22
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Kondisi Umum PPP Labuan, Banten Wilayah Kabupaten Pandeglang secara geografis terletak antara 6021’- 7010’
Lintang Selatan dan 104048’-106011’ Bujur Barat dengan luas daerah 2.747 km2 atau sebesar 29,98% dari luas Provinsi Banten. Batas administrasi wilayah ini sebelah utara adalah Kabupaten Serang, sebelah selatan Samudera Hindia, sebelah barat Selat Sunda, dan sebelah timur Kabupaten Lebak. Posisi tersebut menunjukkan bahwa Kabupaten Pandeglang memiliki potensi perikanan cukup besar karena kemudahan akses kebeberapa perairan. 10% dari wilayah daratan kabupaten ini memiliki kawasan perairan laut sehingga potensi sumberdaya ikan laut cukup besar untuk dikembangkan (Fieka 2008). Kabupaten Pandeglang memiliki 5 kecamatan, salah satunya Kecamatan Labuan yang memiliki Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP Labuan). Kondisi topografi area pelabuhan merupakan daerah datar dengan kemiringan 0-2%. Areal untuk pengembangan Pelabuhan sekitar 4,3 ha dibatasi oleh Sungai Cipunteun Agung di sebelah selatan dan areal kebun kelapa milik swasta di sebelah utara. Pemanfaatan lahan telah tercampur antara daerah kerja pelabuhan dengan pemukiman penduduk. Pemanfaatan lahan yang telah tercampur dengan pemukiman penduduk menjadi penghambat dalam pengembangan PPP (Fieka 2008). Fasilitas di PPP Labuan terdiri dari fasilitas pokok dan fasilitas fungsional. Fasilitas pokok terdiri dari dermaga bongkar muat, kolam pelabuhan, dan breakwater. Fasilitas fungsional yang terkait dengan pelelangan/pemasaran antara lain seperti basket/wadah ikan, pengadaan air bersih, pengadaan es, dan tempat pelelangan ikan (TPI). Gedung TPI dibuat sebagai prasarana transaksi antara nelayan dan pedagang-pembeli (bakul). Gedung TPI terdiri dari ruang lelang dan kantor TPI. Gedung TPI 1 terletak disisi muara sungai dan menghadap kearah selatan atau tepat berhadapan langsung dengan aliran Sungai Cipunteun Agung. Gedung TPI 2 terletak ditepi pantai dengan jarak sekitar 50 meter dari garis pantai. Bangunan ini menghadap kearah timur dan berhadapan langsung dengan kolam pelabuhan PPP Labuan (Fieka 2008). Kedalaman perairan sungai yang tidak sesuai
23
untuk ukuran draft kapal berukuran 1,5 meter atau lebih menjadi hambatan bagi kelancaran keluar masuknya kapal ke TPI 1 Labuan. TPI 1 hanya bisa dimasuki oleh kapal kecil berukuran 0-5 GT. TPI 2 dengan posisi yang terletak di pinggir laut sedikit memudahkan kapal ukuran 5-10 GT untuk mendaratkan hasil tangkapannya (Fieka 2008). Alat tangkap yang beroperasi di Labuan yaitu payang, purse seine, jaring rampus, gillnet, pancing, jaring arad, dan jaring cantrang (Tabel 2). Jaring arad merupakan alat tangkap terbanyak yang ada di Labuan yaitu berjumlah 119 unit. Alat tangkap kedua dan ketiga terbanyak yaitu pancing berjumlah 68 unit dan gillnet berjumlah 65 unit. Berikut merupakan perkembangan armada penangkapan ikan di Labuan :
Tabel 2. Jumlah alat penangkapan ikan di PPP Labuan periode 2001-2008 No
Tahun
Alat Tangkap
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
43
45
44
43
43
45
60
61
59
1
Payang
25
28
2
Cantrang
193
193
40
48
49
49
49
48
13
11
6
3
Arad
-
-
125
125
130
121
121
119
181
181
180
4
Purse seine
10
8
16
16
20
20
20
18
10
8
8
5
Rampus
68
65
32
30
32
32
32
35
41
41
41
6
Jaring Klitik
32
32
10
10
4
0
0
0
0
0
0
7
Pancing
26
28
32
32
65
68
68
68
68
68
68
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pandeglang, 2008 4.2.
Komposisi Hasil Tangkapan Ikan kembung lelaki merupakan ikan dominan kedua (24%) setelah ikan
tongkol (47%) yang tertangkap di PPP Labuan, Banten. Alat tangkap utama yang digunakan untuk menangkap ikan ini ialah jaring rampus dengan ukuran mata jaring 2 inchi dan purse seine. Jaring rampus dioperasikan menggunakan kapal motor berukuran 2-6 GT dan purse seine berukuran 12-15 GT. Nelayan Labuan biasa menangkap ikan kembung lelaki di sekitar Pulau Jongor, Sumur, Pulau Rakata, dan Pulau Panaitan. Nelayan akan mencari daerah penangkapan lain di sekitar Tanjung Lesung ataupun Jongor saat hasil tangkapan di Pulau Rakata rendah. Penangkapan ikan kembung lelaki di Pulau Rakata terjadi pada bulan Juli sampai Agustus serta
24
pada bulan Maret sampai April. Hasil tangkapan total berdasarkan data berat ikan disajikan pada Gambar berikut :
Kembung lelaki
17%
24%
9%
Tenggiri 2%
Selar
1%
Tongkol Cumi
47%
Tembang
Gambar 5. Presentase ikan kembung lelaki di PPP Labuan, Banten Sumber : Data harian PPP Labuan, tahun 2011
4.3.
