ANALISIS BIAYA-MANFAAT PERUSAHAAN PENGELOLA LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN (B3) DAN SKENARIO PENGELOLAAN YANG EFEKTIF
SHARA SANTA YOLENE LUMBANTOBING
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini penulis menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis BiayaManfaat Perusahaan Pengelola Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dan Skenario Pengelolaan yang Efektif adalah benar karya penulis dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini penulis melimpahkan hak cipta dari karya tulis penulis kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2014
Shara Santa Yolene Lumbantobing NIM H44100029
ABSTRAK SHARA SANTA YOLENE LUMBANTOBING. Analisis Biaya dan Manfaat Perusahaan Pengelola Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dan Skenario Pengelolaan yang Efektif. Dibimbing oleh AKHMAD FAUZI dan KASTANA SAPANLI. Penundaan penanganan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) akibat besarnya biaya yang harus dikeluarkan, melahirkan industri jasa pengolahan dan pemanfaatan limbah B3. Jumlah industri jasa pengolahan dan pemanfaatan limbah B3 ini tergolong kecil di Indonesia, sehingga penelitian ini berusaha untuk mengetahui lebih jauh bagaimana kelayakan usaha jasa pengolahan dan pemanfaatan limbah B3 melalui analisis biaya dan manfaat dan seberapa jauh usaha ini akan bertahan apabila terjadi perubahan seperti perubahan skala ekonomi, sehingga dapat diketahui apakah usaha ini dapat terus dikembangkan. Berdasarkan analisis biaya manfaat, keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan dalam jangka waktu yang telah direncanakan akan bernilai positif dengan tingkat pengembalian yang cukup besar (Net B/C=3 dan IRR=17%) dengan NPV sebesar Rp 110 997 445 852 dan pengembalian investasi (pay back period) pada tahun ke 8. Usaha ini menjadi tidak layak ketika terjadi penurunan input lebih dari 30%. Hadirnya perusahaan pengolah dan pemanfaat limbah B3 menjadi alternatif pemecahan masalah penanganan limbah B3. Keputusan penanganan limbah apakah dengan menyerahkan ke perusahaan pengolah atau dengan menangani sendiri dapat dipertimbangkan dengan pendekatan efektifitas biaya. Dalam kondisi anggaran terbatas, penanganan fly ash apabila dikelola secara mandiri untuk dimanfaatkan menjadi paving block akan lebih efektif dibandingkan jika mengelola secara mandiri karena dari segi biaya pengolahan limbah secara mandiri lebih besar 2,14 kali dibandingkan apabila diserahkan ke pihak ketiga. Apabila berada pada kondisi anggaran tak terbatas, maka mengelola secara mandiri akan menguntungkan karena ada manfaat yang diterima dari penjualan paving block. Rasio biaya penanganan sludge IPAL kertas apabila menyerahkan ke pihak ketiga akan 8.85 kali lebih besar jika dibandingkan menangani sendiri yang artinya, akan lebih efektif jika sludge diolah sendiri dengan memanfaatkannya menjadi low grade paper. Apabila jumlah limbah solvent kurang dari 60 liter maka rasio biaya apabila mengolah sendiri dengan investasi alat penjernih akan 1.022 kali lebih besar jika dibandingkan jika menyerahkan ke pihak ketiga. Sedangkan apabila solvent lebih dari 60 liter, rasio biaya apabila menyerahkan ke pihak ketiga akan 3.26 kali lebih besar jika dibandingkan menangani secara mandiri. Limbah medis akan lebih efektif diserahkan ke pihak ketiga jika limbah berjumlah 1-1177 kg/ hari dan 1281-4007 kg/hari, sedangkan limbah dengan jumlah 1178-1280 kg/ hari dan lebih dari 4007 kg/hari akan lebih efektif jika mengolah sendiri dengan investasi incinerator. Kata kunci : efektivitas biaya, fly ash, limbah medis, pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), sludge, solvent.
ABSTRACT SHARA SANTA YOLENE LUMBANTOBING. Cost-Benfit Analysis of Hazardous Wastes Management Companies and The Effective Wastes Management Scenario. Supervised by AKHMAD FAUZI and KASTANA SAPANLI. The deferment of hazardous wastes management caused by its huge costs become an opportunity for the growth of hazardous wastes utilization and processing services industry. The number of this industry is quite small in Indonesia, therefore this research is trying to know further about the economic feasibility of these wastes management services activities by using benefit and cost analysis, and evaluating its response by changing the possiblity on quantity of wastes changes. It is obtained that these activities would be returned in the 8th year since it is started, with the number of NPV to be Rp 110 997 445 852, IRR to be 17% and Net B/C to be 3 by benefit and cost analysis, so it is feasible to be developed further. It needs to be considered when there is a decrease in number of entry wastes which are more than 30%. The existance of this industry become an alternatif to solve hazardous management problems. By using cost effectiveness analysis, it can be decided which one is the best sollution, wheter wastes should be handled autunomusly/being utilized or by using these services. In limited budgeting condition of fly ash wastes management, handled by these services is more effective because when it is utilized to be paving block its cost is 2,14 times bigger, but in unlimited budgetting condition, utilizing those to be paving block is profitable. Cost ratio for paper sludges which are handled by these services is 8.85 bigger than handled autonomously by utilized to be low grade paper. Handling the number of solvent wastes which are less than 60 liters/day by these services is more effective than investing an purifier machine because its investing cost is 1.022 times bigger, but when it is more than 60 liters/days, the cost ratio for handled by these services is 3,26 times bigger. It is costly more effective to use these services for about 1-1177 kg/day and 1281-4007 kg/day while investing an incinerator is cheaper for 1178-1280kg/day and for more than 4007 kg/day medical wastes management. Keywords: cost effectiveness, fly ash, hazardous wastes management, medical waste, paper sludge treatment, solvent,
ANALISIS BIAYA-MANFAAT PERUSAHAAN PENGELOLA LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN (B3) DAN SKENARIO PENGELOLAAN YANG EFEKTIF
SHARA SANTA YOLENE LUMBANTOBING
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Judul Skripsi : Analisis Biaya-Manfaat Perusahaan Pengelola Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dan Skenario Pengelolaan yang Efektif Nama : Shara Santa Yolene Lumbantobing NIM : H44100029
Disetujui oleh
Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi,M.Sc Pembimbing I
Kastana Sapanli, S.Pi, M.Si Pembimbing II
Diketahui oleh
Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala rahmat dan hikmat yang diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul Analisis Biaya dan Manfaat Perusahaan Pengelola Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dan Skenario Pengelolaan yang Efektif. Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak. Pada kesempatan kali ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1.
Bapak Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc dan Pak Kastana Sapanli,S.Pi, M.Si sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan waktu, tenaga, dukungan dan ilmu dengan penuh kesabaran dan perhatian sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
2.
Bapak Ir. Ujang Sehabudin sebagai dosen penguji utama, dan Ibu Asti Istiqomah, S.P, M.Si sebagai dosen penguji perwakilan departemen.
3.
Among (Emile Lumbantobing, S.H) dan Inong (Osda Situmorang, S.Pd) , Ayu Melinda Tobing, Julio Tobing, Jules Tobing, dan Jordy Tobing, atas motivasi, dukungan, doa, dan semangat yang selalu diberikan tiada henti kepada penulis.
4.
Paktua (S.Sihotang) dan Maktua (Arta Situmorang) atas dukungan, doa, serta perannya menjadi orangtua penulis selama menempuh studi di IPB ini, dan kepada abang-abang sepupu Erik Sihotang, Franky sihotang, dan Kevin Sihotang, serta keluarga besar Op. Prima Situmorang yang telah mengajarkan serta membagikan ilmu dan pengalaman yang sangat memotivasi penulis.
5.
PT. X, Pak Ipeh, Bu Susi, dan Bu Eli yang telah bersedia memberi kesempatan bagi penulis untuk melakukan penelitian, serta informasi dan kerjasamanya.
6.
Yayasan Karya Salemba Empat, sebagai donatur beasiswa selama 20122014, serta bantuan biaya skripsi.
7.
Teman-teman sebimbingan (Daeng Tidar, Amalia R, Amalia E, Bayu, Gita, Cahyono, Raisa), sahabat penulis : Entin, Shiraz, Rival, Viola, Anggrek,
Andreas, Rahmat, Ebes, Tasya, Try, Friska, Dian, Lasria, Fikry, Javit, Lina, Taufiq, Adi, Nana Uswatun, Ayu Amalia, Dea, Fibrianis, Tika, Dila, dan teman-teman seperjuangan ESL 47 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. 8.
Bang Tutur, Bang Immanuel Sibarani, Bang Freedmay, Poltak Marpaung, Bang Charly, Bang Gunawan dan Kak Artha, Santa Maria, Naniek, Vina, Olga, Anastasya, Richardo, Mansur dan Goklas, Kak Aldha, Bang Jastri, Aptyan, Saefihim, Aci, Kiky, dan Radi.
9.
Sahabat-sahabat di Keluarga PARTARU : Kak Tiur, kak Ocy, Bang Agung, Bang Sintong, Bang Riko, Kak Rina, Kak Eva, Kak Sry Bonasi, Kak Vivin, Kak Rya, Kak Getha, Kak Ratna, Kak Saima, Bang Noldy, Bang Jaya, Bang Jise, Bang Murdhanai, dan Bang May, Loly, Artha, Yenni, Afriany, Efris, Dian, Jelita, Badia, Henry, Haposan, Evelyn, Pesta, David, Goklas, Erig, Lasmaria, Hotsetia, April, Erwin, Rijen, Tomy, dan Valentino, Wahyu, Ribkha, Averin, Naomi, Winda, Yemima, dan Aisyah yang selalu memberi dukungan dan motivasi.
10.
Teman-teman di IAAS LC IPB khususnya departemen STD : Utari, Dickky, Kiki, Iqbal, Lusi, Yosephine, Niken, Tachur, PP/Remaja GKPI Tarutung, Komisi Pelayanan Anak, dan PMK IPB.
11.
Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu dalam membantu proses persiapan hingga selesai penyusunan skripsi ini. Semoga Tuhan membalas kebaikan yang telah diberikan.
Bogor, Juli 2014 Shara Santa Yolene Lumbantobing
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL.................................................................................................. vi DAFTAR GAMBAR ...........................................................................................viii DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................viii I. PENDAHULUAN................................................................................................1 1.1 Latar Belakang.......................................................................................1 1.2 Perumusan Masalah...............................................................................4 1.3 Tujuan Penelitian...................................................................................6 1.4 Manfaat Penelitian
......................................................................6
1.5 Ruang Lingkup Penelitian......................................................................7 II. TINJAUAN PUSTAKA......................................................................................8 2.1 Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.................................................8 2.2 Landasan Hukum yang Mengatur Pengelolaan Limbah......................13 2.3 Pendekatan Ekonomi (Economic Approach) dalam Lingkungan........14 2.4 Analisis Biaya dan Manfaat Proyek.....................................................20 2.5 Alternatif Pemilihan Keputusan Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan.................................................................................................21 III. KERANGKA PEMIKIRAN............................................................................23 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis...............................................................23 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional........................................................26 IV. METODOLOGI PENELITIAN ...................................................................28 4.1 Metode Pemilihan Lokasi Penelitian dan Waktu.................................28 4.2 Jenis dan Sumber Data
....................................................................28
4.3 Metode Analisis data............................................................................28 V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN..............................................33 5.1 Gambaran Umum PT. X......................................................................33 5.2 Visi Misi PT.X
................................................................................34
5.3 Keragaan Pengelolaan Limbah B3 di PT.X.........................................35 VI. KELAYAKAN USAHA PENGOLAHAN DAN PEMANFAATAN LIMBAH B3 PT.X.................................................................................................40 6.1 Aspek Pasar..........................................................................................40
6.2 Aspek Teknis........................................................................................44 6.3 Aspek Hukum.......................................................................................49 6.4 Aspek Sosial dan Lingkungan
........................................................52
6.5 Aspek Finansial....................................................................................48 6.6 Analisis Switching value ....................................................................57 6.7 Pertimbangan dalam Pengembangan Usaha Pengelolaan dan Pemanfaatan B3.........................................................................................57 VII. SKENARIO PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN YANG EFEKTIF.....................................................................60 7.1 Pertimbangan dalam Pengelolaan Limbah Batu Bara
....................60
7.2 Pertimbangan dalam Pengelolaan Limbah Sludge IPAL Kertas ........65 7.3 Pertimbangan dalam Pengolahan Solvent ............................................70 7.4 Pertimbangan dalam Pengolahan Limbah Medis ................................72 VIII. SIMPULAN DAN SARAN..........................................................................77 8.1 Simpulan ............................................................................................77 8.2 Saran.....................................................................................................78 DAFTAR PUSTAKA............................................................................................80 LAMPIRAN ..........................................................................................................84 RIWAYAT HIDUP................................................................................................86
DAFTAR TABEL Tabel 1
Jenis industri dan limbahnya.................................................................9
Tabel 2
Komponen Biya...................................................................................29
Tabel 3
Alternatif-alternatif pengelolaan limbah B3........................................31
Tabel 4
Matriks perbandingan alternatif-alternatif pengelolaan Limbah B3 dengan Cost effectiveness Analysis ..............................................32
Tabel 5
Jenis-jenis limbah yang diolah oleh PT.X..........................................36
Tabel 6
Komposisi penggunaan limbah untuk paving block ...........................38
Tabel 7
Komposisi bahan baku untuk pembuatan low grade paper ................39
Tabel 8
Investasi Lahan PT. X .........................................................................44
Tabel 9
Investasi Pengolahan Limbah B3 PT. X .............................................45
Tabel 10
Investasi alat pemanfaatan limbah menjadi paving block PT. X ........46
Tabel 11
Investasi alat pemanfaatan limbah menjadi low grade paper PT.X ...................................................................................................46
Tabel 12
Biaya investasi pengolahan dan pemanfaatan limbah B3 PT.X .........49
Tabel 13
Biaya tetap pengolahan dan pemanfaatan limbah B3 PT.X ...............50
Tabel 14
Biaya operasional pengolahan dan pemanfaatan limbah B3 PT.X .....50
Tabel 15
Hasil kriteria investasi pengolahan dan pemanfaatan limbah B3 PT.X ....................................................................................................53
Tabel 16
Perubahan kriteria kelayakan ketika terjadi perubahan input.........
Tabel 17
Biaya pengelolaan limbah fly ash oleh pihak ketiga ...........................55
Tabel 18
Biaya investasi pemanfaatan limbah batu bara (fly ash) menjadi paving block ........................................................................................56
Tabel 19
Biaya operasional pemanfaatan limbah batu bara (fly ash) menjadi paving block ..........................................................................57
Tabel 20
Biaya pemanfaatan limbah batu bara (fly ash) menjadi paving block berdasarkan jumlah limbah yang dihasilkan .............................58
Tabel 21
Biaya pengelolaan limbah sludge IPAL kertas oleh pihak ketiga .....59
Tabel 22
Biaya investasi pemanfaatan limbah sludge IPAL kertas menjadi low grade paper ....................................................................60
Tabel 23 Biaya operasional pemanfaatan limbah sludge IPAL kertas menjadi low grade paper ....................................................................61
Tabel 24
Biaya pemanfaatan sludge IPAL kertas menjadi low grade paper berdasarkan jumlah limbah yang dihasilkan........................................62
Tabel 25
Biaya pengolahan solvent oleh pihak ketiga .......................................62
Tabel 26
Biaya investasi pengolahan solvent .....................................................63
Tabel 27
Jumlah limbah medis yang dihasilkan berdasarkan jumlah kamar RS .......................................................................................................64
Tabel 28
Biaya pengolahan limbah medis oleh pihak ketiga .............................64
Tabel 29
Tipe incinerator berdasarkan jumlah limbah medis ............................65
Tabel 30
Investasi untuk limbah <160 ...............................................................65
Tabel 31
Investasi untuk limbah 160-800 kg .....................................................65
Tabel 32
Investasi untuk limbah 800-1280 kg .................................................66
Tabel 33
Investasi untuk limbah >1280 kg ......................................................66
Tabel 34
Perbandingan biaya pengolahan limbah medis .................................66
Tabel 35
Keputusan pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun .........67
DAFTAR GAMBAR Gambar 1
World greenhouse gas emissions by sector ......................................10
Gambar 2
Kurva Marginal Abatement Cost .....................................................12
Gambar 3
Teknik pelaksanaan produksi bersih ................................................16
Gambar 4
Hubungan antara penambahan fly ash terhadap kuat tekan paving block ......................................................................................37
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Dokumentasi Penelitian.....................................................................85 Lampiran 2 Arus biaya-manfaat pengolahan dan pemanfaatan B3......................86 Lampiran 3 Analisis switching value : pengaruh perubahan jumlah limbah yang masuk terhadap aktivitas dan pemanfaatan B3................................................................................88
I.
PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang
Kegiatan produksi selain menghasilkan produk utama juga dapat menghasilkan produk sampingan (by-product) yang tidak diinginkan. Produk sampingan ini dikenal dengan limbah, yang dapat berwujud padat, cair, maupun gas. Limbah yang dihasilkan dari kegiatan produksi bersifat organik dan anorganik. Limbah anorganik dapat didegradasi oleh mikroorganisme menjadi bahan yang mudah menyatu kembali dengan alam, sedangkan limbah anorganik adalah limbah yang tidak dapat didegradasi oleh mikroorganisme yang jika tidak diolah atau ditangani akan terakumulasi sehingga menimbulkan masalah, baik bagi lingkungan maupun masyarakat sekitar. Limbah yang tidak berbahaya dapat ditunda penanganannya (misalnya ditimbun atau disimpan) meski dapat menyebabkan polusi dan gangguan kesehatan. Berbeda halnya dengan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Limbah yang dikatakan sebagai B3 adalah bahan yang jumlahnya relatif sedikit tetapi berpotensi untuk merusak sumberdaya dan lingkungan hidup. Limbah B3 ini dihasilkan dari pabrik maupun industri karena banyak digunakan sebagai bahan baku dan dalam kegiatan penunjang industri. B3 ini cukup mengkhawatirkan karena kriterianya yang mudah terbakar, mudah meledak, korosif, bersifat sebagai oksidator dan reduktor yang kuat, serta mudah
membusuk,
sehingga
penanganannya
tidak
dapat
ditunda
(PP No. 19 tahun 1994). Produksi limbah B3 cenderung meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan pertumbuhan sektor industri. Timbulan limbah B3 pada tahun 2012 yang telah dihasilkan dan dikelola dari kegiatan industri pada sektor manufaktur dan jasa, agroindustri, pertambangan dan gas bumi adalah 65 970 612, 24 ton dan akan meningkat di tahun-tahun mendatang. Semenjak ditetapkannya Master Plan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3I), dimana proyeksi Indonesia akan menjadi tujuh besar raksasa ekonomi dunia pada tahun 2050 dengan ratarata pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 6,3% hingga 8,0%, selain memberikan dampak positif bagi pembangunan dan kesejahteraan rakyat, juga
2 berdampak negatif pada timbulan limbah B3. 1 Peningkatan limbah B3 ini adalah implikasi dari peningkatan pertumbuhan sektor
industri dan perekonomian,
karena pertumbuhan industri berbanding lurus dengan penggunaan bahan baku, yang artinya juga berbanding lurus dengan peningkatan jumlah B3, karena menurut EPA (Environmental Protection Agency) limbah yang dihasilkan dari aktivitas industri sebanyak 10-15% adalah limbah yang berbahaya (Polprasert dan Liyanage, 1996). Sifat
berbahaya
pada
limbah
B3
ini
berdampak
negatif
bagi
keberlangsungan lingkungan hidup maupun masyarakat sekitar. Berdasarkan penelitian di Amerika Serikat pada 1980 kematian akibat pencemaran udara (dimana sumber pencemaran udara akibat industri, pembakaran, dan limbah padat sebesar 61,8%) mencapai 51.000 orang dan pada tahun 2000an kematian akibat pencemaran udara akan mencapai 57.000 orang per tahunnya dengan total kerugian materi mencapai 12-16 juta US dollar per tahun. Menurut Bank Dunia, pada 1990 saja, kerugian ekonomi akibat pencemaran lingkungan hidup baik karena pencemaran udara dan air mencapai 500 juta US dollar, sehingga bisa meningkat 2-3 kali lipat dalam 20 tahun terakhir. Sedangkan penyakit yang diakibatkan oleh pencemaran berbagai zat kimia yang termasuk dalam kategori limbah B3 seperti kanker, katarak, gangguan darah, dan kolestrol2. Perhatian pada masalah kerusakan lingkungan dan sumberdaya alam khususnya akibat limbah dan pencemaran tersebut menuntut para pelaku usaha untuk mengambil keputusan yang tidak hanya berorientasi pada keuntungan jangka pendek semata, namun juga pada keberlanjutan di masa mendatang, bukan saja dari sisi profit (keuntungan), tetapi juga people (manusia) dan planet (bumi) atau yang dikenal dengan triple bottom line 3. Perusahaan sebagai pelaku ekonomi berorientasi pada peningkatan profit yang maksimal sebagai bentuk tanggung 1
Kementerian Lingkungan Hidup, 2013 : Bimbingan Teknis (Bintek) Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) di Batam, pada tanggal 18-20 Juni 2013- See more at : http://www.menlh.go.id/bimbingan-teknis-pengelolaan-limbah-b3/#sthash.KvMsizZC.dpuf 2 Pencemaran udara selain akibat oleh aktivitas industri juga disebakan oleh sampah dan kebakaran hutan. Sedangkan pencemaran air selain karena pembuangan limbah termasuk limbah B3, juga terjadi akibat erosi dan pendangkalan sungai dan danau (Keraf, A. Sony. 2010. Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global. Hal 38-40 dan hal.67. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.) 3 Dipopulerkan oleh John Elkington, 1997 dalam “Cannibals With Forks: The Triple Bottom Line Of 21st Century Business” dalam Yusuf Wibisono. 2007. Membedah Konsep dan Aplikasi CSR – Corporate Social Responsibility. Fascho Publishing, Gresik.
3 jawab atas tuntutan para stakeholder. Tetapi di satu sisi para pelaku usaha juga harus memperhatikan orang-orang yang ada disekitarnya, baik itu sumberdaya manusianya maupun masyarakat yang ada disekitarnya, serta menjaga kelestarian lingkungan karena keberlanjutan sistem di sekitar perusahaan juga adalah merupakan keberlanjutan bagi perusahaan itu sendiri. Oleh karena itu limbah yang dihasilkan dari aktivitas usaha pun harus ditangani agar tidak mengganggu keseimbangan sistem. Untuk mengatasi masalah-masalah yang diakibatkan oleh limbah B3 ini, diperlukan serangkaian tindakan penanganan limbah mulai dari pengangkutan, pengolahan, maupun pemanfaatan. Namun, pengelolaan limbah B3 ini masih sering diabaikan karena terkendala pada biaya-biaya investasi yang besar. Pembangunan sistem Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) dan penggunaan incinerator sebagai pemusnah limbah misalnya, selain membutuhkan lahan yang luas, juga membutuhkan teknologi yang canggih. Biaya-biaya investasi ini memiliki resiko pengembalian yang tidak pasti. Tidak hanya biaya investasi, biaya operasional pengelolaan limbah juga cukup besar
karena tingginya biaya
transaksi (pengurusan ijin), uji laboratorium apakah limbah dapat dilepas ke lingkungan, biaya maintanance (perawatan), serta pengontrolan kadar limbah. Laporan “The Cost of Clean Wastes” oleh Department of the Interior U.S 10 Januari 1968 menjelaskan bahwa pengeluaran-pengeluaran seperti biaya investasi dan operasional per satuan limbahnya untuk mengolah limbah- limbah industri hingga berada pada level secondary treatment saja berkisar 2,6-4,6 milliar US dollar selama 1969-1973 (meliputi 1,8-3,6 milliar US dollar untuk pengerjaan pengelolaan limbah yang baru, dan 0,8-10 milliar US dollar untuk mengganti peralatan). Sedangkan untuk biaya pengelolaan dan operasi membutuhkan 3,0-4,4 milliar US dollar, dan akan meningkat pada tahun-tahun mendatang (Nemerow dan Dasgupta, 1991). Data yang ditunjukkan tersebut menggambarkan besarnya biaya yang dikeluarkan, baik untuk investasi modal maupun biaya operasional untuk mengelola permasalahan limbah. Pengelolaan limbah B3 sebenarnya tidak hanya membebani perusahaan atas biaya-biaya yang dikeluarkan. Jika ditangani secara tepat, pengolahan limbah justru akan memberikan manfaat bagi perusahaan itu sendiri maupun masyarakat.
