A-PDF Scan Optimizer Demo. Purchase from www.A-PDF.com to remove the watermark
KERANGKA KERJA IMPLEMENTASI UNTUK KERJASAMA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH AUSTRALIA UNTUK PEMBERANTASAN PENYELUNDUPAN ORANG DAN PERDAGANGAN MANUSIA
A. PENDAHULUAN
1. Indonesia dan Australia ("Para Pihak") menyadari pentingnya kerjasama praktis untuk mengatasi tantangan-tantangan global dan re£v 1al mengenai penyelundupan orang dan perdagangan manusia yang senantiasa meningkat dan berkembang, dan berketetapan untuk memperkuat upaya-upaya untuk menghadapi tantangan-tantangan tersebut. 2. Kerangka Kerja lmplementasi ini dibentuk berdasarkan Rencana Aksi untuk lmplementasi Perjanjian antara Indonesia dan Australia tentang Kerangka Kerja untuk Kerjasama Keamanan yang telah ditandatangani di Canberra pada tanggal 12 November 2008 ("Rencana Aksi"). 3. Kerangka Kerja lmplementasi melengkapi kerjasama yang erat diantara Para Pihak dalam peranannya sebagai Ketua Bersama Proses Bali ter1tang Penyelundupan Orang dan Perdagangan Manusia serta Kejahatan Transnasional Terkait ("Proses Bali") serta tekad yang kuat diantara Para Pihak terhadap pendekatan-pendekatan regional dan multilateral dalam menghadapi masalah-masalah tersebut. Kerangka Kerja ini juga memperhatikan Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Australia mengenai Kerjasama di Bidang Migrasi dan Pengelolaan Pengawasan Perbatasan yang ditandatangani pada 2006. 4. Kerangka Kerja lmplementasi ini akan berfungsi untuk memperkuat hubungan dan kerjasama bilateral yang luas dan telah ada dalam pemberantasan penyelundupan orang dan perdagangan manusia, menyediakan mekanismemekanisme untuk meningkatkan koordinasi serta pembagian beban dalam
masalah-masalah ini. Kerangka Kerja lmplementasi ini juga menyadari akan pentingnya peningkatan kerjasama yang kuat dengan badan-badan internasional terkait dalam menghadapi penyelundupan orang dan perdagangan manusia, termasuk dari asalnya.
B. MEKANISME PELAKSANAAN
5. Kelompok Konsultasi Pejabat-Pejabat Senior mengenai Kerjasama Keamanan (Kelompok Pejabat-Pejabat Senior) yang dibentuk berdasarkan Rencana Aksi juga ditunjuk sebagai badan yang sesuai untuk melaksanakan, pada tingkat strategis, kerjasama dalam penyelundupan orang dan perdagangan manusia. Peranannya akan meliputi penetapan prioritas-prioritas kerjasama dan mempromosikan peningkatan kapasitas serta pertukaran keahlian, informasi, dan sumber daya. 6. Kelompok Pejabat-Pejabat Senior akan bertemu, sekurang-kurangnya satu kali dalam setahun, dan melibatkan wakil-wakil dari instansi dari pemerintahan terkait. 7. Kelompok Pejabat-Pejabat Senior akan didukung oleh kelompok-kelompok kerja di bidang kerjasama imigrasi dan kerjasama hukum yang telah dibentuk di bawah Forum Tingkat Menteri Indonesia-Australia. 8. Hal penting bagi keberhasilan Kerangka Kerja lmplementasi akan menjadi fasilitas untuk hubungan langsung yang bersifat sementara pada tingkat-tingkat strategis senior maupun operasional. 8.1.
Untuk tujuan Kerangka Kerja lmplementasi, pejabat penghubung strategis senior dari Indonesia dalam masalah-masalah kebijakan dan perkembangan operasional yang penting dan mendesak adalah Wakil Menteri Luar Negeri, dan dari Australia adalah Penasihat Keamanan Nasional.
8.2.
Di bawah pejabat-pejabat penghubung strategis tersebut, Kerangka Kerja lmplementasi ini juga membentuk pejabat penghubung senior tingkat operasional yang ditunjuk di masing-masing negara untuk membantu koordinasi tingkat operasional dan tanggap masalah terhadap perkembangan-perkembangan khusus, apabila dibutuhkan. Pejabat penghubung senior ;)erasional dari Indonesia adalah Direktur Jenderal lmigrasi, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dan dari
Australia adalah Kepala Pejabat Pelaksana, Kantor Cukai dan Perlindungan Perbatasan Australia. Mekanisme koordinasi tingkat tinggi ini tidak dimaksudkan untuk menggantikan penghubung operasional antar lembaga yang telah ada.
