c 1115
PERMAINAN ANAK-ANAK D A E R A H ISTIMEWA A C E H
DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN K E B U D A Y A A N
Milik Depdikbud Tidak diperdagangkan
PERMAINAN ANAK-ANAK D A E R A H ISTIMEWA A C E H
DEPARTEMEN PENDIDIKAN D A N K E B U D A Y A A N P R O Y E K INVENTARISASI D A N D O K U M E N T A S I KEBUDAYAAN DAERAH J A K A R T A 1985
PENGANTAR Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan telah menghasilkan beberapa macam naskah kebudayaan daerah diantaranya ialah naskah Permainan anak-anak Daerah Istimewa Aceh Tahun 1981/1982. Kami menyadari bahwa naskah ini belumlah merupakan suatu hasil peneütian yang mendalam, tetapi baru pada tahap pencatatan, yang diharapkan dapat disempurnakan pada waktu-waktu selanjutnya. Berhasilnya usaha ini berkat kerjasama yang baik antara Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional dengan Pimpinan dan Staf Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, Pemerintah Daerah, Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Perguruan Tinggi, Leknas/LIPI dan tenaga akhli perorangan di daerah. Oleh karena itu dengan selesainya naskah ini, maka kepada semua pihak yang tersebut diatas kami menyampaikan penghargaan dan terima kasih. Demikian pula kepada tim penulis naskah ini di daerah yang terdiri dari Drs. Zainudin.Drs. Zakaria A , M . Saüm Wahab, Drs. Nasrudin Sulaiman, Drs. T. Alamsyah, Drs. Rusdi Sufi dan tim penyempurna naskah di pusat yang terdiri dari Dr. S.Budisantoso,Drs. H.Ahmad Yunus, Dra. Tatiek Kartikasari. Harapan kami, terbitan ini ada manfaatnya. Jakarta, Pebruari 1985 Pemimpin Proyek,
Drs. H . Ahmad Yunus NIP.130146112
iii
SAMBUTAN DIREKTUR JENDERAL KEBUDAYAAN DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dalam tahun tahun anggaran ,1981/1982 telah berhasil menyusun naskah Permainan Anak-anak Daerah Istimewa Aceh. Selesainya naskah ini disebabkan adanya kerjasama yang baik dari semua pihak di pusat maupun di daerah, terutama dari pihak Perguruan Tinggi, Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pemerintah Daerah serta Lembaga Pemerintah/Swasta yang ada hubungannya. Naskah ini adalah suatu usaha permulaan dan masih merupakan tahap pencatatan, yang dapat disempurnakan pada waktu yang akan datang. Usaha menggali, menyelamatkan, memelihara serta mengembangkan warisan budaya bangsa seperti yang disusun dalam naskah ini masih dirasakan sangat kurang, terutama dalam penerbitan. Oleh karena itu saya mengharapkan bahwa dengan terbitan naskah ini akan merupakan sarana penelitian dan kepustakaan yang tidak sedikit artinya bagi kepentingan pembangunan bangsa dan negara khususnya pembangunan kebudayaan. Akhirnya saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu suksesnya proyek pembangunan ini. Jakarta, Pebruari 1985. Direktur Jenderal Kebudayaan,
Prof. Dr. Haryati Soebadio NIP. 130 1 19 123.
v
DAFTAR ISI Halaman Kata Pengantar
iii
Sambutan
v
Daftar Isi
vü
Pendahuluan 1. Kapai-Kapai Inggreh
1 8
2. Makah-makah
13
3. P e p i l o
17
4. Kekuriken
21
5. Asak-asakan
25
6. Kis-kisen
31
7. Jangut Ngkurik
35
8. Meu Geunteut-Geunteut
39
9. Ghieng-Ghieng Asee
43
10. Meu Een Aceue
47
11. Meu Creek
52
12. Meu Som-som Aneuk
59
13. PehKayee
66
14. Meu Som-som Talo
75
15. Meuen Geuti
80
16. Mesen-mesen
88
17. Meupet-pet Nyet
93
18. Meuen K o m
98
19. Meu Een Kandang
105
vii
PEN D A H U L U AN Tujuan Penelitian. Seperti telah diutarakan pada b u k u Permainan Rakyat Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh tahun 1980/1981 bahwa permainan rakyat yang merupakan salah satu unsur kebudayaan telah turut memberikan peranan dalam pembinaan hidup sesuatu bangsa. Dalam sejarah umat manusia tertulis bahwa setiap bangsa mempunyai corak kebudayaan yang khas. Demikian pula halnya dengn kehidupan kebudayaan bangsa Indonesia yang beraneka ragam karena kebudayaan nasional Indonesia berasal dari kebudayaan daerah. Dari sekian banyak kebudayaan yang bersifat khas daerah, terdapatlah kebudayaan yang berasal dari Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Propinsi Daerah Istimewa A c e h m e m p u n y a i unsur-unsur kebudayaan yang khas, d i antaranya permainan anak-anak. Permainan yang terdapat d i daerah i n i merupakan khasanah budaya yang telah mereka terima dari generasi sebelumnya. H a l i n i merupakan salah satu sarana sosialisasi dari anggota masyarakat yang menjadi pendukungnya. Karena itu, permainan anak-anak mempunyai arti dan kebudayaan tersendiri di dalam masyarakat. Bertitik tolak dari konsepsi yang telah disebutkan i t u , maka inventarisasi permainan anak-anak mempunyai tujuan yang bersifat umum dan khusus. Tujuan u m u m dapat dikatakan sebagai langkah permulaan untuk mendapatkan sebanyak mungkin informasi yang berhubungan dengan permainan anak-anak d i daerah A c e h . Informasi ini akan memberikan bahan bagi pihak-pihak yang membutuhkan dalam penyusunan baik instansi pemerintah maupun lembaga kemasyarakatan lain yang memerlukannya. Tujuan khusus akan berguna sebagai bahan dokumentasi dalam rangka kegiatan penelitian kebudayaan d i daerah i n i sécara menyeluruh. Dalam menyusun laporan inventarisasi dan pencatatan permainan i n i , data yang disajikan tentu saja belum sempurna. Karena i t u , hasil d.ari inventarisasi dan pencatatan i n i diharapkan akan menjadi bahan rangsangan bagi obyek penelitian selanjutnya. Seperti telah dibicarakan d i atas bahwa permainan anak-anak daerah yang terdapat d i Daerah Istimewa A c e h adalah sebagai salah satu unsur kebudayaan nasional yang dapat memberikan andil dalam mem u p u k kebudayaan nasional d i kalangan generasi penerus. Dari tinjauan i n i pula inventarisasi dan pencatatan i n i mutlak diperlukan. 1
Kalau tidak dilaksanakan atau ditunda pelaksanaannya, tentu generasi muda Indonesia pada u m u m n y a dan A c e h pada khususnya tidak dapat mengetahui nilai yang terkandung d i dalamnya. Dikhawatirkan permainan anak-anak yang bersifat khas daerah dan tradisional, oleh desakan, akan punah. D i sinilah letak urgensinya inventarisasi dan pencatatan i n i . Dengan pencatatan i n i , diharapkan generasi muda yang akan datang dapat mengetahui bagaimana generasi yang lalu mengembangkan permainan yang khas. Melalui permainan i n i dapat dikembangkan dan dibina nilai-nilai luhur yang terkandung d i dalamnya sebagai unsur budaya mereka.
Masalah. Permainan anak-anak sebagai salah satu unsur kebudayaan akan tetap ada d i dalam masyarakat. Dalam perkembangannya sering terjadi perubahan, adakalanya akan lebih berkembang atau j u ga mengalami merosotan bahkan sampai kepada kepunahan. N a m u n , akan tetap menjadi unsur budaya yang dihayati dari masa ke masa, terutama nilai-nilai luhur yang terkandung d i dalamnya. Melalui nilai-nilai luhur yang terdapat d i dalamnya, dapat diarahkan menuju kesatuan bangsa yang lebih utuh. Dalam usaha memupuk serta memperdalam persatuan dan kesatuan bangsa, peranan budaya masyarakat di daerah memegang peranan penting. Penelitian yang mendalam tentang hal-hal yang menyangkut dengan Permainan Anak-anak Propinsi Daerah Istimewa A c e h mutlak diperlukan. Hal i n i sangat berguna sebagai bahan perbandingan yang lebih luas dengan jenis-jenis permainan yang terdapat di daerah lain dalam Wilayah Indonesia. Melalui masyarakat A c e h melalui kebudayaan termasuk permainan anak-anak d i dalamnya, akan tampak adanya perbedaan-perbedaan dari masing-masing lingkungan yang m e m p u n y a i adat istiadat dan kebiasaan hidup yang berbeda. Wilayah Propinsi Daerah Istimewa A c e h mempunyai tujuh daerah adat, yaitu adat istiadat A c e h , adat istiadat A n e u k Jamee d i Kabupaten A c e h Selatan, adat istiadat Tamiang d i Kabupaten A c e h T i m u r , adat istiadat G a y o di Kabupaten A c e h Tengah dan Tenggara, adat istiadat Simeulu d i Kabupaten A c e h Barat, dan adat istiadat K l u e t d i Kabupaten A c e h Selatan. Masing-masing wilayah adat i n i terdapat pelbagai jenis permainan yang berbeda, d i samping permainan yang universal berlaku d i seluruh Daerah A c e h . 2
Inventarisasi dan pencatatan ini telah dipilih permainan anakanak yang dapat mewakili masing-masing daerah adat. Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan bahwa permainan anak-anak yang terdapat di Daerah Aceh, lebih banyak merupakan atau bersifat rekreatif, juga berfungsi memberikan hiburan segar kepada masyarakat pada waktu tertentu. Selain itu, masih dijumpai pula jenis-jenis permainan yang bersifat kompetatif, termasuk jenis permainan kecerdasan (Games of Strategy), walaupun jumlahnya lebih kecil dibandingkan jenis pertama. Mengingat perkembangannya dewasa ini bahwa di antara beberapa jenis permainan di daerah ini telah agak merosot bahkan hampir punah. Hal ini karena tidak digemari lagi oleh para pemiliknya, bahkan ada yang tidak merasa lagi bahwa permainan ini adalah milik mereka, atau karena desakan jenis-jenis permainan yang diperkenalkan kemudian. Tidak dapat disangkal lagi, apabila tidak dilakukan usaha-usaha untuk penyelamatannya, dalam waktu yang tidak lama di antara jenis-jenis permainan akan sirna dari peredarannya. Berdasarkan pokok-pokok masalahyang telah dikemukakan di atas, maka perlu adanya inventarisasi dan pencatatan permainan anak-anak daerah di Daerah Istimewa Aceh secara lebih luas. Dengan demikian diharapkan adanya pengertian yang lebih luas tentang permainan rakyat di daerah ini, baik yang berfungsi sebagai hiburan di waktu senggang maupun sebagai sarana sosialisasi bagi generasi muda dan tua. Ruang Lingkup. Permainan anak-anak daerah yang menjadi obyek inventarisasi dan pencatatan serta penulisan ini adalah permainan rakyat yang terdapat di dalam wilayah administratif yang sekarang disebut Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Permainan yang diambil adalah permainan tradisional asli. Permainan yang berasal dari daerah lain tidak dimasukkan. Propinsi Daerah Istimewa Aceh secara struktur pemerintahan terbagi atas dua Kotamadya dan delapan Kabupaten, yaitu Kotamadya Banda Aceh, Kotamadya Sabang yang terletak di pulau Weh, Kabupaten Aceh Besar, Pidie, Aceh Timur, Aceh Utara, Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Aceh Barat, dan Aceh Selatan. Dari kesepuluh daerah yang berstatus tingkat II ini, jika dilihat secara daerah adat akan terdapat tujuh daerah adat seperti telah disebutkan terdahulu. Ketujuh daerah adat ini masing-masing mempunyai bahasa dan dialek tersendiri yang dipergunakan sebagai alat komunikasi warga masya3
rakatnya. Namun, harus diingat bahwa antara daerah-daerah adat ini saling mempengaruhi, kadang-kadang banyak terdapat persamaan di antaranya seperti adat istiadat Gayo dengan Alas. Terjadinya perbedaan di antara adat istiadat ini disebabkan oleh faktor kondisi dan latar belakang sejarahnya. Dari kesepuluh daerah tingkat II dan atau ketujuh daerah adat seperti yang telah disebutkan telah diusahakan untuk mengambil permainan anak-anak yang dapat mewakili masing-masing daerah. Selanjutnya dalam inventarisasi dan pencatatan ini telah meneliti semua jenis permainan anak-anak yang terdapat di daerah ini. Dari hasil inventarisasi menunjukkan terdapatnya jenis-jenis permainan anak-anak yang berfungsi sebagai hiburan pada waktu senggang atau sebagai sarana sosialisasi. Melihat dari jenis dan bentuk permainan yang terdapat di Daerah Istimewa Aceh, terdapat pelbagai jenis latar belakang sosial yang menjadi pendukungnya. Hal ini erat hubungannya antara lingkungan sosial masyarakat dengan permainan itu karena ada jenis permainan yang hanya didukung oleh satu lapisan masyarakat, dan sebaliknya ada permainan yang didukung oleh seluruh lapisan masyarakat. Sesuai dengan perkembangan sejarahnya, masyarakat Aceh sejak dahulu sampai sekarang yang bermata-pencahariannya bertani, dengan sendirinya permainan-permainan yang terdapat selalu didukung oleh lapisan sosial ini. Dalam inventarisasi ini selain jenis-jenis permainan anak-anak daerah, juga keharusan adanya pendiskripsian guna memberikan suatu gambaran secara keseluruhan. Deskripsi tiap jenis permainan yang diambil meliputi : a. b. c. d. e. f. g. h. i.
Nama Permainan Waktu Pelaksanaan Latar Belakang Sosial Budaya Pelaku Permainan Latar Belakang Sejarah Perkembangan Permainan Pemain/Pelaku Iringan Permainan Jalan Permainan Peranan Masa Kini Tanggapan Masyarakat.
Urutan ini dipergunakan sebagai sistimatik penyusunan setiap naskah permainan. 4
Pertanggungjawaban Ilmiah Prosedur Inventarisasi. Inventarisasi dan pencatatan permainan rakyat Daerah Istimewa dilakukan oleh tim peneliti yang bertanggung jawab kepada Pimpinan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Dalam melakukan inventarisasi ini tim terdiri atas para petugas Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh dan Unsyiah Darusalam Banda Aceh. Mereka berasal dari pelbagai latar belakang disiplin ilmu seperti olahraga, sejarah, dan antropologi. Sebelum mengadakan penelitian, anggota tim mendiskusikan materi-materi yang menjadi obyek penelitian. Atas hasil diskusi ini barulah ditetapkan langkah-langkah penelitian sampai penyusunan laporan. Dalam melakukan penelitian ini digunakan beberapa metode untuk memperoleh data atau informasi yang diperlukan. Salah satu metode adalah metode kepustakaan sebelum para peneliti terjun ke lapangan. Pengumpulan bahan melalui kepustakaan sangat berguna bagi peneliti untuk menghindari terjadinya duplikasi dalam penulisan. Di samping itu, berguna untuk memahami wilayah penelitian secara menyeluruh, baik meliputi lingkungan masyarakat termasuk adat istiadat, bahasa yang digunakan, geografis maupun sejarah. Dalam rangka studi lapangan tim peneliti telah menjelajahi daerah guna memperoleh informasi yang diperlukan. Untuk ini telah digunakan teknik pengumpulan data melalui observasi dan waancara, serta telah melakukan pendokumentasian melalui fotofoto yang berkenaan dengan jalannya permainan dan alat-alat permainan yang dipakai. Wawancara semata-mata dilakukan dengan informan-informan yang dianggap lebih mengetahui dan mendalami atau setidak-tidaknya pernah menjadi pelaku dari permainan tersebut pada masa mudanya. Setelah tahap pertama selesai (studi kepustakaan dan studi lapangan) baru mulai dengan tahap kedua. Pada tahap ini para peneliti mendiskusikan data-data yang diperoleh di lapangan sebelum penulisan draft pertama. Melalui diskusi ini diharapkan para peneliti yang akan menulis naskah permainan akan memperoleh data tambahan untuk kelengkapan tuüsan. Tahap ketiga yang dikerjakan anggota tim adalah menulis draft pertama. Pada langkah ini tiap anggota tim berpedoman pada Pola 5
Penelitian, Kerangka Laporan, dan Petunjuk Pelaksanaan yang dikeluarkan oleh Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. Di samping itu, anggota tim dalam menulis draft pertama memperhatikan pula saran-saran yang diketengahkan melalui diskusi hasil penelitian lapangan. Pekerjaan yang juga dilakukan dalam tahap ketiga ini, menilai kembali hasil tulisan draft pertama melalui diskusi pula. Pada diskusi ini lebih diarahkan untuk memperbaiki tulisan-, tulisan yang dihasilkan oleh anggota tim atau sebagai langkah rechecking terhadap data-data yang mungkin terlupakan. Dalam mendiskripsikan setiap permainan sebagai bentuk naskah laporan terakhir, telah disesuaikan dengan apa yang terdapat pada Pola Penelitian, Kerangka Laporan, dan Pedoman Pelaksanaan yang telah dikeluarkan oleh Proyek Inventarisasi Sejarah dan Budaya, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1980/1981. Bentuk laporan terakhir adalah sebagai berikut : Nama Permainan. Berdasarkan pada penyebutan setempat.
masyarakat
Waktu Pelaksanaan. Menjelaskan bila permainan itu dilaksanakan serta menjelaskan hubungan setiap permainan dengan peristiwaperistiwa tertentu lainnya. Latar Belakang Sosial Budaya Permainan. Menjelaskan latar belakang sosial masyarakat yang menjadi pendukung inti setiap permainan. Latar Belakang Sejarah Perkembangan. Menguraikan tentang sejarah lahir dan perkembangan setiap permainan berdasarkan informasi yang dikumpulkan. Pemain/Pelaku. Diskripsi pemain meliputi jumlah pemain, usia, latar belakang sosial serta jenis kelaminnya. Peralatan/Perlengkapan. Penjelasan tentang alat-alat yang dipergunakan sebagai pealatan atau perlengkapan permainan, sehimjga permainan itu dapat terselenggara. Iringan Permainan. Menjelaskan apakah setiap permainan diiringi oleh alat-alat musik atau tidak. Jalannya Permainan. Bagian ini menguraikan jalannya permainan sejak persiapan, aturan permainan, sampai permainan itu berakhir. 6
Peranannya Masa Kini. Menjelaskan bagaimana kedudukan suatu permainan dalam kondisi sekarang. Tanggapan Masyarakat. Sebagai penutup dari deskripsi setiap permainan diutarakan tanggapan masyrakat pada masa lampau dan masa kini. Tim peneliti sekaligus sebagai penulis telah berusaha semaksimal mungkin agar naskah ini dapat disusun sesempurna mungkin. Namun harus diakui, tidak semua jenis permainan yang disajikan dapat memberikan kepuasan, mungkin saja ada hal-hal yang belum dapat terungkap atau masih ada data yang belum tergarap secara keseluruhan.
7
1. KAP Al—KAP AI INGGREH Nama Permainan. Permainan ini dapat dijumpai di Daerah Istimewa Aceh, terutama pada kelompok etnis Aceh dan kelompok etnis Aneuk Jame yang berlokasi di bagian Kabupaten Aceh Selatan. Jadi, lokasi/tempat permainan ini dijumpai selain di bagian pesisir Aceh (pesisir Utara dan pesisir Timur) juga di pesisir bagian Barat (termasuk Kabupaten Aceh Selatan sekarang), yang masing-masing didiami se bagian kelompok etnis Aceh dan kelompok etnis Aneuk Jame. Dilihat dari segi nama, permainan ini menunjukkan keanehannya. Kapai-kapai Inggreh dalam bahasa Indonesia artinya Kapalkapal Inggris. Mengapa bernama demikian tim peneliti belum memperoleh suatu data yang kongkrit. Namun, dari suatu adegan yang terdapat dan merupakan adegan pokok yang harus ada dalam permainan ini untuk sementara dapat dianggap bahwa nama ini berasal dari nama yang diucapkan dalam adegan pokok tersebut. Adegan yang dimaksud adalah seperangkat tanya jawab antara para pemain. Adapun pertanyaan dan jawaban yang harus dilontarkan dalam permainan tersebut adalah sebagai berikut : Tanya : Peu kapai nyo? Jawab : Kapai Inggreh. Tanya : Pei ji peuding? Jawab : Ate tapeh. Pertanyaan dan jawaban tersebut di atas jika diartikan dalam bahasa Indonesia kira-kira sebagai berikut: Tanya : Kapai apa ini? Jawab : Kapai Inggris. Tanya : Apa muatannya? Jawab : Hati sabut kelapa. Jawaban yang diberikan pada pertanyaan pertama tersebut katakata kapai Inggreh (kapai Inggris). Jadi, mungkin dari nama inilah yang menjadi dasar nama permainan ini, yaitu Kapai-kapai Inggreh (Kapal-kapal Inggris). Waktu Pelaksanaan. Umumnya permainan ini dilakukan pada malam hari pada saat bulan purnama, antara pukul 9 sampai pukul 10 malam, bahkan pada saat-saat tertentu atau pada malam-malam libur (malam Minggu atau malam hari besar lainnya) dilakukan hingga pukul 11 malam. Bila bulan puasa (Ramadhan) dilakukan tidak hanya pada saat bulan purnama, tetapi setiap malam antara pukul 9 sampai pukul 11 malam. 8
Biasanya jika bulan pumama serta cuaca tidak mendung, para orang tua si anak khususnya orang tua perempuan (Ibu) ke luar rumah untuk menumbuk padi, dilakukan baik di bawah rumah maupun di tempat-tempat lain yang khusus untuk itu di dekat rumah, bersama-sama para tetangga yang juga melakukan pekerjaan serupa. Pada saat inilah anak-anak (setelah mereka pada malam yang sama selesai mengaji di Meunasah atau di rumah-rumah Teungku tempat pengajian) gunakan untuk melakukan permainan ini, yaitu bermain Kapai-kapai Inggreh. Latar Belakang Sosial Budaya Pelaku Permainan. Sebagaimana halnya dengan permainan Meusom-som Talo, para pelaku permainan Kapai-kapai Inggreh umumnya anak para petani. Permainan ini untuk melatih pendengaran para pemainnya. Mereka harus dapat membedakan dan menentukan pelbagai suara termasuk suara orang. Karena itu, permainan ini selain bersifat rekreatif juga bersifat edukatif, yaitu melatih pendengaran. Seperti telah disebutkan bahwa permainan ini dilakukan pada malam hari, pada saat orang tua mereka (Ibu) melakukan pekerjaan menumbuk padi. Hal ini banyak membawa pengaruh bagi anak-anak yang melakukan permainan tersebut, yaitu mereka mengerti akan pekerjaan Ibu-ibu mereka. Latar Belakang Sejarah Perkembangan Permainan. Seperti telah disebutkan di atas, bahwa asal nama permainan ini tim peneliti belum menemukan data-data yang kongkrit, begitu pula dengan sejarah perkembangan permainan ini dari masa ke masa belum dapat dipastikan. Namun, menurut tradisi lisan, permainan ini sudah cukup lama dikenal dan cukup popuier dalam masyarakat Aceh, sehingga para orang tua di kampung-kampung umumnya masih dapat mengucapkan kata-kata tanya jawab dalam adegan permainan tersebut. Karena disebut-sebut nama Inggris, permainan ini dikenal di Aceh sejak rakyat Aceh berkenalan dengan bangsa Inggris. Kontak pertama antara Inggris dengan Aceh terjadi pada permulaan abad XVII dengan datangnya dua buah kapai Inggris ke Kerajaan Aceh pada tahun 1602. Pemain/Pelaku. Jumlah pemain untuk permainan ini berkisar antara 5 sampai 6 orang, dan umumnya berumur antara 8 sampai 12 tahun. Permainan dapat dilakukan baik oleh anak laki-laki maupun anak wanita, tetapi jarang terjadi percampuran antara anak-anak 9
laki dengan wanita. Seperti telah disebutkan di atas, u m u m n y a para pemain ini terdiri atas anak-anak petani, tetapi pada bulan puasa (Ramadan) anak-anak dari k e l o m p o k sosial lainnya, misalriya kelompok pedagang, pegawai, dan sebagainya ikut berrriain juga. Jadi, dilihat dari segi pelapisan sosial permainan ini tidak hanya dilakukan oleh anak-anak kelompok rakyat biasa saja, tetapi juga dilakukan oleh anak-anak bangsawan, terutama pada bulan puasa (Ramadan). Peralatan/Perlengkapan Permainan. Satu-satunya alat yang d i gunakan untuk permainan ini adalah kain sarung atau sejenisnya, yang besamya dapat menutupi tubuh salah seorang pemain bila berjongkok. Kain ini tidak tipis, tetapi tebal yang tidak tembus bila digunakan untuk melihat. Selain kain, tidak ada alat lainnya yang digunakan dalam permainan i n i . N a m u n , untuk tempat berlangsungnya permainan, masih diperlukan suatu tempat yang agak luas, biasanya berlangsung di depan-depan Meunasah atau di halamanhalaman rumah. Iringan Permainan. pun.
