01-May
01-Jun
01-Jul
01-Aug
01-Sep
01-Oct
01-Nov
01-Sep
01-Oct
01-Nov 01-Dec
01-Sep
01-Oct
01-Nov 01-Dec
60.00
Jumlah Hujan (mm) 50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00 01-Jan
01-Feb 01-Mar
30.00
01-Apr
01-May
01-Jun
01-Jul
01-Aug
Radiasi Surya (MJ/m2 )
25.00
20.00
15.00
10.00
5.00
0.00 01-Jan
01-Feb 01-Mar
01-Apr 01-May
01-Jun
01-Jul
01-Aug
115
Lampiran 2. Dinamika cuaca tahun 2004 di Stasiun Rore Katimbu 18.00
Suhu Udara (o C)
16.00
14.00
12.00
10.00 01-Jan
01-Feb 01-Mar 01-Apr 01-May
01-Jun
01-Jul
01-Aug
01-Sep
01-Oct 01-Nov 01-Dec
110.00
Kelembaban Udara Relatif (%) 100.00 90.00 80.00 70.00 60.00 50.00 40.00 01-Jan
01-Feb 01-Mar 01-Apr 01-May 01-Jun
01-Jul
01-Aug 01-Sep
01-Oct 01-Nov 01-Dec
2.50
Kecepatan Angin (m/s) 2.00
1.50
1.00
0.50
0.00 01-Jan
01-Feb 01-Mar 01-Apr 01-May
01-Jun
01-Jul
01-Aug
01-Sep
01-Oct
01-Nov 01-Dec
01-Sep
01-Oct
01-Nov 01-Dec
01-Sep
01-Oct
01-Nov 01-Dec
50.00
Jumlah Hujan (mm)
45.00 40.00 35.00 30.00 25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 0.00 01-Jan
30.00
01-Feb 01-Mar 01-Apr 01-May
01-Jun
01-Jul
01-Aug
Radiasi Surya (MJ/m2 )
25.00
20.00
15.00
10.00
5.00
0.00 01-Jan
01-Feb 01-Mar 01-Apr 01-May
01-Jun
01-Jul
01-Aug
116
Lampiran 3. Dinamika cuaca tahun 2004 di Stasiun Nopu 28.00
Suhu Udara (o C)
26.00
24.00
22.00
20.00 01-Jan
01-Feb 01-Mar
01-Apr 01-May
01-Jun
01-Jul
01-Aug
01-Sep
01-Oct
01-Nov 01-Dec
01-Oct
01-Nov 01-Dec
01-Sep
01-Oct
01-Nov 01-Dec
01-Sep
01-Oct
01-Nov 01-Dec
100.00
Kelembaban Udara Relatif (%) 95.00
90.00
85.00
80.00
75.00
70.00 01-Jan
01-Feb 01-Mar 01-Apr 01-May
01-Jun
01-Jul
01-Aug
01-Sep
3.00
Kecepatan Angin (m/s) 2.50
2.00
1.50
1.00
0.50
0.00 01-Jan
01-Feb 01-Mar
01-Apr 01-May
01-Jun
01-Jul
01-Aug
50.00
Jumlah Hujan (mm)
45.00 40.00 35.00 30.00 25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 0.00 01-Jan
01-Feb 01-Mar
30.00
01-Apr 01-May
01-Jun
01-Jul
01-Aug
Radiasi Surya (MJ/m2 )
25.00
20.00
15.00
10.00
5.00
0.00 01-Jan
01-Feb 01-Mar
01-Apr 01-May
01-Jun
01-Jul
01-Aug
01-Sep
01-Oct
01-Nov 01-Dec
117
Lampiran 4. Dinamika cuaca tahun 2004 di Stasiun Rore Katimbu 18.00
Suhu Udara (o C)
16.00
14.00
12.00 01-Jan
01-Feb 01-Mar
01-Apr 01-May
01-Jun
01-Jul
01-Aug
01-Sep
01-Oct
01-Nov 01-Dec
01-Oct
01-Nov 01-Dec
01-Sep
01-Oct
01-Nov 01-Dec
01-Sep
01-Oct
01-Nov 01-Dec
100.00
Kelembaban Udara Relatif (%)
95.00 90.00 85.00 80.00 75.00 70.00 65.00 60.00 01-Jan
01-Feb 01-Mar
01-Apr 01-May
01-Jun
01-Jul
01-Aug
01-Sep
2.50
Kecepatan Angin (m/s) 2.00
1.50
1.00
0.50
0.00 01-Jan
01-Feb 01-Mar
01-Apr
01-May
01-Jun
01-Jul
01-Aug
45.00
Jumlah Hujan (mm)
40.00 35.00 30.00 25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 0.00 01-Jan
01-Feb 01-Mar
30.00
01-Apr 01-May
01-Jun
01-Jul
01-Aug
Radiasi Surya (MJ/m2 )
25.00
20.00
15.00
10.00
5.00
0.00 01-Jan
01-Feb 01-Mar
01-Apr 01-May
01-Jun
01-Jul
01-Aug
01-Sep
01-Oct
01-Nov 01-Dec
118
Lampiran 5. Dinamika cuaca tahun 2004 di stasiun Pandere 30.00
Suhu Udara (o C)
