Analisa Media Edisi Agustus 2013 EdEEEEEE
Tes Keperawanan: Bentuk Kegagalan Negara
Dalam budaya patriarkhal, tubuh perempuan menjadi objek utama untuk dimasalahkan. Dalam budaya ini selalu dicari cara untuk mengaturnya, mulai dari bagaimana perempuan harus berpakaian hingga di mana perempuan harus berada. Akibatnya, tak ada lagi ruang bagi perempuan. Patriakhi selalu berusaha menyingkirkan perempuan dari ruang publik dan dari ruang domestik. Budaya ini melihat perempuan sebagai musuh utama yang harus ditaklukan dan menurut pada kuasa laki-laki. Berbagai cara digunakan budaya patriakhi untuk mencapai tujuannya, misalnya menerapkan aturan hukum atau norma sosial dalam bermasyarakat baik secara formal maupun non formal. Secara non formal norma sosial diterapkan secara turuntemurun dan tidak tahu kapan dimulainya dan berwujud dalam bentuk tradisi atau budaya sehari-hari. Norma sosial tidak berlaku mutlak dan berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Sementara aturan formal (hukum) biasanya dituangkan dalam kebijakan tertulis berupa undang-undang atau peraturan daerah. Dalam era otonomi saat ini, tiap daerah dapat mengatur daerahnya sendiri. Daerah juga memiliki wewenang untuk melahirkan kebijakan sesuai dengan konteks wilayah. Namun demikian, kebijakan yang dilahirkan daerah harus mengacu pada kebijakan nasional dan tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan yang ada. Hal itu tidak pernah ditaati oleh daerah. Akhirnya, muncul berbagai peraturan yang mendiskriminasi perempuan. Berdasarkan catatan Komnas Perempuan hingga tahun 2013, ada 342 kebijakan yang diskriminatif. Data itu mengalami peningkatan daripada tahun sebelumnya hanya 282 (tahun 2012) dan 207 (tahun 2011). Dari data tersebut, 265 kebijakan diskriminatif yang ada langsung menyasar kepada perempuan, atas nama agama dan moralitas. Ada 76 kebijakan yang mengatur cara berpakaian berdasarkan tafsir tunggal ajaran agama penduduk yang mayoritas. Ada 124 kebijakan tentang prostitusi dan pornografi, 27 kebijakan tentang pemisahan ruang publik laki-laki dan perempuan atas alasan moralitas, di mana 19 di antaranya menggunakan istilah khalwat atau mesum. Selain itu, ada 35 kebijakan terkait jam keluar malam. Lahirnya berbagai macam aturan yang mendiskriminasi perempuan didukung oleh budaya patriarkhi yang mendominasi. Banyak celah dan cara akan selalu dicari dalam wilayah kuasa laki-laki dengan melahirkan berbagai aturan untuk mengatur dan membatasi ruang gerak perempuan. Budaya patriarkhi kemudian melahirkan standar mengenai perempuan yang baik-baik dan perempuan yang tidak baik. Standar yang digunakan itu melahirkan stigma negatif pada perempuan yang tidak
Jl. SMA 14 No. 17 RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713 Email:
[email protected] Website: www.kalyanamitra.or.id
Analisa Media Edisi Agustus 2013 EdEEEEEE
mau mengikuti standar yang ada dan dianggap sebagai perempuan yang tidak bermoral. Keperawan dan moralitas Mengatur tubuh perempuan menjadi suatu yang akan selalu dilakukan budaya patriarkhi, karena itu dianggap milik publik. Oleh karena menjadi milik publik, maka tubuh perempuan harus mudah dikontrol, mudah diberi label, mudah dinilai, mudah diobjektivikasi dan mudah dikriminalkan, melalui berbagai perundang-undangan. Dalam hal moralitas, maka perempuan mempunyai tanggung jawab yang sangat besar untuk terus menjaganya. Demi menjaga moral publik itulah, segala aturan harus dibuat dan dipatuhi, termasuk menjaga keperawanan sebagai salah satu barometer yang digunakan oleh budaya patriarkhi untuk mengontrol tubuh perempuan. Jika perempuan ingin mendapatkan label sebagai perempuan baik-baik, maka ia harus mempertahankan keperawanannya dan menyerahkannya hanya pada suaminya kelak, setelah melangsungkan perkawinan. Bagi perempuan yang tidak dapat mempertahankan keperawanannya, ia akan mendapatkan label sebagai perempuan tidak bermoral. Pengertian keperawanan adalah “absurd”. Hanya perempuan itu sendiri yang tahu ia masih perawan atau tidak. Selain itu, kehilangan keperawanan tidak selalu akibat hubungan seks, tetapi bisa akibat kecelakaan dan olah raga berat. Dalam rangka mengatur moral itulah, terlontar wacana melakukan tes keperawanan bagi siswi SMA. Wacana tersebut dilontarkan H.M. Rasyid dari Dinas Pendidikan Kota Prabumulih, Sumatera Selatan. Tes keperawanan bagi calon pelajar SMA sederajat direncanakan dilakukan tahun 2014 mendatang, dengan menggunakan dana APBD. Tes tersebut dilakukan