Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Kimia dan Pendidikan Kimia di FKIP UNS tgl 31 Maret 2012. (Proceding ISBN: 979363147-3).
DESIGNED STUDENT-CENTERED INSTRUCTION (DSCI): MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS KONSTRUKTIVISTIK, INKUIRI DAN KONTEKSTUAL Oleh: Sri Rahayu*
Abstrak Berbagai perubahan di dunia yang sangat cepat harus diimbangi dengan reformasi dalam pendidikan sains/kimia. Namun, reformasi tersebut juga perlu dilakukan sampai pada tingkat pembelajaran
sains/kimia
diperbincangkan
di
kelas.
Pendekatan
pembelajaran
yang
seringkali
dalam komunitas peneliti dan pendidik sains adalah pendekatan
konstruktivistik, inkuiri dan konteks. Bagaimana menerapkan berbagai pendekatan ini dan keberhasilannya dalam meningkatkan efektivitas pembelajaran di kelas perlu dilakukan penelitian.
Salah satu
model
pembelajaran
yang telah dikembangkan berbasis
konstruktivistik, inkuiri dan konteks adalah model Designed Student-Centered Instruction (DSCI) yang sudah dibuktikan secara empiris dapat meningkatkan prestasi belajar siswa dan motivasi siswa sekolah menengah atas. Kata-kata kunci: Designed Student-Centered Instruction, inkuiri, konteks, konstruktivistik
PENDAHULUAN Dewasa ini dunia telah mengalami berbagai perubahan yang cepat dalam hal kemajuan teknologi, inovasi dalam sains, globalisasi, meningkatknya tuntutan dunia kerja serta kompetensi bidang ekonomi. Semua perubahan ini menuntut para pendidik untuk merumuskan kembali berbagai ketrampilan dan pengetahuan yang perlukan siswa agar dapat menghadapi berbagai perubahan dan berkontribusi secara memadai dalam masyarakat (Wilmarth, 2010). Pendidikan sains termasuk kimia, dalam konteks global, telah melakukan berbagai reformasi untuk memenuhi tuntutan zaman selama kurun waktu 40 tahun. Namun, walaupun reformasi tersebut telah dilakukan pendekatan dalam mengajarkan sains/kimia secara umum belum mengalami perubahan yang berarti. Di level persekolahan misalnya, kimia lebih banyak diajarkan dengan cara tradisional yang dicirikan dengan adanya dominasi ceramah serta proses pembelajarannya kurang melibatkan siswa secara aktif. Dalam hal ini, fokus pembelajaran kimia lebih menekankan pada bagaimana menyelesaikan materi pelajaran termasuk bagaimana menyelesaikan soal-soal terstruktur dan melakukan kegiatan laboratorium secara mekanik serta bagaimana menghafalkan materi pelajaran yang
*SRI RAHAYU, Ph.D adalah dosen Pendidikan Kimia/Sains FMIPA Universitas Negeri Malang E-mail:
[email protected]
Page 1
Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Kimia dan Pendidikan Kimia di FKIP UNS tgl 31 Maret 2012. (Proceding ISBN: 979363147-3).
dipandang sebagai sekumpulan pengetahuan (body of knowledge) (Gabel & Bunce, 1994; Shymansky, William, & Alport, 2003; Tobin & McRobbie, 1995). Fakta-fakta di atas telah menarik minat para peneliti pendidikan kimia serta menjadikan isuisu terkait sebagai fokus penelitian dengan harapan agar hasil-hasil penelitian mereka dapat memberikan informasi yang berguna bagi pengambil kebijakan atau pemerhati pendidikan sains/kimia untuk meningkatkan pembelajaran kimia. Untuk mengetahui topik-topik apa saja yang diminati oleh para peneliti tersebut, penulis melakukan analisis terhadap 432 artikel jurnal pendidikan kimia yang dipublikasikan dalam delapan jenis jurnal internasional pendidikan sains dan kimia yang memiliki reputasi selama kurun waktu 2007 sampai 2011 (Rahayu, 2012). Dari analisis itu ditemukan bahwa topik-topik yang paling banyak diminati oleh para peneliti pendidikan kimia adalah topik pemahaman konsep dan perubahan konsep siswa, topik metode/model pembelajaran, termasuk pembelajaran berbasis inkuiri dan laboratorium. Dalam makalah ini akan dibahas tentang hakekat konsep-konsep kimia, pendekatan dan model-model pembelajaran kimia terkini dan contoh model pembelajaran yang mengintegrasikan berbagai pendekatan dalam pembelajaran kimia. HAKEKAT KONSEP-KONSEP KIMIA Banyak siswa di semua level pendidikan memandang bahwa kimia merupakan bidang studi yang sulit (Nakhleh, 1992). Hal ini disebabkan karena banyak konsep-konsep dalam kimia pada hakekatnya abstrak dan memiliki istilah-istilah yang sulit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sejak pertama kali belajar kimia secara formal, banyak siswa tidak memahami konsep-konsep kimia dasar dengan benar (Gabel, Samuel, & Hunn, 1987). Ilmuwan menggunakan triangle level of representation: makroskopis, submikroskopis dan simbolik untuk berkomunikasi satu dengan lainnya dan untuk membangun kembali realitas dan alam (Johnstone, 1993 and 1982; Gabel and Bunce, 1994; Gabel, 1998). Pada level makroskopis, kimia merupakan fenomena yang dapat diamati seperti peristiwa-peristiwa yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari misalnya es krim mencai atau paku mengalami perkaratan. Untuk memahami fenomena ini dengan baik, kimiawan mengembangkan konsep dan model atom dan molekul. Pada level submikroskopis, paku yang sedang berkarat menjadi proses kimia dimana atom-atom besi dalam paku bereaksi dengan molekul oksigen di udara menghasilkan molekul besi oksida yang dihasilkan. Cara lain untuk menyatakan proses ini adalah dengan menggunakan persamaan reakdi dengan symbol, rumus kimia dan angka-angka seperti 2Fe(s) + 3O2 (g) Fe2O3(s). Seperti yang ditunjukkan dalam contoh ini, kimiawan menyajikan pengalaman panca inderanya *SRI RAHAYU, Ph.D adalah dosen Pendidikan Kimia/Sains FMIPA Universitas Negeri Malang E-mail:
[email protected]
Page 2
Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Kimia dan Pendidikan Kimia di FKIP UNS tgl 31 Maret 2012. (Proceding ISBN: 979363147-3).