29.00
28.00
27.00
26.00
25.00
24.00 01-Jan
01-Feb 01-Mar
01-Apr 01-May
01-Jun
01-Jul
01-Aug
01-Sep
01-Oct
01-Nov 01-Dec
01-Oct
01-Nov 01-Dec
01-Sep
01-Oct
01-Nov 01-Dec
01-Sep
01-Oct
01-Nov 01-Dec
100.00
Kelembaban Udara Relatif (%)
95.00 90.00 85.00 80.00 75.00 70.00 65.00 60.00 01-Jan
01-Feb 01-Mar 01-Apr 01-May 01-Jun
01-Jul
01-Aug 01-Sep
2.00
Kecepatan Angin (m/s)
1.80 1.60 1.40 1.20 1.00 0.80 0.60 0.40 0.20 0.00 01-Jan
01-Feb 01-Mar
01-Apr 01-May
01-Jun
01-Jul
01-Aug
60.00
Jumlah Hujan (mm) 50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00 01-Jan
01-Feb 01-Mar
30.00
01-Apr 01-May
01-Jun
01-Jul
01-Aug
Radiasi Surya (MJ/m2 )
25.00
20.00
15.00
10.00
5.00
0.00 01-Jan
01-Feb 01-Mar
01-Apr 01-May
01-Jun
01-Jul
01-Aug
01-Sep
01-Oct
01-Nov 01-Dec
119
Lampiran 6. Dinamika cuaca tahun 2004 di stasiun Mutira-Palu 31.00
Suhu Udara (o C)
30.00
29.00
28.00
27.00
26.00
25.00 01-Jan
01-Feb 01-Mar
01-Apr 01-May
01-Jun
01-Jul
01-Aug
01-Sep
01-Oct
01-Nov 01-Dec
01-Oct
01-Nov 01-Dec
01-Sep
01-Oct
01-Nov 01-Dec
01-Sep
01-Oct
01-Nov 01-Dec
100.00
Kelembaban Udara Relatif (%)
95.00 90.00 85.00 80.00 75.00 70.00 65.00 60.00 55.00 01-Jan
01-Feb 01-Mar
01-Apr 01-May
01-Jun
01-Jul
01-Aug
01-Sep
2.50
Kecepatan Angin (m/s) 2.00
1.50
1.00
0.50
0.00 01-Jan
01-Feb 01-Mar
01-Apr 01-May
01-Jun
01-Jul
01-Aug
18.00
Jumlah Hujan (mm)
16.00 14.00 12.00 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00 01-Jan
01-Feb 01-Mar
30.00
01-Apr 01-May
01-Jun
01-Jul
01-Aug
Radiasi Surya (MJ/m2 )
25.00
20.00
15.00
10.00
5.00
0.00 01-Jan
01-Feb 01-Mar
01-Apr 01-May
01-Jun
01-Jul
01-Aug
01-Sep
01-Oct
01-Nov 01-Dec
120
Lampiran 7. Dinamika cuaca tahun 2004 di stasiun Toro 27.00
Suhu Udara (o C)
26.00
25.00
24.00
23.00
22.00
21.00 01-Jan
01-Feb 01-Mar
01-Apr 01-May
01-Jun
01-Jul
01-Aug
01-Sep
01-Oct
01-Nov 01-Dec
01-Oct
01-Nov 01-Dec
01-Oct
01-Nov 01-Dec
100.00
Kelembaban Udara Relatif (%) 95.00
90.00
85.00
80.00
75.00
70.00 01-Jan
01-Feb 01-Mar 01-Apr 01-May
01-Jun
01-Jul
01-Aug
01-Sep
2.00
Kecepatan Angin (m/s)
1.80 1.60 1.40 1.20 1.00 0.80 0.60 0.40 01-Jan
01-Feb 01-Mar
01-Apr 01-May
01-Jun
01-Jul
01-Aug
01-Sep
100.00
Jumlah Hujan (mm)
90.00 80.00 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 01-Jan
01-Feb 01-Mar 01-Apr 01-May
30.00
01-Jun
01-Jul
01-Aug 01-Sep
01-Oct
01-Nov 01-Dec
Radiasi Surya (MJ/m2 )
25.00
20.00
15.00
10.00
5.00
0.00 01-Jan
01-Feb 01-Mar
01-Apr 01-May
01-Jun
01-Jul
01-Aug
01-Sep
01-Oct
01-Nov 01-Dec
121
Lampiran 8. Ketersediaan air dalam 1 tahun pada berbagai skenario perubahan hujan
Ketersedian air irigasi(m3/s)
50
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Bulan
40
10 11 12 CH+25% CH0% CH-25%
30 20 10 0
-10 Luasan hutan skenario 0
Ketersedian air irigasi (m3/s)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
50 Bulan
40 30 20 10 0 CH+25%
CH0%
CH-25%
-10 Luasan hutan skenario 1
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Ketersedian air irigasi (m3/s)