Permainan ini tidak diiringi oleh iringan apa-
Jalannya Permainan. Seperti telah disebutkan di atas, permainan terdiri atas 5 atau 6 orang. Setelah j u m l a h peserta (5 atau 6 orang), maka dicari suatu tempat atau tanah yang agak lapang atau berumput (yang sedikit bersih). Setelah semuanya berkumpul dan kain untuk dipakai sebagai penutup telah tersedia (biasanya kain dari salah seorang pemain yang dianggap memenuhi syarat), maka dilakukanlah pemilihan seorang juri d i antara mereka untuk menjadi wasit/juri atau sebagai pengamat/pengawas permainan. Selanjutnya melalui suatu undian yang disaksikan oleh juri (undian dengan tangan atau yang dikenal dengan nama ngasut), maka ditetapkan salah seorang di antara pemain untuk menebak siapa orang yang pertama ditutup dengan kain oleh wasit/juri. Si penebak pertama ini menyingkir dulu, kemudian setelah j u r i selesai menutup orang yang akan ditebak dengan kain, baru si penebak dipanggil. Orang yang ditebak (yang ditutup dengan kain) sikapnya setengah berjongkok. Si penebak yang ditebak tidak boleh mengajukan pertanyaan dan jawaban yang menyimpang dari yang telah ditetapkan. Pertanyaan tersebut adalah seperti yang telah dikemukakan di atas, yaitu menanyakan kepada orang yang jongkok: peu 10
kapai nyo? Jawab: kapai Inggreh, kemudian dilanjutkan bertanya peu j i peuding? Jawabnya ate tapeh. Adapun jawaban yang diberikan dengan suara yang kecil saja, sehingga susah ditebak siapa yang berada di bawah kain itu. Jika belum dapat ditebak atau belum jelas siapa orang itu dapat dilanjutkan dengan satu pertanyaan lagi, yaitu dengan menyuruh yang ditebak itu bersuara seperti suara ayam. Kata-kata untuk ini, yaitu cuba kuuk sigo? Artinya coba berkokok sekali? Kemudian yang ditebak bersuara seperti yjsuara ayam kekuruyuk. Dan jika belum juga dapat ditebak, makai jolen juri diizinkan memegang tempat-tempat tertentu, yaitu kuping, kepala, dan hidung. Setelah selesai, juri menanyakan siapa orang yang ditutup itu. Jika masih juga tidak diketahui, maka si penebak dianggap kalah. Dan permainan ini dilanjutkan dengan mengulangi undian seperti semula. Akan tetapi, jika tebakannya tepat, yang menebak keluar sebagai pemenang, dan yang kalah mendapat giliran untuk menebak. Peranan Masa Kini. Sebenarnya bagi anak-anak petani permainan ini sangat berguna, karena dengan permainan ini mereka mencoba melatih pendengaran mereka yang sangat diperlukan jika mereka berada di kebun-kebun atau ladang-ladang mereka, lebih-lebih untuk membedakan pelbagai jenis suara binatang yang ada dalam hutanhutan. Namun, akhir-akhir ini nampaknya permainan ini sudah jarang dilakukan, lebih-lebih dengan semakin banyaknya pesawat televisi masuk ke desa-desa. Anak-anak sekarang lebih senang menonton televisi daripada bermain di luar rumah seperti tersebut di atas, dan jika mereka tidak memiliki televisi sendiri mereka pergi ke rumah tetangga yang sudah memilikinya. Tanggapan Masyarakat. Masyarakat pun tampaknya menganggap permainan tersebut sekarang sudah tidak bermanfaat, lebih-lebih masyarakat yang dekat dengan daerah perkotaan. Dari wawancara dengan beberapa pemuka masyarakat pada beberapat desa di Aceh sehubungan dengan permainan ini, dapat diketahui bahwapermainan ini memang sudah dianggap tidak berguna lagi bagi anak-anak. Menurut mereka waktu yang digunakan untuk permainan itu akan lebih baik bila dipergunakan untuk belajar bagi anak-anak.
11
12
2.
MAKAH—MAKAH
Nama Permainan. Seperti kita ketahui, Mekah adalah sebuah kota mei bagi umat Islam. Setiap umat Islam yang sanggup atau mampu, wajib untuk menunaikan rukun Islam ke-5, yakni pergi ke Mekah, yang dikenal dengan nama Naik Haji. Karena itu, pergi ke Mekah sangat didambakan oleh setiap umat Islam di dunia. Sekarang kita hubungkan mengapa nama permainan ini disebut Makah-makah. Kalau dilihat dari segi nama, permainan ini jelas berasal dari nama Mekah (umumnya orang Aceh menyebutnya dengan nama Makah). Permainan ini dilakukan secara beregu. Permainan ini bersifat kompetitif karena masing-masing regu betul-betul berusaha untuk dapat keluar sebagai pemenang. Bagi regu yang paling cepat atau terlebih dahulu dapat mencapai tujuan disebut Makah, maka regu itulah yang keluar sebagai pemenang. Nama ini digunakan seolah-olah sasaran yang dicapai itu betul-betul penting atau sangat didambakan seperti keinginan umat Islam untuk dapat dengan cepat menunaikan ibadah Haji (menunaikan rukun Islam ke-5 ke Mekah). Permainan Makah-makah ini dapat dijumpai di seluruh kelompok etnis yang ada di Daerah Istimewa Aceh (kelompok etnis Aceh, kelompok etnis Gayo, kelompok etnis Alas, kelompok etnis Aneuk Jame, kelompok etnis Kluet, dan kelompok etnis Tamiyang). Waktu Pelaksanaan. Permainan ini dilakukan pada siang hari pada waktu senggang saat anak-anak telah pulang dari sekolah dan menunggu waktu makan siang, atau pada hari-hari libur. Permainan ini juga dilakukan di tanah-tanah lapang atau di halaman-halaman rumah karena permainan ini dilakukan secara beregu. Latar Belakang Sosial Budaya Pelaku Permainan. Seperti telah dijelaskan di atas bahwa permainan ini sangat bersifat kompetitif. Dalam permainan ini hendak digambarkan oleh "si pencipta permainan" bahwa betapa pentingnya orang untuk dapat mencapai cita-citanya. Karena itu, orang harus berusaha, baik secara perseorangan maupun secara bersama-sama agar apa yang diinginkannya dapat tercapai. Di sini juga hendak digambarkan bagaimana pentingnya pergi ke Mekah bagi umat Islam. Permainan ini dimainkan oleh anak-anak dari segala lapisan masyarakat, baik anak-anak rakyat biasa maupun anak-anak bangsawan. 13
Latar Belakang Sejarah Perkembangan Permainan. Bagaimana sejarah perkembangan permainan ini, tim peneliti belum memperoleh data-data yang kongkrit. Pemain/Pelaku. Jumlah pemain untuk permainan ini 6 atau 8 orang. Jika 6 peserta setiap regu adalah 3 orang dan jika 8 peserta setiap regu 3 atau 4 orang. Pemain ini adalah anak-anak yang berumur antara 9 - 1 3 tahun, dan dilakukan baik oleh anak laki-laki maupun anak perempuan. Seperti telah disebutkan di atas, permainan ini dilakukan oleh anak-anak dari segala golongan dan lapisan masyarakat. Peralatan/Perlengkapan Permainan. Permainan ini tidak memerlukan peralatan yang berarti, yang diperlukan hanya sebiji batu atau benda lainnya yang kecil untuk mudah disembunyikan dalam genggaman tangan yang diletakkan di bagian belakang punggung. Tempat yang diperlukan adalah tanah lapang sekitar 5 meter persegi. Iringan Permainan. Permainan ini tidak diiringi oleh apapun. Jalannya Permainan. Untuk permainan ini masing-masing regu 3 atau 4 orang dan seorang bertindak sebagai pimpinan regu. Kedua regu berdiri pada suatu garis secara berurut yang jaraknya antara regu yang satu dengan yang lainnya sekitar 2 meter. Semua regu menghadap ke titik sasaran yang dinamakan dengan sebutan Makah. Jadi, masing-masing regu berlomba untuk dapat terlebih dahulu sampai ke titik sasaran (Makah). Tugas kepala regu adalah mengawasi atau menempatkan batu pada salah seorang anggota regunya. Untuk ini ia membuat seolaholah semua anggota diberi batu untuk disembunyikan dalam kedua tangan yang ditempatkan di belakang. Sebenarnya yang diberikan batu adalah salah seorang di antara anggotanya. Selanjutnya setelah batu disembunyikan, maka tugas dari regu lain, dalam hal ini melalui kepala regu untuk menebak berada pada siapa batu disembunyikan. Kalau regu lawan tidak dapat menerka, maka peserta, tempat batu disembunyikan, maju selangkah ke depan. Demikian seterusnya permainan berlangsung, sehingga salah satu regu di antaranya dapat mencapai titik sasaran (Makah). Bagi regu yang terlebih dahulu sampai, keluar sebagai pemenang. 14
Peranan Masa Kini. Sampai kini permainan ini masih dilakukan, baik oleh anak-anak yang tinggal di desa-desa maupun di kota-kota. Di kota nama permainan ini berbeda, tetapi sistem permainan sama. Permainan ini, selain bersifat kompetitif juga bersifat rekrèatif bagi anak-anak. Tanggapan Masyarakat. Oleh karena permainan ini sangat bersifat kompetitif, yaitu saling berlomba untuk menang, juga mengandung unsur kelihaian menerka. Karena itu, sampai sekarang permainan ini mendapat tanggapan yang positif dari masyarakat.
15
16
3.
PEPILO
Nama Permainan. Pepilo adalah bahasa daerah Gayo yang berarti baling-baling dalam bahasa Indonesia. Baling-baling dibuat dari batang kayu dadap yang sudah kering atau dari bambu kering, atau dapat juga kulit buah dadap yang sudah kering. Yang dibuat dari batang dadap untuk anak-anak yang sudah besar, yang dari bambu untuk anak sedang, dan yang dari kulit buah dadap untuk anak kecil. Pepilo model pertama, panjang baling-balingnya kira-kira sedepa, lebarnya 5 jari; model kedua sedikit lebih pendek dari yang pertama, dan yang ketiga sepanjang buah itu sendiri (kira-kira sejengkal). Pembuatan pepilo dari kayu dadap harus orang yang benar-benar ahli, tidak seperti yang dibuat dari bambu; sedangkan yang dari kulit buah tidak begitu sukar. Bila angin kencang, beberapa anak kita lihat memegang pepilo masing-masing, serta berlarian ke arah datangnya angin. Arena tempat diadakannya permainan ini riuh rendah dengan sorakan anakanak karena pepilonya berpusing dengan kuat. Waktu Pelaksanaan. Permainan ini dilaksanakan bila lues blang artinya waktu bersawah telah usai (selesai pahën) dan anak-anak tidak mempunyai kegiatan/pekerjaan apa-apa, juga bila pohon dadap sedang berbuah. Dadap berbuah biasanya pada waktu selesai panen. Bila buah dadap sudah tua dengan sendirinya terjatuh dan kulitnya terbuka. Biasanya buah tadi diterbangkan angin agak jauh dari pohonnya. Kulit inilah yang dijadikan sebagai pepilo. Bila anak-anak telah mulai dengan pepilo dari kulit buah dadap, maka biasanya permainan ini bermunculan terus, serta anak-anak yang lebih besar dengan serta merta membuat pepilonya dari model pertama dan kedua seperti tersebut di atas karena mereka tidak puas hanya dengan kulit buah dadap saja. Latar Belakang Sosial Budaya Peserta Permainan. Permainan ini dapat diikuti oleh seluruh lapisan masyarakat dunia anak-anak. Keterlibatan mereka dalam permainan ini tidak ditentukan oleh kedudukan orang tua mereka di dalam masyarakat, tetapi berdasarkan partisipasi untuk memeriahkan «permainan. Asal ada kemauan dan tersedia alat bermain, sudah dianggap memenuhi persyaratan bermain. 17
Latar Belakang Sejarah Perkembangan Permainan. Menurut penuturan orang-orang tua, permainan i n i asli berasal dari daerah A c e h . Diciptakan oleh nenek moyang mereka mengingat keadaan yang memungkinkan, yaitu ada alat untuk dijadikan permainan, waktu, kreasi, dan inspirasi untuk membuatnya. Sejak mereka masih kecil permainan i n i telah ada, dan orang tua merekalah yang mengajarkan permainan i n i kepada mereka. Perlu kita ketahui bahwa menurut orang-orang tua, alat-alat, aturan permainan, serta sistem bermain anak-anak sekarang sama saja dengan mereka dahulu, dengan kata lain, hampir tidak berkembang sama sekali, sungguhpun digemari anak-anak. Pemain/Pelaku. Jumlah peserta tidak tentu dan tidak terbatas, dan anak-anak yang menggemari permainan ini berumur sekitar 5 tahun sampai 15 tahun. Hal ini memungkinkan karena aturan permainan tidak begitu ketat. Asal tidak mengenai anak-anak lain dan atau pepilo lain, sudah dianggap baik. Tentang pakaian dan atribut lainnya juga tidak mengikat. Iringan Permainan. Permainan ini tidak diiringi apapun. Jalan Permainan. Terlebih dahulu anak-anak menentukan garis start dan finish sebelum memulai permainan. Anak-anak yang sebaya berdiri pada garis start dengan pepilonya masing-masing. Setelah mendengar aba-aba lari, maka peserta berlari seluruhnya ke garis finish sambil mengangkat pepilonya setinggi bahu. Peserta yang pertama sampai ke garif finish dinyatakan sebagai pemenang. Pemenang ini tidak dicatat karena setelah seluruh peserta sampai ke garis finish, mereka kembali lagi ke garis start untuk bermain lagi. Walaupun dalam permainan ini ada peserta yang menang, namun kemenangan tersebut tidak menjadi tujuan permainan selain dari kegembiraan belaka. Selain kecepatan mencapai finish, faktor kerasnya suara pepilo sangat diperhatikan. Pepilo yang suaranya besar dan keras, sangat digemari anak-anak dan penonton. Dengan kata lain, dalam permainan ini yang dipentingkan lari peserta harus cepat dan suara pepilo harus nyaring, berdengung bagus. K e m u n g k i n a n dalam satu lapangan ada beberapa regu yang bermain, tetapi setiap regu haru* berusia sebaya. Masing-masing regu m e m p u n y a i garis start dan finish tersendiri, dan antara setiap regu juga dijaga agar tidak terlalu dekat. 18
Démikianlah pada setiap sore saat angin sedang bertiup kencang, anak-anak penuh di lapangan permainan dengan pepilo masing-masing. Masing-masing anak berusaha mengatasi lawan bermainnya. Anak-anak kecil bermain sesama mereka, demikian juga yang besar. Jarang sekali antara anak kecil bercampur baur dengan anak yang lebih besar dari dirinya atau sebaliknya. Permainan akan berhenti bila waktu telah hampir magrib. Permainan berhenti begitu saja tanpa menghitung kemenangan seseorang. Peranan Masa Kini. Permainan ini masih digemari anak-anak sampai masa kini, mengingat mudahnya memperoleh bahan dan tidak ada kegiatan lain yang berarti setelah musim panen, serta tidak berbahaya sama sekali lebih-lebih untuk anak kecil. Namun, di luar waktu tadi permainan ini hampir tidak pernah dilaksanakan. Sungguhpun permainan model baru telah melanda desa-desa, tetapi permainan ini tetap masih terdapat di daerah ini. Tanggapan Masyarakat. Permainan ini banyak manfaatnya, antara lain sebagai olah raga dan ateltik dalam cabang lari sekuat tenaga, yang lama kelamaan dapat dianggap sebagai latihan lari. Pemain juga banyak keluar keringat dan malam harinya pada umumnya anakanak tidur pulas. Karena itu, masyarakat merasa perlu anak mereka mengikuti permainan ini, paling tidak untuk kesehatan si anak sendiri.
19
20
4.
KEKURIKEN
Nama Permainan. Kekuriken adalah bahasaf daerah Gayo yang asal katanya kurik, artinya ayam. Kekuriken berarti beradu seperti ayam. Permainan ini mempergunakan bola yang terbuat dari tanah liat. Bola tadi dinamai "kurik" karena akan diadu dengan kurik lainnya di arena peraduan yang dibuat sedemikian rupa sehingga bole digulirkan maka dengan sendirinya akan bertemu dengan bola lainnya, sehingga berbenturan keras. Bola yang pecah atau kurik yang kalah harus menanggung resiko, yaitu si pemiliknya harus menjalankan sanksinya yang telah disepakati bersama sebelumnya. Waktu Pelaksanaan. Permainan ini hanya dilaksanakan pada musim turun ke sawah (mencangkul). Musim turun ke sawah ini tidak dapat ditentukan waktunya dengan pasti, tetapi biasanya bila musim penghujan tiba. Pada waktu awal turun ke sawat pekerjaan yang dilakukan petani adalah mencangkul atau merecah. Anak laki-laki yang ikut serta membantu orang tua masing-masing, biasanya setelah istirahat mandi-mandi di pemandian di tepi sungai yang besar sambil membuat bola dari tanah liat yang merupakan tanah persawahan di sana. Bola inilah yang kemudian diadu dalam permainan ini. Di luar waktu yang kita sebutkan di atas, artinya setelah sawah ditanami, permainan ini hilang dengan sendirinya. Latar Belakang Sosial Budaya Peserta Permainan. Permainan ini dilaksanakan dan didukung oleh seluruh anak laki-laki dari petani yang bersawah. Jarang sekali ada anak laki-laki yang tidak mau bermain karena takut dikucilkan kawan-kawan, dan bermain jauh lebih gembira daripada menonton saja. Keikutsertaan mereka dalam permainan ini bukan berdasarkan tingkat kehidupan si anak melainkan berdasarkan kemauan dan kemampuan mereka saja. Latar Belakang Sejarah Perkembangan Permainan. Menurut orang-orang tua, permainan ini asli berasal dari daerah ini karena menurut mereka ketika masih kanak-kanak mereka mlaksanakan permainan ini diajarkan orang-orang yang lebih tua, juga keadaan tanah persawahan di daerah ini memungkinkan melaksanakan permainan tersebut. Tanah persawahan yang sempit yang dikerjakan secara terus menerus menyebabkan tanah tersebut tandus dan akhirnya menjadi tanah liat. Bola dari tanah liat ini agak kuat sehingga mengasyikkan bila diadu. 21
Perkembangan permainan ini dapat dikatakan tidak ada, bahkan kini terlihat gejala-gejala akan punah karena terdesak oleh jenis permainan lainnya yang lebih praktis. Pelaku Permainan. Pemain adalah anak-anak yang berumur antara 8 - 1 2 tahun dan terdiri dari laki-laki. Permainan boleh dilaksanakan secara perseorangan atau dapat juga beregu. Setiap regu beranggotakan 3 - 7 orang atau lebih, bergantung pada banyaknya anak yang berkumpul di arena permainan; di satu arena mungkin bermain beberapa regu yang satu sama lain tidak mempunyai hubungan apaapa. Tentang persyaratan lainnya tidak ada, misalnya soal pakaian karena anak-anak yang bermain umumnya telanjang bulat. Iringan Permainan. Permainan ini tidak diiringi oleh apapun. Jalan Permainan. Peraturan permainan hampir tidak ada, kecuali ke dalam bola tidak boleh dimasukkan batu, dan bola yang pecah dianggap kalah. Permainan Perseorangan. Dua orang anak duduk di ujung pangkal sebuah tempat bermain yang telah dibuat bersama, dengan memegang kurik masing-masing. Secara serentak — dengan aba-aba - kedua anak tersebut menyentakkan kuriknya dengan maksud agar bergulir cepat ke arah kurik lawan. Di tengah arena, kurik beradu dengan benturan yang kuat. Untuk pertama atau kedua, mungkin belum ada kurik yang pecah, namun setelah beberapa kali tentu salah satu kurik tersebut ada yang pecah. Pemilik kurik yang pecah dinyatakan kalah. Pemilik ini harus menerima hukuman yang telah disepakati sebelumnya, misalnya menggendong pemenang dari suatu tempat ke tempat lain, memandikan si pemenang, dan sebagainya asal jangan terlalu berat. Misalkan yang bermain A dan B, yang menang adalah A , maka B harus menggendong A dari garis a ke garis b sejauh 25 meter, dan atau menggosok badan si A selama yang bersangkutan mandi. Permainan Beregu. Jumlah peserta setiap regu harus ganjil 3, 5, 7, dan seterusnya, maksudnya agar mudah menentukan pemenang. Kita misalkan jumlah peserta setiap regu 5 orang anak, sebagai berikut : Regu A
22
1 2 3 4 5
Regu B 6 ^ 7 8 9 10
Peserta nomor 1 mengadu kuriknya dengan peserta nomor 6, mereka berdua duduk berhadapan di tempat pengaduan pertama, peserta nomor 2 dengan nomor 7 duduk berhadapan di tempat kedua, dan seterusnya. Setelah beberapa lama, ternyata kurik pemain nomor 6, 2, 8, 4, dan 10 pecah (kalah). Pemain nomor 2 dan 4 adalah dari regu A , sedangkan pemain nomor 6, 8, dan 10 adalah dari regu B. Setelah dihitung maka regu A menang 3 orang (1, 3, dan 5) dan regu B menang 2 orang (7 dan 9). Dengan kata lain, regu A mengalahkan regu B dengan angka 3 - 2 . Jadi, seluruh anggota regu B menjalani hukuman yang telah disepakati sebelumnya, misalnya menggendong sejauh 25 meter atau menggosok badan lawannya yang sedang mandi. Setelah selesai menjalankan hukuman, permainan diulangi lagi sampai akhirnya berhenti untuk hari tersebut. Peranan Masa Kini. Permainan ini tidak begitu digemari oleh anak-anak. Hal ini karena jenis permainan baru sudah banyak yang masuk kampung-kampung karena anak-anak sudah asyik dengan tugasnya yang semakin lama semakin banyak serta terbatasnya ruang lingkup tempat bermain, dan kurangnya sungai yang besar tempat pemandian sebagai tempat bermain yang ideal. Tanggapan Masyarakat. Seperti diketahui bahwa permainan ini sudah hampir punah dari daerah ini. Orang-orang tua tidak begitu senang kepada permainan ini karena anak berlama-lama duduk tanpa alas di tanah yang becek, kotor, dan kemungkinan banyak bibit penyakit terdapat di sana. Juga anak-anak sudah hampir seluruhnya bersekolah, tempat mereka mendapat pelajaran kesehatan dari pak guru. Walaupun demikian bukan berarti bahwa permainan ini telah lenyap dan tidak dimainkan lagi oleh anak-anak, namun tidak semeriah di zaman orang-orang tua dahulu.
23
24
5.