dengan atom dan molekul dan menterjemahkannya kedalam symbol dan rumus. Oleh karena itu, kemampuan siswa dalam dalam memahami peran dari setiap gambaran kimia dan kemampuan dalam mentransfer dari saru gambaran ke gambaran yang lain merupakan aspek yang penting untuk menghasilkan penjelasan yang dapat dimengerti (Treagust, Chittleborough, & Mamiala, 2003). Gambar 1 menunjukkan level triangle deskripsi dan representasi dalam kimia. Makroskopis — cirri-ciri kita dapat lihat, rasa, bau dengar
Submikroskopis — partikel materi seperti electron, molekul dan atom
Simbolik — seperti gambar, model, persamaan, rumus, dan gambar computer
Gambar 1. Triangle level of representation
PENDEKATAN-PENDEKATAN DALAM PEMBELAJARAN KIMIA Secara historis, pendidik sains menjelaskan hakekat belajar dengan mengklasifikasikannya menjadi tiga kategori umum. Secara sederhana ketiga kategori itu adalah pandangan transmisi (behavioristik), pandangan kematangan (maturation), dan pandangan konstruksi (konstruktivisme) seperti nampak pada tabel 1 berikut. Dewasa ini para ilmuwan dan pendidik sains/kimia memfokuskan pada model konstruktivistik (konstruksi) untuk menjelaskan bagaimana siswa belajar konsep. Tabel 1. Kategori Umum Hakekat Belajar Perspektif
Pandangan tentang siswa
Pandangan tentang pengetahuan
Pendekatan pengajaran
Transmisi
Siswa diisi dengan informasi dan konsep
Konsep inti merupakan salinan dari realita
Dari luar ke dalam
Kematangan
Siswa dibiarkan matang dan berkembang
Munculnya konsep inti
Dari dalam ke luar
Konstruksi
Siswa terlibat secara aktif dalam pembelajaran
Konstruksi konsep inti
Interaksi antara luar dan dalam
(Sumber: Trowbridge, Bybee & Powell, 2004: 219)
*SRI RAHAYU, Ph.D adalah dosen Pendidikan Kimia/Sains FMIPA Universitas Negeri Malang E-mail:
[email protected]
Page 3
Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Kimia dan Pendidikan Kimia di FKIP UNS tgl 31 Maret 2012. (Proceding ISBN: 979363147-3).
Selain itu, hasil analisis 432 artikel penelitian pendidikan kimia yang dipublikasi di delapan jurnal pendidikan kimia dan sains yang memiliki reputasi dalam kurun waktu 2007 sampai 2011 terdapat kecenderungan bahwa para peneliti dan pendidik kimia lebih memfokuskan pada model-model pembelajaran yang berbasis konstruktivistik, inkuiri dan konteks (Rahayu, 2012). Pembelajaran Berbasis Konstruktivistik Pandangan belajar kontemporer yang sudah mendominasi penelitian pendidikan sains selama beberapa dekade adalah konstruktivisme. Pandangan konstruktivisme baik secara filosofis maupun pedagogi memberikan wawasan tentang bagaimana siswa membangun konsep, mencari makna yang lebih dalam, menggali pemahaman baru, dan mengajukan serta menyelesaikan suatu masalah (Saunders, 1992). Menurut teori konstruktivistik pebelajar/siswa merespon pengalaman-pengalaman pancaindera dengan membangun/mengkonstruksi suatu skema atau struktur kognitif dalam otak. Struktur kognitif merupakan suatu pikiran (keyakinan, pengertian) yang juga merupakan pengetahuan subyektif seseorang tentang dunia. Dengan perkataan lain, pokok pikiran pandangan konstruktivisme (Piaget dalam Bodner, 1986) adalah bahwa pengetahuan diperoleh sebagai akibat dari proses konstruksi yang terus menerus dimana kita mencoba mengatur, menyusun dan menata kembali pengalaman-pengalaman kita dikaitkan dengan struktur kognitif yang dimiliki sehingga struktur kognitif tersebut sedikit demi sedikit dimodifikasi dan dikembangkan. Oleh karena pengetahuan diciptakan dalam pikiran siswa sebagai hasil dari interaksi pancaindera siswa dengan dunianya, maka pengetahuan tidak dapat semata-mata diucapkan atau ditransfer oleh guru kepada siswa. Teori konstruktivistik tentang belajar juga memiliki dimensi sosial (Tobin, 1990). Menurut teori konstruktivistik sosial, pengetahuan bukan merupakan pikiran seseorang yang terpisah dari orang lain dalam masyarakat, melainkan hasil dari kepemilikan budaya, mencoba mengerti kehidupan dalam budaya tersebut, menggunakan bahasa dan konsepkonsep yang muncul dari proses ini untuk membangun model-model teoritis dalam domain sains/kimia. Walaupun tanggung jawab untuk belajar dan memahami apa yang terjadi terletak pada pebelajar sendiri, ia juga perlu waktu untuk mengalami, merefleksikan pengalaman dikaitkan dengan pengetahuan awal mereka, dan memecahkan berbagai masalah yang muncul. Hal ini berarti bahwa pebelajar memerlukan waktu untuk mengklarifikasi, mengelaborasi, mendeskripsikan, membandingkan, menegosiasikan dan mencapai konsensus mengenai makna suatu pengalaman bagi mereka. Nilai utama pembicaraan dengan siswa lain adalah bahwa interaksi dapat menghasilkan suatu wacana *SRI RAHAYU, Ph.D adalah dosen Pendidikan Kimia/Sains FMIPA Universitas Negeri Malang E-mail:
[email protected]
Page 4
Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Kimia dan Pendidikan Kimia di FKIP UNS tgl 31 Maret 2012. (Proceding ISBN: 979363147-3).
