4. DlSTRlBUSl SUHU PERAIRAN
4.1 Suhu Permukaan Laut Dari Citra Satelit dan In-Situ
Suhu Permukaan Laut dari citra satelit sudah banyak digunakan sebagai salah satu sumber data untuk melengkapi SPL dari pengukuran langsung di laut. Perbedaan pengukuran antara SPL dari citra satelit dengan pengukuran lapang lebih kecil dari 1°C (McClain et al., 1985). Perbedaan ini umumnya disebabkan pengaruh atmosfer seperti uap air dan awan. Seleksi citra satelit dari data harian selama tahun 1998 di lokasi penelitian hanya menghasilkan sekitar 60 buah citra yang mempunyai tingkat penutupan awan dibawah 50 %. Pada Gambar 4.1 .I disajikan beberapa contoh SPL harian dari citra satelit. Menurut (Suprapto dan Kustiyo, 1999), dalam kurun waktu satu tahun kondisi atmosfer di sekitar Pulau Jawa terjadi liputan awan rerata 70 % dan kondisi cerahnya hanya 30 %. Tutupan awan di atas 50 % umumnya terjadi pada bulan Nopember hingga April. Hal ini disebabkan posisi matahari pada saat itu berada di belahan bumi selatan sehingga udara yang panas di Benua Australia menyebabkan terjadinya tekanan rendah, sebaliknya di Benua Asia udara dingin menyebabkan tekanan udara yang tinggi. Pada waktu tekanan udara di Siberia dan Cina Utara di atas normal, udara dingin bergerak dari utara ke selatan. Udara dingin tersebut masuk ke Kepulauan lndonesia dan dengan adanya sentakan dingin (cold surge) di Laut Cina Selatan, dapat menyebabkan timbulnya perawanan dan hujan di daerah Malaysia dan Indonesia. Sebaliknya pada bulan Mei sampai Oktober liputan awan kurang dari 50 %, dimungkinkan karena posisi matahari di belahan bumi utara yang menyebabkan arah angin di lndonesia umumnya bergerak arah tenggara sampai
timur untuk belahan bumi selatan. Udara yang dibawa biasanya kering, berasal dari Australia menuju ke daerah panas sehingga menimbulkan musim kemarau di Indonesia. SPL dari citra satelit dari bulan Januari hingga Nopember 1998 berkisar antara 23OC hingga 3I0C. Beberapa citra satelit menunjukkan adanya perubahan suhu harian yang ekstrim. Terjadinya perubahan yang ekstrim bisa terjadi karena nilai radiansi yang direkam oleh sensor berasal dari lapisan permukaan laut yang sangat tipis yakni sekitar 0.1 mm. Suhu udara yang panas pada siang hari akibat sinar matahari dapat meningkatkan suhu pada citra satelit dari suhu yang sebenarnya. Sebaliknya pada malam hari, udara dingin menyebabkan suhu citra satelit menjadi lebih rendah. lllustrasi proses perubahan SPL yang diindera oleh sensor satelit sebagai akibat dari pengaruh atmosfer dan perubahan suhu udara antara siang dan malam tertera pada Gambar 4.1.2.
-.".........
"
"
Malam Hari
+
Pguapan
Lapisan permd
.....
"
"
. i iI
I I I I
"
"
"
...,
"
ediasi dari udara, awan,
Udara dingin! Udara panas
dingin
.....
"
Siang Hari
,
k-$Lapisan permukaan panas
Kedalaman (m) Gambar 4.1.2. lllustrasi pengaruh atmosfer dan perubahan siang dan malam terhadap perubahan suhu permukaan laut (Stewart, 1985)
Hubungan linier yang kuat dan signifikan (p=0.01) terdapat antara SPL in situ dan SPL dari citra satelit (Gambar 4.1.3). Total rerata SPL dari citra satelit dengan menggunakan algoritma multi kanal lebih rendah dibandingkan dengan SPL in situ pada bulan Agustus dan September 1989 sebesar 0.18 OC (Tabel 4.1 .A).
S R Citra ( O C )
Gambar 4.1.3. Hubuilgan antara SPL dari Citra NOAA-AVHRR dan SPL in situ (Agustus - September 1989). Tabel 4.1.1 Perbandingan suhu permukaan laut in situ dan citra satelit di SHBT
* data ini tidak digunakan karena berada di sekitar awan
Nilai dugaan SPL in situ dari citra adalah y = 0.9809~+ 0.3316 dan titik potong dirnana SPL in situ sarna dengan SPL citra adalah pada suhu 17.36126 OC. Data SPL harnpir sernua berada di atas titik potong.
Distribusi data yang
terkonsentrasi di bawah garis y=x rnenunjukkan bahwa rerata SPL dari citra lebih rendah dari SPL in situ. Re~dahnyaSPL hasil pengukuran dari sensor kernungkinan disebabkan pengaruh atrnosfer seperti tutupan awan yang tipis seperti disebutkan peneliti sebelurnnya (Singh et a/., 2000; Shi dan Morrison, 2000). Sebagai contoh SPL dari citra di sekitar awan rnernpunyai nilai SPL yang lebih rendah sekitar 1.5OC dari SPL in situ (Tabel 4. A . l , No. 30). Tingginya penutupan awan merupakan salah satu kendala dalarn penyediaan SPL harian. Hal ini dapat diatasi dengan rnenyediakan SPL rerata mingguan rnaupun bulanan. Pada Garnbar 4.1.4 a dan 4.1.4 b tertera distribusi SPL rerata 8 harian selama tahun 1997.
Pada citra rnasih terlihat adanya lokasi
yang tertutup awan, khususnya pada bulan Desernber, Januari dan Pebruari. Dari citra SPL rerata 8 hari secara visual terlihat dengan jelas terbentuknya front rnassa air antara yang bersuhu rendah dengan yang lebih tinggi. Fenornena upwelling di sekitar pantai selatan Jawa (UW1 dan UW2) ditandai dengan distribusi SPL yang lebih dingin dikelilingi SPL yang lebih panas. Secara urnurn pola distribusi rerata SPL 8 harian mirip dalarn bulan atau rnusirn yang sarna (Gambar 4.1.4 a dan Garnbar 4.1.4 b).