C. RUANG LINGKUP KERJASAMA
9. Tantangan-tantangan mengenai penyelundupan orang dan perdagangan manusia adalah sangat luas, rumit dan terus berkembang. Para Pihak bertekad untuk melaksanakan pendekatan-pendekatan yang praktis terhadap tantangan-tantangan 1n1, berdasarkan undang-undang dan peraturanperaturan nasional masing-masing, sesuai dengan hukum internasional dan kewajiban-kewajiban hukum Para Pihak, serta dibangun berdasarkan pengaturan-pengaturan kerjasama dan inisiatif-inisiatif sebagaimana digariskan dalam Rencana Aksi. Para Pihak juga berketetapan untuk memperkuat kerjasama praktis dengan negara-negara asal dan transit, termasuk melalui Proses Bali, untuk mengatasi masalah-masalah ini.
a.
Pencegahan dan Penghentian
10. Kerangka Kerja lmplementasi ini dimaksudkan untuk melengkapi dan memperkuat upaya-upaya luas yang telah dilakukan Para Pihak, baik secara bilateral maupun melalui saluran-saluran regional dan multilateral dalam rangka pencegahan dan penghentian penyelundupan orang dan perdagangan man usia. 11. Di bawah Kerangka Kerja lmplementasi ini, Para Pihak akan bekerja sama, dengan cara-cara yang sesuai dengan hukum internasional dan kewajibankewajiban hukum masing-masing, untuk: 11.1. mengembangkan dan melaksanakan strategi-strategi dan kegiatankegiatan yang diperkuat untuk mencegah migrasi yang tidak beraturan di negara asal, termasuk melalui pelibatan kerjasama dengan negaranegara asal dan negara-negara transit; 11.2. mengembangkan dan melaksanakan strategi-strategi dan mekanismemekanisme yang diperkuat untuk menghentikan upaya-upaya penyelundupan orang dan perdagangan manusia, dan sindikat-sindikat
kejahatan yang terkait di kawasan, dimana pun kejahatan tersebut terjadi; 11.3. membentuk mekanisme yang lebih baik untuk pertukaran informasi pada waktu yang tepat dan analisis strategis antara lembaga-lembaga operasional.
b. Pengelolaan Perbatasan dan lmigrasi
12. Sesuai dengan Nota Kesepahaman tahun 2006 yang disebutkan dalam paragrap tiga Kerangka Kerja lmplementasi ini, Para Pihak menegaskan kembali tekadnya untuk bekerja sama secara erat guna pertukaran informasi dan keahlian serta peningkatan kemampuan dalam bidang pengelolaan perbatasan dan imigrasi. 13. Dibawah Kerangka Kerja lmplementasi ini, Para Pihak akan bekerja sama, dengan cara-cara yang sesuai dengan hukum internasional dan kewajibankewajiban hukum masing-masing, untuk: 13.1. mengembangkan dan melaksanakan strategi-strategi regional untuk mengurangi insentif perjalanan lanjutan ("onward movement"); 13.2. menyediakan penampungan sementara dan memperkuat terhadap para pendatang yang tidak beraturan di Indonesia;
proses
13.3. membantu penempatan kembali ("resettlement") secara tepat waktu, dengan kerangka waktu yang telah ditentukan yang akan dikaji dari waktu ke waktu, bagi setiap orang yang berada di Indonesia yang memiliki status sebagai pengungsi, sebagai hasil dari suatu proses Penentuan Status Pengungsi yang diakui, untuk membantu menghilangkan keberadaan para pengungsi yang masih berada di Indonesia untuk waktu yang lama, sesuai dengan komitmen yang sedang berjalan untuk penerimaan penempatan kembali para pengungsi dengan jumlah dan komposisi yang akan ditentukan setiap tahun. 13.4. membantu pemulangan, secara sukarela atau tidak sukarela, orangorang pendatang dari wilayah Indonesia, yang diketahui tidak berada dalam kewajiban-kewajiban perlindungan internasional, ke negara asalnya.