(discourse) yang membantu seseorang memperjelas apa yang ia maksud, dan dapat membantu proses penentuan apakah suatu pengertian dapat berlaku (viable). Esensi dari pembelajaran berbasis konstruktivistik adalah pembelajaran berorientasi pada siswa (student-centered). Peran guru yang konstruktivistik adalah menciptakan sebuah konteks yang dapat memotivasi siswa untuk belajar termasuk menyediakan materi dan sumber belajar, mengajukan permasalahan dan pertanyaan yang relevan pada saat yang tepat (Wheatley, 1991: 14) dan mengaitkan sumber-sumber dan pertanyaan tersebut dengan pengetahuan awal siswa. Agar sebuah pembelajaran dikatakan berorientasi konstruktivistik maka ada empat kriteria penting yang harus nampak dalam aktivitas, susunan, isi atau konteks pembelajaran (Baviskar dkk, 2009), yaitu:
Kriteria pertama adalah menggali pengetahuan awal siswa (eliciting prior knowledge). Konstruktivisme berasumsi bahwa semua pengetahuan baru selalu dikaitkan dengan pengetahuan awal siswa. Jika pendidik tidak memiliki mekanisme untuk menggali pengetahuan awal siswa maka pengetahuan baru tersebut tidak dapat dikaitkan dengan bangunan konsep siswa. Demikian juga jika perhatian siswa tidak menarik pengetahuan awalnya, maka siswa akan mengabaikan atau salah mengaitkan pengetahuan awal tersebut pada pengetahuan baru. Ada beberapa cara untuk menggali pengetahuan awal siswa, yaitu melalui pretes formal, mengajukan pertanyaan-pertanyaan tidak formal, mewawancarai siswa secara formal, atau membuat pemetaan konsep yang membutuhkan aplikasi pengetahuan dasar.
Kriteria kedua adalah menciptakan disonansi kognitif (creating cognitive dissonance). Siswa harus menyadari adanya perbedaan antara pengetahuan awalnya dengan pengetahuan baru. Wheatley (1991, p. 15) mengatakan bahwa dalam mempersiapkan pembelajaran di kelas, guru harus memberikan tugas yang bersifat problematik sehingga siswa dapat menemukan masalah dari tugas-tugas yang diberikan.
Criteria ketiga adalah penerapan pengetahuan dengan umpan balik (application of the knowledge with feedback). Salah pengertian atau penolakan terhadap pengetahuan baru akan terjadi jika siswa tidak menginterpretasikan dan memodifikasi pengetahuan awalnya dalam konteks pengetahuan baru. Penerapan konstruksi baru dapat berupa kuis, presentasi, diskusi kelompok atau aktivitas lain dimana siswa akan membanding hasil konstruksi baru dengan teman sebaya atau dengan situasi yang baru. Selain untuk mengecek validitas dari hasil konstruksi siswa, penerapan pengetahuan juga
*SRI RAHAYU, Ph.D adalah dosen Pendidikan Kimia/Sains FMIPA Universitas Negeri Malang E-mail:
[email protected]
Page 5
Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Kimia dan Pendidikan Kimia di FKIP UNS tgl 31 Maret 2012. (Proceding ISBN: 979363147-3).
memungkinkan siswa mendefinisikan lebih lanjut hubungan pengetahuan baru terhadap berbagai macam konteks agar dapat mengintegrasikan pengetahuan baru secara permanen dalam pikirannya.
Kriteria keempat adalah refleksi terhadap belajar (reflection on learning). Bila siswa sudah memperoleh pengetahuan baru dan memverifikasi pengetahuan itu, maka siswa perlu menyadari bahwa telah terjadi belajar dalam dirinya (Yager, 1991). Pembelajaran konstruktivistik akan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengekspresikan apa yang telah dipelajarinya. Refleksi dapat diperoleh dengan menggunakan teknik asesmen tradisional seperti presentasi, makalah atau ujian jika pertanyaan-pertanyaan dalam ujian tersebut menggali refleksi dalam hal proses belajar (Saunders, 1992).
