Analisa Media Edisi Januari 2013 EdEEEEEE
Perda Yang Menindas Perempuan
Awal tahun 2013, lagi kebijakan Aceh yang diskriminatif terhadap perempuan kembali dibuat. Kebijakan ini berupa surat edaran Pemerintah Kota Lhokseumawe, Aceh, yang mengatur larangan perempuan duduk mengangkang di atas sepeda motor. Surat Edaran bernomor 002/2013, tertanggal 2 Januari 2013 tersebut, ditandatangani oleh Wali Kota Lhokseumawe Suaidi Yahya, Ketua DPR-Kota Lhokseumawe Saifuddin Yunus, Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Lhokseumawe Tgk H Asnawi Abdullah, dan Ketua Majelis Adat Aceh, Kota Lhokseumawe Tgk H Usman Budiman, dan secara resmi diberlakukan mulai tanggal 7 Januari 2013. Sebagai langkah sosialisasi, Pemerintah Kota Lhokseumawe mulai mengirimkan surat edaran tersebut ke seluruh kantor kepala desa yang ada di Lhokseumawe. Sosialisasi juga ditempuh dengan memasang baliho dan spanduk serta menempel peraturan tersebut di tempat-tempat umum. Dalam surat edaran itu, disebutkan perempuan yang dibonceng dengan sepeda motor oleh lelaki muhrim, bukan muhrim, suami maupun sesama perempuan, agar tidak duduk secara mengangkang, kecuali dengan kondisi darurat. Ide melarang perempuan duduk mengangkang di sepeda motor mulanya dilontarkan Wali Kota Lhokseumawe pada acara dakwah di Lapangan Hiraw Lhokseumawe, jelang pergantian tahun, 31 Desember 2013. Menurutnya, perempuan yang duduk mengangkang bertentangan dengan kesopanan dan menciderai penerapan syariat Islam di Aceh. Pro kontra tentang peraturan itu menjadi bahan diskusi di masyarakat. Banyak kalangan mempertanyakan diberlakukannya peraturan tersebut. Beberapa kalangan juga mengatakan bahwa kebijakan ini dinilai prematur karena dikeluarkan tanpa melibatkan pihak ahli dan uji publik. Seharusnya, pihak Pemda Lhokseumawe tidak sepihak memutuskan aturan, tetapi melibatkan publik atau pakar keselamatan dalam berkendaraan. Wakil Ketua DPR RI, Priyo Budi Santoso misalnya, meminta Pemerintah Kota Lhokseumawe untuk menarik kembali aturan tersebut. Menurutnya, apapun alasan yang digunakan oleh Walikota Lhokseumawe, harus mempertimbangkan keselamatan pengguna motor. Sementara itu, Sekretaris Dewan Eksekutif Kelompok Kerja Transformasi Gender Aceh (KKTGA), Mariaty Ibenz mengatakan bahwa masyarakat dirugikan terkait adanya peraturan tersebut. Menurutnya, masyarakat yang merasa dirugikan bisa mengajukan gugatan atau class action. Namun, hal tersebut sangat sulit karena bagi masyarakat yang mangajukan gugatan akan mendapatkan stigma negatif dengan label anti syariat. Sedangkan menurut Din Syamsudin, Ketua Umum PP Muhamaddiyah, larangan tersebut tidak terkait dengan agama. Menurutnya, peraturan tersebut lebih bersifat adat istiadat. Senada dengan Din Syamsudin, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Amidhan, juga mangatakan bahwa dalam Syariat Islam tidak ada aturan yang secara jelas membahas perempuan duduk ngangkang. Menurutnya, hal tersebut lebih menyangkut etika dan sopan
Jl. SMA 14 No. 17 RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713 Email:
[email protected] Website: www.kalyanamitra.or.id
Analisa Media Edisi Januari 2013 EdEEEEEE
santun, bukan hukum Syariat Islam. Bahkan jika dengan duduk ngangkang tidak membahayakan ketika mengendarai sepeda motor, maka hal tersebut justru dianjurkan. Seperti diketahui, posisi duduk ngangkang di sepeda motor menjadi posisi yang ideal dan aman. Hal itu karena dari segi keseimbangan untuk handling pengemudi juga lebih baik daripada posisi duduk menyamping. Ketika duduk menyamping, maka bobot motor akan terasa berat sebelah dan tentu bisa membuat tidak nyaman baik pengendara maupun penumpangnya. Dari segi keselamatan juga sangat berbahaya, bila duduk menyamping. Memang posisi duduk menyamping paling cocok bagi perempuan yang menggunakan rok. Apabila menggunakan celana panjang, maka lebih baik posisi standar berkendara motor yakni dengan cara ngangkang. Perda yang Diskriminatif