4 Beberapa limbah dapat dimanfaatkan kembali sehingga menjadi bernilai tambah apakah dengan penggunaan kembali (reused) ataupun dimanfatkan menjadi bahan baku pembuatan produk baru (recycling). Selain itu, penanganan limbah dapat meningkatkan efisiensi sumberdaya dan input sehingga dapat menghemat biayabiaya atau meningkatkan penerimaan bersih bagi perusahaan. Tindakan-tindakan ini juga mencegah terjadinya eksternalitas negatif, sehingga dapat menghindari biaya sosial seperti biaya penanggulangan bencana dan kerusakan serta biaya sengketa akibat pencemaran. Namun seperti yang dijelaskan sebelumnya, masalah penanganan limbah ini sering terkendala pada biaya-biaya. Atas dasar pertimbangan biaya-biaya penanganan limbah B3 tersebut, perlakuan pada limbah B3 memerlukan keputusan-keputusan penanganan pada B3 agar alokasi penggunaan sumberdaya-sumberdaya yang sifatnya terbatas dapat mencapai tujuan dengan tepat. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui keputusan, biaya, dan manfaat dari pengelolaan limbah. Penelitian ini berfokus pada pendekatan ekonomi dari pengolahan dan pemanfaatan limbah B3, yaitu pada keuntungan ekonomis jika melakukan serangkaian tindakan tersebut. Pendekatan ekonomis ini diharapkan dapat menjadi insentif bagi para pelaku usaha untuk mempertanggungjawabkan limbah dan lingkungannya secara sukarela tanpa adanya paksaan.
1.2
Perumusan Masalah
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, sifat dan karakteristik B3, dampak eksternalitas negatif yang dapat ditimbulkan, dan kemungkinan peningkatan jumlahnya
di
masa-masa
mendatang
menyebabkan
perlunya
dilakukan
penanganan secara tepat dan sesegera mungkin. Namun, penanganan limbah B3 masih sering diabaikan karena terkendala pada biaya, seperti biaya investasi dan operasional. Selain itu, perusahaan sebagai unit yang berorientasi pada keuntungan, tentu perlu
memperhatikan segala aktivitasnya agar tidak
meningkatkan pengeluaran (termasuk pengelolaaan limbah) yang memberatkan perusahaan, tetapi justru mengharapkan meningkatkan benefit bagi perusahaan, khususnya secara finansial.
5 Adanya berbagai keterbatasan dalam pengelolaan limbah khususnya B3, menjadikan peluang tumbuhnya industri yang bergerak di bidang pengelolaan B3. Pengelola inilah yang akan melakukan serangkaian perlakuan terhadap limbah, mulai dari pengangkutan, pengolahan, hingga pemanfaatan B3. Perusahaan pengelola B3 memperoleh bayaran atas jasa pengolahan limbah dari para pelanggan yakni perusahaan-perusahaan penghasil limbah B3, dan jika limbahlimbah tersebut dimanfaatkan kembali akan ada penerimaan tambahan yang lebih besar dari sekedar mengangkut dan mengolah B3. Kehadiran industri pengelola B3 ini tidak hanya menguntungkan bagi pemerintah maupun perusahaanperusahaan penghasil limbah karena membantu mengatasi permasalahan B3 yang menjadi selama ini menjadi beban, tetapi juga bagi pengelola limbah itu sendiri karena adanya keuntungan dari pembayaran atas jasa-jasa pengelolaan limbah B3 tersebut. Jumlah industri pengelola limbah B3 masih tergolong baru dan sedikit di Indonesia, sehinga perlu dilakukan penelitian lebih jauh tentang usaha dan peluang pengelolaan B3 ini serta aliran biaya dan manfaatnya, sehingga dapat menjadi pertimbangan baik bagi industri pengelola limbah B3 maupun pemerintah untuk mendorong tumbuhnya industri pengelolaan limbah B3 di Indonesia. Kehadiran industri pengelola B3 menjadi alternatif dalam pengelolaan B3 selain dengan mengelola secara mandiri. Jika B3 diolah dan/atau dimanfaatkan secara mandiri (baik untuk dimanfaatkan menjadi bahan baku produk turunan, digunakan kembali, maupun untuk menghasilkan produk baru) maka selain mengurangi dampak negatif limbah yang sifatnya berbahaya dan merugikan, pengelolaan B3 ini juga dapat memberikan tambahan penerimaan bagi perusahaan. Tetapi, alternatif ini akan membutuhkan biaya-biaya investasi dan operasional yang mungkin saja melebihi biaya yang dikeluarkan jika B3 diserahkan ke pihak ketiga. Sebaliknya, jika B3 diserahkan ke pihak ketiga, manfaat yang seharusnya bisa diterima dari pemanfaatan limbah menjadi hilang karena pengelolaannya diserahkan ke pihak ketiga. Setiap alternatif pengelolaan limbah B3 tersebut memiliki kelemahan dan keunggulan masing-masing. Untuk itu, perlu juga dilakukan penelitian efektivitas biaya dalam penilaian skenario pengelolaan limbah B3 yang efektif. Penelitian ini
6 dilakukan di PT. X, salah satu perusahaan yang bergerak dalam bidang pengangkutan, pengolahan, dan pemanfaatan limbah B3. Penelitian ini diharapkan mampu menjawab permasalahan-permasalahan diatas yang tertuang dalam rumusan masalah berikut ini : 1.
Dengan pendekatan analisis biaya-manfaat, bagaimana kelayakan usaha pengolahan dan pemanfaatan limbah B3 oleh PT. X?
2.
Bagaimana efektifitas pemilihan keputusan dalam skenario pengelolaan limbah B3; apakah mengelola secara mandiri atau dengan menyerahkan ke pihak ketiga?
1.3
Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk : 1.
Melakukan penilaian atas kelayakan usaha pengolahan dan pemanfaatan limbah B3 oleh PT. X dengan analisis biaya dan manfaat.
2.
Menilai efektivitas pemilihan keputusan dalam skenario pengelolaan limbah B3; apakah dengan mengelola secara mandiri atau dengan menyerahkan ke pihak ketiga.
1.4 1
Manfaat Penelitian
Dengan dilakukannya penelitian mengenai analisis biaya dan manfaat ekonomi
pengolahan dan pemanfaatan limbah B3 oleh PT. X ini
diharapkan dapat menjadi masukan bagi perusahaan dalam mengambil keputusan dan tindakan dalam keberlanjutan usaha ini. 2
Sebagai bahan referensi bagi perusahan-perusahaan lainnya, khususnya perusahaan yang menghasilkan limbah B3 untuk mengambil keputusan dalam mengelola limbahnya, apakah mengelola secara mandiri atau dengan menyerahkan ke perusahaan pengelola B3.
3
Bagi pemerintah, sebagai referensi dalam membuat kebijakan khususnya kebijakan mengenai pengolahan limbah B3 bagi perusahaan/industri dalam sehingga memberikan insentif bagi perusahaan penghasil limbah B3 untuk mengelola limbahnya.
7 4
Bagi penulis penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan dalam analisis kebijakan ekonomi dan lingkungan dan menerapkan pembelajaran selama di bangku kuliah di kehidupan nyata.
1.5
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini terbatas pada empat jenis pengelolaan limbah B3 yaitu pemanfaatan limbah pembakaran batu bara (fly ash) menjadi paving block, limbah sludge IPAL kertas menjadi low grade paper, pengolahan limbah solvent dan limbah medis. Pengelolaan limbah lain diluar ini tidak menjadi cakupan penelitian penulis. Selain itu keputusan pengelolaan limbah B3 didasarkan pada pendekatan biaya, sehingga faktor-faktor lain yang menjadi pertimbangan perusahan dalam mengelola limbah B3 ini juga tidak dibahas dalam penelitian ini.
8
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) Limbah yang mengandung bahan yang memiliki sifat racun dan berbahaya di sebut dengan limbah B3. Menurut PP No. 19 tahun 1994 karakteristik limbah yang tergolong dalam limbah bahan berbahaya dan beracun yang disingkat dengan limbah B3 adalah mudah meledak, mudah terbakar, bersifat reaktif, beracun, menyebabkan infeksi, korosif, bersifat sebagai oksidator dan reduktor yang kuat, serta mudah membusuk. Limbah ini pada umumnya dihasilkan dari aktivitas pabrik dan industri. Menurut EPA (US Environmental Protection Agency), dari limbah-limbah yang dihasilkan oleh aktivitas industri sebanyak 1015% adalah limbah yang berbahaya (Polprasert dan Liyanage, 1996). Meskipun limbah B3 hanya sebagian kecil dari jumlah limbah, tapi berpotensi lebih besar untuk membahayakan manusia, sehingga penanganannya tidak dapat ditunda. 2.1.1 Klasifikasi Limbah dan karakteristiknya. Berdasarkan nilai ekonominya, limbah dibagi menjadi limbah yang bernilai ekonomis dan yang tidak bernilai ekonomis. Limbah yang bernilai ekonomis akan memiliki nilai tambah jika diolah kembali, sedangkan limbah non ekonomis adalah limbah yang tidak akan memberi nilai tambah meskipun telah diproses.Sementara itu, berdasarkan karakteristiknya, limbah dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu limbah padat, cair, dan gas (Kristanto, 2004). 2.1.1.1 Limbah Cair Pada dasarnya, limbah air tidak memberi efek pencemaran sepanjang kandungannya tidak membahayakan. Persoalan penting dalam pengelolaan ini adalah bagaimana agar bagaimana mengolah limbah sebelum dibuang dan kemana dibuangnya (Ginting, 2007). Limbah cair dihasilkan dari proses pengolahan karena menggunkan air sebagai bahan baku produksinya, dari bahan baku yang mengandung air, maupun air ikutan seperti proses pencucian, pendinginan mesin, maupun pengecoran. Sehingga air ini harus dibuang dalam volume yang cukup besar. Air buangan ini membawa sejumlah padatan dan partikel baik yang terlarut maupun mengendap, sehingga membuat air menjadi terkontamnasi oleh B3. Jenis industri yang
9 menghasilkan limbah cair di antaranya adalah industri pulp dan rayon, pengolahan crumb rubber, besi dan baja, kertas, minyak goreng, tekstil, elektroplating, plywood dan lain lain. (Kristanto, 2004). Karena limbah cair berpotensi merugikan makhluk hidup dan lingkungan, permasalahan pencemaran air akibat limbah cair harus ditanggulangi dan para penanggung jawab usaha yang melakukan pencemaran wajib melakukan pemulihan. Jika pencemaran ini dibiarkan, maka akan dikenakan ancaman pidana (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air). 2.1.1.2 Limbah Gas dan Partikel Limbah gas dan partikel adalah limbah yang dibuang ke udara, yang terbawa angin sehingga memperluas jangkauan pemaparannya. Bahan-bahan tersebut bercampur dengan udara basah sehingga massa partikel bertambah dan pada malam hari turun ke tanah bersama-sam embun. Ketika bahan-bahan ini dilepas, maka terjadi penambahan unsur gas udara yang melapaui batasnya sehingga kualitasnya menurun. Limbah yang terjadi dapat disebabakan oleh reaksi kimia, kebocoran gas, maupun penghancuran bahan. Jenis industri yang menjadi sumber pencemaran udara adalah industri besi dan baja, semen, kendaraan bermotor, pupuk, aluminium, pembangkit tenaga listrik, kertas, kilang minyak, dan pertambangan. Beberapa jenis industri yang menghasilkan limbah gas dan partikel dapat dilihat pada Tabel 1 (Kristanto,2004). Tabel 1 Jenis industri dan limbahnya No 1.
Jenis Industri Industri Pupuk
2.
Industri Pangan (ikan, daging, bir, minyak) Industri pertambangan (mineral), semen, aspal, kapur, batu bara, karbida, serat gelas Industri metalurgi (tembaga, baja, seng, timah hitam, aluminium)
3. 4.
5. 6.
Industri kimia (sulfat, serat rayon, PVC, amonia, cat dan lain-lain) Industri pulp
Sumber: Kristanto (2004)
Jenis Limbah Uap asam, NH3, bau partikel Hidrokarbon, bau, partikel, CO, H2S, dan Uap Asam NOx, SOx, CO, hidrokarbon, bau, partikel NOx, SOx, CO, hidrokarbon, H2S, klor, bau, dan partikel CO, hidrokarbon, NH3, bau, dan partikel SOx, CO, NH3, H2S, dan bau
10 Beberapa senyawa yang dihasilkan dari kegiatan industri di atas bertanggung jawab pada pemanasan global, yaitu karbondioksida (CO2), metana (CH4), dan Nitrousoksida (N2). Akumulasi senyawa-senyawa ini mengakibatkan penebalan gas di permukaan bumi, sehingga mengakibatkan peningkatan suhu di bumi dan menyebabkan kekacauan iklim di permukaan bumi. Pada gambar di bawah ini, dijelaskan bahwa kontribusi limbah industri, proses industri, dan limbah mencapai 17,4% terhadap pemanasan global.
Gambar 1 World greenhouse gas emissions by sector. 4
Dampak
pencemaran
lingkungan
sebenarnya
tidak
semata-mata
disebabkan oleh aktivitas industri dan teknologi, namun juga faktor lain yang menunjang kegiatan produksi tersebut seperti faktor penyedia listrik, yang merupakan salah satu faktor penyerap terbesar pemakaian bahan bakar fosil seperti batu bara dan minyak bumi. Dari bentuk-bentuk pencemar udara, sekitar 75%-nya adalah berasal dari pemakaian bahan bakar fosil (Wardhana,1995).
4
World Greenhouse Gas Emissions by Sector. Diunduh di : http://maps.gri da.no/go/grap hic/world- greenhouse- gas-emission s-by-sector2, pada 12 Februari 2014
11 2.1.1.3 Limbah Padat Limbah padat adalah hasil buangan industri yang berupa potongan kayu, serpihan logam, lumpur, kerak kotoran, kertas, serta debu yang sukar dihindari karena sifat alami bahan baku tersebut yang tidak dapat diolah seratus persen menjadi produk jadi. Sumber-sumber limbah padat adalah pabrik plywood yang menghasilkan limbah kayu, abu pembakaran dari ruang boiler, lumpur dari treatment pulp dan rayon, serta kemasan-kemasan pembungkus. (Ginting, 2007). Menurut Kristanto (2004), secara garis besar limbah padat dapat diklasifikasikan sebagai berikut : •
Limbah padat yang mudah terbakar
•
Limbah padat yang sukar terbakar
•
Limbah padat yang mudah membusuk
•
Debu
•
Lumpur
•
Limbah yang dapat didaur ulang
Sedangkan berdasarkan klasifikasi limbah padat serta akibat-akibat yang ditimbulkannya dibedakan menjadi : •
Limbah padat yang dapat ditimbun tanpa membahayakan
•
Limbah padat yang dapat ditimbun tetapi membahayakan
•
Limbah padat yang tidak dapat ditimbun
2.1.2 Biaya Pengendalian dan Penanggulangan Pencemaran Untuk proyek-proyek yang menyangkut pengolahan dan pemanfaatan limbah, terdapat biaya pengendalian dan penanggulangan pecemaran. Oleh karena pencemaran merupakan fenomena yang akan tetap ada sebagai akibat aktivitas ekonomi, maka dari prinsip ekonomi sumberdaya jalan terbaik adalah bagaimana mengendalikan pencemaran ke tingkat yang paling efisien. Efisien yang dimaksud adalah Pareto improvement yang mengharuskan tidak ada pihak yang memperoleh keuntungan dari pencemaran tersebut (Fauzi, 2006). Biaya penanggulangan pencemaran
merupakan
biaya-biaya untuk
mengurangi volume limbah yang dibuang kedalam lingkungan, atau untuk memperkecil konsentrasi ambien. Biaya kegiatan pengolahan limbah dan
12 manajemennya disebut dengan biaya penanggulangan limbah (abatement cost). Hubungan antara volume limbah dengan biaya dijelaskan pada Gambar 2.
Pada Gambar 2 dijelaskan bahwa sumbu horisontal menunjukkan volume limbah yang dibuang dan sumbu vertikal menunjukkan besarnya biaya yang dikeluarkan untuk menanggulangi dampak pencemaran. Pada sumbu horisontal kurva biaya dimulai dari tingkat emisi yang tidak terkendalikan yaitu sebelum adanya upaya penanggulangan pencemaran sama sekali. Itu sebabnya kurva miring dari kanan bawah ke kiri atas,yang menggambarkan peningkatan biaya marjinal penanggulangan biaya pencemaran. Pada titik F pada BPM0 dengan biaya pencemaran setinggi OB0 volume limbah yang dibuang sebanyak OE0 dan dengan biaya penanggulangan yang lebih rendah dari OB1 volume limbah yang terbuang menjadi OE1. Tinggi rendahnya biaya dipengaruhi oleh jenis limbah yang terbuang, teknologi, dan kemampuan manajerial. Misalnya untuk menanggulangi pencemaran hingga berada pada tingkat E1 memerlukan biaya yang lebih tinggi yaitu setinggi E1 H atau OB11 pada kurva BPM1 (Suparmoko, 2000). Menurut Kristanto 2004, biaya pengendalian dan penanggulangan pencemaran terdiri dari: •
Biaya pengadaan lokasi
•
Biaya pengadaan peralatan
•
Biaya tenaga listrik dan tenaga kerja
13 •
Biaya bahan penolong (bahan kimia, bakteri, dan lain-lain)
•
Biaya pemeliharaan
•
Biaya instalasi, bangunan, dan transportasi.
2.2
Landasan Hukum yang Mengatur Pengelolaan Limbah B3
Pelaksanaan pengelolaan limbah B3 harus dilakukan sesuai dengan dasar peraturan yang berlaku. Berikut ini adalah peraturan-peraturan yang mengatur pengelolaan B3 : 1.
Menurut Kementerian Lingkungan Hidup, rancangan peraturan pemerintah mengenai Limbah B3, Pengelolaan Limbah B3, dan Dumping B3 dilakukan berdasarkan UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yaitu: a.
PP tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun seperti yang diamanatkan dalam Pasal 58 ayat (2) UU 32/2009.
b.
PP tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun seperti yang diamanatkan dalam Pasal 59 ayat (7) UU 32/2009.
c.
PP Dumping Limbah seperti yang diamanatkan dalam Pasal 60 ayat (3) UU 32/20095.
2.
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun: -
Pasal 47 ayat (1) menjelaskan bahwa pengawasan pengelolaan limbah B3 dilakukan oleh Menteri dan pelaksanaannya diserahkan pada insatansi yang bertanggunga jawab (Bapedal).
-
Pasal 47 ayat (2) menjelaskan bahwa pengawasan di ayat (1) meliputi pemantauan terhadap penataan persyaratan serta ketentuan teknis dan administratif oleh penghasil, pemanfaat, pengumpul, pengangkut, pengolah dan penimbun limbah B3.
-
Pasal 47 ayat (3) dan (4) menjelaskan bahwa tata laksana ditetapkan oleh Bapedal dan pengawas bertanggung jawab pada Kepala Daerahtingkat I dan/atau Tingkat II.
5
See more at: http://www.menlh.go.id/rancangan-peraturan-pemerintah-rpp-tentang-pengelolaanbahan-berbahaya-dan-beracun-b3-limbah-b3-dan-dumping-limbah-b3/#sthash.zg4RZhPt.dpuf
14 3.
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor: Kep-01/Bapeda/09/1995 tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Penyimpanan dan pengumpulan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
4.
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor: Kep-02/Bapeda/09/1995 tentang Dokumen Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
5.
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor: Kep-03/Bapeda/09/1995 tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
6.
Keputusan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
Nomor:
1204/MENKES/SK/X/2004 Tahun 2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit. 7.
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.18 Tahun 2009 tentang Tata Cara Perizinan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
8.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
9.
Keputusan Bapedal No.03 Tahun 1995, tentang Standar Emisi Buangan Incinerator.
10.
Peraturan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Tahun 2007 tentang Jenis-jenis Bahan Berbahaya dan Beracun.
2.3 Pendekatan Ekonomi (Economic Approach) dalam Penataan dalam Hukum Lingkungan Menurut Husin 2009, pendekatan ekonomis adalah suatu pendekatan yang menekankan kepada keuntungan ekonomis yang akan diperoleh oleh pemilik kegiatan bila memenuhi persyaratan lingkungan. Pendekatan ini adalah faktor perangsang, karena pemilik kegiatan akan : a.
terhindar dari biaya penalti
b.
terhindar dari biaya ganti rugi yang mungkin harus ditanggungnya di masa yang akan datang; dan
c.
menghemat pengeluaran karena menggunakan praktik efisiensi biaya yang bersahabat dengan lingkungan.
15 Instrumen-instrumen pendekatan ekonomi adalah sebagai berikut: 2.3.1 Insentif ekonomi Dari sudut pandang ekonomi, instrumen ini sangat efektif dalam mencapai penataan. Insentif ekonomi dapat berupa pembebasan pajak, subsidi, dan sebagainya, atau sebaliknya berupa pungutan bagi pelaku yang tidak taat. (Husin, 2009). Penetapan pajak adalah salah satu instrumen yang dilakukan pemerintah untuk mendorong perilaku ekonomi swasta dalam meperbaiki kualitas lingkungan sehingga menghemat biaya pencegahan dan pengawasan. Penetapan pajak atau yang dikenal dengan istilah polluter pays-principle ini (PPP) pertama kali diperkenalkan pada 1970an, yang mengharuskan para polluter menanggung biayabiaya pengurangan pencemaran seperti biaya pengadaan infrastruktur pengendali pencemaran (Luken,
2009).
teknologi dan
Sedangkan subsidi
merupakan otoritas publik membayar sejumlah uang sebagai imbalan upaya pengurangan emisi oleh polluter (Field, 1994). Insentif ekonomi merupakan instrumen yang lebih efektif dari segi biaya jika dibandingkan dengan kebijakan command and control (CAC) karena mengurangi biaya sosial (Blackman, 2009). Blackman juga menjelaskan bahwa menurut Panayatou (1993), insentif ekonomi lebih menguntungkan dibandingkan dengan CAC di negara-negara berkembang karena dapat merasakan manfaat dengan biaya paling kecil, yang menjadi vital bagi negara-negara berkembang yang memiliki keterbatasan sumberdaya. 2.3.2 Produksi Bersih (Cleaner Production) Produksi bersih atau cleaner production (CP) pertama kali diperkenalkan oleh UNEP (United Nations environment Programme) pada 1994. Produksi bersih adalah usaha perlindungan lingkungan terintegrasi yang kontinu mulai dari strategi proses, produk dan jasa, peningkatan efisiensi, dan pengurangan resiko pada manusia dan lingkungan. CP adalah “win-win sollution” bagi perusahaan untuk mengurangi biaya operasional dan melaksanakan tanggung jawab lingkungan seperti minimisasi penggunaan energi, air, dan material, serta penanganan masalah limbah dan pencemaran (Berkel, 2010).
16 Di Indonesia produksi bersih diperkenalkan oleh Bappedal. Produksi bersih ini merupakan upaya preventif secara terus menerus pada proses produksi dengan prinsip peningkatan efisiensi dan efektivitas penggunaan bahan baku, energi, dan sumberdaya lainnya. Produksi bersih tidak harus pemanfaatan semua sisa produksi hingga limbah mencapai nol, karena tidak ada sistem yang 100% efisien. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup, teknik-teknik pelaksanaan produksi bersih dapat dilakukan dengan berbagi cara, seperti yang di tunjukkkan pada Gambar 2 :
Gambar 2 Teknik pelaksanaan produksi bersih
Penerapan produksi ini akan memberikan keuntungan, berupa : a.
Penggunaan sumberdaya alam secara lebih efektif dan efisien, sehingga lebih menghemat biaya
b.
Mengurangi dan mencegah terbentuknya bahan pencemar
c.
Mencegah berpindahnya pencemar dari satu media ke media lain
d.
Mengurangi terjadinya resiko terhadap kesehatan dan lingkungan
e.
Mendorong dikembangkannnya teknologi pengurangan limbah pada sumbernya
f.
Mengurangi biaya penataan hukum
g.
Terhindar dari biaya pembersihan lingkungan (clean-up)
h.
Produk dapat bersaing di pasar internasional
i.