Pembelajaran Berbasis Inkuiri Tujuan utama pendidikan sains adalah membantu siswa agar dapat bernalar secara ilmiah. Salah satu cara untuk memfasilitasi tercapainya tujuan itu adalah melibatkan siswa dalam aktivitas inkuiri (Chinn & Malthora, 2002). Kurikulum sains di sekolah juga didesain untuk mencapai tujuan utama pendidikan sains. Oleh karena itu, kurikulum tersebut pada umumnya dicirikan oleh adanya aspek konten dan ketrampilan proses ilmiah (Bass, Constant, & Carin, 2009). Konten ilmiah terdiri dari pernyataan tentang hakekat, termasuk entitas, teori dan konsepkonsep yang digunakan untuk memahami dan menjelaskan entitas ini. Sedangkan ketrampilan proses mengacu pada praktek darimana pengetahuan ilmiah tersebut dikembangkan, mencakup berekperimen, membuat prediksi, membuat hipotesis, dan mengkomunikasikan hasil dalam komunitas ilmiah. Dalam kurikulum seperti itu, siswa diharapkan untuk belajar konten sains dan juga mengalami proses sains. Hubungan antara proses ilmiah dan belajar konten melalui inkuiri telah dikenal dan diimplementasikan di berbagai negara (Abd-El-Khalick, dkk, 2004). Pembelajaran sains dengan inkuiri mendukung pendekatan konstruktivisme dalam belajar sains (Bass, Constant & Carin, 2009). Menurut the National Science Education Standards (NSES) di Amerika (NRC, 1996), inkuiri didefinisikan sebagai berikut: Inquiry is a multifaceted activity that involves making observations; posing questions; examining…sources of information…; planning investigations; reviewing…evidence; using tools…; proposing answers, explanations, and predictions; and communicating results. Inquiry requires identification of assumptions, use of critical and logical thinking, and consideration of alternative explanations (NRC, 1996, p. 23).
*SRI RAHAYU, Ph.D adalah dosen Pendidikan Kimia/Sains FMIPA Universitas Negeri Malang E-mail:
[email protected]
Page 6
Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Kimia dan Pendidikan Kimia di FKIP UNS tgl 31 Maret 2012. (Proceding ISBN: 979363147-3).
Dari definisi itu nampak bahwa inkuiri ilmiah menggambarkan berbagai cara yang dilakukan oleh ilmuwan dalam mempelajari alam semesta dan mengusulkan penjelasan berdasarka bukti-bukti yang diperoleh dari kerja mereka. Inkuiri juga mengacu pada kegiatan siswa dimana mereka mengembangkan pengetahuan dan pemahaman tentang ideide ilmiah, juga pemahaman tentang bagaimana ilmuwan mempelajari alam semesta ini. Oleh karena itu, dengan memberikan kesempatan otentik untuk melakukan kegiatan inkuiri diharapkan dapat meningkatkan kemampuannya untuk mengevaluasi ide-ide ilmiah yang kompleks. (Trumbull, Bonney & Grudens-Schuck, 2005). Hasil belajar yang berhubungan dengan dimensi inkuiri sains meliputi merumuskan hipotesis, mengembangkan rencana untuk mengumpulakn data dan membangun argumentasi berdasarkan bukti-bukti yang telah dikumpulkan. Melalui kegiatan inkuiri, diharapkan siswa memperoleh pengetahuan dengan cara yang lebih bermakna (Germann, Haskins, & Auls, 1996) namun perlu diberi kesempatan untuk mempraktekkan proses sains dengan melakukan berbagai macam penyelidikan. Dengan umpan balik dan pemodelan yang memadai siswa seharusnya menjadi lebih mahir dan percaya diri. Jika guru dan siswa mengaitkan konteks materi laboratorium dengan konteks yang lebih luas, maka siswa akan dapat menerapkan proses sains di luar kelas (Germann & Aram, 1996). Dalam menerapkan penyelidikan berbasis inkuiri, ada beberapa aspek yang pada umumnya nampak dalam siklus inkuiri seperti yang digambarkan dalam gambar 2 berikut (Llewellyn, 2002: 15):
1 6
Pemeriksaan: Mengawali pertanyaan yang akan diselidiki
Pameran: Berbagi dan mengkomunikasikan hasil
2 Perolehan: “curah gagasan” ttg pemecahan masalah
Siklus inkuiri
5
3 Dugaan: Memilih pernyataan untuk diuji
Kesimpulan: Mengumpulkan bukti dan menarik kesimpulan
4 Penerapan: Mendesain dan melaksanakan rencana
Gambar 2. Siklus inkuiri *SRI RAHAYU, Ph.D adalah dosen Pendidikan Kimia/Sains FMIPA Universitas Negeri Malang E-mail:
[email protected]
Page 7
Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Kimia dan Pendidikan Kimia di FKIP UNS tgl 31 Maret 2012. (Proceding ISBN: 979363147-3).
