MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA ---------------------
RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 3/PUU-VII/2009
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DPR, DPD DAN DPRD TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR 1945
ACARA MENDENGAR KETERANGAN AHLI DARI PEMOHON DAN PEMERINTAH (III)
JAKARTA RABU, 4 FEBRUARI 2009
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 3/PUU-VII/2009 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum anggota DPR, DPD dan DPRD terhadap Undang-Undang Dasar 1945. PEMOHON -
Partai Partai Partai Partai Partai Partai Partai Partai Partai
Demokrasi Pembaruan Patriot Persatuan Daerah Peduli Rakyat Nasional Indonesia Sejahtera Nasional Banteng Kerakyatan Perjuangan Indonesia Baru Karya Pangan Kasih Demokrasi Indonesia
ACARA Mendengar Keterangan Ahli dari Pemohon dan Pemerintah (III) Rabu, 4 Februari 2009, Pukul 10.00 – 12.10 WIB Ruang Sidang Pleno Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)
Prof. Dr. Moh. Mahfud, MD, S.H. Prof. Abdul Mukthie, Fadjar, S.H., M.S Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H. Dr. Muhammad Alim, S.H., M.Hum Dr. M. Arsyad Sanusi, S.H., M.Hum Prof. Dr. Achmad Sodiki, S.H. Maruarar Siahaan, S.H. M. Akil Mochtar, S.H.
Makhfud, S.H.
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota)
Panitera Pengganti
1
Pihak yang Hadir: Pemohon : -
N. Sirait, S.H., M.H. (Partai Peduli Rakyat Indonesia) Adhie. M. Massardi (Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Daerah) M. Jaya Butar-Butar, S.H. (Wakil Sekretaris Jenderal PIS) H. Muhammad Yasin, S.H. (Ketua Umum Partai Karya Perjuangan) Jackson Andre Kumaat(Sekretaris Jendral Partai Karya Perjuangan) Alex Messakh (Partai Perjuangan Indonesia Baru) Ratna Ester Lumban Tobing (Partai Persatuan Daerah) Roy Rening, S.H., M.H. (Partai Kasih Demokrasi Indonesia) Maria Anna (Partai Kasih Demokrasi Indonesia) Agung Giantoro (Partai Persatuan Daerah) Kencana (Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia)
Kuasa Hukum Pemohon : -
Nur Hariadi, S.H. Andi Muttaqien, S.H. Abdul Haris, S.H. Kristian Peren
Pemerintah : -
Denny Indrayana (Staf Khusus Presiden) Ir. Agung Mulyana, M.Sc (Staf Ahli Mendagri) Qomarudin (Direktur Litigasi Dep Hukum dan HAM) Mualimin Abdi (Kabag Penyajian Pada Sidang MK Dep Hukum dan HAM) Karim (Dep. Hukum dan HAM)
Ahli dari Pemohon : -
Prof. Philipus M. Hadjon Dr. Lodewijk Gultom
Ahli dari Pemerintah : -
Zudan Arif Fakrullah Dr. Lili Romli
2
SIDANG DIBUKA PUKUL 10.00 WIB
1.
KETUA : Prof. Dr. MOH MAHFUD, M.D, S.H. Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi untuk mendengarkan keterangan ahli dan atau saksi kalau ada, dari Pemohon dan dari Pemerintah untuk Perkara Nomor 3/PUU-VII/2009 dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X
Pada Pemohon dipersilakan memperkenalkan diri siapa-siapa yang hadir, siapa-siapa juga dari ahli yang dihadirkan. Silakan! 2.
KUASA HUKUM PEMOHON : NUR HARIADI, S.H.
Assalamualaikum wr. wb.
Selamat Pagi. Kami Kuasa Pemohon Perkara Nomor 3/PUUVII/2009 akan memperkenalkan diri, juga di belakang kami ada Prinsipal dan seperti yang sudah direncanakan kami telah menghadirkan 2 orang saksi, ahli maksud kami. Perkenalkan nama saya Nur Hariandi. 3.
KUASA HUKUM PEMOHON : ANDI MUTTAQIEN Perkenalkan Yang Mulia, nama saya Andi Muttaqien.
4.
KUASA HUKUM PEMOHON : KRISTIAN PEREN Perkenalkan Yang Mulia, nama saya Kristian Peren.
5.
KUASA HUKUM PEMOHON : ABDUL HARIS Perkenalkan Yang Mulia, nama saya Abdul Haris.
6.
KETUA : Prof. Dr. MOH MAHFUD, M.D, S.H. Pemerintah dulu! Masih ada? Oh silakan!
7.
PEMOHON: N. SIRAIT Perkenalkan Yang Mulia, kami dari Pemohon Prinsipal dari Partai
3
Peduli Rakyat Nasional, nama kami N. Sirait, S.H, MH. 8.
PEMOHON: MARIA ANNA Yang Mulia Perkenalkan saya Maria Anna dari Partai Kasih Demokrasi Indonesia.
9.
KUASA HUKUM PEMOHON : NUR HARIADI, S.H. Yang Mulia saya akan memperkenalkan ahli yang sudah kami hadirkan, yang pertama adalah Prof. Philipus M. Hadjon Ahli Hukum Tatanegara, yang kedua adalah Dr. Lodewijk Gultom Ahli Hukum Tatanegara juga. Terima kasih, Yang Mulia.
10.
KETUA : Prof. Dr. MOH MAHFUD, M.D, S.H. Berikutnya, dari Pemerintah!
11.
PEMERINTAH MENDAGRI)
:
Ir.
AGUNG
MULYANA,
M.Sc
(STAF
AHLI
Terima kasih kesempatan Yang Mulia. Pada pagi ini kami dari Pemerintah saya Agung Mulyana, Staf Ahli Menteri Dalam Negeri bidang Pemerintahan, bersama saya ada Bapak Denny Indrayana Staff Khusus Presiden bidang Hukum, kemudian Bapak Mualimin dari Departemen Hukum dan HAM, Bapak Qomaruddin dari Departemen Hukum dan HAM dan Pak Karim dari Departemen Hukum dan HAM beserta staf yang mendukung. Kemudian kami juga bersama kami ada ahli Prof. Zudan kami perkenalkan Prof. Zudan, ya sebelahnya Prof. Lili Romli. Terima kasih, Pak. 12.
KETUA : Prof. Dr. MOH MAHFUD, M.D, S.H. Baik, hari ini rencananya adalah sidang yang terakhir kecuali nanti dari perkembangan di sidang hari ini misalnya Pemohon maupun Pemerintah atau DPR lalu punya keinginan yang dianggap sangat menentukan untuk putusan masih ingin mengajukan ahli dan saksi misalnya, tetapi saya kira hari ini kita jadwalkan ini sidang yang terakhir kalau bisa jam 12 sudah bisa diselesaikan. Nah, untuk itu kami persilakan kepada Pemohon untuk menampilkan ahli tetapi sebelum itu ini akan diambil sumpah dulu untuk yang beragama Kristen Katolik dulu silakan! Atau Protestan! Yang dari Pemerintah muslim semua ya? Oke nanti gabung saja. Silakan! Dua-dua langsung ya!
4
13.
HAKIM KONSTITUSI : Prof. Dr. MARIA FARIDA INDRATI, S.H., M.H. Bapak berjanji atau bersumpah? Berjanji. “Saya berjanji sebagai ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya, semoga Tuhan menolong saya”
14.
AHLI : PHILIPUS. M. HADJON DAN LODEWIJK GULTOM “Saya berjanji sebagai ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya, semoga Tuhan menolong saya”
15.
KETUA : Prof. Dr. MOH MAHFUD, M.D, S.H. Yang muslim, silakan! Pak Arsyad!
16.
HAKIM KONSTITUSI : Dr. M. ARSYAD SANUSI, S.H., M.Hum Saudara Ahli ikuti lafal yang saya pandu! “ Bismillahhirahmannirahim, demi Allah saya bersumpah sebagai ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya”.
17.
AHLI: ZUDAN ARIF FAKRULLOH DAN Dr. LILI ROMLI “Bismillahhirahmannirahim, demi Allah saya bersumpah sebagai ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya”.
18.
KETUA : Prof. Dr. MOH MAHFUD, M.D, S.H. Baik, kita lanjutkan. Saya persilakan Pemohon siapa dulu yang mau ditampilkan dan apakah akan dipandu atau dipandu dengan pertanyaan atau langsung saja menyampaikan hal-hal yang dianggap penting begitu, silakan saja!
19.
KUASA HUKUM PEMOHON : NUR HARIADI, S.H. Terima kasih Majelis Yang Mulia. Untuk ahli yang pertama, Pemohon menghadirkan Bapak Prof. Philipus M. Hadjon, silakan Bapak!
5
20.
AHLI DARI PEMOHON : PHILIPUS. M. HADJON Kepada para hadirin, saya menyampaikan terima kasih dan pada khususnya pada pihak Pemerintah saya menyampaikan juga hormat saya dalam kita mengkaji hukum kita. Baiklah para hadirin yang saya hormati, saya juga menyampaikan pendapat tertulis tapi nanti akan disampaikan oleh tim lawyer. Jadi saya tampil di sini dengan isu hukum menyangkut konstitusionalitas Pasal 202 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008. Inti pasal itu adalah mengenai keharusan atau persyaratan untuk memperoleh ambang batas sekurang-kurangnya 2,5% dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR. Jadi dengan obyek ini maka jelas isu sentralnya adalah tentang konstitusionalitas Pasal 202 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008. Kalau ini isu konstitusionalitas maka tentunya kita harus melihat mana ketentuan Undang-Undang Dasar yang menjadi parameter atau tolak ukur untuk menguji konstitusionalitas pasal-pasal inlitis. Yang pertama kelompok satu adalah ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar. Ini parameter pertama sekali yang masih merupakan parameter dasar yang menyangkut asas negara hukum dan asas demokrasi. Pasal teknis adalah pasal-pasal yang menyangkut persamaan di hadapan hukum dan larangan diskriminasi. Pasal-pasal tersebut pertama adalah Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (3) dan Pasal 28I ayat (2). Dengan demikian, maka ada dua pertanyaan hukum yang terkait dengan isu utama tadi yaitu isu konstitusionalitas Pasal 202 ayat (1). Pertanyaan pertama, apakah ketentuan pasal inlitis yaitu Pasal 202 ayat (1) tidak bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 inkaso persamaan di hadapan hukum? Dan dalam kaitan itu, pertanyaan yang ke dua, apakah ketentuan pasal inlitis merupakan keputusan pilihan kebijakan legislator yang tidak dapat dinilai oleh hakim, inkaso Mahkamah Konstitusi? Jadi dengan dua pertanyaan tadi, saya akan mencoba melakukan sesuatu analisis. Pertama, menyangkut asas persamaan dan landasan pikir saya menyangkut asas persamaan adalah dari konsep Hart mengenai keadilan yang ditulis di dalam buku yang sangat populer adalah mengenai The Concept of Law. Hart menulis bahwa ide dasar asas keadilan adalah bahwa setiap individu dalam hubungan dengan orang lain, berhak atas suatu posisi tertentu, baik persamaan/equality, atau ketidaksamaan/inequality. Dengan dasar ini, dalil yang diketengahkan adalah Treat Like Cases Alike, Treat Different Cases Differently. Juga dikatakan, perlakukanlah sama dalam kondisi yang sama, dengan sendirinya perlakukan berbeda dalam kondisi yang berbeda. Saya kira ini dalil yang umum kita terima. Hanya persoalan sekarang interpretasi dan aplikasinya terutama terhadap Pasal 202 ayat (1) undang-undang ini. Yang menjadi fokus saya, berkaitan dengan pasal ini, itu adalah
6
