A r ti kel
D U A A N A K , M EM A N G L E B IH B A I K Ole h D r s . Ma r di y a Pagi-pagi Pak Tukiman (nama samaran) sudah dibuat pusing tujuh keliling. Berkali-kali ia mondar-mandir berjalan keluar masuk di rumah bambunya yang reyot sambil sesekali menggeleng-gelengkan kepala sambil mendesah. Tanpa terasa rokok tingwe yang sesekali ia hisap terjatuh karena pikirannya sedang kacau. Kacau oleh keadaan ekonomi keluarganya yang kelewat miskin, karena apa-apa tidak punya. Terlebih sejak bahan kebutuhan hidup sehari-hari melambung tinggi, kehidupan keluarganya semakin menderita saja, karena untuk memenuhi kebutuhan makan saja susahnya bukan main. Wajar bila Pak Tukiman pusing, soalnya ia yang beranak lima orang masih kecil-kecil, baru saja mendengar keluhan isterinya Tukinem (bukan nama sebenarnya) bahwa beras yang akan di masak sudah habis, belum lagi bumbu dan sayur sudah tidak ada. Kecuali beberapa lembar daun melinjo muda pemberian tetangga kemarin sore. Mau berhutang ke warung, sudah tidak mungkin karena hutang sebelumnya belum terbayar. Sementara mau pinjam ke tetangga kiri kanan, merasa malu karena hutangnya memang sudah “tempuk gelang”. Artinya hampir semua tetangganya sudah pernah dipinjami uang atau barang, dan semuanya belum dikembalikan. Mau menggadaikan atau menjual barang/perabotan rumah tangga, sama sekali tidak ada barang yang berharga. Jangankan pesawat televise, tape recorder atau radio, piring, gelas dan sendok yang adapun sudah kusam karena digunakan untuk makan sehari-hari. Jadi tidak mungkin untuk digadaikan atau dijual. Sebelumnya sang isteri mungkin sudah tahu, bila suaminya juga tidak memiliki uang. Tetapi ia harus tetap bilang pada ayah dari anak-anak, siapa tahu ada jalan keluar yang dapat mengurangi beban pikirannya. Tanpa disadari, kedua mata Pak Tukiman berkaca-kaca saat melihat isterinya meneteskan air mata sambil menangis sesenggukan. Ia sendiri tidak memiliki uang yang cukup. Di dompetnya tinggal ada beberapa keping uang receh yang nilainya tak lebih dari dua ribu rupiah. Hatinya seperti teriris-iris. Terlebih saat melihat kelima anaknya yang masih tidur berjajar di amben tua beralaskan tikar lusuh. Dipandanginya anaknya satu per satu. Yanto, Jono, Tono, Ari 1
dan Rini yang baru berumur beberapa bulan (semuanya nama samaran). Matanya semakin nanar saat mengingat Yanto dan Jono yang mestinya sudah kelas 5 dan 4 SD terpaksa tidak sekolah karena tidak ada biaya. Bagaimana mau sekolah, untuk mencukupi kebutuhan makan dan pakaian saja seakan sudah tidak mampu. Belum ia harus menyediakan uang ekstra untuk nyumbang ke tetangga kanan kiri yang punya hajat, entah mantu atau supitan. Wajar bila Pak Tukiman tidak mampu berbuat banyak, karena pekerjaan sehari-harinya hanya serabutan. Memperoleh penghasilan saat ada orang lain membutuhkan tenaganya. Sawah dan ladang sama sekali tak di miliki, kecuali sepetak tanah seluas kurang lebih 100 meter persegi yang ia tempati bersama anak dan isterinya. Itupun warisan dari orang tuanya yang dulunya juga beranak banyak hingga 8 orang. Isterinya tercinta sebenarnya sudah berusaha membantu dengan menjadi buruh tukang cuci dan seterika pada keluarga kaya di kampungnya. Namun apa daya, penghasilannya sangat minim, sehingga untuk mencukupi gizi anak-anaknya dan kebutuhan susu anak yang paling bungsu sudah