Seberapa besar keterlibatan siswa dalam kegiatan penyelidikan berbasis inkuiri tergantung pada Pengalaman siswa dalam melakukan kegiatan ini. Jika ketrampilan siswa berinkuiri semakin berkembang maka batuan yang mereka dari guru menjadi semakin berkurang sampai akhirnya mereka dapat melakukan kegiatan inkuiri sendiri. LeRoy & Lee (2008,345) menggambarkan kontinum level inkuiri siswa dalam sebuah matrik sebagai berikut: Tabel 2. Matrik inkuiri sains Level inkuiri 0
Bertanya
Merencanakan Menerapkan
Menyimpulkan Melaporkan
Guru
Guru
Guru
Guru
Guru
1
Guru
Guru
Siswa
Guru
Siswa
2
Guru
Guru
Siswa
Siswa/guru
Siswa
3
Guru
Siswa/guru
Siswa
Siswa
Siswa
4
Siswa/guru
Siswa
Siswa
Siswa
Siswa
5
Siswa
Siswa
Siswa
Siswa
Siswa
Pembelajaran Berbasis Konteks Pengertian pendekatan berbasis konteks berasal dari upaya-upaya yang dilakukan saat ini untuk mereformasi pendidikan kimia dalam mengatasi berbagai masalah yang saling terkait (lihat Gilbert, 2006; Schwartz, 2006). Dalam hal ini istilah konteks digunakan sebagai dasar untuk mendesain kurikulum dan pembelajarannya di kelas. Menurut Pearsall (1999), konteks berarti “kondisi yang membentuk latar sebuah peristiwa, pernyataan, atau ide dan istilah sehingga peristiwa, pernyataan atau ide tersebut mudah dipahami”. Sebuah konteks harus menyediakan makna struktural yang utuh untuk hal baru yang diatur dalam perspektif yang lebih luas. Gambaran ini sesuai dengan fungsi “penggunaan konteks” dalam pendidikan kimia, yaitu siswa harus mampu memberikan makna dalam belajar kimia dan siswa harus mengalami belajar sebagai hal yang relevan dalam beberapa aspek kehidupannya serta mampu membangun “peta mental” materi yang utuh. Bennett (2003 dalam Gilbert, 2006) memberikan bukti-bukti hasil penelitian berkaitan dengan pembelajaran berbasis konteks, misalnya minat dan kesenangan siswa pada pelajaran sains umumnya meningkat bila mereka menggunakan bahan-bahan berbasis konteks dan mengikuti mata pelajaran berbasis konteks. Materi yang berbasis konteks membantu siswa melihat hubungan yang jelas antara apa yang mereka pelajari di sekolah dengan yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Siswa yang mengikuti pembelajaran berbasis konteks *SRI RAHAYU, Ph.D adalah dosen Pendidikan Kimia/Sains FMIPA Universitas Negeri Malang E-mail:
[email protected]
Page 8
Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Kimia dan Pendidikan Kimia di FKIP UNS tgl 31 Maret 2012. (Proceding ISBN: 979363147-3).
setidaknya sama efektifnya dengan siswa yang mengikuti lebih banyak pembelajaran konvensional. Kurikulum kimia berbasis konteks terdiri dari beberapa langkah dan langkah harus didesain dari sebuah konteks dan disusun berdasarkan model pembelajaran berbasis konteks yang umum (De Vos, Bulte, & Pilot, 2002), yaitu: Langkah pertama: Pendahuluan berbasis konteks Dalam langkah pertama siswa diperkenalkan dengan masalah-masalah praktis yang terkait dengan konteksnya. Masalah ini dapat membangkitkan rasa ingin tahu siswa dan kebutuhan untuk mempelajari pengetahuan kimia agar dapat memahami dan memecahkan masalah (the need to know). Tujuan dari pendahuluan berbasis konteks adalah menyediakan konteks terkait dengan pembenaran untuk belajar konsep kimia.
Langkah kedua: Belajar konsep-konsep kimia. Siswa belajar konsep-konsep yang ada dalam kurikulum kimia. Langkah ketiga: Proyek inkuiri berbasis konteks. Siswa melakukan proyek inkuiri dimana mereka dapat menerapkan konsep-konsep kimia yang telah dipelajari sebelumnya. Beberapa Negara telah mengembangkan program berbasis konteks, misalnya:
Chemistry in Context (USA) untuk perguruan tinggi (usia 18-20 tahun) dikembangkan oleh American Chemical Society, 2001.
ChemConnections (USA) untuk perguruan tinggi dikembangkan oleh ChemLinks Coalition,2004.
ChemCom (USA) untuk sekolah menengah atas dikembangkan oleh American Chemistry Society, 2001.
Salters Advanced Chemistry (UK) untuk pra universitas (usia 17-18 tahun) dikembangkan oleh University of York, Science Education Group, 2000.
Chemistry in Context (ChiK, Jerman) untuk level 10 dan 11 dikembangkan oleh Ilka Parchmann, 2006.
Chemistry in Practice (ChiP, Netherland) untuk sekolah menengah dikembangkan oleh Bulte dkk, 2006.
*SRI RAHAYU, Ph.D adalah dosen Pendidikan Kimia/Sains FMIPA Universitas Negeri Malang E-mail:
[email protected]
Page 9
Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Kimia dan Pendidikan Kimia di FKIP UNS tgl 31 Maret 2012. (Proceding ISBN: 979363147-3).