Rerata bulanan SPL citra satelit lebih rendah dibandingkan dengan SPL in situ sebesar 0.08 OC (Tabel 4.1.2 dan Tabel 4.1.3). Hasil analisis statistik uji t, menunjukkan bahwa rerata SPL dari kedua pengukuran ini tidak berbeda nyata. Hubungan linier yang kuat dan sangat signifikan (r= 0.96) (p=0.01) terdapat antara SPL in situ dan citra satelit. Persamaan dugaan SPL in situ dari citra satelit adalah y = 0.8487~+ 4.2866 dengan titik potong dimana y = x adalah pada suhu 28.32'C (Gambar 4.1 5). Distribusi SPL lebih banyak terkonsentrasi di bawah titik potong. SPL dari citra satelit di bawah titik potong (28.32'C) lebih rendah dari SPL in situ, sedangkan di atas 28.32"C lebih tingi dari SPL in-situ. Nilai SPL yang lebih besar dari 28.g°C umumnya terjadi pada bulan Nopember-April pada saat mata hari berada di belahan bumi selatan. Sebaliknya SPL yang lebih kecil dari 28.g°C terjadi pada bulan Mei-Oktober. Posisi matahari diperkirakan menjadi penyebab adanya perbedaan SPL yang diindera dari sensor dengan SPL dari in situan.
Tabel 4.1.2. SPL rerata bulanan dari satelit dan in situ di UW-1 (1992, 1996 & 1997)
Bulan Janlrari Februari Maret April Mei Juni
SPL (OC) 1992 lnsitu Citra 29.20 29.13 28.82 29.53 29.80 30.14 29.43 29.60 29.65 29.70 28.96 29.16
SPL (OC) 1996 Citra lnsitu 28.95 28.75 28.95 28.92 29.40 29.24 29.70 29.58 28.50 28.37 27.90 27.95
SPL (OC) 1997 Citra lnsitu 28.95 28.48 27.90 28.01 28.65 28.36 28.65 28.78 28.50 28.89 28.65 28.43
Tabel 4.1.3. SPL rerata bulanan dari citra dan in situ di SECI (1992, 1996 dan 1997).
Bulan Januari Februari
SPL (OC) 1992 Citra In situ 28.35 28.60 28.89 29.09
SPL (OC) 1996 In situ Citra 28.35 28.05 28.71 29.10
Maret April Mei
29.16 28.87 28.85
29.10 29.10 28.20
29.50 29.12
29.27 29.15 28.17
SPL (OC) Citra 28.05 28.05 28.20 28.50 28.80
1997 In situ 28.33 28.27 28.84 28.72 28.77
SPL Citra (OC) Gambar 4.1.5. Hubungan antara rerata bulanan SPL citra dan SPL in situ di UW1 dan SECI.
Distribusi SPL untuk setiap hari dari citra satelit sulit didapatkan karena pengaruh atmosfer seperti tutupan awan. Pengaruh awan cenderung menyebabkan nilai SPL lebih rendah dari nilai sebenamya. Pengaruh absorpsi yang disebabkan uap air dapat dikurangi dengan penggunaan algoritma multi kanal. Untuk NOAAAVHRR menggunakan k m a l 4 (Ti) dan kana15 (Ti) pada pusat panjang gelombang 10.8 dan 12.0 pm dengan formula MCSST = a Ti + b(Ti-Ti) + c (McMillin, 1975). Nilai-nilai koefisien berbeda sebagai fungsi dari sudut zenit sehingga untuk estimasi SPL yang akurat dibutuhkan algoritma yang spesifik untuk lokasi tertentu.
4.2 Distribusi Suhu Permukaan Laut 4.2.1 Distribusi Suhu Permgkaan Laut Pada Saat Perubahan Musim
Fluktuasi suhu permukaan laut dari citra satelit berdasarkan data deret waktu rerata mingguan selama tahun 1997-1999 di wilayah UWl, UW2, SECI, SEC2 dan AS1 tertera pada Gambar 4.2.1.
Secara umum terlihat bahwa SPL pada periode
musim timur (Mei-Oktober) lebih rendah dari periode musim barat (Nopember-April). Perbedaan suhu antara musim timur dan barat dapat mencapai sekiar 4OC. Variasi SPL di semua wilayah (UWI, UW2, SECI, SEC2 dan ASI) berdasarkan analisis energi spektrum signifikan terjadi pada periode 52 minggu (Gambar 4.2.2).
Variasi SPL yang terjadi pada periode 52 minggu merupakan
representasi dari penguruh musim. Analisis auto-korelasi SPL juga menunjukkan adanya pengaruh musim terhadap distribusi SPL di SHBT (Lampiran 4.2.1). Sebagaimana diketahui bahwa perairan Selatan Jawa dipengaruhi oleh sistem angin musson, dimana pada saat musim timur angin tenggara yang mempunyai suhu lebih dingin mempengaruhi SPL di SHBT. Pada saat musim timur angin tenggara di SHBT juga berhembus dengan mantap sehingga menyebabkan
terjadinya upwelling (Wyrtki, 1961; Wyrtki, 1962, Purba et a/., 1997).
Adanya
pengaruh angin musson juga terlihat dari fluktuasi kecepatan angin yang terjadi di SHBT (Gambar 4.2.3).
Analisis energi sepektrum kecepatan angin juga
menunjukkan bahwa variasi kecepatan angin signifikan pada periode 52 minggu (Gambar 4.2.4). Terjadinya variasi SPL dan kecepatan angin pada periode yang sama menunjukkan adanya hubungan antara kecepatan angin dan SPL.
4
Tahun 1997
1998
1999
b
Gambar 4.2.1 Fluktuasi suhu permukaan laut rerata mingguan dari citra satelit di wilayah UWI, UW2, SECI, SEC2 dan AS1 pada tahun 1997-1999.
L Secara umum terlihat bahwa pada saat kecepatan angin tinggi, S ~ menjadi lebih rendah. Cross spectrum antara kecepatan angin dan SPL pada periode 52 minggu di semua wilayah UWI, UW2, SECI, SEC2 dan AS1 mempunyai koherensi yang tinggi dengan nilai berturut turut 0.79, 0.81, 0.9, 0.97 dan 0.98 (Gambar 4.2.5). Beda fase antara kecepatan angin dan SPL pada periode 52 minggu bernilai negatif menunjukkan perubahan kecepatan angin diikuti perubahan SPL (Gambar 4.2.6).
,m
.
.
.
.
.
spectral snelysls: UW1 NO OICaSeS. 1 5 6
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
100
.
1M
spectral anely~ls:u w z LI. err.,.. 156
.
I
1
o
.
.
.
.
Spec!d m m W : SECI
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
10
m
3a
ro
sa
60
70
eo
w
tm rqo
rm rso
rao rso rso
.
Gambar 4.2.2. Spektrum energi suhu permukaan laut di (a) UWI, (b) UW2, (c) SECI, (d) SEC2 dan (d) ASI.
4
Tahun 1997
1998
1999
b
Gambar 4.2.3 Fluktuasi kecepatan angin rerata mingguan dari citra satelit di wilayah U W l , UW2, SECI, SEC2 dan AS1 pada tahun 1997-1999.
