Jurnal ISEI Jember, Volume 2 Nomor 2, Oktober 2012
ANALISIS KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN JEMBER DALAM ERA DESENTRALISASI FISKAL (ANALYSIS OF FINANCIAL INDEPENDENCE IN THE REGENCY ERA JEMBER FISCAL DECENTRALIZATION) Regina Niken Wilantari Staf Pengajar Program Studi IESP Fakultas Ekonomi Universitas Jember Jl. Kalimantan No. 37 Jember Telp. 0331-337990/HP.08123456290
Absract One aspect that is important in the implementation of regional autonomy and fiscal decentralization is a regional financial independence. Local governments should have the financial resources sufficient to finance regional development. The ability of a local government in carrying out its duties and functions specified by the local government's financial condition. This study aims to analyze the financial independence of Jember districts in a decentralized fiscal (2008 to 2011). In measuring the area of financial independence using Independence Financial Ratios, Ratio effectiveness and Degree of Fiscal Decentralization. The results of this study are 1) Jember have a relationship with the central government pattern that is instructive, so the dominant role of the central government over local government. 2) The ability of local governments to undertake the realization of revenue targets have been planned well enough 3) Jember have a fairly high level of dependency on government transfers Keywords : Fiscal Decentralization, financial independence
1. Pendahuluan Pada tahun 1998, Indonesia mengalami krisis ekonomi yang berawal dari krisis moneter dengan peningkatan inflasi yang cukup tinggi, jatuhnya nilai tukar rupiah serta terpuruknya sektor riil dan pada akhirnya berujung pada krisis yang bersifat multidimensi. Krisis tersebut memunculkan gerakan reformasi, salah satu agenda reformasi 1998 adalah otonomi daerah yang pada dasarnya ingin menata kembali hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (Kaho,2012). Berdasarkan ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah dijelaskan bahwa pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional yang dilaksanakan melalui otonomi daerah, pengaturan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Dalam TAP MPR tersebut menunjukkan bahwa peran aktif dari pemerintah daerah sangat dibutuhkan dalam pembagunan ekonomi nasional. Dengan adanya otonomi daerah maka kapasitas dan potensi daerah dapat dioptimalkan, selain itu hasil-hasil pembangunan diharapkan dapat lebih merata. 269
Regina Niken Wilantari, Analisis Kemandirian Keuangan Daerah Kabupaten Jember
Otonomi daerah dilaksanakan secara resmi dimulai 1 Januari tahun 2001. Dengan otonomi daerah maka otoritas pemerintah daerah diberikan keleluasaan dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat daerah berdasarkan aspirasi masyarakat (Abimanyu, 2009). Otonomi daerah merupakan wujud pergeseran pola pemerintahan sentralistik ke dalam pola pemerintahan desentralisasi. Pelaksanaan pemerintahan yang terdesentralisasi adalah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat serta memenuhi tujuan demokratisasi. Pengertian desentralisasi menurut Litvack (dalam Mardiasmo, 2009) dibedakan dalam desentralisasi politik, desentralisasi administrasi dan desentralisasi fiskal. Desentralisasi fiskal mewujudkan pelaksanaan desentralisasi politik dan desentralisasi administrasi melalui pemberian kewenangan di bidang keuangan. Desentralisasi fiskal adalah suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintah yang lebih tinggi kepada pemerintah yang lebih rendah untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintahan dan pelayanan publik sesuai dengan banyaknya kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan (Kaho,2012). Untuk mewujudkan tercapainya desentralisasi fiskal, maka sejak