Daerah dan Musim Penangkapan Ikan di Labuan, Banten Menurut hasil wawancara dengan nelayan, daerah penangkapan berada
disekitar Pulau Rakata, Pulau Panaitan , Sumur, Pulau Papole, Jongor serta Tanjung Lesung. Jarak tempuh antara daerah penangkapan dengan PPP Labuan berkisar 3-4 jam perjalanan. Musim penangkapan ikan di sekitar perairan Selat Sunda terdiri dari 3 musim yaitu musim timur, musim peralihan, dan musim barat. Musim timur merupakan musim dengan aktivitas penangkapan tertinggi terjadi pada bulan Mei sampai Juli. Musim peralihan terbagi menjadi dua yaitu musim peralihan satu dan musim perlihan dua. Musim peralihan satu terjadi pada bulan Februari sampai April. Musim peralihan dua pada bulan Agustus sampai Oktober. Musim peralihan dua menandakan datangnya musim paceklik yaitu bulan November sampai Januari (Amri 2002). Daerah penangkapan ikan kembung lelaki di perairan Selat Sunda disajikan pada Gambar berikut :
25
Gambar 6. Daerah penangkapan ikan kembung lelaki di Labuan, Banten
Menurut nelayan di Labuan, musim puncak penangkapan ikan kembung lelaki terjadi pada bulan Juni sampai September. Daerah penangkapan pada bulan tersebut di sekitar Pulau Rakata, Pulau Panaitan, Tanjung Lesung, dan Sumur. Musim paceklik ikan kembung lelaki terjadi pada bulan Januari sampai Mei dan bulan Oktober sampai Desember. Nelayan melakukan penangkapan ikan kembung lelaki di Pulau Papole menggunakan jaring rampus saat musim paceklik. Alat tangkap purse seine digunakan oleh nelayan untuk daerah penangkapan yang lebih jauh dari PPP Labuan. Daerah Binuangen hingga sekitar daerah Lempasing, Lampung merupakan tujuan utama nelayan purse seine saat musim paceklik.
4.4.
Upaya Penangkapan (effort) Jaring rampus merupakan alat tangkap yang digunakan untuk menangkap
ikan kembung lelaki. Ikan kembung lelaki juga ditangkap menggunakan purse seine dengan waktu pengoperasian bisa mencapai 2 sampai 3 hari. Penangkapan dengan jaring rampus hanya satu hari. Upaya penangkapan (effort) ikan kembung lelaki
26
yang telah distandarisasi dengan upaya alat tangkap purse seine yang memiliki nilai FPI sama dengan satu ditampilkan pada Gambar berikut:
y = 58.421x + 54.009 R² = 0.6077
600
Effort (trrip)
500 400 300 200 100 0 2001
2002
2004
2006
2010
2011
Tahun
Gambar 7. Upaya penangkapan ikan kembung lelaki di PPP Labuan, Banten Sumber : data sekunder PPP Labuan, Banten
Gambar 7 terlihat bahwa effort ikan kembung lelaki mengalami peningkatan setiap tahunnya. Tingkat kenaikan effort ikan kembung lelaki di PPP Labuan, Banten memiliki hubungan linier dengan persamaan y = 54 + 58,42x. Persamaan tersebut diperoleh nilai a = 54 dan b = 58,42 dengan koefisien determinasi (R2) 0,607. Penurunan terjadi pada tahun 2002 sebesar 113 trip/tahun dari 179 trip/tahun pada tahun 2001 lalu terjadi peningkatan kembali pada tahun 2004 dan 2006. Effort tahun 2010 mengalami penurunan sebesar 211 trip dari tahun 2006. Penurunan effort ini diduga karena adanya kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Tahun 2011 effort meningkat kembali sebesar 516 trip. Tahun 2011 merupakan effort tertinggi bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Banyaknya upaya penangkapan berbanding lurus dengan hasil tangkapan. Semakin banyak upaya penangkapan, maka akan semakin besar pula hasil tangkapannya.
4.5.
Hasil Tangkapan Ikan Kembung Lelaki Analisis data hasil tangkap dilakukan atas data yang terkumpul tahun 2001-
2002, 2004, 2006, 2010, dan 2011. Rata-rata hasil tangkapan sebesar 8.673,99 kg.
27
Hasil tangkapan tertinggi pada Gambar 6 pada tahun 2011 sebesar 17.376 kg dan hasil tangkapan terendah tahun 2002 sebesar 3.372 kg. Tingkat kenaikan hasil tangkapan ikan kembung lelaki di PPP Labuan, Banten memiliki hubungan linier dengan persamaan y = 1776 + 1970x. Persamaan tersebut diperoleh nilai a = 1776 dan b = 1907 dengan koefisien determinasi (R2) 0,605. Gambar hasil tangkapan ikan kembung lelaki dari alat tangkap jaring rampus dan purse seine. Hasil ini
Hasil Tangkapan (kg)
berdasarkan standarisasi jaring rampus terhadap purse seine.
y = 1970.6x + 1776.8 R² = 0.6051
20000 18000 16000 14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0 2001
2002
2004
2006
2010
2011
Tahun
Gambar 8. Hasil tangkapan ikan kembung kelaki di PPP Labuan, Banten Sumber : data sekunder PPP Labuan, Banten
Berdasarkan data bulanan pada tahun 2011, hasil tangkapan ikan kembung lelaki mengalami peningkatan dan penurunan yang erat kaitannya dengan adanya perubahan musim. Berikut merupakan fluktuasi hasil tangkapan yang dapat dilihat dari Gambar 9. Tahun 2002 (Tabel 2) mengalami penurunan hasil tangkapan dari tahun 2001 disebabkan oleh penurunan armada penangkapan ikan pada tahun tersebut. Tahun 2002 armada penangkapan kapal purse seine berjumlah 8 unit menurun dari tahun 2001 yang berjumlah 10 unit. Armada penangkapan dengan jaring rampus pada tahun 2002 juga mengalami penurunan dari tahun 2001 yang berjumlah 68 unit menjadi 65 unit.