Spectral anatyw W I N D W I
.
m r . . .
,
,
7
.
.
7
7
60
.
Spectral analysis: Wind SECl
. . . . . . . . . . . . .
.
.
.
.
Spectral analysis: WINDUW2
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Spectral analysis: Wind SEC2
1
.
wm
Gambar 4.2.4. Spektrum energi kecepatan angin di (a) UW1, (b) UW2, (c) SEC1, (d) SEC2 dan (d) ASI.
o
-0
20
30
40
SO
eo
70
ao
eo
ioo
110
120
7 3 0
140
160
1.30
~ariode crningpu) 1 .o
0.0
1
o
10
20
30
40
so
60
70
ao
eo
ioo
i i o
120
130
-40
150
ieo
D,=.-',.r.
Gambar 4.2.5. Cross spectrum antara kecepatan angin dan suhu perrnukaan laut di (a) UWI, (b) UW2, (c) SEC1, (d) SEC2 dan (d) ASI.
-30 0
10
20
30
40
60
e0
70
a0
80
100
i10
-20
330
140
160
ie0
----4
Gambar 4.2.6. Beda fase antara kecepatan angin dan suhu permukaan laut di (a) UW1, (b) UW2, (c) SEC1, (d) SEC2 dan (d) ASI.
Letak geografis Indonesia termasuk pada daerah sistem angin musson (Wirtky, 1961; Ramage, 1971), menyebabkan pola arus di perairan lndonesia juga dipengaruhi oleh sistem angin musson (Gambar 4.2.7).
Pola arus ini juga
mempengaruhi variasi SPL di SHBT (Wyrtki, 1961, Purba et a/., 1997). Pada bulan Juli hingga Agustus periode musim timur, angin musson tenggara (southeast monsoon) mencapai puncaknya. Pada periode musim timur angin yang bergerak dari tenggara menyebabkan massa air di sepanjang pantai selatan Jawa terdorong ke barat daya hingga ke selatan akibat gaya koriolis.
Pada saat massa air
terdorong, terjadi kekosongan di sepanjang pantai dan kekosongan ini diisi oleh massa air yang berasal dari lapisan yang lebih dalam (upwelling). Terjadinya upwelling menyebabkan SPL menjadi lebih rendah dari kondisi normal.
Gambar 4.2.7. Pola arus di Samudra Hindia dipengaruhi sistem angin muson pada saat musim timur.
Berdasarkan data hidrografi rerata dari tahun 1984 hingga 1999, SPL pada rnusirn barat (Desernber-Pebruari) dan rnusirn peralihan pertarna (Maret-Mei) berkisar antara 27.5'
- 30°C
(Garnbar 4.2.8 dan 4.2.9).
SPL pada rnusirn timur
(Juni-Agustus) dan musim peralihan kedua (September-Nopember) berkisar antara 25.0'
-
29.0°C lebih rendah dibandingkan rnusim barat dan rnusirn peralihan
pertama (Garnbar 4.2.10 dan 4.2.1 1). Secara spasial SPL di wilayah AS1 lebih tinggi dibandingkan dengan SPL di UW1, UW2, SECl dan SEC2. Tingginya SPL di AS1 berhubungan dengan pengaruh rnassa air dari Laut Arafura yang rnasuk ke wilayah AS1 dengan karakteristik suhu yang lebih tinggi dan salinitas rendah (HOE, 1966). Pada Gambar 4.2.10, pad3 periode rnusirn tirnur di wilayah UW1 dan UW2 tidak terlihat indikasi upwelling ha1 ini disebabkan data hidrografi yang ada hanya terbatas pada lintang 10°LS -16'~S.
Narnurn dernikian pada citra SPL rerata
rningguan adanya indikasi upwell/ng sangat jelas terlihat (Gambar 4.1.4 a dan b). Suhu perrnukaan laut di bagian Selatan (SEC1 dan SEC2) lebih rendah dibandingkan dengan bagian Utara (UWI dan UW2). Hal ini rnenunjukkan adanya intrusi rnassa air dingin dari sub-tropis yang bergeser ke utara sebagai akibat poros AKS bergeser ke Utara bersamaan dengan bertiupnya angin tenggara-tirnur yang mernpunyai suhu udara yang lebih rendah (Purba et a/., 1997).
lntruai massa air
jelas terlihat dari pola perkernbangan suhu selama satu tahun di masing-masing wilayah penelitian (Garnbar 4.2.1 2).
Distribusi SPL di lima wilayah penelitian menunjukkan adanya variasi. Pada periode musim barat (antara hari ke-I hingga ke-100) distribusi SPL lebih homogen di UWI-SECI dibandingkan di UW2-SEC2 dan AS!, Pada peralihan musim barat ke musim timur (antara hari ke-100 hingga hari ke-150) terjadi penurunan SF'L yang sangat cepat.
Perubahan SPL di UW2-SEC2 dan AS1 bagian selatan lebih cepat
dibandingkan di bagian utara.
Peralihan periode musim timur ke musim barat
(antara , hari ke-250 hingga hari ke-300), SPL kembali mengalami peningkatan. Peningkatan SPL terjadi lebih dulu di wilayah AS1 dan UW2-SEC2, sedangkan peningkatan SPL di UWI-SECI relatif lebih lambat.
Proses perubahan SPL di
maisng-masing wilayah tertera pada Gambar 4.2.12. Suhu permukaan laut mengalami perubahan menjadi lebih dingin dari periode musim barat ke musim timur lebih cepat terjadi di bagian selatan (SECI dan SEC2) dan periodenya juga lebih lama. Pola perubahan SPL di wilayah AS1 agak berbeda, perubahan SPL menjadi lebih dingin pada periode musim timur lebih lama dibandingkan dengan di U W l S E C l dan UW2-SEC2 (Gambar 4.2.12~). Pengaruh musim terhadap distribusi SPL terlihat dari pola perubahan SPL, dimana pada saat musim timur, SPL menurun berhubungan dengan bertiupnya angin tenggara-timur yang membawa udara dingin (Purba et al., 1997). Pengaruh aliran massa air yang masuk dari Laut Arafura terlihat dengan jelas di wilayah ASI, sedangkan adanya intrusi massa air dari sub tropis sebagai akibat dari pergerakan dari AKS terlihat di SECl dan SEC2.
Perubahan SPL yang lebih cepat di UW2-
SEC2 menunjukkan adanya pengaruh upwelling yang lebih intensif dibandingkan dengan wilayah yang lain.