Designed Student-Centered Instruction (DSCI): Contoh Model Pembelajaran Berbasis Kontruktivistik, Inkuiri, dan Kontektual Ada beberapa model/ metode pembelajaran yang banyak dikaji oleh peneliti pendidikan kimia, diantaranya adalah model pembelajaran siklus belajar, pembelajaran kooperatif, problem-based learning, dan sebagainya. Dalam makalah ini akan disajika sebuah contoh model pembelajaran yang berbasis konstruktivistik, inkuiri, dan kontekstual yang didesain oleh penulis dan diberi nama Designed Student-Centered Instruction (DSCI) yang berbasis konstruktivistik, inkuiri dan kontekstual. Ada empat fase yang harus dilakukan oleh guru dan siswa jika menerapkan pembelajaran ini di kelas, yaitu fase pendahuluan (introduction), fase kegiatan praktek inkuiri (hands-on inquiry activities), fase diskusi kelas (class discussion), dan fase penerapan (application). Model pembelajaran DSCI ini sudah diuji keefektivannya oleh penulis dan terbukti efektif untuk meningkatkan prestasi belajar siswa dan juga meningkatkan motivasi siswa dalam belajar konsep asam basa (Rahayu, dkk, 2011). Selain itu, model ini juga diterapkan di Amaki Superscience High School (SSH) Jepang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model pembelajaran ini cukup efektif dan sebagian besar siswa (97% dari 40 siswa) menikmati proses belajar mengajar dan kebanyakan dari mereka (80%) merasa bahwa pemahamannya tentang asam basa meningkat (Rahayu, Tsuji & Kita, 2009). Berikut ini contoh penerapan DSCI dalam topik asam dan basa (kharakteristik, definisi, netralisasi, kekuatan asam basa dan pH). Langka-langkah dalam fase DSCI digunakan untuk mengajarkan konsep kharakteristik asam basa dan kekuatan asam basa, sedangkan dalam mengajarkan definisi, netralisasi dan pH asam basa digunakan pembelajaran langsung interaktif dengan
memasukkkan
gambaran makroskopis,
submikroskopis dan simbolik. Fase 1. Pendahuluan (Introduction). Pelajaran diawali dengan menyajikan peta konsep tentang asam dan basa dan dengan memberikan contoh bahan-bahan yang diperoleh di sekitar siswa. Peta konsep adalah alat pembelajaran untuk menyajikan konsep dan untuk menunjukkan pada siswa hubungan antar konsep dengan jelas. Peta konsep tersebut digunakan sebagai apa yang disebut oleh Ausubel advance organizer untukmembantu siswa mencapai belajar bermakna dan didesain sesuai dengan apa yang sudah diketahui atau tidak diketahui siswa mengenai suatu konsep (Berg, 2006). Penggunaan peta konsep seperti yang telah ditunjukkan oleh hasil penelitian dapat memfasilitasi belajar secara *SRI RAHAYU, Ph.D adalah dosen Pendidikan Kimia/Sains FMIPA Universitas Negeri Malang E-mail:
[email protected]
Page 10
Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Kimia dan Pendidikan Kimia di FKIP UNS tgl 31 Maret 2012. (Proceding ISBN: 979363147-3).
konstruktivistik (Hughes and Hay, 2001). Dalam mengenalkan topik baru dalam materi asam dan basa guru selalu memulainya dengan menunjukkan peta konsep. Setelah menyajikan peta konsep, guru menunjukkan beberapa contoh bahan yang bisa diperoleh dari kehidupan sekitar siswa misalnya jeruk dan sabun ketika mengajarkan topik kharakteristik asam basa. Aktivitas ini dimaksudkan agar siswa menyadari bahwa ada hubungan antara apa yang mereka pelajari di kelas dengan uapa yang mereka jumpai di dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu juga aktivitas ini dimaksudkan untuk menarik perhatian siswa dan antusias untuk belajar kimia. Phase 2. Kegiatan Praktek inkuiri (Hands-on Inquiry Activity). Kegiatan ini dimaksudkan untuk untuk memberikan pengalaman langsung pada siswa dan untuk melakukan proses ilmiah. Dalam kegiatan ini digunakan level inkuiri ke empat menurut LeRoy & Lee (2008), dimana pertanyaan dibuat oleh guru/siswa dan perencanaan, penerapan, kesimpulan dan pelaporan dilakukan oleh siswa. Sebagai contoh, dalam topik kharakteristik asam dan basa, siswa diminta untuk mengidentifikasi apakah larutan A, B, C yang tidak berwarna adalah asam, basa atau netral. Siswa bekerja dalam kelompoknya secara kooperatif dan mendiskusikan rencana inkuirinya yang ditulis dalam lembar kegiatan siswa. Mereka harus merumuskan hipotesis penyelidikan, alat dan bahan kimia yang digunakan serta langkah-langkah yang digunakan dalam melakukan penyelidikan. Sebelum melakukan penyelidikan, siswa harus mengkonsultasikan rencana yang telah mereka susun pada guru kemudian mereka melakukan kegiatan penyelidikan sesuai dengan rencananya, dan mendiskusikan hasil dalam kelompok masing-masing sebelum melaporkan hasil. Dinamika kerja kelompok dapat mendorong dan mempertahankan inkuiri dalam berbagai situasi lebih baik daripada kegiatan yang dilakukan secara individu. Siswa akan menemukan banyak makna dalam pelajaran kimia bila pengetahuannya dibangun selama kegiatan kelompok kecil kooperatif produktif (Chiappetta & Koballa, 2006). Selain itu, kerja kelompok selain dapat meningkatkan kegiatan pemecahan masalah juga meningkatkan perkembangan konsep (Lumpe, 1995).
*SRI RAHAYU, Ph.D adalah dosen Pendidikan Kimia/Sains FMIPA Universitas Negeri Malang E-mail:
[email protected]
Page 11
Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Kimia dan Pendidikan Kimia di FKIP UNS tgl 31 Maret 2012. (Proceding ISBN: 979363147-3).