Hasil Tangkapan (kg)
28
5000 4500 4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0
Bulan Gambar 9. Hasil tangkapan ikan kembung lelaki di PPP Labuan, Banten tahun 2011 Sumber : data sekunder PPP Labuan, Banten
Tingkat penurunan hasil tangkapan ikan kembung lelaki di PPP Labuan, Banten memiliki hubungan linier dengan persamaan y = 2216 – 90,93x. Persamaan tersebut diperoleh nilai a = 2216 dan b = - 90,93 dengan koefisien determinasi (R2) 0,034. Gambar 9 dapat disimpulkan bahwa pada bulan Januari tidak ada hasil tangkapan karena merupakan musim barat (paceklik). Bulan Februari dan Maret terdapat hasil tangkapan dalam jumlah sedikit yaitu masing-masing sebesar 43 kg dan 87 kg. Hasil tangkapan yang sedikit dikarenakan bulan Februari dan Maret merupakan musim peralihan satu yang ditandai mulai tertangkapnya ikan kembung lelaki. Musim timur berlangsung selama tiga bulan yaitu pada bulan Mei sampai Juli sehingga mengakibatkan adanya peningkatan hasil tangkapan dibandingkan dengan musim barat. Puncak penangkapan ikan kembung lelaki terjadi pada bulan Juli yang mencapai 4.409 kg. Bulan Agustus sampai Oktober hasil tangkapan mulai menurun drastis terutama pada bulan Oktober yang merupakan akhir dari musim peralihan dua, hasil tangkapan sebesar 96 kg. Menurut Pakpahan (1999) in Amri (2002), awal produksi ikan pelagis kecil di perairan Selat Sunda hampir selalu dimulai pada bulan April dan berakhir pada bulan November selanjutnya akan diikuti pula dengan penurunan produksi. Gambar 9 dapat dilihat pada bulan April merupakan awal dari penangkapan tinggi mencapai
29
2.952 kg. Bulan sebelumnya yaitu bulan Maret hanya sebesar 87 kg. Bulan November akhir dari peningkatan produksi sebesar 439 kg dari bulan Oktober sebesar 96 kg. Bulan Desember mulai terjadi penurunan hasil tangkapan sebesar 382 kg. Data bulanan, hasil tangkapan tertinggi yang merupakan puncak penangkapan terjadi pada bulan Juli saat musim timur. Menurut Wyrtki (1961), musim timur ketinggian gelombang hanya berkisar antara 0,5 m-1 m bahkan bisa kurang dari 0,5 m. Bulan Juli biasanya gelombang rendah sehingga memudahkan nelayan untuk melaut. Operasi penangkapan yang meningkat tentunya akan meningkatkan hasil tangkapan. Ikan-ikan pelagis kecil khususnya ikan kembung lelaki akan bergerak mencari daerah bersuhu rendah. Musim timur terjadi pendinginan permukaan air laut sehingga hasil tangkapan ikan akan melimpah. Angin pada musim timur bertiup lemah menyebabkan ikan kembung lelaki melakukan penjelajahan wilayah untuk migrasi secara luas dan berkembang biak. Ikan kembung lelaki ini menyebar di perairan Selat Sunda dan hampir terdapat di seluruh perairan (Wyrtki 1961).
4.6.
Catch Per Unit Effort (CPUE) Analisis CPUE menggambarkan hubungan antara hasil tangkapan (C)
dengan upaya penangkapan (E) pada waktu tertentu. Setiap alat tangkap mempunyai kemampuan berbeda dalam menangkap ikan kembung lelaki. CPUE dapat menilai efektivitas suatu alat tangkap sehingga perlu dilakukannya standarisasi alat tangkap. Hasil standarisasi menunjukkan bahwa alat tangkap purse seine memiliki nilai Fishing Power Indeks (FPI) = 1, hal ini berarti purse seine digunakan sebagai alat tangkap standar untuk menangkap ikan kembung lelaki. Hasil tangkapan per satuan upaya dari ikan kembung lelaki ditampilkan pada Gambar 10. Berdasarkan Gambar 10, nilai CPUE tertinggi terjadi pada tahun 2001 sebesar 36 kg/trip dan nilai CPUE terendah pada tahun 2002 sebesar 30 kg/trip. Nilai CPUE yang rendah pada tahun 2002 dikarenakan upaya penangkapan dan hasil tangkapan pada tahun tersebut sedikit. Menurut Gulland (1983), CPUE merupakan fungsi dari variabel q. Fungsi variabel ini disetiap daerah penangkapan dalam kurun waktu tertentu cenderung akan mengurangi hasil tangkapan ikan serta dapat mengalahkan tingkat pertumbuhan alami ikan tersebut.