tahun 2001 transfer dana dari APBN ke daerah dialokasikan dalam bentuk dana perimbangan (balancing fund). Pengalokasian dana perimbangan tersebut bertujuan untuk memberikan kepastian sumber pendaaan bagi daerah, mempersempit celah fiskal, dan mengurangi adanya ketimpangan fiskal antara pusat dan daerah serta antara daerah sendiri. Dengan pengelolaan dana perimbangan yang cukup baik, diharapkan pemerintah daerah mampu meningkatkan pendapatan masyarakat daerah serta mampu meningkatkan ekonomi daerah. Salah satu aspek yang cukup penting dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi, bahwa selain dari dana perimbangan, pemerintah daerah harus memiliki sumber-sumber keuangan daerah yang cukup untuk membiayai penyelenggaran urusan rumah tangganya sendiri. Kemampuan suatu pemerintahan daerah dalam menjalankan tugas dan fungsinya ditentukan oleh kondisi keuangan pemerintah daerah. Dalam Kaho (2012), dijelaskan bahwa dalam sistem desentralisasi, daerah berhak merencanakan, menggali, mengelola dan menggunakan keuangan daerah untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Sehingga Pendapatan Asli Daerah menjadi salah satu cara untuk mengurangi ketergantungan suatu daerah ke pusat. Kabupaten Jember adalah salah satu kabupaten yang berada di bagian timur Pulau Jawa. Sebagai daerah otonom, Kabupaten Jember secara geografis memiliki luas wilayah mencapai 3.293,34 km2 atau 329.333,94 Ha dengan sumberdaya yang dimiliki didalamnya, yang merupakan aset potensial dalam mendukung kegiatan pembangunan daerah. Sumberdaya tersebut merupakan sumber untuk meningkatkan pendapatan daerah, yang dapat digunakan untuk membiayai pembangunan di Kabupaten Jember, dan dengan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) maka diharapkan kemandirian daerah dapat tercapai. Penerimaan daerah Kabupaten Jember pada tahun 2008 sampai dengan tahun 2011 selalu melampaui target yang telah ditetapkan, seperti yang disajikan dalam tabel 1.
270
Jurnal ISEI Jember, Volume 2 Nomor 2, Oktober 2012
Tabel 1 : Perkembangan Realisasi Pendapatan Kabupaten Jember (Ribu Rupiah) Tahun
Target
Realisasi
2007 1.070.835.613.085 2008 1.256.497.740.051 2009 1.289.656.811.150 2010 1.532.635.878.257 2011 1.854.046.009.772 Sumber : Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Jember
1.110.557.928.329 1.280.774.571.685 1.338.578.671.947 1.542.856.102.673 1.882.283.782.607
Seperti halnya penerimaan daerah, PAD Kabupaten Jember dalam kurun waktu 2008 sampai 2011 cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun 2008,realisasi PAD sebesar Rp 136.470.706.867, dan mengalami penurunan pada tahun 2009 menjadi Rp 135.022.286.377. Tahun 2010 nilai PAD kembali meningkat menjadi Rp153.802.037.792 sedangkan pada tahun 2011 nilai PAD adalah Rp 182.494.390.159. Meskipun PAD selalu meningkat, tetapi secara umum dana perimbangan merupakan penyumbang terbesar pendapatan atau penerimaan kabupaten Jember, sedangkan pendapatan asli daerah sendiri menempati posisi kedua dan pendapatan lain-lain memberikan kontribusi terkecil terhadap pendapatan daerah seperti yang tersaji dalam Gambar 1. Gambar 1 Perkembangan Pendapatan Kabupaten Jember 1400000 1200000 1000000
Pendapatan Asli Daerah (PAD)
800000
Dana Perimbangan 600000 Lain-Lain Pendapatan Daerah yang Sah
400000 200000 0 2007
2008
2009
2010
2011
Sumber : Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Jember (diolah) Berdasarkan data tersebut, maka dengan pertumbuhan penerimaan daerah serta PAD yang terus meningkat, seharusnya pemerintah daerah Kabupaten Jember dapat meraih tingkat kemandirian fiskal. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana kemandirian keuangan daerah kabupaten Jember dalam era desentralisasi fiskal, semakin tinggi tingkat kemandirian suatu daerah maka tingkat ketergantungan keuangan terhadap pemerintah pusat akan semakin rendah. 271
