1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Propolis merupakan nama generik dari resin lebah. Kata propolis berasal dari bahasa Yunani, yaitu “pro” artinya sebelum atau pertahanan dan “polis” artinya kota. Jadi, propolis adalah pertahanan kota atau memiliki arti sebagai sistem pertahanan pada sarang lebah. Karena sifatnya yang lengket seperti lem, propolis disebut sebagai beeglue (Anonim 2006). Menurut Gojmerac (1983), propolis adalah bahan perekat atau dempul yang bersifat resin yang dikumpulkan oleh lebah pekerja dari kuncup, kulit tumbuhan atau bagian-bagian lain dari tumbuhan. Resin-resin yang diperoleh dari bermacam-macam tumbuhan ini dicampur dengan saliva dan enzim lebah sehingga berbeda dari resin asalnya. Bentuk propolis dipengaruhi oleh suhu, pada suhu di bawah 15 ºC sifatnya keras dan rapuh, tapi pada suhu yang lebih tinggi (25-45ºC) sifatnya lembek. Propolis umumnya meleleh pada suhu 60-69ºC dan ada pula yang mempunyai titik leleh di atas 100ºC (Woo 2004). Gojmerac (1983) menyatakan bahwa propolis mengandung bahan campuran kompleks malam, resin, balsam, minyak, dan sedikit polen. Komposisinya bervariasi tergantung dari tumbuhan asal. Propolis juga mengandung zat aromatik, zat wangi, dan berbagai mineral. Propolis dengan komponen senyawa-senyawa kimianya menunjukkan bermacam-macam efek biologis dan aktivitas farmakologis. Menurut Kasahara et al. (2004) dan Khismatullina (2005), lebih dari 180 senyawa yang terkandung di dalam propolis sudah diketahui. Unsur aktif yang penting dalam farmakologi dan aktivitas biologis adalah flavonoid (flavon, flavonol, flavonon) dan senyawa fenolat serta senyawa aromatik. Flavonoid berperan dalam pewarnaan tumbuhan. Sekurang-kurangnya ada 38 jenis flavonoid termasuk flavonol (galangin, kaemferol, quersetin), flavonon (pinocembrin dan pinosrobin), dan flavononol (pinobanksin), serta flavon (chrysin, acacetin, apigenin, ermanin). Beberapa senyawa fenolat yang terkandung di dalam propolis antara lain adalah hidroksisinamat, asam sinamat, vanilin, benzil alkohol, asam benzoat, kafeat, kumarat, serta asam ferulat. Kandungan flavonoid propolis setara dengan 500 jeruk (Khismatullina 2005). Menurut Matienzo dan Lamoreno (2004), propolis mengandung senyawa hidrokarbon aromatik, hidrokarbon alifatik, ester, aldehida, asam alifatik, sesquiterpena, amid, oksim, gula, gula alkohol dan asam uronat. Pino et al. (2006) melaporkan bahwa senyawa volatil pada stingles bee lebih tinggi daripada lebah Apis mellifera. Senyawa volatil yang dikandungnya antara lain α-pinene, β-pinene, trans-verbenol, α-copaene, βbourbonene, β-caryophyllene, spathulenol dan caryophyllene oxide. Bahan untuk mendapatkan propolis pada umumnya berasal dari sarang lebah Apis sp. Selain Apis sp, ada salah satu jenis yaitu lebah madu Trigona sp. Lebah jenis ini diperkirakan menghasilkan jumlah propolis lebih banyak dibandingkan dengan Apis sp dengan kandungan bahan aktif yang lebih baik. Propolis memiliki warna yang sangat beragam. Propolis dengan warna yang lebih gelap menghasilkan rendemen ekstrak yang lebih tinggi dibandingkan dengan warna yang lebih muda dan berhubungan dengan kandungan flavonoid (Woo 2004). Propolis hasil ekstraksi dari sarang lebah ini mempunyai sifat tidak larut
2