30
Tahun 2004 nilai CPUE mengalami peningkatan karena terjadinya penurunan jumlah alat tangkap rampus (Tabel 2). Penurunan ini disertai dengan peningkatan kapasitas kapal sehingga hasil tangkapan yang diperoleh masih melimpah. Tahun 2006 Nilai CPUE mulai mengalami penurunan dikarenakan adanya peningkatan dari jumlah alat tangkap purse seine dan jaring rampus (Tabel 2). Peningkatan purseine diduga menyebabkan persaingan dalam hasil tangkapan sehingga menyebabkan nilai
CPUE (kg/trip)
CPUE cenderung menurun.
y = 0.142x + 32.879 R² = 0.0166
37 36 35 34 33 32 31 30 29 28 27 2001
2002
2004
2006
2010
2011
Tahun
Gambar 10. Catch per unit effort (CPUE) Sumber: data sekunder PPP Labuan, Banten
Tingkat kenaikan CPUE ikan kembung lelaki di PPP Labuan, Banten memiliki hubungan linier dengan persamaan y = 32,87 + 0,142x. Persamaan tersebut diperoleh nilai a = 32,87 dan b = 0,1422 dengan koefisien determinasi (R2) 0,016. Nilai R² menunjukkan bahwa 1,6% CPUE dipengaruhi oleh trip penangkapan, sementara 98,4% dipengaruhi oleh faktor lain. Hubungan antara CPUE dan effort penangkapan ikan kembung lelaki menunjukkan bahwa semakin tinggi effort maka nilai CPUE juga akan semakin tinggi. Hubungan ini mengindikasikan bahwa produktivitas purse seine sebagai alat tangkap standar bertambah dengan menurunnya effort.
31
4.7.
Matriks Sebaran dan Ukuran Panjang Ikan kembung lelaki tangkapan nelayan bervariasi dan memiliki berbagai
macam ukuran. Hasil antara lokasi dan waktu penangkapan terlihat pada Tabel 3. Bulan Juni sampai Juli yang merupakan musim timur di Pulau Rakata, Tanjung Lesung, Sumur, dan Pulau Panaitan terjadi penangkapan dengan ukuran panjang ikan terkecil sampai terbesar. Ukuran ikan kembung lelaki terkecil yaitu ukuran 105 mm-120 mm tertangkap pada bulan Juni. Daerah penangkapan ikan kembung lelaki berada di sekitar Sumur dan Pulau Panaitan. Ukuran ikan kembung lelaki terbesar yaitu ukuran 233 mm-248 mm tertangkap pada bulan Mei sampai Juli dan bulan September. Bulan-bulan tersebut penangkapan ikan kembung lelaki berada di sekitar Rakata, Sumur, Panaitan, dan Tanjung Lesung. Daerah penangkapan dapat dijadikan habitat bagi ikan-ikan yang telah matang gonad.
Tabel 3.Matriks sebaran dan ukuran panjang ikan kembung lelaki di perairan Selat Sunda periode penangkapan bulan Maret sampai Oktober 2011 Lokasi Lokasi Penangkapan 1. Pulau Rakata 2. Sumur 3. Pulau Panaitan 4. Carita 5. Tanjung Lesung 7. Pulau Papole SK Panjang (mm) 105-120 121-136 137-152 153-168 169-184 185-200 201-216 217-232 233-248
Keterangan : V = dilaporkan tertangkap j = jantan b = betina jb = jantan betina
1
2
3 √
4
5
√ √ √
√
6
√ √
9
√ √ √
√ √
√
√
√
√
10
11
√
√
12
√ √
√
Bulan 7 8
√
jb jb jb jb
jb jb jb jb j jb jb jb jb
jb jb jb j
b jb jb jb jb jb jb b
j jb jb jb j jb jb
√
32
Berdasarkan Tabel 4, TKG betina yang telah matang gonad yaitu TKG 3, 4, dan 5, jumlah terbanyak pada bulan Mei untuk TKG 3 dan bulan September untuk TKG 4 dengan lokasi peangkapan Sumur, Pulau Panaitan, dan Tanjung Lesung. TKG 1 dan 2 yang belum siap melakukan pemijahan presentase terbanyak pada bulan April dengan daerah penangkapan berada di Pulau Rakata. Bulan Juli dengan daerah penangkapan Rakata, Sumur, Panaitan, dan Tanjung Lesung memiliki presentase TKG 1 dan 2 terbesar dibandingkan dengan TKG yang telah siap melakukan pemijahan.
Tabel 4. Matriks sebaran dan tingkat kematangan gonad (TKG) ikan kembung lelaki di perairan Selat Sunda periode penangkapan bulan Maret sampai Oktober 2011. Bulan Lokasi
1
2
3
4
5
6
√
√
7
8
√
√
9
2. Sumur
√
√
√
3. Pulau Panaitan
√
√
√
√
√
√
√
√
10
11
12
√
√
√
Lokasi Penangkapan 1. Pulau Rakata
√
4. Carita
√ √
5. Tanjung Lesung √
6. Pulau Papole
√
TKG Jantan (%) 1
74
5
33
56
52
2
26
21
13
18
48
54
44
15
42
20
8
12
55
3 4 5
3
2
TKG Betina (%) 1
74
2
20
3 4 5
43
55
50
6
11
19
50
3
62
43
9
44
3
32
3
14
50
6
3
Keterangan : V =dilaporkan tertangkap
Nilai IMP (Gambar 11) tertinggi pada bulan Juni sebesar 198,60%. Nilai IMP yang tinggi merupakan musim puncak penangkapan ikan kembung lelaki.