Regina Niken Wilantari, Analisis Kemandirian Keuangan Daerah Kabupaten Jember
2. Tinjauan Pustaka 2.1 Peran Pemerintah dalam Perekonomian Tujuan dari pembanguan ekonomi adalah mencapai tingkat kemakmuran yang lebih tinggi. Dalam mencapai tujuan tersebut, pemerintah mempunyai peran penting. Pemerintah dapat ikut campur dalam perekonomian baik secara aktif maupun secara pasif. Menurut kaum klasik terutama teori Adam Smith pemerintah hanya mempunyai tiga fungsi (Guritno,1993; Suparmoko,1992): a) fungsi pemerintah untuk memelihara keamanan dalam negeri dan pertahanan. b) fungsi pemerintah untuk menyelenggarakan peradilan. c) fungsi pemerintah untuk menyediakan barang-barang yang tidak disediakan oleh pihak swasta, seperti halnya dengan jalan, irigasi dan sebagainya. Disamping itu kaum klasik menyatakan bahwa sebaiknya pemerintah tidak mengerjakan aktivitas yang telah dikerjakan oleh pihak individu atau pihak swasta. Pemerintah hendaknya mengerjakan aktivitas yang tidak atau belum pernah dilakukan oleh pihak swasta. Pemerintah perlu ikut campur tangan dalam kegiatan perekonomian, karena adanya kegagalan pasar dalam mekanisme pasar. peran pemerintah dalam perekonomian modern dapat diklasifikasikan dalam 4 golongan besar, yaitu peranan alokasi, peranan distribusi, peranan stabilisasi dan mempercepat pertumbuhan ekonomi (Suparmoko,1992). Peran pemerintah dalam alokasi adalah kegiatan dalam mengalokasikan faktor-faktor produksi maupun barang dan jasa untuk memuaskan kebutuhan masyarakat yang tidak dapat disediakan dalam mekasnisme pasar. Melihat penjelasan diatas maka Peran pemerintah dapat dibedakan secara makroekonomi dan mikroekonomi. Dalam Rosen (1988:5) dijelaskan bahwa fungsi pemerintah secara mikroekonomi, adalah bagaimana pemerintah melakukan alokasi sumberdaya dan distribusi pendapatan. Sedangkan peran pemerintah dalam makroekonomi adalah menggunakan pajak, pengeluaran pemerintah dan kebijakan moneter dalam mengatasi pengangguran dan inflasi. Seiring dengan berkembangnya perekonomian suatu negara, maka dibutuhkan peran pemerintah yang semakin besar. Peran pemerintah dapat terlihat dalam besarnya porsi pengeluaran pemerintah dalam pendapatan nasional. Pengeluaran pemerintah dalam arti riil dapat dipakai sebagai indikator besarnya kegiatan pemerintah yang dibiayai oleh pengeluaran pemerintah tersebut. Hubungan antara pengeluaran pemerintah dengan kegiatan pemerintah dapat dijelaskan dengan hukum “law of ever increasing state activity” yang dikemukakan oleh Adolph Wagner atau lebih dikenal dengan Wagner Law (Suparmoko,1992, Rosen ,1988) dimana hukum ini kemudian diuji kembali oleh Peacock dan Wiseman. Dalam hukum menyatakan bahwa pengeluaran pemerintah meningkat dari tahun ketahun Baik dalam arti uang ataupun secara absolut maupun relatif dalam perbandingannya dengan pendapatan nasional (GNP) yang disebabkan oleh perkembangan sosial, karena berkembanganya industri. Pengeluaran pemerintah tercermin antara lain dalam anggaran negara yang dituangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta anggaran pemerintah daerah yaitu pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dalam Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, pasal 15 menjelaskan bahwa fungsi dari APBD adalah otorisasi, perencanaan,alokasi, distribusi dan Stabilisasi. Fungsi otorisasi mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang 272
Jurnal ISEI Jember, Volume 2 Nomor 2, Oktober 2012