AS A K - A S AKAN
Nama Permainan. Asak-asakan adalah bahasa daerah Gayo yang berasal dari kata asak. Asak artinya memasukkan sesuatu benda keras ke dalam suatu lobang dengan paksa secara berulang-ulang. Ada seruas bambu kecil dengan 0 ± 5 mm, panjang ± 25 sampai dengan 40 cm. Ke dalam ruas bambu ini dimasukkan biji/buah gelundi yang cocok betul ukuran besarnya dengan lobang tersebut. Cara memasukkannya adalah dengan menolak buah tadi dengan sepotong benda keras secara spontan, sehingga mengeluarkan bunyi dan buah gelundi tersebut melayang sejauh ± 5 sampai 10 m, dan bila mengenai anggota tubuh terasa nyeri juga. Beberapa anak membentuk dua buah regu, masing-masing beranggotakan 5 sampai 10 orang. Setiap regu berusaha mengalahkan regu lainnya dengan menembak mati setiap anggota regu lawannya. Permainan ini hampir sama dengan perang-perangan. Waktu Pelaksanaan. Permainan ini dilaksanakan bila pohon gelundi sedang berbuah. Bila buah gelundi banyak, maka anak-anak merasa rugi bila tidak memanfaatkannya dengan bör'main asak-asakan. F.ntah secara kebetulan atau tidak, tidak diketahui mengapa ketika padi sedang menguning maka pohon gelundi pun berbuah lebat. Pada saat ini pekerjaan anak-anak tidak begitu banyak, kecuali menjaga agar padi jangan diganggu atau dimakan burung pemakan padi. Pada saat itulah permainan ini dilakukan. Latar Belakang Sosial Budaya Pelaku Permainan. Pendukung permainan ini adalah anak-anak petani. Anak-anak tersebut diberi tugas mengusir burung pipit dan sebangsanya yang memakan padi. Burung ini biasanya bergerombol mendatangi sawah petani, sehingga dengan mudah dapat dilihat dan diusir oleh anak-anak. Pekerjaan mengusir burung-burung bukanlah pekerjaan yang berat dan tidak banyak menyita waktu. Waktu terluang inilah yang dipergunakan anak petani untuk bermain. Latar Belakang Sejarah Perkembangan Permainan. Permainan ini sudah ada sejak dahulu kala, mengingat daerah ini ditumbuhi pohon gelundi dan bambu dengan subur. Dengan data tersebut di atas, orang tidak pernah tahu sejak kapan permainan ini dimulai, dan menurut mereka permainan ini asli dari daerah itu sendiri. Menurut orangorang tua, permainan sudah ada sejak mereka masih kanak-kanak 25
yang diajarkan oleh orang tua mereka sendiri. Namun, menurut mereka alat-alat yang dipergunakan serta cara berperang anak-anak sekarang tidak jauh berbeda dengan dahulu. Pemain/Pelaku. Para pemain adalah anak laki-laki berumur kirakira 8 sampai 12 tahun. Jumlah mereka tidak tetap, tetapi berkisar antara 5 sampai 10 orang per regu. Pembatasan umur minimal ini sangat penting karena pelor yang mengenai anggota tubuh cukup sakit. Diperkirakan anak-anak yang berumur 8 tahun sudah pantas untuk hal tersebut, sedangkan anak-anak di atas 12 tahun sudah dianggap terlalu besar untuk bermain. Persyaratan lainnya tidak diperlukan sama sekali, misalnya pakaian seragam dan sebagainya, hanya para pemain dianjurkan berpakaian untuk menghindarkan rasa sakit. Atribut yang dipakai dalam permainan ini adalah sebagai berikut: 1. uïuh ialah seruas bambu kecil kira-kira bergaris tengah 5 mm, yang sudah tua, dan panjangnya kira-kira 25 sampai 40 cm. 2. penjolok ialah sepotong besi yang bertangkai sebagai pegangan dan lebih kecil dari ukuran lobang bambu serta lebih pendek 1 cm dari ukuran uluh. 3. anakni asak-asakan ialah buah gelundi yang sudah tua, dipakai sebagai pelor. Iringan Permainan. Permainan ini tidak diiringi oleh iringan apapun. Jalan Permainan. Sebelum permainan dimulai, terlebih dahulu dibentuk dua buah regu. Dua orang anak yang agak besar dan disegani anak yang lain masing-masing memilih anggota regunya. Setelah dua regu ini terbentuk, maka diundilah regu penyerang dengan sut, untuk memilih regu penyerang; Regu penyerang menjauh dari tempat regu bertahan untuk selanjutnya permainan dimulai. Aturan permainan adalah sebagai berikut: a. Kepala tidak boleh ditembak dan bila kena tidak sah. b. Bila saling menembak, pelor yang pertama mengenai sasaran dianggap menang. c. Yang menang adalah regu yang masih memiliki anggota yang masih hidup pada akhir pertandingan. d. Anggota harus aktif menyerang. 26
Agar lebih jelas perhatikan uraian berikut ini. Misalkan A beranggotakan pemain nomor i , 2, 3, 4, dan 5, Regu B beranggotakan pemain nomor 6, 7, 8, 9, dan 10. Setelah diundidengan sut yang diwakili oleh ketua regu atau anak yang tertua di antara mereka, maka ternyata regu A yang menang. Regu A disebut regu penyerang, sedangkan regu B disebut regu bertahan. Pada awal permainan regu A meninggalkan pangkalan/tempat berkumpul semula. Kira-kira beberapa saat setelah regu B merasa regu A sudah jauh, maka salah seorang anggota regu B berteriak apakah regu A sudah bersiap untuk memulai peperangan. Bila regu A tidak memberi jawaban, berarti pertempuran sudah dimulai. Kedua regu berusaha sekuat mungkin agar anggotanya tidak dapatjdibunuh anggota regu lawannya. Tidak berapa lama kemudian terdengarlah letusan diiringi dengan teriakan bahwa nomor sekian telah mati. Yang mati boleh berjalan ke pangkalan untuk beristirahat menunggu ronde berikutnya. Si penembak tadi adalah anggota regu B, yaitu pemain nomor 6, sedangkan yang ditembak adalali pemain nomor 3 dari regu A . Untuk sementara pemain nomor 3 harus kembali ke pangkalan, untuk mengnindarkan kekeliruan yang mungkin terjadi, misalnya pemain yang sudah mati menembak pemain lainnya, suatu hal yang dilarang karena anggota yang sudah mati tidak boleh membunuh lagj. Keadaan permainan sekarang adalah sebagai berikut: ;J
Pemain nomor: 1 4 10 8 4 6 1 1
Membunuh pemain nomor: 7 9 5 2 8 4 10 6
Terlinat bahwa pemain yang sudah mati sebagai berikut: 3, 7, 9, 2, 8, 4, 10, dan 6 atau 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan 10. Nomor yang tidak terdapat di dalam deretan yang mati adalah nomor 1 dari regu A . Karena itu, regu A dinyatakan sebagai pemenang. Ronde I dimenangkan oleh regu A 27
Permainan selanjutnya, regu B sebagai regu penyerang dan regu A sebagai regu bertahan. Semua anggota regu berlarian ke tempat yang agak jauh dari pangkalan regu bertahan, dan bersembunyi di tempat yang agak terlindung menunggu kesempatan untuk menembak. Demikian pula regu yang bertahan, mereka berhati-hati mengendap-endap ke arah lawan untuk menembaknya. Keadaan akhir ronde kedua ini kita misalkan sebagai berikut: Regu B
Regu A
6 7 8 9 10
1 2 3 4 5
Keterangan: 6 7 3 4 10
1 2 8 9 5
Yang masih hidup anggota regu: A
B 6 7
3 4 10
kemudian:
6 4 7
3 10 4
Total sebagai berikut:
Anggota regu yang mati: A B 1,2,3,4,5 8,9,10. yang masih hidup adalah nomor 6 dan 7 anggota regu B. Jadi, yang menang adalah regu B. Setelan puas bermain, mereka akhirnya berhenti dan masingmasing regu menjumlahkan angka mereka. Keadaan akhir untuk regu A dan B adalah sebagai berikut: REGU Ronde I II III IV V Jumlah: 28
A 1 _ 1 _ 1
B 1
3
2
1
Stand 3:2
Pemenang A
Peranan Masa Kini. Permainan ini masih digemari oleh masyarakat luas, terutama anak laki-laki. Mereka belajar taktik dan teknik berperang, terutama pemuda-pemuda dan kadang-kadang orangorang tua, menyaksikan kelincahan si anak mengatur siasat, menyerang lawan, dan memimpin anak buahnya. Hal ini dapat pula kita melihat watak si anak. Sejak kecil si anak diatur dengan disiplin yang baik karena hal ini sering terbawa bila mereka kelak dewasa. Dengan adanya permainan ini, mereka tidak akan bosan menjaga padi dari gangguan burung; sambil menyelam minum air. Tanggapan Masyarakat. Atas permainan tersebut, umumnya orang-orang tua merasa beruntung karena anak mereka tidak perlu diawasi atau disuruh untuk menjaga sawah dan tugas mereka yang utama tidak pula terbengkalai serta permainan tersebut tidak akan mem bahayakan jiwa si anak.
29
3Q
6. K I S - K I S E N Nama Permainan. Permainan ini disebut kis-kisen, dalam bahasa Aceh Tenggara yang berarti adu menyelam di dalam air. Kis artinya tanan lama di dalam air/tidak bernafas, dan kisen artinya diadu untuk tidak bernafas selama mungkin di dalam air. Peserta permainan menyelam di dalam air dengan disaksikan oleh para penonton. Salah seorang dari penonton menghitung berapa saat yang dapat diperoleh setiap peserta. Peserta yang terlama di dalam air dinyatakan memenangkan permainan ini. Waktu Pelaksanaan. Permainan ini dilaksanakan Kotika penduduk suatu kampung mengadakan pembersihan tali air berhubung mereka akan melakukan turun ke sawah secara serentak. Semua tali air yang selama ini telah semak dibersihkan agar air persawahan tidak lagj dipikirkan pembagiannya. Pembersihan tali air ini diikuti oleh orang-orang tua dan anak-anak laki yang dipimpin olen penghulu. Pekerjaan biasanya sehari penuh dan istirahat kira-kira dekat sembahyang Ashar. Pada saat itulah mereka pergi mandi-mandi di pemandian di sungai yang besar. Orang tua biasanya mandi dalam waktu yang relatif singkat dibandingkan dengan anak-anak. Pada kesempatan tersebut anak-anak melaksanakan permainan kis-kisen dengan bimbingan orang-orang tua. Di luar waktu yang disebutkan di atas permainan ini jarang sekali dilaksanakan. Latar Belakang Sosial Budaya Peserta Permainan. Peserta adalah anak petani yang bekerja gotong royong membersihkan tali air. Selain dari itu tidak pernah melaksanakan permainan ini karena orang kampung di daerah ini seluruhnya petani. Keikutsertaan mereka sebagai peserta di dalam permainan ini berdasarkan kesanggupan mereka bermain saja dan sanggup tahan lama di dalam air. Latar Belakang Sejaran Perkembangan Permainan. Permainan ini sudan agak jarang dilaksanakan anak-anak. Permainan ini terdapat di kampung-kampung di luar kota bahkan jauh dari keramaian kota. Permainan ini pada mulanya hanya sebagai bunga dalam permandian, tetapi lama kelamaan dipertandingkan karena ada manfaatnya setelali anak itu besar. Karena Aceh Tenggara adalan daerah aliran sungai Simpang Kiri, salah satu sungai yang terbesar di Aceh, dan hasil ikannya cukup ba31
nyak. Untuk menangkap ikan kadang-kadang harus menyelam, misalnya bila jalanya tersangkut. Karena itu, diperlukan latihan menyelam sejak umur masih muda. Sayang sekali permainan ini tidak ada perkern bangannya sama sekali. Namun demikian, ada juga kebanggaan di hati masyarakat di sini, yaitu bahwa permainan ini dipertandingkan adalah hasil inspirasi orang tua mereka dahulu kala. Pemain/Pelaku. Pemain hanyalah anak laki-laki berumur kirakira 10-15 tahun dan jumlah peserta tidak tetap, namun yang diutamakan adalah mereka yang telah punya nama. Persyaratan pakaian, alat, dan sebagainya dalam permainan ini tidak ada. Iringan Permainan. Permainan ini tidak diiringi apa pun, namun peserta biasanya membaca doa sebelum terjun agar tahan lama di dalam air. Doa tersebut berbunyi sebagai berikut: Bismillah, hai raje jin. Kutoh asal usulmu, Nabi Khaidir pongjerohku, Pongjegis kite kherine. Artinya: Bismillah, hai raja jin, Aku tahu asal usulmu, Nabi Khaidir ka wan akrabku, Marilah kita berkawan, dan jangan ganggu aku. Jalan Permainan. Terlebih dahulu orang tua atau pemuda yang disegani menunjuk beberapa anak untuk ikuLbermain. Kemudian setelah terpilih, kepada mereka diingatkan syarat-syarat permainan, seperti jangan curang, jangan mencaci maki raja jin, jangan memegang lawan di dalam air, dan yang penting jangan buang air. di sana. Misalkan ada lima anak laki-laki yang terpilih.„Kelima anak tersebut berdiri berjejer di tepi sungai untuk memulai permainan, menunggu aba-aba dari orang tua yang bertindak sebagai juri. Bila aba-aba telah diberikan, secara serentak mereka terjun ke dalam air, dan sang juri dengan disaksikan orang lain menghitung mulai dari satu, dua, tiga, dan seterusnya. Hitungan ini sebagai ganti saat yang tepat lamanya seseorang bertahan di dalam air. Bila permainan nomor 1, misalnya muncul ke permukaan air tepat pada nitungan ke-20, maka dia dinyatakan sebagai penyelam dengan kis 20. Peserta nomor 2 dengan kis 30, nomor 4 dengan kis 32
37, dan nomor 4 dengan kis 50. Büa semua peserta telah muncul di permukaan air, maka peserta kembali berjejer.lagi di tempat semula untuk ronde kedua. Setelah permainan berakhir, maka pemain yang terbesar kisnya dianggap sebagai juara. Contohnya:
Nomor Pemain
1 2 3 4 5 Peserta yaitu 50. peserta ini lama tahan
Ronde/Jumlah Kis
I II III 20 30 35 30 20 30 33 35 35 37 40 41 50 35 49
IV 19 21 30 37 41
V 25 30 25 31 40
Kis Tertinggi
Juara ke
35 30 35 41 50
III IV III II I
nomor 5 adalah juara I karena kisnya yang tertinggi, Bila keadaan ini berlanjuti terus. maka lama kelamaan bisa memperoleh julukan pawang kis, artinya orang yang menyelam di dalam air.
Peranan Masa Kini. Sekarang permainan ini tidak begitu popuier lagi, mengingat turun ke sawah tidak düakukan lagi dengan gotong royong membersihkan tali air karena persawahan, sehabis/ selesai panen telah dipelihara ikan di dalamnya. Jadi, tali air tidak pernah bersemak lagi. Dengan jarangnya gotong royong ini, maka jarang pulalah permainan ini dilaksanakan. Tanggapan Masyarakat. Berhubung permainan ini sudah jarang dilaksanakan, maka generasi muda hampir tidak pernah melihatnya lagi sungguhpun orang-orang tua masih mengingat betapa meriahnya arena permainan ketika diadakan permainan ini. Mereka hanya mengharap agar permainan ini dapat dilestarikan untuk generasi yang akan da tang.
33
34
7. J A N G U T NGKUR1K Nama Permainan. Jangut ngkurik adalah bahasa daerah Gayo yang terdiri atas 3 kata, yaitu jangut berarti bulu, ng berarti nya, dan kurik berarti ayam. Jadi, jangut ngkruik berarti bulunya ayam atau tepatnya bulu ayam. Permainan ini dinamakan demikian karena bahan baku utamanya adalah bulu ayam. Bulu-bulu ayam dimasukkan ke dalam bambu kecil, sehingga bila bambu tersebut dipukul pada bukunya, jangut ngkurik yang ada di dalamnya melayang ke udara. Para pemain berdiri melingkar pada suatu lapangan, dan di tengah-tengah berdiri seorang sebagai pembagi bola jangut ngkurik yang di dalam bahasa daerah ini disingkat dengan bal. Pembagi tersebut tugasnya membagj bal kepada setiap pemain. Pemain yang gagal mengembalikan balnya kepada pembagi harus menerima hukuman dan bertindak sebagai pembagi bal yang berdiri di tengah lingkaran. Waktu Pelaksanaan. Permainan ini dilakukan bila akan merayakan Maulid Nabi Muhammad saw saja. Di daerah ini diadakan di mersah (menasah = langgar = surau) yang dihadiri seluruh penduduk kampung dan undangan dari kampung lainnya. Dua atau tiga hari sebelum perayaan diadakan, penduduk yang akan mengadakan perayaan secara serentak membawa seekor ayam ke mersah untuk disembelih oleh tengku. Pada hari-hari tersebut dapat disaksikan berpuluhpuluh ayam bergelimpangan di mersah. Anak-anak tidak menyianyiakan kesempatan ini. Mereka mengumpulkan bulu-bulu tersebut untuk dibuat mainan. Mainan tersebut bermacam-macam, antara lain jangut ngkurik. Pada saat inilah permainan tersebut berlangsung dan dapat dikatakan umur permainan ini hanya seminggu saja. Setelah perayaan selesai, selesai pulalah permainan ini. Latar Belakang Sosial Budaya Peserta Permainan. Pemain adalah anak-anak, baik lelaki maupun wanita berumur 5 sampai 12 tahun. Dalam permainan ini tidak ada persyaratan yang berarti. Siapa pun dapat ikut bermain. Permainan dapaLsecara per seorangan dan dapat beregu. Secara per seorangan biasa dilakukan oleh anak-anak kecil atau sebaliknya. Latar Belakang Sejarah Perkembangan Permainan. Permainan ini dari dahulu sampai sekarang keadaannya tidak berubah, baik mengenai aturan maupun penyempurnaan bal. Kedudukannya sudah terdesak permainan bulu tangkis, sungguhpun yang terakhir ini 35
adalah permainan mahal. Dalam melaksanakan permainan ini, kegembiraan dan kepuasan pemain tampak dengan jelas. Menurut orang-orang tua, permainan ini asli dari daerah ini. Pemain/Pelaku. Peserta adalah anak lelaki dan wanita, tetapi tidak dibenarkan permainan campuran. Umur peserta kira-kira 5 - 1 2 tahun. Pakaian dapat seadanya dan tidak mengikat, sedangkan atribut yang dipakai selain bal tidak ada. Iringan Permainan. Permainan ini tidak diiringi apa pun. a. b. c.
Jalan Permainan. Aturan permainan adalah sebagai berikut: memukul bola harus dari bawah ke atas, tidak boleh memukul lebih dari sekali, dan bila gagal memukul harus menjadi pembagi (untuk permainan beregu).
Untuk per Seorangan. Dua orang anak berdiri berhadapan dengan anak jarak kira-kira 5 - 10 langkah. Seorang memukul bal yang ditujukan ke arah lawannya, dan lawannya merigembalikan kepadanya. Setelah bal mati, diangkat lagi dan permainan dimulai lagi. Permainan model ini tidak ada hitungan, tidak ada pemenang, dan bila sudah lelah berhenti bermain. Permainan Beregu. Regu yang sudah bermufakat untuk bermain, membuat sebuah lingkaran menurut banyaknya peserta. Di tengahtengah berdiri seorang anak yang kalah undian (pertama kali) sebagai pembagi bola. Masing-masing peserta memegang sebuah penggues (raket). Misalkan ada 9 orang peserta, masing-masing nomor 1,2,3, 9. Pembagi bal adalah nomor 1. Pemain lainnya berdiri pada lingkaran dengan menghadap ke tengah. Mula-mula pembagi membuang bal ke arah peserta nomor 2. Pemain nomor.2 ini mengembalikannya kepada pembagi. Kemudian pembagi membuangnya ke arah pemain nomor 3, dan seterusnya. Bila misalnya pemain nomor 8 gagal mengembalikan bal kepada pembagi, maka pemain nomor 8 tersebut menjadi pembagi, dan nomor 1 mengambil alih tempat nomor 8. Begitulah seterusnya. Permainan ini juga tidak pernah mencari pemenang karena tidak pernah dihitung. Bila permainan sedang berlangsung kemudian ada seorang anak yang ingin masuk/ikut serta^maka dia diharuskan untuk mengadakan sut dengan pembagi tadi. Yang kalah menjadi pembagi, sebaliknya bila ada pemain yang berhenti, 36
maka pembagi tetap yang tadi juga. Jadi, yang dicari dalam permainan ini hanya kegembiraan dan kepuasan saja tanpa menentukan pemenang. Peranan Masa Kini. Permainan ini sudah agak jarang dilakukan, pertama karena sudah ada permainan yang baru yang lebih praktis sungguhpun mahal, yaitu bulu tagkis, dan kedua cara merayakan perayaan Maulid sekarang jauh lebih praktis dari yang dulu. Dahulu, bila merayakan Maulid harus menyembelih ayam dan sebagainya, tetapi sekarang cukup membuat kue ala kadarnya. Dahulu merayakan maulid dengan berjanji, sekarang dengan pidato saja yang memakan waktu kira-kira 2 jam, sedangkan dahulu sampai 10 jam lamanya. Tanggapan Masyarakat. Permainan ini sebenarnya bagus dilihat dari segi kesehatan, dan biayanya pun ringan. Tetapi karena hal-hal yang kita sebutkan di atas, maka disangsikan permainan ini akan lenyap dari daerah ini.
37
38
8. M E U G E U N T E U T - G E U N T E U T Nama Permainan. Meu geunteut-geunteut adalah suatu permainan yang terdapat di Kabupaten Aceh Utara. Geunteut-geunteut terdiri atas dua kata, yaitu geunteut dan geunteut yang disatukan menjadi satu perkataan. Kata geunteut apabila disebut hanya satu kali mempunyai arti yang berbeda dengan geunteut yang diulang atau geunteut-geunteut. Geunteut berarti suatu imajinasi masyarakat terhadap suatu makhluk halus atau jin yang datangnya dari atas, sedangkan geunteut-geunteut adalah suatu permainan yang dilakukan anak-anak, kadang-kadang juga pemuda, dengan menggunakan alat yang terbuat dari ujung bambu dan mempunyai tempat berdiri yang dalam bahasa Aceh disebut tungkeh. Permainan ini dapat dilakukan di lapangan dan juga di jalan-jalan raya yang sepi, asal saja tanahnya rata. Waktu Pelaksanaan. Permainan ini sama dengan jenis-jenis permainan anak-anak yang lain pelaksanaannya, yaitu pada waktu senggang atau pada waktu sedang mengerjakan pekerjaan lain, seperti menggembala. Bagi masyarakat desa yang mata pencahariannya bertani, tentu saja waktu senggang adalah sehabis panen. Pada waktu padi sedang menguning di sawah, anak-anak sibuk dengan pekerjaan menggembala sapi atau kerbau, sejalan dengan ini mereka sering menggunakan untuk bermain geunteut-geunteut. Apabila mereka melakukannya secara sambilan sifatnya rekreatif dan latihan belaka, sedangkan kompetisi biasanya dilakukan pada waktu setelah panen. Pada masa ini merupakan waktu yang terbaik untuk melakukan kegiatan olah raga termasuk geunteut-geunteut karena pada masa ini cuaca cukup baik. Latar Belakang Sosial Budaya. Melihat latar belakang sosial budaya dari permainan ini, tidak jauh berbeda dengan permainan lainnya yang terdapat di dalam masyarakat Aceh pada umumnya. Berbicara tentang latar belakang sosial budaya dari permainan geunteutgeunteut sama dengan permainan lainnya terutama yang bersifat olah raga, yaitu didukung oleh segenap lapisan masyarakat. Syarat yang diperlukan untuk dapat ikut serta dalam permainan ini adalah keahlian, umur yang tidak jauh berbeda antara yang satu dengan yang lain, serta besar badan pun ikut diperhitungkan. Dasar 39
persyaratan yang tersebut di atas terlihat jelas lebih umum, dan semua perbedaan peserta tidak berdasarkan kepada asal-usul keturunan, status ekonomi si peserta, tetapi bedasarkan pertimbangan yang logis dan rasional serta dapat dipertanggungjawabkan. Latar Belakang Sejarah Perkembangannya. Permainan geunteutgeunteut ini dilakukan anak-anak karena banyak waktu senggang dan adanya alat permainan yang mudah didapat. Anak-anak berusaha mengisi waktu senggang dengan bermain yang menggembirakan. Deskripsi. Jumlah Peserta/Pemain : 2 sampai 6 orang Usia : 8 sampai 14 tahun, 14 sampai 20 tahun Jenis kelamin : laki-laki Bentuk permainan : per seorangan Waktu/lamanya permainan tidak terbatas. Permainan ini tidak begitu diketahui asal usulnya dan kapan mulai digemari masyarakat. Menurut orang yang diwawancarai, permainan ini untuk mengimajinasi geunteut atau jin yang panjang dalam kehidupan sehari-hari. Permainan ini juga berkembang di Aceh Timur, khususnya di Peureulak. Hal ini apakah karena Pasai dan Peureulak pada waktu itu mempunyai hubungan yang baik, tidak diketahui dengan pasti. Hal ini memerlukan penelitian yang serius. Peserta/Pelaku dan Peralatannya. Permainan geunteut-geunteut dapat digolongkan ke dalam salah satu cabang olah raga yang sifatnya rekreatif dan kompetitif. Seperti telah diuraikan di atas, permainan ini dimainkan anak-anak usia SD atau lebih. Adapun peralatannya terdiri atas 2 (dua) ujung bambu yang besarnya memadai dan panjangnya 2 - 3 m atau lebih menurut kebutuhan si pemakai. Pada kedua ujung bambu ini disediakan dua atau lebih tungkeh tempat menginjak waktu berjalan, sedangkan bagian lainnya dibersihkan sehingga enak dipandang dan mudah dipakai. Pada tungkeh tempat injakan waktu berjalan biasanya diberikan alat menurut selera si pemakai. Biasanya menggunakan sabut atau batok/tempurung yang diraut sedemikian rupa sehingga tidak menyakitkan kaki waktu berjalan. Hal ini mempunyai kaitan untuk memperoleh kejuaraan. Iringan Permainan. Permainan ini tidak diiringi oleh iringan apa pun. 40
Jalannya Permainan. Awal dari perlombaan permainan ini tidak dilakukan undian karena yang menentukan adalah kecepatan mencapai finish. Hanya ditetapkan jarak antara start dan finish. Kadangkadang start dan finish berjarak antara 30 sampai 40 meter pulang pergi dan bergantung kepada konsensus sebelum perlombaan. Biasanya perlombaan ini dilakukan di tanah lapang, sawah, atau di jalanjalan raya yang sepi serta arenanya rata. Apabila perlombaan ini dimulai, peserta 2 sampai 5 orang sekaligus diberangkatkan, jika pesertanya lebih dari lima orang, maka akan diberangkatkan pada giliran berikutnya. Pemenang dari perlombaan atau permainan ini adalah yang paling cepat mencapai finish. Yang jatuh dalam perjalanan dan terlambat mencapai finish tidak diperhitungkan. Bila terdiri atas beberapa kelompok atau beberapa kali pemberangkatan, maka setiap pemenang dari tiap kelompok akan diadu kembali untuk mencari juara di antara pemenang-pemenang yang ada. Peranan Masa Kini dan Tanggapan Masyarakat. Permainan ini pada masa sekarang sudah jarang dilakukan anak-anak. Dengan pelbagai kesibukan orang-orang tua tidak dapat menggalakkan permainan tersebut kepada anak-anaknya. Dikhawatirkan pada suatu saat permainan ini akan punah.
