Sari Pediatri, 8, No. 3 (Suplemen), Januari 2007: 622007 - 67 Sari Vol. Pediatri, Vol. 8, No. 3 (Suplemen), Januari
Pembesaran Kelenjar Limfe pada Foto Toraks Kasus Tuberkulosis Paru Anak Nur Maipa, Azis Tanra, Dasril Daud
Latar belakang. Dengan meningkatnya kejadian tuberkulosis (TB) di dunia, maka jumlah anak yang terinfeksi dan menderitaTB akan meningkat. Diagnosis TB anak sulit ditegakkan karena tidak ada standar baku emas (gold standard ) sebagaimana pada TB dewasa. Karena sulitnya mendiagnosis TB pada anak maka data mengenai TB pada anak langka. Peran pencitraan dalam menentukan diagnosis, evaluasi pengobatan dan pemantauan penyakit TB anak sangat penting. Dalam menilai foto sinar-X pasien TB perlu ditekankan keberadaan pembesaran kelenjer limfe regional. Namun tidak semua pasien memberikan gambaran pembesaran kelenjar limfe pada foto toraks sehingga penting diteliti faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian pembesaran kelenjer limfe pada foto toraks TB paru anak. Tujuan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kejadian pembesaran kelenjar limfe pada foto toraks anak dengan TB paru dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhinya. Metoda. Penelitian ini dilakukan secara cross sectional terhadap pasien tuberkulosis paru anak yang berobat di bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar pada periode penelitian mulai 1 Juni 2004 sampai 10 September 2005. Hasil. Pasien TB tanpa pembesaran kelenjar limfe pada foto toraks adalah 7 orang (7%), terdapat pembesaran kelenjar limfe 93 (93%) yaitu pembesaran kelenjar paratrakeal 16 (16%) dan pembesaran kelanjar parahilar 77 (77%). Frekuensi pembesaran kelenjar limfe pada foto toraks pasien TB paru anak lebih tinggi (93%) daripada penyakit paru lain yang bukan TB (16%) p < 0,001. Terdapat perbedaan bermakna frekuensi pembesaran kelenjar limfe berdasarkan status gizi, yaitu gizi baik-kurang 79,57% dan gizi buruk 20,43% (p<0,05). Kesimpulan. Pembesaran kelenjar limfe pada foto toraks lebih banyak ditemukan pada TB daripada penyakit paru lain yang bukan TB. Frekuensi pembesaran kelenjar limfe pada foto toraks pasien TB paru anak lebih tinggi pada gizi baik-kurang daripada gizi buruk. Kata kunci: tuberkulosis anak, foto toraks, status gizi
Alamat korespondensi: Dr. Nur Maipa, Dr. Dasril Daud, Sp A Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, RS Dr. Wahidin Sudirohusodo, Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 11, Tamalanrea, Makasar - Sulsel
62
D
i Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Tahun 1995, hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) menunjukkan bahwa penyakit TB merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit
Sari Pediatri, Vol. 8, No. 3 (Suplemen), Januari 2007
kardiovaskular dan penyakit saluran pernapasan pada semua kelompok usia dan nomor satu dari golongan penyakit infeksi.5,20 Sampai saat ini diagnosis TB anak masih merupakan masalah karena tanda dan gejala yang tidak spesifik, populasi basil TB yang rendah pada anak dengan TB, sulitnya mendapatkan spesimen (sputum atau bilasan lambung) dan dari hasil pemeriksaan mikroskopik seringkali dijumpai biakan negatif.1,4,7,13,14 Selain itu masih rendahnya nilai uji diagnostik yang ada, sedangkan usaha untuk memperbaiki atau meningkatkan akurasi uji diagnostik belum memadai.13 Dengan berkembangnya bidang biologi molekuler dan kromatografi telah ditemukan uji laboratorium yang sensitif dan cepat. Sayang percobaan pada anak hasilnya masih mengecewakan. 