4.2.2
Distribusi SPL Pada Saat El Nifio dan IODM
Distribusi SPL rerata rningguan rnenunjukkan bahwa pada saat El NiAo 1998, terjadi anornali positif SPL di semua wilayah dan anornali terbesar terjadi di UW1 dan UW2 dengan perbedaan suhu sekitar 2.5OC dari rerata SPL tahun 1993 hingga 1999.
Sebaliknya pada saat kejadian IODM 1997 terjadi anornali negatif
SPL khususnya pada periode musim tirnur (Mei-Oktober) di sernua wilayah. Anornali negatif terbesar terjadi di wilayah UW1 dan UW2 dengan perbedaan SPL paling tinggi sekitar 1.5OC (Gambar 4.2.13). Perbedaan distribusi SPL pada saat kejadian IODM, El NiAo dan Non Nifio secara jelas juga terlihat dari distribusi rerata SPL bulanan, seperti tertera pada Garnbar 4.2.14, Garnbar 4.2.15 dan Garnbar 4.2.16.
Rerata bulanan SPL pada
saat kejadian IODM lebih rendah dibandingkan dengan kejadian El Niiio dan Non El Nifio. Rerata SPL rnulai dari yang terendah secara berturut-tuiul iejadi di UW2, UWI, SECI, SEC2 dan di ASI.
Variasi SPL antar wilayah pada bulan Agustus
Desernber lebih besar dibandingkan bulan April-Juli.
-
Secara drastis SPL menurun
dari bulan Juni ke Juli dengan rerata perbedaan mencapai 2.I0C. Terjadinya proses IODM sebagai akibat dari anomali positif kecepatan angin di SHBT menyebabkan proses upwelling yang cukup intensif (Saji, et a/, 1999, Webster et al., 1999). Sesuai dengan arah pegerakan angin musson pada saat rnusirn tirnur yang rnenyusur pantai Selatan Jawa, massa air di sepanjang pantai terdorong dan dibelokkan ke arah barat daya hingga selatan (akibat gaya koriolis). Kekosongan rnassa air di sepanjang pantai rnenyebabkan terjadinya upwelling sehingga SPL di daerah upwelling cenderung menjadi lebih rendah.
Pada saat kejadian El Niiio 1998, SPL di SHBT cenderung lebih tinggi. Pada ha1 menurut Meyers (1996), berdasarkan data tahun 1984 hingga 1994, SPL di SHBT cenderung lebih rendah.
Berdasarkan pengamatan distribusi rerata SPL
dari data hidrografi mulai tahun 1982 hingga 1999, terlihat bahwa pada kejadian El Niiio yang tergolong dalam klasifikasi luar biasa (extra ordinary), seperti pada kejadian tahun 1982183, 1987188 dan 1997198, SPL cenderung lebih tinggi. Tingginya SPL pada saat El Niiio 199711998 berhubungan dengan melernahnya kecepatan angin (Garnbar 4.2.3).
Khusus pada tahun 1998 periode
kecepatan angin dengan kecepatan lemah lebih lama sehingga pemanasan permukaan laut dari radiasi rnatahari menyebabkan SPL semakin tinggi. Hal ini terlihat dari distribusi spasial SPL rerata bulanan pada tahun 1998 (Gambar 4.2.15). Distribusi SPL pada tahun Non El Niiio 1999 cenderung rendah dari tahun El Niiio 1999 (Gambar 4.2.16). Angin merupakan sumber tenaga untuk mengaduk lapisan permukaan, jika kecepatan angin melemah maka tenaga yang mengaduk permukaan perairan menjadi berkurang sehingga SPL semakin meningkat. Rerata SPL tertinggi terjadi pada bulan Maret (29.4g°C), sedangkan terendah terjadi pada bulan Juli (26.94OC). Rerata SPL bulanan mulai dari yang terendah secara berturut-turut tejadi di UW2, UWI, SEC1, SEC2 dan yang tertinggi terjadi di AS1 (Gambar 4.2.7 dan 4.2.8). Perbedaan SPL antar wi!ayah pada bulan Agustus-Desember lebih besar dibandingkan pada bulan AprilJuli. Rerata bulanan SPL di masing-masing wilayah pada tahun IODM, El NiAo dan Non El Nifio tertera pada Lampiran 4.2.2 a, b, c.
Suatu korelasi yang signifikan (p=0.05) dan kuat terdapat antara indeks IODM dengan SPL
(Gambar 4.2.17).
Nilai korelasinya adalah negatif yang
menunjukkan semakin kuat IODM semakin rendah SPL. Nilai korelasi yang paling kuat adalah di wilayah SECl dan yang kedua di wilayah UW1. Kuatnya korelasi antara IODM dengan SPL khususnya di SECl dan UW1 berhubungan dengan variasi kecepatan angin di wilayah UW1 dan SECl yang juga terjadi pada perioda 52 minggu. Hasil analisis korelasi silang spektrum antara kecepatan angin dan SPL di UW1 dan SECl menunjukkan koherensi yang tinggi dan korelasi menunjukkan semakin kuat kecepatan angin, SPL semakin rendah. Tingginya kecepatan arlgin pada saat IODM juga terlihat dari distribusi rerata bulanan kecepatan angin yang mencapai kecepatan 10 mldetik di wilayah UW1 dan SECl (Gambar 4.2.18) sebagaimana di laporkan oleh (Saji eta/., 1999, Webster, et a/., 1999). Angin dengan kecepatan yang lebih tinggi
menyebabkan wilayah
persebaran (radius of deformations) upwelling menjadi lebih luas menjauhi pantai (Purba, 1995) sehingga SPL di wilayah SECI dipengaruhi proses upwelling yang teQadidi UW1 dan UW2. Korelasi yang signifikan dan kuat juga terdapat antara standar deviasi SO1 dan SPL rerata bulanan di masing-masing wilayah (Gambar 4.2.19). Nilai korelasi menunjukkan bahwa semakin kuat kuat El Niiio, SPL semakin tinggi.
Nilai SPL
tertinggi terjadi pada bulan Maret saat SO1 mempunyai nilai maksimum (-5.7). Nilai koefisien korelasi tertinggi te rjadi di UW2 dan kedua di ASI. Tingginya korelasi ini diduga berhubungan dengan posisi geografi wilayah UW2 dan AS yang merupakan pintu masuk aliran massa air dari Pasifik. Distribusi SPL dari bulan Januari hingga April memperlihatkan massa air dengan suhu > 30 OC masuk dari arah Laut Arafura menuju perairan Selatan Jawa seperti terlihat pada Gambar 4.2.15 .