Bersifat fleksibel dan sukarela
17 Penggunaan kembali limbah B3 baik yang digunakan oleh penghasil limbah baik untuk dijadikan produk baru, maupun digunakan untuk kegiatan produksi yang sama, adalah satu bentuk dari produksi bersih, yang selain meningkatkan efisensi penggunaan sumberdaya dan input, juga mengurangi limbah termasuk limbah B3 serta menjadi nilai tambah bagi perusahaan 6. Pemanfaatan limbah B3 seperti pemanfaatan fly ash menjadi paving block dan limbah sludge menjadi low grade paper adalah salah satu bentuk penerapan produksi bersih yang memberikan nilai tambah ekonomis bagi perusahaan. 2.3.3 Tradeable Permits Tradeable Permits adalah bentuk instrumen yang memungkinkan pelaku usaha yang telah lebih baik dari persyaratan lingkungan yang harus dicapai, dapat membeli ijin pencemar dari industri lain, sehingga dapat menaikkan produksinya keuntungan ekonomis yang lebih besar karena kepatuhannya. Mekanisme ini dilakukan dengan penetapan jenis kegiatan dan alokasi ijin oleh pemerintah, lalu pelaksanaan penukaran diserahkan pada pasar (Husin,2009). 2.3.4 Performance Bond Bentuk dari instrumen ini adalah adanya uang jaminan yang diserakan oleh pemilik usaha pada pemerintah, yang akan dikembalikan jika perusahaan mengeola lingkungan dengan baik. Contohnya adalah dana reklamasi di sektor kehutanan (Husin, 2009). 2.3.5 Dana Dedikasi Lingkungan Dana dedikasi lingkungan adalah dana yang harus dibayar oleh pemilik usaha kepada pemerintah atas jasa lingkungannya, sehingga dapat digunakan untuk perbaikan/peningkatan mutu lingkungan seperti reboisasi (Husin,2009). 2.3.6 Pendanaan Lingkungan 7 Pendanaan lingkungan adalah salah satu bentuk program yang dilakukan untuk mendorong para pelaku usaha penghasil limbah untuk melakukan serangkaian tindakan yang bertujuan untuk pengendalaian pencemaran dan menciptakan liingkungan yang lebih baik. Di Indonesia, bentuk pendanaan 6 7
Kementerian Lingkungan Hidup. Produksi Bersih. Buletin Kementerian Lingkungan Hidup. Insentif dan Pendanaan Lingkungan. Buletin
18 lingkungan yang telah ada misalnya pinjaman lunak dan pembebasan bea masuk alat-alat yang digunakan untuk mengendalikan pencemaran. Upaya-upaya ini diharpakan dapat mendorong baik usaha kecil, menengah, dan besar untuk melakukan tindakan-tindakan pencegahan pencemaran. Pembebasan bea masuk atas impor peralatan dan bahan yang digunakan untuk mencegah pencemarag lingkungan adalah program kerja sama dengan Departemen Keuangan cq. Ditjen Bea Cukai untuk membebaskan bea masuk seperti pengendalian pencemaran limbah cair (aerator, belt press, chemical pump, chemical tank, return sludge pump, submersible pump, pH control, decanter, air blower, biocoal, dan screen), pengendalian pencemaran udara (electrostatic precipitator, continuous electromagnetic). Program pinjaman lunak lingkungan telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Negara Lingkungan Hidup bekerja sama dengan pemerintah Jepang dan Jerman. Bentuk-bentuk pinjaman lunak yang saat ini ditawarkan adalah JBIC-PAE, IEPC-KfW I, IEPC-KfW II,dan Debt for Nature Swap. 1.
JBIC-PAE (Japan Bank for International Cooperation Pollution Abatement equipment) Program ini adalah bantuan dari pemerintah Jepang yang memberikan
bantuan pinjaman lunak bagi perusahaan-perusahaan di Indonesia dalam investasi bidang pencegahan dan pengendalian pencemaran, serta efisiensi produksi. Bentuk investasi misalnya IPAL untuk mengolah limbah tekstil, peralatan produksi bersih utnuk industri tekstil, ataupun peralatan daur ulang limbah. Bentuk pinjamannya : dana tidak dibatasi, suku bunga pinjaman SBI, masa pengembalian 3-20 tahun, masa tenggang waktu pembayaran bunga dan pokok 03 tahun. 2
IEPC-KfW I (Industrial Efficiency and Pollution Control-Kreditandstalt fur Wiederaufbau) Program ini adalah bantuan dari pemerintah Jerman yang memberikan
bantuan pinjaman lunak bagi usaha kecil dan menengah (UKM) nasional yang memiliki aset kurang dari 8 milyar dalam investasi bidang pencegahan dan pengendalian pencemaran, efisiensi produksi, serta bantuan teknis. Bentuk
19 pinjamannya : jumlah maksimum pinjaman 3 milyar, suku bunga pinjaman 9-14%, masa pengembalian 3-10 tahun, masa tenggang waktu pembayaran bunga dan pokok 0-3 tahun. 3
IEPC-KfW II (Industrial Efficiency and Pollution Control-Kreditandstalt fur Wiederaufbau tahap II) Program ini adalah bantuan dari pemerintah Jerman yang memberikan
bantuan pinjaman lunak bagi usaha kecil dan menengah (UKM) nasional yang memiliki aset kurang dari 10 milyar dalam investasi bidang pencegahan dan pengendalian pencemaran seperti bahan kimia dan suku cadang , efisiensi produksi, serta bantuan teknis. Bentuk pinjamannya : jumlah maksimum pinjaman 5 milyar, suku bunga pinjaman tergantung pada bank penyalur masa pengembalian 3-10 tahun, masa tenggang waktu pembayaran bunga dan pokok 01 tahun. 4
IEPC-KfW II (Industrial Efficiency and Pollution Control-Kreditandstalt fur Wiederaufbau tahap II) Program ini adalah bantuan dari pemerintah Jerman yang memberikan
bantuan pinjaman lunak bagi usaha kecil dan menengah (UKM) nasional yang memiliki aset kurang dari 10 milyar dalam investasi bidang pencegahan dan pengendalian pencemaran seperti bahan kimia dan suku cadang , efisiensi produksi, serta bantuan teknis. Bentuk pinjamannya : jumlah maksimum pinjaman 5 milyar, suku bunga pinjaman tergantung pada bank penyalur masa pengembalian 3-10 tahun, masa tenggang waktu pembayaran bunga dan pokok 01 tahun. 5
Debt for Nature Swap. Program ini adalah bantuan dari pemerintah Jerman yang memberikan
bantuan pinjaman lunak bagi usaha kecil dan mikro dalam investasi bidang pencegahan dan pengendalian pencemaran seperti bahan kimia dan suku cadang , efisiensi produksi, serta bantuan teknis. Bentuk pinjamannya : jumlah maksimum pinjaman 500 juta dengan sistem bagi hasil, suku bunga pinjaman tergantung pada bank pelaksana. Masa pengembalian 3-7 tahun, masa tenggang waktu pembayaran bunga dan pokok 0-1 tahun.
20 2.4 Analisis Biaya dan Manfaat Proyek Proyek adalah suatu kegiatan yang mengeluarkan uang/ biaya-biaya dengan harapan memperoleh hasil. Analisa proyek baik dari segi biaya maupun manfaat perlu dilakukan karena pelaksanaan proyek melibatkan pengunaan sumberdaya yang jumlahnya terbatas, sehingga perlu keputusan pengeloaan yang tepat sehingga dapat mencapai tujuan yang diinginkan di masa mendatang (Gittinger, 1986). Analisis biaya dan manfaat adalah suatu metode
yang
digunakan untuk membandingkan keuntungan dan kerugian ekonomi dari beberapa alternatif proyek. Untuk menjalankan proyek, perlu mempertimbangkan beberapa hal karena pelaksanaan proyek melibatkan penggunaan sumberdaya yang terbatas, dan mungkin dilakukan dalam jangka waktu yang tidak singkat. Pertimbangan-pertimbangan dalam pelaksanaan proyek adalah : a) Discounting Dalam perencanaan proyek, perlu diidentifikasi semua untung dan ruginya selama masa hidup proyek. Artinya, jika proyek direncanakan eksis untuk jangka waktu yang cukup lama, maka perlu mempertimbangkan berapa nilai masa kini jika dihitung di masa depan, atau berapa nilai di masa mendatang jika dinilai di masa kini. Untuk hal itu, penting menentukan tingkat suku bunga yang digunakan untuk menghitung. Konsekuensi dengan adanya teknik discounting ini adalah menurunnya nilai-nilai keuntungan di masa mendatang menjadi berkurang di masa kini, sehingga meningkatkan perspektif jangka pendek yakni tidak memberikan banyak insentif bagi para penganalisis untuk emmpertimbangkan keadilan lintas generasi. (Mitchell et al, 2010) Agar dapat memanfaatkan discounting, perlu dua persyaratan yaitu semua variabel memiliki satuan yang sama, dan asumsi bahwa biaya dan manfaat sekarang lebih tinggi daripada di waktu yang akan datang. (Dixon dan Maynard, 1991) Tingkat diskonto adalah biaya marjinal perusahaan, yaitu ukuran tingkat kemampuan perusahaan untuk dapat meminjam uang (Gittinger, 1986).
21 b) Tingkat suku bunga Pilihan tingkat suku bunga sangat penting, karena tingkat suku bunga yang rendah akan menurunkan nilai saat ini dari keuntungan di masa depan, dan sebaliknya jika suku bunga tinggi, maka nilai saat ini menjadi lebih rendah dan berkurang (Mitchell et al, 2010). c) Tidak Terukur Dalam pelaksanaan proyek tidak semua biaya dan mnfaat yang dihasilkan akibat adanya proyek tersebut dapat dikuantifikasikan, seperti kepuasan dan kesenangan masyarakat akibat adanya proyek atau keuntungan kesehatan dari hutan tropis. (Mitchell et al, 2010). d) Sunk Cost Sunk cost atau biaya-biaya yang tidak diperhitungkan adalah biaya-biaya yang dikeluarkan pada waktu yang lampau yang didasarkan pada suatu usulan investasi baru (Gittinger, 1986). Biaya ini tidak diperhitungkan dalam proyek dan tidak mempengaruhi pilihan proyek. 2.5
Alternatif Pemilihan Keputusan Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Dalam pengambilan keputusan terkait pengelolaan sumberdaya dan
lingkungan, muncul banyak alternatif pilihan yang diakibatkan oleh kondisi, kebutuhan, nilai, asumsi, dan kriteria. Salah satu cara yang digunakan untuk membandingkan alternatif-alternatif adalah dengan menganalisis untung dan ruginya. Analisis ini tidak menghasilkan keunggulan absolut dari pemilihan alternatif, namun menilai sisi yang paling efisien (Mitchel et al, 2010). Pengambilan keputusan terhadap alternatif-alternatif pengelolaan limbah menjadi penting karena menyangkut sumberdaya yang terbatas, yang jika digunakan untuk kegiatan lain mungkin akan memberikan manfaat dan pengembalian yang menjadi hilang akibat adanya kegiatan itu. Sehingga berbagai faktor menjadi bahan pertimbangan untuk memutuskan alternatif mana yang paling tepat digunakan khususnya dalam masalah pengelolaan limbah. Menurut Alumur (2007), permasalahan dalam penanganan limbah B3 adalah bagaimana memastikan keselamatan, efisiensi dan efektifitas biaya, pengangkutan, dan
22 perawatan. Dari perspektif pelaku usaha, penanganan limbah B3 yang terbaik adalah dengan pendekatan biaya yang terkecil, sedangkan dari pemerintah adalah dengan alternatif dengan resiko terkecil. Untuk menentukan pilihan atas alternatif-alternatif dalam pengeleloaan limbah, faktor yang paling sering diperhitungkan selain efisiensi dan manfaat, perlu mempertimbangkan biaya. Bila biaya akibat penggunaan limbah melebihi keuntungannya, maka penting untuk mempertimbangkan apakah tindakan lebih murah dan memadai, atau tidak usah menggunakan limbah sama sekali (Mara dan Cairncross, 1994). Dalam hal pengelolaan limbah, perlu mempertimbangkan apakah limbah memiliki peluang untuk didaur ulang atau digunakan kembali, karena dari pertimbangan tersebut dapat diambil keputusan penanganan limbah, manakah yang paling efektif baik dari segi nilai maupun biaya (Rubinstein, 2012). Salah satu alat yang digunakan dalam menilai alternatif keputusan pengelolaan sumberdaya dan lingkungan adalah Cost of Effectiveness Analysis (CEA). CEA mirip dengan anlasis biaya dan manfaat proyek, namun CEA digunakan dalam kondisi-kondisi dengan keterbatasan untuk menganalisis output yang dihasilkan dari berbagai kombinasi input sehingga bisa menghasilkan biaya terendah atau dengan sejumlah biaya tertentu dapat menghasilkan output terbaik. Menurut Dixon dan Suherman dalam Haqq (2009), CEA berfokus pada konsep least cost dalam proyek sosial dan lingkungan, karena pada proyek-proyek tersebut manfaat dalam mencapai tujuan sulit untuk dinilai. Dengan kata lain, proyek-proyek yang tidak memberikan manfaat yang dapat dikuantifikasikan secara moneter –seperti proyek kesehatan, pendidikan, dan lingkungan—dapat dipertimbangkan dengan prinsip biaya terendah.
23
III.
KERANGKA PEMIKIRAN
3.1
Kerangka Pemikiran Teoritis
Kerangka teoritis berisi tentang teori-teori yang dapat digunakan untuk membantu perhitungan dan pemecahan masalah. Teori-teori yang mendukung dalam penelitian ini adalah : 3.1.1 Perhitungan Kelayakan Proyek Perencanaan dan pelaksanaan proyek melibatkan sumberdaya-sumberdaya yang jika dimanfaatkan untuk kegiatan lain akan menghasilkan manfaat yang berbeda yang mungkin diterima, sehingga perlu dilakukan perhitungan kelayakan agar menghindari pengorbanan sumberdaya yang tidak berguna. Selain itu, proyek pada umumnya dilaksanakan dalam jangka waktu yang lama, sehingga perlu dilakukan penilaian agar mengetahui keberlangsungan proyek dimasa kini hingga di masa mendatang, termasuk dampak perubahan-perubahan di luar proyek terhadap keberlangsungan proyek. Kriteria pengukuran kelayakan investasi meliputi Net Present Value (NPV), Rasio Manfaat-Biaya (B/C), Internal Rate Return (IRR). 1
Net Present Value Proyek yang efisien adalah proyek yang manfaat yang akan diterima lebih
besar dari pada biaya yang diperlukan. Nilai bersih dikenal juga dengan harga sekarang bersih, sehingga NPV menentukan nilai sekarang manfaat bersih dengan mendiskontokan aliran dan biaya kembali padaa awal tahun dasar (Dixon dan Maynard, 1991) . Rumus perhitungannya adalah : NPV= ∑𝑛𝑛𝑡𝑡=1
atau
dengan :
NPV= ∑𝑛𝑛𝑡𝑡=1
𝐵𝐵𝐵𝐵
(1+𝑟𝑟)𝑡𝑡
𝐵𝐵𝐵𝐵 −𝐶𝐶𝐶𝐶
(1+𝑟𝑟)𝑡𝑡
-∑𝑛𝑛𝑡𝑡=1
𝐶𝐶𝐶𝐶
(1+𝑟𝑟)𝑡𝑡
NPV
= nilai bersih sekarang
r
= tingkat diskonto dan bunga
n
= banyaknya tahun yang terlibat dalam jangka waktu ekonomi
24 t
= tahun yang bertalian dengan kegiatan, yang ditulis dalam bentuk 0,1,2,…,n
Bt
= manfaat dalam tahun
Ct
=biaya dalam tahun Proyek akan layak untuk dilaksanakan jika nilai NPV≥0 artinya, nilai
manfaat yang diterima lebih besar dari biaya. Semakin besar NPV nya, maka proyek semakin baik. 2
Rasio Manfaat-Biaya (B/C) Rasio manfaat-biaya membandingkan manfaat yang didiskontokan dengan
biaya yang didiskontokan. Bila rasio B/C sama dengan 1, proyek akan menghasilkan manfaat bersih sebesar nol sepanjang masa proyek, dan bila kurang dari 1 maka proyek rugi dari perspektif ekonomi. (Dixon dan Maynard, 1991) B/C = dengan :
𝐵𝐵𝐵𝐵 (1+𝑟𝑟)𝑡𝑡 𝐶𝐶𝐶𝐶 ∑𝑛𝑛𝑡𝑡=1 (1+𝑟𝑟)𝑡𝑡
∑𝑛𝑛𝑡𝑡=1
B/C
= rasio manfaat-biaya
r
= tingkat diskonto dan bunga
n
= banyaknya tahun yang terlibat dalam jangka waktu ekonomi
t
= tahun yang bertalian dengan kegiatan, yang ditulis dalam bentuk 0,1,2,…,n
Bt
= manfaat dalam tahun
Ct
=biaya dalam tahun
3
Internal Rate Return (IRR) Tingkat hasil Intern (IRR) didefinisikan sebagai tingkat hasil investasi
yang menyamakan nilai sekarang manfaat dan biaya. Persamaan IRR ditunjukkan dengan :
atau
IRR= ∑𝑛𝑛𝑡𝑡=1 IRR= ∑𝑛𝑛𝑡𝑡=1
𝐵𝐵𝐵𝐵
𝐵𝐵𝐵𝐵 +𝐶𝐶𝐶𝐶
(1+𝑟𝑟)𝑡𝑡
(1+𝑟𝑟)𝑡𝑡
=0
= ∑𝑛𝑛𝑡𝑡=1
𝐶𝐶𝐶𝐶
(1+𝑟𝑟)𝑡𝑡
25 dengan : IRR
= nilai bersih sekarang
r
= tingkat diskonto dan bunga
n
= banyaknya tahun yang terlibat dlam cakrawala waktu ekonomi
t
= tahun yang bertalian dengan kegiatan, yang ditulis dalam bentuk 0,1,2,…,n
Bt
= manfaat dalam tahun
Ct
=biaya dalam tahun
IRR adalah tingkat diskonto yang menghasilkan nilai sekarang bersih suatu proyek sama dengan nol. Apabila IRR yang dihitung 15 persen dan biaya dana 10 % (IRR > r) maka proyek layak dijalankan, dan sebaliknya. IRR sematamata menemukan nilai r yang memenuhi persyaratan nilai bersih sekarang sama dengan nol (Dixon dan Maynard, 1991).
4 Payback Period Payback period adalah analisa yang digunakan untuk mengetahui kapan investasi akan kembali. Karena pengelolaan dan pemanfaatan limbah melibatkan biaya-biaya yang cukup besar khususnya pada biaya investasi, perlu dikaji kapankah proyek pengelolaan dan pemanfaatan limbah tersebut akan memberikan manfaat yang dapat mentupi semua biaya investasinya. Proyek yang memilki nilai payback period yang kecil maka akan semakin cepat pengembaliannya. Rumus perhitungannya adalah : PP = dengan :
𝐼𝐼
𝐴𝐴𝐴𝐴
PP
= Payback Period
I
= Biaya Investasi
Ab
= manfaat bersih yang diperoleh setiap tahunnya.
26 5 Analisis Switching Value Dalam melaksanakan proyek, sering terjadi hal-hal yang berada di luar perkiraan, sehingga dapat mengancam keberlangsungan proyek. Hal-hal yang dapat mempengaruhi jalannya suatu proyek adalah ketidak akuratan identifikasi biaya-biaya, perkiraan yang terlalu jauh (over estimate), serta banyaknya asumsi yang digunakan saat perencanaan proyek seperti jumlah output konstan, harga tidak berubah, suku bunga konstan, dan lain sebagainya. Untuk mencegah terjadinya kegagalan proyek akibat faktor-faktor tersebut, perlu menganalisis tingkat switching value proyek. Metode yang paling sederhana dalam switching value adalah mengganti salah satu nilai parameter dan membiarkan yang lainnya tetap. Parameter-parameter yang diubah misalnya, kenaikan suku bunga, atau kenaikan biaya produksi (Gittingger, 1986). 3.1.2 Cost of Effectiveness Analysis (CEA) CEA pada dasarnya memiliki kemiripan dengan Analisis Biaya dan Manfaat (ABM). CEA pada dasarnya digunakan untuk menilai program kesehatan, yaitu mengevaluasi bagaimana manfaat yang diperoleh dari program klinis sesuai dengan biaya-biayanya, sehingga dapat ditentukan pilihan program yang paling efektif (Cantor dan Ganiats, 1999). Dalam metode ABM, manfaat dari pengolahan dan pemanfaatan limbah diidentifikasi sehingga dapat diketahui total jumlah manfaatnya. Manfaat yang diperolah baik secara finansial maupun non finansial dinyatakan sebagai output. Sama halnya dengan perhitungan biaya. Biaya-biaya dari pengolahan dan pemanfaatan limbah diidentifikasi untuk mengetahui berapa jumlah total biaya. Dalam perhitungan dengan CEA, manfaat-manfaat yang diperoleh akibat proyek tidak terkuantifikasi, sehingga pertimbangan dalam pemilihan keputusan adalah total biaya terkecil dari biaya-biaya yang dikeluarkan untuk proyek tersebut. 3.2
Kerangka Pemikiran Operasional
Dampak kerusakan sumberdaya dan lingkungan serta gangguan kesehatan manusia yang diakibatkan oleh limbah khususnya B3 mengharuskan perlunya penanganan limbah B3 sesuai dengan prosedur-prosedur yang telah ditetapkan. Namun pengelolaan masalah limbah masih sering diabaikan karena tingginya
27 biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk mengolah limbah, sementara di sisi lain biaya-biaya tersebut dapat digunakan untuk kegiatan lain yang menghasilkan penerimaan (opportunity cost) yang terpaksa dikorbankan jika dialokasikan untuk pengolahan limbah. Selain itu, biaya-biaya investasi yang dikeluarkan untuk pengolahan dan pemanfaatan limbah cukup besar sementara resiko pengembalian di masa depan tidak pasti. Padahal jika limbah ditangani secara tepat, maka akan menguntungkan bagi perusahaan. Alasan inilah yang mendorong bertumbuhnya industri penanganan limbah seperti B3. Pemikiran inilah yang memulai perlunya dilakukan penelitian ini. Penelitian ini dilakukan di PT. X karena perusahaan ini bergerak sebagi pengangkut dan pengolah limbah, yang artinya ada aliran manfaat yang diperoleh akibat pengelolaan limbah yaitu satuan rupiah yang harus dibayarkan oleh perusahaan penghasil limbah ke PT. X untuk menangani setiap satuan ukuran limbahnya, serta aliran biaya berupa investasi dan operasional. Atas pertimbangan biaya-biaya yang dikeluarkan ini, perlu dilakukan analisis biaya dan manfaat untuk mengetahui pada saat kapan perusahaan menerima pengembalian atas biaya yang dikeluarkan. PT. X juga memanfaaatkan limbah yang diperoleh dari limbah perusahaan lain, sehingga memberikan nilai tambah ekonomis perusahaan. Jika memang usaha pengelolaan ini layak dikembangkan, maka keberadaan industri ini perlu didorong agar berkembang di Indonesia sehingga dapat mengatasi permasalahan-permasalahan dalam pengelolaan B3. Meskipun penanganan dan pemanfaatan limbah dapat memberikan manfaat bagi perusahaan, masih banyak perusahaan yang tidak mengolah limbahnya, sehingga membutuhkan pihak ketiga (dalam kasus ini adalah PT. X) untuk mengolah limbahnya. Hal itu berarti ada manfaat yang seharusnya diterima oleh perusahaan jika limbah dimanfaatkan kembali, namun menjadi hilang karena ditangani oleh pihak ketiga. Berdasarkan pemikiran ini, perlu dilakukan penilaianpenilaian terhadap alternatif-alternatif pengolahan dan pemanfaatan limbah, sehingga dapat diketahui alternatif mana yang paling efektif bagi perusahaanperusahaan yang menghasilkan limbah. Secara grafis, alur pemikiran dalam penelitian ditampilkan pada Lampiran 1.