persoalan ketidaksamaan. Tentunya kita mulai dengan pertanyaan, apakah parameter ketidaksamaan? Kalau kita bicara ketidaksamaan, harus kita bedakan ketidaksamaan kodrati dan ketidaksamaan nonkodrati. Menyangkut ketidaksamaan kodrati, tidak usah kita persoalkan. Saya kira para PNS yang pria tidak akan iri karena tidak mendapat hak cuti haid karena itu adalah ketidaksamaan kodrati. Tapi yang menjadi masalah adalah ketidaksamaan yang nonkodrati. Bagaimanakah kita perlakukan? Ketidaksamaan non-kodrati dengan dalil tadi Treat Different Cases Differently. Syarat umum yang diterima bahwa ketidaksamaan non-kodrati itu harus yang pertama rasional. Dan kedua, non-diskriminasi. Kalau ini rumusnya, yang pertanyaan kita, syarat ambang batas 2,5% itu rasional atau tidak? Nah, tentunya kita kaitkan dengan sistem Pemilu yang dianut. Bahwa perhitungan perolehan kursi itu berdasarkan daerah pemilihan, bukan proporsional. Oleh karena itu, menghapus perolehan hak suara yang tidak mencapai ambang batas 2,5% dari penghitungan suara nasional, ini tidak rasional. Karena bisa terjadi, sebuah partai politik yang ikut di dalam pemilihan umum, secara nasional dia tidak memperoleh ambang batas 2,5% suara sah tetapi di satu daerah pemilihan bisa saja dia memenuhi syarat untuk memperoleh kursi. Kalau dengan ulasan ini, berarti ketentuan ambang batas 2,5% suara sah nasional, ini tidak rasional. Karena tidak rasional maka ini saya katakan ini diskriminasi. Sehingga dengan demikian, ketentuan ambang batas dalam Pasal 202 ayat (1) ini bertentangan dengan asas persamaan. Dengan pasal-pasal tadi, saya jadikan parameter maka ketentuan ini adalah ketentuan yang inkonstitusional. Pertanyaan yang kedua, kalau tokh kita berdalih bahwa pilihan ambang batas ini merupakan suatu keputusan pilihan kebijakan, apakah dengan demikian hakim inkaso Hakim Mahkamah Konstitusi tidak berwenang untuk menilai dan mengujinya? Para Hadirin yang saya hormati, saya barangkali mengambil satu analogi bahwa persoalan, apakah kebijakan itu bisa dinilai dan diuji oleh hakim, ini bukan persoalan baru di republik ini. Yurisprudensi kita, terutama yurisprudensi yang menyangkut perbuatan melanggar hukum oleh penguasa, sejak tahun 1970 dalam kasus Yosopenoyo, memang dianut sikap itu. bahwa kebijakan penguasa tidak dapat dinilai oleh hakim. Ini prinsip. Tetapi ada satu klausula yang perlu kita perhatikan bahwa prinsip kebijakan itu tidak dapat dinilai oleh hakim. Tetapi apabila kebijakan itu merupakan suatu tindakan sewenang-wenang dan atau tindakan penyalahgunakan wewenang maka hakim berwenang untuk menilai dan mengujinya. Meskipun nilai yurisprudensi peradilan umum yang menyangkut perbuatan melanggar hukum oleh penguasa tapi menyangkut pertanyaan, apakah kebijakan dapat dinilai oleh hakim? Ini jawaban yang hampir universal. Sehingga Mahkamah Konstitusi pun berwenang untuk menilai dan menguji suatu pilihan kebijakan yang mengandung unsur tindakan
7
sewenang-wenang dan atau tindakan penyalahgunaan wewenang. Dengan demikian, berkaitan dengan pertanyaan nomor satu, saya sudah menganalisis, bahwa ketentuan ambang batas ketentuan Pasal 202 ayat (1) adalah suatu ketentuan yang tidak rasional. Parameter sewenang-wenang adalah tidak rasional. Dengan demikian, tindakan yang tidak rasional adalah tindakan yang sewenang-wenang. Dan tindakan yang sewenang-wenang sangat berpeluang menjadi tindakan penyalahgunaan wewenang. Atas dasar itu, menjawab pertanyaan kedua, apakah pilihan kebijakan tidak dapat dinilai oleh hakim inkaso Mahkamah Konstitusi? Saya katakan, kalau dengan menjawab pertanyaan butir satu, bahwa penentuan ambang batas adalah tidak rasional, dengan demikian sewenang-wenang dan berpeluang penyalahgunaan wewenang, maka kesimpulannya Hakim Mahkamah Konstitusi berwenang untuk menilai dan menguji konstitusionalitas pasal tersebut. Dengan demikian kesimpulan saya, ketentuan Pasal 202 ayat (1), inkonstitusional, karena; a. bertentangan dengan asas persamaan sebagaimana diatur dalam pasalpasal yang sudah saya sebutkan. Dan yang kedua, ketentuan ambang batas mengandung unsur sewenang-wenang dan berpeluang penyalahgunaan wewenang. Demikianlah pendapat hukum saya mengenai konstitusionalitas Pasal 202 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008. Terima kasih, Majelis Hakim. 21.
KETUA : Prof. Dr. MOH MAHFUD, M.D, S.H. Terima kasih, Saudara Ahli. Sekaligus ya, dua! Baru nanti ditanggapi. Silakan berikutnya! Mau dipandu apa mau seperti tadi, langsung saja?
22.
KUASA HUKUM PEMOHON : NUR HARIADI, S.H. Terima kasih, Yang Mulia. Langsung saja yang berikutnya, Bapak Dr. Lodewijk Gultom.
23.
AHLI DARI PEMOHON : LODEWIJK GULTOM Majelis Hakim yang saya muliakan. Hadirin yang terhormat, kesempatan ini saya hanya membuat satu pertanyaan sebagai dasar untuk melihat Pasal 202 dalam UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008 ini, mengatakan pertanyaan pertama, apa dasar kekuatan mengikat Pasal 202 ini bagi warga negara? Secara teoritis sebetulnya Mahkamah Konstitusi ini menggunakan kewenangannya untuk menguji undang-undang adalah yang pertama Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan filosofinya,
8
yang kedua materi muatan Undang-Undang Dasar 1945 itu sendiri dan yang ketiga hak-hak asasi manusia. Dari ketiga landasan itu maka pada waktu saya membuat pertanyaan apa dasar kekuatan mengikat Pasal 202 itu maka nampak sekali bahwa ada banyak hal yang terbuka mengganggu hak-hak asasi warga negara Indonesia. Yang kedua, jika dilihat dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Perundang-undangan di Indonesia maka ada asas-asas yang harus diingat dan dipatuhi setiap perundang-undangan yang ditetapkan. Secara khusus ada asas yang disebut dengan pengayoman. Asas pengayoman ini sebetulnya agar semua warga negara yang terlibat di dalam Pemilu ini dapat perlindungan secara hukum dan konstitusi. Sejalan dengan Prof. Hadjon yang pertama maka Pasal 202 ayat (1) ini sangat rentan untuk mendiskriminasi setiap warga negara yang memperoleh hak pilihnya di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian Pasal 202 ini secara filosofis, yuridis dan sosiologis sebetulnya sangat bertentangan. Demikian pendapat kami, Majelis yang saya muliakan. Terima kasih. 24.
KETUA : Prof. Dr. MOH MAHFUD, M.D, S.H. Baik, dipersilakan kepada ahli saja dulu ya, baru nanti jadi semua ahli sekarang dulu baru nanti tanya jawabnya itu bersilang itu menjadi bebas terbuka. Silakan, Prof. Zudan!
25.
AHLI DARI PEMERINTAH : ZUDAN ARIF FAKRULLOH Mohon izin Yang Mulia, untuk menampilkan dengan powerpoint.
Bismilahirohmanirahim, selamat pagi, salam sejahtera. Assalamu’alaikum wr. wb.
Yang Mulia Majelis Hakim, para Pemohon, senior saya Prof. Hadjon, Pak Gultom, kemudian dari pemerintah Pak Agung, Pak Deny, Bapak Ibu sekalian yang saya hormati. Ketika dari pemerintah meminta saya menjadi ahli dalam perkara ini pikiran saya langsung teringat ketika pada awal tahun 2007 saya bersama teman-teman yang lain diminta menjadi ahli dalam rangka Revisi Paket Undang-Undang Bidang Politik. Oleh karena itu saya akan mengawali paparan saya dengan melihat pada aspek konstitusionalitas parliamentary threshold. Pertama saya akan menyampaikan dulu bagaimana arah Revisi Paket Undang-Undang Bidang Politik apabila dilihat dari logika konstitusi. Pertama, di dalam kita melakukan perubahan Paket Undang-Undang Bidang Politik ada logika di dalam konstitusi yang harus diperhatikan bersama yaitu tentang Pasal 4 ayat (1) Sistem Presidensiil Penyelenggaraan Pemilu Legislatif dan Penyelenggaraan Pemilu Presiden, ketiganya mempunyai keterkaitan yang erat sehingga desain
9
pembangunan politik di negara kita itu dilakukan berdasarkan logika konstitusi ini. Kita melihat adanya delegasi di Pasal 6A ayat (5) maupun di Pemilu, Pasal 22E ayat (6) serta rambu-rambu yang terkait dengan hak asasi manusia, namun juga adanya proses pengaturan yang lahir nantinya di Pasal 28 huruf J. Seperti kita ketahui bersama, dari logika konstitusi ini kemudian lahirlah bagaimana strategi pembangunan politik nasional kita. Di dalam strategi pembangunan politik ini langkah yang ingin diperkuat pertama adalah penguatan sistem presidensiil. Langkah ini ditata melalui 3 step dasar, yang pertama adalah bagaimana membangun multipartai sederhana melalui Undang-Undang Partai Politik, kemudian penyelenggaraan Pemilu yang demokratis melalui revisi Undang-Undang Pemilu DPR, DPD dan DPRD, serta perubahan Undang-Undang Pemilu Presiden serta penguatan lembaga perwakilan sehingga menjadi lebih efektif melalui perubahan Undang-Undang Susunan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD. Dari 3 tahap dasar ini kemudian kita susun satu skenario besar, bagaimana kita mewujudkan sistem politik yang demokratis dan pemerintahan yang efektif, sehingga nanti ada satu pranata yang disiapkan kemudian melahirkan Pasal 202 tersebut. Dari cita-cita kita mewujudkan sistem politik yang demokratis dan pemerintahan yang efektif sesungguhnya berbasiskan kepada 4 hal yaitu partai politik, penyelenggara Pemilu, Pemilu Legislatif dan Pemilu Eksekutif. Nah di sinilah akan dilakukan pengaturan-pengaturan yang diarahkan agar sistem pemerintahannya bisa berjalan efektif dan penyelenggaraan Pemilunya bisa berjalan secara demokratis. Saya ingin menyoroti pada satu titik yang kita kaji pada siang hari ini yaitu mengenai persoalan Pemilunya atau Pemilu Legislatif. Tema sentral pada siang hari ini yang menjadi pokok perkara adalah Pasal 202 terutama tentang parliamentary threshold 2,5%. Ini sesungguhnya tidak lahir begitu saja, saya teringat pada waktu pembahasan awal, ini merupakan metamorfosis dari electoral threshold, bagaimana kita hendak mendesain Pemilu 2009 tapi 2009 kita pahami bersama belum bisa menjadi multipartai sederhana karena Undang-Undang Parpol masih memungkinkan partai-partai itu lahir begitu banyak, namun 2014 desainnya diarahkan agar multipartai sederhana itu bisa terbentuk. Oleh karena itu lahirlah norma ini. Apabila kita cermati memang dari Pasal 202 itu akan lahir satu perdebatan. Pertanyaan dasarnya adalah parliamentary threshold itu persoalan konstitusionalitas ataukah persoalan sosiologi politik. Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dan para hadirin yang berbahagia. Dua pencermatan saya ini menjadi sangat penting karena apabila kita mencampuradukkan persoalan konstitusionalitas dan persoalan sosiologi politik ini akan terjadi bias-bias walaupun memang akan terlihat sangat dramatis dan menarik untuk kita kaji. Persoalanpersoalan konstitusionalitas itu terkait misalnya dengan unequal perlakuan, ketidakadilan—injustice, treatment—perbedaan