13.5. membantu dan melindungi para korban perdagangan manusia, khususnya para wanita dan anak-anak, dengan menghormati secara penuh hak-hak asasi mereka. 14. Para Pihak berketetapan terhadap kerja sama praktis dengan organisasiorganisasi internasional terkait, seperti International Organization for Migration (/OM) dan United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), untuk mengatasi migrasi yang tidak beraturan, penyelundupan orang dan perdagangan manusia.
c.
Kerjasama Hukum
15. Di bawah Kerangka Kerja lmplementasi ini, Para Pihak akan bekerja sama, dengan cara-cara yang sesuai dengan hukum internasional dan kewajibankewajiban hukum masing-masing, untuk menjamin bahwa hukum kedua negara akan memfasilitasi, sampai sejauh dimungkinkan, kerjasama internasional dan proses pemidanaan terhadap penyelundupan orang dan perdagangan manusia. 16. Kerjasama ini akan termasuk pertimbangan dari masing-masing Pihak mengenai tindakan-tindakan yang sesuai untuk menjamin bahwa hukuman dapat dijatuhkan terhadap para pelaku kejahatan penyelundupan orang dan perdagangan manusia serta para penyertaannya, dengan mempertimbangkan peranan mereka dalam kegiatan tersebut dan setiap keadaan yang memperberat. 17. Para Pihak berketetapan untuk mendukung kerjasama-kerjasama yang diperkuat, termasuk melalui peningkatan kapasitas dan program-program pelatihan bersama yang terkait dengan upaya mengatasi tantangantantangan di bidang penyelundupan orang dan perdagangan manusia. 18. Para Pihak berketetapan, sesuai dengan perjanjian bilateral tentang Ekstradisi Tahun 1992 dan perjanjian tentang Bantuan Hukum Timbai-Balik dalam Masalah Pidana Tahun 1995 dan hukum nasional masing-masing untuk memperkuat kerjasama yang erat dibidang ekstradisi dan bantuan hukum timbal-balik dalam masalah pidana yang berhubungan dengan penyelundupan orang dan perdagangan manusia.
~~ ~
EPUBL
_.._ ----siA
IMPLEMENTATION FRAMEWORK FOR COOPERATION BETWEEN THE GOVERNMENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE GOVERNMENT OF AUSTRALIA TO COMBAT PEOPLE SMUGGLING AND TRAFFICKING IN PERSONS A.
INTRODUCTION
1.
Indonesia and Australia ('the Parties') recognize the importance of practical cooperation to address the increasing and evolving global and regional challenges of people smuggling and trafficking in persons, and are committed to enhancing efforts to meet these challenges.
2.
The Implementation Framework is established under the Plan of Action for the Implementation of the Agreement between Indonesia and Australia on the Framework for Security Cooperation, which was signed in Canberra on 12 November 2008 ('the Plan of Action') .
3.
The Implementation Framework complements the strong cooperation enjoyed by the Parties in their role as co-Chairs of the multilateral Bali Process on People Smuggling, Trafficking in Persons and Related Transnational Crime ("the Bali Process"), and their firm commitment to regional and multilateral approaches to addressing these issues. It also takes into account the Memorandum of Understanding between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of Australia concerning Cooperation on Migration and Border Control Management, which was signed in 2006.
4.
The Implementation Framework will serve to enhance the already extensive bilateral cooperation and collaboration in combating people smuggling and trafficking in persons, providing mechanisms for enhanced coordination and burden sharing on these issues. It also recognises the critical importance of enhanced collaboration with relevant international agencies in addressing people smuggling and trafficking in persons challenges, including at the source.
B.
OVERSIGHT MECHANISMS
5.
The Senior Officials Security Cooperation Consultation Group ('the Senior Officials Group') established under the Plan of Action is also designated as the appropriate body to oversee, at the strategic level, cooperation on people smuggling and trafficking in persons issues. Its role will include
1 1
setting priorities for cooperation, and promoting capacity building and the sharing of expertise, information and resources. 6.
The Senior Officials Group will meet at least once a year and include appropriate representation across both governments.
7.
The Senior Officials Group will be supported by the working groups on immigration cooperation and legal cooperation, which have been established under the Australia-Indonesia Ministerial Forum.
8.
Critical to the success of the Implementation Framework will be the facility for direct ad hoc contact at both senior strategic and operational levels. 8.1.
For the purpose of this Implementation Framework, the senior strategic point of contact from Indonesia on policy matters as well as urgent and major operational developments will be the Vice Minister for Foreign Affairs, and from Australia, the National Security Adviser.