28 IV.
4.1
METODOLOGI PENELITIAN
Metode Pemilihan Lokasi Penelitian dan Waktu
Penelitian ini dilakukan di PT. X yang berlokasi di Karawang, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian ini ditentukan secara sengaja (purposive), dengan dasar pertimbangan bahwa perusahaan tersebut adalah perusahaan pengumpul limbah B3 yang tidak hanya mengolah limbah namun juga memanfaatkan limbah menjadi produk yang bernilai ekonomis. Selain itu perusahaan berlokasi di tengah pusat kegiatan industri sehingga aktivitas pengolahan limbah berlangsung secara kontinu karena sumber limbah yang dikumpulkan berasal dari perusahaan-perusahaan yang berada di sekitar kawasan industri dimana PT. X berada. Pengambilan data dimulai pada pertengahan Desember 2013 hingga Maret 2014. 4.2
Jenis dan Sumber Data
Metode pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan pihak terkait berdasarkan daftar pertanyaan yang telah disiapkan, serta pengamatan langsung di lapangan. Data sekunder diperoleh dari perusahaan seperti laporan harian dan mingguan, tulisan-tulisan, dan literatur yang berkaitan dengan pengolahan limbah B3, serta referensi penelitian-penelitian terdahulu yang dapat digunakan sebagai rujukan. 4.3
Metode Analisis Data
Data yang diperoleh diolah dan dianalisis dengan dua cara yaitu secara kualitatif dan kuantitatif. Data kuantitatif diolah dan disajikan dalam bentuk table, gambar, atau bentuk representatif lainnya, sedangkan data kualitatif dipaparkan dalam bentuk uraian deskriptif guna mendukung data kuantitatif. Analisis kualitatif digunakan untuk permasalahan bentuk-bentuk pengolahan dan pemanfaatan limbah B3 oleh PT. X. Penjelasan deskriptif ini meliputi bentukbentuk pengolahan serta data-data yang menyangkut hasil pengolahan limbah B3, sedangkan analisa kuantitatif digunakan untuk menjawab permasalahan pertama yaitu perhitungan analisis biaya dan manfaat pengolahan limbah B3. Untuk permasalahan kedua atau analisis efektifitas pemilihan keputusan dalam
29 pengelolaan limbah; apakah dengan pemanfaataan kembali oleh perusahaan dibandingkan dengan menyerahkan ke perusahaan pengumpul dengan analisis kualitatif yang didukung dengan analisa kuantitatif. 4.3.1 Analisis Biaya dan Manfaat Proyek Pengolahan dan Pemanfaatan Limbah Sebelum mengetahui biaya dan manfaat yang diperoleh dari kegiatan pengolahan dan pemanfaatan limbah B3, perlu diketahui terlebih dahulu bentuk dan deskripsi aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan sehingga dapat diketahui input, pemrosesan, serta outputnya. Aktivitas yang perlu diketahui adalah transportasi/ pengangkutan limbah, bentuk-bentuk pengolahan limbah, serta keputusan akhir atas limbah, apakah diolah, diserahkan ke pihak yang memiliki wewenang atau dimanfaatkan kembali. Identifikasi rangkaian aktivitas ini dilakukan dengan analisis deskriptif (kualitatif). Setelah mengetahui rangkaian aktivitas pengolahan limbah, maka dapat diketahui komponen-komponen input yang dibutuhkan untuk memproses limbah. Dari komponen-komponen input yang telah diidentifikasi, selanjutnya dapat diketahui biaya yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan akan input ini. Selain dari komponen input, biaya juga diperoleh dari pengeluaran atas alat maupun media yang digunakan dalam proses pengolahan. Komponen biaya dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Komponen biaya No 1
2
3
Komponen Biaya Biaya Investasi : Bangunan Lahan Alat transportasi Alat/mesin Biaya Tetap : Biaya Tenaga Kerja Abodemen Listrik Pajak Cicilan Pinjaman per Periode Biaya Maintanance Biaya Variabel : Bahan tambahan dalam mengolah limbah BBM Listrik Air Tenaga Kerja
Satuan m2 m2 unit unit Rp/orang Rp/kwh Rp Rp/periode Rp/Periode Rp/unit Rp/ltr Rp/kwh Rp/kwh Rp/orang
30 Setelah mengidentifikasi biaya-biaya yang dikeluarkan, maka langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi manfaat. Manfaat dapat diestimasi dari penerimaan hasil penjualan output dan penjualan jasa yang diperoleh sebagai akibat adanya pengolahan limbah. Adapun asumsi yang digunakan dalam analisis biaya dan manfaat adalah sebagai berikut : 1.
Tahun dasar untuk menilai proyek adalah tahun 2014 karena penelitian dilakukan pada tahun ini, sehingga biaya dan manfaat semenjak 2010 hingga 2013 akan di-compounding, dan biaya dan manfaat 2014 hingga tahun 2028 akan di-discounting
2.
Proyek diasumsikan selama 20 tahun, karena didasarkan pada ketahanan plant dan incinerator
3.
Sumber pendanaan berasal dari bank, sehingga suku bunga yang digunakan adalah suku bunga bank BUMN pada tahun 2014 yaitu sebesar 10,5%
4.
Penerimaan dari jumlah limbah yang masuk telah dirata-ratakan berdasarkan kapasitas alat/mesin, sehingga diasumsikan nilainya konstan setiap tahun
5.
Biaya operasional juga telah dirata-ratakan sehingga diasumsikan nilainya konstan setiap bulan/ setiap periode
6.
Jumlah hari kerja adalah 26 hari
7.
Upah tenaga kerja berdasarkan Upah Minimum Kabupaten (UMK) Karawang yaitu sebesar Rp 2 447 450/orang Jika komponen biaya dan manfaat telah dianalisis dan dihitung, maka
dapat diketahui bagaimana kelanjutan proyek, apakah layak atau tidak untuk tetap dilanjutkan. Penentuan kriteria kelayakan adalah sebagai berikut : •
Jika NPV > 0, maka proyek layak karena memberikan pengembalian yang positif
•
Jika Net B/C > 1, maka proyek layak karena memberikan manfaat bersih yang lebih besar dari pada biaya
•
Jika IRR > suku bunga pinjaman, maka proyek layak dilanjutkan
31 Hal yang perlu dianalisis selanjutnya adalah analisis switching value, yaitu melihat bagaimana keberlangsungan kegiatan produksi jika terjadi perubahanperubahan di lingkungan perusahaan seperti jumlah limbah yang masuk. 4.3.2 Pengambilan Keputusan Alternatif-alternatif Pengolahan Limbah Untuk mengambil keputusan pengolahan limbah maka perlu diciptakan skenario keputusan pengolahan limbah, yaitu: apakah limbah B3 diolah dan dimanfaatkan secara mandiri atau diserahkan ke pengumpul limbah/pihak ketiga. Untuk melihat keputusan terbaik, maka perlu dianalisis baik manfaat maupun biaya yang akan dihasilkan dari setiap alternatif. Hal yang perlu diperhatikan, setiap alternatif memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing, sehigga dengan analisis ini, diharapkan dapat menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan pengolahan limbah. Pendekatan ini dilakukan dengan metode Cost Effectiveness Analysis (CEA). Untuk memudahkan penyusunan alternatif, perlu dibatasi jenis-jenis limbah dan pengolahannya terlebih dahulu. Pengelompokan limbah dan bentuk pengolahannya yang akan diteliti adalah : 1.
Pengelolaan limbah abu batu bara (fly ash, bottom ash, sand foundry)
2.
Pengolahan limbah kertas (sludge IPAL)
3.
Pengolahan limbah solvent
4.
Pemusnahan limbah medis dengan incinerator Langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi bentuk-bentuk pengelolaan
limbah tersebut, yang digambarkan pada Tabel 3 Tabel 3 Alternatif-alternatif pengelolaan limbah B3 No 1
3.
Jenis Limbah Limbah abu batu bara (fly ash ) Limbah sludge IPAL kertas Limbah solvent
4.
Limbah medis
2
Alternatif Pengelolaan A Diserahkan ke pihak ketiga ( ke PT. X) Diserahkan ke pihak ketiga ( ke PT. X) Diserahkan ke pihak ketiga ( ke PT. X)
Alternatif Pengelolan B dimanfaatkan kembali menjadi paving block dimanfaatkan menjadi low grade paper Mengelola sendiri dengan investasi alat penjernih Diserahkan ke pihak ketiga Mengelola sendiri ( ke PT. X) dengan investasi incinerator
32 Setelah identifikasi alternatif-alternatif pengelolaan limbah di atas, maka perlu diidentifikasi biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk setiap proyek (termasuk manfaat bagi limbah-limbah yang dapat dimanfaatkan kembali). Biayabiaya yang diidentifikasi disusun dalam matriks sehingga dapat dipilih proyek yang paling efektif dari segi biaya. Matriks penilaian skenario pengelolaan limbahnya digambarkan pada Tabel 4. Tabel 4 Matriks Perbandingan Alternatif-alternatif pengelolaan Limbah B3 dengan Cost Effectiveness Analysis No 1
2 3. 4.
Alternatif Pengelolaan A Pemanfaatan limbah abu batu Biaya 1-A bara (fly ash, bottom ash, sand foundry) Pemanfaatan limbah kertas Biaya 2-A Pengolahan limbah solvent Biaya 3-A Pemusnahan limbah medis Biaya 4-A dengan incinerator
Jenis Limbah
Alternatif Pengelolaan B Biaya 1-B
Keputusan
Biaya 2-B Biaya 3-B Biaya 4-B
Apabila matriks skenario pengelolaan keempat jenis limbah telah disusun, maka dapat diperoleh gambaran perbandingan biaya, sehingga dapat dilakukan pengambilan keputusan pengelolaan limbah B3. Penentuan keputusan berdasarkan biaya efektif adalah dengan rasio biaya yang dikeluarkan terhadap satuan limbah yang ditangani. Rasio yang terkecil akan menjadi alternatif yang paling efektif. Perhitungan rasio berdasarkan Boardman et al (2006) adalah sebagai berikut: 𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶 =
dengan :
𝐶𝐶𝐶𝐶 − 𝐶𝐶𝐶𝐶 Ei − Ej
-
C= biaya (cost)
-
E= effectiveness (number of wastes handled)
Yang perlu diperhatikan dalam pemilihan bentuk pengelolaan limbah B3 tersebut adalah skenario yang ditawarkan dalam penelitian hanya berdasarkan penilaian biaya yang paling efektif, sementara banyak faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan pengelolaan limbah B3 tersebut. Selain itu, setiap bentuk pengelolaan limbah memiliki kelemahan dan keunggulan masingmasing, sehingga hasil penelitian efektivitas biaya ini hanya menjadi salah satu alat pertimbangan dalam keputusan pengelolaan limbah B3.
33 V.
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
5.1
Gambaran Umum PT. X
PT. X berlokasi di Kabupaten Karawang, Jawa Barat. PT. X memiliki dua unit usaha yang terpisah, yaitu pemasaran atau kantor dan unit produksi. Unit pemasaran menyangkut urusan pemasaran produk dan jasa sera urusan administrasi. Unit produksi sendiri terdiri dari laboratorium untuk menunjang kontrol proses pengolahan dan analisa limbah B3 dan tiga plant yaitu batako, low grade paper, dan pabrik untuk pemusnahan dan pengolahan limbah B3. PT. X berdiri berlokasi di kawasan industri sehingga menguntungkan baik bagi PT. X maupun perusahaan-perusahaan pelanggan, karena bagi PT. X hal ini menjadi pemasukan bagi PT. X, sedangkan bagi perusahaan-perusahaan pelanggan, hal ini menghemat biaya transportasi karena dekat dengan PT. X. Unit produksi tidak terlalu dekat dengan pemukiman penduduk, sehingga tidak mengganggu masyarakat (akibat bau dan kebisingan pengolahan limbah). PT. X adalah perusahaan yang bergerak di bidang pengangkutan, pengolahan, pemanfaatan, dan pemusnahan limbah, khususnya limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). PT. X berdiri sejak tahun 2008, dan telah memiliki ijin resmi dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup untuk beroperasi, termasuk pengangkutan, pengolahan dan pemanfaatan B3. PT. X berdiri untuk membantu kalangan industri dan pemerintah dalam upaya mengelola lingkungan yang lebih baik. Jasa yang disediakan meliputi : 1.
Pengangkutan limbah B3.
2.
Penyimpanan dan pengumpulan limbah B3.
3.
Pemanfaatan limbah B3 padat.
4.
Pengolahan limbah B3 cair.
5.
Pengolahan limbah B3 cair dengan sistem distilasi.
6.
Pemusnahan produk offspec atau kadaluarsa.
7.
Pemusnahan limbah dengan sitem incinerator.
8.
Pembersihan dan pengurasan IPAL dan tangki.
34 Pada awalnya, PT. X hanya bergerak di bidang jasa pengangkutan limbah. Kemudian setelah mendapat ijin resmi dari Kementerian Lingkungan Hidup pada tahun 2011, PT. X telah mengolah dan memanfaatkan limbah dari perusahaanperusahaan pelanggan baik dari sekitar perusahaan di dalam provinsi maupun luar provinsi. Selanjutnya pada tahun 2012, Kementerian Lingkungan Hidup telah mengijinkan PT. X untuk mengoperasikan incinerator tipe reciprocating grate state incinerator untuk menghancurkan/ membakar limbah-limbah B3. Limbah yang diolah terdiri dari waste waster treatment sludge, paper sludge, paint sludge, silica sludge, resin, spin earth, thinner bekas, grease, polimer bekas, minyak kotor, oil sludge, oli bekas, coolant, slope oil, oil filter, buffing dust, scrap/ timming shaving, carbon active, saw dust
terkontaminasi B3, majun yang
terkontaminasi B3, tinta bekas, limbah medis, contaminated material, solvent, drilling mud, limbah karbit, dye waste, larutan bekas pickling, larutan bekas elektroplating, limbah B3 cair dari laboratorium, contaminated liquid waste, dan larutan asam/ alkali bekas. Sedangkan limbah yang dimanfaatkan meliputi fly ash/bottom ash, casting/foundry, sludge dan limbah batako karbit menjadi paving block/ batako, dan sludge IPAL industri kertas untuk bahan baku low grade paper. Sedangkan limbah-limbah solvent diolah dengan sistem distilasi sampai jernih untuk dimanfaatkan kembali. Hingga saat ini, usaha PT. X berkembang hingga menerima layanan jasa pengangkutan dan pengolahan limbah dari berbagai daerah hingga luar pulau jawa. Dengan lebih dari 200 armada pengangkutan yang mendukung operasi usaha ini, PT. X juga memperluas usahanya ke bidang jasa logistic dan ekspedisi. 5.2 Visi Misi PT. X PT. X berdiri untuk membantu kalangan industri dan pemerintah dalam upaya mengelola lingkungan yang lebih baik, khususnya di bidang pengolahan limbah B3. PT. X berharap dapat memberikan sumbangsih yang terbaik buat bangsa dan Negara Indonesia.Adapun visi dan misi PT. X adalah: •
Membuka lapangan pekerjaan dengan sistem padat karya.
•
Memberikan bantuan untuk anak yatim dan memberikan beasiswa untuk anak yang kurang mampu.
35 •
Mensukseskan program pemerintah yang melalui Kementerian Lingkungan Hidup yaitu 3R (Reuse, Reduce dan Recycle)
5.3 Keragaan Pengelolaan Limbah B3 di PT. X PT. X adalah perusahaan yang bergerak khusus di bidang pengolahan dan pemanfaaatan limbah B3, sehingga penerimaan perusahaan hanya dari jasa pengangkutan dan pengolahan limbah B3, serta penjualan produk dari pemanfaatan limbah B3 yakni paving block dan low grade paper. Untuk membatasi penelitian, bentuk pengolahan limbah yang diteliti adalah pengolahan limbah dengan incinerator, pengolahan limbah solvent
untuk dimanfaatkan
kembali, pemanfaatan limbah menjadi paving block, dan pemanfaatan sludge limbah kertas menjadi low grade paper. 5.3.1 Pengolahan Limbah dengan Incinerator Incinerator adalah alat yang digunakan untuk membakar limbah-limbah seperti limbah B3 padat maupun cair, termasuk limbah medis/rumah sakit, rejected product material, maupun barang kadaluarsa. Limbah-limbah yang telah diangkut dicampur dengan memperhatikan sifat dan karakteristik limbah, sehingga tidak menimbulkan sifat kimia maupun sifat fisika yang berbahaya. Berbeda dengan limbah medis/klinis, tidak boleh dicampur dengan limbah B3 lainnya. Setelah pencampuran, limbah diumpan ke incinerator melalui chamber (ruang bakar) pertama melalui pintu feeding double gate. Pengumpulan limbah awal ke ruang bakar setelah pproses pemanasan incinerator pada ruang bakar pertama mencapai temeratu paling rendah 700°C, dan pada ruang bakar kedua maksimal 1.100°C. Selama pengoperasian incinerator, pengendali pencemaran harus diaktifkan yakni penyaring, sehingga asap hasil pembakaran yang dilepas ke udara tidak mengandung bahan berbahaya dan beracun. Setelah proses pembakaran, sisa abu bakar atau residu pembakaran disimpan (dalam waktu kurang dari 24 jam, lalu diserahkan ke perusahaan yang telah mendapat izin untuk menangani abu hasil pembakaran. Adapun jenis limbah yang dibakar dengan incinerator oleh PT. X dijelaskan pada Tabel 5.
36 Tabel 5 Jenis-jenis limbah yang diolah oleh PT. X No.
Jenis Limbah
1.
WWT Sludge
2.
Paper Sludge
3.
Paint Sludge
4. 5. 6.
Silica Gel Resin Spent Earth
7.
Thinner bekas
8. 9.
Grease Polymer bekas
10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23.
Minyak kotor Oil sludge Oli bekas Coolant Slope Oil Oil Filter Buffing Dust Scrap/Trimming shaving Carbon active Saw dust terkontaminasi B3 Majun terkontaminasi B3 Tinta bekas Kemasan bekas Limbah Medis
24. 25.
Contaminated material Solvent
26.
Drilling Mud
Karakteristik Keterangan Umum Toksik atau Penimbunan abu sisa pembakaran, non toksik sebagai bahan bakar alternatif Toksik Penimbunan abu sisa pembakaran, sebagai bahan bakar alternatif Toksik Penimbunan abu sisa pembakaran, sebagai bahan bakar alternatif Iritasi Penimbunan abu sisa pembakaran Toksik Penimbunan abu sisa pembakaran Toksik atau Penimbunan abu sisa pembakaran non toksik Mudah Sebagai bahan bakar alternatif terbakar Toksik Toksik Tidak boleh mengandung korin (contoh PVC) Toksik Sebagai bahan bakar alternatif Toksik Sebagai bahan bakar alternatif Toksik Sebagai bahan bakar alternatif Iritasi Toksik Sebagai bahan bakar alternatif Toksik Penimbunan abu sisa pembakaran Toksik Penimbunan abu sisa pembakaran Toksik Penimbunan abu sisa pembakaran Toksik Penimbunan abu sisa pembakaran Toksik Sebagai bahan bakar alternatif Toksik Toksik Toksik Penimbunan abu sisa pembakaran Penyebab Penimbunan abu sisa pembakaran infeksi Toksik Penimbunan abu sisa pembakaran Mudah Sebagai bahan bakar alternatif terbakar, toksik Toksik Penimbunan abu sisa pembakaran
Sumber : PT. X (2014)
5.3.2 Pengolahan Limbah Solvent untuk Dimanfaatkan Kembali Solvent pada umumnya digunakan sebagai bahan pelarut. Limbah solvent pada umumnya berasal dari kegiatan percetakan. Limbah ini dapat digunakan kembali setelah melalui proses penjernihan. PT. X menyediakan mesin penjernih solvent di pabrik, yaitu solvent recovery machine (ETA-RS 10, kapasitas 25 L/jam). Suhu destilasi diatur sesuai titik uap solvent yaitu ±710C. Setelah solvent dijernihkan, maka solvent ditampung pada wadah penampung seperti jerigen.
37 Jika para pelanggan hendak mengolah solvent, maka solvent harus di bawa ke pabrik dan kemudian diolah sendiri oleh pelanggan tetapi didampingi oleh pengawas. Jadi PT. X hanya memperoleh penerimaan dari penyewaan alat. Sisa hasil penjernihan solvent kemudian ditampung dalam drum untuk diserahkan ke pihak ketiga yang telah memiliki izin. 5.3.3 Pemanfaatan Limbah Menjadi Paving Block Batu bara adalah salah satu bahan bakar yang banyak digunakan oleh industri saat ini, terutama setelah kenaikan bahan bakar minyak di Indonesia. Peningkatan penggunaan batu bara ini berakibat pada peningkatan limbah batu bara yang berupa fly ash/ bottom ash dan sands foundry. Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dalam Safitri dan Djumari 2009 menyebutkan bahwa dari pembakaran satu ton batu bara akan menghasilkan 15-17% abu batu bara (fly ash). Semakin banyak limbah yang dihasilkan, maka akan semakin banyak lahan yang dibutuhkan untuk penampungan sementara. Hal ini berimplikasi perlunya penanganan pada limbah batu bara, yang salah satunya adalah pilihan pemanfaatan limbah menjadi bahan baku pembuatan paving block. Penggunaan
limbah
batu
bara
sebagai
bahan
baku
pembuatan
batako/paving block telah diteliti dan dikembangkan belakangan ini. Penelitian mengenai pengaruh komposisi fly ash terhadap daya kuat tekan paving block di tunjukkan pada Gambar 4.
Gambar 4 Hubungan antara penambahan fly ash terhadap kuat tekan
paving block (Safitri dan Djumari, 2009)
38 Penelitian oleh Safitri dan Djumari (2009) mengenai penambahan fly ash sebanyak 10%, 20%, 30% akan meningkatkan kuat tekan paving block, dan mulai menurun pada tingkat 40%, 50%, hingga 60%. PT. X memanfaatkan limbahlimbah hasil pembakaran dengan batu bara seprti fly ash/ bottom ash dan sands foundry untuk digunakan sebagai bahan baku pembuatan batu bara. Untuk PT. X sendiri, penggunaan fly ash/bottom ash dalam komposisi paving block sebanyak 35%, dan sisanya terdiri dari altras, semen, sand foundry, dan limbah karbit, yang ditunjukkan pada Tabel 6. Tabel 6 Komposisi penggunaan limbah untuk paving block No 1 2 3 4 5
Bahan Altras Semen Fly ash/bottom ash Sand foundry Limbah Karbit
Komposisi 25% 5% 35% 15% 20%
Sumber : PT. X (2014)
Bahan-bahan diatas dicampur dengan air dalam mesin mixer, dan setelah merata, selanjutnya dicetak dengan mesin press menjadi paving block. Pemanfaatan limbah menjadi paving block ini menjadikan penerimaan ganda bagi perusahaan, yaitu bayaran atas penanganan limbah batu bara dari pelanggan, serta penjualan produk batako yang pada umumnya dijual pada pada pengembang. 5.3.4
Pemanfaatan Limbah Menjadi Low Grade Paper Dalam pengolahan kertas, dihasilkan limbah hasil produksi yang
tercampur dengan senyawa kimia sehingga tidak dapat dilepas begitu saja ke lingkungan. Limbah cair hasil dari pengolahan kertas dan pulp ini harus disaring agar airnya dapat dibuang ataupun digunakan kembali, sedangkan endapan hasil penyaringan yang berupa sludge
dipisahkan dari larutannya. Perlakuan pada
sludge ini pada umumnya adalah dengan dibuang pada landfill atau dibakar dengan incinerator. Limbah sludge juga sudah diteliti agar dapat dimanfaatkan. Pemanfaatan sludge dapat digunakan sebagai bahan baku pupuk kompos karena mengandung unsur hara makro dan mikro, sebagai media tanam, atau sebagai bahan baku pembuatan kertas dengan kualitas rendah. Pemanfaatan sludge untuk pembuatan kertas dengan kualitas rendah (low grade paper) ini lah yang
39 dilakukan oleh PT. X untuk dengan campuran scrap shaving dan trimming shaving (bubuk kulit) serta karbit untuk diolah menjadi low grade paper. Komposisi bahan baku untuk pembuatan low grade paper ditunjukkan pada Tabel 7. Tabel 7 Komposisi bahan baku untuk pembuatan low grade paper No. 1 2 3
Bahan Baku Paper sludge dan (kertas/karton) bekas Scrap shaving dan shaving Karbit
Komposisi kemasan 70% +5% trimming 2.5% + 2.5% 20%
Karakteristik Umum sludge dari pabrik kertas Beberapa bubuk kulit Dalam bentuk lumpur karbit
Sumber : PT.X (2014)
Bahan-bahan tersebut dicampur terlebih dahulu dan diaduk (mixing) sampai berbentuk bubur kertas. Bubur kertas kemudian dipompa ke dalam mesin pencetak kertas, dan setelah lembaran kertas terbentuk, kertas dipotong-potong dengan ukuran tertentu, dikeringkan dan dipress, dan siap untuk dijual. Low grade paper biasanya dijual untuk pabrik sepatu untuk digunakan sebagai sol.