begitu berat. Oleh karena itu, dalam hati Tukiman dan isterinya merasa menyesal, kenapa mereka harus terlalu banyak anak. Bila anaknya hanya dua orang tentu kenyataan pahit yang diterimanya tidak akan pernah terjadi. Kisah di atas adalah kondisi senyatanya yang dialami tetangga penulis yang kondisinya miskin namun terlanjur beranak banyak karena tidak ikut KB. Kejadiannya memang sudah cukup lama, sekitar tahun 1987, namun kondisi kehidupan sehari-hari yang selalu terpantau oleh tetangganya termasuk penulis, tetap saja membekas hingga saat ini. Apalagi penderitaan yang dialami saat itu belumlah cukup. Karena peristiwa yang terjadi selanjutnya, dalam usianya yang sudah mendekati setengah abad, Pak Tukiman bersama isteri dan kelima anaknya berangkat transmigrasi ke Sumatera mengikuti program pemerintah. Sayang, baru beberapa bulan di tanah seberang, Pak Tukiman sakit-sakitan dan akhirnya meninggal di tanah rantau. Peristiwa yang terjadi selanjutnya, tidak banyak yang tahu. Namun yang pasti, isteri dan anak-anaknya harus berjuang
keras
untuk
tetap
dapat
bertahan
hidup
di
lokasi
transmigrasi.
Kisah menyedihkan seperti yang dialami Pak Tukiman sekeluarga tentu banyak dialami pula oleh keluarga-keluarga miskin di sekitar kita. Soalnya, hingga saat ini Indonesia yang berpenduduk 226 juta jiwa masih memiliki 24 juta keluarga miskin dari sekitar 53 juta keluarga
2
yang ada. Dari jumlah keluarga miskin sebanyak itu, sebagian besar adalah petani kecil atau buruh serabutan yang tinggal di desa-desa atau perkamupungan kumuh di kota tanpa akses untuk berkembang sama sekali. Ironisnya, karena kemiskinannya itu telah merangsang mereka beranak banyak, lebih banyak dari keluarga-keluarga yang kesejahteraannya lebih baik. Mungkin itu satu-satunya hiburan yang dapat menentramkan hatinya, yakni “berkumpul” dengan isteri, tanpa
menyadari
masalah
kehidupan
yang
baru
telah
menghadang.
Tidak mengherankan bila berbagai kisah tragis terus bermunculan dalam keluarga-keluarga miskin di negara kita. Bahkan sekitar tiga tahun lalu pernah terjadi peristiwa menggemparkan yang menimpa sebuah keluarga di Bandung, Jawa Barat. Saat itu, seorang ibu tega menghabisi ketiga anaknya yang masih kecil-kecil. Alasannya sungguh menghenyakkan semua pihak. Pasalnya, dari bibir ibu muda yang ternyata berpendidikan dan ekonomi sejahtera itu, keluar pengakuan tentang ketakutannya terhadap masa depan anak-anaknya yang mungkin tidak secerah yang diinginkannya. Hal tersebut menjadi bukti bahwa masalah kekurangan dari segi ekonomi masih menjadi momok bagi sebagian besar keluarga di Indonesia, bahkan dari keluarga kaya sekalipun. Sekarang ini, kita dihadapkan pada kenyataan bahwa membesarkan dan mendidik anak, memang membutuhkan investasi yang besar. Terlebih kalau kita mau mengingat empat hak dasar anak yang salah satunya adalah hak anak untuk tumbuh dan berkembang. Artinya, kita sebagai orangtua tidak hanya berkewajiban mencukupkan kebutuhan makan minum agar tetap dapat bertahan hidup serta memberi perlindungan agar sang anak merasa aman dan nyaman dalam dekapan ayah ibunya. Tetapi lebih dari itu, harus mampu mengoptimalkan tumbuh kembang anak melalui pembinaan dan pendidikan yang layak agar nantinya sang anak tidak saja sehat, cerdas dan trampil, tetapi juga berkepribadian luhur dan bertaqwa kepada Tuhan YME.