10
ketidakpastian hukum—legal uncertainty maupun persoalan-persoalan diskriminasi. Namun kita juga harus memperhatikan persoalan sosiologi politik walaupun ini bukan persoalan konstitusi. John Rawls mengatakan “inilah yang disebut dengan keberuntungan alamiah atau ketidakberuntungan alamiah”. Ketika kita menyebut adanya partai besar, kita menyebut adanya partai kecil, ada yang menyebut Pasal 202 menguntungkan partai-partai tertentu dan tidak menguntungkan partaipartai tertentu sebenarnya itu adalah sudah persoalan-persoalan sosiologi politik, bukan lagi persoalan konstitusi karena kalau kita melihat bagaimana penormaannya. Mari kita cermati bersama Pasal 202 mengatakan “Partai politik peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi di DPR. Saya melihat dari sisi penyiapan pranatanya, ketika kita melihat di sini saya sudah bedakan subyek hukumnya, partai politik peserta Pemilu di sini ada kesetaraan, tidak berbicara siapa peserta Pemilu itu, tidak berbicara partai besar, tidak berbicara partai kecil. Di sini seluruh peserta Pemilu itu mempunyai kedudukan yang setara. Ada equity, ada kesetaraan kecuali di sini dirumuskan misalnya partai politik peserta Pemilu yang baru misalnya, itu menjadi diskriminatif. Tetapi di sini subyek hukumnya berada dalam posisi yang setara tidak bicara partai politik lama, tidak berbicara partai politik besar atau kecil. Kemudian, norma ini ditetapkan secara priory bukan secara posteriory. Maksud saya adalah norma ini ditetapkan sebelum Pemilu itu dilaksanakan, sehingga sesungguhnya kapan sebuah partai itu merasa dirinya besar atau dirinya kecil. Justru nanti setelah Pemilu itu dilaksanakan. Partai politik semuanya diberikan kesempatan sama untuk memperoleh lebih dari 2,5%. Konstitusi maupun Undang-Undang Pemilu tidak memberikan batasan bahkan seluruh partai politik dibuka ruang yang sama untuk berkompetisi mendapatkan lebih dari 2,5%. Diskusidiskusi pada waktu penyusunan norma ini memang muncul, apakah ini tidak menguntungkan partai besar, apakah ini tidak menguntungkan partai yang lama, saya menyampaikan partai besar maupun partai kecil itu baru teruji setelah Pemilihan Umum. Siapa yang menduga Partai Demokrat memperoleh suara sebesar itu, PKS sebesar itu, ataukah kita semua mempunyai pendapat yang sama Golkar akan lolos 2,5%, belum tentu. Demikian juga PDI-P juga belum tentu. Karena itulah saya berpendapat bahwa norma ini mempunyai kedudukan yang tidak diskriminatif. Seluruh partai politik mendapat perlakuan yang sama, adil dan memenuhi asas kepastian hukum. Karena apa? Semua memeroleh persyaratan yang sama yaitu harus lolos 2,5%. Majelis Hakim Yang Mulia. Bagaimana kemudian dengan ayat (2) mengapa parliamentary threshold ini hanya untuk tingkat nasional. Justru di sinilah seperti yang disampaikan oleh Prof. Hadjon tadi ada prinsip persamaan saya melihat
11
dari prinsip ketidaksamaan sebagaimana dikemukakan oleh John Rawls, untuk kondisi yang berbeda kita tidak boleh memberikan perlakuan yang sama. Di dalam struktur pemerintahan kita dan dalam susunan negara, susunan pemerintahan yang bertingkat antara kabupaten/kota, provinsi dan tingkat nasional mempunyai kedudukan yang tidak setara. DPR dan DPRD juga mempunyai kedudukan yang tidak setara. Oleh karena itu berdasarkan different principle untuk hal-hal yang berbeda sudah selayaknyalah diberikan perlakuan yang berbeda pula, ini mengenai ayat (2). Kemudian mengenai penormaan, bagaimana kita melihat lahirnya Pasal 202 itu pertama adanya delegasi dari Pasal 6A ayat (5) dan Pasal 22E ayat (6). Nanti di sini saya akan elaborasikan dalam bagian lingkungan sosial semi otonom. Kemudian yang kedua, saya menyatakan ini sebagai sebuah pilihan kebijakan yang lahir dari konsensus politik antara DPR dan pemerintah. Konsensus politik ini saya anggap sesuai dengan norma-norma konstitusi, karena kalau kita bahasakan konsensus politik ini bisa kita statement-kan sebagai berikut : partai politik peserta Pemilu menerapkan aturan yang sama bagi setiap partai politik dalam kasus yang sama pula dengan memberlakukan norma yang sama pula. Jadi semua partai politik yang mengikuti kasus yang sama yaitu Pemilu mendapatkan perlakuan yang sama dengan norma Pasal 202 ini. Nah, jadi dalam konteks ini, konsensus politik ini harus dianggap sebagai sebuah pilihan kebijakan yang masuk akal. Kemudian adanya perbedaanperbedaan tadi, adanya keberuntungan alamiah ataupun ketidakberuntungan alamiah ataupun ada hal-hal yang harus diikuti dalam kerangka prinsip-prinsip perbedaan, maka di situlah esensi dari variabel-variabel sosial yang mempengaruhi bekerjanya hukum itu bisa menjadi satu tolok ukur di dalam persoalan ini. Nah, variabel sosial itu saya ingin bawakan ke dalam apa yang disebut oleh Sally Moore itu sebagai lingkungan sosial semi otonom. Saya mengkajinya demokrasi dan Pemilu itu sebagai sebuah institusi, dimana dalam setiap institusi ini boleh disiapkan sebuah atau beberapa pranata-pranata dalam rangka melancarkan seluruh aktifitas yang berada dalam institusi itu. Sally Moore mengatakan bahwa dalam institusi sosial semi otonom itu dapat dibuat berbagai regulasi, prosedur, persyaratan, agar apa yang saya kemukakan di sini demokrasi dan Pemilu itu tidak bersifat anarkis. Kemudian Pemilu dan Demokrasi tidak bersifat bebas yang sebebas-bebasnya. Saya sependapat dengan yang disampaikan oleh Prof. Hadjon dan Dr. Gultom, bahwa kita mempunyai kedudukan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan, saya sependapat. Hart, Rawls maupun Sally Moore menyatakan hal seperti itu, asas-asas yang universal. Tetapi sebagai lingkungan sosial semi otonom dibolehkan untuk memberikan pengaturan-pengaturan dalam rangka mewadahi kebutuhan-kebutuhan yang ada di sana. Betul, kita semua mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum. Namun demikian, untuk
12
beracara di PTUN, beracara di pengadilan negeri siapapun harus membayar biaya perkara, maka apabila orang tidak bisa membayar biaya perkara, dia tidak boleh mengajukan gugatan di pengadilan negeri maupun gugatan PTUN. Apakah ini diskriminatif? Tidak. Inilah pengaturan lingkungan sosial semi otonom. Contoh yang lebih ekstrim, dalam dunia pendidikan, seluruh warga negara mempunyai hak yang sama di dalam bidang pendidikan, tetapi apakah kita semua bisa masuk ke Akademi Militer? Orang sudah harus tahu diri, apabila tingginya kurang dari 160 cm sudah pasti tidak bisa masuk ke Akademi Militer, apakah ini diskriminasi? Apakah ini perlakuan yang tidak sama? Tidak. Di sanalah ada regulasi, ada prosedur, ada persyaratan. Contoh yang lebih ekstrim saya ingin kemukakan, hukum lalu lintas adalah lingkungan sosial semi otonom. Benar, semua warga negara bersamaan kedudukannya di jalan raya, namun demikian kita bisa secara kritis melihat, apakah sama kedudukan saya dengan presiden di jalan raya? Tidak. Zudan Arif Fakrulloh tidak dilindungi dengan Undang-Undang Protokol, Presiden dilindungi dengan Undang-Undang Protokol. Sehingga presiden boleh menyibakkan jalan raya, di depan yang jalan raya dikosongkan. Apakah ini diskriminatif? Tidak, inilah lingkungan sosial semi otonom. Lingkungan semi otonom menjadi sangat penting untuk melihat bahwa di dalam seluruh persoalan itu ada variabel-variabel sosial yang mempengaruhi bekerjanya hukum itu. Oleh karena itu di dalam demokrasi, di dalam Pemilu harus ada regulasi, harus ada prosedur, harus ada persyaratan yang ini dituangkan di dalam norma. Sebagai catatan penutup saya Majelis Hakim Yang Mulia, saya ingin memberikan closing bahwa negara kita adalah negara hukum dan hukum digunakan sebagai instrumen untuk memberikan pembatasanpembatasan bagi seluruh warga negaranya yang mempunyai kehendak bebas. Tentu saja kehendak bebas warga negara itu yang secara naluriah lahir terus menerus harus dibatasi oleh negara. Negara menyeimbangkan keinginan naluriah dengan keinginan rasional warga negaranya melalui instrumen hukum. Oleh karena itu konteks negara hukum harus dipertajam. Bahwa konteks yang ada di dalam Pasal 1 ayat (3) konstitusi itu adalah konsep yang hidup dan harus kita pertajam bahwa di dalam negara hukum itu harus diwujudkan adanya legal order, kemudian legal reliability—keandalan hukum, dan yang ke tiga adalah legal continuity atau keberlanjutan hukum. Sebagaimana yang saya kemukakan tadi, desain sistem politik kita adalah multipartai sederhana, penguatan presidensial, Pemilu yang demokratis dan ini baru bisa terwujud nanti 2014 maka Pasal 202 itu sesungguhnya cerminan dari negara hukum untuk mewujudkan legal order, legal reliability dan legal
continuity.
Demikian Yang Mulia, para hadirin yang saya hormati, mudahmudahan bermanfaat, terima kasih.
13
Wassalamualaikum wr. wb. 26.
KUASA HUKUM PEMOHON : NUR HARIANDI, S.H. Yang Mulia, kami minta izin untuk Prof. Hadjon karena beliau ada keperluan yang mendadak, pesawatnya harus juga terbang ke Surabaya, beliau minta izin untuk meninggalkan ruang sidang.
27.
KETUA : Prof. Dr. MOH. MAHFUD MD, S.H. Mau meninggalkan tempat Bapak, ya boleh, terima kasih Pak. Nanti disimpulkan masing-masing saja, memang ada dua hal ini tadi yang dasarnya sama Bapak Hadjon maupun Pak Zudan itu menyatakan harus rasional pilihan politik hukum itu. Tapi bagi Pak Hadjon rasional itu 2,5 persen itu tidak rasional karena sewenangwenang tapi justru di situ rasionalnya terletak pada pengaturan. Tapi saya sudah pulang, tapi nanti kita simpulkan sendiri-sendiri. Saudara simpulkan, saya simpulkan, hakim nanti menyimpulkan. Sama-sama rasional ini. Silakan yang berikutnya.
28.
AHLI DARI PEMERINTAH : Dr. LILI ROMLI
Assalamualaikum wr. wb.
Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Konstitusi, hadirin yang berbahagia. Pertama mohon izin Yang Mulia, kami akan menayangkan powerpoint yang saya punya. Hadirin yang berbahagia, saya ingin memaparkan mengapa pembelaan saya terhadap perlunya penerapan parliamentary threshold di dalam pemilihan umum kita. Sebelum argumen-argumentasi ke sana saya ingin kemukakan latar belakang berkaitan dengan hiruk-pikuknya pendirian partai politik. Saya mengutip Gerry Kock [sic] mengatakan bahwa ada pertimbangan tiga hal para elit politik pendidikan partai politik itu. Pertama adalah biaya untuk memasuki arena, kedua keuntungankeuntungan manakala duduk dalam kekuasaan, ketiga, adanya kemungkinan untuk mendapatkan dukungan dari pemilih. Apabila biaya untuk memasuki arena itu murah dan keuntungan-keuntungan untuk mendapatkan kekuasaan itu diperolehnya juga, dan kemungkinankemungkinan untuk mendapatkan dukungan dari pemilih tinggi, maka semakin besar hasrat elit politik itu akan mendirikan partai politik. Kita ketahui pada era reformasi ini, saya membaca di media-media masa dan juga laporan-laporan yang dimuat oleh “Kompas” bahwa pada awal reformasi sampai tahun 1999 itu ada sekitar 148 partai politik yang
14
didirikan. Kemudian menjelang Pemilu 2004 meningkat menjadi 261 partai politik, dan ketika menjelang 2009 ini partai politk yang tercatat menjadi badan hukum ada sekitar 87 partai politik. Mungkin oleh karena pertimbangan-pertimbangan yang dikemukakan oleh Kock [sic] tadi maka elit-elit politik terus menerus mendirikan partai politik. Kemudian bagaimanakah persepsi elit politik itu apakah sama dengan persepsi publik/masyarakat. Saya mengutip survey yang dilakukan indo barometer salah satunya yang mengatakan bahwa ternyata mayoritas publik itu menyatakan kesulitan membedakan diferensiasi partai politik di Indonesia yang ada saat ini, baik dari segi nama itu sekitar 63 persen, sikap politik 75 persen, dan kebijakan ekonomi. Jadi ada kesukaran masyarakat karena banyaknya partai politik yang ada di Indonesia ini. Terus yang kedua mengatakan bahwa mayoritas publik mengungkapkan bahwa partai politik di Indonesia ini terlalu banyak, sekitar 82 persen yang mengatakan banyaknya partai politik di Indonesia ini. Dan yang ketiga mayoritas publik mengungkapkan idealnya Parpol di Indonesia itu jumlahnya 5 partai politik, itu ada pendapat 24 persen, 3 partai politik 21 persen dan 10 partai politik 18 persen. Saya melihat di sini ada kesenjangan antara persepsi elit partai politik yang ingin terus menjadikan partai politik sementara masyarakat publik berbeda bahwa seharusnya Indonesia ini dibatasi jumlah partai politik tersebut. Di sini kita lihat bagaimana dari pemilu ke Pemilu konfigurasi, kondisi partai ke era reformasi dari jumlah partai politik yang didirikan tersebut, jumlah pada 1999 jumlah Pemilunya ada 48, yang memperoleh kursi sekitar 21, 2004 ada 24 dan yang memperoleh kursi sekitar 16 dan 2009 maaf itu ada 6, 2009 ada 38 partai politik plus nanti partai lokal Aceh yang nanti hasilnya di DPR berapa dengan parliamentary threshold ini. Konfigurasi kekuatan hasil Pemilu 2004 itu memperlihatkan begitu terfregmentasinya kekuatankekuatan partai politik di parlemen. Persoalannya adalah problem yang dihadapi hasil Pemilu 2004 dan Pemilu 1999 itu adalah menghasilkan sistem multi partai yang terfregmentasi dan terpolarisasi. Banyaknya kekuatan-kekuatan partai politik di parlemen dan juga termasuk ideologiideologi yang menyertai parlemen tersebut. Sistem multipartai saya sebut sangat ekstrim, karena terlalu banyaknya jumlah partai politik yang ada dan juga tidak adanya kekuatan-kekuatan politik yang dominan seperti yang terlihat di hasil 2004 tersebut, relatif seimbang kekuatankekuatan yang ada di parlemen. Menurut saya penerapan ET ternyata yang Pemilu kemarin itu tidak berhasil menciptakan sistem multipartai sederhana. ET hanya mengurangi jumlah peserta Pemilu tetapi tidak berhasil mengurangi jumlah partai di parlemen, ini karena model ET yang diterapkan di Indonesia bukan untuk membatasi juga partai politik yang tidak memenuhi ambang batas minimal itu mengirimkan wakilnya di parlemen tetapi untuk tidak ikut Pemilu berikutnya. Nah, menurut saya ketika diberlakukan ET itulah sebenarnya asas ketidakadilan yang
15
memberangus asas kebebasan untuk berserikat, karena ternyata partaipartai politik yang tidak memenuhi ET itu harus membubarkan diri dan membentuk partai yang baru sementara parliamentary threshold partai politik tidak perlu membubarkan diri, dia bisa ikut Pemilu berikutnya, itu menurut pendapat saya. Terus selanjutnya sistem multipartai yang terbentuk itu relatif belum memberikan kontribusi yang efektif, pemerintah. Jadi alih-alih memberikan efektif bagi jalannya pemerintahan ternyata sistem pemerintahan cenderung menjadi penghambat efektivitas pemerintahan itu sendiri. Sistem multipartai yang ada cenderung memper (gak jelas) tata kelola pemerintahan serta terus mencapainya konsensus baik di antara partai-partai maupun antara parlemen dan pemerintah. Proses pengambilan keputusan dan kebijakan politik akan panjang dan bertele-tele di DPR. Saya mengamati bahwa ternyata sistem multipartai yang ada tersebut belum bisa memberikan sumbangan yang berarti bagi jalannya pemerintahan. Mungkin Ibu-Ibu, Bapak-Bapak sekalian mengamati bagaimana perdebatan-perdebatan di parlemen tersebut ketika ingin menggolkan suatu kebijakan atau juga bagaimana perdebatan-perdebatan antara parlemen dengan eksekutif. Singkat kata ternyata sistem multipartai tersebut kurang mendukung sistem pemerintahan yang kita anut yaitu sistem presidensialisme. Saya teringat kawan saya Profesor Syamsuddin Haris ketika dia memaparkan hasil penelitiannya dalam bentuk disertasi dia mengatakan bahwa sistem multipartai ini tidak kompatibel dengan sistem presidensialisme seperti itu. Kalaupun ada sekarang stabilitas karena faktor kepemimpinan personality dari seorang pemimpin presiden itu sendiri, salah satu faktornya. Nah, studi ini juga dikemukakan oleh beberapa ahli di antaranya adalah Menwering dan List itu menyimpulkan bahwa problem sistem presidensial itu manakala dikombinasikan dengan sistem multipartai menurut kedua ahli seharusnya dalam sistem presidensial lebih cocok menggunakan sistem dwi partai. Dengan menggunakan sistem ini efektivitas dan stabilitas pemerintahan relatif terjamin. Jadi apabila mengkombinasikan antara sistem presidensil dengan sistem multipartai itu tidak akan cocok, tidak berbanding, tidak kompatibel, harusnya kata dua ahli ini sistem presidensil itu akan efektif manakala diterapkan sistem Pemilu distrik. Pengalaman-pengalaman negara Amerika Latin menunjukkan bahwa kegagalan presidensialisme pada umumnya disebabkan keberadaan sistem multipartai karena presidensialisme dan sistem multipartai adalah kombinasi yang sulit sehingga cenderung melahirkan instabilitas demokrasi, ini terjadi karena faktor fragmentasi kekuatan politik di parlemen. Kita juga harus mengakui memang di Amerika Latin ada salah satu negara yang melakukan sistem presidensil tetapi stabil yaitu Chili, tetapi di tempattempat lain yang menerapkan sistem presidensil yang menggunakan sistem multipartai relatif tidak stabil, seperti itu. Salah satu cara untuk
16
menyederhanakan partai politik adalah dengan menerapkan sistem Pemilu distrik. Cara seperti ini diyakini Du Verger sistem distrik lebih mendorong ke arah integrasi partai-partai politik dan mendorong ke arah penyatuan partai politik tanpa ada paksaan. Namun dengan sistem distrik bukan pilihan realistis. Kondisi masyarakat Indonesia yang plural tidak bisa diabaikan begitu saja, hemat saya penerapan sistem proporsional merupakan wujud penghormatan dan pengakuan atas pluralitas masyarakat Indonesia. Argumentasi dikatakan agar kompatibel antara sistem presidensil dengan sistem kepartaian maka perlu ada penyederhanaan sistem kepartaian. Penyederhanaan sistem kepartaian menurut Du Verger itu bisa secara alami dengan sistem distrik. Tetapi menurut saya memang sistem distrik untuk di Indonesia tidak realistis karena kondisi masyarakat yang plural. Tapi bagaimana kondisi masyarakat yang plural itu kemudian sistem kepartaian bisa juga bersifat sederhana. Nah, salah satu pintu masuk yang bisa dilakukan adalah dengan cara menerapkan sistem parliamentary threshold tersebut. Bisa dengan sistem-sistem yang lain seperti juga cara yang dilakukan oleh Undang-Undang Partai Politik yaitu dengan menerapkan persyaratan yang berat untuk mendirikan partai politik atau juga dengan membentuk daerah-daerah pemilihan dengan persentase tiap kursi setiap Dapil itu relatif kecil, itu juga bisa menyederhanakan sistem kepartaian. Nah, parliamentary threshold ini saya kira merupakan salah satu instrumen untuk menciptakan sistem kepartaian sederhana. Ini ada beberapa contoh yang saya mendukung di Pasal 22 ayat (1) tersebut terus di Pasal 23. Selanjutnya penerapan parliamentary threshold merupakan salah satu instrumen penting untuk penyederhanaan sistem kepartaian. Dengan menerapkan PT maka partai-partai politik yang tidak memenuhi batas ambang yang ditetapkan dalam PT tersebut tidak bisa memperoleh kursi di DPR. Dengan menerapkan PT ini pada gilirannya nanti jumlah partai politik di DPR relatif efektif dan sedikit, seperti itu. Hal lain juga saya pikir yang harus disadari juga oleh elit-elit politik dan partai-partai politik bahwa dengan penerapan PT 2,5% ini pada gilirannya juga akan memperkuat partai politik dimana dia mempunyai basis massa, dia mempunyai dukungan yang luas di masyarakat, dia punya akar di masyarakat. Karena kalau saya analogikan PT itu dengan diagnosa dokter apakah tingkat harapan hidupnya masih ada atau tidak adalah 2,5% ini. kalau 2,5% itu mengatakan bahwa tingkatan harapan hidup sebuah partai Kalau di Indonesia berarti partai politik itu hidup. Kalau kurang dari 2,5% itu ya berarti “mati”. Karena dia tidak bisa mengirimkan wakil-wakilnya di DPR seperti itu. Yang ingin saya contohkan juga bahwa penerapan parliamentary threshold itu bukan monopoli Indonesia. Beberapa negara bahkan saya contohkan Jerman dan Polandia itu 5% menerapkan electoral threshold. Memang masingmasing negara berbeda-beda. Jadi sebenarnya Indonesia itu bukan hal yang baru, negara-negara yang lain juga menerapkan electoral threshold dimana Jerman dan Polandia itu masing-masing 5%.
17
Ingin saya menutup dalam kesempatan ini bahwa penerapan PT akan menciptakan sistem multipartai sederhana yang pada gilirannya mempengaruhi sistem presidensialisme, memperkuat sistem presidensialisme. Penerapan PT tidak bertentangan dengan kaidahkaidah dan prinsip-prinsip demokrasi terutama prinsip kebebasan untuk bersikap seperti dijamin dalam konstitusi karena partai politik tidak mati, tidak harus berganti dia tetap bisa ikut Pemilu dia tetap bisa ikut pemilu berikutnya. Dalam upaya untuk menciptakan sistem multipartai sederhana harus dimulai dari itikad baik (political will) dan kejujuran dari semua pihak untuk bersama-sama membangun bangsa ini di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan. Bila syarat ini dipenuhi semua pihak saya mempunyai keyakinan upaya ke arah membangun sistem kepartaian yang tangguh akan terwujud. Demikian Majelis Hakim yang saya hormati.
Assalamualaikum wr. wb.
29.
KETUA : Prof. Dr. MOH MAHFUD, M.D, S.H. Terima kasih Prof. Lili. Berikutnya sebelum Majelis Hakim nanti akan diberikan kesempatan juga untuk mengajukan pertanyaan masing-masing kami undang Termohon maupun Pemohon untuk menyampaikan pertanyaanpertanyaan kepada ahli. Misalnya Pemohon ingin lebih jelas dari ahli yang diajukannya sendiri bisa saja nanti, tidak harus ke sana. Begitu juga Termohon, DPR dan Pemerintah, mau tanya ke ahlinya sendiri karena tadi belum jelas juga boleh, boleh juga langsung ke sana karena ini ahli jadi bisa, nah untuk itu silakan Pemohon.
30.
KUASA HUKUM PEMOHON : NUR HARIADI, S.H. Terima kasih Yang Mulia. Sayangnya Bapak Profesor Philipus M. Hadjon sudah tidak dapat menghadiri sidang, namun yang pasti Yang Mulia kami mengingatkan bahwa Pemohon tidak hanya partai politik, Pemohon terdiri dari sebelas partai politik, 179 orang calon anggota legislatif dan 234 orang anggota Parpol. Yang menjadi pertanyaan kami, yang belum terjawab dari persidangan ini adalah bahwa apabila ditetapkan parliamentary threshold atau perolehan ambang batas suara 2,5%, suara yang hangus dengan simulasi Pemilu 2004 adalah 18.739.485 sedangkan apabila tidak diterapkan parliamentary threshold 2,5% atau ambang batas perolehan suara itu hanya sekitar 5.457.000, maka inilah yang kami katakan bahwa kita Pemohon tidak mempersoalkan pilihan kebijakan apakah parliamentary threshold apakah electoral threshold tetapi yang kami persoalkan bahwa pilihan kebijakan ini adalah melanggar undangundang, sewenang-wenang. Yang kedua adalah bahwa banyaknya suara rakyat yang hangus yang hilang dengan adanya aturan ini, Pasal 202
18
ayat (1) Undang-Undang Pemilu, hilangnya kesempatan seorang calon legislatif itu yang kami persoalkan Yang Mulia. Bahwa dari beberapa sidang kami belum mendapatkan penjelasan itu sehingga kami meminta kepada Yang Mulia bahwa jelas ketentuan ini melanggar UUD dan melanggar Konstitusi warga negara, terima kasih Yang Mulia. 31.
KETUA : Prof. Dr. MOH MAHFUD, M.D, S.H.
(Suara tidak terdengar karena tidak memencet mic) 32.
KUASA HUKUM PEMOHON : NUR HARIADI, S.H. Iya Yang Mulia, statement kami Yang Mulia.
33.