40 VI.
KELAYAKAN PENGOLAHAN DAN PEMANFAATAN LIMBAH B3 PT. X Pelaksanaan proyek tidak hanya menyangkut biaya-biaya, tapi juga aspek-
aspek lain yang secara bersama-sama menentukan bagaimana keuntungan yang diperoleh dari penanaman investasi. Seluruh aspek-aspek ini saling berhubungan. Penilaian kelayakan usaha pengolahan dan pemanfaataan limbah B3 dilakukan dengan penilaian-penilaian pada aspek pasar, teknis, hukum, sosial-lingkungan, dan aspek finansial (melalui analisis biaya dan manfaat). 6.1 Aspek Pasar Dari sudut pandang output, analisa pasar untuk hasil proyek adalah sangat penting untuk meyakinkan bahwa terdapat suatu permintaan yang efektif pada suatu harga yang menguntungkan, termasuk kemana produk akan dipasarkan, dan tingkat harga dan pengaruhnya (Gittingger, 1986). Untuk penilaian aspek pasar pengelolaan limbah B3 oleh PT.X ini dibagi menjadi dua yakni jasa pengelolaan limbah dan pemasaran produk hasil pemanfaatan B3. 6.1.1 Jasa Pengelolaan Limbah Peningkatan pertumbuhan ekonomi yang ditandai dengan pertumbuhan industri di Indonesia menyebabkan meningkatnya jumlah limbah yang dihasilkan. Limbah-limbah industri pada umumnya merupakan limbah yang berbahaya dan beracun sehingga harus dikelola sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Selain itu, pengawasan dari pemerintah yang semakin ketat terhadap aktivitas industri—seperti Perusahaan meningkatnya
misalnya PROPER (Program Penilaian Peringkat Kinerja
dalam upaya
Pengelolaan kesadaran
Lingkungan masyarakat
Hidup)—mengakibatkan
industri
dalam
pengelolaan
lingkungan khususnya mengenai limbah. Masalah pengelolaan limbah juga terkendala pada biaya-biaya yang harus dikeluarkan dalam pengelolaan limbah maupun kemampuan teknis sumberdaya manusia, sehingga penanganan B3 ini menjadi sering ditunda sehingga menyebabkan masalah-masalah pencemaran dan kerusakan lingkungan, serta kerugian pada masyarakat sekitar pelaku usaha.
41 Faktor-faktor yang telah dibahas di atas mendorong bertumbuhnya industri dengan basis jasa pengelolaan limbah. Selain untuk membantu pemerintah dan pelaku usaha untuk menjaga kelestarian lingkungan, jasa pengelolaan limbah ini juga menjadi bisnis yang berpeluang besar untuk dijalankan. Kehadiran industri dengan jasa khusus pengelolaan limbah B3 ini pertama kali ditandai dengan lahirnya PT.PPLI
(Prasadha Pamunah Limbah
Indonesia) pada 1993, yang kini mengubah pandangan bahwa limbah yang tadinya dianggap tidak berguna justru menjadi prospek bisnis yang menjanjikan.
8
6.1.1.1 Struktur Pasar Jasa Pengelolaan Limbah B3 Permintaan untuk jasa pengelolaan limbah ini sangat besar mengingat masih banyak perusahaan yang belum mampu mengelola limbahnya sendiri. Permintaan akan jasa ini juga akan meningkat seiring dengan peningkatan aktivitas industri di tahun-tahun mendatang. Selama aktivitas industri masih berlangsung, maka produksi limbah B3 pun tidak akan pernah berhenti sehingga permintaan untuk jasa ini akan tetap ada dan bahkan akan mengalami peningkatan jika memang pertumbuhan industri didorong sebagai respon dari Master Plan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3I). Dan jika pengawasan pemerintah terhadap aktivitas industri semakin ditingkatkan, maka usaha ini secara tidak langsung akan semakin menguntungkan. Sementara untuk sisi supply, jumlah industri pengelola limbah B3 masih sedikit dan terpusat hanya di beberapa daerah di Indonesia. Jika dilihat dari struktur pasarnya, maka industri pengelolaan jasa B3 ini tergolong dalam pasar monopolistik.
Ciri-ciri struktur pasar monopolistik adalah produk yang dijual
bersifat unik/terdiferensiasi (Nicholson, 2002). Jasa pengelolaan limbah B3 ini bersifat unik karena yang ditawarkan adalah hanya jasa pengelolaan B3 yang berbeda dengan yang ditawarkan perusahaaan pengelola B3 lainnya. Selain itu, jasa pelayanan bergantung pada jenis limbah B3 nya. Hal ini memungkinkan perusahaan untuk menetapkan harga (price maker), yang memungkinkan perusahaan memperoleh keuntungan dari aktivitas usaha pengelolaan B3 ini.
8
Kementerian Lingkungan Hidup. 2007.Hanya Limbah..?? Bulletin Pengelolaan B3 dan Limbah B3 Edisi III/IV/2007. Diterbitkan oleh Kementerian Lingkungan hidup
42 Kondisi supply/struktur pasar industri seperti ini menjadikan besarnya peluang dikembangkannya usaha ini, terlebih karena permintaan datang dari seluruh penjuru Indonesia bahkan dari luar negeri (hanya saja tidak diperbolehkan sesuai UU No.32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup). Peluang-peluang inilah yang dilihat dan dimanfaatkan oleh PT. X untuk bergerak dalam bidang pengelolaan limbah B3. 6.1.1.2 Penetapan Harga Jasa Pengelolaan Limbah B3 Karena sifat produk (jasa) yang ditawarkan oleh industri pengelolaan B3 ini bersifat unik dan jumlah pemainnya sedikit, maka harga yang harus dibayar oleh pelanggan untuk penanganan B3 ini dapat ditentukan sendiri oleh produsen agar dapat memperoleh keuntungan yang diharapkan. Karakteristik B3 yang sifatnya tidak dapat ditunda penanganannya mencirikan sifat permintaan nya yang inelastis (nilai elastisitas kurang dari 1). Sifat barang yang inelastis adalah ketika terjadi perubahan harga produk, maka kuantitas permintaannya akan berubah tidak sebanyak perubahan harga. (Mankiw, 2001). Dengan demikian, meskipun produsen mengambil keputusan untuk menetapkan/mengubah harga jasa pengelolaan B3 ini, namun permintaannya tidak sebanyak perubahan harga. Hal ini menjadi keuntungan bagi perusahaan, karena dengan demikian, pengelola dapat menetapka harga yang diharapkan mampu memberikan keuntungan. Adapun harga yang ditetapkan untuk penyimpanan limbah fly ash adalah Rp.200/kg, limbah sludge IPAL kertas sebesar Rp. 600/kg, limbah solvent sebesar 1500/kg, dan limbah yang akan dimusnahkan dengan incinerator sebesar Rp. 1700 untuk setiap kilogram limbah padat dan Rp. 1500 untuk setiap kilogram limbah cair. Ada beberapa hal yang turut mendorong berkembangnya usaha PT. X ini. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, jumlah industri pengelolaah limbah B3 di Indonesia masih sedikit. Semenjak dikeluarkannya izin resmi oleh Kementerian Lingkungan Hidup, permintaan pada jasa PT. X meningkat dari tahun ke tahun, karena izin yang dikeluarkan akan meningkatkan kepercayaan pelanggan untuk memastikan limbah B3 yang diserahkan ke PT. X ditangani dengan baik. Faktor lokasi juga mendukung berjalannya aktivitas ini. Keberadaannya di Kabupaten Karawang yang merupakan salah satu sentra industri di Indonesia menjadikan
43 permintaan yang cukup besar dan akses yang lebih gampang (meskipun permintaannya tak hanya dari dalam kabupaten tetapi juga bahkan dari luar pulau). Jasa yang ditawarkan oleh PT. X pun tak hanya untuk mengolah, tetapi juga mengangkut dan memanfaatkan limbah, sehingga pelanggan dapat memilih bentuk penanganan yang sesuai untuk jenis dan karakteristik limbah, ditambah fasilitas pengangkutan jika pelanggan terkendala pada alat transportasi. bisnis ini dikembangkan dengan skala yang
lebih besar
Jika
maka akan
menguntungkan pebisnis. Berdasarkan aspek pasar, jasa pengelolaan limbah B3 ini layak untuk dijalankan. 6.1.2 Penjualan Poduk Hasil Pemanfaatan Limbah Selain menyediakan jasa pengolahan limbah B3, PT. X juga memanfaatan limbah untuk menghasilkan produk yaitu paving block dan low grade paper. paving block pada umumnya dijual kepada pengembang dengan harga distributor, yaitu Rp 1500/pcs. Peluang pasar paving block cukup besar karena pembangunan di sektor properti di Indonesia khususnya di kota-kota besar cenderung meningkat. Berdasarkan keterangan dari PT. X, setiap hari PT. X mencetak sekitar 3000 pcs untuk setiap mesin dalam memenuhi permintaan, dan hasil yang diperoleh hanya dalam waktu 3 tahun dapat digunakan untuk investasi alat transportasi yang semakin memudahkan proses pemasaran. Pemasaran yang dilakukan oleh PT. X adalah dengan pemasangan iklan baik dengan promosi ke pelanggan jasa pengelolaan limbah dan pengembang maupun secara online. Izin resmi yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup atas pemanfaatan limbah untuk menjadi paving block ini juga meningkatkan permintaan dan kepercayaan pada kualitas produk meskipun berbahan dasar limbah. Penjualan low grade paper juga merupakan andalan PT. X, karena permintaan low grade paper ini cukup tinggi khususnya oleh industri-industri pembuatan sepatu. Produksi low grade paper mencapai 6 ton kertas per hari per mesin dengan harga sebesar Rp 1000/kg. Untuk pemasaran, PT. X juga melakukan hal yang sama dengan pemasaran paving block. Penjualan produk baik low grade paper maupun paving block selain didukung oleh harga yang relatif murah dan promosi pemasaran, juga didukung oleh lokasi perusahaan yang strategis dan kemudahan akses. Selain itu, PT. X juga
44 menyediakan jasa pengangkutan produk jika pelanggan menginginkannya, sehingga mendorong penjualan produk. Berdasarkan aspek pasar yang meliputi harga produk dan permintaan pasar, penjualan produk low grade paper maupun paving block layak untuk dijalankan. 6.2
Aspek Teknis
Aspek teknis berhubungan dengan input-output proyek; bagaimana secara teknis mengubah input-input menjadi output, sehingga dapat diidentifikasi alat/fasilitas
yang
dibutuhkan
untuk
menunjang
kegiatan.
Selain
itu,
pertimbangan/penilaian lokasi dimana proyek akan didirikan juga menjadi penting, karena lokasi mempengaruhi akses, baik akses terhadap penyediaan input maupun pemasaran output. 6.2.1 Lokasi Usaha Lokasi usaha PT. X dibagi menjadi dua yaitu unit pemasaran (kantor) dan unit produksi (plant). Kantor terletak cukup dekat dengan kota Karawang sehingga dapat dijangkau dengan mudah dan memudahkan kegiatan pemasaran. Kantor yang digunakan untuk pemasaran adalah bangunan yang disewa setiap tahunnya. Plant sendiri berlokasi cukup jauh dari kantor, karena plant merupakan pusat kegiatan pengolahan dan pemanfaatan limbah, sehingga diusahakan sejauh mungkin dengan aktivitas masyarakat. Plant merupakan gabungan dari tiga bagian produksi yang terpisah, yaitu untuk pengolahan limbah (incinerator dan penjernihan solvent), batako 1 (pemanfaatan abu batu bara sebagai bahan baku pembuatan paving block) dan batako 2 (pemanfaatan sludge sebagai bahan baku low grade paper), Berdasarkan tinjauan ke lapangan, plant
telah memenuhi syarat untuk menyimpan bahan
berbahaya dan beracun sesuai panduan penyimpanan B3 yang diterbitkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Meskipun jauh dari lingkungan masyarakat, akses ke plant cukup mudah dan lancar sehingga mempermudah aktivitas pengangkutan limbah ke PT. X, pembelian produk, maupun jika sewaktu-waktu terjadi keadaan darurat. Plant berada di tepi jalan dan sungai, dan untuk melindungi plant dari luapan air sungai, didirikan tembok yang mengelilingi plant yang juga berfungsi untuk menghindari kontaminasi B3 yang disimpan di dalam
45 dengan lingkungan sekitatr ketika terjadi banjir atau kebakaran. Tempat penyimpanan B3 berada pada lahan bebas, atau tidak ada bangunan lain yang berada di sekitar plant sehingga tidak menyebabkan efek domino jika terjadi kebakaran, gempa, ataupun longsor. Tempat B3 berada di bagian terluar dari keseluruhan plant sehingga akses untuk menjangkau bagian ini tidak sulit. Pembangunan plant juga mempertimbangkan faktor pencahayaan dan aliran udara di dalam plant. Pada umumnya, keseluruhan plant memiliki atap yang melindungi dari hujan, tetapi untuk pencahayaan, bagian pengelolaan limbah memiliki celah pencahayaan yang lebih sedikit dibandingkan dengan Batako 1 dan Batako 2, karena bagian ini merupakan tempat penyimpanan limbah B3 baik yang cair maupun padat. Batako 1 memiliki aliran udara dan cahaya yang cukup luas, karena fly ash yang masuk ke Batako 1 pada umumnya bersifat panas karena merupakan sisa dari pembakaran. Faktor-faktor lain yang juga turut diperhatikan dalam pembangunan plant adalah pintu darurat (terbuat dari baja), lantai yang kedap air (kecuali Batako 1 tidak memiliki lantai), perlindungan petir, kelistrikan, rambu dan penandaan, serta sistem kesiagaan dan tanggap darurat. Untuk ukuran plant, dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Investasi lahan PT. X No. 1 2 3 4. 5. 6. 7.
Bahan Baku yang Disimpan Sludge kertas untuk mesin kertas (Batako 2) Fly Ash/ Bottom ash/ Sands Foundry untuk pembuatan Paving block (Batako 1) Oil sludge (pengelolaan) Limbah B3 campuran (pengelolaan) Limbah B3 beracun (pengelolaan) Limbah B3 cair (pengelolaan) Limbah B3 cair untuk Waste Waster Treatment (pengelolaan)
Kapasitas/Luas 620 m2 472 m2 828 m2 360 m2 217 m2 474 m3 288 m2
Sumber : PT. X (2014)
6.2.2 Pengolahan Limbah B3 Bentuk pengolahan limbah B3 yang disediakan oleh PT. X sebenarnya ada tiga, yakni pemusnahan limbah dengan incinerator, pengolahan limbah B3 cair dengan WWTP (IPAL), dan pengolahan limbah B3 cair dengan cara destilasi (pengolahan limbah solvent), namun yang menjadi ruang lingkup penelitian ini adalah pengolahan limbah dengan cara incinerator dan destilasi.
46 Penggunaan incinerator untuk memusnahkan berbagai macam limbah B3 mengikuti kaidah yang telah ditetapkan. Pada umumnya, jenis limbah yang dimusnahkan adalah waste waster treatment sludge, paper sludge, paint sludge, silica sludge, resin, spin earth, thinner bekas, grease, polimer bekas, minyak kotor, oil sludge, oli bekas, coolant, slope oil, oil filter, buffing dust, scrap/ timming shaving, carbon active, saw dust
terkontaminasi B3, majun yang
terkontaminasi B3, tinta bekas, limbah medis, contaminated material, solvent, drilling mud, limbah karbit, dye waste, larutan bekas pickling, larutan bekas elektroplating, limbah B3 cair dari laboratorium, contaminated liquid waste, dan larutan
asam/
alkali
bekas.
Limbah-limbah
ini
dipisah
berdasarkan
karakteristiknya yakni berdasarkan sifat dan karakteristik limbah, sehingga tidak menimbulkan sifat kimia maupun sifat fisika yang berbahaya, tetapi limbahlimbah yang dapat dicampur proses pembakarannya seperti kemasan produk, produk yang telah kadaluarsa, atau produk gagal (rejected product), dapat dibakar bersam-sama. Sedangkan untuk limbah medis/klinis tidak boleh dicampur dengan limbah B3 lainnya. Setelah limbah-limbah dipisahkan, limbah-limbah tersebut kemudian di masukkan ke dalam incinerator melalui chamber (ruang bakar) pertama melalui pintu feeding double gate. Pengumpulan limbah awal ke ruang bakar setelah pproses pemanasan incinerator pada ruang bakar pertama mencapai temperatur paling rendah 700°C, dan pada ruang bakar kedua maksimal 1.100°C. Selama proses pembakaran, pengendali pencemaran harus diaktifkan, sehingga asap dari sisa pembakaran adalah asap yang dapat dilepas ke udara. Dan karena tidak ada sistem yang 100% efisien, maka proses pembakaran ini pun menghasilkan sisaan berupa abu, yang harus ditangani secara khusus karena karakteristiknya yang berbahaya. Abu sisa pembakaran ini disimpan pada wadah sebelum akhirnya di serahkan ke pihak ke tiga yang memiliki kapasitas dalam penanganan abu ini dalam waktu tidak lebih dari 24 jam. Solvent adalah larutan yang digunakan sebagai pelarut, yang umumnya digunakan untuk tinta (dalam industri percetakan). Karena solvent dapat digunakan berkali-kali maka solvent dapat di-recycle dengan sistem destilasi, sehingga diperoleh solvent yang jernih dan dapat digunakan kembali. Untuk me-
47 recycle sovent dibutuhkan alat yang disebut dengan mesin penjernih solvent. Ketika perusahaan pelanggan ingin mengolah solvent, tenaga kerjanya haruslah dari perusahaan pelanggan sendiri, sehingga PT. X hanya menyediakan tenaga pengawas saja. Solvent yang sudah selesai dijernihkan dimasukkan ke dalam jerigen/wadah yang juga disediakan oleh pelanggan sendiri, sedangkan abu sisa penjernihan yang telah dipisahkan diperlakukan sama seperti abu sisa pembakaran, yakni diserahkan ke pihak ketiga. Untuk mendukung kegiatan pengolahan limbah-limbah tersebut, alat-alat yang dibutuhkan dijelaskan pada Tabel 9. Tabel 9 Investasi Pengolahan Limbah B3 PT. X No. 1
2
Nama/Tipe Incinerator
Spesifikasi Umur Teknis Reciprocating Grate State 10 tahun Incinerator kapasitas limbah padat 300 kg/jam dan limbah cair 100 liter/jam Penjernih solvent recovery machine 8 tahun (ETA-RS 10, kapasitas 25L/jam)
Jumlah 1 unit
Mesin Solvent
1 unit
Sumber : PT. X (2014)
6.2.3 Pemanfaatan B3 Limbah yang diterima oleh PT. X dapat dimanfaatkan menjadi produk, sehingga menjadi nilai tambah bagi perusahaan. Limbah-limbah hasil pembakaran dengan menggunakan batu bara sebagai bahan bakar berupa fly ash, bottom ash, dan sands foundry dimanfaatkan oleh PT. X menjadi paving block. Saat limbah ini diterima dari perusahaan pelanggan, limbah ditempatkan pada sejumlah luas ruang lahan secara terpisah. Kemudian limbah-limbah tersebut dicampur dengan menggunakan mesin pengaduk (mixer) bersama-sama dengan altras dan semen. Setelah pencampuran, adonan kemudian dimasukkan ke dalam mesin cetak batako (mesin press) yang memiliki kapasitas pencetakan 3000-4000 pcs setiap produksi nya. Setelah paving block dicetak, paving block kemudian dijemur di bawah sinar matahari, dan jika sudah kering paving block siap dipasarkan. Jika ternyata ada paving block yang rusak atau gagal dalam proses pembuatannya, paving block dihancurkan dengan crusher agar dapat digunakan kembali sebagai bahan campuran baru.
48 Untuk mengawasi proses produksi ini, dibutuhkan dua orang mekanik yang bertugas untuk mengawas dan mengambil keputusan-keputusan produksi, sedangkan untuk pengerjaan paving block dibutuhkan tiga sampai empat orang tenaga kerja yang dibayar dengan sistem borongan. Untuk mendukung proses pemanfaatan limbah menjadi paving block, PT. X juga mengeluarkan biaya-biaya investasi untuk pembelian peralatan seperti pada Tabel 10. Tabel 10 Investasi alat pemanfaatan limbah batu bara (fly ash) menjadi paving block PT. X No. 1 2 3
Nama/Tipe Mesin press batako Crusher Mixer
Umur Teknis 5 tahun 5 tahun 5 tahun
Jumlah 5 unit 1 unit 1 unit
Sumber PT. X (2014)
Pemanfaatan limbah sludge menjadi low grade paper dijelaskan sebagai berikut Limbah-limbah yang dibutuhkan untuk pembuatan low grade paper ini disimpan pada sejumlah ruang setelah limbah diangkuat dari perusahaanperusahaan pelanggan. Kemudian limbah-limbah tersebut seperti sludge, scrap shaving, trimming shaving, dan karbit dicampur pada bak-bak pencampuran atau yang disebut dengan kempu sampai berbentuk bubur kertas dan diaduk dengan mesin pembuburan. Bubur kertas kemudian dipompa ke dalam mesin pencetak kertas, dan setelah lembaran kertas terbentuk, kertas dipotong-potong dengan ukuran tertentu, dikeringkan dan dipress, dan siap untuk dijual. Low grade paper biasanya dijual untuk pabrik sepatu untuk digunakan sebagai sol. Peralatan yang dibutuhkan untuk pembuatan low grade paper dijelaskan pada Tabel 11. Tabel 11 Investasi alat pemanfaatan limbah sludge IPAL kertas menjadi low grade paper PT.X No. 1 2
Nama/Tipe Bak Pembuburan (kempu) Mesin cetak kertas
Sumber: PT. X (2014)
Umur Teknis (tahun) 1 8
Jumlah (unit) 4 14
49 6.3
Aspek Hukum
Penilaian kelayakan aktivitas pengangkutan, pengolahan, dan pemanfaatan limbah B3 perlu dinilai dari aspek hukum, karena hal ini bukanlah bidang yang mudah untuk dijalankan terutama karena karakteristiknya. Aktivitas perlakuan pada limbah harus sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan agar tidak merugikan baik masyarakat luar, lingkungan, atau bahkan perusahaan itu tersendiri. PT. X tidak dapat beroperasi jika tidak mendapat ijin resmi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan untuk mendapatkan ijin, maka segala aktivitas yang dilakukan harus sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Perizinan untuk kegiatan pengolahan dan pemanfaaatan B3 dijelaskan pada Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.18 Tahun 2009 tentang Tata Cara Perizinan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Untuk pembangunan gedung/bangunan tempat penyimpanan bahan berbahaya dan beracun di PT. X sejalan dengan yang diatur dalam UU No.28 tahun 2002 tentang bangunan gedung seperti jarak plant
yang sejauh mungkin dengan aktivitas
manusia, berada pada daerah bebas banjir sehingga mencegah terjadinya bercampurnya B3 dengan air dan terbawa keluar lingkungan. PT. X memang dekat dengan badan air tetapi memiliki perlindungan yang memadai. Selain itu, PT. X juga memenuhi syarat akses yang dapat dijangkau dengan mudah jika terjadi keadaan darurat seperti kemudahan pemadaman kebakaran, ambulans, atau keadaan tanggap darurat. Untuk pengangkutan limbah, telah ditetapkan bahwa limbah B3 hanya dapat diangkut oleh badan yang telah disetujui oleh Kementerian Perhubungan yang direkomendasikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup sehingga PT. X telah memenuhi persyaratan tersebut. Untuk kegiatan pengolahan limbah B3, sebelum diangkut limbah harus dipisahkan untuk mencegah reaksi yang kemungkinan terjadi jika bercampur tanpa memperhatikan sifatnya. Pemisahan limbah berdasarkan karakteristiknya, pewadahan, pemberian label pada kemasan seperti yang diatur dalam Keputusan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor: Kep-05/BAPEDAL/09/1995 tentang Simbol dan Label Bahan Berbahaya dan Beracun, yang juga mencakup pencataan segala limbah yang masuk dan keluar dari PT. X pada dokumen neraca limbah.
50 Pengoperasian alat yang digunakan baik untuk mengolah seperti incinerator dan penjernih solvent juga diatur oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Untuk pengolahan limbah dengan menggunakan incinerator, maka hal-hal yang perlu diperhatikan adalah spesifikasinya yang sesuai dengan karakteristik dan jumlah limbah yang diolah, memenuhi efisisensi minimal 99,99%, memenuhi standar efisiensi udara, dan residu wajib dikelola sesuai ketentuan. Untuk pemanfaatan limbah B3 seperti pemanfaatan limbah menjadi paving block harus sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor : 03-0348-1989. Selain itu, setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki amdal, sehingga dalam pelaksanaan pengelolaan dan pemanfaatan B3 oleh PT.X ini pun harus memiliki amdal. Setiap perde tertentu, segala kegiatan harus dilaporkan dan dilakukan uji kesesuaian dengan standar lingkungan yang ditetapkan. 6.4
Aspek Sosial dan Lingkungan
6.4.1 Aspek Sosial Penilaian aspek sosial dari suatu proyek adalah bagimana proyek berimplikasi sosial secara luas, seperti kesempatan kerja dan kualitas hidup masyarakat dimana proyek bediri. Keberadaan usaha pengangkutan, pengolahan, dan pemanfaatan limbah B3 oleh PT. X ini telah memberikan dampak positif dan berperan penting bagi kehidupan sosial masyarakat yang berada disekitar PT. X. Keberadaan PT. X sebagai badan usaha yang berorientasi pada profit berarti menjadi pemasukan bagi pemerintah melalui pajak yang dibayarkan. Hal ini juga membuka kesempatan kerja bagi masyarakat. Jumlah tenaga kerja yang ada di PT. X adalah sebanyak 335 orang (dengan jumlah tenaga kerja yang khusus pada pengelolaan limbah 160 orang, sisanya pada pengangkutan dan ekspedisi). Itu artinya, aktivitas usaha PT. X berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar, terutama karena sebagian besar pekerja adalah masyarakat sekitar yang tidak terdidik. Selain itu, PT. X juga melakukan bentuk kepedulian bagi kegiatan sosial bagi masyarakat sekitar seperti peningkatan kualitas tempat ibadah, beasiswa, dan perbaikan jalan melalui pemberian paving block.