12 Diagnosis TB anak cukup sulit ditegakkan karena tidak ada standar baku emas (gold standard) sebagaimana pada TB dewasa. Meskipun demikian tidak berarti TB pada anak tidak perlu diobati. Bahkan TB pada anak bisa merupakan petunjuk untuk mencari siapa penularnya index case yaitu dengan melakukan pemeriksaan kontak serumah. 5 Sebagian besar diagnosis TB anak ditegakkan atas dasar gambaran klinis, uji tuberkulin dan foto rontgen.9,12,19 Karena sulitnya mendiagnosis TB pada anak, maka data mengenai TB anak langka demikian juga di Indonesia. 4 Untuk mengatasi kesulitan tersebut, WHO mengajukan pendekatan melalui riwayat penyakit dan temuan klinis untuk dignosis TB di komunitas. Saat ini berbagai negara telah membuat konsensus nasional. Di Indonesia telah dibuat Konsensus Nasional untuk diagnosis dan pengobatan TB anak oleh Unit kerja Koordinasi Ikatan Dokter Anak Indonesia, yang secara resmi telah mendapat rekomendasi Departemen Kesehatan untuk masuk dalam Program Pengendalian TB Nasional. Diharapkan dengan pendekatan yang mudah diagnosis TB dan pengobatannya akan lebih akurat, sehingga overdiagnosis dan overtreatment maupun underdiagnosis dan undertreatment dapat diperkecil bahkan dihindari.6 Peran pencitraan dalam menentukan diagnosis, evaluasi pengobatan dan pemantauan penyakit TB anak sangat penting.2,8 Dalam menilai foto sinar – X pasien TB perlu ditekankan keberadaan pembesaran kelenjar limfe regional.8 Foto toraks tidak selalu dapat mendeteksi TB aktif karena sebagian besar tidak khas, 3,15,19 paling mungkin kalau ditemukan infiltrat dengan pembesaran kelenjar hilus atau kelenjar paratrakeal.18
Berdasarkan latar belakang diatas, maka perlu dilakukan penelitian tentang pembesaran kelenjar limfe pada toraks penderita TB paru anak dalam upaya membantu penegakan diagnosis TB pada anak.
Metoda Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional, pada pasien awal yang mempunyai gejala klinis tuberkulosis, berusia lebih dari 2 tahun yang dirawat dibagian ilmu Kesehatan Anak RS Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar pada periode penelitian mulai 1 Juni 2004 sampai 10 September 2005. Subyek penelitian diperoleh berdasarkan urutan masuknya di rumah sakit (consecutive random sampling). Pembanding (kontrol) penelitian ini adalah semua pasien kelainan paru lain yang bukan TB yaitu bronkopneumonia, bronkhitis dan asma bronkial. Sebagai kriteria inklusi adalah pasien yang mempunyai gejala klinis tuberkulosis minimal 3 (alur deteksi dan rujukan TB anak oleh UKK Pulmonologi IDAI) dan umur lebih 2 tahun; sedangkan penderita penyakit keganasan dan penderita yang mendapat kortikosteroid jangka lama yang dapat mempengaruhi hasil penelitian tidak diikutkan dalam penelitian. Semua penderita yang masuk dalam penelitian dicatat umur, jenis kelamin, berat badan dan tinggi badan. Status gizi ditentukan berdasarkan parameter berat badan terhadap tinggi badan berdasarkan standar baku NCHS. Diagnosis TB ditegakkan berdasarkan atas kriteria dari Konsensus Nasional tentang TB oleh UKK Pulmonologi IDAI. Pembacaan foto toraks untuk menentukan ada tidaknya pembesaran kelenjar limfe dilakukan oleh Dokter Spesialis Anak Konsultan Pencitraan Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Dr. Wahidin Sudirohusodo. Uji tuberkulin dilakukan dengan cara Mantoux memakai tuberkulin PPD-RT 23 TU. Interpretasi hasil uji tuberkulin dilakukan oleh peneliti dan dokter spesialis anak konsultan Pulmonologi. Data yang terkumpul dianalisa dengan menggunakan metode statistik Chi-square, Mann-Whitney dengan tingkat kemaknaan p< 0,05.