KETUA : Prof. Dr. MOH MAHFUD, M.D, S.H. Saya serahkan ke sana DPR atau Pemerintah kalau ada yang mau bertanya, oh tidak ada kalau tidak ada nanti Majelis, ini dari pemerintah.
34.
PEMERINTAH MENDAGRI)
:
Ir.
AGUNG
MULYANA,
M.Sc
(STAF
AHLI
Kami ingin bertanya kepada ahli kami sendiri dan untuk memperjelas. Bapak Dr. Lili Romli dan Prof. Zudan Arif dalam beberapa penjelasan Pemohon beberapa kali antara lain ahlinya juga menggunakan data dari Pemilu sebelumnya, menurut pengetahuan ahli apakah data dari Pemilu sebelumnya itu dapat digunakan untuk memprediksi hasil Pemilu berikutnya? Menurut Pemerintah tiap Pemilu itu pesertanya berbeda, jumlahnya berbeda, partainya berbeda, dan hasil dari Pemilu mulai Pemilu tahun 1955, Pemilu 1971, sampai kepada Pemilu 2004 jumlahnya juga berbeda-beda. Apakah hasil dari Pemilu– Pemilu sebelumnya dapat dibuatkan trend, prediksi untuk Pemilu berikutnya, kami mohon penjelasan. 35.
KETUA : Prof. Dr. MOH MAHFUD, M.D, S.H. Silakan dijawab.
36.
AHLI DARI PEMERINTAH : ZUDAN ARIF FAKRULLOH Terhadap pertanyaan dari pemerintah saya ingin menyampaikan hal-hal sebagai berikut; Pertama terhadap prediksi, prediksi juga kita juga harus melihat dari aspek metodologi yang digunakan. Pertama apabila hanya melihat sebagai kecenderungan suara, jumlah pemilih itu bisa digunakan sebagai
19
salah satu metoda untuk prediksi. Tapi hanya melihat dari jumlah pemilih, tetapi kita tidak bisa memprediksi bagaimana sebaran hasil pilihan itu karena seperti tadi yang disampaikan jumlah peserta Pemilu selalu berubah-ubah, jumlah partai politik dan kualitas partai politiknya juga berbeda-beda dan yang ketiga trend untuk menjadi golongan yang tidak menggunakan hak pilihnya juga berubah-ubah. Oleh karena itu dalam rangka untuk mengkaji trend Pemilu yang akan datang harus betul-betul dilihat pada teknik-teknik sampling, pilihan-pilihan item yang akan diteliti serta metodologi secara menyeluruh, yang digunakan untuk melakukan prediksi tersebut. Demikian Yang Mulia. 37.
KETUA : Prof. Dr. MOH MAHFUD, M.D, S.H. Silakan Prof Lili.
38.
AHLI DARI PEMERINTAH : Dr. LILI ROMLI Terima kasih Yang Mulia, atas pertanyaan tadi pemerintah saya kemukakan bahwa berkaitan dengan prediksi atau perkiraan itu bisa dijadikan acuan saja tetapi bukan penentu karena namanya prediksi, perkiraan itu bisa terjadi bisa juga tidak terjadi. Yang kedua, saya katakan bahwa dalam demokrasi langsung itu ada namanya dilema yaitu dilema yang tidak diprediksi jadi unpredictable dan juga dilema undecided voters. Yang menentukan adalah yang undecided voters, pemilih yang belum menentukan yaitu pada detik-detik terakhir ketika dia ada di bilik suara, dan itu pengaruh oleh berbagai macam faktor. Faktor undecided voters inilah yang akan menentukan partai-partai politik siapa yang akan mendapat dukungan dari masyarakat. Oleh karena itu dalam demokrasi langsung saya katakan tidak bisa diprediksi secara tepat. Karena ada perubahan-perubahan, tergantung kinerja dari partai-partai politik, tergantung dari kampanye, dan tergantung dari performance dan Caleg-Calegnya seperti itu bisa berubah, terima kasih.
39.
KETUA : Prof. Dr. MOH MAHFUD, M.D, S.H. Masih ada lagi Bapak?
40.
PEMERINTAH MENDAGRI)
:
Ir.
AGUNG
MULYANA,
M.Sc
(STAF
AHLI
Jelas Pak. 41.
KETUA : Prof. Dr. MOH MAHFUD, M.D, S.H. Cukup jelas, dari Pemohon silakan.
20
42.
KUASA HUKUM PEMOHON : NUR HARIADI, S.H. Yang Mulia, Prinsipal ingin bicara Yang Mulia.
43.
PEMOHON : Terima kasih Bapak Majelis Yang Mulia, yang kami hormati. Kami dari Pemohon Prinsipal ingin pertanyaan kami ini kepada tiga orang ahli, yang hadir pada saat ini. Kami hanya berpikir sederhana jika katakanlah Partai Peduli Rakyat Nasional memperoleh suara 13 kursi untuk DPR-RI dengan perhitungan bim salabim yang 13 kursi ini bisa beralih ke partai Parpol yang lain, apakah tidak melanggar hak asasi dan tidak melanggar konstitusional yang ada di Indonesia, mohon kepada Bapak-Bapak Ahli untuk memberikan penjelasan kepada Majelis Yang Mulia ini, itu hanya pemikiran sederhana saja, terima kasih.
44.
KETUA : Prof. Dr. MOH MAHFUD, M.D, S.H. Silakan.
45.
PEMOHON : PIB Satu lagi Majelis Hakim yang Mulia.
46.
KETUA : Prof. Dr. MOH MAHFUD, M.D, S.H. . Dicatat silakan ahli yang mendapat pertanyaan tadi 3 orang ahli, silakan.
47.
PEMOHON : PIB Terima kasih kepada Majelis Hakim Yang Mulia atas kesempatan yang diberikan kepada kami. Saya dari Partai Indonesia Sejahtera menanyakan kepada ahli dari Depdagri di dalam UUD 1945, jelas menganut asas prinsip rasa keadilan, pertanyaan saya simpel, dimana rasa keadilan ahli ketika ada Caleg yang terpilih tetapi karena tidak mencukupi ambang batas 2,5% dia tidak duduk di DPR itu saja Majelis, terima kasih.
48.
KETUA : Prof. Dr. MOH MAHFUD, M.D, S.H. . Silakan.
49.
PEMOHON : AGUNG GIANTORO Yang Mulia satu lagi.
21
Saya Agung Giantoro dari Partai Persatuan Daerah. Ada dua hal yang ingin saya ketengahkan mengenai wacana penyerderhanaan sistem multipartai. Bahwa dengan adanya ET dan PT maka sistem multipartai sederhana akan cocok dan membentuk sistem pemerintahan yang efektif dan kuat, padahal literatur ilmu politik terakhir mengatakan seperti yang dikemukakan oleh Josua Antonio Suebu [sic] dalam presidentialism parliamentarilism in democracy tahun 2007 halaman 132 sampai 139 menyimpulkan bahwa sistem multipartai tidak selamanya dan tidak selalu dan tidak cocok dengan sistem presidensialisme, sehingga wacana yang mengatakan bahwa sistem multipartai ekstrim seperti kita pasti akan tidak kompatibel dengan sistem presidensialisme yang kita anut adalah omong kosong berdasarkan hasil kajian Antoni Antonio Suebu [sic], yang kemudian diperkuat oleh kajian dari pakar kita sendiri yaitu Syaiful Mujani dan William R. Liddle dalam The New Parliamentarism Democracy halaman 147, 155 tahun 2006 bahwa keberhasilan SBY-JK ternyata bisa meredam argumentasi hipotesis yang mengatakan bahwa sistem multipartai tidak cocok dengan sistem presidensialisme sehingga menurut saya kehilangan argumentasi akademis teoritis yang mengatakan bahwa sistem multipartai akan membuat pemerintah tidak efektif dan tidak kuat untuk menjalankan roda-roda kebijakan pemerintah, satu. Kedua, adalah mengenai wacana keadilan bahwa Konstitusi selalu menganut wacana keadilan di manapun negara di muka bumi ini termasuk konstitusi kita. Nah, kalau tidak bicara keadilan bagaimana dengan prediksi pakar ahli kita yang kemarin bahwa akan ada puluhan juta suara hangus dan terbuang ketika PT diberlakukan karena kita minimal Caleg-Caleg partai ini punya pendukung. Sebodoh-bodohnya, semiskin-miskinnya Caleg kami, minimal keluarga kami, bagaimana kalau hasil simulasi itu terbukti puluhan juta pemilih terhangus dan tidak terakomodir dibagikan kepada beberapa partai besar untuk bisa menikmati kue kekuasaan dengan segelintir orang, ini saya tidak mau nanti banyak pendukung Caleg-Caleg kita puluhan juta orang datang ke Mahkamah Konstitusi dan kami tidak ingin terjadi kembali seperti kasus kemarin di kantor DPRD Sumatera Utara, itu saja. di mana keadilan buat konstitusi kita? Terima kasih. 50.
KETUA : Prof. Dr. MOH MAHFUD, M.D, S.H. Silakan dijawab oleh ahli, Hakim tinggal menyimpulkan saja.
51.
AHLI DARI PEMOHON : LODEWIJK GULTOM Majelis Hakim yang saya muliakan, saya mencoba menanggapi pandangan soal dari Prinsipal Pemohon soal kepindahan suara itu ke partai lain. Pemahaman bernegara di Indonesia ini fundamental adalah prinsip kekeluargaan, itu yang pertama. Paham ini memang berkembang
22
terus menerus lalu ada kombinasi paham individualisme itu ke paham kolektivisme itu secara simultan, kedua paham ini saling gesek menggesek lalu dia beradu pada perumusan perundang-undangan. Persoalannya adalah bagaimana perumusan undang-undang itu juga menampung semua aspirasi itu, paham yang menghendaki penguatan individualistik itu dan paham yang menghendaki kolektivisme itu kuat. Itu sebabnya kehadiran Mahkamah Konstitusi ini menjadi sentral. Itu sebabnya ada dia, jadi dia akan menarik persoalannya ke masalahmasalah konstitusi. Apakah praktik di grass root ini berkembang sesuai dengan paham konstitusi kita. Nah, batas inilah sebetulnya yang sedang kita periksa pada saat ini kalau itu terbuka kemungkinan mengganggu paham dasar itu yang sedang berproses sampai hari ini maka tentu pertanggungjawaban konstitusinya terletak pada, pertama Mahkamah Konstitusi yang memutus, yang kedua pada DPR dan presiden. Yang kedua di samping hak ada juga sebetulnya kewajiban kita bersama dan itu diatur konstitusional. Nah kewajiban ini menurut saya yang tidak pernah diperhatikan bagaimana agar hak itu sebanding. Persoalan partai politik sebetulnya lebih berat pada partai politik itu sendiri. Partai politik yang berkualitas, yang berbobot, yang bisa mensinergikan potensi rakyat sebetulnya pada tataran itu apakah parliamentary threshold dan electoral threshold itu dipakai dalam tataran partai politik sangat menarik, tetapi karena persoalan ini persoalan elitis adalah besar kemungkinan menyimpang dari paham konstitusi kita karena ini kebutuhan-kebutuhan yang mendesak sesaat dalam rangka menghimpun kekuasaan. Ini sebetulnya catatan saya perihal perkembangan dunia politik versus penguatan konstitusi dan pendidikan politik simultan yang dilakukan partai politik dan putusan-putusan konstitusi. Sangat menarik putusan Mahkamah Konstitusi tentang suara terbanyak. Itu adalah bagian pendidikan politik yang sebetulnya sampai tataran itu telah membuka peluang yang sama kedua paham itu berkembang, paham individualistik dan paham kolektivistik. Terima kasih. 52.
KETUA : Prof. Dr. MOH MAHFUD, M.D, S.H. Terima kasih Pak Ludwig. Pak Zudan?
53.