51 6.4.2 Aspek Lingkungan Selain menjadi bisnis yang memberikan keuntungan bagi para manajemen dan pemilik usaha, bentuk pengelolaan limbah B3 ini juga berperan dalam perbaikan kualitas lingkungan karena membantu pemerintah dan masyarakat pelaku bisnis untuk mengelola limbahnya, sehingga dapat mencegah kerusakan lingkungan atau kerugian jika limbah tidak diolah. Keberadaan industri seperti ini juga membantu mengatasi permasalahan lahan yang terbatas jika digunakan untuk mendumping limbah-limbah (seperti fly ash) yang jumlahnya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pemanfaatan B3 menjadi produk baru adalah salah bentuk teknik produksi bersih yang juga memberikan manfaat karena dengan demikian, maka dapat meningkatkan penggunaan sumberdaya yang efisien, mengurangi resiko dan dampak pencemaran (sludge akan lebih “ramah lingkungan” jika dimanfaatkan menjadi kertas dibandingkan harus dibakar dengan incinerator misalnya) selain memberikan keuntungan ekonomi. Selain itu, pemanfaatan B3 adalah salah satu bentuk kegiatan yang efisien karena hampir seluruhnya dapat dimanfaatkan, berbeda dengan pengelolaan sebatas pengolahan saja yang menyisakan residu ( yang masih bersifat berbahaya dan beracun). Meskipun demikian, pengelolaan B3 bisa saja justru berdampak negatif jika pelaksanaan pengelolaannya tidak memperhatikan kaida-kaidah yang telah ditetapkan. Jika limbah tidak ditangani dengan tepat misalnya, bisa saja aktivitas ini justru membahayakan karena kuantitasnya yang besar dan jenisnya yang beragam, sehingga jika bercampur dan bereaksi akan meningkatkan resiko B3 yang lebih besar. Hal yang perlu diperhatikan adalah masalah alokasi sumberdaya dan keputusan kapan limbah harus masuk dan keluar, pembatasan jumlah timbunan B3, kapasitas dan daya tampung alat pengolah limbah, tidak hanya berfokus pada keuntungan/ profit saja agar keberlangsungan usaha dan keberlanjutan ditiga aspek tersebut (profit, people, dan planet) dapat dicapai.
52 6.5
Aspek Finansial
Aspek finansial merupakan penilaian kelayakan usaha apakah secara biaya dan manfaat akan menguntungkan selama umur proyek. Selai itu, aspek finansial juga menilai kapan proyek akan mengembalikan biaya investasi yang telah dikeluarkan, dan sampai seberapa jauh proyek dapat memberikan keuntungan jika terjadi perubahan-perubahan pada proses produksi. 6.5.1 Komponen Biaya Biaya-biaya yang dikeluarkan oleh PT. X mencakup biaya investasi dan biaya operasional, dimana biaya operasional dibagi menjadi biaya tetap dan biaya variabel. 6.5.1.1 Biaya Investasi Biaya investasi adalah biaya yang dikeluarkan untuk pengadaan peralatan maupun lahan untuk mendukung kegiatan produksi. Biaya investasi meliputi investasi lahan, bangunan, laboratorium, pembelian alat/mesin dan kendaraan. Selain itu, karena kegiatan yang berkaitan dengan limbah harus memenuhi syarat kesehatan dan keselamatan kerja (K3), PT. X juga mengeluarkan biaya-biaya untuk perlengkapan keselamatan (safety tools) seperti rompi, helm, sepatu boots, masker, dan kacamata pelindung. Biaya-biaya investasi diperlihatkan pada Tabel 12. Tabel 12 Biaya investasi pengolahan dan pemanfaatan limbah B3 PT. X No 1
Komponen Lahan dan bangunan 2 Laboratorium 3 Incinerator 4. Mesin penjernih solvent 5. Mesin press batako 6. Mixer 7. Crusher 8. Mesin cetak kertas 9. Alat berat 10. Alat transportasi (Colt Diesel) 11. Bak kempu 12. safety tools dan perlengkapan lain Sumber: PT. X (2014)
Harga Satuan (Rp) 2 150 000
Jumlah 3.259 m2
Total (Rp) 7 000 000 000
Umur teknis 20 tahun
7 800 000 000 150 000 000
2 unit 1 unit 1 unit
135 000 000 7 800 000 000 150 000 000
10 tahun 20 tahun 15 tahun
35 000 000
5 unit
175 000 000
5 tahun
5 500 000 9 000 000 225 000 000
1 unit 1 unit 14 unit
9 000 000 9 000 000 3 150 000 000
5 tahun 5 tahun 8 tahun
1 500 000 000 250 000 000
1 unit 175 unit
1 500 000 000 43 750 000 000
20 tahun 20 tahun
2 000 000 8 950 000
4 unit 1 set
8 000 000 8 950 000
1 tahun 1 tahun
53 6.5.1.2 Biaya Tetap Biaya tetap adalah biaya yang dikeluarkan oleh pelaku usaha, yang dikeluarkan secara berkala, bersifat tetap, dan tidak dipengaruhi oleh jumlah produksi yang dihasilkan.Untuk kegiatan pengolahan limbah dan pemanfaatan menjadi produk, biaya tetap meliputi tenaga kerja/karyawan tetap, pajak, cicilan hutang, sewa kantor pemasaran, dan biaya maintanance. Biaya-biaya yang dikeluarkan untuk keperluan operasional yang bersifat tetap ini dijelaskan pada Tabel 13. Tabel 13 Biaya tetap pengolahan dan pemanfaatan limbah B3 PT. X No 1. 2. 3. 4.
Komponen Upah karyawan tetap Sewa Kantor Pemasaran Cicilan Hutang Biaya maintanance: a. incinerator b.mesin penjernih solvent c. pencetak kertas d. mesin press batako Sumber: PT. X (2014)
Harga Satuan (Rp) 2 447 450 115 000 000 3 650 162 899 200 000 000 11 350 000 10 000 000 800 000
Jumlah 250 orang 1 tahun 1 tahun
Total (Rp) 611 862 500 115 000 000 3 650 162 899
1 x 1 tahun 1 x 1 tahun 1 x 1 tahun 1 x 3 bulan
200 000 000 11 350 000 10 000 000 3 200 000
6.5.1.3 Biaya Operasional Biaya operasional adalah biaya yang berubah-ubah karena dipengaruhi oleh jumlah produksi yang dihasilkan, Untuk pengolahan limbah dengan incinerator, biaya operasional ini meliputi pemakaian listrik serta pemakaian solar sebagai bahan bakar incinerator. Untuk pembuatan paving block, biaya operasionalnya
meliputi altras, semen, tenaga kerja dengan sistem borongan,
sedangkan biaya operasional pembuatan produk low grade paper adalah biaya upah karyawan pencetak kertas.Biaya-biaya tersebut ditampilkan pada Tabel 14. Tabel 14 Biaya operasional pengolahan dan pemanfaatan limbah B3 PT. X No 1. 2.
Komponen Harga Satuan (Rp) Jumlah per tahun Total (Rp) Listrik untuk Plant 5 337 500/bulan 12 bulan 64 050 000 Listrik untuk kantor 3 837 885/bulan 12 bulan 46 054 620 pemasaran Pengolahan Limbah dengan Incinerator 3. Solar 6500/liter 1.123.200 liter 7 300 800 000 Pemanfaatan Limbah Batu Bara (fly ash) menjadi Paving Block 4. Semen 60 000/sak 93600 sak 5 616 000 000 5. Altras 800 000/7m3 15.288 m3 Rp1.248.000.000 6. Karyawan Borongan 175/pcs 4.680.000 pcs 819 000 000 Pemanfaatan Limbah sludge menjadi Low grade paper 7. Karyawan 2 000 000/orang/bulan 6 orang 144 000 000 Sumber : PT. X (2014)
54 6.5.2 Komponen Manfaat Komponen arus penerimaan (inflow) yang diperoleh adalah merupakan penjumlahan manfaat-manfaat yang diterima oleh PT. X. Manfaat-manfaat tersebut adalah dengan biaya pemusnahan produk dengan incinerator, pembayaran jasa untuk
penyimpanan limbah fly ash/bottom ash, dan sands foundry,
pembayaran jasa penyimpanan limbah sludge
dan karbit, pengolahan limbah
solvent, penjualan produk paving block, dan penjualan produk low grade paper. 6.5.2.1 Pemusnahan produk dengan incinerator Setiap limbah yang diangkut untuk dimusnahkan dengan incinerator dibayar dengan harga Rp 1700/kg limbah padat dengan jumlah limbah yang masuk sebanyak 3600 kg, dan Rp 1500/liter limbah cair dengan jumlah limbah cair sebanyak 1200 liter per harinya. Sehingga total penerimaan dari pemusnahan produk dengan incinerator adalah jumlah limbah yang masuk dikalikan dengan harga jasanya. Total penerimaan dari pengolahan limbah cair dan padat ini adalah sebesar Rp 7 920 000 per harinya, atau sebesar Rp 2 471 040 000 setiap tahunnya. 6.5.2.2 Jasa penyimpanan limbah fly ash/bottom ash dan sands foundry Setiap limbah fly ash/bottom ash, dan sands foundry yang diangkut dibayar dengan harga Rp 200/kg. Sehingga total penerimaan dari pemusnahan produk dengan penyimpanan fly ash/bottom ash adalah jumlah limbah yang masuk setiap harinya sebanyak 210 ton, dikalikan dengan harga jasanya yaitu sebesar Rp 13 104 000 000 pertahunnya. 6.5.2.3 Penyimpanan limbah sludge IPAL kertas, scrap shaving, trimming shaving,dan karbit Setiap limbah sludge dan karbit yang diangkut dan disimpan dibayar dengan harga Rp 600/kg. Sehingga total penerimaan dari penyimpanan sludge dan karbit adalah jumlah limbah yang masuk yaitu berkisar 75 ton per hari dikalikan dengan harga jasanya, yakni sebesar Rp 45 000 000 setiap harinya, atau Rp 14 040 000 000 setiap tahunnya.
55 6.5.2.4 Pengolahan limbah solvent Setiap limbah solvent yang diolah dengan mesin destilasi/penjernih dibayar dengan harga Rp 1500/L. Setiap harinya, jumlah limbah yang masuk untuk diolah dengan mesin penjernih adalah 200 L. Sehingga total penerimaan pengolahan limbah solvent adalah jumlah limbah yang masuk dikalikan dengan harga jasanya yaitu Rp 300 000 per harinya, atau sebesar Rp 93 600 000 per tahun. 6.5.2.5 Penjualan produk paving block Limbah fly ash/bottom ash dan sands foundry yang diangkut oleh PT. X dari perusahaan-perusahaan pelanggan adalah menjadi milik PT. X dan PT. X berhak melakukan serangkaian tindakan atas limbah tersebut, termasuk pemanfaatan menjadi paving block. Hal ini menguntungkan bagi PT. X karena selain menerima pembayaran atas jasa pengangkutan, limbah juga dapat dimanfaatkan. Artinya, dapat menghemat bahan baku seperti pasir/altras, jika pembuatan paving block dibuat tanpa limbah-limbah tersebut. Paving block dijual dengan harga maksimal Rp 1500/pcs. Total produksi paving block dalam sehari mencapai 30 000 pcs setiap harinya. Sehingga total penerimaan dari penjualan paving block
adalah sebesar Rp
45 000 000 setiap harinya, atau sebesar
Rp14.040.000.000 setiap tahunnya 6.5.2.6 Penjualan produk low grade paper Sama halnya dengan limbah fly ash/bottom ash,
PT. X juga
memanfaatkan limbah sludge IPAL untuk dijadikan kertas, sehingga menjadi tambahan pemasukan bagi perusahaan. Low grade paper dijual dengan harga Rp 500/kg, dan hari mampu menghasilkan 33 ton kertas. Sehingga total penerimaan dari penjualan low grade paper adalah Rp 33 000 000 per harinya atau Rp10 296 000 000 setiap tahunnya. Berdasarkan identifikasi komponen-komponen manfaat pengolahan dan pemanfaatan B3 oleh PT X, maka diperolehlah penerimaan total PT. X sbesar Rp 54 044 640 000 setiap tahunnya.
56 6.5.3 Arus Biaya-Manfaat Arus biaya manfaat diperlukan untuk mengetahui seberapa layak investasi usaha pengolahan dan pemanfaatan limbah B3 ini. Karena proyek ini dinilai pada 2014 sementara sudah mulai berjalan pada 2008, maka penilaian analisis finansial ini bertujuan untuk mengevaluasi sejauh mana kelayakan investasi dalam empat tahun terakhir dan bagaimana perkembangannya untuk beberapa tahun ke depan. Berdasarkan hasil pengolahan data perhitungan kelayakan investasi selama 20 tahun yang terlampir pada Lampiran 1, maka didapatkan hasil pada Tabel 15. Tabel 15 Hasil kriteria investasi pengolahan dan pemanfaatan limbah B3 PT. X No. 1. 2. 3. 4.
Kriteria Net Present Value Net Benefit Cost Ratio Internal Rate of Return Payback Period
Hasil Rp 110 997 445 852
3 17% 8
Sumber : Hasil Analisis Data (2014)
Berdasarkan tabel di atas, dengan pertimbangan suku bunga 10,5% diperoleh nilai NPV sebesar Rp 110 997 445 852 yang artinya proyek layak dijalankan, karena nilai NPV yang positif menjelaskan bahwa proyek akan memberikan pengembalian bersih positif Rp 110 997 445 852 selama jangka waktu proyek. Nilai Net B/C sebesar 3 menunjukkan bahwa setiap Rp 1,00 biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan manfaat bersih sebesar Rp 3. Artinya dengan kriteria Net B/C, proyek ini layak untuk dilanjutkan. Nilai IRR yang diperoleh adalah sebesar 17%. karena IRR lebih besar dari discout rate yang ditetapkan (10,5%), maka proyek dinilai layak, karena IRR mencerminkan kemampuan usaha untuk memberikan pengembalian modal. Jika IRR lebih besar dari discout rate, artinya IRR akan membuat nilai NPV yang lebih besar dari nol, atau berati proyek akan memberikan manfaat bersih positif selama masa pelaksanaan proyek. Investasi usaha pengelolaan dan pemanfaatan limbah B3 oleh PT. X akan kembali pada tahun yang dicerminkan dari nilai pay back periode sebesar 8, atau akan memberikan pengembalian atas biaya-biaya investasi pada tahun ke delapan.
57 Sehingga, berdasarkan keempat kriteria penilaian tersebut, pengelolaan dan pemanfaatan limbah B3 oleh PT. X layak untuk tetap dijalankan. 6.6
Analisis Switching Value
Analisis switching value digunakan untuk mengetahui bagaimana keberlanjutan proyek ketika ada perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan proyek yang mempengaruhi masa depan proyek. Dalam penilaian kelayakan usaha pengolahan dan pemanfaatan B3 ini, skenario yang diberlakukan adalah perubahan jumlah B3 yang masuk ke perusahaan. Hal ini tidak saja mempengaruhi jumlah penerimaan dari pengolahan limbah, tapi juga jumlah produk hasil pemanfaatan yang bisa dijual, karena jumlah limbah yang masuk akan mempengaruhi pemanfaatannya. Dengan menggunakan analisis switching value (hasil perhitungan pada Lampiran 2), usaha pengolahan dan pemanfaatan B3 ini akan hanya akan layak jika penurunan jumlah input/ masukan limbah B3 tidak kurang dari 30%. Dengan kata lain jumlah masukan limbah haruslah minimal sama dengan 70% dari kapasitas alat pengolah, karena jika jumlah limbah kurang dari itu, usaha ini menjadi tidak layak dijalankan, baik dari sisi penilaian NPV yang tidak lebih dari satu, dan nilai IRR yang tidak lebih dari 10,5%, seperti yang dijelaskan pada Tabel 16. Tabel 16 No.
1. 2. 3.
Perubahan kriteria kelayakan ketika terjadi penurunan jumlah masukan B3
Perubahan Penurunan Jumlah B3 25% 30% 35%
Hasil Analisis Data (2014)
NPV (Rp) Rp50.358.807.116 Rp36.732.426.077 Rp23.106.045.038
Kriteria Kelayakan Net B/C
IRR (IRR)
2
12%
2 1
11% 10%
58 6.7 Pertimbangan dalam Pengembangan Usaha Pengelolaan dan Pemanfaatan B3 Kehadiran perusahaan-perusahaan yang mengolah dan memanfaatkan B3 membantu mengatasi permasalahan penanganan B3 yang selama ini menjadi beban, baik bagi pemerintah maupun para pelaku usaha. Berdasarkan penilaian dari berbagai aspek di atas, usaha pengelolaan dan pemanfaatan B3 seperti ini layak untuk dikembangkan, apakah itu oleh PT.X sendiri maupun oleh pelaku usaha lainnya, mengingat jumlah usaha ini masih kecil sementara peluang pasarnya besar dan keuntungan ekonomisnya cukup besar disamping untuk membantu masalah lingkungan akibat B3 tersebut. Tetapi ada beberapa hal yang menjadi perhatian jika akan mengembangkan usaha dengan basis jasa pengelolaan B3 ini. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut. 1.
Biaya-biaya yang diperhitungkan dalam perencanaan proyek ini adalah biaya-biaya yang berkaitan secara langsung, sehingga ada biaya-biaya yang tidak dipertimbangkan seperti biaya-biaya yang dikeluarkan sebelum proyek dijalankan. Biaya-biaya yang dikeluarkan di awal pelaksanaan proyek misalnya adalah biaya memperoleh izin dan rekomendasi pengelolaan B3 yang dibebankan ke pemohon izin, meliputi biaya studi kelayakan teknis untuk proses perizinan. Perijinan agar pengolahan dan pemanfaatan proyek bisa saja memakan waktu yang lama dan biaya yang besar karena selain masalah administrasi, setiap aktivitas usaha harus sesuai dengan syaratsyarat yang ditetapkan seperti penilaian analisis dampak lingkungan (amdal), uji coba hasil pengolahan dan pemanfaatan, serta kontrol hasil pengolahan dan pemanfaatan secara berkala.Perizinan untuk usaha ini dijelaskan pada Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.18 Tahun 2009 tentang Tata Cara Perizinan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
2.
Masalah penanganan limbah B3 ini adalah masalah yang serius karena karakteristiknya yang berbahaya dan beracun, sehingga dibutuhkan pengetahuan dan keterampilan teknis masalah B3, dan ketaatan pada prosedur/hukum yang ditetetapkan. Hal penting yang perlu diperhatikan adalah masalah alokasi sumberdaya dan keputusan kapan limbah harus masuk dan keluar, pembatasan jumlah timbunan B3, kapasitas dan daya
59 tampung alat pengolah limbah, sehingga tidak hanya berfokus pada keuntungan/ profit saja. 3.
Dengan perhitungan analisis switching value, usaha ini hanya akan menguntungkan pada skala ekonomis dimana jumlah limbah yang dikelola minimal sama dengan 70% dari kapasitas alat pengolah karena apabila jumlah limbah B3 kurang dari itu, usaha ini menjadi tidak layak dijalankan.
4.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada aspek pasar, karakteristik produk jasa pengolahan dan pemanfaatan B3 yang unik ini menjelaskan bahwa industri berbasis jasa pengolahan dan pemanfaatan B3 ini bersifat monopolistik. Perusahaan dapat menentukan harga sendiri (price maker) yang diharapkan untuk memberikan keuntungan, sehingga hal ini menjadi insentif dikembangkannya usaha ini. Namun dalam jangka panjang, hal ini akan menjadi insentif masuknya perusahaan-perusahan baru dalam industri ini sehingga jika jumlah perusahaan yang masuk kedalam industri bertambah, hal ini akan menggeser permintaan pada suatu perusahaan pengolah jasa tertentu, sehingga labanya akan berkurang bahkan akan mencapai ekuilibrium sama dengan nol.
60
VII. SKENARIO PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN YANG EFEKTIF 7.1 Pertimbangan dalam Pengelolaan Limbah Batu Bara (fly ash) Peningkatan penggunaan jumlah batu bara sebagai bahan bakar tentu akan mengakibatkan peningkatan jumlah sisa/limbah pembakaran yang biasa disebut dengan fly ash. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Pada tahun 2010 di Provinsi jawa Barat saja, penggunaan batu bara sebagai bahan bakar mencapai 1 140 984 266 kg dan meningkat terutama sejak kenaikan BBM pada 2013. Dan seperti yang dijelaskan sebelumnya, menurut Kementerian Lingkungan Hidup, setiap pembakaran 1 ton batu bara akan menghasilkan sebanyak 15-17% abu batu bara (fly ash). Itu artinya, dari pembakaran 1 140 984 266 kg batu bara maka akan menghasilkan sekitar 182 557,5 ton abu batu bara untuk provinsi Jawa Barat saja. Jika abu batu bara ini didumping di landfill maka, membutuhkan luas lahan yang sangat besar. Oleh sebab itu diperlukan tindakan untuk mengatasi permasalahan ini. Alternatif pemecahan permasalahan limbah batu bara ini adalah apakah dengan menyerahkan ke pihak ke tiga, atau dengan memanfaatkan limbah ini sehingga memberikan nilai tambah. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari PT. X, setiap perusahaan harus menyerahkan limbah batu bara minimal 10 ton setiap harinya. Sehingga untuk membatasi penelitian ini, setiap perusahaan diasumsikan memiliki limbah setidaknya 10 ton per hari. 7.1.1 Perhitungan Ekonomi Jika Menyerahkan ke Pihak Ketiga Berdasarkan informasi yang diperoleh dari PT. X (PT. X dalam hal ini adalah sebagai pihak ketiga), biaya yang harus dibayarkan oleh pelanggan (tipping fee) untuk menangani abu batu bara adalah Rp 200/kg. Jika limbah yang dihasilkan adalah sebesar 10 ton setiap harinya, maka biaya total pengolahan limbah ini dijelaskan pada Tabel 17. Tabel 17 Biaya pengelolaan limbah fly ash oleh pihak ketiga Alternatif Pengangkutan Jasa Pihak ketiga
Tipping Fee per kg/ material Rp 200/kg
Sumber : Hasil Analsisis Data (2014)
Material
Total Cost
10 ton
Rp 2.000.000
61 7.1.2 Perhitungan Ekonomi Jika Memanfaatkan Limbah Menjadi Paving Block Jika limbah batu bara dimanfaatkan untuk menjadi paving block, maka keuntungan yang diperoleh adalah biaya pengangkutan ke pihak ketiga yang dapat dihemat, serta penjualan produk. Tetapi yang menjadi pertimbangan adalah adanya biaya investasi dan operasional untuk proses pembuatan paving block. Informasi mengenai biaya-biaya dan jumlah pemasukan berikut ini diperoleh dari PT. X. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, setiap perusahaan pelanggan rata-rata menghasilkan limbah fly ash sebanyak 10 ton per hari. Jika 10 ton limbah ini dimanfaatkan untuk paving block, maka akan dihasilkan sebanyak 2900 pcs paving block. Itu artinya membutuhkan sebuah mesin press batako tahun dengan kapasitas 3000 pcs per mesinnya. Biaya investasi untuk memanfaatkan limbah batu bara (fly ash) menjadi paving block dijelaskan pada Tabel 18. Tabel 18 Biaya investasi pemanfaatan limbah batu bara (fly ash) menjadi paving block No .
Komponen Investasi
Jumlah
1.
Lahan dan 472m2 bangunan 2. Mesin 1 Press*) 3. Crusher*) 1 4. Mixer*) 1 5. Safety tools (helmet, 1 set boots,dll) 6. Peralatan lain (sekop, 1set ember, cangkul, Total Biaya Investasi *)
Harga Satuan (Rp)
Biaya Investasi Total (Rp)
Biaya Investasi Total Harian (Rp)
20
2 150 000
1 013 807 917
162 469
5
35 000 000
35 000 000
22 436
5 5
9 000 000 5 500 000
9 000 000 5 500 000
5 769 3 526
1
1 950 000
1 950 000
6 250
1
575 000
575 000
1 843
Umur Teknis (tahun)
Umur teknis 5 tahun Sumber : Hasil Analisis Data (2014)
202 293
62 Biaya Operasional : 1.
Tenaga kerja mekanik adalah tenaga kerja yang mengawasi kegiatan agar berjalan sesuai dengan prosedur dan kaidah-kaidah keselamatan dan kesehatan kerja (K3), melakukan transaksi, dan mengambil keputusan. Upah tenaga kerja berdasarkan UMK Kabupaten karawang adalah Rp 2 447 450 sehingga biaya upah harian adalah Rp 188 265,38.