bersangkutan. Fungsi perencanaan adalah, bahwa anggaran daerah menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan dalam tahun yang bersangkutan. Fungsi pengawasan menjelaskan bahwa anggaran daerah menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan pennyelenggaraan pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Fungsi alokasi adalah bahwa anggaran daerah harus diarahkan untuk menciptakan lapangan kerja/ mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian. Fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran daerah harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatuhan. Sedangkan fungsi stabilisasi menjelaskan bahwa anggaran pemerintah daerah menjadi alat untuk memelihara dan menggupayakan kesimbangan fundamental perekonomian daerah. 2.2 Otonomi Daerah Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat, sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Widjaja, 2011). Sedangkan daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat seetempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Pemerintah daerah dengan otonomi adalah peralihan dari sistem sentralisasi ke dalam sistem desentralisasi, yaitu penyerahan urusan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang bersifat operasional dalam rangka sistem birokrasi. Tujuan dari otonomi adalah efisiensi dan efektivitas pelayan kepada masyarakat, kemandirian daerah, dan meningkatkan daya saing daerah dalam proses pertumbuhan ekonomi. Penyerahan kewenangan berupa urusan-urusan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah , dapat dilakukan dengan mengunakan beberapa sistem (Kaho, 2012): a) sistem residu, dalam sistem ini telah ditentukan lebih dahulu secara umum, tugas-tugas yang menjadi wewenang pemerintah pusat, sedangkan sisanya menjadi urusan rumah tangga daerah; b) sistem material, dalam sistem ini, tugas-tugas pemerintah daerah ditetapkan satu persatu secara limitatif dan rinci. Diluar tugas-tugas yang telah ditentukan tersebut, merupakan urusan pemerintah pusat; c) sistem formal, dalam sistem ini, urusan-urusan yang termasuk dalam urusan rumah tangga daerah tidak ditetapkan secara rinci dan tidak ditetapkan dengan Undangundang. Sistem formal memberikan keleluasaan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintah dan menjadikan urusan tersebut sebagai urusan rumah tangga daerah; d) sistem otonom riil , dalam sistem ini penyerahan urusan-urusan atau tugas-tugas dan kewenangan kepada daerah didasarkan pada faktor yang nyata atau riil sesuai dengan kemampuan riil dari daerah-daerah maupun pemerintah pusat serta pertumbuhan yang terjadi di masyarakat. Sistem ini dianut Indonesia pada saat berlakunya UndangUndang No I Tahun 1957 dan Undang-Undang no 18 Tahun 1965, Undang-Undang No 22 Tahun 1999, Undang-Undang No 32 Tahun 2004.
273
Regina Niken Wilantari, Analisis Kemandirian Keuangan Daerah Kabupaten Jember
2.3 Desentralisasi Fiskal Pelaksanaan desentralisasi di Indonesia bertujuan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Selain itu, dengan adanya desentralisasi mendorong munculnya daya saing di daerah tanpa mengabaikan prinsip demokrasi, pemerataan, kekhususan, keadilan, potensi dan keanekaragaman daerah (Mardiasmo, 2009). Konsep desentralisasi fiskal menunjukkan bahwa pembagian wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah daerah akan diikuti dengan pembagian kewenangan pendanaan (money follow fucntion) (Bahl, 1998 dalam Mardiasmo, 2009). Menurut Rahmawati (dalam Mardiasmo : 2009) dengan adanya desentralisasi fiskal berarti hubungan keuangan pusat dan daerah perlu diberikan suatu pengaturan sehingga kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggung jawab daerah dapat dibiayai dari sumber-sumber penerimaan yang dimiliki oleh daerah tersebut. Kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang telah dilaksanakan sejak tahun 2001 adalah dalam rangka mendukung pencapaian tujuan pembangunan nasional. Seiring dengan perubahan dinamika sosial politik, Pemerintah telah melakukan revisi beberapa materi dalam