20 Bulan 15 10 5 0 -5 .
CH+25%
CH0%
Luasan hutan skenario 2
CH-25%
20 02 20 05 20 08 20 11 20 14 20 17 20 20 20 23 20 26 20 29 20 32 20 35 20 38 20 41 20 44 20 47 20 50
Volume Aliran (Juta m3/tahun) 20 02 20 05 20 08 20 11 20 14 20 17 20 20 20 23 20 26 20 29 20 32 20 35 20 38 20 41 20 44 20 47 20 50
Volume Aliran (Juta m3/tahun) 20 02 20 05 20 08 20 11 20 14 20 17 20 20 20 23 20 26 20 29 20 32 20 35 20 38 20 41 20 44 20 47 20 50
Volume Aliran (Juta m3/tahun)
122
Lampiran 9. Volume aliran antar skenario perubahan jumlah curah hujan dan perubahan tutupan luas hutan
2,000 1,800 1,600 1,400 1,200 1,000 800 600 400 200 0
500
2,000 1,800 1,600 1,400 1,200 1,000 800 600 400 200 0 CH0%
CH0%
CH0% CH-25%
CH-25%
CH-25%
CH+25%
CH+25%
CH+25%
S0
1,200
1,100
1,000
900
800
700
600
S1
400
S2
20 02 20 05 20 08 20 11 20 14 20 17 20 20 20 23 20 26 20 29 20 32 20 35 20 38 20 41 20 44 20 47 20 50
Volume Aliran (Juta m3/tahun) 20 02 20 05 20 08 20 11 20 14 20 17 20 20 20 23 20 26 20 29 20 32 20 35 20 38 20 41 20 44 20 47 20 50
Volume Aliran (Juta m3/tahun)
123
Lampiran 10. Perbandingan hasil simulasi volume aliran antar skenario perubahan curah hujan 1,400
1,300
1,200
700
CH-0%
1,100
1,000
900
800
600 S0
S0
S2
S2
S1
1,000
900
CH -25 %
800
700
600
500
400 S1
CH +25%
2.50
3.10
20 50
20 47
20 44
20 41
20 50
20 47
20 44
20 41
20 38
20 35
20 32
Sediment(Juta ton/tahun) 4.00
20 50
20 47
20 44
CH-25%
20 41
CH-25%
20 38
20 35
20 32
20 29
20 26
20 23
CH-25%
20 38
20 35
CH0%
20 32
CH0%
20 29
20 26
20 23
CH0%
20 29
20 26
1.70
20 23
0.50
20 20
20 17
20 14
20 11
20 08
20 05
20 02
0.00
20 20
20 17
20 14
20 11
20 08
20 05
20 02
Sediment(Juta ton/tahun)
0.50
20 20
20 17
20 14
20 11
20 08
20 05
20 02
Sediment(Juta ton/tahun)
124
Lampiran 11. Perbandingan hasil simulasi sedimentasi antara skenario perubahan curah hujan dan luasan hutan 4.50
3.50
S0
3.00
2.50 2.00
1.50
1.00
CH+25%
3.00
S1
2.00
1.50
1.00
CH+25%
0.00
3.30
2.90
S2
2.70
2.50
2.30
2.10
1.90
CH+25%
1.50
20 02 20 05 20 08 20 11 20 14 20 17 20 20 20 23 20 26 20 29 20 32 20 35 20 38 20 41 20 44 20 47 20 50
Sediment(Juta ton/tahun)
4.50 4.00 3.50 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00
S0
S2
20 50
20 47
2.50
20 44
S2
20 50
20 47
20 44
20 41
20 38
20 35
S2
20 41
20 38
20 35
S0
20 32
20 29
20 26
S0
20 32
20 29
20 26
0.50
20 23
20 20
20 17
20 14
20 11
20 08
20 05
20 02
Sediment(Juta ton/tahun) 0.50
20 23
20 20
20 17
20 14
20 11
20 08
20 05
20 02
Sediment(Juta ton/tahun)
125
Lampiran 12. Perbandingan hasil simulasi sedimentasi antar skenario perubahan curah hujan dan luas hutan 3.00
2.50
2.00