AHLI DARI PEMERINTAH : ZUDAN ARIF FAKRULLOH Terima kasih Yang Mulia. Ada isu yang menarik yaitu tentang persoalan rasa keadilan. Tentu saja ketika kita mendiskusikan rasa keadilan dalam forum ini kita tidak melihat keadilan itu sebagai sebuah institusi yang terpisah dari seluruh desain pembangunan sistem politik nasional kita. Ketika kita membaca logika konstitusi tentang sistem presidensil, Pasal 4, kemudian Pilpres Pasal 6 dan Pemilu DPR, DPD, di Pasal 22E kita harus melihat
23
keadilan itu sebagai sebuah institusi utuh yang harus kita anggap itu purposiveness, bertujuan untuk menyelenggarakan pemerintahan yang efektif. Itu desain yang dianut di dalam logika konstitusi dan penyusunan paket undang-undang bidang politik. Kemudian persoalan keadilan ini tidak bisa berdiri sendiri ketika tadi ditanyakan bahwa hak calon anggota legislatif yang mendapatkan kursi itu tiba-tiba hilang. Sebenarnya hak Caleg ini berjalan secara paralel dengan kewajiban Parpolnya untuk mendapatkan parliamentary threshold 2,5%. Di sinilah dua hal yang saling berkaitan dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang efektif. Memang saat-saat menyusun pasal ini terjadi dialog yang panjang termasuk untuk melakukan simulasi berapa suara yang hilang. Di dalam proses penyusunan ini sudah disadari bahwa Undang-Undang Pemilu itu tidak bisa membuat everybody happy, sudah disadari sejak awal. Memang sunatullah-nya di dalam penyusunan peraturan perundang-undangan yang kental dengan suasana politik, hukum sebagai produk politik itu tidak akan bisa everybody happy selalu ada cacat-cacat sejak lahir yang mana itu terjadi karena ada perbedaan mazhab, akhirnya keadilan yang dianut di dalam Undang-Undang Pemilu ini adalah mayority utilitarian. Tidak bisa kita menggunakan mazhab keadilan yang digunakan oleh mazhab hukum alam, bahwa semuanya bisa mendapatkan keadilan secara penuh. Bahkan ketika kita menggunakan pendekatan rasa keadilan sebagaimana dikemukakan oleh Aristoteles, keadilan komutatif, distributif, maupun findikatif itupun tidak bisa sepenuhnya karena apapun yang digunakan dengan electoral threshold, parliamentary threshold akan selalu ada suara-suara yang hangus. Namun inilah salah satu model yang secara minimalis dipilih dalam rangka menyusun penyelenggaraan pemerintahan yang efektif sebagai bagian dari logika konstitusi yang lahir dari Pasal 4, Pasal 6, maupun Pasal 22 huruf E serta pasal-pasal yang terkait dengan hak asasi manusia. Demikian Yang Mulia. 54.
KETUA : Prof. Dr. MOH MAHFUD, M.D, S.H. Silakan Pak Lili.
55.
AHLI DARI PEMERINTAH : Dr. LILI ROMLI Terima kasih Yang Mulia. Saya akan menjawab yang berkaitan dengan sistem multipartai tadi. Tadi saya katakan bahwa studi-studi yang dilakukan oleh Scott and Welhim [sic] dan John Lynd [sic] mengatakan bahwa sistem multipartai itu tidak kompatibel dengan sistem presidensialisme. Itu fakta-fakta empiris yang terjadi di Amerika Latin, terus ketika di Indonesia kita mengadakan sistem multipartai yang saya sebut ekstrim itu juga fakta memperlihatkan bahwa pemerintahan kita tidak berjalan efektif karena
24
terjadinya perdebatan-perdebatan yang berlarut-larut di DPR tersebut. Nah, berdasarkan itu, kemudian kebijakan delapan PT itu merupakan salah satu alternatif bagaimana menciptakan sistem kepartaian yang sederhana, seperti itu. Bukan menghalangi untuk tumbuhnya partaipartai politik di luar parlemen, jadi konfigurasi kekuatan partai politik di parlemen. Sebelumnya kalau kita mau pilihan kebijakannya adalah sistem distrik maka akan menghabisi partai-partai yang lain tetapi tadi karena pertimbangan realistis, struktur masyarakat kita yang plural maka sistem proporsional adalah jalan terbaik untuk mengadopsi kekuatan-kekuatan politik minoritas yang ada di Indonesia. Tetapi kemudian bagaimana agar kekuatan-kekuatan politik yang ada di Indonesia, yang minoritas juga bisa terwakili di parlemen itu, maka pilihan kebijakan sistem proporsional merupakan salah satu instrumennya. Nah, tadi kan bagaimana (suara tidak terdengar jelas) tim profesional akan melahirkan kalau tanpa PT kekuatan-kekuatan politik yang banyak sekali di DPR? Nah, jalan keluarnya adalah penerapan PT(suara tidak terdengar jelas) tersebut. Nah, PT (suara tidak terdengar jelas) tidak menghalangi partai-partai politik untuk ikut pemilu berikutnya. Cuma dia tidak berhak mengirimkan wakilnya di parlemen sehingga kemudian konfigurasi kekuatan di parlemen itu relatif sedikit dan itu akan mendukung jalannya efektifitasnya pemerintah. Nah, mungkin studi yang dilakukan oleh Saiful Mujani mengenai pandangan yang lain. Di situ yang saya lihat bahwa pak SBY terpilih itu dia didukung oleh partai politik atau diusung partai politik yang tidak mayoritas. Dia bisa terpilih tetapi kemudian menghadapi persoalan ketika berhadapan di parlemen karena banyaknya kekuatan-kekuatan seperti itu dan kita harus jujur bahwa jalannya pemerintahan pada masa sekarang (suara tidak terdengar jelas) tidak efektif. Kalaupun ada konsensus-konsensus itu karena faktor kerelaan dari pemerintah untuk mendatangi DPR dalam rangka bagaimana mempertahankan keutuhan jalannya pemerintahan ini. Itu yang saya amati, terima kasih Yang Mulia. 56.
KETUA : Prof. Dr. MOH. MAHFUD MD, S.H. Baik saya kira sudah cukup ya, yang ini dari Majelis Hakim, saya persilakan yang kiri dulu ya, Pak Akil.
57.
HAKIM KONTITUSI : H. M. AKIL MOCHTAR, S.H., M.H. Terimakasih, Para Ahli ya? Di dalam penjelasan umum UndangUndang nomor 10 tahun 2008 alinea ke dua, saya bacakan ”Sesuai
ketentuan pasal 22E ayat 6 UUD 1945, pemilihan umum untuk memilih anggota dewan pemilihan rakyat dan seterusnya, diselenggarakan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, setiap 5 tahun sekali. Pemilihan umum dimaksud diselenggarakan dengan 25
menjamin prinsip keterwakilan yang artinya setiap orang warga negara indonesia terjamin memiliki wakil yang duduk di lembaga perwakilan yang akan menyuarakan aspirasi rakyat di setiap tingkatan pemerintahan dari pusat hingga ke daerah.” itu landasan filosofis yang saya lihat di
dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 10. Kemudian kita kaitkan dengan Pasal 202 ayat 1 ini, yang saya belum mendapat sebuah pengertian mengapa parliamentary threshold itu hanya berlaku secara nasional? Padahal peserta Pemilu partai politik dengan sistem proposional terbuka terbatas, itu adalah partai-partai politik nasional yang ketika melakukan proses menjadi partai politik dan menjadi peserta Pemilu dikualifikasikan dengan syarat-syarat yang sama. Tapi ketika menyangkut perolehan hasil Pemilu diberlakukan dengan ketentuan yang berbeda? Artinya begini, dari sudut sistem pemilihan kita dikaitkan dengan posisi perolehan suara hasil Pemilu untuk DPR. Itu diberlakukan parliamentary threshold. Dalam rangka menjamin pemerintahan yang kuat dan sistem kepartaian yang sederhana. Itu konsep yang dilontarkan tadi. Lalu dalam hubungan perpolitikan dan sistem pemerintahan yang kuat itu, hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam konteks yang demikian, apakah juga tidak terakomodasi di dalam Pasal 202 itu? Dalam penciptaan sistem pemerintahan yang kuat? Kenapa? Karena DPRD provinsi/kabupaten kota itu tidak terkena dengan 2,5% itu. Hanya parlemen ditingkat nasional. Nah, dalam kata lain, dalam sistem masyarakat kita yang plural, yang tadi dikatakan bahwa dijamin keterwakilannya, apakah itu tidak mendorong perlakuan yang berbeda antara sistem nasional dan sistem daerah, sementara partai-partai ini, kita tidak mengenal partai-partai lokal, kecuali Aceh. Nah, ini apa yang mendasari kok di daerah, perbedaan ini. Artinya dasar pembentukan undang-undang ini. Kemudian kalau kita melihat sejarah kepartaian kita dengan pelaksanaan Pemilu yang dilakukan sudah beberapa periodisasi. Katakanlah kita mengalami Pemilu sejak zaman reformasi lah kalau sebelum reformasi terlalu banyak soal yang kita perdebatkan di sana. Tapi soal electoral threshold itu tidak pernah secara konsisten dilaksanakan dari undang-undang Pemilu, dari periodesasi pemilu yang lalu, ke pemilu berikutnya, itu tidak pernah dilaksanakan. Apakah itu masuk pilihan politik dalam menyelesaikan soal-soal seperti itu? Artinya, kalau kita melihat sistem proporsional terbuka, terbatas, yang menjadi peserta Pemilu adalah partai politik maka penciptaan sistem kepartaian yang sederhana maka yang tepat itu adalah electoral threshold kalau parliamentary threshold tentu itu berkaitan dengan hasil yang juga berkaitan dengan hak seseorang untuk memperoleh jabatan politik menjadi anggota dewan. Kan problematiknya di sana. Artinya, kalau dia secara electoral threshold memang suaranya tidak terpenuhi, itu lain persoalan. Tapi kalau dia peserta Pemilu yang semua syarat dia sudah penuhi, katakanlah dia memperoleh suara yang
26
sempurna melampaui BPP yang menurut undang-undang ini dijamin tetapi putus karena 202 ayat 1 itu, karena partainya tidak menjadi secara nasional. Apakah kita akan membangun sistem nasional kita atas prinsip dasar negara kesatuan yang tidak berbeda-beda atau kita ingin menciptakan sistem pemerintahan yang memang berbeda antara pemerintah pusat dan daerah? Perbedaan itu semakin membuat penajaman. Karena apa? Dari representasi rakyat yang secara kultural, secara kepartaian, dia adalah nasional tetapi ternyata kita mendorong daerahisme itu semakin kuat. Kenapa? Karena hanya di daerah saja. Nasional itu tidak berlaku jadi akan muncul 2 hal yang baru dalam proses pendidikan politik kita ke depan. Nah, dalam kaitan itu bagaimana pendapat ahli, apakah linier atau pararel antara sistem kepartaian dan pemerintahan yang kuat dengan parliamentary threshold atau electoral threshold itu yang pertama. Yang kedua, bagaimana atau apa yang menjadi landasan bahwa parliamentary threshold itu hanya berlaku secara nasional? Apakah karena semata-mata menjamin pemerintahan yang kuat itu atau karena terhambatnya proses pemerintahan dengan berbagai macamnya elemen yang ada atau keterwakilan yang ada di DPR itu? Karena menurut saya sistem Presidensial tidak relevan antara parlemen dan presiden. Secara teoritik tidak relevan, tidak ada hubungan itu. Karena apa? Berdasarkan Undang Undang Dasar 1945 jelas masing-masing itu. Jadi tolong beri penjelasan kepada kami, terutama saya, karena saya belum begitu paham. Kenapa perbedaan antara pusat dan daerah, perbedaan perlakuan itu tetapi menyangkut orang, bukan partai begitu. Terima kasih. 58.
KETUA : Prof. Dr. MOH. MAHFUD MD, S.H. Baik, terima kasih. Bapak Maruarar agak to the poin ya. Ini sudah jam kurang 20 dan masih ada beberapa penanya lain dari Majelis Hakim.
59.