SECl
R = -0.80
Gambar 4.2.1 7. Korelasi antara Suhu Perrnukaan Laut dengan Dipole Mode Index (DMI) di UW1, UW2, SEC1, SEC2 dan ASI. Di samping masukan massa air yang berasal dari Laut Arafura, kecepatan angin yang cukup lemah pada saat El Niiio (Gambar 4.2.3 dan Gambar 4.2.20) menjadi salah satu faktor penyebab tingginya SPL (Meyers, 1996). Berbeda dengan kejadian IODM, tenaga angin cukup kuat untuk mengaduk lapisan permukaan tercampur sehingga SPL menjadi lebih rendah.
3aik dari hasil analisis spektrum SPL dan distribusi SPL berdasarkan Lintang-Tahun di SHBT terlihat variasi interannual dari SPL. Distrinbusi SPL pada saat El Niiio tidak konsisten (Gambar 4.2.21 dan 4.2.22). Pada saat El Niiio tahun 1992 dan 1998, SPL berkorelasi positif dengan El Niiio, padahal SPL pada tahun El Nino 1991, 1993 dan 1994 cenderung lebih rendah (Meyers, 1996). Tingginya SPL pada saat El Niiio 1992 dan 1998 terlihat dengan jelas pada periode musim barat dan peralihan I (Gambar 4.2.21). lndeks SO1 pada musim barat tahun 1992 dan 1998 <
-
4.0 yang
menunjukkan El Niiio pada saat itu tergolong yang sangat kuat (extra ordinary) dan mempunyai periode yang cukup panjang serta awal tahun 1992 dan 1998 merupakan puncak Elnino. Berbeda dengan El Niiio tahun 1991, 1993 dan 1994, indeks SO1 > - 3.0 (El Niiio kategori sedang). Tingginya SPL pada saat El Niiio kategori kuat
diduga berhubungan
dengan lama periode El Niiio yang mengakibatkan periode penguapan yang lebih lama sehingga SPL cenderung metiingkat. Disamping itu kecepatan angin yang cukup lemah menjadi salah satu faktor penyebab tinginya SPL pada saat El Niiio kategori luar biasa. Pola distribusi SPL periode musim timur dan peralihan kedua (Januari-Juni) di UW1 dan SECl agak berbeda dengan musim karat dan peralihan pcitama (JuliDesember). Adanya perbedaan SPL pada tahun El Niiio dengan Non El Niiio tidak terlihat seperti pada periode musim barat (Gambar 4.2.22).
Hal ini menunjukkan
bahwa kekuatan El Niiio tidak sama sepanjang tahun namun cenderung lebih kuat pada musim barat dan peralihan. Hal yang menarik adalah distribusi SPL pada IODM tahun 1994 dan 1997. Walaupun pada saat yang sama terjadi El Niiio namun menurut Saji et al., (1999)
Kedalaman lapisan tercampur pada tahun Non El NiAo (1996) berkisar antara 30-75 meter dengan suhu antara 26.42°-30.060C. Suhu KLT periode musim timur lebih rendah dibandingkan periode musim barat pada saat Non El NiAo (Tabel 4.3.1).
Secara temporal terlihat pola perkembangan KLT di mana pada periode
musim barat, KLT cenderung lebih dangkal (30-40) meter dan pada periode musim timur lebih dalam (50-75) meter (Gambar 4.3.lb
- 4.3.5b).
Batas atas lapisan
terrnoklin antara 30-75 meter dan batas bawah 200-250 meter. Pola perkembangan KLT berhubungan dengan pola perkembangan kecepatan angin yang terjadi di SHBT. Pada waktu periode musim timur kecepatan angin lebih tinggi dibandingkan periode musim barat yang menyebabkan tenaga untuk mengaduk lapisan permukaan menjadi lebih besar, sehingga KLT menjadi lebih dalam.
Tabel 4.3.1 Suhu dan Kedalaman Lapisan Tercampur tahun Non-El NiAo (1996)
I
Des
I
28.47
I
30
I
27.69
I
50
-
I
-
I
I
I
28.99
30
-
I
UWI Ma96
UWI Am96
Suhu ( O C )
UWI Mei 96
Agustus N c data
Ii
suhu ("C)
Garnbar 4.3.1 a. Distribusi vertikal (dari 0-700 meter) rerata bulanan suhu di wilayah UW1 tahun Non El NiAo (1996)
0
0
20
20
40
.40
60
. 60
80
80
100
100
1
i t
i
20 22 24 3 28 30 20 ?? 74 X Suhu ("C)
30
M
Agustus No data
20
U
24 .26
..a 30
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
20 22 24 26 28 30
Suhu ( O C )
20 22 24 26 28 30
20 22 24
qr
93
34
96
..a 30
Suhu ("C)
Gambar 3.3.1 b. Kedalaman Lapisan Tercampur rerata bulanan di UW1 tahun Non El NiAo, 1996.
SEC I -%Peb
SECI-96Jan
SEC l -%Apr
SECI-%Mar
0
100
5
10 15 20
25 J
(suhu 'C)
0
SEC 1-96Me1
SECl %Jun
SEC 1-%Jul
0
Agustus No data
200
200
400
400
600 5
10
14
7fl
96 7n
i
.
ii
.
15
.
20
.
25'3.0
suhu ("C) SEC1-960kt
SECI-%Nop
SEC 1-%Des
Suhu ("C)
Gambar 4.3.2 a. Distribusi vertikal (dari 0-700 meter) rerata bulanan suhu di wilayah SECl tahun Non ElAo (1996)
SEC 1-96Jun
SECl 96Mei
Agustus
No data
I
20
22 24 .26 -28. 30 Suhu ("C)
SEC 1 -96Sep
SEC 1-960kt
202224262830
SEC16Des
. . . . . . . . . . . 2 0 2 2 2 4 2 6 2 8 3
suhu ("C)
Gambar 4.3.2 b. Kedalaman Lapisan Tercampur rerata bulanan di SECl tahun Non El Nifio, 1996.
(suhu 'Cj
Gambar 4.3.3 a. Distribusi vertikal rerata bulanan suhu dari 0-700 meter di UW2 tahun Non El Niiio, 1989196.
Gambar -4.3.3b. Kedalaman Lapisan Tercampur rerata bulanan di UW2 tahun Non El Niiio, 1989196.
(suhu O C )
Agustus No data
Agustus No data
Suhu ("C)
Suhu ("C)
Gambar 4.3.4 a. Distribusi vertikal rerata bulanan suhu dari 0-700 meter di SEC2 tahun Non El Niho, 1989196.
Suhu ("C) SEC2-Jun
SEC2-89Jul
No data
No data
I l Suhu ("C)
0
SEC2-890kt
SEC2-89 Sep
0
20
LQ
W 66
80 do
foo 20
foo
22
24
26
id 30
20
22 24 26 26 I
Suhu ("C)
Gambar 4.3.4 b. Kedalaman Lapisan Tercampur rerata bulanan di SEC2 tahun Non El Niiio, 1989196.