41
42
9. GHIENG-GHIENG A S E E Nama Permainan. Asal nama permainan ini informan tidak dapat menjelaskan secara konkrit karena permainan ini memang sudah berkembang sejak lama dan generasi sebelum mereka tak pernah menceritakan tentang asal nama permainan tersebut. Ghieng-ghieng asee demikian nama permainan ini, merupakan permainan anak-anak yang tidak menggunakan alat-alat musik dan bersifat per seorangan. Ghieng-ghieng asee berkembang di seluruh Daerah Istimewa Aceh, walaupun dengan nama yang berbeda, secara jelas akan diuraikan pada bagian lain dalam penulisan ini. Permainan ini dapat digolongkan ke dalam salah satu cabang olah raga. Waktu Pelaksanaan. Permainan ini tidak ditetapkan apakah pagi, tengah hari, atau sore hari dimainkannya. Hal ini ditentukan oleh kapan anak-anak dapat berkumpul. Kadang-kadang juga dimainkan pada waktu bulan terang. Permainan ini tidak juga ditetapkan harus dimainkan pada waktu turun ke sawah atau hanya pada waktu Luang Blang, atau sehabis panen. Jadi, dapat saja dimainkan sepanjang tahun kapan saja dan di mana saja bergantung pada selera pemain itu sendiri. Apabila hari hujan mereka dapat menggunakan kolong Meunasah. di Daerah Istimewa Aceh, Meunasah tinggi-tinggi seperti rumoh adat (Rumah Adat) Aceh. Meunasah merupakan lembaga pendidikan informal, tempat anak-anak berkumpul untuk mengaji, baik pada siang hari maupun pada malam hari. Bila pengajian selesai bermacam-macam olah raga dapat dimainkan, di antaranya ghiengghieng asee, Lamanya permainan ini tidak dapat ditentukan secara konkrit, bergantung kepada kepuasan para pemain. Perlu juga disinggung bahwa permainan ini tidak memakai kostum tertentu, artinya pakaian biasa saja atau pakaian sehari-hari, dapat juga dibenarkan apabila tidak memakai baju. Latar Belakang Sosial Budaya/Pelaku Permainan. Berbicara tentang latar belakang sosial budaya permainan ini tidak berbeda dengan permainan lainnya yang ada di Daerah Istimewa Aceh. Permainan ini merupakan permainan yang sangat sederhana, mudah dilaksanakan dan dapat dilakukan siapa saja. Karena itu, pendukung permainan ini tidak dibedakan atas status sosial yang ada seperti ekonomi, keturunan santri atau abangan. Berdasarkan struktur permainan, maka dapat 43
dilakukan setiap waktu dan di mana saja. Permainan ini tidak memerlukan lapangan yang khusus. Latar Belakang Sejarah Perkembangan Permainan. Dari hasil wawancara, permainan ini sudah lama sekali berkembang di dalam masyarakat. Sejak kapan permainan ini mulai berkembang dan dari mana asalnya tidak diketahui. Yang jelas permainan ini telah diwariskan dari generasi ke generasi sampai sekarang. Pemain/Pelaku. Pendukung permainan ini adalah anak-anak, rata-rata usia sekolah dasar. Sesuai dengan sifat permainan yang lebih menyerupai olah raga dan ketangkasan yang lebih menonjol, maka anak-anak wanita jarang diikutsertakan. Hal ini didukung oleh anggapan masyarakat bahwa anak-anak wanita dianggap kurang sopan bila mereka bergerak dengan leluasa di tempat-tempat terbuka atau di depan umum. Permainan Ghieng-ghieng asee tidak memerlukan perlengkapan seperti permainan lainnya. Permainan ini dapat terselenggara apabila sudah ada berkumpul empat orang anak. Kurang dari jumlah ini tidak dapat terselenggara. Apabila lebih dari empat orang harus mencapai delapan orang, sehingga terdapat dua kelompok. Jalan Permainan. Permainan ghieng-ghieng asee seperti telah diuraikan di atas bahwa yang menjadi pemain adalah anak lelaki. Permainan ini tidak dilakukan secara beregu, tetapi per seorangan. Ketangkasan pribadi sangat ditonjolkan dalam permainan ini. Setelah empat orang anak berkumpul, mereka sudah dapat memulai permainan atau pertandingan. Keempat anak tersebut masingmasing sebelah kakinya dibengkokkan hingga lutut, diselang-seling dengan cara berdiri persegi empat, sehingga antara yang satu dengan lain saling berkait. Ketika keempat kaki berkait, tentunya masingmasing berdiri dengan sebelah kaki, mulailah mereka loncat di tempat. Pada waktu mereka loncat di tempat, mereka tidak dibenarkan untuk saling berpegangan. Seni dan variasi daripada permainan ini bergantung pada si pelaku itu sendiri, sehingga mereka saling berguguran. Bila satu orang yang gugur atau jatuh, kaitan kaki mereka terlepas, maka kepada yang jatuh dikenakan hukuman dengan cara menggendong ketiga kawannya. Jarak gendongan bergantung kepada persetujuan mereka sebelum bermain, apakah 5 (lima) meter, lebih, atau kurang. Kadang-kadang dua orang sekaligus yang gugur, maka 44
kedua orang yang gugur tadi menggendong kedua kawannya. Berdasarkan pengalaman yang ada, tidak pernah tiga orang sekaligus jatuh karena dua orang saja jatuh sudah pasti kaki mereka terlepas, sehingga tidak mungkin kedua lainnya jatuh sebab mereka sudah dapat berdiri dengan mantap. Lamanya permainan tidak dapat ditetapkan dengan pasti, bergantung kepuasan meTeka sendiri. Permainan ini tidak bersifat kompetatif, tetapi bersifat rekreatif. Peranan Masa Kini dan Tanggapan Masyarakat. Menyangkut masalah peranannya, permainan ini dapat dikatakan tidak lagi menonjol di tengah-tengah masyarakat sekarang. Hal ini sangat erat kaitannya dengan kemajuan-kemajuan di bidang olah raga secara umum. Perkembangan teknologi seperti televisi juga mempengaruhi animo anak-anak untuk melakukan permainan ini. Dapatlah diperkirakan secara evolusi, permainan ini dalam waktu relatif singkat akan hilang. Namun, masyarakat atau para orang tua tidak pernah melarang anak-anak mereka untuk melakukan permainan ini.
45
46
10. M E U E E N A C E U E Nama Permainan. Meu Een Aceue, nama suatu permainan yang terdapat di Daerah Istimewa Aceh atau khususnya di Kabupaten Aceh Utara. Meu een Aceue terdiri atas dua per ka taan, yaitu meu een berarti bermain (permainan) dan aceue adalah nama yang diberikan untuk permainan tersebut. Meu een aceue sering juga disebut meu een kiroee karena pada umumnya alat-alat permainan banyak menggunakan aneuek kiroee yang berarti buah kemiri. D i samping buah kemiri yang dipakai juga pineueng rueuek, yaitu pinang yang telah cukup tua. Permainan ini biasanya dimainkan anak-anak pada bulan puasa. Waktu Pelaksanaan. Permainan ini dilaksanakan pada bulan puasa dan cuaca baik, tetapi tidak pada musim turun ke sawah. Yang dimaksud dengan cuaca baik adalah tidak musim hujan atau hari hujan. Pada bulan puasa biasanya tidak turun ke sawah. Dahulu di Daerah Istimewa Aceh turun ke sawah setahun sekali karena selalu diatur di luar bulan puasa. Bulan puasa bagi orang Aceh adalah bulan ibadat artinya memperbanyak amal. Ada suatu mitos dalam masyarakat " S i thon mita si buleuen pajoh" artinya setahun mencari nafkah dan menyimpan untuk biaya satu bulan puasa. Karena itu, bulan puasa tidak bekerja, tetapi istirahat untuk memelihara puasa. Pusat kegiatan masyarakat di Daerah Istimewa Aceh adalah Meunasah, lebih-lebih pada bulan puasa berkumpullah orang tua, pemuda, dan juga anak-anak. Mereka masing-masing menghabiskan waktu dengan caranya sendiri-sendiri, seperti bercerita (haba jameuen), meu een cabang (main halma), dan juga meu een aceue. Jadi, permainan ini di samping dimainkan pada waktu bulan puasa juga tempatnya di Meunasah. Waktu permainan dapat saja pada pagi hari, tengah hari, dan juga sore hari, bergantung bila mereka dapat berkumpul. Lamanya permainan tidak dapat ditentukan, bergantung kepada si pemain serta perlengkapan yang tersedia, yang pasti pada waktu shalat permainan dihentikan. Perlu juga dijelaskan bahwa permainan ini tidak memakai kostum tertentu, mereka hanya memakai pakaian biasa saja. Latar Belakang Sosial Budaya/Pelaku Permainan. Meu een aceue banyak penggemarnya, baik anak-anak, pemuda, maupun orangorng tua, dengan kata lain seluruh lapisan masyarakat menggemari47
nya. Menurut orang yang diwawancarai, sering terlihat sejak pagi sampai sore permainan berlangsung dan penonton pun tetap banyak. Seperti telah diuraikan di atas bahwa pada bulan puasa masyarakat tidak ada pekerjaan karena turun ke sawah telah selesai dan rnereka berkumpul di surau (meunasah) dari pagi sampai sore. Peserta permainan ini tidak dibedakan asal keturunan, status ekonomi, status sosial, dan sebagainya. Yang membedakan mereka adalah kelompok umur, keadaan fisik, dan kepandaian bermain. Yang dimaksud dengan kelompok umur adalah taksiran umur rata-rata, dan yang dimaksud dengan keadaan fisik adalah pertumbuhan peserta itu sendiri, artinya anak-anak yang besar bermain sesama besar dan anak-anak yang kecil dengan yang kecil; sedangkan yang dimaksud dengan kepandaian bermain tentunya anak pandai bermain sesama pandai demikian sebaliknya. Permainan ini telah berkembang dari generasi ke generasi dan sangat disukai khalayak. Sekarang permainan ini sudah jarang dimainkan, hal ini mungkin karena kesibukan-kesibukan tertentu dan sukarnya alat-alat permainan itu sendiri. Latar Belakang Sejarah Perkembangan Permainan. Dari mana asal permainan ini sukar untuk diketahui, tetapi menurut informan permainan ini dari Aceh asli. Perlu juga dicatat bahwa hampir di seluruh Daerah Istimewa Aceh permainan ini berkembang walaupun terdapat perbedaan-perbedaan yang tidak prinsipil. Pemain/Pelaku. Pada uraian terdahulu telah diberikan gambaran kepada kita bahwa permainan ini merupakan permainan anak-anak berusia sekolah dasar. Namun, kadang-kadang juga dimainkan pemuda dan orang tua. Permainan ini khusus untuk anak lelaki, tidak pernah terjadi percampuran antara lelaki dan wanita. Peralatan dan perlengkapan permainan ini sangat sederhana. yaitu aneuk kiraeoe atau kemiri dan pineueng rueuek atau pinang yang sudah cukup tua, tetapi pineung rueuek jarang dipakai dalam permainan ini. Anak kemiri dan pineueng rueuek mudah diperoleh di manamana. Di antaranya dipilih yang bagus untuk eumpien. Setelah dipilih, dibentuk atau diasah sehingga enak dipegang dan berbeda dengan anak kemiri lainnya. Perlengkapan yang lain adalah lapangan yang bersih dan rata serta dalam panas terik matahari. Pada tanah yang bersih dan rata tadi ditariklah satu garis lurus tempat tumpukan kemiri diletakkan. Sejajar 48
dengan garis lurus tersebut, terdapat garis lurus yang lain yang jaraknya diperkirakan tujuh meter sebagai start pelempar eumpien atau teaek bhak. Iringan Permainan. Permainan ini tidak diiringj oleh iringan apa pun. Jalan Permainan. Meu een aceue merupakan suatu permainan yang dilakukan secara per seorangan. Jarang sekali dimainkan secara beregu. Pesertanya hanya laki-laki, sedangkan anak perempuan berkumpul di suatu tempat pada siang hari. Kesempatan berkumpul hanya pada malam hari di rumah-rumah pengajian, sedangkan meu een aceue tidak dapat dimainkan pada malam hari. Jadi, praktis anak perempuan tidak ikut serta dalam permainan ini. Seperti halnya permainan lain, permainan meu een aceue juga mempunyai peraturan tersendiri, yaitu sebagai berikut: - Jumlah peserta bergantung konsensus, dapat beranggotakan dua, tiga, empat, dan seterusnya. Lama permainan tidak dapat ditentukan, bergantung pada kondisi dan situasi peserta dan perlengkapan yang ada. - Tumpukan aneuk kiroe atau tumpukan anak kemiri berada pada garis lurus. Untuk mencari siapa yang terdahulu memukul, dengan cara melempar eumpien artinya satu kemiri yang ditempa khusus alat pemukul ke arah garis lurus tersebut tempat tumpukan kemiri tersebut. - Eumpien yang terjatuh dari garis lurus dan tumpukan kemiri itulah yang pertama memukul. - Waktu memukul harus dengan berjongkok. - Pergantian giliran terjadi bila tumpukan kena dan berserakan; pukulan dianggap sah apabila tumpukan berserakan. Tieak bhak artinya lempar eumpien ke arah garis lurus tempat tumpkan kemiri disusun. Eumpien yang terjauh dari tumpukan kemiri dan garis tersebut merupakan yang pertama memukul. Kita misalkan ada empat orang yang bermain tentunya ada empat tumpukan pada garis lurus. Tumpukan tersebut dapat berjumlah lima, delapan, sepuluh, dan sebagainya menurut perjanjian. Kita anggap tumpukan itu bernomor satu, dua, tiga, dan empat. Si pemukul mulai memukul nomor satu atau nomor empat karena harus selalu dipilih tumpukan ujung. Katakanlah pukulan pertama sah, seluruh anggota tumpukan itu menjadi milik si pemukul. Lalu si pemukul me49
neruskan pukulan berikutnya, juga harus dipilih tumpukan ujung secara berturut-turut pukulannya semua berhasil, maka seluruh tumpukan tadi menjadi milik daripada si pemukul tadi. Permainan diulang mulai dari tieak bhak kembali. Dapat juga dianggap, pemain bernomor seperti nomor tumpukan kemiri, yaitu nomor satu, dua, tiga, dan empat. Misalkan nomor satu telah melakukan tugasnya, apabila pukulan pertama gagal atau pukulan kedua gagal, atau pukulan ketiga gagal, maka terjadi pergantian pemukul (dari nomor satu ke nomor dua dan seterusnya). Pukulan yang sukses menjadi milik si pemukul. Agar tidak keliru kiranya jumlah tumpukan atau anggota tumpukan tersebut bergantung kepada perjanjian, adakala empat-empat, delapan, duabelas, dan seterusnya. Andaikata dalam permainan ini bersisa satu tumpukan, artinya nomor satu hanya berhasil satu tumpukan, demikian bagi nomor dua dan nomor tiga, sedangkan nomor empat gagal pukulannya, maka permainan diulang dari tiaek bhak kembali. Peranan Masa Kini. Meu een aceue merupakan permainan anakanak yang dimainkan secara musiman, khususnya pada waktu bulan puasa. Permainan ini telah cukup lama berkembang dan masih dimainkan oleh anak-anak khususnya di Kabupaten Aceh Utara, walaupun dalam kondisi yang relatif berkurang. Berkembangnya teknologi pertanian dan kesibukan lain serta pengaruh industri seperti L N G , pupuk Asean, pupuk Iskandar muda dan tak lama lagi juga Petro Kiinia, merupakan salah satu faktor kurangnya peminat untuk memainkan permainan ini. Tanggapan Masyarakat. Pada hakekatnya para orang tua masih berkeinginan supaya permainan ini tetap dikembangkan.
50
51
11. M E U C R E E K Nama Permainan. Meu creek adalah suatu permainan yang sering dimainkan anak-anak, terutama anak perempuan. Perkataan meu creek terdiri atas dua kata, yaitu meu dan creek. Meu singkatan dari kata meuen yang berarti permainan, sedangkan creek berasal dari bunyi yang ditimbulkan pada waktu memainkan permainan ini. Meu creek berarti permainan yang pada saat melakukan permainan ini menimbulkan b u n y i creek-creek sewaktu lidi-lidi yang dipergunakan dilambung ke atas. Permainan meu creek ialah sejenis permainan yang mempergunakan lidi-lidi dari daun kelapa atau lidi-lidi yang dibuat khusus dari kulit bambu yang diraut kecil-kecil. Mereka yang sering melakukan permainan i n i pada dasarnya telah menyediakan lidi yang tahan lama. yaitu yang dibuat dari bambu, sedangkan mereka yang melakukan permainan ini'sebentar saja, mereka akan mempergunakan lidi yang mudah diperoleh yaitu dari lidi daun kelapa. Dari b u n y i yang ditimbulkan oleh lidi-lidi inilah dasarnya dari pemberian nama untuk permainan i n i . Waktu Pelaksanaan. Sebagaimana halnya dengan jenis permainan lain, permainan i n i tidak mempergunakan waktu yang khusus, tetapi tidak berarti musiman atau mempunyai waktu tertentu atau dengan kata lain tidak berhubungan dengan sesuatu upacara tertentu. Waktu tersebut sangat bergantung kepada waktu berkumpulnya anak-anak. Biasanya waktu yang banyak dipergunakan untuk melakukan permainan i n i adalah pada waktu senggang. Bagi anak-anak yang belum bersekolah, bermain pada pagi hari dan sore hari. Bila pada masa yang lalu mereka belajar agama secara bersama-sama di rumah tempat pengajian, mereka sebelum mengaji atau sesudahnya, melakukan permainan i n i . Jadi, tegasnya waktu yang dipergunakan tidak ada suatu keharusan atau tidak terikat dengan upacara-upacara tertentu, demikian pula dengan musim-musim tertentu. Dengan demikian permainan i n i dapat dilakukan kapan dan di mana saja. Latar Belakang Sosial Budaya. Menjelaskan latar belakang sosial budaya dari pendukung-pendukung jenis permainan i n i , erat kaitannya dengan perkembangan sosial budaya di dalam masyarakat Aceh itu sendiri. Permainan i n i merupakan permainan rakyat pada umumnya atau permainan anak-anak pada khususnya, tidak terlepas dari 52
perjalanan waktu. Yang kita maksudkan dengan perjalanan waktu di sini adalah pada mulanya permainan ini berkembang di dalam masyarakat yang kecil, selanjutnya berkembang atau meluas menjadi permainan rakyat atau permainan yang digemari rakyat. Menurut hasil wawancara yang dilakukan penulis terhadap beberapa informan yang dijadikan sumber dalam meneliti permainan ini, diperoleh beberapa data seperti yang akan dijelaskan selanjutnya. Pada waktu masyarakat Aceh masih sangat terikat dengan lapisan sosial di dalam masyarakat di mana terdapat golongan bangsawan sebagai pengussa dan golongan rakyat yang dipimpinnya, permainan ini hanya dimainkan oleh lapisan rakyat, sedangkan kalangan anakanak golongan bangsawan tidak terlibat di dalamnya. Hal ini bisa dimengerti bahwa untuk kalangan anak bangsawan terdapat permainan yang tidak dimainkan oleh rakyat banyak. Bagi anak-anak rakyat melakukan permainan ini tidak membutuhkan perlengkapan yang harus dibeli, tetapi dapat diperoleh dengan mudah sesuai dengan kondisi masyarakat itu sendiri. Dalam kurun waktu berikutnya, yaitu pada saat-saat struktur lapisan sosial sudah mulai menipis, serta hubungan yang salama ini terdapat jurang pemisah sudah mulai mendangkal, permainan ini berkembang menjadi lebih luas. Pada masa sesudah Indonesia mereka, permainan ini telah dimainkan oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa membedakan lagi dari lapisan mana mereka berasal. Pada masa ini, jenis permainan ini sebagaimana permainan yang lain sudah merupakan sarana bagi anak-anak untuk saling bertemu. Melalui permainan ini mereka telah dapat bergaul secara bebas serta menghapuskan jurang pemisah yang telah terjadi pada masa-masa yang lalu. Latar Belakang Sejarah Perkembangan. Lahirnya permainan ini merupakan manifestasi dari kehidupan masyarakat pedesaan terutama di dalam mengisi waktu yang terluang bagi anak-anak mereka. Masyarakat terutama para pemikir yang terdapat di dalam setiap kelompok masyarakat selalu kreatif dalam menciptakan pelbagai kebutuhan masyarakat termasuk di dalamnya aspek seni sebagai salah satu dari kebutuhan warga masyarakat. Demikian pula halnya dengan pencintaan bermacam-macam jenis permainan dari tingkat anak-anak sampai kepada permainan orang dewasa yang sekarang telah menjadi milik bersama dan merupakan karya yang anonim. Jelasnya permainan-permainan itu telah diciptakan dan telah uiterima menjadi miük masyarakat. 53
Dari berbagai jenis permainan yang diciptakan itu, terdapat pelbagai bentuk atau pelbagai sifat, ada yang bersifat sarana sosialisasi, games of strategi, rekreatif (unsur hiburan), dan lain-lain. Untuk jenis permainan ini dapat digolongkan ke dalam jenis permainan yang bersifat memberikan hiburan kepada anak-anak atau para pemain itu sendiri. Di samping itu, permainan meu creek ini terdapat unsur latihan kecerdasan yang mewajibkan mereka untuk menghitung lidi-lidi yang dipergunakan sebagai alat dalam permainan. Seperti telah dijelaskan di dalam latar belakang sosial budaya para pemainnya bahwa perkembangan permainan ini mengikuti perkembangan sejarah masyarakat pendukungnya. Pada awal dari terciptanya permainan ini masih berkembang pada lingkungan masyarakat yang sangat terbatas, dan taraf selanjutnya semakin meluas sesuai dengan perkembangan sosial politik masyarakat itu sendiri. Dalam perkembangan terakhir, permainan ini telah berkembang menjadi permainan rakyat secara keseluruhan dan telah menjadi milik semua lapisan masyarakat. Demikianlah secara singkat dalam hubungan dengan latar belakang sejarah dari perkembangan permainan ini yang tidak bisa dipisahkan dari perkembangan masyarakat pendukungnya. Peserta/Pelaku. Berbicara masalah peserta atau pelaku dari permainan ini seperti telah diutarakan di atas, dimainkan oleh anak-anak terutama anak perempuan. Sesuai dengan sifat permainan ini yang lebih mengarah kepada unsur rekreatif daripada unsur kecerdasan, tentu saja banyak digemari anak-anak. Walaupun telah dikatakan permainan dimainkan anak-anak perempuan tidak berarti bahwa permainan ini tertutup bagi anak laki-laki. Anak laki-laki dapat pula diikutsertakan dalam permainan ini, tetapi sesuai dengan kodratnya mereka jarang yang mau memainkan permainan meu creek. Permainan meu creek biasanya dimainkan anak-anak yang berusia kira-kira 6-13 tahun. Pengelompokan usia ini tetap ada apabila para pemain yang telah berkumpul agak banyak. Hal ini mengikuti pengelompokan usia, misalnya 6 - 1 0 dan 10-13 tahun, masingmasing membentuk kelompok tersendiri. Seandainya pemain hanya beberapa orang, pengelompokan tidak dilaksanakan. Pengelompokan ini dilakukan semata-mata untuk mencari kawan bermain yang seimbang agar permainan dapat berlangsung dengan baik. Jika di dalam permainan terdapat anak laki-laki, pada umumnya anak laki-laki tersebut yang terlibat di dalamnya berkisar pada usia di bawah 10 tahun 54
karena anak pada usia tersebut masih bergaul bersama-sama dengan anak-anak perempuan. Peralatan/Perlengkapan Permainan. Peralatan atau perlengkapan permainan meu creek sangat sederhana, yaitu lidi. Lidi-lidi ini dapat diperoleh dari daun kelapa yang telah kering atau dapat pula dibuat dari bambu yang diraut sampai kecil. Lidi-lidi ini mempunyai ukuran panjang antara 10—15 cm, ukuran yang mudah digenggam oleh anakanak. Lidi-lidi ini harus dicari sendiri oleh setiap pemain yang jumlahnya tidak tentu. Ada yang menyediakan 10, 15 dan 20 bergantung kepada perjanjian dalam bermain. D i samping itu, diperlukan batubatu kecil yang mudah disembunyikan di dalam telapak tangan, jumlahnya pun tidak tentu. Hal ini sangat bergantung pada perjanjian yang dibuat sebelum melakukan permainan. Batu-batu kecil ini dipakai oleh pemenang dan harus diterka oleh pemain yang kalah berapa biji yang disembunyikan di dalam telapak tangan. Hal ini akan dijelaskan dalam jalannyapermainan. Peralatan lainnya tidak ada; sedangkan lapangan tempat bermain tidak diperlukan karena permainan ini dapat dilakukan di bawah kolong rumah, di bawah pohon kayu yang rindang yang terlindungi sinar matahari di waktu siang dengan kata lain dapat dimainkan di mana saja. Iringan Permainan. Permainan ini tidak diiringi oleh iringan apa pun. Jalannya Permainan. Pada bagian ini kita ingin mencoba menjelaskan tentang cara-cara melakukan permainan ini, agar semua orang yang berminat dapat melakukannya. Apabila peralatan yang diperlukan telah tersedia, permainan dapat dimainkan di mana saja. Adapun peralatan yang diperlukan untuk permainan ini, seperti yang telah dijelaskan di atas, yaitu lidi-lidi yang dibuat dari lidi daun kelapa dari kulit bambu, dan dapat pula dari kulit pelepah rumbia. Biasanya para pemain yang gemar melakukan permainan ini telah menyediakan perlengkapan ini sebelumnya dan perlengkapan yang dapat dipergunakan untuk beberapa kali. Setelah pemain berkumpul, sedikitnya dua orang anak, barulah permainan dimulai. Mula-mula diadakan perjanjian tentang berpa skor atau nilai (poin) yang akan dimainkan untuk sekali permainan (satu set). Hal ini perlu dimufakati terlebih dahulu karena tidak ada suatu ketentuan yang khusus. Dalam permainan ini hanya ditentukan cara-cara bermain, sedangkan yang lain dapat dimusyawarahkan sebelum bermain. 55
Cara melakukan permainan adalah sebagai berikut: setelah menentukan urutan para pemain melalui cara yang lazim dipergunakan melalui sut dan syarat-syarat lain telah disepakati, yang mulamula melakukan permainan adalah pemain yang mendapat giliran pertama. Dia mengambil lidi sejumlah yang dimufakati (10, 15, atau 20), lalu menaruh di atas telapak tangan. Setelah lidi tersebut diletakkan di atas telapak tangan kemudian dilambungkan ke atas dan dengan segera pula pemain tersebut membalikkan telapak tangannya untuk menahan lidi tersebut melalui tangan. Setiap pemain yang telah melambungkan lidi tersebut harus berusaha agar dapat menyangkut di punggung tangan sebanyak-banyaknya. Bila lidi dapat menyangkut di punggung tangan sebanyak dua atau tiga, berarti dia memperoleh nilai dua atau tiga. Artinya nilai yang diperoleh adalah sebanyak lidi yang dapat menyangkut di punggung tangan. Pada setiap kali naik apabila tidak berhasil satu lidi pun menyangkut di atas punggung tangan berarti pemain tersebut telah mati. Selanjutnya akan naik pemain berikutnya. Demikianlah permainan ini dilakukan berulang-ulang sampai game set. Pemenang yang keluar dalam setiap permainan adalah yang berhasil mencapai nilai yang telah dimufakati. Untuk menentukan pemenang seperti telah disebutkan adalah yang lebih dahulu mencapai nilai yang telah ditentukan, ini berlaku bagi pemain yang hanya dua orang. Dalam hal permainan dilakukan oleh lebih dari dua orang, yang keluar sebagai pemenang adalah yang dapat mencapai nilai tersebut dengan sistem siapa yang telah game dia tidak lagi ikut bermain dan dilanjutkan oleh mereka yang belum game yang pada akhirnya tinggal dua orang yang akan bermain. Yang tidak dapat menyelesaikan permainan, dinyatakan pemain yang kalah sehingga mendapat hukuman dari pemain-pemain yang menang. Hukuman itu biasanya dengan mengetuk lutut atau pergelangan tangan yang dilakukan oleh pemenang masing-masing sebanyak yang telah dimufakati sebelumnya. Demikianlah permainan ini dilakukan beberapa kali dengan cara-cara yang telah disebutkan di atas, sampai mereka menghentikan permainan atau di antaranya ada yang menyatakan tidak bersedia lagi bermain. Peranan Masa Kini. Menyinggung tentang peranannya masa kini sama halnya dengan jenis permainan rakyat tradisional lainnya, yaitu mengalami kemunduran. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor yang tidak berdiri sendiri, baik faktor dari dalam maupun dari luar. Yang dimaksud faktor dari dalam adalah kurangnya menaruh minat untuk 56
melakukan permainan ini walaupun generasi sebelumnya telah mencoba mentransfer permainan melalui ceritera-ceritera. Hal ini tentu saja sangat dipengaruhi oleh faktor dari luar, yaitu banyaknya jenisjenis permainan yang modern. Permainan modern ini dimainkan terutama di sekolah-sekolah dan di dalam permainan terdapat unsur rangsangan yang lebih besar karena umumnya permainan modern dapat dipertandingkan, dan pertandingan ini memberikan keuntungan kepada mereka jika memperoleh kemenangan, sedangkan permainan meu creek tidak pernah dipertandingkan dan lebih merupakan permainan yang tidak bersifat kompetitif. Mereka bermain semata-mata untuk mengisi waktu dan mencari kesenangan. Tanggapan Masyarakat. Permainan ini sekarang sedang mengalami pasang surut seperti yang dijelaskan di atas, dan tidak memainkan perananya lagi dalam kehidupan anak-anak. Masyarakat tidak menaruh minat untuk mengembangkan permainan ini seperti yang telah dijelaskan di atas, terutama anak-anak itu sendiri selaku pemain telah berkurang perhatiannya. Hal ini karena perkembangan masyarakat yang semakin meningkat dari zaman ke zaman, banyak di antaranya yang tidak mempunyai waktu lagi untuk memikirkan hal-hal yang menyangkut dengan perkembangan dan penerusan bentuk-bentuk permainan tradisional. Masyarakat dewasa ini merasa acuh tak acuh terhadap bentuk permainan tradisional dan mereka lebih menggemari jenis-jenis permainan yang baru. Banyak di antara anggota keluarga masyarakat yang dengan mudah membeli alat-alat permainan yang terdapat di pasar-pasar dengan harga yang mampu dijangkau. Hal-hal yang demikian turut mempercepat proses terdesaknya jenis-jenis permainan tradisional yang telah menjadi permainan rakyat termasuk di dalamnya permainan meu creek ini.