8.2.
Under these strategic contact points, the Implementation Framework also establishes a designated senior operational level contact point in each country to aid ongoing operational-level coordination and response to specific developments, as required The senior operational point of contact for Indonesia will be the Director General of Immigration, Ministry of Law and Human Rights, and for Australia, the Chief Operating Officer, Australian Customs and Border Protection Service. This high-level coordination mechanism is not intended to supplant existing agency-to-agency operational contacts.
C.
AREAS OF COOPERATION
9.
The challenges of people smuggling and trafficking in persons are broad, complex and evolving. The Parties are committed to the pursuit of practical approaches to these challenges, in accordance with their national laws and regulations, consistent with international law and their respective legal obligations and building on the cooperative arrangements and initiatives outlined in the Plan of Action. The Parties are also committed to enhanced collaboration and practical cooperation with source and transit countries, including through the Bali Process, to address these issues.
a.
Prevention and Disruption
10.
The Implementation Framework is intended to complement and enhance the already extensive efforts of the Parties, both bilaterally and through regional and multilateral channels, on the prevention and disruption of people smuggling and trafficking in persons.
11.
Under the Implementation Framework, the Parties will work together, in a manner consistent with international law and their respective legal obligations, to:
11.1 .
develop and implement enhanced strategies and activities to prevent irregular migration at its source, including through collaborative engagement with source and transit countries;
11.2.
develop and implement enhanced strategies and mechanisms for disrupting people smuggling ventures, trafficking in persons, and associated criminal syndicates in the region, wherever these occur;
11.3.
establish improved mechanisms for timely exchange of information and strategic analysis between operational agencies.
b.
Border and Immigration Management
12.
Pursuant to the 2006 Memorandum of Understanding mentioned under paragraph three of this Implementation Framework, the Parties reiterate their commitment to working closely to share information and expertise and build capacity on border and immigration management.
13.
Under the Implementation Framework, the Parties will work together, in a manner consistent with international law and their respective legal obligations, to:
14.
13.1.
develop and implement regional strategies to lessen incentives for onward movement;
13.2.
provide temporary accomodation irregular migrants in Indonesia;
13. 3.
assist with timely resettlement, with established time frames to be reviewed from time to time, for persons located in Indonesia who are found to be refugees, as a result of a recognised Refugee Status Determination process, to help alleviate instances of recognised refugees remaining in Indonesia for a prolonged period, with an ongoing commitment to a resettlement intake the size and composition of which would be determined annually;
13.4.
assist the return, either voluntary or involuntary, of persons from Indonesia who are found not to engage international protection obligations, to their country of origin;
13.5.
assist and protect the victims of trafficking in persons, particularly women and children with full respect for their Human Rights.
and
enhance processing of
The Parties are committed to practical cooperation with relevant international organisations, such as the International Organization for Migration (10M) and the United Nations High Commissioner for Refugees
(UNHCR), to address irregular migration, people smuggling and trafficking in persons. c.
Legal Cooperation
15.
Under the Implementation Framework, the Parties will work together, in a manner consistent with international law and their respective legal obligations, to ensure the laws of both countries facilitate, to the greatest extent possible, international cooperation and prosecutions in relation to people smuggling and trafficking in persons.
16.
This work will include consideration by each of the Parties of appropriate measures to ensure penalties may be imposed on people smugglers, people traffickers and their accomplices, taking account of their role in the activity and any aggravating circumstances.
17.
The Parties commit to supporting enhanced cooperation and collaboration, including through capacity building, and joint training programs relevant to meeting the challenges of people smuggling and trafficking in persons.
18.
The Parties are committed, pursuant to their bilateral treaties on Extradition of 1992 and Mutual Legal Assistance of 1995 and national laws, to enhance their strong cooperation in extradition and mutual legal assistance in criminal matters in relation to people smuggling and trafficking in persons.
D.
19.
REVIEW OF COOPERATIVE ACTIVITIES
The Parties will keep under active review the effectiveness of the activities set out under Part C of the Implementation Framework and will consider further initiatives, as necessary, for jointly addressing the people smuggling and trafficking in persons challenges. Such review will be conducted under the purview of the Senior Officials Group.
20 . The Parties will consult expeditiously on further tailored measures, in addition to existing bilateral technical assistance and capacity building programs. These consultations will be conducted primarily by counterpart agencies under the broad strategic direction and oversight of the Senior Officials Group.