Lahirnya aturan larangan perempuan duduk ngangkang di sepeda motor di Kota Lhokseumawe menambah panjang daftar Peraturan Daerah yang diskriminatif terhadap perempuan di Idonesia. Menurut data Komnas Perempuan, hingga tahun 2012 sebanyak 282 Kebijakan diskriminatif atas nama agama dan moralitas sangat merugikan perempuan. Kebijakan itu tersebebar di 100 kabupaten kota di 28 provinsi di seluruh Indonesia. Angka tersebut mengalami peningkatan sangat signifikan karena, bila dilihat akhir 2010, Komnas Perempuan menemukan ada 189 peraturan daerah yang diskriminatif, dan mengalami kenaikan bila dibanding tahun 2009, yang hanya 154. Dari 282 kebijakan yang diskriminatif di tahun 2012 tersebut, 60 di antaranya memaksakan cara berbusana dan ekspresi keagamaan, 96 kebijakan mengkriminalkan perempuan lewat pengaturan prostitusi dan pornografi, dan 36 kebijakan membatasi ruang gerak perempuan. Di antara perda-perda itu, larangan perempuan keluar malam di Tangerang dan Gorontalo, serta kewajiban mengenakan jilbab di Tasikmalaya. Data tersebut menyebutkan, bahwa Jawa Barat dan Sumatera Barat menempati urutan tertinggi daerah yang mengeluarkan perda yang diskriminatif. Berdasarkan catatan Komnas Perempuan, di Jawa Barat hingga Agustus 2012 terdapat 53 kebijakan diskriminatif terhadap perempuan yang diterbitkan oleh 9 kota dan kabupaten, di antaranya: Kota Bandung (1 perda), Bekasi (1), Cianjur (4), Cirebon (1), Garut (1), Kota Tasikmalaya (1), Kabupaten Tasikmalaya (7) dan Sukabumi (7 kebijakan) Kenaikan jumlah perda yang diskriminatif itu tidak terlepas dari peran Kementerian Dalam Negeri. Oleh karena Kementerian Dalam Negeri tidak pernah mengambil langkah tegas untuk membatalkan Perda yang melanggar hak-hak kaum perempuan maupun kalangan minoritas lainnya. Kemendagri justru menganggap peraturan yang melarang perempuan keluar malam seperti di Tangerang dan Gorontalo, serta kewajiban mengenakan jilbab di Tasikmalaya, dinilai melindungi perempuan. Kementerian Dalam Negeri lupa bahwa Indonesia telah meratifikasi CEDAW melalui UndangUndang No. 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, yang dalam pasal 1 UU ini dijelaskan makna diskriminasi, yakni: “Diskriminasi
Jl. SMA 14 No. 17 RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713 Email:
[email protected] Website: www.kalyanamitra.or.id
Analisa Media Edisi Januari 2013 EdEEEEEE
terhadap perempuan berarti pembedaan, pengecualian atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang memiliki dampak atau tujuan untuk mengurangi atau meniadakan pengakuan, penikmatan atau penerapan hak-hak asasi dan kebebasan fundamental dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang lainnya oleh perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, berdasarkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan”. Sementara dalam pasal 2 Konvensi CEDAW mengatur kewajiban negara yang dalam huruf f dikatakan “Negara-negara peserta mengutuk diskriminasi terhadap perempuan dalam segala bentuknya, menyetujui untuk menjalankan dengan segala cara yang tepat dan tanpa ditunda-tunda melaksanakan kebijakan untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dan, untuk mencapai tujuan itu melakukan segala langkah-tindak yang diperlukan, termasuk langkah perundang-undangan, untuk mengubah atau menghapus undang-undang, peraturan-peraturan, adat dan kebiasaan yang ada yang diskriminatif terhadap perempuan”. Kebijakan yang melarang perempuan keluar malam dan mengatur cara berpakaian perempuan dikatakan sebagai Perda ciskriminatif karena menyebabkan pembedaan, pembatasan, dan pengabaian kesempatan warga negara, khususnya perempuan dan kelompok minoritas, untuk menikmati hak-haknya sebagaimana diatur dalam UndangUndang Dasar 1945. Sementara pengabaian tersebut telah menimbukan akibat yang luar biasa. Hak-hak dasar warga negara atas kepastian hukum, hak bebas dari rasa takut untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang menjadi