33
Bulan Juni jika dihubungkan dengan Tabel 3 matriks sebaran dan ukuran panjang ikan, ikan tertangkap dengan berbagai ukuran di sekitar Sumur dan Pulau Panaitan. Alat tangkap yang biasanya digunakan didaerah ini adalah purse seine. Banyaknya ikan yang tertangkap bila dilihat dari TKG ikan betina yang telah matang gonad yaitu TKG 4 presentasenya hanya sebesar 3% dan TKG 3 sebesar 43%. Berdasarkan presentase TKG 3 dan TKG 4 baik ikan jantan maupun ikan betina sama-sama tertangkap dibulan Mei untuk TKG 3 dan bulan September untuk TKG 4. Bulan Mei dan bulan September dapat diindikasikan sebagai musim pemijahan ikan dengan daerah pemijahan yaitu di sekitar Sumur, Pulau Panaitan, dan Tanjung Lesung. Sesuai dengan pernyataan Puslitbangkan (1994) in Amri 2002 bahwa ikan kembung lelaki memiliki dua kali musim pemijahan yaitu pada bulan Oktober sampai Februari dan Bulan Juni sampai September. Bulan Mei merupakan musim penangkapan ikan kembung lelaki dengan nilai IMP 143,62% sedangkan bulan September sebesar 94,34%. Bulan September tidak termasuk musim penangkapan karena merupakan akhir dari musim pemijahan. Selain purse seine, nelayan juga menangkap ikan kembung lelaki dengan jaring rampus. Daerah penangkapan jaring rampus di sekitar Pulau Rakata dengan waktu tempuh 3-4 jam. Bulan Juli sampai Agustus masih termasuk musim penangkapan ikan kembung lelaki. Menurut informasi dari nelayan setempat, bulan Maret dan April termasuk musim paceklik bagi ikan kembung lelaki sehingga pada bulan-bulan tersebut nelayan hanya menangkap disekitar Pulau Rakata dengan hasil tangkapan sedikit dan bulan Maret tidak mendapatkan hasil tangkapan. Berdasarkan Tabel 3 matriks sebaran dan ukuran ikan yang tertangkap pada bulan April berkisar antara selang kelas panjang 153 mm–216 mm. Bulan April memiliki nilai IMP sebesar 108,62% sudah mengindikasikan musim penangkapan ikan kembung lelaki sehingga terdapat hasil tangkapan walaupun tidak terlalu banyak. Menurut pernyataan Purwandani 2001 in Amri (2002) pada bulan Maret dan April merupakan musim peralihan satu sebelum memasuki musim timur yang berakibat pada hasil tangkapan yang belum stabil setelah akhir musim barat yaitu musim paceklik.
34
4.8.
Pola Musim Penangkapan Pola musiman ikan kembung lelaki di perairan Selat Sunda dapat diketahui
dengan mengunakan nilai Indeks Musim Penangkapan (IMP) untuk setiap bulannya. Pergerakan nilai IMP ikan kembung lelaki dapat dilihat pada Gambar 11 di bawah ini. Kriteria untuk menentukan musim penangkapan ikan kembung lelaki ialah dengan melihat hasil dari nilai IMP. Nilai IMP lebih besar dari 100% dikatakan sebagai musim penangkapan. Nilai IMP kurang dari 100% namun di atas 50% menandakan bahwa pada bulan tersebut bukan termasuk musim penangkapan ikan. Musim paceklik dilihat dari nilai IMP kurang dari 50%.
250.00 198.60
IMP
200.00 150.00
137.35 108.62
100.00
143.62
50.00 0.00
116.98 94.34 102.63
56.62
83.66
63.15
65.70 28.72
Bulan Gambar 11. Indeks musim penangkapan ikan kembung lelaki di perairan Selat Sunda Sumber: data dekunder PPP Labuan, Banten
Berdasarkan Gambar 11 musim penangkapan ikan kembung lelaki terjadi pada bulan Februari, April, Mei, Juni, Juli, Agustus dengan nilai IMP masingmasing 137,35%, 108,62%, 143,62%, 198,60%, 102,63%, dan 116,98%. Nilai IMP tertinggi dikatakan sebagai musim puncak penangkapan yang terjadi pada bulan Juni. Nilai IMP tertinggi ini namun tidak menghasilkan tangkapan tertinggi (Gambar 9). Hasil tangkapan tertinggi pada Gambar 9 terjadi pada bulan Juli. Bulan Juli berdasarkan nilai IMP masih merupakan musim penangkapan. Bulan-bulan tersebut produksi ikan kembung lelaki di perairan Selat Sunda cukup melimpah setiap
35
tahunnnya. Biasanya pada bulan-bulan ini terjadi peningkatan aktivitas nelayan ditandai dengan meningkatnya jumlah trip yang dilakukan oleh nelayan Labuan. Bulan Maret, Agustus, September, Oktober, November, dan Desember bukan merupakan musim penangkapan ikan kembung lelaki karena nilai IMP yang berada di bawah 100%. Bulan-bulan tersebut masih termsuk ke dalam musim peralihan dan musim barat. Sedikitnya hasil tangkapan (Gambar 9) pada bulan tersebut dimungkinkan karena pengaruh cuaca dan gelombang yang cukup besar sehingga menyulitkan nelayan untuk pergi melaut. Musim paceklik terjadi pada bulan Januari ditandai dengan nilai IMP sebesar 28,72%. Sesuai dengan Gambar 9 bahwa pada bulan Januari tidak terdapat hasil tangkapan. Musim penangkapan ikan kembung lelaki oleh penelitian Mara (2010) di PPN Pekalongan terjadi pada bulan April, Juni sampai Agustus dan November. Bulan Januari sampai Maret, Mei, September sampai Oktober dan Desember bukan termasuk musim penangkapan. Berbeda dengan penelitian Sari (2004) di Lampung Timur, musim penangkapan ikan kembung lelaki terjadi pada bulan Agustus sampai September dan bulan Maret sampai April. Musim puncak penangkapan terjadi pada bulan April dan musim paceklik terjadi pada bulan November. Pola musim ini berbeda dengan penulis dikarenakan lokasi penelitian yang berbeda serta tahun penelitian itu berlangsung.