HAKIM KONSTITUSI : MARUARAR SIAHAAN, S.H. Ya. Baik, terima kasih Pak Ketua. Saya sebenarnya sudah ikut dua kali ini soal undang undang pemilu ini, selama duduk di sini dan saya melihat selalu saya kemukakan itu inkonsistensi barangkali, dari pembuat undang undang. Yang dulu, electoral threshold diuji Pemerintah dan DPR, mempertahankan mati-matian itu, itu konstitusional. kemudian kita setuju Pak Ketua, setuju kita. Kita tolak waktu itu parliamentary threshold, semua ahli-ahli ya tokh, tetapi tiba-tiba sekarang karena dapat inspirasi darimana, ya electoral threshold yang dikatakan itu konstitusional, belum, karena waktu itu argumennya sama Pak Lili, penyerderhanaan partai. Tiba-tiba berubah lagi kemudian di undang undang yang baru boleh semua otomatis ikut lagi. Nah, ini yang menjadi
27
problem pokok saya kira, kalau tiba-tiba dapat inspirasi Pak Zulhan, kok tiba-tiba bergerak di sana yang buat lagi undang undang baru, tiap pemilih itu menjadi problem. Saya satu aliran dengan Pak Zudan dengan Antroposentris juga itu, tetapi saya agak bingung tadi ketika mengatakan mengutip Rawls, Dworkin barangkali tadi, mengenai keberuntungan alamiah daripada suatu kebijakan yang diambil itu, apakah juga tidak ada satu parameter tersendiri untuk mengatakan bahwa itu masuk akal? Tadi saya sebenarnya mau bertanya juga sama Pak Hadjon itu kalau dikatakan itu rasional, rasional yang sewenang-wenang itu yang rasional yang tidak rasional itu sewenang tetapi ukurannya juga harus di break down barangkali, dan masuk akal ini juga barangkali Pak Zudan bisa lagi di lihat dari sudut Konstitusi dalam hal-hal bagaimana sebenarnya dia bisa kita katakan tidak menafikan. Yang disebutkan Pak Akil itu tadi, keterpilihan seseorang di daerah menimbulkan suatu masalah tertentu , ketika manakah kita mengatakan bahwa itu rasional atau masuk akal sebagai suatu ketidakberuntungan konstitusional dari mereka sehingga kita menganggap itu sah. Karena tentu ada satu ukuran-ukuran yang tidak bisa dipukul rata dengan contoh dari Pak Zudan tadi yang sporadis itu, ya saya kira secara konstitusional atau keilmuan harus bisa dirumuskan, satu, dua, tiga bahwa dengan syarat begini ini bisa kita kesampingkan tidak melanggar Konstitusi. Nah, kalau saya perhatikan tadi jawaban Pak Lili bahwa memang threshold itu menyederhanakan partai tetapi dari jawaban tadi sebenarnya yang diinginkan adalah supaya pemerintahannya efektif, katanya tidak mengganggu partai-partai itu untuk berikutnya. Menjadi dilematis bagi saya untuk melihat atau kontradiktif kalau memang dia bisa lagi ikut Pemilu berikutnya kan menjadi masalah besar. Oleh karena itu, inkonsistensi ini menjadi suatu problem. Saya sudah menyimak betul closing statement daripada Mendagri pada waktu persidangan masalah Undang Undang Pilpres yang lalu, bahwa Pemerintah ingin konsisten menjaga stabilitas, tetapi di sini bagaimana kira-kira pandangan Ahli, konsisten kah? Apa saja saya kira kalau bisa di breakdown dengan suatu tolak ukur yang pas, bisa saja kita terima tetapi ini barangkali membutuhkan suatu kejelasan. Terima kasih. 60.
KETUA : Prof. Dr. MOH. MAHFUD MD, S.H. Mungkin karena Pemerintahnya ganti Pak, yang dulu, yang sekarang, jadi konsisten menurut priode ini, yang dulu kan lain. Pak Mukthie, nanti saya juga mau tanya.
61.
HAKIM KONSTITUSI : Prof. ABDUL MUKTHIE FADJAR, S.H., M.S. Terima kasih, Pak Ketua. Saya tertarik dengan yang dikemukakan Prof. Zudan dan dalam hal tertentu juga dengan Prof. Romli yaitu
28
tentang Desain sistem politik di Indonesia. Saya meragukan apakah kita punya desain sebetulnya? Dengan logika Konstitusi yang Prof. Zudan kemukakan yang sejak Pemilu 1999, ya kemudian terutama Pemilu Tahun 2004 itu logika konstitusinya kan sama sebetulnya, tetapi desain sistem politik di Indonesia dan terutama sistem kepartaian, apalagi dengan istilah sistem kepartaian sederhana yang binatang apa itu sebenarnya? Karena Pemilu 2004 juga sistem kepartaian sederhana. Ini juga sederhana tetapi desainnya beda. Ini menunjukkan sebetulnya kita belum punya desain atau desain nya hanya ibaratnya bangun rumah hanya untuk lima tahun saja, dan itu dirobohkan lagi, apa seperti itu kira-kira? Jadi karena ketidakjelasan sistem kepartaian yang ingin dibangun, karena sistem kepartaian yang sederhana itu sesuatu yang abstrak menyebabkan kita cari-cari modal, setiap lima tahun cari. Partai Politik sesuai dengan Pasal 8 ayat (2) yang sekarang ikut Pemilu ini, memang sebetulnya menggembirakan dengan parliamentary threshold. Tahun 2014 boleh ikut, 44 partai boleh ikut, malah bisa tambah karena Undang Undang Kepartaian kita juga tidak kompatible dengan undang undang itu. Begitu mudah mendirikan partai. Jadi kirakira Pemilu 2014 mungkin bisa sama dengan Pemilu Tahun 1955 hampir 100 kontestan Pemilu, apa itu desainnya? Nah, mohon kalau bolak-balik dikutip dan Undang Undang Pemilu juga memuat (suara tidak terdengar jelas) tetapi apa yang dimaui dengan desain itu. Terima kasih, Pak. 62.
KETUA : Prof. Dr. MOH. MAHFUD MD, S.H. Baik, kalau Hakim lain tidak ada, saya tanya, terakhir. Kepada semua ini, begini ya, semua Ahli tadi, Pak Lodewijk, Pak Zudan, dan lainnya itu menyatakan ada kebutuhan sosiologis, sehingga Pak Lodewijk mengatakan Pasal 202 ini secara sosiologis, filosofis, dan yuridis, itu tidak benar, harus dibatalkan. Kebutuhan masyarakat katanya ya, harus diakomodasi, sosiologisnya begitu, tetapi secara sosiologis pula di sana tadi mengatakan sosiologis masyarakat kita itu sudah jenuh dengan partai berdasar hasil survey tadi. Pakar juga begitu, pakar yang dikutip di sana tadi menyatakan tidak kompetibel, pakar yang dikutip di sana, ”tidak,” katanya. Nah, begini pertanyaan saya, kalau ada dua pandangan sosiologis tetapi bertentangan, masing-masing menyatakan, “ini konstitusional, ini sosiologisnya begini,” katanya, yang sana, ”ini konstitusional karena sosiologis begini, literaturnya begini, ini-nya begini,” kalau ada persoalan seperti itu, kalau Anda menjadi hakim, itu kembali ke mana? Di antara dua pandangan sosiologis yang bertentangan, Padahal harus dipilih satu. Terima kasih, itu saja.
29
63.
AHLI DARI PEMOHON : Dr. LODEWIJK GULTOM Terima kasih, Majeis Hakim yang saya muliakan. Jadi sebetulnya waktu Ketua Majelis Mahkamah Konstitusi, soal politik hukum itu (suara tidak terdengar) kondisi sosial politik itu mempengaruhi sifat hukum yang diberlakukan. Jadi karena konteks (suara tidak terdengar) maka menurut saya, sudut pandang saya, sosiologis itu adalah his dalam perspektif ke Indonesiaan. Saya katakan tadi, faham kita (suara tidak terdengar) itu menurut saya beda dengan faham kita bernegara. Saya tidak mau masuk dalam tataran operasional teknis tadi, karena saya kuatir memang penelitian politik hukum Prof. Mahmud mengatakan itu sangat situasional. Itu sebabnya saya tidak masuk pada tataran yang situasional itu. Karena ini bukan (suara tidak terdengar) membahas situasionalnya, tetapi bagaimana situasi ini dikembalikan oleh (suara tidak terdengar) konstitusi kita. Saya menganggap teori (suara tidak terdengar) merekayasa masyarakat, itu yang saya pakai. Dengan demikian kalau saya sebagai hakim duduk di sana, Prof, Majelis Hakim yang saya hormati, tentu saya akan menggunakan faham Indonesia. Sudut pandang yang dimaksud tadi sosiologis itu adalah mungkin juga hampir sama itu sudut pandang yang berbeda karena memang masyarakat yang memandang juga berbeda. Kalau tadi disetir dari Pemohon persoalan Sumatera Utara kemarin DPRD itu, ketepatan saya bersumber dari sana, dan persoalannya adalah bagaimana provinsi itu dimekarkan, itu kan dinamika yang berdampak negatif. Jadi sebetulnya sumbernya adalah bagaimana sosiologi Indonesia ini dalam perspektif ke-Indonesiaan ini terakomodir dan terjamin oleh konstitusi ini dan ada Mahkamah Konstitusi yang mengawal itu. Sehingga inkonsistensi itu semakin terhindar, minimal di kalangan hakim Mahkamah Konstitusi. Ini pandangan saya, jadi pemerintahan itu memang harus konstitusional, berganti-ganti konsistensinya, itu hal yang wajar dan memang harus begitu pemerintahan itu karena dipimpin oleh partai yang berbeda-beda, latar belakang yang berbeda. Tapi kalau faham konstitusi kita menurut saya harus konsisten dia. Dan inilah yang menurut saya yang dimaksud dengan pandangan sosiologis yang saya maksud tadi. Sehingga itu sebabnya saya yakin bahwa prediksi yang dikemukakan oleh pemerintah tadi apakah bisa diprediksi, dan ahli pun mengatakan sulit diprediksi. Tapi kalau sosiologi Indonesia mengatakan khusus orang Batak misalnya di Sumatera sana, kalau disuruh kumpul, disuruh makan itu semua, duduk bersama-sama, itu selesai persoalan, tidak dibawa ke pengadilan itu. Ini paham sosiologinya. Kalau masuk dalam ranah konstitusi seperti ini, ranah undang-undang, inilah yang saya maksud satu-satunya lembaga negara yang bisa konsisten adalah hanya Mahkamah Konstitusi, tidak mungkin DPR, tidak mungkin juga
30
pemerintah, dan mustahil itu terjadi. Itu pandangan saya, Majelis Yang Mulia, terima kasih. 64.
KETUA : Prof. Dr. MOH. MAHFUD MD, S.H. Pak Zudan, berbagi lima menit-lima menit, ya.
65.
AHLI DARI PEMERINTAH : ZUDAN ARIF FAKRULLOH Terima kasih, Yang Mulia. Saya ingin mengelaborasi dari Prof. Mahfud, Pak Maru, dan Prof. Mukthie Fadjar. Pertama bagaimana kita harus mengambil tolak ukur yang masuk akal secara konstitusional dan menjawab Prof. Mahfud. Saya harus memilih yang mana? Ketika dua pandangan secara sosiologis itu berhadapan secara diametra. Pertama, saya ingin melihat dulu yang mana yang paling efektif dalam penyelenggaraan pemerintahan. Efektifitas pemerintahan, yang mana? Pilihan yang ke dua adalah lebih mewujudkan legal order, ketertiban hukum. Kemudian yang ke tiga, yang mana yang lebih bisa mewujudkan legal continuity, keberlanjutan hukum? Dan yang ke empat, secara praktikal harus lebih effisien. Ini empat tolak ukur yang saya gunakan untuk menjawab Prof. Mahfud dan Pak Maru. Dalam rangka rasionalitas itu, konstitusi juga harus bisa, kemudian dijabarkan ke dalam desain pemerintahan. Ini terkait dengan Prof. Mukthie Fadjar. Memang betul desain pembangunan politik kita itu belum utuh, tetapi bibit-bibit desain di Pasal 4, Pasal 6, dan Pasal 22 itu sudah bisa diletakkan bangunan ke arah itu. Terutama bagaimana kita menyusun sistem presidensil dan penyelenggaraan pemerintahan yang efektif. Saya berpikiran seperti ini, pikiran saya sederhana, bahwa seorang presiden di dalam melaksanakan tugas-tugasnya harus didukung oleh parlemen yang efektif walaupun harus tetap berjalan yang namanya check and balance. Seorang presiden tidak mungkin tidak mempunyai kaki-kaki di parlemen. Karena untuk menyuarakan kepentingan presiden, ide dan visi presiden harus didukung dengan penyusunan kebijakan yang ada di parlemen. Oleh karena itu, presiden harus didukung oleh parlemen dan sistem multipartai ini diharapkan ke depan, itu bisa mengarah dengan parliamentary threshold. Namun demikian, ini juga tidak compactible, saya setuju dengan Prof. Mukhtie bahwa Undng-Undang Parpol begitu mudah karena terjadi perubahan-perubahan mendasar dari konsep yang disiapkan oleh pemerintah dengan pembahasan yang ada di DPR. Namun demikian ada harapan besar, setelah empat paket undangundang bidang politik ini selesai, maka tidak ada lagi ritual lima tahunan untuk setiap saat melakukan perubahan-perubahan secara mendasar itu. Kemudian yang dilakukan perubahan semestinya hanyalah
31
perubahan-perubahan yang sifatnya gradual sebagai adjustment policy saja. Dengan demikian yang dikonstantasikan oleh Prof. Mukthie itu bisa dilaksanakan dengan konsep yang namanya legal continuity. Kemudian yang terakhir walaupun tadi Pak Akil menanyakan yang pertama. Apa sih bedanya DPRD Provinsi/Kabupaten Kota dengan DPR RI. Tentu saja ini diskursus teori ketatanegaraan yang panjang. Bahwa kedudukan pemerintah daerah itu tidak setara dengan pemerintah pusat. DPRD tentu saja tidak sama dengan DPR RI, baik hak-haknya, tugasnya maupun dalam rangka pengawasan penyelenggaraan pemerintahannya. Yang saya maksudkan adalah produk yang dibuat oleh DPR RI bersama presiden tidak bisa diperiksa oleh pemerintah yang lebih tinggi karena mereka adalah premus interparis dalam sebuah negara. Tapi produk yang dibuat oleh DPRD bersama presiden itu adalah bagian dari apa yang diotonomikan oleh pemerintah. Sesungguhnya keberadaan DPRD provinsi dan kabupaten kota dalam susunan pemerintahan kita itu tindakan lebih lanjut dari Pasal 4 ayat (1). Karena apa? Produk-produk yang dibuat oleh DPR itu adalah penyelenggaraan lebih lanjut dari urusan otonomi daerah dan tugas pembantuan. Sebagaimana kita ketahui bahwa yang diotonomikan adalah tugas-tugas pemerintahan. Maka DPRD itu bukan kakinya DPR RI. Sesungguhnya dalam konsep ketatanegaraan kita DPRD justru kakinya presiden karena melaksanakan urusan lebih lanjut dari Pasal 4 ayat (1) itu. Karena yang diotonomikan adalah tugas-tugas pemerintahan. Memang tadi pertanyaannya apakah pararel antara parliamentary threshold dengan pemerintahan yang efektif? Kalau ini dilakukan dalam konsep legal continuity, dengan komitmen yang tinggi, asal jangan nanti tahun ke tiga atau tahun 2012 konsep ini diganti lagi, ya ini tidak akan efektif. Demikian Yang Mulia, terima kasih. 66.