2.
Buruh bertugas untuk produksi paving block mulai dari pencampuran bahan, pencetakan, penjemuran, hingga pengangkutan ke alat angkut. Upah yang dibayarkan adalah Rp 175/pcs, dengan asumsi jumlah paving block yang dihasilkan adalah sebanyak 2900 pcs per per hari, maka upah harian adalah Rp 507 500/borongan setiap harinya.
3.
Altras digunakan sebagai bahan campuran paving block. Komposisi altras yang digunakan oleh PT. X adalah sebesar 25%, namun karena satu perusahaan biasanya hanya menghasilkan 1 jenis limbah batu bara saja, untuk memenuhi komposisi paving block, kebutuhan altras mencapai 60%, yaitu sekitar 17,4 ton atau 12,42 kubik. sehingga kebutuhan altras setiap harinya sebesar Rp 1 600 000.
4.
Semen digunakan sebagai bahan campuran paving block dengan komposisi semen adalah sebesar 5%, sehingga setiap produksi membutuhkan semen sebanyak 29 sak, dengan harga 1 sak semen adalah Rp 60 000, sehingga biaya semen per hariannya adalah 1 740 000.
5.
Biaya maintanance berupa penggulungan mesin press 1x dalam tiga bulan yaitu sebesar Rp 800 000 sehingga biaya rataan adalah Rp 10 256,41/hari. Biaya-biaya operasional pemanfaatan limbah menjadi paving block dijelaskan pada Tabel 19.
63 Tabel 19 Biaya operasional pemanfaatan limbah menjadi paving block No
Komponen
1.
Tenaga kerja mekanik (UMK) Buruh Listrik (operasional mesin) Altras Semen (50kg) Biaya maintenance
2. 3.
4. 5. 6.
Jumlah/ bulan) 2 orang
Biaya Satuan (Rp) 2 447 450
Biaya Variabel Total (Rp) 4 894 900/bulan
Biaya Variabel Total Harian (Rp) 188 265
borongan
175/pcs 800 000
507 500/hari 800 000/bulan
507 500 30 769
12,42m3 29 sak 1x3 bulan
800 000/7m3 60 000 800 000
1 600 000/hari 1 740 000/hari 800 000/3 bulan
1 600 000 1 740 000 10 256 4 076 791
Total Biaya Operasional Sumber : Hasil Analsis Data (2014)
Berdasarkan identifikasi biaya-biaya tersebut maka diperoleh total biaya (investasi dan operasional) yang harus dikeluarkan setiap harinya untuk menangani limbah batu bara adalah sebesar Rp 4 279 084 . 7.1.3 Efektivitas Biaya Kedua Alternatif Penanganan Limbah Fly Ash Setelah kedua alternatif pengelolaan limbah fly ash diidentifikasi dan dirumuskan, maka selanjutnya adalah memutuskan alternatif mana yang akan dipilih dengan kriteria biaya efektif. Cost (biaya) menunjukkan jumlah biaya yang dikeluarkan untuk menangani fly ash, sedangkan effectiveness (efektivitas) menyatakan jumlah fly ash yang ditangani (wastes handled). Karena jumlah limbah yang dihasilkan sama namun biaya berbeda, maka pendekatan yang dilakukan adalah dengan menggunakan cost-effectiveness ratio with fixed effectiveness. Sehingga, apabila kedua alternatif penanganan limbah fly ash dibandingkan (alternatif A adalah apabila limbah diserahkan ke pihak ke tiga dan alternatif B adalah apabila limbah ditangani secara mandiri), maka hasilnya terlihat pada Tabel 20. Tabel 20 Cost-Effectiveness with Fixed (Identical) Effectiveness for Fly ash Treatment Cost and Effectiveness Cost measure Effectiveness measure (number of wastes handled) CE ratio (cost per wastes handled) EC ratio (wastes handled per thousand rupiah) Sumber : Hasil Analisis Data (2014)
Alternatives A Rp 2 000 000 10 tons
B Rp 4 279 084 10 tons
Rp 200/kg 5 kg
Rp 427,91/kg 2, 3 kg
64 Berdasarkan Tabel 20, perbandingan Alternatif A terhadap B adalah sebagai berikut: 𝐶𝐶𝐶𝐶 𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟 𝐴𝐴
𝐶𝐶𝐶𝐶 𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟 𝐵𝐵
=
Rp 1500 /𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙
Rp 1533 /𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙
= 1 : 2.14
Dengan demikian, biaya yang dikeluarkan untuk menangani per satuan kilogram limbah fly ash akan lebih besar jika ditangani secara mandiri dibandingkan jika diserahkan ke pihak ketiga (alternatif A), karena dari segi biaya, alternatif B lebih besar 2,14 kali dibandingkan alternatif A. Apabila anggaran biaya menjadi satu-satunya pertimbangan keputusan pengolahan limbah fly ash, maka penanganan oleh pihak ke tiga akan lebih efektif dibandingkan jika mengelola secara mandiri, karena setiap seribu rupiah biaya yang dikeluarkan akan menangani jumlah limbah yang lebih banyak. Dengan demikian alternatif A lebih efektif secara biaya dibandingkan dengan alternatif B. Pemilihan keputusan berdasarkan biaya ini akan tepat pada kondisi dimana ketersediaan anggaran dalam penanganan limbah fly ash terbatas. Apabila berada pada kondisi anggaran tak terbatas, maka alternatif B akan lebih menguntungkan, sebab meskipun biaya persatuan limbah lebih besar, namun karena pada alternatif B limbah fly ash dimanfaatkan menjadi paving block maka akan ada manfaat yang diterima jika memilih alternatif tersebut. Manfaat yang diperoleh adalah penjualan jumlah paving block yang dihasilkan yaitu sebanyak 2900 pcs dikalikan dengan harga yaitu Rp
1500/pcs (harga maksimal yang
disarankan ditingkat distributor). Total manfaat yang diperoleh adalah sebesar Rp 4 350 000 per hari. Sehingga manfaat bersih (selisih biaya dan manfaat) jika mengolah limbah batu bara adalah Rp 70 916 artinya jika limbah batu bara dijual dengan harga Rp 1500/pcs, pemanfaatan limbah batu bara menjadi paving block akan menguntungkan. Setiap perusahaan menghasilkan limbah dalam jumlah yang berbeda, maka apabila memutuskan untuk memanfaatkan fly ash agar memperoleh keuntungan dari hasil penjualan produk, maka perlu diketahui sampai titik mana penggunaan input limbah batu bara akan memberikan pengembalian yang positif.
65 Dengan menggunakan analisis switching value pada jumlah input diperoleh bahwa pemanfaatan limbah batu bara akan memberikan pengembalian yang positif hanya jika jumlah input limbah batu bara lebih dari sepuluh ton, yang dijelasakan pada Tabel 21. Tabel 21 Biaya pemanfaatan limbah batu bara (fly ash) menjadi paving block berdasarkan jumlah limbah yang lihasilkan Jumlah Limbah (ton) 9 10 20 30
Produksi Paving block (pcs) 2320 2900 5510 5800
Total Penerimaan (Rp) 3 480 000 4 350 000 8 700 000 13 050 000
Total Biaya Keuntungan (Rp) (Rp) 3 920 069 (5 069) 4 279 084 70 916 8 149 020 550 980 12 018 956 1 031 044
Sumber: Hasil Analisis Data (2014)
Pertimbangan lainnya: 1.
Untuk memanfaatkan limbah B3, maka harus mendapatkan izin dari Kementerian Lingkungan Hidup. Izin pemanfaatan ini mencakup panduan teknis pengelolaan dan pemanfaatan limbah, analisis mengenai dampak lingkungan, serta uji kelayakan produk agar sesuai dengan SNI. Karena fly ash mengandung bahan berbahaya dan beracun yang berupa kimia, perlu diuji terlebih dahulu kandungan senyawa kimia, sehingga berpengaruh pada sifat dan karakter paving block atau jenis semen yang digunakan sebagai bahan pencampur.
2.
Pertimbangan (1) dan (2) mungkin akan berimplikasi pada bertambahnya biaya-biaya yang harus dikeluarkan pada awal pelaksanaan proyek.
3.
Pemanfaatan fly ash
juga berggantung pada kelas fly ash, karena
peruntukan fly ash bisa berbeda jika kelas/penggolongan fly ash berbeda, sehingga perlu mengetahui jenis fly ash yang dihasilkan dan peruntukan yang diharapkan dari pemanfaatan fly ash tersebut. 7.2 Pertimbangan dalam Pengelolaan Limbah Sludge IPAL Kertas Industri pulp dan kertas adalah salah satu industri yang berkembang di Indonesia
dan
menjadi
komoditas
unggulan
ekspor
Indonesia.
Selain
menghasilkan produk utama, kegiatan ini juga menghasilkan limbah sludge yang dihasilkan dari endapan hasil pengolahan air limbah IPAL. Satu industri pulp dan kertas dapat meproduki sludge berkisar 30-40 ton setiap harinya, sementara yang
66 dimanfaatkan hanya berkisar 12 ton (Aritonang dalam Komaryati et al, 2009). Itu artinya ada sekitar 18-28 ton limbah sludge yang belum dimanfaatkan. Jika limbah ini dibakar maka harus dibakar dengan incinerator (yang berarti membutuhkan biaya investasi yang tinggi), karena jika dibakar dengan cara biasa akan menyebabkan pencemaran udara. Sedangkan bentuk lain adalah dengan dumping, namun juga beresiko karena limbah sludge umumnya berbau sehingga mengganggu kehidupan sosial di sekitar perusahaan. Selain itu, jumlah luas lahan yang dibutuhkanpun akan sangat besar. Limbah sludge ini menjadi beban bagi perusahaan terutama karena karakteristiknya yang merupakan B3 karena mengandung logam berat dan sianida, sehingga harus segera ditangani sesuai dengan peraturan yang ditetapkan. Pilihan penanganan limbah B3 ini adalah bagaimana jika diserahkan ke pihak ketiga atau dimanfaatkan oleh para perusahaan penghasil limbah untuk pembuatan low grade paper. 7.2.1 Perhitungan Ekonomi Jika menyerahkan ke Pihak Ketiga Berdasarkan informasi yang diperoleh dari PT. X (PT. X dalam hal ini adalah sebagai pihak ketiga), biaya yang harus dibayarkan oleh pelanggan untuk menangani limbah sludge IPAL kertas (tipping fee) adalah Rp 600/kg. Jika diasumsikan limbah yang dihasilkan setiap perusahaan adalah 23 ton per harinya, maka biaya pengolahan limbah ditampilkan pada Tabel 22. Tabel 22 Biaya pengelolaan limbah sludge IPAL kertas oleh pihak ketiga Alternatif Pengangkutan Jasa Pihak ketiga
Tipping Fee per kg/ material Rp 600/kg
Material
Total Cost
18 ton
Rp 10 800 000
Sumber : Hasil Analsisis Data (2014)
7.2.2 Perhitungan Ekonomi Jika Memanfaatkan Limbah Menjadi Low Grade Paper Sama halnya dengan pemanfaatan limbah batu bara, jika limbah sludge dimanfaatkan untuk menjadi low grade paper, maka keuntungan yang diperoleh adalah biaya pengangkutan ke pihak ketiga yang dapat dihemat, serta penjualan produk. Low grade paper ini sendiri dapat dijual untuk berbagai kegunaan, seperti pembuatan sol sepatu dan kemasan kardus (packaging). Tetapi konsekuensinya adalah adanya biaya investasi dan operasional untuk proses pembuatan low grade
67 paper. Jika setiap industri pulp dan kertas menghasilkan rata-rata limbah sludge sebanyak 18 ton perhari (dari jumlah sludge yang belum dimanfaatkan) maka akan menghasilkan low grade paper sebanyak 5,4 ton perhari, karena untuk mengubah sludge menjadi low grade paper kandungan airnya hanya sampai 30%. Itu artinya ada pengurangan berat sludge ke kertas hingga 70%. Jumlah mesin kertas yang dibutuhkan adalah minimal empat unit karena kapasitas sebuah mesin cetak adalah 6 ton (dengan umur teknis 8 tahun). Biaya-biaya dan jumlah pemasukan pada Tabel 23 ini diperoleh dari PT. X. Tabel 23 Biaya investasi pemanfaatan limbah sludge IPAL kertas menjadi low grade paper No
Komponen Investasi
Jumlah
Umur Teknis (teknis)
Lahan dan 620m2 20 bangunan 2. Bak 4 unit Pembuburan 4. Mesin cetak dan 4 unit potong kertas 5. Safety tools 1 set (helm, boots,dll) 6. Peralatan lain 1 set (ember, gayung) Total Biaya Investasi Sumber : Hasil Analisis Data (2014)
Harga Satuan (Rp)
Biaya Investasi Total (Rp)
Biaya Investasi Harian (Rp)
2 150 000
1 333 000 000
213 621,8
1
500 000
2 000 000
10 416,6
8
550 000 000
550 000 000
220 352,5
1
1 950 000
1 950 000
6 250
1
575 000
575 000
1 843
1.
Rp 592 708
Biaya Operasional : 1.
Jumlah tenaga kerja yang membantu proses produksi pemanfaatan limbah sludge menjadi low grade paper adalah sebanyak enam orang dengan upah sebesar Rp 2 000 000 per orang setiap bulannya. Keenam tenaga kerja ini bertanggung jawab pada pengawas yang berjumlah dua orang dengan upah tenaga kerja berdasarkan UMK Kabupaten Karawang Rp 2 447 450. Total biaya tenaga kerja adalah sebesar Rp 16 894 900 perbulan atau Rp 838 068, 769 perhari.
2.
Biaya maintanance berupa penggulungan mesin sebesar Rp 10 000 000/mesin dalam setahun.
3.
Kebutuhan listrik untuk kegiatan ini adalah sebesar Rp 1 000 000/bulan.
Biaya operasional pemanfaatan limbah sludge IPAL kertas menjadi low grade paper dijelaskan pada Tabel 24.
68 Tabel 24 Biaya operasional pemanfaatan limbah sludge IPAL kertas menjadi low grade paper No
Komponen
Jumlah (perbulan)
Biaya Satuan (Rp)
Biaya Operasional Harian (Rp)
2 447 450
Total Biaya Operasional (Rp) 4 894 900
Tenaga kerja 2 orang Pengawas 2. Tenaga kerja 6 orang 3. Listrik 1 bulan (operasional) 6. Biaya 1tahun maintenance Total Biaya Operasional Sumber : Hasil Analisis Data (2014)
2 000 000 1 000 000
12 000 000 1 000 000
461 538 38 462
10 000 000
40 000 000
1.
376 530,769
128 205 628 205
Berdasarkan identifikasi biaya-biaya di tersebut, diperoleh total biaya (penjumlahan dari biaya investasi dan operasional) yang harus dikeluarkan setiap harinya adalah sebesar Rp1 220 913. 7.2.3 Efektivitas Biaya Kedua Alternatif Penanganan Limbah Sludge IPAL Kertas Sama halnya dengan penanganan limbah fly ash, setelah kedua alternatif pengelolaan limbah sludge diidentifikasi dan dirumuskan, maka selanjutnya adalah memuskan alternatif mana yang akan dipilih dengan kriteria biaya efektif. Cost (biaya) menunjukkan jumlah biaya yang dikeluarkan untuk menangani sludge, sedangkan effectiveness (efektivitas) menyatakan jumlah sludge yang ditangani. Karena jumlah limbah yang dihasilkan sama namun biaya berbeda, maka pendekatan yang dilakukan adalah dengan menggunakan cost-effectiveness ratio with fixed effectivenes. Sehingga, apabila kedua alternatif penanganan limbah sludge dibandingkan (alternatif A adalah apabila limbah diserahkan ke pihak ke tiga dan alternatif B adalah apabila limbah ditangani secara mandiri), maka hasilnya terlihat pada Tabel 25. Tabel 25. Cost-Effectiveness with Fixed (Identical) Effectiveness for Sludge Treatment Cost and Effectiveness Cost measure Effectiveness measure (number of wastes handled) CE ratio (cost per wastes handled) EC ratio (wastes handled per thousand rupiah) Sumber : Hasil Analisis Data (2014)
Alternatives A Rp 13 800 000 18 tons
B Rp 1 220 913 18 tons
Rp 600/kg 1,6 kg
Rp 67,8/kg 14, 7 kg
69 Berdasarkan Tabel 25, perbandingan Alternatif A terhadap B adalah sebagai berikut: 𝐶𝐶𝐶𝐶 𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟 𝐴𝐴
𝐶𝐶𝐶𝐶 𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟 𝐵𝐵
=
Rp 600 /𝑘𝑘𝑘𝑘
Rp 67,8/𝑘𝑘𝑘𝑘
= 8.85 : 1
Dengan demikian, rasio efektivitas-biaya yang dikeluarkan untuk menangani per satuan kilogram limbah sludge dengan alternatif A akan lebih besar jika dibandingkan dengan alternatif B, karena rasio biaya apabila menyerahkan ke pihak ketiga akan 8.85 kali lebih besar jika dibandingkan menangani sendiri. Artinya, akan lebih efektif jika sludge diolah sendiri dengan memanfaatkannya menjadi low grade paper. Dengan demikian alternatif B lebih efektif secara biaya dibandingkan dengan alternatif A. Karena pada alternatif B limbah sludge dimanfaatkan menjadi low grade paper maka akan ada manfaat yang diterima jika memilih alternatif tersebut. Manfaat yang diperoleh adalah penjualan jumlah low grade paper
yang
dihasilkan yaitu sebanyak 5.4 ton dikalikan dengan harga yaitu Rp 1000/kg (harga maksimal yang disarankan ditingkat distributor). Total penerimaan yang diperoleh adalah sebesar Rp 5 400 000 per hari. Sehingga manfaat bersih (selisih biaya dan manfaat) jika mengolah limbah sludge adalah Rp 4 179 087, artinya jika pemanfaatan limbah sludge menjadi low grade paper akan menguntungkan. Jika mengharapkan manfaat dari penjualan low grade paper dari pemanfaatan sludge menjadi low grade paper, maka perlu mengetahui jumlah limbah yang akan memberikan keuntungan positif apabila dimanfaatkan karena setiap industri kertas pada kenyataanya menghasilkan limbah sludge dalam jumlah yang berbeda-beda, bergantung pada jumlah produksi dan skala usaha setiap perusahaan. Berdasarkan perhitungan pada Tabel 26, pemanfaatan limbah ini hanya akan bernilai positif jika limbah sludge yang dihasilkan minimal 2 ton limbah setiap harinya.
70 Tabel 26 Biaya pemanfaatan limbah sludge IPAL kertas menjadi low grade paper berdasarkan jumlah limbah yang dihasilkan Jumlah Limbah Sludge yang dihasilkan (ton) 2 4 10 18 20
Produksi Low Grade Paper (ton) 0,6 1,2 3,33 5,4 6,6
Total Penerimaan (Rp) 600000 1 200 000 3 300 000 5 400 000 6 600 000
Total Biaya (Rp)
Keuntungan (Rp)
854 327 854 327 976 522 1 220 913 1 220 913
(254 327) 45 673 2 323 478 4 179 087 5 379 087
Sumber: Hasil Analsis Data (2014)
7.3 Pertimbangan dalam Pengolahan Solvent Pertimbangan dalam pengolahan solvent adalah dengan menggunakan jasa pihak ketiga (berupa pembayaran atas pemakaian mesin penjernih) atau dengan investasi pembelian alat penjernih solvent. Kedua alternatif ini sama-sama membutuhkan seorang tenaga kerja, karena jika melibatkan pihak ketiga jasa yang disediakan hanyalah pemakaian alat, sementara proses pengolahannya itu sendiri dilakukan oleh pelanggan, sedangkan jika investasi alat sendiri, perlu seorang tenaga kerja untuk mengawasi atau pelaksana pengolahan solvent ini, sehingga diasumsikan biaya tenaga kerja sama dan tidak perlu dipertimbangkan. Perbedaannya adalah, jika melibatkan pihak ketiga, residu hasil olahan (abu B3) adalah menjadi tanggung jawab pihak ketiga. Tetapi jika memutuskan untuk mengolah sendiri dengan investasi mesin, maka abu menjadi tanggung jawab pemilik, dan harus diserahkan ke badan yang berwewenang dalam mengolah sisaan ini. Karena kapasitas maksimum pengolahan solvent ini adalah 200 liter setiap harinya, maka diasumsikan jumlah limbah yang ditangani adalah 200 liter. Biaya jika menggunakan jasa pihak ke tiga ditunjukkan pada Tabel 27. Tabel 27 Biaya pengolahan solvent oleh pihak ketiga Pengolahan Menggunakan jasa pihak ketiga
Tipping Fee per kg/ material Rp 1500/liter
Material 200 liter
Total Cost Rp 300 000
Sumber: Hasil Analisis data (2014)
Sedangkan jika memutuskan untuk mengolah sendiri yaitu dengan investasi mesin penjernih (umur teknis sekitar 15 tahun), maka biaya-biaya yang dikeluarkan ditampilkan pada Tabel 28.
71 Tabel 28 Biaya investasi pengolahan solvent No
Komponen
1. 2. 3.
Lahan dan bangunan 12 m2 Mesin Penjernih 1 unit Listrik 1 bulan (operasional mesin) Biaya maintanance 1 tahun (per tahun) Total Biaya
4.
Jumlah
Biaya Satuan (Rp) 2 150 000 150 000 000 500 000
Total Biaya Harian (Rp) 4 134, 62 32 051,282 19 230,769
11 350 000
36 378,205 Rp 91 975
Apabila kedua alternatif penanganan limbah solvent dibandingkan (alternatif A adalah apabila limbah diserahkan ke pihak ke tiga dan alternatif B adalah apabila limbah ditangani secara mandiri), maka hasilnya terlihat pada Tabel 29. Tabel 29. Cost-Effectiveness with Fixed (Identical) Effectiveness for Solvent Treatment Cost and Effectiveness
Alternatives
Cost measure Effectiveness measure (number of wastes handled) CE ratio (cost per wastes handled) EC ratio (wastes handled per thousand rupiah)
A Rp 300 000 200 liters
B Rp 91 975 200 liters
Rp. 1500/liter 0,6 liters
Rp 459,875/liter 2,17 liters
Sumber : Hasil Analisis Data (2014)
Berdasarkan rasio biaya efektivitas biaya pada Table, perbandingan Alternatif A terhadap B adalah sebagai berikut: 𝐶𝐶𝐶𝐶 𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟 𝐴𝐴
𝐶𝐶𝐶𝐶 𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟 𝐵𝐵
=
Rp 1500 /𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙
Rp 1533 /𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙
= 3.26 : 1
Berdasarkan perbadingan tersebut, dapat disimpulkan bahwa alternatif B lebih efektif dibandingkan alternatif A (dengan asumsi jumlah limbah sebesar 200 liter/hari) karena biaya /liter pengolahan solvent akan lebih kecil jika investasi alat dibandingkan jika diserahkan ke pihak ketiga. Rasio biaya apabila menyerahkan ke pihak ketiga akan 3.26 kali lebih besar jika dibandingkan menangani sendiri.
72 Karena jumlah limbah solvent yang dihasilkan oleh setiap perusahaan mungkin saja berbeda, maka perlu diperhatikan alternatif mana yang efektif berdasarkan tingkatan jumlah limbah solvent setiap harinya. Berdasarkan Tabel 30, apabila jumlah limbah kurang dari 60 liter, maka cost ratio lebih kecil jika meilih alternatif A dibandingkan dengan alternatif B. Tabel 30. Cost-effectiveness with fixed (identical) effectiveness for Solvent treatment less than 60 liters. Cost and Effectiveness
Alternatives A Rp 90 000 60 liters
Cost measure Effectiveness measure (number of wastes handled) CE ratio (cost per wastes handled) Rp 1500/liter EC ratio (wastes handled per thousand 0,66 liters rupiah)
B Rp 91 975 60 liters Rp 1 533/liter 0, 65 liters
Sumber : Hasil Analisis Data (2014)
Berdasarkan hasil yang diperoleh pada Tabel 30 , perbandingan Alternatif A terhadap B adalah sebagai berikut : 𝐶𝐶𝐶𝐶 𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟 𝐴𝐴
𝐶𝐶𝐶𝐶 𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟𝑟 𝐵𝐵
=
Rp 1500 /𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙
Rp 1533 /𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙𝑙
= 1 : 1.022
Dengan perbandingan tersebut, rasio biaya apabila mengolah sendiri dengan investasi alat penjernih akan 1.022 kali lebih besar jika dibandingkan jika menyerahkan ke pihak ketiga. Dengan demikian, apabila jumlah limbah solvent kurang dari 60 liter maka alternatif A lebih efektif dibandingkan alternatif B, dan sebaliknya apabila jumlah limbahnya lebih dari itu, maka alternatif B lebih efektif dibandingkan alternatif A.