dalam air, tapi larut sempurna dalam propilen glikol dan etanol (Jang et al. 2009). Penambahan propilen glikol pada ekstrak propolis berfungsi sebagai zat yang dapat meningkatkan keefektifan propolis. Propolis sangat mudah teroksidasi. Untuk menjaga kestabilan komponen aktifnya, propolis dan hasil ekstraksinya disimpan pada suhu tidak lebih dari 35 ºC, ditempatkan di dalam tempat yang gelap dan tidak langsung terkena sinar matahari, serta dalam wadah yang tertutup. Maserasi merupakan teknik yang umum dilakukan untuk mengekstrak bahan aktif. Pelarut yang umum digunakan dalam mengekstrak propolis adalah etanol yang dicampur dengan air (etanol 70%). Etanol merupakan senyawa yang memiliki sifat semipolar sehingga komponen aktif dengan kepolaran yang berbeda yang terkandung di dalam propolis dapat terekstrak. Menurut Woo (2004), propolis larut di dalam etanol dan sedikit larut air. Harborne (1987) menyatakan bahwa etanol 70% dapat mengekstrak flavonoid yang merupakan senyawa aktif terbanyak dan terpenting di dalam propolis. Menurut Cunha et al. (2004), ekstraksi propolis dengan cara maserasi menggunakan pelarut etanol 70% menghasilkan rendemen yang lebih tinggi dibandingkan pelarut etanol absolut dan tidak terekstraksi komponen lilinnya. Teknik ekstraksi dengan maserasi dapat dimodifikasi dengan penambahan komponen panas untuk meningkatkan jumlah terekstrak. Menurut Trusheva et al. (2007) teknik ekstraksi menggunakan pemanasan gelombang mikro merupakan cara yang sangat cepat dalam menghasilkan asam fenolat dan flavonoid. Teknik ekstraksi dengan pemanasan gelombang mikro merupakan cara terbaik dibandingkan dengan teknik Soxhlet maupun pemanasan gelombang suara (Dean 1998). Demikian pula dengan pendapat Zhang et al. (2011) bahwa ekstraksi menggunakan pemanasan gelombang mikro merupakan cara yang dapat mengekstrak metabolit sekunder seperti flavonoid. Pemanasan dengan menggunakan gelombang mikro dapat membuat terbuka sel atau bagian penutup tempat metabolit sekunder berada, sehingga akan mengeluarkan bahan atau metabolit sekunder karena terdapat bagian pembungkus rusak dan mengakibatkan bahan terpisah dari asalnya. Secara prinsip, mekanisme kerja dan peralatan ekstraksi menggunakan pemanasan gelombang mikro lebih menguntungkan karena waktu relatif singkat, hasil ekstraksi yang tinggi dan penggunaan pelarut yang sedikit dibandingkan dengan cara konvensional. Propolis umumnya dikonsumsi dalam bentuk ekstrak etanol propolis (EEP). Penerapan teknologi nano merupakan upaya dalam membuat bahan menjadi berukuran nano, sehingga memiliki kelebihan dalam segi manfaat, kelarutan dan efisiensi kerja bahan. Menurut Ekambram et al. (2012) dan Meghana et al. (2012), secara umum nanopartikel dibuat dengan berbagai teknik yaitu metode homogenisasi (homogenisasi panas dan dingin), metode evaporasi pelarut, metode difusi-emulsifikasi pelarut, metode berdasarkan mikroemulsi, metode cairan super kritis, metode pengering semprot, metode emulsi ganda, teknik presipitasi, dispersi film-ultrasound, homogenisasi kecepatan tinggi diikuti dengan metode ultrasonikasi, serta Choil et al. (2006) dan Patravale et al. (2004) menambah dengan metode penggilingan. Dalam proses pembuatan nanopartikel menggunakan bahan alami yang dapat terurai (biodegredable) diklasifikasikan menjadi empat kelompok yang berbeda, yaitu nanostruktur berbahan dasar lipid (liposome dan solid lipid nanoparticles), dendrimers, polymeric nanoparticles, nanopartikel berbahan dasar albumin.