dengan tujuan menekan angka prostitusi yang marak terjadi di Kota Prabumulih, Palembang. Ternyata tidak hanya di Prabumulih yang mendiskusikan wacana tes keperawanan untuk siswi SMA, tetapi para pengelola pendidikan di Pamekasan, Jawa timur juga menggulirkan gagasan serupa. Hal tersebut diungkapkan Sekretaris Dewan Pendidikan Pamekasan, Ahmat Zaini. Dia mengungkapkan bahwa tes keperawanan bisa diterapkan dalam penentuan kelulusan siswa. Namun Ahmat Zaini mengungkapkan, bahwa konsep tersebut belum dapat diterapkan dalam waktu dekat dan tanpa perencanaan yang baik. Wacana tes keperawan bukan sekali ini dilontarkan. Tahun 2007, Bupati Indramayu, Jawa Barat, Irianto MS Syafiuddin juga melontarkan wacana tes keperawanan. Gagasan tes keperawanan tersebut berawal dari beredarnya video mesum yang diperankan remaja SMA. Video mesum tersebut tak hanya meresahkan warga Indramayu, tapi juga mempermalukan Irianto. Pasalnya waktu itu, ia terpilih sebagai bupati berakhlak mulia. Irianto mengatakan bahwa wacana tes keperawanan
Jl. SMA 14 No. 17 RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713 Email:
[email protected] Website: www.kalyanamitra.or.id
Analisa Media Edisi Agustus 2013 EdEEEEEE
merupakan peringatan agar orangtua menjaga pergaulan anak-anaknya. Tes tersebut tidak dilaksanakan karena respon masyarakat yang menolak keras. Wacana tes keperawanan kembali muncul tahun 2010. Wacana ini dilontarkan seorang politisi Partai Amanat Nasional, yang duduk di Komisi IV DPRD Provinsi Jambi, bernama Bambang Bayu Suseno. Bambang melontarkan wacana tes keperawanan pada pertengahan September 2010. Wacana itu lahir dari keprihatinannya terhadap pergaulan bebas di kota-kota besar. Menurutnya, hal tersebut terjadi karena longgarnya pengawasan orangtua. Selain itu, pendidikan agama yang juga minim. Berulangnya wacana tes keperawanan muncul oleh pejabat publik mempertegas bahwa tubuh perempuan adalah milik publik. Maka kontrolnya pun harus dilakukan oleh publik, walaupun ia berada dalam ruang privat. Perempuan dianggap sebagai penjaga moral publik. Anggapan tersebut tentu mempersempit arti sebenarnya yang disebut dengan moralitas. Karena moralitas tidak hanya terkait dengan tingkah laku perempuan, tetapi juga tingkah laku masyarakat umumnya. Selama ini yang menjadi sorotan terkait moral hanyalah perempuan, sedangkan laki-laki tidak. Padahal banyak kasus yang terkait dengan moralitas yang nampak jelas di depan mata seperti korupsi, berkendara tidak taat aturan, dan lain sebagainya, justru publik menutup mata atas segala kasus tersebut. Pengertian moral yang dipersempit itulah yang kemudian menjadikan publik hanya melihat tubuh perempuan ketika berbicara tentang moral. Padalah moralitas tidak hanya masalah perempuan, karena moral artinya tata cara atau adat istiadat masyarakat. Dan jika mengacu pada kamus besar bahasa Indonesia, moral diartikan sebagai akhlak, budi pekerti, atau susila. Maka bicara moral bukan bicara perempuan semata, namun juga bicara masyarakat pada umumnya. Penindasan seksual Munculnya wacana tes keperawanan tahun 2013 ini menuai pro kontra di masyarakat. Bagi kalangan yang pro beralasan, bahwa dengan tes tersebut siswi akan takut berbuat asusila. Sedangkan pandangan yang berbeda menyatakan tes keperawanan adalah diskriminatif dan melecehkan perempuan. Bahkan kalangan guru di lingkungan Prabumulih pesimis, bahwa tes tersebut dapat menekan angka pergaulan bebas di kalangan pelajar. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhammad Nuh, menjadi salah satu orang yang sangat menentang wacana tes keperawanan bagi siswa perempuan. Menurutnya, jika tujuannya agar siswa terhindar dari hal-hal negatif, ada cara-cara lain yang lebih mulia. Senada dengan M. Nuh, Menteri Agama Suryadharma Ali juga menolak wacana untuk tes keperawanan. Menurutnya, tes keperawanan tidak etis dan merendahkan martabat perempuan. Dia bahkan berpendapat bahwa adanya
Jl. SMA 14 No. 17 RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713 Email:
[email protected] Website: www.kalyanamitra.or.id
Analisa Media Edisi Agustus 2013 EdEEEEEE