Sejak usia balita yang merupakan “the golden age” anak sudah membutuhkan biaya yang tidak sedikit, selain perhatian dan kasih sayang. Setidaknya untuk kecukupan asupan gizi, pemeliharaan kesehatan, membeli Alat Permainan Edukatif (APE), mencukupkan kebutuhan sandang maupun kebutuhan “thetek bengek” lainnya manakala anak sakit, lahir tidak normal, 3
memiliki penyakit bawaan atau mengalami kecelakaan. Belum lagi bila kita sebagai orangtua sama-sama bekerja (karier ganda), maka harus menyediakan pula dana khusus untuk memelihara pembantu atau membayar Tempat Penitipan Anak (TPA) sebagai imbalan karena telah mengasuh dan menjaga anak saat kita pergi mencari penghidupan. Seiring dengan bertambahnya usia anak, kebutuhan hidupnya semakin besar. Terlebih bila anak telah memasuki usia sekolah, dana yang harus dikeluarkan semakin membengkak. Karena bukan lagi sekedar untuk biaya pendidikan, kursus-kursus/privat, tetapi juga untuk memenuhi tuntutan anak yang makin berkembang. Bukan tidak mungkin di era sekarang ini, anak kita yang masih duduk di bangku SD sudah minta barang-barang yang harganya mencapai ratusan ribu bahkan jutaan. Belum lagi keinginannya untuk minta ini itu, pergi jalan-jalan ke tempat wisata, berbelanja ke super market, dan lain-lain. Tidak sedikit di antara kita yang harus “menjadikan kepala untuk kaki dan kaki untuk kepala” sekedar untuk menganalogkan betapa kita harus bekerja ekstra keras untuk mencukupi kebutuhan dan kebahagiaan sang anak. Gambaran bila anak kita lebih dari dua apalagi dengan jarak kelahiran yang terlalu dekat seperti yang dipaparkan di muka, sudah cukup sebagai “kaca benggala” bagi kita betapa sulitnya mencukupkan kebutuhan mereka baik materi maupun perhatian dan kasih sayang. Terlebih bila anak kita sudah memasuki bangku sekolah menengah atau kuliah di perguruan tinggi. Bagi keluarga miskin sudah semakin sulit untuk menjangkau pembiayaannya. Sekarang ini banyak kasus, orangtua terpaksa men-drop out-kan anak dari sekolah karena kekurangan biaya. Berdasarkan data dari Kementerian Pendidikan Nasional, setidaknya 1,72 juta anak-anak negeri ini terpaksa drop out Sekolah Dasar setiap tahunnya karena kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan. Ini belum termasuk anak-anak seperti anaknya Pak Tukiman yang sejak awal tidak pernah punya kesempatan untuk sekolah karena faktor biaya dan kondisi keluarga. Apa arti dari semuanya itu? Ternyata keluarga dengan dua orang anak dipandang dari sudut manapun, memang masih lebih baik. Ini sesuai dengan slogan yang dilontarkan oleh Kepala BKKBN Pusat belum lama ini bahwa “dua anak lebih baik”. Sebab selain kita dapat memberi kasih sayang yang cukup untuk anak, kesehatan ibu tetap terjaga, kebutuhan untuk mengasuh, membina, mendidik dan membesarkan anak masih relatif terjangkau oleh sebagian besar 4
keluarga di negara kita. Terlebih bila kita mengingat era globalisasi telah bergulir, yang berarti persaingan untuk bertahan hidup dan eksis bagi individu, masyarakat, bangsa dan negara, semakin sulit. Hanya orang-orang dengan kualitas memadai saja yang akan mampu memenangkan persaingan, yang berarti pula dapat hidup layak dan dapat mengaktualisasikan kekehidupannya dalam masyarakat secara optimal.
Drs. Mardiya, Kasubid Advokasi Konseling dan Pembinaan Kelembagaan KB dan Kesehatan Reproduksi pada BPMPDP dan KB Kabupaten Kulonprogo. HP: 087738048525
5