Phase 3. Diskusi Kelas (Class Discussion). Aktivitas ini dimaksudkan untuk mendorong siswa menjelaskan pemecahan masalah yang mungkin atau jawaban terhadap aktivitas yang dilakukan sebelumnya. Siswa harus bertukar fikiran/ide-ide dengan kelompoklain dengan cara menuliskan jawabannya di papan tulis atau membuat presentasi. Guru sebagai fasilitator membimbing diskusi siswa dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan justifikasi (bukti) dan klarifikasi dari siswa dan menggunakan pengalaman siswa terdahulu sebagai landasan untuk menjelaskan konsep. Phase 4. Penerapan (Application). Aktivitas
ini
dimaksudkan
untuk
mendorong
siswa
menerapkan
atau
mengembangkan konsep-konsep atau ketrampilannya pada situasi baru namun mirip. Dalam topik kharakteristik asam dan basa misalnya, kita memberi tugas kepada siswa untuk menyelidiki apakah bahan-bahan yang ada di sekitar mereka termasuk asam atau basa. Siswa membawa bahan yang mereka pilih ke kelas dan menyelidikinya serta menggunakan informasi sebelumnya dalam
mengajukan
pertanyaan, mendesain percobaan dan menemukan jawaban terhadap pertanyaan rumuskan.
Guru membimbing siswa jika diperlukan terutama bila
siswa
menghadapi kesulitan. Dalam topik kekuatan asam dan basa, guru menunjukkan beberapa gambar yang terkait hujan asamm dan meminta mereka menjelaskan apa penyebab kerusakan lingkungan seperti yang ditunjukkan oleh gambar. Aktivitas dalam fase penerapan terkait dengan kehidupan sehari-hari dan isu-isu lingkungan. Oleh karena itu diharapkan siswa dapat melihat apa yang mereka pelajari di kelas berkaitan dengan kehidupan mereka sehari-hari sehingga belajar mereka menjadi bermakna. PENUTUP Berbagai perubahan di dunia yang sangat cepat harus diimbangi dengan reformasi dalam pendidikan sains/kimia. Namun, reformasi tersebut juga perlu dilakukan sampai pada tingkat pembelajaran sains/kimia di kelas. Pendekatan pembelajaran yang seringkali diperbincangkan
dalam komunitas peneliti dan pendidik sains adalah pendekatan
konstruktivistik, inkuiri dan konteks. Bagaimana menerapkan berbagai pendekatan ini dan keberhasilannya dalam meningkatkan efektivitas pembelajaran di kelas perlu dilakukan *SRI RAHAYU, Ph.D adalah dosen Pendidikan Kimia/Sains FMIPA Universitas Negeri Malang E-mail:
[email protected]
Page 12
Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Kimia dan Pendidikan Kimia di FKIP UNS tgl 31 Maret 2012. (Proceding ISBN: 979363147-3).
penelitian. Salah satu model pembelajaran yang telah dikembangkan berbasis konstruktivistik, inkuiri dan konteks adalah model Designed Student-Centered Instruction (DSCI) yang sudah dibuktikan secara empiris dapat meningkatkan prestasi belajar siswa dan motivasi siswa sekolah menengah atas.
RUJUKAN Abd-El-Khalick, F., BouJaoude, S., Duschl, R., Lederman, N. G., Mamlok-Naaman, R. Hofstein, A., Niaz, M., Treagust, D., & Tuan, H-L. (2004). Inquiry in science education: International perspectives. Science Education, 88, 397-419. Bass, J. E., Constant, T. L., & Carin, A. A. (2009). Methods for teaching science as inquiry (10th ed.). Boston, MA: Allyn & Bacon. Baviskar, S. N., Hartle, R. T. & Whitney, T. (2009). Essential Criteria to Characterize Constructivist Teaching: Derived from a review of the literature and applied to five constructivist-teaching method articles. International Journal of Science Education, 31 (4), 541 — 550 Berg, K. C. (2006). The status of constructivism in chemical education research and its relationship to the teaching and learning of the concept of idealization in chemistry. Foundations of Chemistry, 8, 153–176. Bodner, G. M. (1986). Constructivism: a theory of knowledge. Journal of Chemical Education, 63(10), 873-878 Chiappetta, E. L., & Koballa, T. R. (2006). Science instruction in the middle and secondary schools: Developing fundamental knowledge and skills for teaching (6th ed.). Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall. Chinn, C. A. & Malhotra, B. A. (2002). Epistemologically authentic inquiry in schools: a theoretical framework for evaluating inquiry tasks. Science Education, 86, 175-218 De Vos, W., Bulte, A. M. W., & Pilot, A. (2002). Chemistry curricula for general education: Analysis and elements of a design. In J. K. Gilbert, O. De Jong, R. Justi, D. F. Treagust, & J. H. Van Driel (Eds.), Chemical education: Towards researchbased practice (pp. 101–124). Dordrecht: Kluwer. Gabel, D.L. & Bunce, D.M. (1994). Research on Problem Solving: Chemistry. In D.L. Gabel (Ed.), Handbook of Research on Science Teaching and Learning (pp. 301–325). New York: Macmillan.
*SRI RAHAYU, Ph.D adalah dosen Pendidikan Kimia/Sains FMIPA Universitas Negeri Malang E-mail:
[email protected]
Page 13
Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Kimia dan Pendidikan Kimia di FKIP UNS tgl 31 Maret 2012. (Proceding ISBN: 979363147-3).