3
Pembuatan partikel berukuran nano ini telah diperbolehkan oleh FDA dalam tujuan pengaliran obat dan pencapaian target jaringan yang terkena kanker, misalnya nanopartikel doksorubisin dan daunorubisin (Haley dan Frenkel 2008). Bahan lain yang telah dibuat berukuran nanometer adalah kurkumin (Das et al. 2010), propolis (Kim et al. 2008; Hasan et al. 2012), kamptokatekin (Cirpanli et al. 2009), paclitaxel (Bilensoy et al. 2007). Penelitian yang dilakukan Hasan et al. (2012) menunjukkan bahwa nanopropolis mempunyai konsentrasi hambat tumbuh bakteri minimum jauh lebih kecil dibandingkan dengan ekstrak etanol propolis bukan ukuran partikel nano. Kim et al. (2008) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa propolis berbentuk partikel nano dapat mengatasi kanker. Penelitian yang dilakukan oleh Hasan et al. (2006) menunjukkan bahwa ekstrak etanol propolis Trigona sp yang berasal dari Pandeglang memiliki aktivitas antibakteri, baik untuk bakteri Gram positif (Staphilococcus aureus dan Bacillus subtilis), maupun bakteri Gram negatif (Escherichia coli). Data lain mengenai kandungan kimia stingless bees diungkap oleh Matienzo dan Lamorena (2004) serta Pino et al. (2006). Hasil pengujian pendahuluan propolis Trigona sp sebagai antikanker telah dilakukan terhadap sel Murine leukemia P-388 dengan nilai IC50 18.1 µg ml-1. Hasil ini menunjukkan bahwa propolis Trigona spp mempunyai potensi untuk digunakan sebagai bahan antikanker, dan pembuatan nanopartikel merupakan salah satu alternatif untuk peningkatan daya efikasinya. Untuk pengikatan bahan aktif dibutuhkan matriks yang berfungsi sebagai penginklusi, agen pengenkapsulasi dan dapat melepaskan bahan aktif secara perlahan. Bahan yang digunakan oleh Kim et al. (2008) adalah propolis berbentuk kopolimer antara N-isopropylacrylamide (NIPAAM) dengan N-vinyl2-pyrrolidone (VP) poly (ethyleneglycol) monoacrylate (PEG-A). Pemakaian βsiklodekstrin sebagai penginklusi galangin telah dilakukan oleh Jullian (2009). Metode pembuatan nanopartikel berdasarkan Abbasalipourkabir et al. (2010) menggunakan komponen lipid berupa virgin coconut oil (VCO) dan asam stearat dari buah kelapa sawit sebagai agen pencegah bersatunya komponen penginkulsi dan mengurangi kerusakan akibat gesekan pada proses pembuatan nanopartikel. Menurut Aimi et al. (2009) dalam patennya mengungkapkan bahwa proses pembuatan nanopartikel herbal dapat menggunakan kasein susu tanpa penambahan surfaktan. Oligosakarida yang berbentuk siklik seperti βsiklodekstrin mempunyai sisi hidrofilik di bagian luar dan hidrofobik di bagian dalam sikliknya yang terbentuk dari tujuh monomer glukosa. Dengan bentuk dan komposisi seperti itu β-siklodekstrin dapat menginklusi suatu senyawa kimia (Cirpanli et al. 2009; Jullian 2009). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Cirpanli et al. (2009) membuktikan bahwa nanopartikel camptothecin dalam bentuk nanopartikel dengan β-siklodektrin lebih aktif dibandingkan dengan bentuk nanopartikel poly(lactide-co-glycolide) (PLGA) atau poly-ε-caprolactone (PCL) terhadap sel kanker payudara MCF-7. Oleh karena itu, dalam penelitian ini digunakan β-siklodektrin sebagai bahan penginklusi dengan proses pembuatan nanopartikel memodifikasi metode Aimi et al. (2009). Bagian yang dimodifikasi adalah tiga tahap proses pembuatan nanopartikel dengan proses inklusi, resolubilisasi dan stabilisasi, selain itu bahan penginklusi kasein diganti dengan βsiklodekstrin. Pengujian propolis sebagai antikanker dapat dilakukan menggunakan sel model seperti Saccharomyces cerevisiae, langsung pada sel lestari kanker seperti
4