7.4 Pertimbangan dalam Penanganan Limbah Medis Limbah Medis adalah merupakan limbah B3 juga, terutama karena sifatnya yang kimiawi, sehingga jika dibuang begitu saja akan membahayakan keselamatan makhluk hidup dan lingkungan. Oleh karena itu, limbah ini harus ditangani segera. Limbah medis terbagi menjadi dua yaitu limbah cair dan padat. Limbah padat seperti obat-obatan, pembalut, botol infus dan suntik masih sering dibuang begitu saja sehingga bercampur dengan sampah-sampah di TPA. Padahal limbah ini harus ditangani secara khusus agar tidak bercampur dan justru
73 menyebarkan patogen ke lingkungan. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan pada 100 RS, setiap limbah yang dihasilkan mencapai 3,2 kg/tempat tidur/hari 9 . Limbah medis ini dapat diserahkan ke pihak ketiga jika terkendala dalam pengadaan alat incinerator. Sehingga alternatif penangan limbah medis ini adalah apakah dengan membangun fasilitas incinerator, atau dengan menyerahkan ke pihak ketiga. Jika diklasifikasikan, jumlah limbah yang dihasilkan setiap RS berdasarkan kamar tidur setiap harinya adalah seperti pada Tabel 31. Tabel 31 Jumlah limbah medis yang dihasilkan berdasarkan jumlah kamar RS Jumlah Kamar Tidur (kamar) <50 50-250 250-400 >400
Jumlah Limbah Padat (kg) >160 160-800 800-1.280 >1.280
Sumber : Hasil Analisis Data (2014)
Sehingga jika diserahkan ke pihak ketiga maka biaya pengelolaan limbah medis setiap harinya dijelaskan pada Tabel 32. Tabel 32 Biaya pengolahan limbah medis oleh pihak ketiga Alternatif Pengangkutan Jasa Pihak ketiga
Tipping Fee per kg/ material Rp 1700/kg
Material (kg)
Biaya Total (Rp)
<160 160-800 800-1.280 >1.280
< 272 000 272 000- 1 360 000 1 360 000 – 2 176 000 >2 176 000
Sumber : Hasil Analisis Data (2014)
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) No. 1204 Tahun 2004 tentang persyaratan kesehatan lingkungan rumah sakit, cara dan teknologi pengolahan dan pemusnahan limbah medis padat disesuaikan dengan kemampuan rumah
sakit
dan
jenis
limbah
padat
yang
dihasilkan
(Ersa,
2012).
Dengan demikian setiap rumah sakit dapat memilih cara menangani limbah padatnya sesuai dengan kapasitas masing-masing rumah sakit. Jika rumah sakit memilih untuk menangani limbahnya sendiri, maka diperlukan alat penghangus
9
Penangan dan Pengolahan Limbah Rumah Sakit. Di unduh melalui http://shantybio.transdigit.com/?Biology_Dasar_Pengolahan_Limbah:Penanganan_dan_Pengolaha n_Limbah_Rumah_Sakit, Kamis, 03 April 2014, pukul 10:15
74 limbah atau yang dikenal dengan incinerator. Jika memilih untuk investasi incinerator, hal-hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut : suhu minimal 1100 C, memiliki pengendali pencemaran, memiliki sejumlah luas lahan dan bangunan untuk mencegah incinerator dari panas dan hujan. Emisi gas buang yang dihasilkan dari proses insinerasi pun harus memenuhi syarat Kep 03/Bapedal/9/1995 atau Kep.13 MENLH/1995 10 Karena incinerator dirancang khusus berdasarkan jenis dan jumlah limbah, maka tipe yang berbeda memiliki kapasitas yang berbeda pula dan harga yang juga berbeda. Oleh sebab itu, perlu diklasifikasikan terlebih dahulu jumlah limbah yang dihasilkan oleh masing-masing RS setiap harinya, seperti yang dijelaskan pada Tabel 33. Tabel 33 Tipe incinerator berdasarkan jumlah limbah medis Jumlah Kamar Tidur Jumlah Limbah Tipe Incinerator Harga Incinerator *) (kamar) (kg) (Rp) <50 <160 02 205 992 000 50-250 160-800 05 459 840 000 250-400 800-.280 10 642 734 400 >400 >1.280 20 1 102 171 200 *) Harga Incinerator diperoleh dari wawancara dengan salah satu perusahaan supplier incinerator Sumber: Hasil Analisis Data (2014)
Keputusan mengelola sendiri limbah medis dengan investasi isinerator (asumsi umur teknis incinerator adalah 20-25 tahun) maka biaya yang akan dikeluarkan untuk pemusnahan limbah ini dijelaskan sebagai berikut. Tabel 34 Investasi untuk limbah <160 kg No
Komponen
Jumlah
Biaya Satuan (Rp)
Lahan dan 50 m2 2 150 000 bangunan 2. Incinerator Tipe 02 1 unit 220 592 400 Kebutuhan solar 4. 12 ltr/jam 8 000 sebagai bahan bakar Tenaga kerja 3 orang 2 447 450 5. pengawas Total Biaya Operasional Sumber: Hasil Analisis Data (2014) 1.
10
Biaya Total (Rp)
Total Biaya Harian (Rp)
107 500 000
17 228
220 592 400
35 351,346
768 000
768 000
7 342 350
282 398,077 1 102 977
Pedoman Pengelolaan bahan berbahaya dan Beracun dengan Incinerator. Badan Lingkungan Hidup Pemerintah Kota Surabaya. http://lh.surabaya.go.id/weblh/?c=main&m=detail&id=52
75 Tabel 35 Investasi untuk limbah 160-800 kg No
Komponen
1.
Lahan dan bangunan Incinerator Tipe 05 Kebutuhan solar sebagai bahan bakar Tenaga kerja pengawas
2. 4. 5.
Jumlah 50 1 unit 20 ltr/jam 3 orang
Biaya Satuan (Rp) 2 150 000/m2 459 840 000/ unit
Biaya Total (Rp)
Biaya Total harian (Rp)
107 500 000
17 228
459 840 000
73 692,3077
8 000/ltr
1 280 000
1 280 000
2 447 7 342 350 450/orang Total Biaya Operasional
282 398,077 1 653 318
Sumber: Hasil Analisis Data (2014)
Tabel 36 Investasi untuk limbah 800-1280 kg No 1. 2. 4. 5.
Komponen Lahan dan bangunan Incinerator Tipe 10 Kebutuhan solar sebagai bahan bakar Tenaga kerja pengawas
Jumlah 50 1 unit 25 ltr/jam
Biaya Satuan (Rp) 2 150 000/ m2 642 734 400/ unit
Biaya Total (Rp)
Biaya Total Harian (Rp)
107 500 000
17 228
642 734 400
103 002,308
8 000/ltr
1 600 000
1 600 000
7 342 350
282 398,077
2 447 450/ orang Total Biaya Operasional 3 orang
2 002 628
Sumber: Hasil Analisis Data (2014)
Tabel 37 Investasi untuk limbah >1280 kg No Komponen 1. 2. 4. 5.
Lahan dan bangunan Incinerator Tipe 20 Kebutuhan solar sebagai bahan bakar Tenaga kerja pengawas
Jumlah 50 1 unit 30 ltr/jam 3 orang
Biaya Satuan (Rp)
Biaya Total (Rp)
Biaya Total Harian (Rp)
2 150 000
107 500 000
17 228
1 102 171 200
1 102 171 200
4 592 380
8 000
1 920 000
1 920 000
2 447 450
7 342 350
282 398,077
Total Biaya Operasional Sumber: Hasil Analisis Data (2014)
6 812 006
76 Jika biaya investasi pengolahan limbah medis dibandingkan dengan biaya penyerahan limbah jika diolah oleh pihak ketiga, maka hasilnya adalah seperti pada Tabel 38. Tabel 38 Cost-effectiveness with fixed (identical) effectiveness for medical wastes treatment Effetiveness (kg of medical wastes handled) <160 160-800 800-1178 1178-1280 1281-4007 >4008
Alternatif A Cost < 272 000 272 000- 1 360 000 1 360 000-2 002 628 2 004 300 – 2 176 000 2 177 700- 6 811 900 >6 813 600
Alternatif B C/E ratio 1 700 1 700 1 700 1 700 1 700 1 700
Cost 1 102 977 1 653 318 2 002 628 2 002 628 6 812 006 6 812 006
maximal C/E ratio 6 893,61 2 066, 65 2 503, 29 1 700 5 371,73 1700
Sumber: Hasil Analisis Data (2014)
Berdasarkan tabel di atas, jika membandingkan kedua biaya alternatif pengolahan limbah medis, rasio efektivitas biaya akan lebih kecil jika diserahkan ke pihak ketiga (alternatif A) ketika jumlah limbah sebanyak 1-1178 kg dan berada diantara selang 1281-4007 kg. Sedangkan apabila jumlah limbah medis berada diantara selang 1178-1280 kg dan lebih dari 4008 kg, maka alternatif B (pengolahan limbah secara mandiri dengan investasi incinerator) akan lebih efektif jika dibandingkan dengan penyerahan ke pihak ketiga karena rasio efektivitas biaya maksimalnya lebih kecil dibandingkan dengan alternatif A. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan limbah medis dengan incinerator. Pembakaran tidak akan menghanguskan material hingga 100%. Biasanya hasil pembakaran akan menyisakan abu 2% hingga 5% dari total pembakaran. Abu ini bersifat berbahaya dan beracun, sehingga harus diserahkan ke pengelola yang telah dipercaya. Konsekuensinya adalah adanya biaya tambahan yang akan dikeluarkan jika menyerahkan abu ke pihak lain. Selain itu, incinerator membutuhkan perawatan secara periodik, sehingga ada biaya-biaya tambahan yang perlu dipertimbangkan sebelum memutuskan untuk mengolah sendiri limbah medis tersebut.
77 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1.
Hadirnya perusahaan pengolah dan pemanfaat limbah B3 menunjukkan bahwa limbah B3 dapat bernilai ekonomi baik itu dari segi pembayaran jasa atas pengolahan maupun penjualan produk hasil pemanfaatan B3, serta membantu pemerintah dan penghasil limbah dalam mengatasi permasalahan pengelolaan B3 nya. Berdasarkan aspek-aspek penilaian seperti aspek pasar, sosial-ekonomi, hukum, teknis, perusahaan-perusahaan seperti ini layak dikembangkan. Dan berdasarkan aspek finasial, keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan dalam jangka waktu yang telah direncanakan akan bernilai positif dengan tingkat pengembalian yang cukup besar (Net B/C=3) dengan NPV sebesar Rp 118 490 712 312 dan IRR sebesar 17% dan pengembalian investasi (pay back period) pada tahun ke 8. Hal yang perlu dipertimbangkan dalam perencanaan pengelolaan B3 ini adalah skala ekonominya, yakni ketika terjadinya perubahan jumlah masukan limbah B3 dimana jumlah masukan limbah tidak mencapai 70% dari kapasitas alat pengolah limbah, kondisi tersebut mengakibatkan usaha ini menjadi tidak layak untuk dijalankan. 2. Dalam kondisi anggaran terbatas, penanganan fly ash oleh pihak ketiga akan lebih efektif dibandingkan jika mengelola secara mandiri karena dari segi biayasedangkan apabila berada pada kondisi anggaran tak terbatas, maka memanfaatkan fly ash menjadi paving block akan lebih menguntungkan. Limbah sludge akan lebih efektif apabila dimanfaatkan menjadi low grade paper dibandingkan apabila diserahkan ke perusahaan pengolah B3. Apabila jumlah limbah solvent kurang dari 60 liter lebih efektif jika diserahkan ke pihak ketiga sebaliknya, apabila solvent lebih dari 60 liter, rasio biaya apabila menyerahkan ke pihak ketiga akan 3.26 kali lebih besar jika dibandingkan menangani sendiri. Limbah medis akan lebih efektif diserahkan ke pihak ketiga jika limbah berjumlah 1-1177 kg/ hari dan 1281-4007 kg/hari, sedangkan limbah dengan jumlah 1178-1280 kg/ hari dan lebih dari 4007 kg/hari akan lebih efektif jika mengolah sendiri dengan investasi incinerator.
78 Saran 1.
Usaha pengolahan dan pemanfaatan limbah B3 ini selain membantu mengatasi permasalahan limbah B3 ternyata memberikan keuntungan dan pengembalian yang besar bagi pelaku usaha, sehingga jasa pengolahan dan pemanfaatan B3 layak jika terus dikembangkan dan bahkan untuk skala yang lebih besar mengingat jumlahnya di Indonesia masih sedikit, sementara permintaan cukup besar. Namun yang perlu diperhatikan adalah skala usahanya karena jika ukuran masukan limbah kecil, pengeluaran atas biaya-biaya tidak dapat ditutupi oleh penerimaan, baik dari pengolahan maupun penjualan produk hasil pemanfaatan.
2.
Bagi PT.X, usaha pengelolaan limbah B3 ini memang menguntungkan secar finansial bagi perusahaan dan layak untuk dikembangkan lebih jauh, namun perlu untuk tetap memperhatikan bagaimana agar limbah B3 ditangani dengan tepat dan sesuai kaidah-kaidah yang berlaku sehingga tidak merugikan lingkungan sekitar dan bahkan perusahaan sendiri nantinya sehingga aktivitas pengelolaan B3 ini dapat bertahan lama.
3.
Bagi
para
pelaku
usaha
yang
menghasilkan
limbah
B3
dapat
mempertimbangkan keputusan terbaiknya, apakah dengan mengelola sendiri atau menyerahkan ke pihak ketiga untuk mengolah limbah B3nya sehingga permasalahan limbah B3 tidak menjadi beban lagi bagi perusahaan, apalagi saat ini telah ada berbagai bentuk pendanaan lingkungan di Indonesia sehingga usaha pengendalian pencemaran limbah tidak lagi memberatkan. 4.
Pendekatan pemilihan keputusan terbaik penanganan masalah limbah B3 dalam penelitian ini adalah dengan pendekatan cost effectiveness analysis atau dengan biaya terkecil, namun ada pertimbangan-pertimbangan lain diluar biaya yang menjadi dasar pengambilan keputusan pengolahan limbah B3. Sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai keputusan pengolahan limbah B3 ini, seperti faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan/ mengapa menyerahkan ke pihak ketiga, serta persepsi dan pengetahuan perusahaan tentang pengolahan dan pemanfaatan limbah B3
5.
Aktivitas usaha pengolahan dan pemanfaatan limbah B3 seperti ini adalah salah satu
pengelolaan limbah B3 sehingga pemerintah sebaiknya
79 mendorong pengelolaan B3 apakah dengan mekanisme insentif ekonomi seperti subsidi maupun penetapan tarif pajak sehingga mendorong industri ini berkembang di Indonesia. Selain itu, resiko aktivitas industri ini cukup besar mengingat karakteristik B3 itu sendiri, sehingga program asuransi lingkungan sebaiknya dikembangkan lebih jauh agar aktivitas-aktivitas pengelolaan dan pemanfaatan lingkungan ini dapat berkembang tanpa adanya rasa kekahwatiran akan biaya recovery ketika terjadinya kecelakaan akibat aktivitas usaha ini.
80 DAFTAR PUSTAKA Alumur, Sibel dan Bahar Y. K. 2007. A new Model for the hazardous waste location-routing problem. Jurnal. Elsevier : Computer and Operating Research 34 (2007) 1406-1423. Badan Pusat Statistik. 2010. Statistik Industri Besar dan sedang Jawa Barat 2010. Buku 1 hal. 43-52. Penerbit : Badan Pusat Statistik. Berkel, Rene Van. 2010. Evolution and diversification of National Cleaner Production Centres (NCPCs). Jurnal. Elsevier : Journal of Environmental Management 91 (2010) 1556-1565. Blackman, Allen. 2009. Colombia’s discharge fee program : Incentives for polluters or regulators? Jurnal. Elsevier : Journal of Environmental Management 90 (2009) 101-119. Boardman E.Anthony, Greenberg H. David, Vining R.Aidan, Weimer L. David. 2006. Cost-Benefit Analysis. Third Edition. New Jersey: Pearson Education Inc. Cantor, Scott. B dan Ganiats, T.G. 1999. Incremental cost effectiveness analysis : the optimal strategy depends on the strategy set. Jurnal. Elsevier : J Clin Epidemiol Vol. 52, No.6, pp. 517-522. Dixon, J.A dan Maynard M. H. 1991. Teknik Penilaian Ekonomi Terhadap Lingkungan. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja. 2014. Upah Minimum Sektoral Provinsi dan Kabupaten/Kota se Indonesia tahun 2011 s.d 2014. Penerbit : Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Ersa, Nanda Savira.2012.Evaluasi Pengelolaan Limbah Padat Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) di Rumah sakit. Skripsi. Bogor : Institut Pertanian Bogor. Fauzi, A. 2006. Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Field, B.C. 1994. Environmental Economics : An Introductory. Singapore: McGraw-Hill, Inc. Ginting, Perdana. 2007. Sistem Pengelolaan Lingkungan dan Limbah Industri. Bandung: Yrama Widya. Gittingger, J. Price. 2008. Analisa Ekonomi Proyek-proyek Pertanian. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia. Hamid, H dan B. Pramudyanto. 2007. Pengawasan Industri dalam Pengendalian Pencemaran Lingkungan. Jakarta : Penerbit Granit. Haqq, Kamila. 2009. Analisis Efektivitas Biaya dan Penilaian Masyarakat Terhadap Pengelolaan Limbah Rumah Sakit Telogorejo Semarang. Skripsi. Bogor : Institut Pertanian Bogor. Husin, Sukanda. 2009. Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia. Jakarta.: Penerbit Sinar Grafika.
81 Kementerian Lingkungan Hidup, 2013 : Bimbingan Teknis (Bintek) Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) di Batam, pada tanggal 18-20 Juni 2013- See more at : http://www.menlh.go.id/bimbingan-teknispengelolaan-limbah-b3/#sthash.KvMsizZC.dpuf dan http://www.menlh.go.id/rancangan-peraturan-pemerintah-rpp-tentangpengelolaan-bahan-berbahaya-dan-beracun-b3-limbah-b3-dan-dumpinglimbah-b3/#sthash.zg4RZhPt.dpuf. Diakses pada : 11 Februari 2014. Kementerian Lingkungan Hidup. Insentif dan Pendanaan Lingkungan. Buletin. Kementerian Lingkungan Hidup. Produksi Bersih. Buletin Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor: Kep01/Bapeda/09/1995 tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Penyimpanan dan pengumpulan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor: Kep01/Bapeda/09/1995 tentang Tata Cara dan Penimbunan Hasil Pengolahan, Persyaratan Lokasi Bekas Pengolahan dan Lokasi Bekas Penimbunan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor: Kep02/Bapeda/09/1995 tentang Dokumen Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor: Kep03/Bapeda/09/1995 tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 1204/MENKES/SK/X/2004 Tahun 2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit Keraf, A. Sony. 2010. Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global. Penerbit Kanisius, Yogyakarta Komarayati S, Gusmailina, Saepuloh. 2009. Prospek dan Kualitas Pupuk Organik dari Limbah Padat Industri Pulp dan Kertas. Jurnal. Kristanto, Philip. 2004. Ekologi Industri. Yogyakarta : Penerbit Andi. Luken, Ralph. A. 2009. Equivocating on the polluter-pays principle: The consequence for Pakistan. Jurnal. Elsevier : Jurnal of Environmental Management 90 (2009) 3479-3484 Mara, D dan S. Cairncross.1994. Pemanfaatan Air Limbah dan Eksreta. Bandung : Penerbit ITB Mankiw, N. Gregory. 2000. Pengantar Ekonomi. Jakarta : Penerbit Erlangga Mitchell.B, B. Setiawan, D.H. Rahmi. 2010. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Nemerow, L. Nelson dan Dasgupta Avijit. 1991. Industrial and Hazardous Waste Treatment. New York :Wiley & Sons, Incorporated. Nicholson, Walter. 2002. Mikroekonomi Intermediate. Jakarta : Penerbit Erlangga.
82 Pedoman Pengelolaan bahan berbahaya dan Beracun dengan Incinerator. Badan Lingkungan Hidup Pemerintah Kota Surabaya. http://lh.surabaya.go.id/weblh/?c=main&m=detail&id=52. Kamis, 03 April 2014, pukul 12:35. Penangan dan Pengolahan Limbah Rumah Sakit. Di unduh melalui http://shantybio.transdigit.com/?Biology_Dasar_Pengolahan_Limba h:Penanganan_dan_Pengolahan_Limbah_Rumah_Sakit. Kamis, 03 April 2014, pukul 10:15. Peraturan Pemerintah No.18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Tahun 2007 Tentang Jenis-jenis Bahan Berbahaya dan Beracun. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.18 Tahun 2009 tentang Tata Cara Perizinan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.30 Tahun 2009 tentang Tata Laksana Perizinan dan Pengawasan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun serta pengawasan Pemulihan akibat Pencemaran Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun oleh Pemerintah Daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2012 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5285). Phillips, Ceri dan Thompson, Guy. 2001. What is Cost-effectiveness? Jurnal. Volume 1 No. 3. Hayward Medical Communications, Hayward Group plc.( www.evidence-based-medicine.co.uk) Polprasert, Chongrak dan L.R.J Liyanage. 1996. Hazardous wate generation and processing.Jurnal. Elsevier: Resources, Conservation and Recycling 16 (1996) 213-226. Rubinstein, Lynn. 2012. Moving towards Zero Waste & Cost Savings – A Roadmap for Builders & Contractors for Construction & Demolition Projects. Northeast Recycling Council, Inc. With funding from the U.S. Environmental Protection Agency. Safitri E dan Djumari. 2009. Kajian Teknis dan Ekonomis Pemanfaatan Limbah Batu Bara (Fly Ash) pada Produksi Paving Block. Jurnal. Media Teknik Sipil, Volume IX, Januari 2009. Saltelli, A., Ratto,M., Andreas, T., Compolongo, F., Cariboni,J., Gatelli, D., Saisana, M.,Tarantola, S. 2008. Global Sensitivity Analysis: The Primer. Wiley Online Library. Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor : 03-0348-1989. Suparmoko, M dan Suparmoko Maria. Ekonomika Lingkungan. Yogyakarta : Penerbit BPFE.
83 Tim Pengajar MK. Ekonomi Lingkungan. 2010. Ekonomi Lingkungan. Modul Kuliah. Departemen ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB. Wardhana, W.A. 1995. Dampak Pencemaran Lingkungan. Tabel 13, Bab IV Hal 59. Yogyakarta : Penerbit Andi. Wibisono, Y. 2007. Membedah Konsep dan Aplikasi CSR –Corporate Social Responsibility. Gresik : Fascho Publishing World green house emissions by sector (http://maps.grida.no/go/graphic/worldgreenhouse-gas-emissions-by-sector2). Diakses pada : 12 Februari 2014 Zero Waste New Zealand Trust. 2001. The End of Waste. Zero Waste by 2020 (www.zerowaste.co.nz).
84
LAMPIRAN
85 Dokumentasi Penelitian
Gambar 1 Insinerator PT.X dan Perlengkapan laboratorium untuk menhuji limbah
Gambar 2. Fly Ash. Mesin Cetak Paving Block, dan Paving Block
Gambar 3. Sludge, Mesin Cetak Kertas, dan Low grade paper
86
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tarutung pada tanggal 12 Juli 1992 dari pasangan Emile Lumbantobing dan Osda Situmorang. Penulis adalah putri pertama dari lima bersaudara. Penulis lulus dari SMA N.1 Tarutung pada tahun 2010 dan diterima di Institut Pertanian Bogor, Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan melalui jalur USMI. Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten praktikum mata kuliah Ekonomi Umum tahun ajaran 2011/2012, 2012/2013, dan 2013/2014. Penulis juga aktif di berbagai organisasi baik di dalam maupun luar kampus seperti sekretaris pada Departemen Science and Technology IAAS LC IPB, ketua organisasi mahasiswa asal daerah PARTARU, Komisi Pelayanan Anak PMK IPB, dan DPM FEM IPB. Penulis juga menerima beasiswa BBM pada 2011/2012 dan Karya Salemba Empat 2012/2013-2013/2014. Pada Juni-Agustus 2014, Penulis berkesempatan mengikuti program Kuliah Kerja Praktek (KKP) bekerjasama dengan PT.Arutmin Kintap Coal Mine, di desa Sungai Cuka, Kalimantan Selatan.