4.9.
Bioekonomi Pendekatan Maximum Suistainable Yield (MSY) atau tangkapan lestari
maksimum dapat diartikan sebagai tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan tanpa merusak kelestarian sumberdaya (Sari et al., 2009). Selain pendekatan MSY dikenal juga pendekatan MEY (Maximum Economic Yield) atau tangkapan lestari secara ekonomi. Konsep MEY menekankan pada keuntungan maksimun namun tetap terjaga kelestarian sumberdaya ikan tersebut. Pendekatan ini dikenal dengan sebutan pendekatan bioekonomi. Bioekonomi diperlukan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan karena selama ini permasalahan perikanan hanya terfokus pada maksimalisasi penangkapan dengan mengabaikan faktor produksi seperti biaya yang dipergunakan dalam melakukan penangkapan ikan.
36
Estimasi nilai MSY hanya faktor secara biologi saja yang diperhitungkan yaitu nilai r (laju intrinsik populasi), q (koefisien kemampuan alat tangkap), dan nilai K (daya dukung perairan). Estimasi nilai MEY adalah nilai p (harga) dan c (biaya). Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, didapatkan nilai dari dua parameter sebagai berikut.
Tabel 5. Nilai parameter biologi dan ekonomi dalam penentuan MEY dan MSY Parameter Koefisien kemampuan alat tangkap (q) Daya dukung perairan (k) Laju intrinsik populasi (r) Harga (p) Biaya (c)
Satuan
Nilai
(kg/trip) (kg/tahun) (%/tahun) (Rp/kg) (Rp/trip)
0,0004 109.283,44 2.54 20000 135.073,25
Nilai parameter pada Tabel 5, dapat ditentukan jumlah tangkapan lestari dari ketiga rezim pengelolaan diantaranya rezim MEY, MSY, dan rezim open access. Berikut ditampilkan hasil perhitungan dari ketiga rezim tersebut.
Tabel 6. Hasil perhitungan bioekonomi ikan kembung lelaki Variabel
MEY
MSY
Aktual
OA
Yield (kg)
68.176,31
69.368,89
17.376
31.611,61
Effort (trip)
2.340
2.693
516
4.680,66
1.363.526.268,28
1.387.377.813,29
347.520.000,00
632.232.239,54
TR
(Rp)
TC
(Rp)
Rente (Rp)
316.116.119,77
363.819.209,78
69.697.797,98
632.232.239,54
1.047.410.148,51
1.023.558.603,51
277.822.202,02
0,00
Tabel 6 dapat disimpulkan bahwa nilai yield, effort, dan rente dari masingmasing rezim memiliki nilai yang berbeda. Kondisi aktual merupakan kondisi yang terjadi pada tahun 2011. Rezim pengelolaan open access memiliki nilai effort yang paling besar namun dengan rente ekonomi nol. Rezim pengelolaan MEY berbanding terbalik dengan rezim open access. Effort yang dibutuhkan lebih rendah daripada effort pada rezim open access namun menghasilkan rente ekonomi yang paling besar. Rezim pendekatan MSY memiliki nilai effort lebih besar dari nilai effort pada rezim MEY, namun keuntungan yang dihasilkan lebih rendah.
37
4.9.1. Rezim pengelolaan open access Open
access
merupakan
kondisi
ketika
pelaku
perikanan
dapat
mengeksploitasi sumberdaya secara tidak terkontrol. Selama ini rezim pengelolaan sumberdaya perikanan laut bersifat open access termasuk di PPP Labuan Banten. Kondisi perikanan yang terbuka (open access), rente ekonomi yang positif akan menimbulkan daya tarik dari armada lain untuk ikut berpartisipasi dalam melakukan peanangkapan. Partisipasi tersebut diantarnya dengan penambahan input seperti peningkatan ukuran kapal dan penambahan tenaga kerja. Eeffort akan terus bertambah sampai rente ekonomi terkuras habis. Rente ekonomi terkuras habis karena biaya yang dikeluarkan sama dengan nilai penerimaan yang diterima oleh nelayan dalam melakukan penangkapan ikan kembung lelaki (Fauzi 2010). Tingkat effort ikan kembung lelaki pada rezim open access sebanyak 4.681 trip/tahun. Effort pada rezim ini paling besar bila dibandingkan dengan effort pada rezim MEY dan MSY masing-masing sebesar 2.340 trip/tahun dan 2.693 trip/tahun. Tingkat upaya yang paling besar ini justru menghasilkan rente ekonomi sama dengan nol. Kondisi open access ini mengindikasikan tidak adanya batasan individu untuk memanfaatkan sumberdaya ikan. Pemanfaatan sumberdaya ikan pada kondisi ini tidak menguntungkan karena nelayan hanya menerima biaya oportunitis dan rente ekonomi tidak diperoleh. Sesuai dengan pernyataan Gordon (1954), effort yang dibutuhkan pada kondisi open access dengan rente ekonomi yang nol jauh lebih besar daripada yang dibutuhkan pada keuntungan maksimum yaitu saat kondisi rezim MEY. Gordon (1954) menyebutkan bahwa keseimbangan open access tidak optimal secara sosial karena biaya korbanan yang terlalu besar. Besarnya effort pada rezim open access apabila terus dibiarkan secara berlanjut akan berdampak buruk bagi stok sumberdaya di perairan Selat Sunda. Stok akan terus diekstraksi sampai titik terendah walaupun dengan effort yang besar namun hasil tangkapan yang diperoleh justru semakin menurun. Hasil Tangkapan ikan kembung lelaki di perairan Selat Sunda pada rezim open access sebesar 31.611,61 kg paling rendah bila dibandingkan pada rezim MEY dan MSY. Gordon (1954), menyatakan bahwa adanya sifat kompetitif dalam rezim open access akan menyebabkan eksploitasi secara berlebih yang justru menurunkan perolehan per unit effort dalam jangka panjang. Kondisi ini akan menyulitkan terciptanya pola pengelolaan perikanan yang
38
bertanggung jawab sebagaimana dituntut oleh Code of Conduct for Responsible Fisheries.