untuk kanker payudara menggunakan sel kanker MCF-7 dan dapat juga dilakukan pada hewan coba seperti tikus atau mencit yang telah diinduksi oleh senyawa karsinogen seperti DMBA maupun induksi dengan sel kanker yang berasal dari jaringan yang terkena kanker. Menurut Pray (2008) dan Ruckenstuhl et al. (2009), yeast ini dapat dijadikan model dalam proses terjadinya apoptosis dan stres akibat oksidasi (Laun et al. 2001). Demikian pula menurut Halazenotis et al. (2008) dan Lotti et al. (2011) bahwa yeast merupakan model yang cocok digunakan untuk melihat perkembangan kanker. Yeast ini telah dijadikan model untuk kanker yang berhubungan dengan regulasi reseptor hormon estrogen oleh Lyttle et al. (1992). Menurut Ayer et al. (1995), yeast ini terdapat pemodelan dengan mamalia dari repsesor sisi gen homolog Sin3. Sedangkan menurut Lotti et al. (2011) pada gen Pdr5p. Penelitian yang menyangkut perbedaan ukuran partikel propolis terhadap aktivitas antikapang telah dilakukan oleh Dota et al. (2011). Sel lestari kanker MCF-7 merupakan sel hasil isolasi dari seorang wanita Kaukasian (69 tahun, golongan darah O dan RH+), sel MCF-7 pertama kali diisolasi pada tahun 1970. Sel ini merupakan cell line adherent, yang tumbuh melekat dengan karakter resisten terhadap agen kemoterapi, mengekspresikan reseptor estrogen (ER+), ekspresi berlebih Bcl-2, tidak mengekspresikan caspase3, serta resisten terhadap doksorubisin. Sel MCF-7 dapat ditumbuhkan pada media mengandung Roswell Park Memorial Institute Medium (RPMI), Fetal Bovine Serum (FBS), dan perlu ditambahkan antibiotik dan antimikotik. Tikus merupakan spesies hewan kedua yang paling sering digunakan dalam penelitian dan pengujian biomedis. Tikus telah digunakan sebagai hewan coba pengujian antitumor tamoxifen oleh Abbasalipourkabir et al. (2010). Demikian pula penelitian Padmavathi et al. (2006) menggunakan tikus Sprague Dawley yang diinduksi oleh DMBA dalam pengujian propolis dan paklitaksel sebagai bahan antikanker.
1.2 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini secara umum adalah pengembangan proses untuk meningkatkan nilai tambah propolis dan meningkatkan kemampuan aktivitas propolis dalam bentuk partikel yang berukuran nano (nanopropolis) sebagai bahan antikanker payudara. Secara khusus, tujuan penelitian ini diuraikan untuk setiap bab sebagai berikut : 1. Mendapatkan ekstrak propolis dari sarang lebah Trigona spp yang berasal dari lima lokasi di Indonesia dan karakteristik bahan aktifnya. 2. Mendapatkan kondisi terbaik untuk ekstraksi propolis menggunakan pelarut etanol 70% dan pemanasan gelombang mikro serta karakteristik hasil ekstraknya. 3. Mengkaji proses pembuatan nanopropolis Trigona spp dengan cara inklusi pada β-siklodekstrin dan karakteristiknya. 4. Mengkaji efektivitas nanopropolis sebagai bahan antikanker payudara secara in-vivo.
5
1.3 Ruang Lingkup Penelitian
1.
2. 3. 4.
Ruang lingkup pada penelitian ini adalah : Bahan baku propolis berasal dari sarang lebah Trigona spp yang berasal dari lima lokasi di Indonesia (Pekanbaru, Pandeglang, Kendal, Banjarmasin dan Makassar). Ekstraksi awal adalah pelarutan sarang lebah dalam pelarut etanol 70% (b/b, etanol absolut dengan air). Proses pembuatan nanopropolis dilakukan dengan cara inkulusi pada βsiklodekstrin. Pengujian secara in-vitro dilakukan terhadap sel lestari kanker MCF-7, sedangkan pengujian secara in-vivo menggunakan hewan coba tikus betina strain Sprague-Dawley yang diinduksi dengan DMBA.
1.4 Kebaruan Pada penelitian ini dilakukan penerapan teknologi proses pembuatan nanopropolis menggunakan bahan penginklusi β-siklodekstrin yang dilakukan tanpa surfaktan dengan tiga tahap proses yaitu inklusi, re-solubilisasi dan stabilisasi. Aplikasi dari hasil pembuatan nanopropolis ini adalah sebagai bahan antikanker payudara.