Hasil Dua ratus penderita yang berusia 2 tahun - 14 tahun yang memenuhi kriteria penelitian, terdiri dari 100 63
Sari Pediatri, Vol. 8, No. 3 (Suplemen), Januari 2007
pasien yang menderita tuberkulosis dan 100 penderita kelainan paru lain yang bukan tuberkulosis sebagai kontrol. Karakteristik sampel Pasien tuberkulosis yang tidak memperlihatkan pembesaran kelenjar limfe 7 orang (7%), pembesaran kelenjar paratrakeal 16 orang (16%) dan pembesaran kelenjar parahilar 77 orang (77%). Distribusi umur pasien TB, tertera pada Gambar 1. Tabel 1. Karakteristik subyek Karakteristik Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Umur (tahun) 2-5 >5 Status gizi Baik Kurang Buruk Kelenjar limfe Tidak ada Paratrakeal Parahilar
n
%
58 42
58,00 42,00
38 62
38,00 62,00
16 61 23
16,00 61,00 23,00
7 16 77
7,00 16,00 77,00
Gambar 1. Histogram distribusi umur
64
Pembesaran kelenjar limfe pada TB Perbandingan frekuensi pembesaran kelenjar limfe pada kelompok TB dan non TB tertera pada Tabel 2. Tampak perbedaan sangat bermakna frekuensi pembesaran kelenjar limfe antara kelompok non TB dengan kelompok TB (p<0,001). Artinya pada kelompok TB pembesaran kelenjar limfe lebih sering ditemukan. Pada frekuensi kejadian pembesaran kelenjar limfe berdasarkan jenis kelamin ditemukan tidak terdapat perbedaan bermakna (p>0,05). Umur rata-rata pada penderita yang tidak ada pembesaran kelenjar limfe adalah 6,867 tahun sedangkan pada penderita yang terdapat pembesaran kelenjar limfe rata-rata 6,376 tahun. Tidak terdapat perbedaan bermakna nilai rata-rata umur antara penderita TB yang terdapat pembesaran kelenjar limfe dengan yang tidak ada pembesaran kelenjar limfe (p>0,05). Frekuensi pembesaran kelenjar limfe berdasarkan kelompok umur, tampak tidak ada perbedaan bermakna (p>0,05). Frekuensi (kejadian) pembesaran kelenjar limfe berdasarkan status gizi terdapat perbedaan bermakna (p<0,05). Artinya pada kelompok gizi, baik-kurang pembesaran kelenjar limfe lebih sering ditemukan
Diskusi Pada penelitian ini telah dilakukan pemeriksaan terhadap 200 kasus yang memenuhi kriteria penelitian,
Sari Pediatri, Vol. 8, No. 3 (Suplemen), Januari 2007
Tabel 2. Frekuensi pembesaran kelenjar limfe Frekuensi
Pembesaran kelenjar limfe Tidak Ada Ada
Kriteria pasien Non TB 84 (84,0%) TB 7 (7,0%) Total 91 (91,0%) X2=119,548; df=1; p=0,000(p<001) Jenis Kelamin Laki-laki 4 (6,90%) Perempuan 3 (7,14%) Total 7 X2=0,002; df=1; p=0,962(p>0,05) Nilai rerata (n=7) Mean 6,867 Median 6,910 Standar Deviasi (SD) 2,961 Range 2,00-12,00 Uji Mann - Whitney; z=-0,466; p=0,641 (p>0,05) Kelompok Umur (tahun) 2-5 1 (2,63%) >5 6 (9,68%) Total 7 X2=0,877; df=1; p=0,349(p>0,05) Status gizi Baik-kurang 3 (42,86%) Buruk 4 (57,14%) Total 7 (100%) X2=4,954; df=1; p=0,026(p<0,05)
terdiri dari 100 pasien TB paru dan 100 pasien penyakit paru lain yang bukan TB (bronkopnemoni, bronkhitis, asma bronkial). Pada penelitian ini diteliti beberapa faktor yang diduga mempunyai hubungan dengan kejadian pembesaran kelenjar limfe pada foto toraks penderita TB paru anak yaitu faktor umur, jenis kelamin dan status gizi. Foto rontgen dada adalah pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk mendiagnosis TB anak.16,22 Gambaran infiltrat atau pembesaran kelenjar getah bening hilus yang selama ini banyak digunakan sebagai dasar diagnosis TB, bukanlah suatu gambaran khas TB karena hal tersebut masih dapat disebabkan oleh penyakit lain seperti pneumonia atau infeksi respiratorik akut lain.16 Pada penelitian ini diantara 100 orang TB anak, pada foto toraks didapatkan gambaran pembesaran kelenjar limfe 93% yaitu pembesaran kelenjar paratrakeal 16% dan kelenjar parahilar 77%.