wacana tes keperawanan sebagai lampu merah bagi dunia pendidikan. Menurutnya, menjaga moral anak terkait dengan pergaulan bebas, solusinya bukan dengan tes keperawanan, tetapi siswa perlu perhatian bukan hanya dari sekolah namun juga dari keluarga. Komnas Perempuan juga menyatakan tidak setuju dengan wacana tes keperawanan. Menurut Komnas Perempuan, tes keperawanan merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan dan bertentangan dengan Konstitusi. Tindakan tersebut merendahkan derajat martabat manusia dan bersifat diskriminatif terhadap perempuan. Tes keperawanan juga berimplikasi memutus masa depan anak perempuan, karena tidak dapat melanjutkan pendidikan dan hidup dalam stigma negatif di dalam masyarakat. Minim pemahaman Konstitusi Berulangnya wacana tes keperawanan dilontarkan oleh pejabat publik terutama aparat pemerintahan dan anggota legislatif, memperlihatkan bahwa pejabat di negeri ini tidak memahami perundang-undangan yang ada. Lebih parah lagi, mereka tidak memahami Undang-Undang Dasar 1945. Pernyataan-peryataan diskriminatif pejabat publik tersebut tidak pernah disikapi serius oleh pemerintah pusat. Situasi demikian jelas memperlihatkan pemahaman yang rendah atas mandat Konstitusi bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan Hak Asasi Manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Jika mengacu pada Kontitusi, tes keperawanan sangat bertentangan dengan pasal berikut: Pasal 28B ayat (2) “Setiap Anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Pasal 28C ayat (1) “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupanya dan demi kesejahteraan umat manusia”. Pasal 28G ayat (1) “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. Pasal 28G ayat (2) “Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain”.
Jl. SMA 14 No. 17 RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713 Email:
[email protected] Website: www.kalyanamitra.or.id
Analisa Media Edisi Agustus 2013 EdEEEEEE
Pasal 28I ayat (2) “Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”. Pasal 28H ayat (2) “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan mafaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Selain Undang-Undang Dasar 1945, tes keperawanan juga bertentangan dengan perundang-undangan yang ada, misalnya UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Undangundang ini mewajibkan negara membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk mengubah pola tingkah laku sosial dan budaya laki-laki dan perempuan dengan maksud untuk mencapai penghapusan prasangka-prasangka, kebiasaan-kebiasaan dan segala praktik lainnya yang berdasarkan atas inferioritas atau superioritas salah satu jenis kelamin atau berdasar peranan stereotip bagi laki-laki dan perempuan (Pasal 5 huruf a) Tes keperawanan juga menyalahi Inpres No 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional yang telah ditindaklanjuti secara khusus dalam bidang pendidikan berupa Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 84 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender Bidang Pendidikan. Selain itu, ada sejumlah perundang-undangan lain yang dilanggar, seperti UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU No. 23 tahun 2002 Perlindungan Anak. Penutup Tes keperawanan bukan solusi manjur mengatasi prostitusi anak, sebaliknya, justru bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan orang. Oleh karena prostitusi anak adalah bagian dari tindak perdagangan orang, dan undang-undang mewajibkan negara memberikan perlindungan dan pemulihan bagi korban. Negara harusnya tidak ikut campur dalam ranah privasi warganya dan negara harus menyadari bahwa keperawanan seseorang merupakan hak pribadi tiap individu. Aparat negara harusnya lebih memprioritaskan moralitas pejabat yang melakukan korupsi daripada harus mengurusi moralitas siswa, dengan melakukan tes keperawanan. Agar wacana tersebut tidak terus mucul, seharusnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memberikan sanksi tegas kepada dinas pendidikan yang mengeluarkan kebijakan yang bias gender. Pemerintah juga harus memastikan bahwa penyelenggara pendidikan, institusi profesi, dan lembaga masyarakat tidak
Jl. SMA 14 No. 17 RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713 Email:
[email protected] Website: www.kalyanamitra.or.id
Analisa Media Edisi Agustus 2013 EdEEEEEE
melakukan tindak kekerasan seksual dengan melakukan tes keperawanan. Lembaga eksekutif dan legislatif, baik di tingkat nasional maupun daerah perlu ditingkatkan pengetahuan dan sensitivitasnya pada isu-isu kekerasan terhadap perempuan agar dapat membuat terobosan kebijakan dan program penanganan yang komprehensif bagi perempuan dan anak korban kekerasan.
*****
Jl. SMA 14 No. 17 RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713 Email:
[email protected] Website: www.kalyanamitra.or.id