4.9.2. Rezim pengelolaan MEY Rezim pengelolaan MEY memiliki beberapa keuntungan sebagai tujuan pengelolaan perikanan. Keuntungan tersebut diantaranya dapat memberikan berbagai peluang yang lebih baik dalam memenuhi beberapa kepentingan mendesak seperti pendapatan yang lebih baik bagi nelayan dan harga ikan yang lebih murah. Rezim MEY sangat fleksibel dan dapat diadaptasikan untuk analisis cost and benefits bagi nelayan komersial (Widodo & Suadi 2006). Tabel 6 hasil perhitungan menunjukkan bahwa effort ikan kembung lelaki pada rezim ini paling rendah yaitu sebesar 2.340 trip diantara rezim MSY dan open access. Effort yang rendah justru menghasilkan rente ekonomi yang paling tinggi yaitu Rp 1.047.410.148,51. Rente ekonomi yang tinggi dapat mencegah terjadinya alokasi yang tidak tepat karena kelebihan tenaga kerja ataupun modal. Berdasarkan konsisi aktual, pemanfaatan sumberdaya ikan kembung lelaki di perairan Selat Sunda belum mengalami economic overfishing. Economic overfishing terjadi saat effort kondisi aktual lebih besar dari effort saat kondisi MEY. Effort penangkapan aktual sebesar 516 trip/tahun masih jauh lebih rendah dari effort yang diperlukan pada rezim MEY sebesar 2.340 trip/tahun. Pengelolaan yang optimal dan efisien secara sosial ada pada rezim MEY (Maximum Economic Yield). Rezim MEY ini bisa diperoleh jika perikanan dikendalikan dengan kepemilikan yang jelas atau disebut dengan istilah “sole owner”(Fauzi 2010). Keuntungan secara fisik (biologi) dan ekonomis untuk kelestarian sumberdaya ikan maka rezim pengelolaan dalam usaha perikanan yang ideal berada pada rezim MEY.
4.9.3. Rezim pengelolaan MSY Konsep MSY dikembangkan dari kurva biologi yang menggambarkan yield sebagai fungsi dari effort (Widodo & Suadi 2006). Berdasarkan analisis perhitungan MSY hasil tangkapan ikan kembung lelaki sebesar 69.368,89 kg dengan effort 2.693 trip/tahun. Nilai tersebut menunjukkan tingkat produksi maksimum lestari yaitu
39
hasil tangkapan ikan kembung lelaki yang dapat ditangkap tanpa mengancam kelestarian sumberdaya ikan. Rezim MSY menghasilkan rente ekonomi lebih rendah sebesar Rp 1.023.558.603,51 dari rente ekonomi rezim MEY Rp 1.047.410.148,51. Besarnya tingkat effort pada rezim MSY akan berdampak pada peningkatan biaya operasional yang diperlukan. Rezim yang paling efektif dan efisien pada rezim MEY karena dengan effort yang lebih rendah dari rezim MSY akan tetapi tidak memberikan dampak eksplotasi yang berlebih terhadap sumberdaya ikan kembung lelaki. Hasil tangkapan pada kondisi aktual sebesar 17.376 kg dengan effort 516 trip/tahun. Effort pada kondisi ini belum melampaui effort yang dibutuhkan pada kondisi MSY yang mencapai 2.693 trip/tahun. Menurut Widodo & Suadi (2006), biological overfishing terjadi ketika tingkat upaya penangkapan melampaui tingkat yang diperlukan untuk menghasilkan hasil tangkapan MSY. Sumberdaya ikan kembung lelaki dapat disimpulkan belum mengalami biologic overfishing karena nilai effort aktual masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan effort pada rezim MSY.