Total
16 (16,0%) 93 (93,0%) 109 (109,0%)
100 100 200 (100%)
54 (93,10%) 39 (92,86%) 93
58 (100%) 42 (100%) 100 (100%)
(n=93) 6,376 5,500 3,376 2,00-14,16
37 (97,37%) 56 (90,32%) 93
38 (100%) 62 (100%) 100 (100%)
74 (79,57%) 19 (20,43%) 93 (100%)
77 23 100
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya. Hasil penelitian Pineda dkk pada tahun 1993 (dikutip dari Rahayu N14) melaporkan pada 171 kasus TB anak, 22,2% diantaranya terdapat biakan positif dengan gambaran rontgen paru berupa pembesaran kelenjar pada 93,5% kasus. Hasil penelitian Schaaf dkk 21 menunjukkan dari 64 kasus tuberkulosis anak yang diteliti, pada foto toraks terlihat gambaran limfadenopati sebanyak 44 kasus (69%). Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal.15 Pada penelitian ini lebih banyak didapatkan pembesaran kelenjar parahilar (77%) daripada kelenjar paratrakeal (16%). Pembesaran kelenjar limfe tidak hanya disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberkulosis tetapi bisa juga oleh kuman non Mycobacterium tuberkulosis.10 Pada
65
Sari Pediatri, Vol. 8, No. 3 (Suplemen), Januari 2007
penelitian ini terlihat perbedaan sangat bermakna frekuensi pembesaran kelenjar limfe antara pasien TB dengan pasien non TB (p<0,001). Lebih tingginya frekuensi pembesaran kelenjar limfe pada foto toraks penderita TB daripada penderita bronkopnemoni, bronkhitis dan asma bronkial tidak melalui patogenesis kompleks primer. Pada penelitian ini dari 100 pasien tuberkulosis didapatkan 58 (58,0%) anak laki laki dan 42 (42,0%) anak perempuan. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya. Dari 115 pasien bagian anak RSCMJakarta yang berusia 6 bulan-12 tahun dengan diagnosis tuberkulosis yang telah dibuktikan dengan pemeriksaan bakteriologik didapatkan jumlah pasien laki-laki lebih banyak daripada perempuan.16 Penelitian yang dilakukan oleh Sidabutar dkk20 di RSCM-Jakarta pada Januari 1999 - Desember 2001 memperlihatkan distribusi jenis kelamin laki-laki 52,7% dan perempuan 47,3%. Sedangkan pada Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna frekuensi (kejadian) pembesaran kelenjar limfe berdasarkan jenis kelamin (p>0,05). Berdasarkan kelompok umur dari 100 pasien tuberkulosis, kelompok umur < 5 tahun 38 orang (38,0%) dan kelompok umur >5 tahun 62 orang (62,0%). Hasil penelitian Schaaf dkk21 menunjukkan dari 64 kasus TB anak yang diteliti, umur >2-5 tahun 24 orang (38%) dan umur >5-13 tahun 22 orang (34%). Telah lama diketahui bahwa pada pasien malnutrisi berat (KKP) didapatkan kelenjar timus dan tonsil yang atrofi, berkurangnya jumlah limfosit T yang berkorelasi dengan menurunnya imunitas selular.11 Pada penelitian ini terlihat perbedaan bermakna frekuensi (kejadian) pembesaran kelenjar limfe berdasarkan status gizi (p<0,005). Pada gizi buruk frekuensi pembesaran kelenjar limfe lebih kecil daripada pasien status gizi baik-kurang. Hal ini mungkin disebabkan karena kelenjar limfe pada penderita gizi buruk mengalami atrofi, sehingga kejadian pembesaran kelenjar limfe pada penderita TB dengan gizi buruk lebih sedikit. Kita ketahui bahwa limfosit, pembuluh limfe, kelenjar limfe, limpa, tonsil, adenoid, peyer parches dan timus termasuk dalam kelompok sistem limfatik.17 Mungkin perlu penelitian lanjut khusus mengenai patomekanisme pembesaran kelenjar limfe pada TB yang menderita gizi buruk. Berdasarkan hal tersebut, diambil kesimpulan bahwa tidak terdapatnya pembesaran kelenjar limfe pada foto toraks anak dengan gizi buruk tidak menyingkirkan diagnosis TB. 66
Kesimpulan Pembesaran kelenjar limfe pada foto toraks pasien TB paru anak lebih banyak daripada penyakit paru lain yang bukan TB. Frekuensi pembesaran kelenjar limfe pada foto toraks TB paru anak lebih tinggi pada gizi baik-kurang daripada gizi buruk.
Daftar Pustaka 1.