57
58
12. M E U SOM-SOM A N E U K Nama Permainan. Meuen som-som aneuk di dalam bahasa Indonesianya adalah permainan sembunyi-sembunyian anak. Meu berasal dari kata meuen artinya bermain, som-som berarti sembunyi-sembunyian, dan aneuk berarti anak. Diberi nama demikian karena di dalam permainan ini ada sebuah benda yang disebut anak, biasanya adalah batu kecil yang selalu disembunyikan untuk dicari oleh temanteman bermain lainnya. Nama lain yang diberikan untuk permainan ini adalah meu somsom mie atau som-som mie. Yang dimaksud dengan mie yaitu aneuk atau anak yang harus dicari, som-som mie disebabkan pada waktu hendak menyembunyikan anak tersebut diucapkan dengan perkataan kusom mie, yang maksudnya aku sembunyikan anak. Hal ini akan dijelaskan dalam jalannya permainan. Baik yang menyebut permainan dengan som-som aneuk maupun som-som mie, cara melakukannya atau aturan-aturannya adalah sama. Permainan ini sering dimainkan anak-anak terutama di pedesaan pada zaman lampau pada masyarakat Aceh. Waktu Pelaksanaan. Permainan ini sama halnya dengan jenis permainan anak-anak lainnya tidak terikat dengan waktu, dapat dilakukan pada waktu pagi, siang, atau malam hari, bergantung pada hadirnya para pemain. Waktu untuk melakukan permainan ini, bila anak-anak berkumpul atau bila ada upacara-upacara seperti perkawinan, keagamaan, dan lain-lain, atau pada malam hari pada waktu bulan purnama setelah mereka belajar. Dengan demikian unsur waktu di dalam permainan ini tidak mutlak harus diperhitungkan atau dengan kata lain waktu yang diperlukan untuk melakukan permainan ini tidak terikat dan dimainkan bila ada waktu senggang. Latar Belakang Sosial Budaya Pelaku Permainan. Meuen somsom mie adalah sejenis permainan rakyat yang didukung oleh seluruh lapisan rakyat dengan tidak memperhatikan latar belakang sosial pemain. Dengan kata lain jurang pemisah.dari berbagai kelompok di dalam masyarakat dapat dipertemukan melalui jenis permainan ini karena anak-anak saling bertemu dan saling bermain dengan tidak mempersoalkan status sosial masing-masing. Demikian pula halnya dengan sikap orang tua tidak mempersoalkan latar belakang tersebut di atas. 59
Meu som-som aneuk termasuk jenis permainan hiburan karena tidak untuk mencari yangkalah atau yang menang. Karena permainan ini penuh kegembiraan dan bersifat kekeluargaan, tentu saja disenangi setiap lapisan anak-anak. Jika ada di antara mereka saling bermusuhan, dengan ikut bermain, lama-lama atau setidak-tidaknya pada akhir permainan telah bersahabat kembali. Latar Belakang Sejarah Perkembangan. Beberapa informan menyebutkan sejarah lahirnya permainan ini merupakan suatu ciptaan agar anak-anak tidak membuat keributan pada setiap perayaan/keramaian, misalnya pada perkawinan, kenduri, dan lain-lain. Setelah bermain tentu saja keributan dapat diatasi, dan mereka berkumpul di suatu tempat yang agak jauh dari keramaian. Mereka bermain sampai tiba waktu makan dan setelah makanan tersaji. Selesai makan biasanya mereka akan melanjutkan permainannya lagi. Kapan permainan i n i ada, tidak ada informan yang mengetahui dan menurut mereka permainan i n i sudah dikenal sejak lama. Perkembangan permainan i n i m e m p u n y a i masa pasang dan surut. Pada waktu yang lampau sebelum banyak diperkenalkan permainan modern, permainan ini sangat digemari anak-anak. Pada masa itu sampai dengan tahun 50-an, meuen som-som aneuk masih terdapat di setiap kampung. Bila bulan purnama, di tempat-tempat pengajian anak-anak akan memanfaatkan waktu yang baik. Setelah tahun 50-an permainan i n i mengalami masa surut, dan akhir-akhir i n i sudah agak dilupakan. Pemain/Pelaku. Peserta meuen som-som mie tidak dibatasi, semakin banyak semakin baik karena suasana akan lebih meriah. Sesuai dengan sifat permainan, tentu saja para pemain berusaha untuk menarik anggotanya sebanyak mungkin. Permainan i n i dapat dilakukan oleh anak laki-laki dan atau anak perempuan, yang berusia antara 6 sampai 1 5 tahun. Usia di bawah 6 tahun dianggap masih kanak-kanak sekali oleh teman-temannya, dan yang telah melewati d i atas 1 5 tahun tidak dilarang untuk bermain. tetapi pada dasarnya mereka sendiri telah malu. N a m u n , tidak dapat disangkal kadang-kadang anak-anak yang telah lewat dari usia itu masih juga turut bermain. Permainan i n i baru dapat dilakukan sekurang-kurangnya empat orang pemain. Misalnya pemain hanya terdiri dari tiga orang, yaitu A , B , dan C. S i A bertindak sebagai p e n y e m b u n y i dan B serta C se60
bagai pencari anak yang disembunyikan. Tentu saja kalau disembunyikan pada C dan yang ditanya pada siapa anak itu disembunyikan pada B tentu saja jawabnya pada C. Bila dalam melakukan permainan terdapat banyak peserta dan di samping itu terdapat variasi usia yang berbeda, dengan sendirinya akan dibagi menjadi dua kelompok. Mereka yang di bawah 10 tahun akan mengelompokkan sendiri, demikian pula yang telah 10 tahun akan membuat kelompok tersendiri pula. Harus diingat bahwa permainan ini bukan permainan yang dapat dipertandingkan antar kelompok. Jadi, masing-masing kelompok bermain sendiri. Peralatan/Perlengkapan Permainan. Seperti telah dijelaskan di atas, permainan lebih dititikberatkan pada unsur kegembiraan, sedangkan peralatan yang dipergunakan boleh dikatakan tidak ada. Satu-satunya yang diperlukan adalah yang disebut anak, baik berupa batu kecil maupun kayu, atau dapat juga semua benda untuk anak dengan syarat dapat digenggam di dalam tangan dengan tidak nampak. Anak (aneuk) atau apa yang disebut mie memegang peranan dalam permainan. Lapangan untuk bermain tidak diperlukan, mereka dapat bermain di mana saja, di bawah rumah, di bawah pohon kayu asal dapat menampung mereka yang turut bermain untuk membentuk sebuah lingkaran. Iringan Permainan. Permainan ini tidak diiringi oleh iringan apa pun. Jalannya Permainan. Setelah beberapa orang anak berkumpul pada suatu tempat dan mereka sepakat untuk melakukan permainan barulah permainan dapat dimulai. Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa permainan ini baru dapat dilakukan apabila pemain yang telah berkumpul lebih dari tiga orang atau dengan kata lain minimal ada empat orang. Misalkan pemain yang telah berkumpul lima orang, yaitu si A, B, C, D, dan E. Sebelum melakukan permainan mereka secara bersama-sama menetapkan benda yang akan dijadikan anak untuk disembunyikan. Hal ini perlu untuk menjaga jangan terjadi kekeliruan, misalnya ditukar oleh seorang teman atau ditambah dengan anak yang lain. Setelah mereka bersepakat menentukan benda yang dijadikan anak, batu dan identitas dari batu itu telah dikenal bersama oleh para pemain dan tidak mungkin lagi terjadi kekeliruan, barulah permainan dimulai. 61
Dalam melakukan permainan som-som aneuk ini, seorang di antara pemain bertindak sebagai penyembunyi dan yang lainnya sebagai orang/pemain yang mencari tempat persembunyian anak tersebut. Untuk memulai permainan dan untuk menentukan orang pertama menjadi penyembunyi dilakukan undian sesama mereka. Cara melakukan undian melalui sut. Misalkan yang keluar sebagai pemenang adalah si B, berarti dialah yang bertindak sebagai penyembunyi aneuk. Setelah ada pemain yang bertindak sebagai penyembunyi, yaitu pemenang dari hasil undian seperti yang telah dijelaskan di atas, langkah kedua yang diambil adalah membentuk lingkaran untuk memulai 'permainan. Kalau tidak dalam bentuk lingkaran, para pemain dapat pula berbaris pada suatu garis. Kegunaan lingkaran atau garis ini untuk memudahkan penyembunyi menyembunyikan aneuk di antara sesama teman yang kalah dalam undian. Setelah si A, C, D, dan E membentuk lingkaran dengan menghadap keluar, selanjutnya mereka membungkuk dengan tangan-tangan mereka menelentang di atas tulang belakang (punggung). Demikian pula apabila si A , C, D, dan E tadi berbaris, mereka juga harus membungkuk dengan tangan menelentang di atas tulang belakang (punggung). Langkah selanjutnya yang dilakukan sekarang, si B sebagai penyembunyi aneuk atau mie, mengambil aneuk/mie untuk disembunyikan di antara si A, C, D, atau E. Aneuk dipegang oleh si B, sedangkan si A, C, D, dan E membungkuk dengan tangan menelentang di atas tulang belakang untuk memudahkan menyembunyikan aneuk oleh B. Kemudian B dengan menyanyikan jel-jel sambil berputar di luar lingkaran atau sambil berjalan di depan barisan dengan batu di tangan dan meletakkan tangannya yang berisi batu satu per satu di atas tangan A, C, D, dan E. Untuk menetapkan pada siapa batu tersebut disimpan di antara A , C, D, atau E bergantung pada B. Selanjutnya yang harus mencari tempat aneuk tersebut disembunyikan adalah pemain yang kejatuhan tangan B, setelah jel-jel berakhir diucapkan. Setelah B menanyakan misalnya pada A, di mana aneuk disembunyikan tentu saja A harus menerka pada siapa aneuk itu berada di antara C, D, dan E. Misalkan aneuk berada di tangan C, lalu A menyebut pada D atau E, dengan demikian B masih memimpin permainan kembali. Perlu diingat setelah jel-jel berakhir diucapkan oleh B, kemudian A, C, D, dan E berdiri tegak dengan tangan digenggam, kecuali A karena ia pemain yang harus mencari aneuk. Bila A berhasil 62
menebak tempat atau pemain yang menggenggam aneuk dengan benar, maka yang memimpin permainan selanjutnya adalah A karena ia telah berhasil sedangkan B sekarang menjadi orang/pemain yang harus masuk ke dalam barisan atau lingkaran. Jel-jel yang diucapkan oleh penyembunyi, kadang-kadang diikuti diikuti oleh seluruh pemain yang berbunyi: "Crok-crok encing, ku peucrok ku peu ranteng, jinoe ku som mie saboh, ka beudoh bak soo meun". Sambil mengucapkan jel-jel ini si penyembunyi aneuk dengan aneuk di dalam tangan terus memegang tangan pemain lainnya yang terlentang di atas tulang belakang satu per satu. Apabila aneuk/mie telah diletakkan pada salah seorang, tangannya harus terus menggenggam agar aneuk tersebut tidak jatuh dan tidak pula diketahui oleh teman di sampingnya. Orang yang harus mencari aneuk adalah orang yang kena pegang tangannya pada saat ucapan "bak soo meuh" berakhir. Demikianlah permainan ini dilakukan secara terus menerus, bila yang menerka menang, dia yang kemudian menjadi penyembunyi dan jika kalah permainan masih tetap dipimpin oleh penyembunyi terdahulu.
Adapun arti dari jel tersebut: crok-crok encing tidak mempunyai arti, kata ini merupakan sampiran bila dalam sebuah pantun. Ku peucrok ku peu ranteeng artinya aku mengejar dengan ranting, jino kusom mie saboh berarti sekarang aku menyembunyikan anak, ka beudoh bak soo meuh artinya sekarang kalian bangun pada siapa anak itu. Peranan Masa Kini. Sebagaimana yang telah dijelaskan terdahulu bahwa permainan ini merupakan suatu permainan yang sudah langka diketemukan di dalam masyarakat. Permainan ini tidak begitu disukai lagi oleh anak-anak, hai ini disebabkan telah banyak jenis permainan yang modern yang telah mereka pelajari di sekolah yang kemudian mereka terapkan di kampung. Banyak di antara anak-anak yang tidak tahu sama sekali tentang permainan ini, demikian pula halnya dengan orang-orang tua yang tidak meneruskan permainan ini kepada generasi sekarang. Mereka menganggap permainan ini tidak begitu bermanfaat, baik ditinjau dari segi keolahragaan maupun segi kecerdasan, sedangkan dari segi hiburan telah terdapat berbagai jenis kegembiraan dalam bentuk yang lain. 63
Tanggapan Masyarakat. Tanggapan yang diberikan masyarakat yang dulunya adalah merupakan pendukung permainan ini, sekarang enggan untuk meneruskan atau mengajarkan kepada anak-anaknya. Kendati pun demikian bukanlah berarti bahwa permainan ini dilarang sama sekali oleh masyarakat. Menurut pengamatan penulis dalam waktu yang tidak lama lagi, permainan ini akan hilang.
64
65
13. PEH KAYEE Nama Permainan. Salah satu permainan yang berkembang di dalam masyarakat Aceh dan digemari anak-anak pada masa dahulu di dalam masyarakat Aceh adalah peh kayee. Nama permainan ini menurut hasil wawancara dengan masyarakat penggemarnya adalah berdasarkan kepada caranya melakukan permainan dan alat yang dipergunakan di dalam permainan tersebut. Meuen peh kayee terdiri atas tiga kata, yaitu meuen, peh, dan kayee. Meuen berarti bermain atau permainan, peh dapat berarti dengan memukul, dan kayee berarti kayu. Jadi, meuen peh kayee secara keseluruhannya berarti sejenis permainan yang mempergunakan kayu sebagai peralatan permainan dengan cara memukul kayu tersebut. Walaupun permainan ini disebut meuen peh kayee, tidak berarti mutlak harus mempergunakan kayu sebagai alatnya, kadang-kadang juga mempergunakan kayu sebagai alatnya, kadang-kadang juga mempergunakan rotan, pelepah rumbia, atau aur yang telah kering. Cara dan fungsinya akan dijelaskan di dalam jalannya permainan. Permainan ini selain disebut meuen peh kayee, ada pula yang menyebutnya meuen gök, dan ada pula yang menyebutnya dengan meuen sungkeet. Pemberian nama berdasarkan cara melakukan permainan seperti yang telah disebutkan di atas. Meuen sungkeet adalah permainan yang dilakukan dengan cara menyungkit kayu yang akan dipukul, sedangkan pemberian nama meun gok, yang diwawancarai tidak dapat memberikan arti yang sesungguhnya dan mereka menyebutkan memang telah diberikan sejak dulu. Waktu Pelaksanaan. Meuen peh kayee atau disebut juga meuen gok, atau meuen sungkeet, waktu pelaksanaannya permainan ini tidak terikat sama sekali, artinya tidak bergantung pada waktu tertentu hanya bergantung pada siapa yang akan bermain. Jika para pemainnya telah ada minimal dua orang, permainan dapat dilangsungkan. Hal ini bergantung pula pada tersedianya lapangan permainan yang cukup. Karena pada umumnya lapangan permainan ini telah tersedia di beberapa tempat yang mudah dijangkau oleh anak-anak atau dengan kata lain lapangan yang telah disediakan adalah di tempat yang strategis, biasanya di tengah-tengah perkampungan. Apabila anak-anak yang akan bermain telah hadir dan sepakat untuk bermain, maka permainan dapat dilangsungkan. Permainan ini tidak pernah 66
dimainkan pada malam hari dan bergantung pada keadaan alam. Waktu yang sering digunakan anak-anak pada umumnya sehabis makan atau pada waktu istirahat setelah melakukan sesuatu pekerjaan atau pada waktu mereka telah sampai di tempat-tempat pengajian sebelum melakukan pengajian. Latar Belakang Sosial Budaya Pelaku Permainan. Latar belakang sosial budaya para pemain atau yang menjadi pendukung permainan ini sama halnya dengan jenis permainan lainnya yang terdapat di Daerah Istimewa Aceh, khususnya yang mempergunakan kebudayaan Aceh. Permainan ini bersifat permainan yang ringan dan mudah dilakukan oleh anak-anak. Permainan ini tidak membedakan asal keturunan atau status sosial dengan kata lain didukung oleh seluruh lapisan masyarakat. Permainan ini merupakan sarana yang ampuh bagi anak-anak untuk dapat bergaul. Para orang tua yang anak-anaknya bermain permainan ini tidak pernah mempersoalkan dengan siapa mereka melakukan permainan dan selalu mengawasi agar mereka tidak berbuat jahat. Karena itu permainan ini dapat dianggap sebagai suatu usaha untuk menghindarkan anak-anak dari pekerjaan yang mengarah kepada kejahatan. Dengan permainan ini anak-anak telah mengisi waktu senggang. Latar Belakang Sejarah Perkembangan Permainan. Dalam menelusuri sejarah lahirnya serta perkembangan permainan ini agak sukar karena tidak diperoleh data-data yang diperlukan untuk dianalisa. Hal ini disebabkan permainan ini telah terdapat di dalam masyarakat Aceh dalam kurun waktu yang cukup lama. Para informan yang dulu pernah melakukan permainan ini, memberikan jawaban yang menyebutkan bahwa mereka hanya meneruskan permainan yang telah lama dikenal sejak dahulu atau generasi sebelumnya. Di samping tidak berhasil mengungkapkan sejarah lahirnya atau asal usul dari permainan ini, juga sejarah perkembangannya, berdasarkan data-data yang dapat dikumpulkan permainan ini dalam perkembangannya telah mendapat tempat yang baik di dalam masyarakat. Hal ini disebabkan bahwa di dalam permainan ini terkandung unsurunsur pendidikan dan olah raga. Unsur pendidikan yang terkandung di dalamnya adalah kejujuran dan hitungan karena mempergunakan angka bilangan sampai seribu atau lebih (sesuai dengan perjanjian) untuk mengakhiri permainan. Angka-angka ini harus diperoleh oleh 67
satu group atau seorang pemain dan mereka menghitungkan masingmasing, tidak boleh melakukan penipuan; sedangkan olah raga terletak pada gerakan permainan yang melakukannya. Pemain/Pelaku. Para pemain yang bermain permainan ini adalah yang telah dapat menghitung atau mereka yang telah belajar menghitung karena permainan ini menggunakan hitungan dalam mengakhiri setiap permainan. Para pemain dapat terdiri atas anak-anak laki saja dapat pula anak-anak perempuan saja, atau dapat pula laki-laki dan perempuan. Dalam permainan yang bersifat campuran, yang harus diperhatikan adalah faktor keseimbangan kelompok seperti yang telah dijelaskan di atas, sehingga permainan dapat berlangsung dalam waktu yang lama dan seimbang. Peralatan/Perlengkapan Permainan. Perlengkapan yang diperlukan hanyalah sebuah gagang sepanjang kurang lebih 60 cm yang dipergunakan sebagai alat pemukul dan sebuah anak kayee sepanjang lebih kurang 10—15 cm untuk dipukul pemain. Selain itu diperlukan pula sebuah lapangan untuk bermain yang mempunyai panjang antara 10-20 meter. Adapun alat yang dipergunakan untuk gagang ataupun anak dapat dipakai kayu yang telah kering atau dapat pula bahan-bahan lain seperti rotan, pelepah rumbia, atau aur. Jika yang dipergunakan untuk gagang adalah kayu, maka untuk anaknya harus dipergunakan kayu pula, demikian pula seterusnya. Hal ini adalah untuk menjaga keseimbangan antara gagang dan anaknya, sehingga tidak ada yang lebih berat, misalnya lebih berat gagang yang terbuat dari kayu sedangkan anak dari pelepah rumbia lebih ringan dan ini tidak dibenarkan dalam permainan ini. Iringan Permainan. Permainan ini tidak diiringi iringan apa pun. Jalan Permainan. Permainan baik dalam bentuk perseorangan maupun dalam bentuk beregu, cara dan aturan permainan adalah sama. Dalam permainan kelompok sebelum memulai permainan terlebih dahulu mereka membagi kelompok atas dua bagian yang sama kuat untuk menjaga keseimbangan permainan. Sebelum kita jelaskan jalannya permainan baiklah diperkenalkan lebih dahulu beberapa istilah yang dipergunakan di dalam permainan, yaitu boh sungkeet, boh pet, dan boh jeungki. Yang dimaksud boh sungkeet adalah bola pertama dalam memulai permainan dengan menyungkit anak yang telah 68