undang-undang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal dengan ditetapkannya Undang- Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Substansi perubahan kedua undang-undang tersebut adalah semakin besarnya kewenangan pemerintah daerah dalam mengelola pemerintahan dan keuangan daerah. Dengan demikian diharapkan pembangunan daerah dapat berjalan sesuai dengan aspirasi, kebutuhan, dan prioritas daerah, sehingga dapat memberikan dampak positif bagi perkembangan ekonomi regional, yang pada gilirannya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Nota Keuangan RAPBN 2009, 2008: V-1). Desentralisasi fiskal di Indonesia merupakan salah satu instrumen kebijakan Pemerintah mempunyai prinsip dan tujuan, antara lain, untuk (1) mengurangi kesenjangan fiskal antara Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah (vertical fiscal imbalance) dan antardaerah (horizontal fiscal imbalance); (2) meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah dan mengurangi kesenjangan pelayanan publik antardaerah; (3) meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya nasional; (4) tata kelola, transparan, dan akuntabel dalam pelaksanaan kegiatan pengalokasian transfer ke daerah yang tepat sasaran, tepat waktu, efisien, dan adil; dan (5) mendukung kesinambungan fiskal dalam kebijakan ekonomi makro. Di samping itu, untuk meningkatkan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah, kepada daerah diberikan kewenangan memungut pajak (taxing power). Instrumen utama kebijakan desentralisasi fiskal adalah melalui kebijakan transfer ke daerah, yang terdiri atas dana perimbangan dan dana otonomi khusus. Dana perimbangan tersebut terdiri atas dana bagi hasil (DBH), dana alokasi umum (DAU), dan dana alokasi khusus (DAK), yang merupakan komponen terbesar dari dana transfer ke daerah.
274
Jurnal ISEI Jember, Volume 2 Nomor 2, Oktober 2012
3. Metode Penelitian Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Jember, Dinas Pendapatan Daerah Kebupaten Jember serta literatur lainnya yang sesuai dengan penelitian ini. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data tahun 2008-2011 dengan pertimbangan periode tersebut menunjukkan periode setelah pelaksanaan Otonomi Daerah. Dalam mengukur kinerja keuangan daerah digunakan metode analisis data sebagai berikut: a) Rasio Kemandirian Keuangan Daerah (RKKD), rasio ini menunjukkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri semua kegiatannya melalui penerimaan pajak dan restribusi sebagai sumber penerimaan, dibandingkan sumber penerimaan lainnya, dengan persamaan sebagai berikut Halim 2004 (Dalam Kaho 2012) : RKKD :
Pendapatan Asli Daerah t
x 100 %
Bantuan pemerintah pusat dan pinjaman t
Semakin tinggi angka rasio, maka semakin kecil tingkat ketergantungan kinerja suatu daerah, ada empat pola hubungan pusat daerah dalam pelaksanaan otonomi, yaitu : 1) pola instruktif, dimana peran pemerintah pusat lebih dominan dari pemerintah daerah (pemerintah daerah tidak mampu melaksanakan otonomi daerah, skala nilai RKKD 0 % sampai dengan 25% 2) pola konsultatif, intervensi pemerintah pusat sedikit demi sedikit mulai berkurang, karena daerah dianggap sedikit lebih mampu dalam melaksanakan otonomi, skala nilai RKKD 25 % sampai dengan 50 % 3) pola partisipatif, peran pemerintah pusat semakin berkurang dan daerah yang bersangkutan semakin mandiri dan dinilai mampu melaksanakan otonomi, skala nilai RKKD 50 % sampai dengan 75 % 4) pola delegatif, campur tangan pemerintah pusat sudah tidak ada, karena daerah telah mandiri dalam melaksanakan otonomi, skala nilai RKKD 75 % sampai dengan 100 % b) Rasio efektivitas, rasio ini menunjukkan kemampuan daerah dalam merealisasi pendapatan asli daerah yang direncanakan, dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah. Angka minimal bagi rasio ini 1 atau 100% target penerimaan daerah dalam satu periode dapat direalisasikan. Semakin tinggi nilai rasio yang dihasilkan semakin baik ;