Maret No data
(suhu oC)
Maret No data
Suhu (OC) ASI-89Mei
No data
suhu ("C)
Gambar 4.3.5 a. Distribusi vertikal rerata bulanan suhu dari 0-700 meter di AS1 tahun Non El Niiio, 1989.
Maret No data
20
22
24 26
28
20
30
24 26
22
28
30
(suhu o C )
Maret No data
2 0 2 2 2 4 2 6 2 8 3 0
2 0 2 2 2 4 2 6 2 8 3 0
Suhu ("C)
Desember No data
. .
20 22 24 26 28 30
.
.
. . .
.
.
20 22 24 26 28 20
Suhu ("C)
Gambar .4.3.5 b. Kedalaman Lapisan Tercampur rerata bulanan 6i AS1 tahun Non El Nifio, 1989.
Pola distribusi vertikal suhu rerata bulanan pada tahun El Niiio (1992) relatif sama dengan tahun NOPEl Niiio. KLT pada tahun El Nifio, berkisar antara 20-75 meter (Lampiran 4.3.1) dengan suhu 25.44'- 29.63'C (Tabel 4.3.2). Lapisan termoklin berkisar antara 20 - 75 meter (batas atas) sampai 200-250 meter (batas bawah) dengan suhu 26.20'-29.65'C
(batas atas) dan 12.50'-15.00°C
(batas
bawah). Lapisan homogen perairan dalam sampai kedalaman 700 meter dengan suhu 5'C. Pola perkembangan KLT pada saat El Nit70 hampir sama dengan Non El Niiio.
Kedalaman lapisan tercampur cenderung lebih dangkal (3040) meter pada
periode musim barat dibandingkan dengan periode musim timur (50-75) meter.
Tabel 4.3.2 Suhu dan Kedalaman Lapisan Tercampur tahun El Niiio 1992 -
Kedalaman lapisan tercampur pada tahun IODM (1997) berkisar antara 2075 meter dengan suhu 26.18'
- 28.8g°C.
75 meter dan batas bawah antara 175
Batas atas lapisan termoklin antara 20
- 250
-
meter (Lampiran 4.3.2 dan Tabel
4.3.3). Pola perkernbangan KLT pada tahun IODM berbeda dengan tahun Non-El NiAo dan El NiAc. Pacia saat kejadian IODM 1997, awal rnusirn peralihan 1, KLT rnengalarni pendalaman lebih awal dibandingkan tahun kejadian El NiAo dan Non El NiAo. Hal i t ~ disebabkan i
terjadinya anomali positif kecepatan angin yang terjadi lebih awal .
pada tahun 1997. Kecepatan angin yang tinggi di atas permukaan laut rnenjadi surnber tenaga untuk rnengaduk lapisan perrnukaan
dan akibatnya terjadi
pendalarnan lapisan permukaan tercarnpur.
Tabel 4.3.3. Suhu dan Kedalarnan Lapisan Tercarnpur pada kejadian IODM 1997
Kedalarnan lapisan tercarnpur di SHBT rnernpunyai pola yang berhubungan dengan perubahan sistern angin rnusson.
KLT pada periode rnusirn tirnur
cenderung lebih dalarn dibandingkan dengan KLT pada periode rnusirn barat khususnya pada tahun Non El NiAo dan El NiAo. Salah satu faktor penyebab perbedaan KLT adalah pengaruh angin rnusson tenggara yang berhernbus dengan rnantap pada periode rnusim tirnur sehingga tenaga yang rnengaduk perrnukaan
lebih besar dibandingkan dengan periode musim timur.
Memang pada periode
musim timur terjadi upwelling yang juga akan mendorong lapisan termoklin ke permukaan yang dapat menyebabkan lapisan tercampur menjadi lebih dangkal. Namun kejadian ini tidak terlihat karena data yang tersedia hanya pada lintang 12'?6OLS, sedangkan upwelling yang intensif terjadi di sekitar lintang 8'-10 OLS. Pada saat IODM, KLT cenderung lebih dalam dibandingkan dengan tahun El NiAo dan Non El NiAo.
Perbedaan ini disebabkan terjadinya anomali positif
kecepatan angin pada waktu kejadian IODM. Kecepatan angin pada bulan Januari hingga September 1997 di UW1 dan SECl di atas 6 mldetik, dan pada bulan Pebruari, Juni, Juli, Agustus mencapai 10 mldetik. Kecepatan angin yang tinggi menjadi sumbar tenaga untuk mengaduk permukaan menjadi lebih besar, sehingga suhu KLT pada tahun IODM cenderung lebih rendah baik pada periode rnusim barat dan mltslrr~timur (Gambar 4.3.6 dan 4.3.7).
Pola perkembangan kedalaman KLT konsisten dengan perubahan sistem
angin dan arus yang terjadi di Samudra Hindia bagian Timur.
Arus katulistiwa
selatan setiap tahun menuju ke arah barat. Transport relatif dari AKS paling besar terjadi pada bulan Agustus-September mencapai > I 7 Sverdrups (1o6 m3/s). Pada periode musim barat, terdapat jalur sempit menyusur pantai selatan Jawa ke arah timur yang disebut Arus Selatan Jawa (ASJ) (Wyrtki, 1961; Meyers et sl., 1995).
20 22 , , , , , , , , -
Non El Nino
EI Nina
24 26 20 30"~ 20 22 24 26
+ -+- + -+ -
28 30"~
Dipole Mode
Gambar 4.3.6. Tumpang tindih rerata bulanan Kedalaman Lapisan Tercampur di UW1 (Non El Niiio, El Niiio dan IODM).
--------- Non El Nino
EINina -+ +-+-+ Dipole Mode
Gambar 4.3.7. Tumpang tindih rerata bulanan Kedalaman Lapisan Tercampur di SECl (Non El Nifio, El Nifio dan IODM)
Akibat terjadinya upwelling yang cukup intensif pada saat kejadian IODM maka terjadi pendangkalan lapisan termoklin. Pada Gambar 4.3.8, tertera sebaran vertikal suhu di UW1 pada saat bulan Maret (musim barat) dan September (musim timur) pada saat kejadian IODM, El Niiio dan Non El Niiio.
Pada saat kejadian
IODM terjaei pendangkalan lapisan terrnoklin, baik pada musim barat maupun musim tirnur. Pendangkalan pada musirn timur rnencapai 50 meter sedangkan pada musirn barat lebih kecil dari 50 meter.