hak asasinya, hak untuk bebas dari diskriminasi dan hak atas rasa aman, adalah sejumlah hak yang dilanggar oleh kebijakankebijakan yang diskriminatif tersebut. Sementara jika dilihat, ada pola yang serupa dari kebijakan-kebijakan tersebut, yakni digunakannya simbol-simbol agama dan alasan moralitas sebagai dasar pemikiran perumusan kebijakan. Dalam praktik politik Indonesia saat ini, politik pencitraan berbasis identitas agama, moral, etnisitas atau golongan, telah menjadi cara utama memenangkan pertarungan politik. Sayangnya, sering mekanisme nasional yang berwenang untuk melakukan pengawasan yakni Kementerian Dalam Negeri dan Makamah Agung, belum memperlihatkan kepemimpinannya dalam mencegah maupun membatalkan kebijakan yang diskriminatif. Otonomi Daerah Yang Kebablasan Lahirnya berbagai Perda yang diskriminatif tidak terlepas dari Reformasi 1998, yang prosesnya membawa kekacauan sistem pemerintahan di Indonesia. Sebelum reformasi, sistem pemerintahan di Indonesia sangat sentralistis dan setelah Reformasi menjadi desentralistik, karena tiap wilayah mempunyai hak otonomi untuk mengatur pemerintahannya sendiri. Perubahan sistem pemerintahan dari sentralisasi menjadi desentralisasi diatur dalam UU No. 22 tahun 1999 yang kemudian diperbaharui menjadi UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Berdasarkan Undang-Undang tersebut, tiap pemerintah daerah memiliki hak, wewenang dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan
Jl. SMA 14 No. 17 RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713 Email:
[email protected] Website: www.kalyanamitra.or.id
Analisa Media Edisi Januari 2013 EdEEEEEE
peraturan perundang-undangan. Namun demikian, pemerintah daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahannya memiliki hubungan dengan pemerintah pusat dan dengan pemerintahan daerah lainnya. Desain desentralisasi Indonesia yang ditetapkan melalui UU 22/1999 dan UU 32/2004 mengabungkan tujuan-tujuan politik dan ekonomi. Tujuan ekonomi yang hendak dicapai melalui desentralisasi adalah mewujudkan kesejahteraan melalui penyediaan layanan publik yang lebih merata dan memperpendek rentang antara penyedia layanan publik dan masyarakat lokal. Tujuan politik desentralisasi adalah demokratisasi pemerintah daerah melalui pertanggungjawaban langsung kepala daerah kepada konsituen mereka di daerah. Berdasarkan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 Pemerintah daerah mempunyai hak untuk membuat peraturan daerah. Namun demikian, pasal 135 ayat 4 UU 32/2004 menyatakan bahwa peraturan daerah dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Penyusunan mengenai peraturan daerah disusun juga dalam UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan. Sejak otonomin daerah, ribuan Perda dibuat oleh Pemerintah Daerah di tingkatan Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Bahkan karena terlalu banyaknya, Dirjen Pemerintah Umum Kementerian Dalam Negeri RI, Made Suandi, mengaku tidak pernah tahu jumlah Peraturan Daerah (Perda) yang ada di Indonesia (www.suarariau.com, 12 Juli 2012). Padahal seharusnya, sebuah Peraturan daerah sebelum disahkan harus terlebih dahulu mendapatkan nomor registrasi dari Mendagri. Tidak berjalannya sistem ini tentu menjadi persoalan tersendiri dalam tata pemerintahan di Indonesia yang terjadi saat ini. Di mana Posisi Perda? Peraturan Daerah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) dengan persetujuan bersama Kepala Daerah, baik di tingkat provisinsi maupun kabupaten/kota. Eksistensi Perda secara tegas mulai dirumuskan dalam Amandemen UUD 1945 yang kedua dan dalam Ketetapan MPR Nomor II/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan, yang kemudian di ditetapkan pula dalam Undang-Undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Berdasarkan pasal 7 ayat 1 UU No. 10/2004, jenis dan hieraki perundang-undangan adalah berikut: 1. 2. 3. 4. 5.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah.