Gabel, D.L. (1998).The Complexity of Chemistry and Implications for Teaching, In B. J. Fraser and K. G. Tobin (Eds.). International Handbook of Science Education (pp. 233-248). Dordrecht, The Netherlands: Kluwer Academic Publishers. Gabel, D.L., Samuel, K.V. & Hunn, D. (1987). Understanding the Particulate Nature of Matter. Journal of Chemical Education, 64:695-697. Germann, P. J., & Aram, R. J. (1996). Student’s performances on the science processes of recording data, analyzing data, drawing conclusions, and providing evidence. Journal of Research in Science Teaching, 33(7), 773–798. Germann, P. J., Haskins, S., & Auls, S. (1996). Analysis of nine high school biology laboratory manuals: Promoting scientific inquiry. Journal of Research in Science Teaching, 33(5), 475–499. Gilbert, J. K. (2006). On the nature of ‘context’ in chemical education. International Journal of Science Education, 28(9), 957–976. Hughes, G., & Hay, D. (2001). Use of concept mapping to integrate the different perspectives of designers and other stakeholders in the development of e-learning materials. British Journal of Educational Technology, 32(5), 557–569. Johnstone, A.H. (1982). Macro and Micro Chemistry. School Science Review, 64 (227), 377379. Johnstone, A.H. (1993). The Development of Chemistry Teaching: A Changing Response to Changing Demand. Journal of Chemical Education, 70, 701-704. Lemke, M., Sen, A., Pahlke, E., Partelow, L., Miller, D., Williams, T., Kastberg, D., & Jocelyn, L. (2004). International outcomes of learning in mathematics literacy and problem solving: PISA 2003 results from the U.S. perspective (NCES 2005–003). Washington, DC: U.S. Department of Education, National Centre for Education Statistics. LeRoy, K., & Lee, O. (2008). What research says about science assessment with english language learners. In Coffey, J., Douglas, R. and Stearns, C. (Eds), Assessing science learning: Perspective from research and practise (pp 341–355). Arlington, VA: National Science Teachers Association Press. Llewellyn, D. (2002). Inquiry within: Implementing inquiry-based science standards. Thousand Oaks, CA: Corwin Press, Inc. Nakhleh, M. B. (1992). Why some Students Don’t Learn Chemistry? Chemical Misconceptions. Journal of Chemical Education, 69,191-196. *SRI RAHAYU, Ph.D adalah dosen Pendidikan Kimia/Sains FMIPA Universitas Negeri Malang E-mail:
[email protected]
Page 14
Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Kimia dan Pendidikan Kimia di FKIP UNS tgl 31 Maret 2012. (Proceding ISBN: 979363147-3).
National Research Council. (1996). National Science Education Standards. Washington, DC: National Academy Press. Pearsall, J. (1999). The concise Oxford dictionary. Oxford, UK: Oxford University Press. Rahayu, S. (2012). Penelitian Pendidikan Kimia: Trend Global. Makalah utama dalam Seminar Nasional Kimia dan Pendidikan Kimia yang dilaksanakan di Universitas Negeri Surabaya pada tanggal 25 Februari 2012. Rahayu, S., Chandrasegaran, A. L., Treagust, D.F., Kita, M., & Ibnu, S. (2011). Understanding acid-base concept: Evaluating the efficacy of a senior high school student-centred instructional program. International Journal of Science and Mathematics Education, 9 (6), 1439-1458 Rahayu, S., Tsuji, Y., & Kita, M. (2009). Implementation of a Designed Student-Centred Instruction in Indonesian and Japanese Senior High School Students on the Concepts of Acids And Bases. Paper presented at 58th Chugoku Regional Conference of Society of Japan Science Teaching held at Faculty of Education, HiroshimaUniversity, Hiroshima Japan on October 24, 2009 Saunders, W. L. 1992. The constructivist perspective: implications and teaching strategies for science. School Science and Mathematics, 92(3), 136-141 Schwartz, A. T. (2006). Contextualized chemistry education: The American experiences. International Journal of Science Education, 28(9), 977–998. Shymansky, J. A., William, K. C., & Alport, J. M. (2003). The effects of new science curricula on student performance. Journal of Research in Science Teaching, 40(5), 387-404 Tobin, K. 1990. Social constructivist perspectives on the reform of science education. The Australian Science Teacher Journal, 36(4), 29-35 Tobin, K., & McRobbie, C. (1995). Restraints to reform: The congruence of teacher and student actions in a chemistry classroom. Journal of Research in Science Teaching, 32(4), 373385 Treagust, D.F., Chittleborough, G. & Mamiala, T.L. 2003. The Role of Submicroscopic and Symbolic Representations in Chemical Explanation. International Journal of Science Education, 25(11): 1353-1368. Trowbridge, Bybee, & Powell. (2004).Taching Secondary School Science: Strategies for Developing Scientific Literacy (Eighth edition). New Jersey, Ohio: Pearson Prentice Hall.
*SRI RAHAYU, Ph.D adalah dosen Pendidikan Kimia/Sains FMIPA Universitas Negeri Malang E-mail:
[email protected]
Page 15
Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Kimia dan Pendidikan Kimia di FKIP UNS tgl 31 Maret 2012. (Proceding ISBN: 979363147-3).
Trumbull, D. J., Bonney, R., & Grudens-Schuck, N. (2005). Developing materials to promote inquiry: Lesson learned. Science Education, 89, 879–900. Wheatley, G.H. (1991). Constructivist perspectives on science and mathematics learning. Science Education, 75(1), 9–21 Wilmarth, S. 2010. Five socio-technology trends that change everything in learning and teaching. In Curriculum 21: Essential education for a changing world, ed. Heidi Hayes Jacobs, 80–96. Alexandria, VA : Association for Supervision and Curriculum Development. Yager, R. (1991). The constructivist learning model, towards real reform in science education. The Science Teacher, 58(6), 52–57.
*SRI RAHAYU, Ph.D adalah dosen Pendidikan Kimia/Sains FMIPA Universitas Negeri Malang E-mail:
[email protected]
Page 16