diletakkan di atas lobang yang telah disediakan dengan gagangnya sekuat mungkin ke arah lawan. Boh peh adalah bola kedua di mana anak diumpamakan sebagai bola sesudah dilambung ke atas kemudian dipukul sekuat mungkin ke arah lawan, sedangkan boh jengki adalah bola ketiga, di mana anak diletakkan di atas lobang secara membujur yang sebagian berada di dalam lobang dan sebagian berada di atas, kemudian dipukul bagian atas sampai naik, setelah anak ini naik dari atas lobang diusahakan untuk dipukul secara lemah beberapa kali dan seandainya tidak dapat dipukul secara lemah barulah dipukul yang kuat ke arah lawan. Setelah pembagian pemain menjadi dua regu dan untuk masingmasing regu memilih pimpinan regu untuk mengatur jalannya permainan regunya masing-masing. Kedua pimpinan regu melakukan sut, demikian pula dalam permainan per seorangan, untuk menentukan pemenang yang akan memulai permainan dan yang kalah menjadi penjaga. Tugas pimpinan regu yang lain juga menentukan siapa yang naik pertama, kedua, dan seterusnya; tidak pula dilupakan untuk menghitung. Seperti telah dijelaskan di atas bahwa permainan ini adalah permainan anak-anak yang telah pandai berhitung. Anak-anak yang selalu melakukan permainan ini adalah anak-anak yang telah berumur sekitar 8-16 tahun. Apabila dibandingkan dengan keadaan sekarang, para pemain yang dapat melakukan permainan adalah mereka yang telah duduk di kelas dua serendah-rendahnya sampai kepada mereka yang telah belajar di SMP. Mengenai jumlah pemain dapat dijelaskan bahwa permainan ini dapat dimainkan oleh per seorangan atau beregu. Bila permainan dilakukan secara per seorangan dapat dilakukan oleh dua atau tiga orang yang masing-masing akan menghadapi lawan bermainnya secara sendiri-sendiri. Selain dapat dilakukan permainan secara per seorangan dapat pula dilakukan dengan berkelompok yang pada dasarnya terdiri atas dua kelompok. Masing-masing kelompok tidak ada pembatasan bergantung pada jumlah pemain yang hadir. Untuk membagi kelompok, yang harus diperhatikan adalah faktor keseimbangan baik dari segi umur maupun dari segi kecakapan pemain. Hal ini dapat diterangkan misalnya ada 6 orang pemain, masing-masing regu 3 orang. Kriteria pertama dipakai umur dan yang kedua kecakapan bermain, jangan sampai untuk satu regu ketiga pemain pandai-pandai dan yang satu lagi semuanya pemain yang belum pandai. 69
Menylnggung latar belakang para pemain dan jenis kelaminnya tidak terdapat perbedaan. Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa permainan ini tidak membedakan tentang latar belakang sosial para pemain, mereka dapat bermain secara bersama-sama. Demikian pula mengenai jenis kelaminnya, mereka dapat melakukan permainan secara bersama-sama. Kemudian secara bersama-sama menentukan besar point yang harus dicapai untuk mengakhiri setiap kali permainan, biasanya antara 1.000—10.000 point. Apabila sudah disepakati bersama barulah permainan dimulai. Setelah selesai pembagian regu dan tugas setiap regu, regu pemenang menempati bagian yang dipakai untuk melakukan pemukulan dan yang kalah menempati lapangan untuk menjaga bola. Setiap pemain memulai dengan bola pertama, yaitu boh sungkeet. Ia meletakkan anak di atas lobang yang telah digali berukuran lebih kurang dalamnya 5 cm, panjang 10 cm, dan luas 5 cm. Cara meletakkan anak adalah melintang lobang, yang kemudian ia menyungkit anak itu dengan gagang yang telah tersedia ke arah lawan sejauh mungkin. Dalam melakukan penyungkitan ia harus menghindari agar anak itu tidak dapat disambut oleh lawannya karena kalau berhasil disambut berarti yang sedang naik ini dinyatakan mati dan kelompok lawan mendapat 10 point. Bila setelah ia melakukan penyungkitan anak tersebut tanpa berhasil disambut oleh lawannya, sekarang ia harus letakkan gagang pemukul tadi di atas lobang dengan melintang. Kelompok penjaga mengambil bola di tempatnya jatuh, di tempat itu ia berdiri lalu melempar ke arah gagang tersebut. Bila lemparannya mengena berarti pemain pertama telah mati atau sebaliknya, jika pada waktu melemparkan gagang tidak kena dan kalau jauh dari lobang yang sedang naik dapat diukur dengan gagang berapa gagang anak itu jauh dari lobang, jika misalnya 5 (lima) berarti yang sedang naik telah mendapat 5 (lima) point. Setelah ia melakukan penyungkitan anak (bola) pertama dan ternyata tidak mati, ia melanjutkan kepada bola kedua (boh peh). Ia tetap berdiri di tempat pemukulan, yaitu di pinggir lobang dengan memegang gagang di tangan kanan dan anak di tangan kiri atau sebaliknya menurut kemampuannya. Lalu bola (anak) dilambung ke atas dengan tidak seberapa tinggi, kemudian dipukul. Jika di pihak lawan berhasil menyambut bola (anak) tersebut mereka telah mendapat 20 angka (point) dan pihak yang naik telah mati. Kalau tidak 70
dapat disambut, untuk selanjutnya anak akan dikembalikan ke lobang tempat pemukul yang berusaha memukul kembali anak yang telah dikembalikan tersebut agar tidak masuk ke lobang. Bila anak tersebut masuk lobang berarti yang sedang naik mati, tetapi bila berhasil jauh dipukul, dia akan mendapat point (angka). Cara menghitung angka dari boh peh adalah seberapa jauh ia dapat memukul anak yang dikembalikan oleh lawannya ke lobang dan dihitung dari tempat jatuh anak sampai ke tepi lobang dengan jalan mengukurnya dengan anak itu sendiri. Misalkan anak yang berhasil dipukul dari pengembalian lawan sejauh 30 kali ukuran anak itu sendiri, berarti mereka telah memperoleh 30 point. Demikian pula halnya bila dalam pengembalian anak itu tidak dapat dipukul dan anak itu masuk ke dalam lobang yang sedang naik mati. Pada pemukulan boh jeungki, cara pemukulannya telah disebutkan di atas, yaitu dengan cara meletakkan anak secara membujur di dalam lobang dengan seperdua atau lebih berada di atas lobang yang kemudian dipukul bagian yang berada di atas lobang, sehingga terangkat ke atas. Setelah itu ia berusaha untuk memukul pelan-pelan dan terakhir bila pemukulan ini tidak berhasil lagi barulah dilakukan pemukulan yang keras. Dalam melakukan pemukulan pertama tersebut si pemukul mendapat point, setiap kali berhasil dipukul dihitung 10 point. Jadi, bila ia berhasil melakukan pemukulan pelan ini sebanyak 10 kali berarti ia telah memperoleh 100 point. Dalam ia melakukan pemukulan yang terakhir bila dapat disambut oleh pihak lawan berarti yang sedang naik dinyatakan mati, sedangkan yang dapat menyambut mendapat 50 point. Pada pemukulan boh jeungki ada suatu hal istimewa, yaitu pemukul walaupun ia telah melakukan pemukulan terakhir dapat disambut dan dinyatakan mati, tetapi pointnya dihitung berapa kali ia berhasil memukul anak itu secara pelanpelan seperti yang telah disebutkan di atas. Setelah ia melakukan pemukulan terakhir dan tidak berhasil disambut pihak lawan, perhitungan point menjadi bertambah. Perhitungannya dilakukan dengan cara jumlah pemukulan kecil ditmbah dengan jauhnya jatuh anak dari tepi lobang yang diukur dengan anak itu sendiri dan setiap satu anak mendapat 10 point. Sebagai contoh dapat disebutkan sebagai berikut: Si A yang melakukan pemukulan boh jeungki berhasil memukul secara pelan-pelan 5 kali berarti 50 point karena setiap kali berhasil dipukul mendapat 10 point. Selanjutnya ia berhasil pula me71
mukul anak itu untuk terakhir kali tanpa dapat disambut lawan sejauh 10 kali ukuran anak dari tepi lobang. Ia mendapat 100 point karena setiap satu kali ukuran anak mendapat point 10. Dengan sendirinya pada pemukulan boh jeungki yang dilakukan si A tersebut telah memperoleh 1 50 point. Demikianlah cara melakukan permainan dan cara menghitung nilai atau point yang didapat oleh seseorang pemain di dalam permainan ini. Apabila ia telah berhasil memukul sejak dari bola pertama (boh sungkeet) sampai ke bola ketiga (boh jeungki), barulah ia menjumlahkan nilainya dan kemudian ia melanjutkan permainan yang dimulai lagi dari boh sungkeet. Selanjutnya cara menentukan pemenang adalah kelompok yang terlebih dahulu memperoleh nilai sebanyak yang telah dimufakati bersama yang batasnya antara 100010.000. Inilah cara-cara yang dilakukan di dalam permainan yang memerlukan ketangkasan pemain, baik per orangan maupun beregu, dan dari segi lain melatih mereka agar dengan cepat dapat menghitung untuk menjumlah angka yang diperoleh dari boh sungkeet ditambah boh peh, dan ditambah lagi boh jeungki yang merupakan point setiap pemain atau beregu. Peranannya Masa Kini. Meuen peh kayee yang merupakan permainan tradisional yang telah berkembang cukup lama di dalam masyarakat Aceh, mendapat tempat yang baik di tengah-tengah masyarakat. Dewasa ini begitu banyak berkembang permainan-permainan yang baru yang telah dikenal anak-anak sampai ke pelosok-pelosok desa, menyebabkan beberapa jenis permainan tradisional menjadi terdesak. Anak-anak lebih banyak melakukan jenis-jenis permainan yang diajarkan di sekolah-sekolah jika dibandingkan dengan permainan yang terdapat di dalam masyarakat atau permainan tradisional. Kendatipun demikian menurut pengamatan yang dilakukan di desa yang menjadi obyek penelitian bahwa suatu hal yang menggembirakan bahwa permainan ini masih tetap dilakukan anak-anak. Selain itu, anak-anak masih tetap belajar cara-cara melakukan permainan ini dari generasi sebelumnya atau sebaliknya mereka tetap meneruskan cara-cara melakukan permainan kepada anak-anak yang ingin melakukan permainan. Dengan demikian jika dibandingkan dengan jenisjenis permainan rakyat lainnya dapatlah dikatakan bahwa meuen peh kayee masih tetap bertahan walaupun penggemarnya tidak seramai tempo dulu, sedangkan permainan rakyat yang lainnya ada yang telah musnah ditelan jenis permainan modern. 72
Tanggapan Masyarakat. Setiap orang tua atau pemuda yang mengerti cara melakukan permainan ini, tetap me wariskan cara-carapermainan ini kepada generasi selanjutnya. Tanggapan yang diberikan masyarakat masih bersifat positif, artinya mereka masih tetap memelihara kelestarian permainan ini dari persaingan dengan permainan modern seperti yang telah dijelaskan di atas dengan cara mengajar atau membimbing anak-anak untuk permainan ini. Mereka melihat bahwa dengan melakukan permainan ini terdapat dua unsur yang penting seperti yang telah dijelaskan di atas, yaitu unsur olah raga dan pendidikan. Dengan demikian masyarakat beranggapan permainan ini milik mereka yang perlu dipelihara untuk diteruskan. Masalah lain yang timbul kini adalah bagaimana memasyarakatkan kembali permainan peh kayee ini, sehingga betul-betul menjadi permainan yang ramai dimainkan anak-anak di setiap kampung atau desa.
73
74
14. MEUSOM-SOM T A L O Nama Permainan. Meusom-som talo adalah sejenis permainan yang dilakukan anak-anak hampir di seluruh wilayah Daerah Istimewa Aceh. Nama permainan ini berdasarkan jenis alat yang dipakai untuk sasaran permainan, yaitu seutas tali yang dalam bahasa Aceh disebut talo. Tali yang dipakai untuk mainan ini dapat dibuat atau terdiri dari apa saja jenisnya, yang penting dapat dijadikan sebagai suatu gulungan kecil dengan diikat kedua ujungnya, sehingga bersambung menjadi suatu gulungan. Bulatan/gulungan tali kecil ini disembunyikan dalam tanah berpasir yang lokasinya sudah ditentukan untuk bermain, yaitu dengan memberi suatu tanda berupa goresan yang berbentuk lingkaran di atas tanah tempat permainan berlangsung. Setelah tali disembunyikan oleh salah seorang pemain dalam lingkaran tanah tersebut, kemudian dicari oleh para pemain lainnya dengan mempergunakan sekerat lidi atau sejenis kayu seperti lidi. Karena yang menjadi sasaran pencarian adalah tali yang disembunyikan, maka permainan ini diberi nama Meen Meusom-som talo, artinya dalam bahasa Indonesia permainan sembunyi-sembunyian tali. Waktu Pelaksanaan. Permainan ini dilakukan pada siang hari dan biasanya berlangsung pada waktu senggang, artinya tidak pada waktu/jam sekolah atau waktu ada kegiatan kampung seperti kenduri, kematian, dan sebagainya. Umumnya dilakukan pada waktu menjelang tengah hari (antara jam 11 sampai 12), sambil menunggu orang tuanya pulang dari bekerja, atau pada waktu sore (antara jam 3-4), sementara orang tua mereka beristirahat. Permainan dilakukan di tempat-tempat yang rindang seperti di bawah pohon-pohon besar yang tidak membahayakan sekitar rumah. Atau ada juga yang bermain di bawah rumah (hal ini memungkinkan karena rumah orang Aceh pada umumnya bertiang dan bentuknya tinggi serta berpanggung, sehingga di bawahnya dapat dijadikan untuk tempat beristirahat atau bermain bagi anak-anak). Lokasi atau tempat permainan ini dilangsungkan berada tidak jauh dari rumah. Hal ini mempunyai maksud atau terkandung suatu unsur keamanan bagi anak-anak, agar mereka bermain tidak begitu jauh dari rumah mereka, sementara orang tua mereka sedang bekeja atau beristirahat. Latar Belakang Sosial Budaya Pelaku Permainan. D i atas telah dijelaskan bahwa permainan ini mengandung suatu unsur bagi anakanak, yaitu agar mereka bermain tidak jauh dari rumah mereka. Se75
bagaimana diketahui, pada umumnya masyarakat Aceh adalah masyarakat petani, sebagai penggarap tanah, baik di sawah maupun di kebun yang jaraknya beberapa kilometer dari rumah-rumah mereka. Lazimnya anak-anak yang bersekolah, pulang dari sekolah dan tiba di rumah sekitar jam 11 siang saat orang-orang tua mereka masih bekerja di sawah-sawah atau kebun-kebun. Sementara menunggu orang tua pulang, anak-anak memanfaatkan kesempatan ini untuk bermain-main, di antaranya bermain meusom-som talo (antara jam 11-12). Bila orang tua mereka sudah pulang dari bekerja kemudian melakukan shalat dhuhur (waktu beribadah siang hari) yang dilanjutkan dengan makan bersama anak-anaknya serta sesudah sebagian orang tua ini ada yang bekerja kembali di tempat semula dan sebagjannya ada yang beristirahat. Pada saat ini juga dimanfaatkan anakanak untuk bermain permainan ini (antara jam 2 sampai jam 4 sore). Di sini anak-anak melakukan permainan ini tidak jauh dari lingkungan rumah mereka, dan mereka memanfaatkan waktu tersebut dengan sebaik-baiknya. Hal ini mungkin dimaksudkan oleh "si pencipta" permainan ini, agar anak-anak bila pada saat tersebut tidak bermain jauh dari lingkungan rumah mereka karena orang tua mereka pada saat itu berada di tempat yang jauh dan mereka (para orang tua) pada saat itu tidak dapat mengawasi secara langsung anak-anak mereka bermain, mengingat kemungkinan adanya bahaya yang mungkin dapat menimpa/terjadi atas anak-anak (seperti binatang-binatang buas dan bahaya lainnya). Bila si anak bermain di dekat rumah, para orang tua akan merasa lebih aman bagi keselamatan anak-anaknya. Latar Belakang Sejarah Perkembangan Permainan. Permainan ini selain mengandung unsur keamanan bagi anak-anak yang jauh dari pengawasan orang tuanya juga mengandung unsur siasat, yaitu kelihaian si-anak dalam menerka lokasi atau tempat tali disembunyikan. Jadi, bagi si anak mengandung pula unsur latihan mencerdaskan dalam menebak sesuatu benda yang disembunyikan di tempat-tempat tertentu. Sejak kapan permainan ini terdapat di Daerah Istimewa Aceh, belum mendapatkan data-data yang konkrit. Pemain/Pelaku. Permainan ini khusus untuk anak-anak dan umumnya anak laki-laki. Namun, kadang-kadang terdapat pula peserta anak-anak putri. Jumlah pemain permainan ini sekitar 4 atau 7 orang anak, dan umurnya sekitar 10 sampai 12 tahun. Seperti telah 76
dijelaskan di atas, pemain sebagian besar anak-anak petani dalam arti yang sesungguhnya. Peralatan/Perlengkapan Permainan. Seperti telah disebutkan di atas, alat utama yang dipakai dalam permainan ini, yaitu seutas tali yang panjangnya tidak lebih sehasta. Tali ini disambung kedua ujungnya, sehingga menjadi sebuah gulungan kecil. Tali ini dapat dibuat dari jenis apa saja, yang penting kuat (tidak mudah putus) dan dapat disambung/dibuat menjadi suatu gulungan. Selain tali alat lain yang diperlukan, yaitu lidi atau sejenisnya yang ukuran panjangnya kirakira satu jengkal. Setiap pemain harus memiliki 10 lidi dalam ukuran sama. Selanjutnya peralatan lain yang diperlukan ialah tempat/tanah untuk menyembunyikan tali. Ini biasanya dipakai tanah yang berpasir dan kering untuk memudahkan masuknya tali ke dalamnya. Tanah yang digunakan untuk permainan ini beradius sekitar satu meter dan di atasnya dibuat sebuah lingkaran. Dalam lingkaran inilah tali tersebut disembunyikan. Jadi, jika dilihat dari segi peralatan atau perlengkapan permainan yang dipakai sangat sederhana. Iringan Permainan.
Permainan ini tidak diiringi oleh iringan apa
pun. Jalannya Permainan. Setelah anak-anak pulang dari sekolah dan tiba di rumah masing-masing, biasanya setelah meletakkan alat-alat sekolah (batu tulis, grip, dan sebagainya), mereka berkumpul kembali. Juga setelah selesai makan siang bersama orang tuanya, biasanya berkumpul kembali. Pada saat berkumpul inilah mereka bermain pelbagai permainan yang mereka senangi sesuai dengan tingkat permainan mereka, salah satu di antaranya ialah permainan Meusom-som talo. Untuk permainan ini mereka mudah mendapatkan/mempersiapkan alat-alatnya (seperti yang telah disebutkan di atas). Setelah tempat main ditentukan (di bawah pohon yang rindang atau di bawah rumah), kemudian dibuat suatu lingkaran pada tanah (beradius 1 meter). Jika setiap peserta telah siap dengan lidi-lidinya dan tali untuk disembunyikan juga telah ada, maka dimulailah permainan ini. Melalui suatu undian yang dilakukan dengan tangan atau sut, ditentukan siapa yang pertama menyembunyikan tali ke dalam tanah. Dan salah seorang di antara pemain keluar sebagai pemenang undian, berhak untuk menyembunyikan tali, sementara pemain lainnya menghadap ke tempat lain dengan menutup mata untuk memberi kesempatan kepada si pemenang menyembunyikan tali pertama kali ke dalam tanah. Dalam menyembunyikan tali, untuk mengelabui 77
para pemain lain ia membuat onggokan-onggokan tanah atau menggali beberapa tempat seolah-olah di situlah tali disembunyikan. Selanjutnya setelah selesai tali disembunyikan, secara bergiliran para pemain ini mencari tali tersebut kecuali si penyembunyi. Pencarian ini dilakukan dengan lidi, dan setiap pemain dapat memiliki lidi sepuluh biji. Lidi ini ditancapkan secara bergiliran di tempat-tempat dalam lingkaran yang diperkirakan di situlah tali disembunyikan. Tancapan lidi ini harus tepat berada di tengah-tengah (dalam gulungan) tali. Lidi yang ditancapkan ini kemudian ditarik (tidak dicabut) keluar lingkaran tersebut. Jika üdi tersebut tertancap tepat dalam gulungan tali, dengan sendirinya tali akan ikut tertarik ke luar lingkaran. Dan siapa yang berhasil demikian, maka ia keluar sebagai pemenang. Selanjutnya giliran si pemenang ini yang menyembunyikan tali. Pada tingkat awal, setiap pemain mencapkan 1 (satu) üdi, kemudian jika tidak ada yang berhasil menemukannya diulangi lagi sampai ke-10 lidi habis. Jika tidak ada yang menemukannya, si penyembunyi keluar sebagai pemenang, dan dia dapat mengulangi menyembunyikan lagi sampai para pemain lainnya dapat menemukannya. Peranan Masa Kini. Di daerah-daerah yang letaknya dekat kota (ibukota Propinsi -dan ibukota Kabupaten), permainan ini pada masa sekarang sudah jarang dilakukan karena di daerah-daerah tersebut situasinya sudah mulai dipengaruhi situasi kota-kota tersebut, sehingga banyak jenis permainan anak-anak yang modern (seperti permainan kasti, keneker, dan sebagainya) telah melanda atau mempengaruhi anak-anak daerah-daerah tersebut. Namun, di daerah-daerah pedesaan yang letaknya agak jauh dari kota-kota tersebut, meusomsom talo masih dapat dijumpai. Tanggapan Masyarakat. Pada masyarakat petani pedesaan permainan ini masih mereka anggap positip, dilihat dari segi keamanan seperti telah disebutkan di atas, tetapi kurang memperhatikan segi kesehatan bagi anak-anak.