KETUA : Prof. Dr. MOH. MAHFUD MD, S.H. Prof. Lili.
67.
AHLI DARI PEMERINTAH : Dr. LILI ROMLI Terima kasih, Yang Mulia. Saya tidak secara khusus akan menjawab satu persatu tapi secara umum, berangkat dari pertanyaan Prof. Mukthie tentang desain sistem politik kita. Ya, memang kita harus akui kuncinya di Konstitusi UndangUndang Dasar 1945 memang (suara tidak terdengar jelas) yang lain, desain sistem kita sebenarnya kan Presidensialisme tetapi kemudian di dalam pasal-pasal Konstitusi juga banyak yang tidak mendukung kepada sistem Presidensialisme itu. yang ke dua adalah seharusnya ketika desain kita, sistem Presidensialisme itu juga harus didukung oleh sistem kepartaian kita yaitu di Undang-Undang Partai Politik. Apakah Undang-Undang Partai
32
politik akan mendukung Presidensialisme itu? Kalau arahnya ke sana seharusnya bagaimana agar berdirinya partai-partai politik itu syaratnya ditingkatkan, diperketat gitu. Terus yang ke dua adalah desain sistem Pemilu. Nah, sistem Pemilu kita ya harus juga mengarah kepada sistem Presidensialisme. Nah, saya berkaitan dengan sistem Pemilu itu, saya mendukung PT 2,5% itu dalam rangka ke sana untuk memperkuat sistem Presidensialisme berdasarkan literatur-literatur yang saya baca tadi, kalau tadi menyimpang sedikit dengan pernyataan dari Pak Akil Muchtar tadi, mengatakan, “Kenapa tidak diterapkan electoral threshold?” Saya katakan, electoral threshold ternyata membuktikan dua kali Pemilu di Indonesia itu tidak berhasil meciptakan sistem kepartaian, sistem kepartaian itu, maaf tanya adalah konfigurasi kekuatan di parlemen itu. Di sana terlalu banyak. Saya berharap dengan PT 2,5% maka konfigurasi kekuatan partai politik parlemen relatif sedikit yang tidak menghambat individu-individu, kelompok-kelompok, golongan, untuk mendirikan partai politik. Dia bebas mendirikan partai politik kalau oke malahan dia bisa membubarkan partai politik yang tidak lolos etik untuk Pemilu berikutnya. Yang ke tiga juga, sistem keterwakilan parlemen juga harus mengarah ke sistem Presidensil yang kita lihat mungkin Prof. Mahfud tahu yang di parlemen, bagaimana sistem keterwakilan kita di parlemen? Apakah sudah mendukung sistem Presidensialisme atau belum. Saya berpendapat itu belum mendukung sistem Presidensialisme. Nah, dari sini mudah-mudahan keputusan Mahkamah Konstitusi ini memberikan juga masukan bagaimana mendesain sistem Presidensialisme yang kuat tersebut, demikian, terima kasih. 68.
KETUA : Prof. Dr. MOH. MAHFUD MD, S.H. Persis jam 12.00 ini sesuai dengan jadwal yang berlaku di Mahkamah Konstitusi, jam 12.00 itu sidang ditutup. Kalau memang perlu disambung, disambung jam 14.00 tapi rupanya ini sudah cukup. Saudara, karena ini sebenarnya sidang tambahan dari yang dulu sudah hampir selesai tapi Pemohon mau mengajukan ahli sehingga hari ini dibuka. Maka kami berkesimpulan pemeriksaan sudah cukup dan kami merencanakan antara tanggal 18 sampai paling lama tanggal 25, kita sudah akan mengucapkan Putusan. Oleh sebab itu, selambat-lambatnya hari Senin yang akan datang, hari Senin tanggal 9 yang akan datang, jam 12 siang. Pihak Pemohon dan Pemerintah, DPR, dapat menyampaikan kesimpulan kepada kami sehingga kami bisa mengolahnya efektif ya, sesuai waktu karena seperti Saudara sering baca di koran, koran itu banyak mengeritik Mahkamah Konstitusi kenapa baru buat putusan sekarang? Ini sudah jalan, lah orang gugatannya baru masuk, masak diputus? kalau nggak ada
33
gugatan kan gitu. Bahkan kesimpulannya baru masuk dua hari sebelum vonis kadang kala. Seperti soal Parpol dulu yang tidak boleh ikut Pemilu itu diputus tanggal 10, kesimpulannya baru masuk tanggal 8, itu sudah super cepat. Nah, oleh sebab itu ditunggu hari Senin kesimpulannya, dan mudah-mudahan putusan ini nanti bisa tidak mengganggu jalannya Pemilu, jadwal Pemilu yang sudah direncanakan. Nah, saya kira demikian, terima kasih dengan demikian sidang dinyatakan selesai. 69.
PEMERINTAH : DENNY INDRAYANA (STAF KHUSUS PRESIDEN) Ketua?
70.
KETUA : Prof. Dr. MOH. MAHFUD MD, S.H. Siapa? Silakan.
71.
PEMERINTAH : DENNY INDRAYANA (STAF KHUSUS PRESIDEN) Mungkin biasanya ada semacam kesimpulan awal, sebentar saja, ketua, dari masing-masing pihak, kalau diizinkan.
72.
KETUA : Prof. Dr. MOH. MAHFUD MD, S.H. Boleh diizinkan. Silakan, dari pemohon bisa menyampaikan kesimpulan, 2 menit, sana juga, dua menit.
73.
KUASA HUKUM PEMOHON : NUR HARIANDI, S.H. Kami pikir sudah cukup, Yang Mulia.
74.
KETUA : Prof. Dr. MOH. MAHFUD MD, S.H. Silakan, Pemerintah.
75.
PEMERINTAH : DENNY INDRAYANA (STAF KHUSUS PRESIDEN) Terima kasih Ketua, kalau diizinkan, kami ingin memulai kesimpulan ini dari apa yang ditanyakan Ketua Majelis tadi. Kalau memang ada yang berbeda, bagaimana? Jawaban Pemerintah sederhana, yang mana yang paling Konstitusional? Mengukur konstitusionalitas kalau dilihat dari putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dilakukan, dipaparkan, dalam jawaban Pemerintah sidang yang lalu, ada empat. Pertama, apakah memang ada delegasi dari undang-undang? Dan menurut Pemerintah ada dalam Pasal 22 ayat (6).
34
Ke dua, memang dimungkinkan berdasarkan Pasal 28J. Yang ke tiga, putusan Mahkamah Konstitusi juga memungkinkan legal policy. Yang ke empat, tidak diskriminatif. Tentang legal policy ini memang tadi berkembang, ada pertanyaan kenapa berubah dari electoral threshold ke parliamentary threshold tentu saja perubahan-perubahan sistem demikian sejauh mungkin di hindari tapi pertanyaan forum ini saya pikir, atau kami pikir, Apakah Konstitusional atau tidak? Bahkan kalau sistem Pemilunya diubah dari proposional ke distrik pertanyaannya apakah Konstitusional atau tidak? Nah, jawaban-jawaban yang tadi dipaparkan singkatnya adalah ingin mengatakan memang ini pilihan-pilihan yang Konstitusional, setelah melakukan electoral threshold ternyata tidak efektif, misalnya tidak ada penggabungan kalaupun ada penggabungan, lebih banyak pengantian nama. Pernah ada rencana dari partai Bulan Bintang menjadi partai Bintang Bulan misalnya. Jadi itu model-model yang terjadi dengan sistem electoral threshold. Parliamentary threshold diyakini dalam perdebatanperdebatan akan mengurangi fragmentasi partai di DPR. Tentu peserta Pemilunya mungkin banyak tetapi kalau kemudian kursi di DPR menjadi makin sulit, sesuai yang disampaikan ahli kami tadi, biayanya menjadi lebih mahal, kalau tidak dapat kursi di DPR diharapkan kecenderungan untuk membuat partai akan makin berkurang. Jadi kalau makin sulit harga kursi di DPR itu memang diharapkan kemudian intention, niatan untuk membuat partai itu menjadi tidak makin tinggi. Berkaitan dengan kenapa hanya ditingkat nasional, ada bebepara argumentasi yang mungkin bisa dipaparkan pada kesempatan ini, pertama memang tetap dihormati sesedikit mungkin terjadi suara yang hangus. Dan suara yang hangus itu kemudian kalaupun di tingkat nasional tidak bisa masuk sebisa mungkin tetap ada di level-level lokal. Yang ke dua, kalau di tingkat lokal, local contain aspirasi lokal itu dihormati. Jadi, seandainya memang dia dapat suara besar di provinsi tertentu, bisa jadi dia memang adalah aspirasi di wilayah itu yang kemudian diadopsi dengan tidak mengangkat di tingkat level lokal tapi di tingkat level nasional saja. Yang penting memang level nasional ini yang lebih mewarnai aspirasi nasional sehingga yang muncul bukan local-local contain tetapi adalah perwakilan partai politik karena desain kita, daerah diwakili oleh DPD. Dan tentang threshold ini sebagai penutup, memang kemudian desainnya seberubah apapun desainnya di semua hampir undangundang kepemiluan kita undang-undang kepolitikan kita digunakan. Ditingkat partai politik ada political partij threshold 50% pengurus, 50% kantor di setiap provinsi misalnya, di tingkat undang-undang Pilpres ada presidential threshold juga mempunya argumentasi yang relatif sama. Di tingkat undang-undang pemilu ada parliamentary threshold. Di tingkat
35
undang-undang Pemda misalnya untuk calon kepala daerah juga ada batas dukungan 15% partai politik atau gabungan partai politik. Semuanya ambang batas ini adalah upaya sebenarnya untuk menciptakan, di samping demokrasi tapi juga kompetisi yang regulated, yang teregulasi. Dan akhirnya yang perlu dijawab forum ini adalah atau Majelis yang terhormat adalah Konstitusionalitasnya, Pemerintah dengan argumentasi-argumentasi yang sudah dipaparkan sebelumnya dan keterangan-keterangan ahli yang hari ini kami coba kemukakan, dihadirkan, pada prinsipnya tetap pada kesimpulan parliamentary threshold sebagai salah satu desain Konstitusi kita policy kebijakan itu tetap Konstitusional, terima kasih. 76.
KETUA : Prof. Dr. MOH. MAHFUD MD, S.H. Baik, kalau begitu sidang. Itu ditulis nanti ya? Nanti ditulis di kesimpulan, lalu di sana juga menulis kesimpulannya sendiri. Kami tunggu hari Senin, 9 Februari 2009, jam 12.00 WIB. Sidang dinyatakan selesai dan ditutup.
KETUK PALU 3 X SIDANG DITUTUP PUKUL 12.10 WIB
36