Hal yang sama juga terjadi pada saat
kejadian El Niiio, terjadi pendangkalan terrnoklin. Menurut Susanto et a/., (2000), di sepanjang perairan pantai Selatan Jawa-Bali dan pantai Barat Sumatra teqadi juga pendangkalan lapisan terrnoklin pada saat El Niiio.
Non El Nino
, , _ , , , , -
El Nino
+-t t -j-
Dipole Mode
Gambar 4.3.8. Tumpang tidih sebaran vertikal rerata bulanan suhu di UW1 (a) bulan Maret (b) September.
4.4 Distribusi Melintang Suhu di SHBT
Pola kemiringan isotherm sebaran melintang suhu dari SECl hingga UW1 di SHBT dapat dibedakan menjadi dua. Pola pertama adalah pada kedalaman < 100 meter, garis isotherm mendatar atau menurun dari SECl ke UW1 dan pola kedua pada kedalaman > 100 meter, garis isotherm cenderung menaik dari SECl ke UW1. Hal ini menunjukkan bahwa suhu lapisan permukaan tercampur di bagian selatan (SECl) lebih dingin dari bzgian utara (UW1). Sebaliknya suhu lapisan termoklin di bagian selatan (SEC1) lebih panas dari bagian utara (UW1). Untuk melihat terjadinya upwelling dan perubahan suhu pada kedalaman tertentu maka diamati isotherm 15OC yang merupakan lapisan tengah termoklin (bagian atas wama abu-abu) yang tertera pada Gambar 4.4.1 dan 4.4.2. Isotherm 15% di bagian utara (UWI) lebih dangkal dari bagian selatan (SEC1). Pada waktu mi:sim barat isotherm 15OC di UW1 berada pada kedalaman antara 170-215 meter dengan rerata kedalaman 202 meter, sedangkan di SEC-1 berada pada kedalaman 200 - 250 dengan rerata sebesar 225 meter (Gambar 4.4.1 dan Tabel 4.4.1). Kedalaman isotherm setiap buian bervariasi.
Di wilayah UW1, isotherm
15OC pada bulan Januari, Pebruari, Maret, Mei dan Juni di UW1 lebih dangkal dari 200 meter, sedangkan bulan yang lainnya sekitar 200 meter. Di wilayah SECl pada bulan Oktober dan Nopember isoiherm 15OC mengalami pendangkalan hingga mencapai kedalaman 200 meter, namun pada bulan September mengalami pendalaman menjadi lebih dalam dari 200 meter. Secara urnurn pada tahun Non El Niiio 1996, kedalaman ishotherm 15OC musim timur lebih dalam dibandingkan musim barat, dengan perbedaan rata-rata sebesar 17 meterd UW1 dan 15 meter di SECl (Tabel 4.4.1).
Lereng isotherm pada saat El NiAo cenderung lebih landai dan lebih dangkal dibandingkan dengan kondisi Non El NiAo. Perbedaan kedalaman isothrem 15OC pada tahun El NiAo dan Non El NiAo terlihat dengan jelas pada bulan Juli, September, Oktober dan Desember. Pendangkalan umumnya terjadi di wilayah SECl . Pada periode musim barat, isotherm 15OC di UW1 berada antara kedalaman 175 - 200 meter dengan rata-rata kedalaman 180 meter dan di SECI berada pada kedalaman 215 - 233 meter dengan rata-rata kedalaman sebesar 221 meter. Pada periode musim timur, kedalaman isothem 1 5 ' ~di UW1 berada pada kedalaman 175 - 210 meter dengan rata-rata 201 meter dan di SECl antara 205215 meter dengan rata-rata 232 meter (Tabel 4.4.1 dan Gambsr 4.4.2).
Tabel 4.4.1. Kedalaman isotherm 15OC di UW-1 dan SEC-1 pada tahun El NiAo, Non El NiAo dan IODM.
Oktober Nopember Rerata Rerata MB & MT
205 210 201 1 92
244 230 232 227
225 21 5 216 207
260 220 240 232
180 175 1 86 189
241 225 225 221
Sebaran melintang suhu pada saat IODM lebih bervariasi dibandingkan tahun El Niiio dan Non El Niiio. Secara umum isothrem 15OC pada saat IODM lebih dangkal dari El Nit70 dan Non El Niiio.
Pads bulan Juni kedalam isotherm
15OC di SECl cukup dangkal dan terlihat dengan jelas pengangkatan massa air. Demikian juga pada bulan September dan Cktober terjadi pendangkalan yang cukup besar di UW1 dan isotherm 15OC lebih dangkal dari 150 meter.
Pada bulan
Desember kembali terlihat adanya pengangkatan massa air dengan kedalaman
isothrem 15OC sekitar 175 meter yang biasanya berada pada rata-rata kedalaman 250 meter pada saat Non El Niiio (Gambar 4.4.2). Kedalaman isotherm 15OC di UW1 pada periode MB adalah antara 155 - 205 meter dengan rata-rata 186 meter sedangkan di SECl adalah sebesar 204 - 235 meter dengan rata-rata 225 meter.
Kedalaman isotherm 15OC di UW1 pada
periode musim timur berkisar antara 155 - 225 meter dengan kedalaman rata-rata sebesar 194 meter sedangkan di SECl berkisar antara 204 - 260 meter dengan kedalaman rata-rata sebersar 230 meter (Tabel 4.4.1).
4.5 Distribusi Horizontal Suhu di Kedalaman 200 Meter
Seperti diuraikan mengenai distribusi suhu secara vertikal pada sub bab sebelumnya, pelapisan massa air sangat jelas terfihat di Samudra Hindia bagian Timur. Pada lapisan homogen sekitar 20-75 meter pola distribusi horizontal suhu relatif sama dengan pola distribusi SPL. Namun di lapisan termoklim pola distribusi horizontal suhu berbeda dengan pola di lapisan tercampur yang secara jelas terlihat dari distribusi suhu secara horizontal di kedalaman 200 meter.
108
4.5.1
Distribusi Suhu di Kedalaman 200 Meter Pada Saat Perubahan Musim Berdasarkan rerata suhu dari tahun 1984 hingga 1999, distribusi horizontal
suhu di kedalaman 200 meter pada periode musim barat berkisar antara 14.0 - 17.5 C ' (Gambar 4.5.1). Secara umum suhu di bagian selatan (SECI dan SEC2) lebih tinggi dari suhu di bagian utara (UWI dan UW2). Kondisi ini bertolak belakang dengan pola SPL periode musim barat.
Perbedaan suhu berdasarkan lintang
antara UW2 dan SEC2 mencapai 4.0°C.