1.50
1.00
S1
0.00
CH-0%
3.00
CH-25%
2.00
1.50
1.00
S1
0.00
CH+25%
S1
126
Lampiran 13. Distribusi HRU (Hidrological Respons Unit) di Sub DAS Gumbasa No Land Use 1 Agriculture 2 Coconut 3 Coffe,cocoa 4 Forest 5 Grass land 6 Open Forest 7 Paddy Rice 8 Reed 9 Settlement 10 Water Grand Total
Land Use SWAT RNGB (Range-Brush) URLD (Residential-Low Density) FRST (Forest-Mixed) FRSE (Forest-Evergreen) RNGE (Range-Grasses) FRST (Forest-Mixed) (Rice) RICE PAST (Pasture) URML (Residential-Med/Low Density) WATR (Water)
No Soil Soil SWAT 1 Renzina RENZ 2 Podsolik PODS
No
Kode HRU
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
RENZ-FRSE RENZ-FRST RENZ-RICE RENZ-RNGB RENZ-RNGE RENZ-URLD RENZ-URML RENZ-WATR PODS-FRSE PODS-FRST PODS-PAST PODS-RICE PODS-RNGB PODS-RNGE PODS-URLD PODS-URML PODS-WATR Grand Total
Area(%) 15.30 84.69
Area (Ha) (%) 7.294,7 6,06 8.205,8 6,82 666,2 0,55 1.720,1 1,43 269,6 0,22 3,2 0,00 122,2 0,10 127,8 0,11 80.824,7 67,19 14.886,3 12,38 1.541,0 1,28 1.069,4 0,89 2.196,5 1,83 772,1 0,64 56,0 0,05 86,4 0,07 449,4 0,37 120.291,5 100,00
Area (%) 3,26 0,05 7,17 73,25 0,87 12,03 1,44 1,28 0,17 0,48 100,00
127
Lampiran 14. Distribusi HRU (Hidrological Respons Unit) pada tutupan lahan existing di DAS Cisadane Hulu No
Land Use
1
Belukar/semak
2 3
Hutan Kebun/perkebunan
4
Pemukiman
5 6
Rumput/tanah kosong sawah
7
Tegalan/ladang
No Soil 1 Hidraquents 2 Distropepts
No
Kode HRU
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
DIST-FRSD DIST-URML DIST-PAST DIST-RICE DIST-AGRR HIDR-AGRC HIDR-FRST HIDR-FRSD HIDR-URML HIDR-AGRR HIDR-RICE
Land Use SWAT (Agricultural Land-CloseAGRC grown) FRST (Forest-Mixed) FRSD (Forest-Deciduous) (Residential-Med/Low URML Density) PAST (Pasture) RICE (Rice) (Agricultural Land-Row AGRR Crops)
Soil SWAT HIDR DIST
Area[%] 96.89 3.11
Luas (Ha) 22.2 1.8 2.7 2.3 27.2 478.0 1044.6 93.9 11.7 65.6 61.5
(%) 1.23 0.10 0.15 0.13 1.50 26.38 57.67 5.18 0.65 3.62 3.40
Slope (%) 15.81 5.00 7.00 8.56 24.72 28.50 32.50 25.00 16.24 24.50 21.00
Area (%) 26.38 57.66 6.42 0.74 0.15 3.52 5.13
128
Lampiran 15. Perbandingan distribusi ETA dan ETP harian di Sub DAS Gumbasa dan Sub DAS Cisadane Hulu 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 ETP (mm)
ETA(mm)
5/1
7/1
0.5 0.0 1/1
2/1
3/1
4/1
6/1
8/1
9/1
10/1
11/1
12/1
Gambar A. Distribusi ETA dan ETP harian di Sub DAS Cisadane Hulu Tahun 2008
5.0 4.5 4.0 3.5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5
ETP(mm)
ETA(mm)
0.0 1/1
2/1
3/1
4/1
5/1
6/1
7/1
8/1
9/1
10/1
11/1
12/1
Gambar B. Distribusi ETA dan ETP harian di Sub DAS Gumbasa Tahun 2004