275
Regina Niken Wilantari, Analisis Kemandirian Keuangan Daerah Kabupaten Jember
Rasio efektivitas : Realisasi Pendapatan Asli Daerah t
x 100 %
Target Pendapatan Asli Daerah t
c) Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF), adalah mengukur kemampuan pemerintah daerah untuk membiayai pembangunan daerahnya. Derajat desentralisasi fiskal diukur dengan formula sebagai berikut : DDF =
Pendapatan Asli daerah
x 100 %
Total Pendapatan Asli daerah t
Kriteria penilaian Derajat Desentralisasi Fiskal menggunakan kriteria yang digunakan dalam penelitian Tim Fisipol UGM seperti dalam tabel 1. Tabel 1 : Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal Derajat Desentralisasi Fiskal (%) Kemampuan Keuangan Daerah 0 – 10 10,01 – 20,00 20,01 – 30,00 30,01 – 40,00 40,01 – 50,00 > 50,00 Sumber : Tangkilisan (2005)
Sangat kurang Kurang Cukup Sedang Baik Sangat baik
4. Hasil Penelitian dan Pembahasan 4.1 Rasio Kemandirian Keuangan Daerah Rasio Kemandiran Keuangan Daerah menunjukkan kemampuan daerah dalam mendanai atau membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat. Hasil dari perhitungan dari Rasio Kemandirian Keuangan Daerah Kabupaten Jember dapat dilihat dalam tabel 2 berikut ini :
276
Jurnal ISEI Jember, Volume 2 Nomor 2, Oktober 2012
Tabel 2. Kemandirian Keuangan Daerah Kabupaten Jember Tahun Anggaran 2008 – 2011 No Tahun PAD Dana Perimbangan 1 2008 136.470.706.867 1.071.183.738.010 2 2009 135.022.286.377 1.085.595.479.231 3 2010 153.802.037.792 1.130.522.874.074 4 2011 182.494.390.159 1.250.834.951.524 Jumlah 607.789.421.195 4.538.137.042.839 Rata-rata 151.947.355.299 1.134.534.260.710 Sumber : Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Jember (data diolah)
RKKD 12,74 12,44 13,60 14,59 13,39 13,39
RKKD tahun 2008 = (136.470.706.867 / 1.071.183.738.010) x 100% = 12,74% RKKD tahun 2009 = (135.022.286.377 / 1.085.595.479.231) x 100% = 12,44 % RKKD tahun 2010 = (153.802.037.792 / 1.130.522.874.074) x 100% = 13,60 % RKKD tahun 2011 = (182.494.390.159 / 1.250.834.951.524 ) x 100% = 14,59 Berdasarkan perhitungan rasio kemandirian keuangan daerah pada tabel 1 diatas, menunjukkan bahwa selama kurun waktu tahun 2008 sampai dengan tahun 2011, kemampuan pemerintah daerah Kabupaten Jember dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat masih rendah, meskipun semakin lama rasio kemandirian keuangan daerah semakin meningkat. Pada tahun 2009 nilai RKKD terjadi peenurunan menjadi 12,44 %, setelah sebelumnya nilai RKKD sebesar 12,74 % pada tahun 2008, pada tahun 2010 terjadi peningkatan nilai RKKD menjadi sebesar 13,60% dan kenaikan tersebut berlanjut sampai dengan tahun 2011 yaitu naik menjadi 14,59. meskipun nilai RKKD meningkat dari tahun ketahun, tetapi secara keseluruhan rata-rata nilai RKKD selama kurun waktu empat tahun, yaitu dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2011 nilainya masih rendah, sekitar 13,39%. Penurunan nilai RKKD pada tahun 2009, diakibatkan adanya penurunan jumlah penerimaan PAD dari penerimaan pendapatan lain-lain yang sah. Pada tahun 2008 penerimaan pendapatan asli daerah yang berasal dari lain-lain pendapatan asli yang sah adalah sebesar Rp 31.710.436.907, sedangkan pada tahun 2009 turun menjadi sebesar Rp 14.795.517.081. Nilai RKKD kurang dari 25 % menunjukkan bahwa pola hubungan Kabupaten Jember dengan pemerintah pusat, masih bersifat Instruktif, sebab angka pembagi yaitu dana ekternal masih jauh lebih besar daripada jumlah PAD. Dengan pola hubungan Instruktif tersebut, maka kemandirian daerah Kabupaten Jember masih rendah, hal tersebut mempunyai makna bahwa peran pemerintah pusat lebih dominan dari pemerintah daerah. Akibat yang muncul dari pola hubungan tersebut adalah pemerintah daerah tidak mampu melaksanakan otonomi daerah, seperti yang diinginkan oleh pemerintah pusat. 4.2 Rasio Efektivitas Rasio efektivitas menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam melakukan realisasi pendapatan asli daerah dari target yang telah direncanakan. Hasil dari rasio efektivitas dapat dilihat dalam tabel 3 dibawah ini :