Distribusi suhu pada musim peralihan
pertama lebih homogen dibandingkan dengan musim barat, dengan kisaran suhu antara 14.0'- 17.0°C (Gambar 4.5.2). Pola garis isotherm periode musim barat dan musim peralihan pertama cenderung membujur arah timur-barat. Periode musim barat garis isotherm di AS1 lebih rapat dibandingkan periode musim peralihan pertama dan di sekitar lintang 12's dan terbentuk front suhu (14.5'-15.5'C).
Di wilayah SEC2 terbentuk front
suhu di sekitar lintang 14 'S dengan suhu (15.5-1 7 'C). Garis isotherm pada periode musim timur dan peralihan kedua cendrung lebih rapat dibandingkan dengan musim barat dan peralihan pertama khususnya di sekitar lintang 12' LS.
Garis isotherm musim timur dan musim peralihan kedua
juga cenderung membujur.
Distribusi suhu periode musim timur
dan musim
peralihan pertama berkisar antara 13.0'-18.5 'C (Gambar 4.5.3 dan 4.5.4). Pola distribusi spasial dan temporal suhu di kedalaman 200 meter sangat berbeda dengan pola distribusi SPL.
Distribusi SPL bervariasi sesuai dengan
perubahan angin musson, namun distribusi suhu di kedalaman 200 meter selama satu tahun relatif sama. Oleh karena itu pengaruh angin musson kelihatannya tidak menyebabkan perubahan suhu di kedalaman 200 meter.
Distribusi suhu selama satu tahun di kedalaman 200 meter pada lintang 1O012's (UW1 dan UW2) tidak memperlihatkan perubahan suhu yang ekstrim, berbeda dengan distribusi SPL. Antara lintang 12°-160S,mulai dari hari pertama hingga hari ke 150 (Januari-Mei), suhu cenderung lebih rendah dibandingkan dengan distribusi suhu hari ke 150 hingga 350 (Juni-Desember) (Gambar 4.5.5). Berbeda dengan rerata distribusi
SPL di mana suhu paling rendah terjadi antara bulan Juni-
September. Daerah front suhu bervariasi berdasarkan lintang dan waktu. Di wilayah UW1-SEC1 dan UW2-SEC2, daerah front suhu ~ a d ahari pertama hingga hari ke 150 (Januari-Mei) berada antara Lintang 14'-15'LS,
sedangkan pada hari ke 150 -
350 (Juni-Desember) berada pada lintang 13'-1 ZOLS. Pada hari ke 170-250 (JuniSeptember), terlihat garis isotherm yang sangat rapat di sekitar lintang 12'LS khususnya di wilaya5 UW1-SEC1 dan ASI. Distribusi deret waktu suhu berdasarkan bujur (hari-bujur) menunjukkan adanya variasi suhu di kedalaman 200 meter. Secara temporal terjadi perubahan suhu yang cukup tinggi. Pada hari ke 1 - 160 (Januari - Juni) suhu relatif rendah (13'-15'C),
namun pada hari ke 170-350 (Juli-Desember) suhu meningkat menjadi
(16-18'C).
Secara umum suhu di UW1-SEC1 lebih rendah dibandingkan suhu di
UW2-SEC2 dan ASI. Sedangkan berdasarkan bujur, suhu di posisi 105'-1 07'BT lebih rendah dibandingkan di 108'-1 20°BT dan bampir sepanjang tahun perubahan suhu di bujur ini relatif lebih kecil dibandingkan wilayah lainnya (Gambar 4.5.6).
4.5.2
Distribusi Suhu Di Kedalaman 200 Meter Pada Saat El Niiio dan IODM
Korelasi antara SO1 dengan suhu di kedalaman 200 meter menunjukkan bahwa semakin kuat ENSO, suhu di kedalaman 200 meter semakin rendah (Gambar 4.5.7). Korelasi yang signifikan (p=0.05), terdapat antara SO1 dan suhu di UW1 (r = 0.51), SEC-1 (r = 0.39), SEC-2 (r = 0.38) dan di AS1 (r = 0.35), namun korelasi di UW2 tidak signifikan. Distribusi suhu di kedalaman 200 meter (Lintang-tahun) seperti tertera pada Gambar 4.5.8 menunjukkan bahwa pada saat El Niiio tahun 1982183, 1990-1994, 1997198 suhu lebih rendah dibandingkan tahun Non El NiAo, khususnya lebih jelas terlihat di SEC1, SEC2 dan ASI. Menurut Meyers (1995), terjadinya pendangkalan termoklin pada saat ENS0 di perairan selatan Jawa-Bali disebabkan adanya pengaruh angin yang melemah di Samudra Pasifik pada saat El Nino dan pola angin konsisten dengan anomali divergen di la;>isan permukaan perairan Indonesia. Demikian juga menurut Susanto et al., (2000), pada saat El NiAo terjadi pendangkalan termoklin di sepanjang
perairan pantai selatan Jawa dan Barat Sumatra akibat modulasi dari ENSO. Korelasi antara DM1 dengan suhu di kedalaman 200 meter di UW1 signifikan pada (p=0.05) dan terlihat kecenderungan bahwa semakin kuat IODM, semakin rendah suhu di kedalaman 200 meter (Gambar 4.5.9).
Sebagaimana telah
dilaporkan Saji et al., (1939) dan Webster, e: al., (1999), di Lautan Hindia pada tahun 1997 terjadi fenomena IODM yang mirip dengan ENSO. Terjadinya upwelling yang kuat di sekitar perairan Selatan Jawa-Bali hingga Barat Sumatra pada saat IODM merupakan faktor penyebab naiknya massa air. Hal ini ditunjukkan oleh nilai negatif korelasi antara DM1 dan suhu di kedalaman 200 meter.
ASI, r=0.35
5 e
(e) 2
1615 14-
-
**
:
p=0.05
Gambar 4.5.7. Korelasi antara indeks SO1 dan suhu di kedalaman 200 meter (a) U w l , (b) SEC1, (c) UW2, (d) SEC2 dan (c) ASI.
Akibat upwelling yang kuat, terbentuk kutup SPL yang dingin di bagian Timur Lautan Hindia tepatnya di bagian selatan Jawa-Bali hingga Barat Sumatera dan di bagian barat (di Perairan Afrika) terbentuk kutub SPL panas.
Pengaruh IODM
terhadap SPL lebih kuat dibandingkan terhadap suhu di kedalaman 200 meter. Hal ini disebabkan faktor penyebab terjadinya IODM adalah anomali positif kecepatan angin, dimana angin secara langsung mempengaruhi permukaan perairan.
Gambar 4.5.9. Korelasi antara indeks DM1 dan suhu di kedalaman 200 meter di UW1.