78
79
15. MEUEN GEUTI Nama Permainan. Suatu permainan lain yang juga terdapat di Daerah Istimewa Aceh, khususnya yang terdapat di kawasan Aceh Besar adalah permainan meuen geuti atau meu geuti. Seperti telah dijelaskan dalam permainan-permainan terdahulu bahwa pemberian nama berdasarkan cara melakukan permainan ini. Meuen artinya bermain dangeuti artinya tengki. Jadi, secara lengkap berarti permainan yang dilakukan anak-anak dengan cara menengki biji-bijian, seperti biji asam jawa, biji meninjau, buah kemiri, atau batu-batu kecil. Nama lain untuk permainan ini adalah meu teh, tetapi ada juga yang menyebutkan dengan meu keh. Baik meu teh maupun meu keh mempunyai arti yang sama dengan meu geuti. Penyebutan meu teh atau meu keh terdapat di beberapa daerah, dengan berdasarkan pada bunyi yang ditimbulkan biji-bijian atau batu-batu kecil yang mengena antara satu dengan yang lainnya pada saat biji itu ditengki. Demikianlah pemberian nama untuk permainan ini, baik meuen geuti maupun meu teh atau meu keh, yang semata-mata berdasarkan pada cara melakukan atau bunyi yang ditimbulkan oleh permainan. Waktu Permainan. Pada umumnya permainan ini dimainkan anak-anak pada waktu senggang dan pada saat mereka sedang berkumpul di suatu tempat yang memungkinkan berlangsungnya permainan tersebut. Untuk menentukan waktu senggang bagi anak-anak petani sebenarnya agak sulit. Hal ini disebabkan mereka pada waktu turun ke sawah tidak pernah mengenai waktu senggang. Mereka membantu orang tua di sawah atau yang laki-laki turut mencari makanan ternak dalam rangka meringankan beban orang tua. Bagi anakanak wanita pada waktu orang tuanya turun ke sawah, mereka mempunyai tugas yang berat, yaitu menjaga adik-adik yang ditinggalkan oleh orang tua mereka yang sedang ke sawah. Jadi, waktu senggang mereka agak jarang kendati pun demikian mereka bermain permainan ini di sela-sela kesibukan. Waktu senggang yang panjang bagi anak-anak adalah pada saat pekerjaan di sawah selesai. Pada masa ini orang tua tidak menyita waktu anak-anak, selain mereka hanya pergi ke sekolah atau belajar mengaji. Waktu yang demikian mereka pergunakan sebanyak mungkin untuk melakukan permainan termasuk permainan geuti. Bagi anak perempuan, mereka bermain di tempat-tempat mereka berkum80
pul di perkampungan, sedangkan anak laki-laki mereka juga bermain di tempat-tempat berkumpul yang pada umumnya di meunasah atau di mesjid. Tempat-tempat ini sering dipakai sebagai arena bermain geuti. Latar Belakang Sosial Budaya. Membahas latar belakang sosial budaya pendukung permainan ini adalah sama halnya dengan permainan lain yang terdapat di Aceh seperti yang telah dijelaskan di atas. Permainan ini bersifat permainan ringan dan dapat dilakukan di sembarang tempat. Karena itu, permainan geuti didukung oleh setiap lapisan masyarakat. Dalam permainan ini tidak dibedakan asal-usul keturunan mereka. Jadi, permainan ini tidak mempersoalkan latar belakang sosial walaupun lapisan sosial di dalam masyarakat masih berlaku. Permainan ini lebih banyak didukung anak petani karena merupakan lapisan sosial yang terbesar di dalam masyarakat, anak penguasa (hulubalang), dan anak-anak yang berasal dari lapisan sosial lain yang merupakan unsur terkecil di dalam masyarakat. Oleh karena sifat permainan ini ringan dan mudah dilakukan serta didukung oleh setiap lapisan masyarakat, maka permainan ini digemari setiap anak. Mereka sering melakukan permainan ini pada saat sedang berkumpul. Selain itu, permainan ini digemari anak-anak karena terdapat unsur pertaruhan yang membawa keuntungan bagi yang menang. Kendatipun kemenangan ini hanya merupakan salah satu unsur yang ingin dicapai dalam permainan dan hasilnya akan dinikmati bersama. bagi yang menang akan memperoleh biji meninjau, biji asam jawa, yang kemudian digoreng yang merupakan makanan yang digemari anak-anak, tentu saja akan dibagi-bagikan juga kepada mereka yang menderita kekalahan. Latar Belakang Sejarah Perkembangan. Memperoleh sejarah lahirnya serta perkembangan permainan ini agak sukar, tetapi yang pasti permainan ini telah terdapat di dalam masyarakat Aceh dalam waktu yang telah cukup lama dan mendapat dukungan dari setiap anggota warga masyarakat. Beberapa informan yang telah diwawancarai tidak dapat menjelaskan asal-usul permainan ini, mereka menjelaskan bahwa permainan ini telah terdapat di dalam masyarakat Aceh sejak dahulu dan mereka hanya meneruskan. Dalam perkembangan selanjutnya telah mendapat tempat yang baik di dalam masyarakat sejak zaman dahulu sampai dewasa ini. Sesuai denga perkembangan zamannya, permainan ini XI
sekarang, walaupun tidak dapat dikatakan berkembang dengan pesat, namun masih tetap dimainkan anak-anak terutama di pedesaan. Berbeda dengan jenis permainan tradisional lainnya kadang-kadang sama sekali tidak mendapat dukungan lagi. Peserta/Pelaku. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, permainan i n i digemari anak-anak baik anak perempuan maupun anak laki-laki. Tidaklah berlebihan bila dikatakan permainan i n i sama digemarinya dengan permainan modern yang berkembang sekarang. Dalam permainan i n i kendatipun bukan unsur k o m p e t i t i f yang dipentingkan, tetapi d i dalam memainkan permainannya diperlukan ketekunan dan keterampilan yang tinggi. Permainan i n i dapat dimainkan antar i n d i vidu (perseorangan) dan dapat pula dimainkan antar kelompok. Pada permainan individu biasanya para pemain yang telah berkumpul antara satu sampai dua orang, apabila telah lebih dari tiga orang, misalnya 4, 6, dan seterusnya, permainan dapat dimainkan secara beregu/kelompok. Dalam permainan yang bersifat individu masing-masing pemain berusaha untuk dapat mengalahkan lawannya secara sendiri-sendiri, dan bila permainan dimainkan secara k e l o m p o k tentu saja k e l o m p o k itu akan diusahakan adanya keseimbangan. Mengenai k e l o m p o k umur yang turut mendukung permainan i n i adalah berkisar antara 6 sampai 15 tahun. Pembatasan umur sesungguhnya tidaklah suatu keharusan atau tidak ada suatu patokan yang tegas karena di dalam kenyataan kadang-kadang para pemuda yang telah berumur sampai 18 tahun sekali-sekali masih melakukan permainan i n i . Peralatan/Perlengkapan Permainan. Dalam memainkan meu geuti tidak diperlukan perlengkapan yang banyak sesuai dengan sifat permainan yang sederhana dan mudah dilakukan, demikian pula halnya dengan perlengkapan sangat sederhana. Seperti telah dikatakan di atas bahwa perlengkapan yang diperlukan hanya biji-bijian seperti biji meninjau, biji asam atau biji kemiri. D i samping i t u , kadangkadang dipergunakan pula batu-batu kecil. Dalam hal penggunaan batu kecil i n i dipakai pada saat-saat biji meninjau, biji asam, atau biji kemiri sukar diperoleh, misalnya pada saat bukan musim biji-bijian tersebut. Selain itu yang telah disebutkan perlengkapan yang lain tidak diperlukan. Iringan Permainan. Permainan i n i tidak diiringi oleh iringan apa pun. 82
Jalan Permainan. Seperti telah diutarakan di atas bahwa permainan ini dapat dimainkan dengan mudah oleh anak-anak karena tidak terikat waktu dan tempat. Bila anak-anak berkumpul sekurangkurangnya dua orang, permainan ini dapat dilaksanakan. Dalam hal yang dua orang tentu saja permainan dalam bentuk per orangan dan bila telah lebih dari tiga orang baru dapat dimainkan secara beregu kendatipun demikian sebelum melakukan permainan terlebih dahulu mereka akan melakukan beberapa persiapan yang berhubungan dengan permainan, yaitu alat permainan seperti yang telah dijelaskan di atas. Bila semua telah diperolehnya barulah mereka dapat bermain. Mula-mula sebelum permainan dimulai terlebih dahulu diadakan perjanjian yang berhubungan dengan permainan, seperti menentukan jumlah point yang akan dimainkan, berapa besar taruhan untuk sekali game, bagaimana cara untuk menentukan urutan pemain, dan sebagainya yang berhubungan dengan permainan. Setelah terdapat kesamaan pendapat tentang hal-hal yang berhubungan dengan kelancaran permainan, barulah permainan dimulai. Pada dasarnya yang dimufakatkan ini adalah hal-hal yang tidak berhubungan dengan aturan permainan yang lazim dipergunakan. Selanjutnya untuk menentukan siapa yang akan memainkan permainan terlebih dahulu, sebagaimana lazimnya dipakai di dalam setiap permainan melalui jalan sut. Siapa yang menang, dia yang lebih dulu atau yang pertama melakukan permainan, pemenang kedua, ketiga, dan seterusnya merupakan pemain kedua, ketiga, dan seterusnya secara berurutan melakukan permainan. Untuk menentukan skor nilai yang akan dicapai untuk setiap kali game berkisar antara 500-2500 point yang harus dicapai, hal ini erat hubungannya dengan umur pemain. Seterusnya mengenai besarnya taruhan untuk setiap game bergantung pada perjanjian dan ada kalanya tidak ada taruhan melainkan dengan menotok lutut pemain yang kalah. Banyaknya anak yang akan dimainkan berkisar antara 10-15 pasang. Hal ini berarti setiap pemain yang berhasil memainkan permainan tanpa mati sekali naik mencapai 10-25 nilai karena setiap pasang anak tersebut dihitung satu nilai. Setelah ditentukan siapa yang berhak memainkan permainan terlebih dahulu, barulah permainan dimulai. Misalnya pemain terdiri atas A dan B (regu A dan B), nilai/skor yang akan dimainkan sebesar 1000, untuk sekali main terdapat 25 pasang anak dan besar taruhan 25 biji. A akan melakukan terlebih dahulu permainan, dan baru kemduian disusul oleh B. Cara melakukan permainan ada83
lah sebagai berikut: Mula-mula A mengambil anak tersebut seluruhnya sebanyak 25 pasang atau 50 biji (bisa biji meninjau, biji asam jawa, kemiri, atau batu), kemudian dimasukkan ke dalam genggaman yang selanjutnya disebarkan secara sekaligus di atas lapangan permainan. U n t u k lapangan permainan i n i harus dicari yang datar (tidak boleh berlekuklekuk), untuk itu biasanya dipergunakan papan yang lebar, lantai semen, atau tanah yang telah diratakan terlebih dahulu. Bila lapangan berlekuk-lekuk akan sangat mengganggu jalannya permainan karena pada waktu akan di geuti (tengki) tidak akan mencapai pada sasarannya. Setelah selesai anak tersebut ditaburkan di lapangan permainan, tentu saja berserakan secara tidak beraturan, ada yang terlampau jauh letaknya antara satu biji dengan yang lain dan ada pula yang berdempetan. Setelah anak tersebut disebarkan, setiap pemain dituntut ketekunan dan keterampilan, agar setiap pasang dapat digeuti (tengki) dengan tidak melakukan kesalahan. Pemain yang telah berpengalaman akan pandai dalam menyebarkan anak tersebut, sehingga letaknya benar-benar seperti diatur saja layaknya, antara yang satu dengan yang lain tidak terlampau berjauhan dan tidak pula terdapat anak yang berdempetan. H a l i n i sangat berbeda dengan pemain amatir yang banyak melakukan kecerobohan d i dalam permainan, yang mengakibatkan kerugian bagi pemainnya sendiri. Pada waktu anak tersebut ditebarkan, setiap pemain harus mengatur strategi agar ia dapat memperoleh point sebanyak-banyaknya, dan jika dapat setiap kali naik tidak mati. Dalam melakukan tengki antara satu dengan yang lain mempunyai syarat tertentu pula. Setiap pasang yang ditengki baru dianggap sah apabila: pertama anak tersebut kena pada sasaran (mengena) untuk satu pasang; kedua tidak menyentuh anak ketiga; ketiga tidak menggoyangkan anak yang lain seandainya anak tersebut letaknya berdempetan; dan keempat mempunyai jarak (setiap anak yang ingin dijadikan pasangan untuk d i tengki) sekurang-kurangnya bebas dimasuki jari kelingking pemain dan tidak tersentuh. Bila keempat hal yang disebutkan tersebut dapat dicapai dengan tidak melakukan satu kesalahan pun, maka setiap kali ia menengki memperoleh satu point. Jika dalam satu kali naik dapat menghabiskan seluruhnya, tentu saja telah memperoleh 25 point. Apabila melakukan kesalahan salah satu syarat dari yang telah disebutkan ia dinyatakan mati dan permainan diganti pemain berikutnya. Demikianlah permainan i n i dilakukan secara terus menerus sampai 84
permainan mencapai game set untuk setiap kali bermain. Mengenai hal yang menyangkut dengan pemenang adalah pemain yang lebih dahulu mencapai nilai yang telah disepakati dan yang terakhir sekali memperoleh nilai maksimal dinyatakan sebagai pemain yang kalah. Dalam hal yang menyangkut permainan secara berkelompok sistem permainan dan syarat-syaratnya adalah sama, tetapi dalam penentuan urutan pemain yang ada ketentuan lain, yaitu bilakelompok A terdapat dua pemain (demikian pula B) j u m l a h point dihitung dari kedua mereka artinya point itu d i k u m p u l k a n . Kalau pemain pertama telah mati baru dilanjutkan oleh pemain kedua dan setelah pemain kedua mati baru berpindah ke k e l o m p o k yang kedua. Pemain yang keluar sebagai pemenang, ia berhak memperoleh hadiah taruhan yang telah disepakati terlebih dahulu. U n t u k permainan berikutnya (set kedua, ketiga, dan seterusnya) dilanjutkan kembali apabila mereka masih ingin melanjutkan dengan persyaratan yang telah dimufakati atau dapat pula diperbaharui perjanjiannya, baik skor nilai, nilai taruhan, ataupun yang lainnya. Dalam permainan yang tidak mempergunakan nilai taruhan, maka setiap akhir p è r m a i n a n (setelah game set) diadakan acara ketuk lutut bagi yang kalah. U n t u k dapat melakukan ketuk lutut i n i mempunyai cara tersendiri. Cara yang lazim dipergunakan melalui penyembunyian anak yang dipakai pada waktu permainan tadi. Apabila anak yang dipergunakan sebanyak 10 pasang berarti ada 20 biji, anak i n i secara keseluruhan diambil pemenang. Setelah anak i n i diambil, mereka duduk berhadapan dan dilakukanlali sejenis permainan yang bersifat sembunyisembunyian. A n a k tadi melalui belakang pemain yang menang diambil dan dimasukkan ke dalam genggaman tangan pemenang. Setelah dimasukkan kemudian ditanyakan kepada pemain yang kalah berapa biji yang terdapat di dalam genggaman, kalau ternyata benar terkaannya anak tersebut dikembalikan kepada yang kalah. Jika terkaannya salah. pemenang berhak mengetok lutut yang kalah sebanyak yang disebutkannya tadi. Misalkan anak yang disembunyikan lima biji, sedangkan pemain yang kalah menyebut enam, maka ia akan menerima ketukan lutut enam kali. Sebaliknya bila ia menyebut benar anak tersebut akan dikembalikan kepadanya. U n t u k menjaga sportivitas di dalam permainan sembunyi-sembunyian i n i setelah disebutkan j u m l a i i n y a yang m e n y e m b u n y i k a n m e m b u k a tangannya untuk disaksikan sendiri oleli yang menerka (menyebutnya) sendiri. JJtemikianlah permainan ini dilakukan secara terus menerus sampai anak tersebut dapat diperoleh seluruhnya dari pemain yang menang melalui tebak85
an yang disembunyikan. Bila hal ini telah berakhir barulah permainan set berikutnya dimulai kembali. Peranan Masa Kini. 'Permainan ini pada masa kini agak berbeda peranannya dengan jenis permainan tradisional lainnya. Permainan ini masih tetap dimainkan anak-anak pada masa kini, terutama di daerah pedesaan. Masih banyak anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan gemar bermain permainan ini. Pada waktu senggang seperti yang telah dijelaskan di atas, banyak yang bermain permainan ini. Hal ini tentu saja dimainkan di samping permainan-permainan lainnya. Jika dibandingkan dengan jenis permainan tradisional yang lain meuen geuti masih mempunyai tempat di dalam masyarakat pendukungnya. Permainan ini masih dimainkan dan dapat diteruskan untuk masa-masa selanjutnya walaupun tidak semaju pada masa lampau. Tanggapan Masyarakat. Permainan ini masih mempunyai peranan di tengah-tengah dunia kehidupan anak-anak, maka tanggapan masyarakat masih positip, mereka masih mengharapkan agar permainan ini dapat dipertahankan dari desakan permainan modern. Bagi para pemuda masih ada kecenderungan untuk melestarikan jenis permainan ini. Hal ini dapat terlihat mereka masih memainkan dan sekaligus menguasai semua persyaratan serta masih mau membimbing setiap anak yang meLakukan permainan ini.
86
X7
16. MESEN—MESEN Nama Permainan. Jenis permainan ini dapat dijumpai hampir di seluruh wilayah Daerah Istimewa Aceh. Namün, nama yang diberikan atau sebutannya berbeda-beda, sesuai dengan bahasa yang dimiliki oleh masing-masing kelompok etnis yang terdapat di Daerah Istimewa Aceh sekarang. Nama mesen-mesen khusus digunakan oleh kelompok etnis Aneuk Jame yang umumnya mendiami pesisir pantai Barat Aceh, terutama bagian pesisir Kabupaten Aceh Selatan sekarang. Tentang dari mana asal nama dan bagaimana mula timbulnya permainan ini di daerah tersebut, belum dapat dipastikan. Vvaktu Pelaksanaan. Permainan ini umumnya dimainkan pada malam hari pada saat bulan purnama. Pada malam hari, bila anakanak telah selesai mengikuti pendidikan agama seperti mengaji, belajar doa sembahyang, membaca kitab-kitab agama, dan sebagainya, yang berlangsung di meunasah-meunasah atau rumah-rumah yang khusus untuk tempt kegiatan itu. Mereka biasanya sebelum pulang ke rumah masing-masing, melakukan permainan yang disebut mesenmesen. Permainan ini dimainkan bila cuaca dalam keadaan baik, tidak hujan dan pada saat bulan purnama menerangi bumi. Waktunya antara jam 8 ningga jam 9.30 malam. Jika pada bulan puasa atau Ramadhan, sementara para orang tua mereka bertarawih (ibadah malam hari pada bulan Puasa/Ramadhan), mereka kadang-kadang melakukan permainan ini, di samping jenis permainan anak-anak lainnya. Kadang-kadang permainan ini juga dimainkan pada siang hari, terutama pada hari libur, dan biasanya berlangsung antara jam 9 sampai jam 11 pagi hari. Permainan ini dapat dilakukan baik oleh anak laki-laki maupun oleh anak wanita. Anak-anak laki lazimnya memainkan di depan atau halaman meunasah, sedangkan anak-anak wanita memainkannya di halaman rumah, biasanya di halaman rumah dari salah seorang peserta yang ikut bermain. Latar Belakang Sosial Budaya Pelaku Permainan. Umumnya yang melakukan permainan mesen-mesen ini adalah anak para petani. Seperti diketahui bahwa pada setiap desa atau yang di dalam bahasa Aceh disebut Gampong (kampung) dan pada kelompok etnis Aneuk Jame disebut Kampung, terdapat sebuah meunasah yang fungsinya selain sebagai tempat beribadah/pendidikan agama, juga sebagai tempat berkumpul orang laki-laki untuk bermusyawarah, berceng88
krama, dan sebagainya. Biasanya sehabis makan malam, para orang tua laki-laki dan anak-anaknya yang laki-laki keluar rumah pergi ke meunasah. Si anak ini mengikuti pelajaran agama yang diasuh oleh seseorang yang disebut Tengku Meunasah yang ditunjuk atau dipilih bersama oleh penduduk desa tersebut untuk menjadi pendidik anakanak mereka dan melaksanakan atau mengurusi hal-hal yang berhubungan dengan kerohanian di desa tersebut. Setelah selesai mengikuti pendidikan, biasanya sambil menunggu orang tuanya bercengkrama atau mengikuti suatu musyawarah di meunasah, sejumlah anak tadi melakukan permainan yang disebut mesen-mesen di halaman meunasah. Permainan ini sangat digemari anak-anak, terutama büa sedang bulan purnama. Sementara itu, anak-anak wanita setelah selesai belajar ilmu agama di rumah seorang Teugnku wanita (biasanya istri dari Teungku Meunasah), bila bulan purnama juga memainkan permainan ini di halaman-halaman rumah. Pada kesempatan ini, orng tua mereka yang wanita (para ibu) juga keluar rumah untuk menumbuk padi, yang umumnya dilakukan di bawah rumah-rumah mereka (hal ini dimungkinkan karena rumah Aceh berbentuk panggung yang di bawahnya dapat dibangun sebuah alat yang disebut Jengki, yang gunanya untuk menumbuk padi). Latar Belakang Sejarah Perkembangan Permainan. Seperti telah disebutkan bahwa dari mana asal nama dan bagaimana mula adanya permainan ini di daerah Aceh, belum dapat diungkapkan. Menurut tradisi lisan, permainan ini sudah cukup lama terdapat di dalam masyarakat Aceh. Oleh karena permainan ini hampir menyerupai permainan Galah atau yang pada kelompok etnis Aceh disebut juga permainan Tak Tham (sejenis permainan yang juga terdapat di Daerah Aceh dan telah pernah dikemukakan dalam buku Permainan Rakyat Daerah Istimewa Aceh, yang diusahakan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Penelitian Sejarah Budaya Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1979/1980), maka dapat dipastikan bahwa permainan ini (mesen-mesen) mempunyai asal dan perkembangan yang sama dengan permainan Galah. Permainan ini, selain terkandung unsur strategi/siasat serta melatih kecepatan mata dalam memperhatikan gerak gerik lawan, juga mengandung unsur-unsur olah raga, terutama dalam gerakan-ge'rakan yang dilakukan secara cepat untuk dapat meraih atau mengenai lawan. Pemain/Pelaku. Pemain atau pelaku permainan ini adalah anakanak yang berusia sekitar 8 sampai 13 tahun, dan dapat dimainkan 89
baik oleh anak laki maupun anak wanita. Namun, dalam permainan ini tidak terjadi percampuran antara kedua jenis ini. Jika anak wanita yang memainkannya, maka para pemain semua terdiri atas anak wanita, begitu pula sebaliknya jika anak laki yang memainkannya, maka semua pemain terdiri atas anak laki. Seperti telah disebutkan bahwa pada umumnya para pendukung permainan ini terdiri atas anak-anak petani. Peralatan/Perlengkapan Permainan. Permainan ini tidak memerlukan peralatan/perlengkapan yang sulit diperoleh. Di antara perlengkapan dan alat yang diperlukan, yaitu sepetak tanah yanglapang (ini dapat dengan mudah ditemukan di halaman-halaman rumah atau di depan meunasah), sedikit kapur atau sejenis gamping untuk memberi tanda garis agar jelas pada lapangan yang akan dijadikan tempat permainan berlangsung. Adapun tanah atau lapangan yang diperlukan berukuran sekitar 8 x 6 meter (panjang 8 meter dan lebar 6 meter). Iringan Pennainan. Permainan ini tidak diiringi oleh iringan apa pun. Jalan Permainan. Setelah anak-anak selesai mengaji atau belajar ilmu agama pada malam hari, mereka tidak langsung pulang, tetapi bermain suatu permainan yang disebut mesen-mesen. Hal ini dilakukan jika cuaca dalam keadaan baik atau pada saat bulan purnama sedang bersinar. karena permainan ini adalah dilakukan berkelompok, maka terlebih dahulu anak-anak membentuk 2 kelompok yang masing-masing kelompok terdiri atas 3 atau 4 orang. Selanjutnya setelah terbentuk kelompok, para pemain dari masing-masing kelompok membuat suatu lapangan dengan ukuran sekitar 8 x 6 meter. Kemudian di atas lapangan itu diberi tanda berupa garis dengan kapur atau sejenisnya sebanyak tiga atau empat garis (banyaknya garis tergantung dari jumlah peserta permainan). Panjangnya garis sekitar 4 meter dan jarak antara garis pertama dengan garis.kedua atau berikutnya sekitar 3 meter. Selanjutnya melalui undian (dengan sut) ditentukan kelompok mana yang pertama menjadi penjaga garis. Setelafi terpilih, kelompok yang menjadi penjaga pertama (kelompok I) berdiri di atas garis-garis tersebut. masing-masing satu orang untuk setiap garis. Kemudian kelompok II akan menerobos setiap garis penjagaan baik melalui sisi kiri maupun sisi kanan dari si penjaga garis. Penerobosan ini dilakukan secara per seorangan, tetapi untuk lebih mudan diterobos dapat dilakukan secara serentak (oleh para.anggota kelompok II). Jika berhasil 90
melewati garis pertahanan yang pertama, selanjutnya garis pertahanan kedua dan seterusnya sampai setiap garis berhasil semua dilewati oleh setiap pemain dari kelompok II, maka kelompok ini keluar sebagai pemenang. Seterusnya kelompok ini akan mengulangi lagi penerobosan pada garis-garis pertahanan itu seperti semula; demikian selanjutnya, tetapi bila salah seorang pemain dari kelompok II kena dijamah atau dikenai tangan salah seorang kelompok I (yang sedang menjaga garis pertahanan), maka permainan akan berganti penjaga (penjaga garis), yaitu kelompok II yang menjadi penjaga. Peranan Masa Kini. Permainan ini meskipun sudah jarang dilakukan, tetapi masih dapat dijumpai hingga masa sekarang, terutama di desa-desa (Gampong-gampong) yang letaknya agak jauh dengan kotakota besar (ibukota Kabupaten dan ibukota Propinsi). Di daerahdaerah yang letaknya de kat dengan kota-kota tersebut, permainan ini sudah jarang dijumpai. Mengingat anak-anak di daerah pedesaan, terutama anak-anak petani yang kurang akan hiburan, maka permainan ini hingga saat sekarang masih memegang peranan sebagai salah satu permainan yang kreatif bagi mereka. Tanggapan Masyarakat. Karena permainan mengandung unsurunsur rekreatif, kompetiti, dan olah raga serta memerlukan suatu kecepatan gerak dalam usaha untuk dapat mengenai lawan, maka masyarakat pedesaan khususnya masyarakat petani, masih menganggap permainan ini positif bagi anak-anak. Lebih-lebih bila dikaitkan antara permainan ini yang sedikit mendekati (terutama dalam gerak cepat) dengan suatu olah raga bela diri (pencak silat) yang sekarang sedang digalakkan oleh masyarakat pedesaan khususnya dan sudah dipertandingkan dalam Pekan Olah Raga Nasional.