Andronikou S, Wieselthaler N. Modern Imaging of tuberculosis in children: thoracic, central nervous system and abdominal tuberculosis. Pediatr Radiol 2004; 34:861-75. 2. Asnakel M, Feleke D. Sensitivity of chest x-ray and their relation to sputum result in the diagnosis of pulmonary tuberculosis in Hosanna Hospital. Ethiop J Heath Dev. 2000; 14:199-204. 3. Boediman I, Tamaela LA. Gambaran klinis dan radiologi infeksi paru pada anak. Dalam: Susworo R, Syahrum MG, Tjokronegoro A, penyunting. Infeksi Saluran Nafas. Jakarta : FKUI 1989. h. 21-35. 4. Chauhan LS, Arora VK. Management of pediatric tuberculosis under the revised national tuberculosis control programme. Dalam: Indian J Pediatr, 2004; 71: 341-3. 5. Departmen Kesehatan RI. Pengembangan kebijakan Depkes dalam penanggulangan TB anak. Disampaikan pada Indonesian Pediatric Respiratory Meeting II/2004 Focus on Tuberculosis, Jakarta: 13-15 Februari 2004. 6. Kartasasmita CB. Epidemologi tuberkulosis. Disampaikan pada Indonesian Pediatric Respiratory Meeting II/2004 Focus on Tuberculosis, Jakarta: 13-15 Februari 2004. 7. Khaled NA, Enarson AD. Tuberculosis: A manual for medical students. WHO, 2003. 8. Karjomanggolo WT. Aspek pencitraan dalam diagnosis dan tatalaksana penyakit saluran nafas pada anak. Dalam: Rahajoe N, RAhajoe N.N, Boediman I, Said M, Wirjodiardjo M, Supriyatmo, penyunting. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan. IKA XXXIII, FKUI, Jakarta: 1994; 75-85. 9. Miller FJW. Tuberculosis in children. Edisi ke-1, London: Churchill Livingstone, 1982. 10. Nilawardhani S, Lubis H, Daulay RM, Panggabean G, Hasibuan SM, Comparison of clinical aspects and Mantoux test in tuberculosis versus non-tuberculosis superficial lympdhadenitis. Dalam: Paediatr Indones, Jakarta: 2004; 44: 55-60.
Sari Pediatri, Vol. 8, No. 3 (Suplemen), Januari 2007
11. Pudjiadi S, penyakit KKP (Kurang Kalori & Protein). Dalam: Ilmu gizi klinis pada Anak. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 1990. h. 135-6. 12. Rahajoe N.N. Diagnosis dan tatalaksana tuberculosis pada anak. Dalam: Buku Naskah Lengkap KONIKA XI, Jakarta: 4-7 Juli 1999. 13. Rahajoe N.N. Masalah diagnosis tuberkulosis pada anak. Disampaikan pada Indonesian Pediatric Respiratory Meeting II/2004 Focus on Tuberculosis, Jakarta: 13-15 Februari 2004. 14. Rahajoe N. Tinjauan perkembangan dan masalah pulmonologi anak saat ini. Dalam: Rahajoe N, Rahajoe N.N, Boediman I, Said M, Wirjodiardjo M, Supriyatmo, penyunting. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan . IKA XXXIII, FKUI, Jakarta: 1994. h. 75-85. 15. Rahajoe N.N. Berbagai masalah dan diagnosis dan tatalaksana tuberculosis anak. Dalam: Rahajoe N, Rahajoe N.N, Boediman I, Said M, Wirjodiardjo M, Supriyatmo, penyunting. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan. IKA XXXIII, FKUI, Jakarta: 1994. h. 75-85. 16. Rahajoe NN, Basir D, MS Makmuri, Kartasasmita CB. Pedoman nasional tuberkulosis anak. Jakarta: UKK Pulmonologi PP IDAI; 2005.
17. Rock A, Camitta BM. The lymphatic system. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-17, Philadelphia: WB Saunders Co, 2004. h. 1527-29. 18. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Infeksi. Dalam: Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 2. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 1985. h. 549-92. 19. Starke JR, Munoz FM, Tuberculosis (Mcobacterium tuberculosis). Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-17, Philadelphia: WB Saunders Co, 2004. h. 95872. 20. Sidabutar B, Soedibyo, Tumbelaka A. Nutritional status of under-five pulmonary tuberculosis patients before and after six-month therapy. Dalam: Paediatr Indones. 2004; 44: 21-4. 21. Schaaf HS, Parkin DP, Seifart HI, Hesseling PB, Van Helden PD, Maritz JS. Isoniazid pharmacokinetics in children treated for respiratory tuberculosis. Dalam: Arch Dis Child 2005; 90:614-8. 22. WHO. TB/HIV a clinical manual Edisi kedua. Geneva: World Health Organization; 2004.
67