277
Regina Niken Wilantari, Analisis Kemandirian Keuangan Daerah Kabupaten Jember
Tabel 3. Target dan Realisasi Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Jember Tahun Anggaran 2008 – 2011 No Tahun Target PAD Realisasi PAD Rasio Efektivitas (%) 1 2008 113.611.449.986 136.470.706.868 120,12 2 2009 119.817.126.080 135.022.286.377 112,69 3 2010 149.735.766.837 153.802.037.792 102,72 4 2011 172.299.295.701 182.494.390.159 105,92 Jumlah 447.769.934.584 487.562.651.901 108,89 Rata-rata 111.942.483.646 121.890.662.975 108,89 Sumber : Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Jember (data diolah) Rasio Efektivitas 2008 = (136.470.706.868 / 113.611.449.986) x 100% = 120,12% Rasio Efektivitas 2009 = (135.022.286.377 / 135.022.286.377) x 100% = 112,69% Rasio Efektivitas 2010 = (153.802.037.792 / 149.735.766.837) x 100% = 102,72% Rasio Efektivitas 2011 = (182.494.390.159 / 172.299.295.701) x 100% = 105,92% Dari tabel 2 dapat dilihat bahwa rasio efektivitas pengelolaan keuangan daerah Kabupaten Jember cukup baik, karena realisasi PAD diatas 100 %. Pada tahun 2008 rasio efektitas sebesar 120,12 %, dan pada tahun 2009 rasio efektifitas menurun menjadi 122,04%. Pada tahun 2010, terjadi penurunan sekitar 9%, antara target PAD dan realisasinya, jika dibandingkan dengan tahun 2009, hal tersebut dapat dilihat dari rasio efektifitas yang turun menjadi 102,72%, tetapi kembali meningkat pada tahun 2011 menjadi 105,92%. Meskipun nilai rasio efektifitas mengalami fluktuasi dan cenderung menurun selama kurun waktu tahun 2008 sampai dengan tahun 2011, tetapi secara rata-rata rasio efektifitas diatas 100%, yaitu sekitar 108,89%. 4.3 Derajat Desentralisasi Fiskal Derajat desentralisasi fiskal adalah untuk mengetahi bagaimana kemampuan pemerintah daerah dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah, untuk membiayai pembangunan daerah tersebut. Derajat Desentralisasi Fiskal Kabupaten Jember dapat dilihat dalam tabel 4. Tabel 4. Derajat Desentralisasi Fiskal Daerah Kabupaten Jember Tahun Anggaran 2008 – 2011 No Tahun Total Pendapatan Realisasi PAD 1 2008 1.280.774.571.685 136.470.706.868 2 2009 1.338.578.671.947 135.022.286.377 3 2010 1.542.856.102.673 153.802.037.792 4 2011 1.882.283.782.607 182.494.390.159 Jumlah 6.044.493.128.912 487.562.651.901 Rata-rata 1.511.123.282.228 121.890.662.975 Sumber : Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Jember (data diolah)
278
DDR (%) 10,66 10,09 9,97 9,70 8,07 8,07
Jurnal ISEI Jember, Volume 2 Nomor 2, Oktober 2012
DDR tahun 2008 = (136.470.706.868 / 1.280.774.571.685) x 100 % = 10,66% DDR tahun 2009 = (135.022.286.377 / 1.338.578.671.947) x 100% = 10,09 % DDR tahun 2010 = (153.802.037.792 / 1.542.856.102.673) x 100% = 9,97% DDR tahun 2011 = (182.494.390.159 / 1.882.283.782.607) x 100% = 9,70% Berdasarkan hasil perhitungan dari tabel 4, menunjukkan bahwa Derajat Desentralisasi Fiskal Kabupaten Jember dalam kurun waktu 4 tahun (2008 – 2011) cenderung menurun. Secara rata-rata, Derajat Desentralisasi Fiskal Kabupaten Jember adalah sebesar 8,07% per tahun atau masuk dalam kategori “sangat kurang”. Artinya PAD memberikan kontribusi yang sangat kecil terhadap pendapatan daerah, sehingga kemampuan Kabupaten Jember dalam membiayai pembangunan daerah sangat kurang, dan masih memiliki ketergantungan yang cukup besar terhadap pendanaan dari pusat.
5. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telash diuraikan diatas, maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut : a) Pemerintah Kabupaten Jember memiliki pola hubungan dengan pemerintah pusat yang bersifat Instruktif, dimana tingkat kemandirian Pemerintah Kabupaten Jember masih rendah, sehingga peran pemerintah pusat lebih dominan dari pemerintah daerah b) Kemampuan pemerintah daerah dalam melakukan realisasi pendapatan asli daerah dari target yang telah direncanakan cukup baik, hal tersebut tercermin dari Rasio efektivitas, dengan nilai rata-rata sebesar 108,89% c) Derajat Desentralisasi Fiskal Kabupaten Jember adalah sebesar 8,07% per tahun, artinya Pemerintah Kabupaten Jember memiliki tingkat ketergantungan yang cukup tinggi terhadap transfer pemerintah. Berdasarkan hasil pembahasan dan kesimpulan penelitian ini, maka disarankan hal-hal sebagai berikut : a) Kemandirian keuangan daerah Kabupaten Jember masih rendah sehingga perlu dilakukan upaya-upaya peningkatan Pendapatan Asli Daerah antara lain dengan melakukan optimalisasi pemungutan pajak dan restribusi daerah sesuai dengan potensi yang dimiliki b) melakukan pengawasan serta pengendalian terhadap pemungutan pajak dan restribusi untuk mengantisipasi terjadinya penyimpangan c) Menggali serta mengelola potensi sumber daya yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Jember guna meningkatkan Pendapatan Asli Daerah
279
Regina Niken Wilantari, Analisis Kemandirian Keuangan Daerah Kabupaten Jember
Daftar Pustaka Abimanyu, Anggito, 2009,Tantangan Kebijakan Fiskal 1998-2009: dari Krisis Asia ke Krisis Global, dalam Anggito Abimanyu dan Andie Mergantara, Kompas, Jakarta -------------, 2009, Era Baru Kebijakan Fiskal, Kompas, Jakarta Kaho, Josef Riwu,2012, Analisis Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah Di Indonesia, PolGov, Yogyakarta Guritno Mangkoesubroto, 1993, Ekonomi Publik, edisi 3, BPFE, Yogyakarta Mardiasmo, 2003, Perpajakan, Andi, Jakarta , 2009, Kebijakan Desentralisasi Fiskal di Era Reformasi : 2005-2008, dalam Anggito Abimanyu dan Andie Mergantara, 2009, Era Baru Kebijakan Fiskal, Kompas, Jakarta Republik Indonesia, Departemen Keuangan, 2008, Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2009 Suparmoko, M, 1992, Keuangan Negara Dalam Teori dan Praktek, BPFE, Yogyakarta Tangkilisan, dan Hessel, NS, 2005, Manajemen Publik, PT Grasindo,Jakarta Widjaja, HAW, 2001, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, Rajawali Pers, Jakarta
280