Jl. SMA 14 No. 17 RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713 Email:
[email protected] Website: www.kalyanamitra.or.id
Analisa Media Edisi Januari 2013 EdEEEEEE
Pasal 7 Ayat (2) selanjutnya menyatakan bahwa Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) huruf e di atas meliputi Peraturan Daerah Provinsi yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama dengan Gubernur; Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota bersama dengan Bupati/Walikota; dan Peraturan Desa/Peraturan yang setingkat, yang dibuat oleh Badan Perwakilan Desa atau nama lainnya bersama dengan Kepala Desa atau nama lainnya. Dalam penjelasan Pasal 7 Ayat (2) huruf a dinyatakan bahwa Qanun yang berlaku di Daerah Provinsi Nangroe Aceh Darussalam dan Perdasus serta Perdasi yang berlaku di Provinsi Papua termasuk Perda. Pada pasal 7 ayat (3) mengatakan bahwa semua peraturan perundang-undangan diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Sementara kekuatan hukum peraturan perundang-undangan adalah sesuai dengan hierakinya. Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU No. 10/2004 tersebut dapat dilihat bahwa peraturan daerah berada di posisi yang paling bawah, itu artinya, dalam penyusunannya tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan yang ada di atasnya. Hal tersebut juga ditegaskan dalam Pasal 136 ayat 4, UU No. 32 tahun 2004 tetang Pemerintahan Daerah yang mengatakan bahwa Peraturan Daerah dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. Perda yang mengatur tentang cara berpakaian perempuan dan membatasi ruang gerak perempuan bertentangan dengan UU No. 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Selain itu, Perda yang diskriminatif juga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 terutama pasal 28 yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia. Oleh sebab itu, seharusnya Perda diskriminatif dengan sendirinya tidak berlaku karena telah bertentangan dengan perundang-undangan yang ada diatasnya. Peran Kementerian Dalam Negeri? Kementerian Dalam Negeri memiliki peran yang sangat signifikan terkait dengan perda-perda diskriminatif yang terus bermunculan. Karena Kemendagri memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan dan mengevaluasi perda-perda tersebut. Pengujian Perda oleh pemerintah, atau dalam hal ini adalah Kementerian Dalam Negeri, diatur dalam UU No. 32 tahun 2004 yang di dalamnya memberi perintah bahwa Perda yang dibuat oleh DPRD bersama Kepala Daerah agar disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan. Klarifikasi atas perda yang seharusnya dilakukan oleh Kemendagri bertujuan untuk menyerasikan antara kebijakan daerah dengan kebijakan nasional. Selain itu, juga untuk menyerasikan antara kepentingan publik dan kepentingan aparatur dengan serta untuk meneliti materi Perda agar tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Jl. SMA 14 No. 17 RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713 Email:
[email protected] Website: www.kalyanamitra.or.id
Analisa Media Edisi Januari 2013 EdEEEEEE
Terkait dengan pembatalan Perda, Pasal 136 Ayat (4) UU No.32 Tahun 2004 menyebutkan bahwa “Perda dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.” Kemudian Pasal 145 ayat (2) UU tersebut menyebutkan “Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh pemerintah.” Ayat (3) menyebutkan “Keputusan pembatalan Perda ...ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Perda...” selanjutnya Ayat (5) menyebutkan “Apabila provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda ... dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung”. Dalam perjalanannya, Kementerian Dalam Negeri memang pernah membatalkan banyak Perda. Tahun 2012 misalnya, Kemendagri mengaku telah membatalkan 173 Perda bermasalah dari 3000 Perda bermasalah yang ada. Sementara berdasarkan data Kemendagri, kurun waktu 2002 hingga 2009, pemerintah telah membatalkan 1.878 perda bermasalah. Tahun 2010, ada 407 Perda bermasalah yang diklarifikasi dan ada 354 Perda pada tahun 2011. Beberapa hal yang menjadi dasar evaluasi terhadap perda-perda tersebut ialah konstruksi hukum perda, termasuk peraturan yang lebih tinggi. Hal tersebut terjadi karena perda tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, apalagi UUD 1945. Namun sayang, dari sekian banyak perda yang dibatalkan oleh Kemendagri, tidak ada satu pun Perda yang diskriminatif terhadap perempuan. Perda-perda yang dibatalkan kebanyakan yang terkait dengan pajak dan retribusi. Selain itu, juga perda yang menyebabkan ekonomi berbeaya tinggi di daerah yang menghambat inventasi swasta. Perda pajak dan retribusi dibatalkan karena bertentangan dengan Undang-Undang No. 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Namun demikian, pembatalan perda tidak berarti menggugurkan seluruh perda. Dalam beberapa kasus, pemerintah hanya membatalkan beberapa pasal atau ayat saja. Pembatalan keseluruhan perda hanya terjadi jika ada salah konstruksi atau menyalahi kewenangan. Lahirnya banyak perda bermasalah yang dibatalkan oleh pemerintah tentu telah membuang uang negara secara percuma. Hal itu karena dalam pembuatan tiap perda membutuhkan beaya yang sangat tinggi. Bahkan, perda yang kompleks sering mengharuskan anggora DPRD untuk melakukan studi banding ke sejumlah daerah hingga ke luar negeri. Perempuan Menjadi Korban Perda Diskriminatif Pembatalan ribuan perda yang dilakukan oleh Kemendagri tak pernah menyentuh Perda yang diskriminatif terhadap perempuan. Padahal jika menggunakan analogi yang sama seperti membatalkan perda pajak dan retribusi karena bertentangan dengan UU No. 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, perda yang diskriminatif juga telah melanggar peraturan perundang-undangan yang ada di atasnya yakni UU No. 7 Tahun 1984
Jl. SMA 14 No. 17 RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713 Email:
[email protected] Website: www.kalyanamitra.or.id
Analisa Media Edisi Januari 2013 EdEEEEEE
tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan dan UUD 1945 terutama pasal 28. Undang-Undang Dasar 1945 telah menjamin tiap warga negara sama kedudukannya dalam hukum. Pasal 28 UUD 1945 juga menjamin tidak ada diskriminasi yang dialami oleh tiap warga negara. Sementara pembatasan terhadap ruang gerak perempuan, seperti tidak boleh keluar malam dan mengatur cara berpakaian perempuan telah melanggar UU No. 7 tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Maka dengan analogi yang sama, seharusnya pemerintah bisa membatalkan perda-perda dskriminatif terhadap perempuan, termasuk aturan tidak boleh ngangkang ketika sedang mengendarai sepeda motor, karena hal tersebut jelas-jelas bentuk diskirminasi terhadap perempuan, yang mana aturan tersebut hanya ditujukan untuk perempuan, tidak bagi laki-laki. Beberapa perda yang diskriminatif telah menyeret perempuan sebagai korban, salah satunya dialami oleh Putri (16 th) pada pertengahan tahun 2011 yang lalu, yang mana ia ditemukan tergantung pada seutas tali di kamar tidurnya, di Langsa, Aceh Timur. Putri nekad bunuh diri setelah terjaring razia oleh polisi syariah di Langsa. Melalui suratnya, Putri mengaku bahwa ia tidak berbuat mesum, melainkan hanya duduk-duduk bergadang bersama teman-temannya usai menyaksikan konser organ tunggal di kampungnya. Surat Putri yang ditujukan pada ayahnya itu, ditemukan ayah korban dari dalam