4.9.4. Implikasi bagi pengelolaan ikan kembung lelaki Pengelolaan sumberdaya perikanan (fisheries resource management) tidaklah hanya sekedar proses mengelola sumberdaya ikan tetapi sesungguhnya adalah proses mengelola manusia sebagai pengguna, pemanfaat, dan pengelola sumberdaya ikan (Nikijuluw 2005). Salah satu permasalahan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan ialah seberapa banyak ikan dapat diambil tanpa mengganggu stok yang ada di alam itu sendiri (Sari et al., 2009). Menurut pernyataan Aziz & Boer (2007), pemanfaatan ikan pelagis kecil yang termasuk ikan kembung lelaki ada kecenderungan telah terjadi overfishing di perairan Selat Sunda berdasarkan hasil kajian Rencana Pengelolaan Perikanan Banten. Penelitian ini setelah dilakukan perhitungan terhadap potensi lestari (MSY) ikan kembung lelaki di sekitar perairan Selat Sunda belum mengalami overfishing. Ikan kembung lelaki yang tertangkap belum mengalami overfishing secara biologi bila disesuaikan dengan pernyataan Aziz & Boer (2007) yang berbanding terbalik dengan hasil penelitian.
40
Hasil penelitian didapat dari data penangkapan yang hanya diambil berasal dari satu tempat yaitu PPP Labuan. Provinsi Banten terbagi lagi dalam beberapa kabupaten, salah satunya Kabupaten Pandeglang dengan sembilan pelabuhan perikanan. PPP Labuan hanya salah satu dari kesembilan pelabuhan perikanan yang daerah penangkapannya di perairan Selat Sunda. Pengambilan data yang hanya terpusat disatu tempat dan hanya terfokus pada ikan kembung lelaki saja kurang mewakili untuk dapat dikatakan telah mengalami overfishing di perairan Selat Sunda. Ikan kembung lelaki yang ditangkap belum mengalami economic overfishing karena effort aktual masih relatif rendah bila dibandingkan dengan effort pada rezim MEY. Menurut Strydom & Nieuwoudt1 (1998), pengelolaan perikanan tidak hanya sebatas menyediakan sumber daya secara berkelanjutan tetapi juga mencapai manfaat ekonomi secara efisien. Sesuai dengan pernyataan tersebut, pengelolaan dapat dilakukan dengan menerapkan rezim pengeloaan MEY yaitu melakukan penambahan effort di PPP Labuan. Keuntungan yang dapat diperoleh dengan menerapkan rezim MEY menurut Widodo & Suadi (2006) antara lain ialah memberikan pendapatan yang lebih baik bagi nelayan, harga ikan yang lebih murah, dan pendapatan yang dihasilkan lebih banyak bagi pemerintah daerah. Penambahan effort sebaiknya dibarengi dengan penerapan Individual Transferable Quota (ITQ). Instrumen ini menurut Fauzi (2005) dipandang sebagai jawaban dari masalah hak kepemilikan yang timbul seperti yang biasa terjadi di dunia perikanan. Penerapan Individual Transferable Quota (ITQ) prinsip pelaksanaanya dengan memberikan pre-rasionalisasi dengan menetapkan hak kepemilikan dan hak kepentingan umum menjadi hak kepemilikan sebagian atau partial property right (Fauzi 2005). Hak kepemilikan sebagian ini membuat masingmasing pelaku perikanan memperoleh kepastian terhadap bagian dari penangkapan yang diperbolehkan. Menurut Satria (2002), selain itu juga penerapan ITQ dianggap dapat menjaga kelestarian sumberdaya dan juga efisiensi usaha penangkapan dapat tercapai. Berdasarkan hasil matriks pada Tabel 4, penambahan effort lebih dikhususkan pada bulan Juni dan Juli disekitar daerah penangkapan Rakata, Sumur Panaitan, dan Tanjung Lesung. Bulan-bulan tersebut terdapat TKG 5 yang telah melewati fase pemijahan.
41
Pendekatan selektivitas melalui regulasi ukuran mata jaring (mechanical selection) juga perlu dilakukan agar ukuran ikan yang belum matang gonad, dalam proses matang gonad, dan sedang matang gonad tidak ikut tertangkap. Nilai Lm50 (ukuran pertama kali matang gonad) ikan kembung lelaki sebesar 208 mm. Pengaturan ukuran mata jaring ini diharapkan dapat menangkap ikan dengan ukuran melebihi ukuran 208 mm. Ukuran pertama kali matang gonad merupakan indikator ketersediaan stok reproduktif sehingga nelayan diharapkan dapat menangkap ukuran ikan yang lebih besar dengan TKG yang telah mengalami pemijahan (Budimawan et al., 2004). Hampir seluruh nelayan di Labuan masih menggunakan teknologi secara tradisional. Cara tradisional ini diduga menghasilkan hasil tangkapan aktual yang masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan hasil tangkapan pada rezim MEY dan juga MSY. Penerapan teknologi modern seperti pengadaan GPS dan fish finder perlu dilakukan dalam mengembangkan pengelolaan perikanan di PPP Labuan, Banten. Penerapan teknologi modern memudahkan nelayan Labuan melakukan operasi penangkapan secara efisien dari segi biaya dan waktu. Hasil tangkapan dapat meningkat tanpa perlu membutuhkan waktu melaut yang lama. Menurut
pemaparan
yang
dijelaskan
oleh
nelayan,
saat
nelayan
diperkenalkan dengan teknologi modern seperti fish finder, tidak adanya penyuluhan dan praktek bagaimana penggunaan fish finder. Nelayan yang biasa melaut dengan cara tradisional hanya sementara menggunakan fish finder . Penggunaan yang tidak dibarengi dengan pengetahuan cara pemakaiannya membuat alat tersebut menjadi rusak. Peran pemerintah dan stakeholder setempat sangat diperlukan demi terciptanya pengelolaan perikanan yang lestari dan berkelanjutan.