91
92
17. MEUPET-PET NYET Nama Permainan. Meupet-pet nyet adalah suatu permainan yang dapat dijumpai hampir di seluruh wilayah Daerah Istimewa Aceh sekarang, tetapi mengingat di daerah tersebut sekarang terdapat kurang lebih 7 kelompok etnis suku bangsa yang mempunyai latar belakang budaya yang berbeda, maka nama yang diberikan untuk permainan ini juga berbeda-beda; demikian pula pola permainannya sedikit banyak menunjukkan perbedaan, meskipun tidak secara prinsipil. Dapat disebutkan misalnya pada kelompok etnis Aneuk Jame, permainan ini disebut dengan nama Benteng-benteng, pada kelompok etnis Alas hampir menyerupai suatu permainan yang disebut Cebunin dan pada kelompok etnis Aceh seperti tersebut^di atas, yaitu Meupetpet nyet. Meupet-pet nyet artinya bersembunyi-sembunyian, dengan sasaran akhir dapat kembali ke suatu tempat yang telah ditentukan, dalam bahasa Aceh disebut wo bu (kembali ke kubu/benteng). Nama ini sedikit banyak persamaan dengan nama Benteng-benteng seperti nama.yang diberikan untuk permainan ini pada kelompok etnis Aneuk Jame (yang mendiami Pesisir Kabupaten Aceh Selatan sekarang). Benteng-benteng artinya sama dengan kubu-kubu; dalam permainan ini sasaran yang akan dicapai para pemain sama dengan permainan meupet-pet nyet, yaitu yang disebut wo bu (benteng/kubu). Jika dilihat dari segi nama, permainan ini berkaitan erat dengan pengertian siasat atau strategi dalam peperangan. Artinya para pemain terlebih dahulu bersembunyi dan kemudian secara diam-diam tanpa diketahui si penjaga kembali ke benteng/kubu yang telah ditentukan. Sebaliknya bagi si penjaga benteng/kubu juga berusaha agar dapat mengetahui tempat persembunyian dari menebak/menangkap mereka yang bersembunyi itu, maksudnya untuk kembali atau "merebut" benteng/kubu yang dijaganya. Namun dari mana asal dan nama permainan ini belum dapat dipastikan secara kongkrit. Waktu Pelaksanaan. Permainan ini dapat dimainkan pada siang hari atau pada malam hari. Jika pada siang hari, terutama dimainkan pada hari-hari libur, yaitu antara pukul 09.00 sampai pukul 11.00 siang; sedangkan jika malam hari dimainkan sesudah anak-anak mengikuti pendidikan agama (mengaji, belajar doa shalat, dan ilmu agama lainnya), berkisar antara pukul 20 (jam 8) hingga pukul 22 (jarn 10); tenitama dimainkan pada malam saat bulan purnama sedang terang benderang. Bila pada bulan puasa/Ramadhan, kadang-kadang berlang93
sung sejak jam 20 (8) hingga jam 23 (11) malam. Namun pada siang hari pada bulan puasa/Ramadhan permainan ini tidak dimainkan. Latar Belakang Sosial Budaya Pelaku Permainan. Para pemain pada umumnya terdiri atas anak-anak petani. Namun di antaranya terdapat pula anak-anak dari kalangan pedagang, pegawai, dan sebagainya. Bulan Puasa/Ramadhan dianggap sebagai bulan yang suci bagi umat Islam khususnya di wilayah Daerah Istimewa Aceh sekarang. Bulan ini sangat diharapkan dan sangat dinantikan datangnya oleh umat Islam terutama di daerah Aceh karena pada bulan ini, mereka (terutama para petani) dapat dikatakan beristirahat secara total. Mereka jarang ke sawah, ke ladang, atau ke tempat pekerjaan lainnya. Jika mereka pergi pun ke tempat-tempat tersebut hanya dalam waktu singkat saja. Mereka betul-betul memanfaatkan bulan Puasa/ Ramadhan ini untuk beristirahat sambil beribadat, sehingga di dalam masyarakat Aceh timbul suatu ungkapan sebagai berikut: si thon ta mita iintok ta peu abeh lam si buluen, artinya: selama satu tahun mereka mencari rezeki untuk dihabiskan dalam satu bulan (maksudnya dalam bulan Puasa/Ramadhan). Jadi, dapat dikatakan selama bulan Puasa/Ramadhan mereka sama sekali tidak bekerja. Bulan ini mereka memanfaatkan betul-betul sebagai bulan untuk beribadat. Demikian juga anak-anak mereka, pada bulan Puasa/Ramadhan adalah bulan libur panjang bagi mereka, berlaku baik bagi mereka yang bersekolah di sekolah-sekolah umum maupun bagi mereka yang bersekolah di sekolah-sekolah agama juga bagi mereka yang belajar ilmu agama (mengaji dan sebagainya) pada malam hari..Karena itu, anak-anak sangat gembira bila bulan Puasa/Ramadhan tiba. Umumnya anak-anak laki bila sudah berbuka puasa (bagi yang puasa dan yang belum puasa) seperti juga orang tua (Bapak/Ayah) pergi ke meunasah. Tujuan orang tuanya untuk beribadat, tetapi anak-anak memanfaatkannya untuk melakukan berbagai permainan sambil menunggu orang tua mereka selesai beribadat. Salah satu permainan yang sangat mereka gemari adalah meupet-pet nyet atau yang pada kelompok etnis Aneuk Jame disebut Benteng-benteng. Latar Belakang Sejarah Perkembangan Permainan. Permainan ini mempunyai hubungan dengan cara pengaturan siasat atau strategi seperti dalam suatu peperangan. Karena i t u , bukan tidak mungkin permainan ini diilhami dari suatu peperangan yang pernah dialami rakyat di Daerah Istimewa Aceh. Seperti kita ketahui bahwa di daerah 94
yang sekarang disebut Daerah Istimewa Aceh, baik secara berkelompok maupun secara per seorangan pernah terlibat dalam suatu peperangan dengan pihak Belanda dalam suatu kurun waktu yang dapat dikatakan cukup lama, yaitu sejak tahun 1873 sampai tahun 1942. Karena itu, bukan tidak mungkin pula permainan meupet-pet nyet atau yang disebut pada kelompok etnis Aneuk Jame di Kabupaten Aceh Selatan sekarang, permainan Benteng-benteng diilhami dari peperangan dengan pihak Belanda tersebut. Pemain/Pelaku. Meupet-pet nyet dimainkan anak-anak dengan jumlah pemain sekitar 10 orang, khusus anak-anak laki yang berumur sekitar 8-13 tahun. Seperti telah disebutkan bahwa pada umumnya para pendukung permainan ini terdiri atas anak-anak petani, _pedagang, dan pegawai. Peralatan/Perlengkapan Permainan. Satu-satunya alat yang dipakai untuk permainan ini adalah suatu benda besar (dapat berupa peti atau batang kayu yang besar yang sudah dipotong dan sebagainya) untuk dapat dijadikan sebagai benteng atau kubu. Iringan Permainan. Permainan i n i tidak diiringi oleh iringan apa pun. Jalannya Permainan. Setelah anak-anak berkumpuLsekitar 10 orang, mereka bersepakat untuk melakukan suatu permainan yang disebut meupet-pet nyet. Sebelum bermain, mereka menentukan suatu benda (berupa peti yang besar atau pokok kayu besar yang sudah ditebang, dan sebagainya) untuk dijadikan sebagai benteng/kubu, yang nantinya akan dijaga oleh salah seorang yang terpilih - melalui suatu undian - untuk menjaga. Setelah terpilih seorang penjaga benteng/kubu, selain menjaga benteng/kubu agar.tidak berhasil dijamah atau dipegang oleh para pemain lainnya, juga untuk dapat menerka nama para pemain lainnya secara tepat yang bersembunyi; para pemain lain lari menyebar menjauhi benteng/kubu dan kemudian bersembunyi dalam semak-semak atau parit-parit atau di belakang sesuatu benda yang dianggap dapat menyembunyikannya. Selanjutnya si penjaga setelah ada tanda dengan suara yang dikeluarkan oleh salah seorang pemain yang sedang bersembunyi, ia mulai bergerak mencari mereka yang sedang bersembunyi dengan hatihati menjauhi benteng/kubu yang sedang dijaganya; sedangkan mereka yang sedang bersembunyi, secara diam-diam harus dapat merebut benteng/kubu dengan cara memegangnya sebelum si penjaga menyebut namanya atau menjamahnya. Bagi yang berhasil sampai ke benteng/kubu dengan selamat, meneriaklah kata-kata wo bu (kembali 95
ke benteng). Kemudian para pemain yang lain setelah mendengar kata-kata tersebut ke luar dari tempat persembunyiannya dan semuanya kembali ke benteng/kubu. Sesudah itu permainan dilanjutkan lagi seperti semula dengan si penjaga pertama dianggap kalah. Dan untuk ini ia masih harus bertugas sebagai penjaga benteng/kubu. Selanjutnya bila si penjaga benteng/kubu dapaLmenerka salah seorang pemain yang sedang bersembunyi dengan menyebut namanya atau memegangnya, maka ia, yang diterka itu akan menjadi atau mengganti sebagai penerka dalam lanjutan permainan, tetapi bila salah seorang pemain yang sedang bersembunyi berhasil merebut benteng/ kubu (memegangnya), maka si penerka atau si penjaga akan tetap atau tidak diganti. Peranan Masa Kini. Permainan ini pada masa kini sudah jarang dilakukan, lebih-lebih di desa yang letaknya dekat^dengan kota-kota besar (ibukota Kabupaten atau ibukota Propinsi). Seperti telah disebutkan bahwa permainan ini paling gemar dimainkan anak-anak lebih-lebih pada bulan Puasa/Ramadhan karena mereka dalam suasana libur. Namun, sejak beberapa tahun terakhir ini sekolah-sekolah (khususnya sekolah-sekolah umum) tidak seluruhnya diliburkan dalam bulan Puasa/Ramadhan, maka banyak anak-anak pada malam hari tidak sempat lagi bermain-main hingga larut malam lebih-lebih karena keesokan harinya mereka harus bersekolah. Tanggapan Masyarakat. Meskipun permainan ini mengandung unsur-unsur strategi dan rekreatif, tetapi banyak orang tua menganggap bahwa permainan ini merupakan suatu permainan yang kurang bermanfaat atau sia-sia. Lebih-lebih bila diingat bahaya yang mungkin dapat menimpa anak-anak yang sedang bermain permainan ini. Tatkala mereka bersembunyi dalam semak-semak atau parit-parit dan sebagainya, digigit oleh binatang berbisa atau yang lainnya.
96
97
18. M E U E N K O M Nama Permainan. Jenis permainan hampir terdapat di seluruh Daerah Istimewa Aceh, terutama di daerah-daerah tepi pantai. Permainan ini bersifat hiburan bagi anak-anak karena mudah dimainkan di sembarang tempat tanpa memerlukan peralatan yang banyak. Pemberian nama untuk permainan ini berdasarkan sebutan cara melakukan permainan atau semata-mata berdasarkan pada sebutan permainan itu sendiri karena setiap bermain akan ditentukan berapa kom atau berapa kaü games. Ha ini akan dibicarakan secara lebih luas di dalam membahas jalannya permainan. Hasil wawancara yang dilakukan dengan para informan untuk meneliti lebih mendalam mengenai pengertian nama permainan ini tidak banyak diperoleh keterangan. Mereka menjelaskan bahwa nama itu diberikan karena permainan ini setiap kaü game disebut dengan istilah kom. Arti lain dari permainan ini tidak dapat dijelaskan lebih jauh. Waktu Pelaksanaan. Waktu pelaksanaan permainan ini, sama halnya dengan jenis-jenis permainan lain yang telah banyak dijelaskan terdahulu bahwa tidak mempergunakan waktu yang khusus. Permainan ini dapat dimainkan setiap saat, namun sering dimainkan anak-anak pada siang hari. Pada waktu siang mereka dapat melakukan permainan ini dengan bebas, sedangkan pada malam hari biasanya anak-anak mendapat pekerjaan lain yang umumnya mengaji. Di tempat pengajian permainan ini jarang dimainkan, hal ini tidak berarti bahwa di tempat pengajian dilarang bermain permainan ini, tetapi tidak bermain karena mengganggu jalannya pengajian. Waktu yang selalu dipakai adalah waktu senggang, yaitu pada saat mereka tidak melakukan tugas yang lain. Latar Belakang Sosial Budaya. Latar^belakang sosial budaya pendukung atau para pemain permainan ini sama halnya dengan permainan lain, yaitu tidak membedakan latar belakang sosial budayanya. Dalam permainan ini mereka dapat dengan bebas bergaul dan bermain dengan tidak menyinggung.,perasaan sama sekali, dari mana mereka berasal. Yang paling diutamakan adalah mereka yang ingin bermain secara bersama-sama untuk mengisi waktu atau untuk mencari hiburan yang ringan. Dengan demikian permainan ini dapat mendekatkan mereka dari semua lapisan sosial,.dan merupakan sarana untuk dapat mempertemukannya. Orang tua mereka tidak mempertanyakan dengan siapa mereka bermain. Permainan ini pada umum98
nya dimainkan anak-anak perempuan dan jarang dimainkan anak laki-laki. Latar Belakang Sejarah Perkembangan Permainan. Untuk meneliti latar belakang lahirnya permainan ini agak sukar.diperoleh datanya karena orang-orang tua yang dijadikan informan mengatakan, permainan ini memang sudah cukup lama berkembang di dalam masyarakat. Mereka hanya meneruskan permainan ini dan mereka menerima dari generasi sebelumnya, yaitu pada waktu mereka masih anak-anak. Dalam perkembangannya, permainan ini telah mengalami masa-masa jaya, yaitu pada zaman yang lampau sampai zaman pra kemerdekaan Indonesia. Permainan ini mulai merosot setelah Indonesia merdeka bahkan sekarang sudah jarang dimainkan anak-anak terutama di pedesaan. Pada masa lampau, yaitu sebelum masyarakat Aceh mengenai bola sejenis bola tenis atau kasti, mereka mempergunakan karet mentah yang baru dideres dari batangnya yang kemudian dibulatkan menjadi bola. Bola inilah yang dipakai sebagai perlengkapannya karena mudah diperoleh dan di setiap daerah dijumpai pohon karet. Dalam perkembangan selanjutnya, setelah mereka mengenai karet yang telah dimasak yaitu jenis karet yang.dipergunakan sebagai pengikat, karet ini dipergunakan oleh anak-anak untuk dijalin menjadi bola terutama di daerah pedesaan yang taraf ekonominya sangat rendah. Di desa-desa atau gampong-gampong penggunaan bola dari karet mentah dan karet yang telah dimasak sama banyaknya, hal ini erat sekali dengan sumber daya alam dan tingkat^perkembangan ekonomi warga masyarakat yang tidak memungkinkan untuk membeli bola kasti. Penggunaan bola kasti merupakan pengganti jenis-jenis bola yang telah disebutkan, terutama penggunaannya di kalangan tertentu sehingga tidak merata di seluruh daerah. Sungguhpun bola kasti telah dikenal masyarakat, namun penggunaan bola dari getah alam dan karet yang telah dimasak tetap masih dipergunakan. Peserta/Pelaku. Seperti telah diuraikan di atas, pemain permainan ini pada umumnya anak perempuan. Sesuai dengan sifat permainan ini yang semata-mata untuk mengisi waktu dan mencari hiburan, tentu saja dapat dimainkan oleh semua. tingkat anak-anak. Dalam permainan ini sasaran yang utama bukanlah mencari kemenangan, tetapi lebih banyak bersifat hiburan. Sehubungan dengan itu, pembatasan umur tidak dilakukan dan dalam kenyataannya anak-anak sejak usia 5-13 tahun banyak melakukan permainan ini. Mengenai jumlah 99
pemain dapat dilakukan sekurang-kurangnya dua sampai empat orang. Sungguhpun demikian tidaklah berarti mereka yang telah menjadi pemuda tidak dibenarkan lagi untuk memainkan permainan ini, tetapi sebaliknya yang„terjadi dan tepat apabila dikatakan bahwa permainan ini merupakan permainan anak-anak dan remaja karena permainan ini sering dimainkan anak-anak dan remaja, tentu saja tidak berarti permainan dimainkan secara bersama. Pengelompokan umur tetap ada dalam permainan, tujuannya agar permainan dapat berlangsung dengan baik. Peralatan/Perlengkapan Permainan. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwa peralatan yang diperlukan untuk permainan ini sangat sederhana, yaitu sebuah bola dan beberapa biji keong. Jumlah keong yang diperlukan sangat bergantung kepada tingkatan umur para pemain, 8-20 biji. Kegunaan bola seperti yang disebutkan di atas, untuk dibanting dan selama bola tersebut belum sempat jatuh ke tanah seorang pemain harus dapat mengerjakan pekerjaan yang lain, yaitu mengambil keong yang telah disebarkan. Demikian pula kegunaan keong adalah untuk disebar dan kemudian dikumpulkan kembali serta dibuka atau ditutup sesuai dengan aturan permainan yang berlaku. Untuk membahas fungsi dan cara mempergunakan kedua alat tersebut akan dibicarakan lebih luas di dalam membahas jalannya permainan. Selain dari kedua alat tersebut untuk permainan ini tidak ada lagi. Adapun hal yang menyangkut lapangan permainan seperti halnya permainan lain, tidak memerlukan lapangan yang cukup luas, biasanya berukuran 50 x 50 cm yang dipakai untuk menyebarkan keong-keong. Sebagai lapangan (tempat bermain dapat dipakai papan yang tebal) adalah lantai yang bersemen atau langsung di atas tanah yang rata. Jadi, dapat dikatakan untuk memainkan permainan ini tidak mempunyai problema dengan masalah lapangan tempat bermain. Iringan Permainan. Dalam memainkan permainan ini tidak dipergunakan iringan permainan apa pun. Jalan Permainan. Bila pemain telah berkumpul untuk melakukan permainan ini terlebih dahulu mereka menentukan beberapa persyaratan yang disepakati bersama untuk menjaga kelancaran permainan. Adapun hal-hal yang harus disepakati adalah hal yang menyangkut berapa kom (jumlah point) yang harus dicapai untuk menentukan kalah atau menang seorang pemain, berapa pasang keong yang dipakai, dan penentuan urutan pemain. Setelah hal ini disepakati barulah permainan dimulai. Seperti biasa bahwa dalam penentuan urut100
an pemain adalah dengan menggunakan sistem undian melalui sut, siapa yang menang dia menjadi pemain pertama dan siapa pemenang sut kedua dia menjadi pemain kedua, dan seterusnya. Mula-mula seorang pemain mengambil sebuah bola dan sejumlah keong yang telah disepakati, barulah ia memulai permainan. Bola dibanting di atas lapangan permainan dengan tidak terlalu kuat agar bola tersebut dapat melambung ke udara (atas). Pada saat bola di udara, pemain tersebut harus mengambil semua keong yang telah diletakkan yang tidak berapa jauh dari tempat duduknya atau tidak berapa jauh dari tempat bola tersebut dibanting dengan tidak satu pun yang tertinggal. Sebelum bola itu jatuh ke tanah dia harus sudah selesai menabur (menyebar) keong tersebut dan selanjutnya ia menyambut bola agar jangan jatuh ke tanah. Apabila ia tidak berhasil mengambil semua keong dan menyebarkannya, sedangkan bola telah menyentuh tanah dia dinyatakan mati. Demikian pula sebaliknya bila keong belum berhasil ditaburkan walaupun dia dapat menyambut bola, hal yang demikian juga dinyatakan mati. Untuk menyambut bola harus mempergunakan sebelah tangan. Selanjutnya setelah ia menyambut bola kemudian membanting kembali dan sebelum bola dibanting terlebih dahulu harus diperhatikan letak anak (keong) yang telah tersebar tadi Pada langkah ini setiap pemain diminta untuk mengumpulkan kembali anak keong satusatu sambil membanting bola dan harus diusahakan agar bola tidak menyentuh lapangan. Untuk langkah ini pemain dapat mengambil satu harus diambil satu demi satu. Bila sempat jatuh mengenai lapangan harus diambil satu demi satu. Bila sempat jatuh mengenai lapangan atau terambil lebih dari satu, pemain dinyatakan mati. Setelah selesai langkah dengan tidak mati, berarti ia dibenarkan melakukan langkah selanjutnya. Langkah kedua setelah berhasil mengumpulkan anak (keong), dia kembali membanting bola sambil menabur anak seperti yang dilakukan pada permulaan. Setelah keong tersebar, ia membanting lagi bola dan pada saat ini harus mengambil anak dua-dua (satu-satu pasang) sekali ambil. Sekali membanting bola dapat diambil satu pasang atau lebih, bergantung pada kecepatan bermain pemain. Jika pada langkah kedua telah berhasil mengumpul seluruh anak dengan tidak mati, barulan pemain tersebut melanjutkan langkah selnjutnya (keti'l_angkah ketiga, yaitu setelah berhasil memainkan permainan langkah kedua tanpa mengenai kematian. Pada langkah ketiga ini cara ga)
101
memainkannya juga seperti pertama dengan membanting bola menyebarkan keong. Sesudah itu pemain menutup semua keong yang terbuka sambil membanting bola. Syarat-syaratnya sama seperti semula, yaitu bola tidak boleh mengenai lantai/tanah. Sekali membanting bola menutup satu keong atau lebih. Setelah berhasil menutup keong seluruhnya, kemudian kembali mengumpulkan keong dengan cara membanting bola, dan baru dilanjutkan dengan langkah selanjutnya (keempat). Langkah keempat adalah kebalikan dari cara bermain langkah ketiga. Pada langkah ini pemain dituntut untuk membuka semua keong yang tertutup. Mengenai cara dan syarat-syaratnya sama dengan langkah-langkah sebelumnya. Permainan kemudian dilanjutkan dengan langkah kelima yaitu sesudah keong ditaburkan sambil membanting bola, pemain diharuskan membuka dan menutup keong. Sambil membanting bola seorang pemain diharuskan membuka dan menutup kembali keong yang tertutup atau menutup dan membuka kembali keong yang terbuka dan harus dilakukan sekaligus. Maksudnya keong yang tertutup harus dibuka dan langsung ditutup kembali pada saat bola dibanting sebelum jatuh ke tanah, demikian pula sebaliknya bila keong terbuka. Setelah melakukan itu dilanjutkan dengan mengumpulkan kembali keongkeong tersebut sambil membanting bola. Apabila seorang pemain dapat memainkan permainan ini dari langkah pertama sampai langkah kelima tidak mati, dia telah mendapat satu point atau disebut kom dalam istilah permainan. Pada akhir permainan siapa yang lebih dahulu mencapai point (kom) yang telah disepakati, dia dinyatakan sebagai pemenang. Bagi seorang pemenang mempunyai hak menyembunyikan anak keong tersebut dan harus diterka oleh yang kalah. Bila dalam penerkaan tersebut tidak tepat, dia mendapat hukuman diketok di lutut. Cara melakukan penyembunyian dan penerkaan ini sama halnya dengan cara pada permainan "meuen geuti" atau "meuen crek" yang telah dijelaskan terdahulu. Peranan Masa Kini. Menyinggung tentang peranannya, permainafi ini sekarang sama halnya dengan jenis permainan rakyat tradisional lainnya, yaitu mengalami masa pasang surut. Di atas telah diuraikan bahwa permainan ini sekarang langka dimainkan anak-anak, seolah-olah permainan ini tidak mendapat tempat lagi di tengah-tengah keliidupan mereka. Menyangkut dengan hal tentang kemerosotan permainan ini tidak banyak yang terungkapkan. Ada di antara infor102
man vang menyebutkan bahwa faktor yang menyebabkan kemerosotan didesak oleh jenis-jenis permainan yang modern. Ada pula yang menyebutkan sukarnya diperoleh peralatan permainan, terutama keng bagi mereka yang tinggal di gampong-gampong yang jauh dari pantai, walaupun faktor ini kurang dapat dipertanggungjawabkan. Namun, apa pun faktornya yang jelas permainan ini sekarang menuju ke taraf kemerosotan dan bahkan hampir dapat dikatakan sedang menuju ke taraf kepunahan. Tanggapan Masyarakat. Meuen kom sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa pada masa lampau merupakan jenis permainan yang digemari anak-anak. Sesuai dengan perkembangan zaman yang mengalami kemajuan, demikian pula halnya dengan permainan ini semakin hari semakin terdesak oleh bentuk-bentuk permainan modern. Jika kita ingin melihat tanggapan masyarakat terhadap permainan ini, kita harus mengikuti jalannya perkembangan masyarakat itu sendiri! Dari hasü wawancara yang dilakukan dengan tokoh-tokoh masyarakat yang dijadikan sumber informasi menyebutkan bahwa permainan ini sebenarnya masih dapat dikembangkan. Hal ini erat hubungannya dengan pengembangan jenis permainan yang harus seimbang dengan pemainan modern. Pandangan yang demikian berdasarkan pertimbangan bahwa permainan ini dapat memberikan sejenis kesegaran kepada anak-anak karena permainan ini mengandung unsur keterampilan dan hiburan yang segar.
103
19. MEU EEN KANDANG (KANDHNANG) Nama Permainan. Suatu permainan yang menarik bagi anak-anak di Daerah Istimewa Aceh ialah meu een kandhnang. Meu een kandhnang terdiri atas dua kata, yaitu meu een berarti bermain dan kandhnang adalah nama permainan itu sendiri, tak dapat diartikan dalam bahasa Indonesia secara kongkrit. Meu een kandhnang biasanya dimainkan di tanah lapang yang bersih, luas, dan rata. Di sana berkumpullah anak-anak laki dengan atribut yang telah disediakan. Tidak semua anak menyediakan kandhnang karena untuk satu regu bermain cukup satu kandhnang. Kandhnang terbuat dari kayu, kadang-kadang kayu itu keras dan sering juga dibuat dari kayu yang empuk. Bagi anak-anak kecil terbuat dari pelepah rumbia karena pelepah rumbia ringan, mudah didapat, dan dimainkan anak-anak. Waktu Pelaksanaan. Di kabupaten Aceh Utara meu een kandhnang dimainkan pada waktu musim turun ke sawah. Pada waktu itu binatang ternak harus diikat/dijaga supaya tidak merusak padi di sawah. Sewaktu masyarakat sibuk mengerjakan sawahnya, anak-anak diserahi tugas untuk mengembalakan ternak yang ada. Sejalan dengan itu, mereka mempergunakan waktunya untuk meu een kandhnang. Seperti diketahui pada pagi hari anak-anak di Daerah Istimewa Aceh khususnya di kabupaten Aceh Utara mereka pergi ke sekolah dan pada sore hari melaksanakan tugasnya seperti disebutkan di atas. JCarena itu, meu een kandhnang sering dimainkan pada sore hari. Tidak jarang, permainan ini dimainkan setelah panen selesai. Lazimnya masyarakat setelah panen mempunyai waktu istirahat yang panjang sebelum datangnya masa mengerjakan sawah yang akan datang. Situasi ini berlangsung lebih meriah karena banyak penonton dan orang-orang tua turut mendorong anak-anak waktu bermain/bertanding. Dikatakan meriah karena setiap unsur dalam masyarakat turut meramaikan permainan ini. Latar Belakang Sosial Budaya dan Sejarah Perkembangannya. Meu een kandhnang adalah suatu permainan anak-anak yang banyak penggemarnya. Dapat dikatakan seluruh lapisan masyarakat menggemarinya atau paling tidak menjadi penonton yang baik. Sering terlihat setiap sore permainan ini terus berlangsung dan penonton pun tetap tidak berkurang. Sulit diketahui, faktor apa yang menyebabkan permainan ini disukai segenap lapisan masyarakat, hal ini perlu pene105
litian yang mendalam karena selain mengasyikkan juga banyak teknik-teknik, seperti teknik memukul, melempar yang penuh perhitungan, dan menambah persahabatan anak-anak antar kampung. Menurut orang yang diwawancarai, tentang dari mana permainan ini sangat sulit ditentukan karena sejak mereka kecil permainan ini telah dimainkan oleh generasi sebelumnya. Jalannya Permainan. Meu een kandhnang dapat dimainkan secara per seorangan dan dapat juga secara beregu. Cara beregu tentunya harus dibatasi jumlah pesertanya karena jika tidak pergantian terlalu lama. Adapun aturan permainan tidak begitu sulit, tetapi cukup sederhana seperti di bawah ini: Misalkan ada dua regu yang bertanding, masing-masing beranggota empat orang. Regu A anggotanya: 1 , 2 , 3 , 4 Regu B anggotanya: 1 , 2 , 3 , 4 . Pra permainan sering dilakukan pembagian teman menurut kondisi fisik. Bila pembagian ini telah disepakti, maka dilanjutkan dengan undian untuk menentukan regu mana yang menjadi penjaga. Katakanlah regu A yang menjadi penjaga dan regu B yang memukul atau memulai permainan. Regu B, nomor 1 memulai memukul dengan sebutah bohsa (buah satu) tempat anak kandhnang diletakkan pada gagangnya. Setelah memukul dengan pukulan bagus, si pemukul berjaga-jaga lemparan anak kandhnang si penjaga. Bila anak kandhnang waktu dilempar si penjaga kena gagang dan melenceng ke belakang, si pemukul tersebut dianggap mati. Pada tempat si pemukul berdiri, ada satu lobang dan dianggap ada suatu garis lurus sebagai benteng pertahanan bagi yang memukul. Apabila anak kandhnang itu jatuh pada atau dekat lobang dan bila diukur jarak anak kandhnang dengan lobang lebih panjang gagang kandhnang, hal yang demikian pun si pemukul dianggap mati. Di samping itu, jika si pemukul sewaktu memukul tidak mengenai anak kandhnang yang dipukulnya, juga dianggap mati. Terjadinya hal-hal seperti di atas mengakibatkan pergantian si pemukul. Misalnya dari nomor 1 ke nomor 2, dan seterusnya. Sebaliknya jika pukulannya bagus dan ketika dilempar si penjaga dapat dipukul lagj oleh si pemukul, point akan terjadi pada si pemukul. Keadaan ini diukur berdasarkan panjangnya gagang kandhnang tadi; 1 —10 dianggap satu kandhnang, dan 10 (sepuluh) kandhnang disebut 106
satu rukon. Lamanya permainan bergantung pada jumlah rukon yang sepakati pada waktu pra permainan. Biasanya dilaksanakan lima rukon. Peranan Masa Kini. Permainan ini masih dimainkan anak-anak di daerah Aceh bagian utara dan sangat disenangi oleh mereka baik yang ikut bermain maupun yang menonton. Tanggapan Masyarakat. Permainan ini merupakan suatu kebanggaan masyarakat di mana anak-anak dilatih untuk keterampilan yang kelak berguna bagi mereka.
107
108
Tidak diperdagangkan untuk umum