tasnya. Kasus lainnya ialah apa yang terjadi pada Lilis Lisdawati, tahun 2008 yang lalu. Ia adalah korban salah tangkap berlatar belakang Perda No. 8/2005 di Kota Tangerang. Lilis Lisdawati adalah karyawan sebuah restoran yang sedang hamil 2 bulan. Suaminya adalah guru SD. Pada tanggal 27 Februari 2006, ia ditangkap oleh petugas saat sedang menunggu kendaraan umum. Ia dituduh telah melanggar Perda No. 8 tahun 2005 tentang pelarangan pelacuran. Aturan Perda itu memang multi tafsir sehingga menyebabkan ketidakpastian hukum dan berpotensi menyebabkan salah tangkap. Pasal 4 ayat 1 misalnya, menyebutkan bahwa: “Setiap orang yang sikap atau perilakunya mencurigakan, sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka pelacur, dilarang berada di jalan-jalan umum, di lapanganlapangan, di rumah penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah penduduk/kontrakan, warung-warung kopi, tempat hiburan, gedung tempat tontonan, di sudut-sudut jalan atau di lorong-lorong atau tempat-tempat lain di daerah.” Petugas lalu bisa menangkap seseorang, terutama perempuan, semata-mata atas dasar kecurigaan bahwa orang tersebut adalah pelacur (PSK). Meskipun telah menyampaikan bahwa ia bukan PSK, Lilis tetap ditahan dan dihukum. Pengadilan Negeri Tangerang menjatuhkan hukuman 8 hari penjara dan denda Rp 300 Ribu. Lilis berada dalam tahanan selama 4 hari sebelum akhirnya dibebaskan setelah suaminya membayar denda tersebut. Lilis menggugat walikota Tangerang karena menjadi korban salah tangkap. Gugatan ini ditolak Pengadilan Negeri Tangerang. Gugatan Lilis makin tidak mendapat perhatian setelah Mahkamah Agung menolak permohonan uji materi oleh masyarakat Tangerang atas Perda
Jl. SMA 14 No. 17 RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713 Email:
[email protected] Website: www.kalyanamitra.or.id
Analisa Media Edisi Januari 2013 EdEEEEEE
tersebut. Alasannya, Perda itu telah dirumuskan sesuai dengan proses yang disyaratkan. Pemerintah Kota Tangerang juga tidak melakukan upaya untuk merehabilitasi nama baik Lilis. Lilis mengalami keguguran pasca peristiwa ini. Ia juga dikeluarkan dari pekerjaannya. Suaminya keluar dari pekerjaan karena tertekan dengan tudingan beristrikan pekerja seks. Tekanan juga datang dari masyarakat sekeliling. Di tengah keterpurukan ini, Lilis dan keluarganya mulai terlilit hutang dan hidup berpindah-pindah. Lilis akhirnya meninggal dunia di penghujung 2008 dalam kondisi depresi. Rekomendasi Perda merupakan kebijakan yang secara hieraki berada di tataran paling bawah. Namun seringkali ini dianggap signifikan karena langsung menyasar pada masyarakat yang ada di tingkat bawah. Seharusnya, Perda dibuat dengan semangat membantu mengembangkan daerah, dan bertujuan memberdayakan, melindungi dan mensejahterakan masyarakat, bukan justru mengkriminalkan masyarakat yang yang keluar malam. Seharusnya Pemerintah Pusat dan Daerah bergerak cepat untuk mencabut perda-perda bermasalah yang mendiskriminasi perempuan agar tidak terjadi lebih banyak korban lagi. Perempuan bukan warga negara kelas dua. Perempuan bukan pembantu laki-laki. Perempuan setara dengan laki-laki. Kasus yang dialami Lilis, Putri dan korban lainnya memperlihatkan betapa sadisnya Pempus dan Pemda. Selain itu, masyarakat perempuan harus mendapatkan perlindungan yang maksimal dan kepastian hukum agar dalam tiap geraknya tidak selalu was-was. Dengan banyaknya perda yang diskriminatif yang multi tafsir membuat masyarakat, terutama perempuan, selalu cemas was-was dalam beraktifitas sehari-hari menjalani kehidupannya.
*****
Jl. SMA 14 No. 17 RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713 Email:
[email protected] Website: www.kalyanamitra.or.id