DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN KOMODITAS KEDELAI DOMESTIK DI KABUPATEN LAMONGAN PROVINSI JAWA TIMUR
SYAHRUL GANDA SUKMAYA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Daya Saing dan Dampak Kebijakan Komoditas Kedelai di Kabupaten Lamongan Provinsi Jawa Timur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2016
Syahrul Ganda Sukmaya NIM H35113037
RINGKASAN SYAHRUL GANDA SUKMAYA. Daya Saing dan Dampak Kebijakan Komoditas Kedelai di Kabupaten Lamongan Provinsi Jawa Timur. Dibimbing oleh DWI RACHMINA dan SAPTANA.
Komoditas kedelai merupakan salah satu komoditas pangan utama yang menjadi perhatian pemerintah. Kondisi komoditas kedelai domestik yang produksi belum dapat memenuhi kebutuhan permintaan pasar dalam negeri, sehingga untuk memenuhi kekurangannya harus di impor. Rendahnya produktivitas kedelai domestik menjadi salah satu permasalahan mengapa produksi kedelai nasional tidak dapat memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri. Selain itu kebijakan pemerintah yang belum optimal dan terkadang bertolak belakang dalam meningkatkan produksi kedelai turut andil dalam menentukan kemampuan daya saing kedelai domestik terhadap kedelai impor saat ini. Tujuan penelitian ini adalah: (1) Menganalisis tingkat keuntungan finansial dan ekonomi usahatani; (2) Menganalisis daya saing komoditas kedelai; (3) Menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing komoditas kedelai di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Dalam penelitian ini menggunakan alat analisis Policy Analysis Matrix (PAM). Alat analisis ini dipakai untuk melihat dua indikator utama pengukur daya saing, yaitu Private Cost Ratio (PCR) yang merupakan indikator keunggulan kompetitif yang menunjukkan kemampuan sistem untuk membayar biaya sumber daya domestik dan tetap kompetitif pada harga privat dan Domestic Resource Cost Ratio (DRCR) merupakan indikator keunggulan komparatif, yang menunjukkan jumlah sumber daya domestik yang dapat dihemat untuk menghasilkan satu unit. Selain itu dengan PAM juga dapat digunakan untuk melihat dampak efektivitas kebijakan (divergensi) terhadap input, output, serta input-output secara keseluruhan. Penentuan lokasi penelitian ditingkat kecamatan dipilih kecamatan yang merupakan daerah sentra produksi, kontinuitas menanam kedelai, dan tingkat produktivitasnya yang tinggi. Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 120 responden. Hasil analisis menunjukkan bahwa pengusahaan komoditas kedelai di Kabupaten Lamongan tidak menguntungkan dan tidak efisien secara finansial dan ekonomi. Berdasarkan indikator daya saing yaitu PCR dan DRCR, menunjukkan bahwa sistem usahatani kedelai di Kabupaten Lamongan tidak memiliki daya saing. Nilai koefisien PCR>1dan DRCR>1. Hal ini berarti sistem usahatani kedelai tidak kompetitif dan tidak efisien. Berdasarkan indikator transfer input, menunjukkan bahwa pemerintah melakukan kebijakan subsidi terhadap input pupuk. Berdasarkan indicator transfer output, menjelaskan bahwa dengan adanya kebijakan atau intervensi pemerintah terhadap output kedelai lebih menguntungkan konsumen, karena konsumen membeli output kedelai dengan harga yang lebih rendah dari harga sebenarnya. Kebijakan pemerintah terhadap input-output usahatani kedelai merugikan usahatani kedelai di Lamongan. Kata kunci: Keunggulan Komparatif, Keunggulan Kompetitif, Kebijakan pemerintah dan Kedelai
SUMMARY SYAHRUL GANDA SUKMAYA. Competitiveness and Impact of Commodity Policy Soybeans in Lamongan East Java Province. Supervised by DWI RACHMINA and SAPTANA. Soybean commodities is one of commodities main concern government. The soybean commodities domestic production could not meet demand domestic market, so as to meet the rest to import. The low domestic soybean become one of the problems soybean why production national meets the needs of the domestic market.In addition the government policy optimal and sometimes in contrast to increase production soy also contribute in decides competitiveness domestic soybean to import soybean currently.The purpose of this research is: (1) analyzed levels of financial gain and economic; farming (2) analyze competitiveness commodities soy; (3) analyzes the impact of the government policy on competitiveness soybean commodities in Lamongan, East Java. In this research using policy analysis the matrix ( PAM ) , the results of the analysis this is used for saw two basic indicators measuring competitiveness , namely private cost ratio ( PCR ) that is indicators competitive advantage and it represents the ability system to pay for the domestic resources and remain competitive at a price of private , domestic resource cost ratio ( DRCR ) is an indicator the comparative advantages , showing the number of domestic resources that can be dihemat to produce a unit. In addition with pam can also be used to look at the impact the effectiveness of policy ( divergence ) to input , output , and an input-output as a whole. The determination of sample in urban subdistricts were chosen based on of continuity plant soybeans and production high. The sample of the in this research as many as 120 respondents. The analysis shows that the operation soybean commodities in kabupaten lamongan unprofitable and inefficient financially and economic. Based on an indicator competitiveness namely PCR and DRCR , shows that system soybean crops in kabupaten lamongan not having competitiveness . The value PCR > 1dan DRCR>1 .This means system soybean farming not representative and efficient. Based on an indicator transfer input , shows that the government has subsidy policy to input fertilizer. Based on indicator transfer output, explained that the policy or government intervention against output soy more beneficial to consumers , because consumers buying soybean output at a lower price of price actually. The government policy against input-output farming adverse soybean soybean farming in Lamongan. Keywords: Comparative advantages , Competitive advantage , Government Policy and Soybean
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkanatau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN KOMODITAS KEDELAI DI KABUPATEN LAMONGAN PROVINSI JAWA TIMUR
SYAHRUL GANDA SUKMAYA Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis
: Dr Ir Nunung Kusnadi, MSi.
Judul Tesis : Daya Saing dan Dampak Kebijakan Komoditas Kedelai di Kabupaten Lamongan Provinsi Jawa Timur Nama : Syahrul Ganda Sukmaya NIM : H351130371
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Dwi Rachmina, MSi Ketua
Dr Ir Saptana, MSi Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Magister Sains Agribisnis
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 17 Februari 2016
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah “Daya Saing dan Dampak Kebijakan Komoditas Kedelai Domestik di Kabupaten Lamongan Provinsi Jawa Timur”. Penelitian ini menggunakan data Penelitian Unggulan Departemen Agribisnis yang berjudul “Kajian Sistem Agribisnis Kedelai di Provinsi Jawa Timur”. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Dwi Rachmina, MSi dan Dr Ir Saptana, MSi selaku pembimbing. Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Departemen Agribisnis Institut Pertanian Bogor dan Tim Penelitian Unggulan Departemen yang telah mengijinkan saya terlibat dalam penelitian tersebut, serta memanfaatkan data untuk penyusunan Tesis ini. Ucapan terima kasih secara tulus juga saya sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu terhadap penyelesaian penyusunan tesis ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, istri serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak sebagai sumber informasi dan ilmu Bogor, Mei 2016
Syahrul Ganda Sukmaya
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
x
DAFTAR GAMBAR
xi
DAFTAR LAMPIRAN
xii
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
1 1 5 7 8 8
2 TINJAUAN PUSTAKA Pengukuran Daya Saing Daya Saing Komoditas Pertanian Daya Saing Komoditas Kedelai Kebijakan Kedelai Nasional
9 9 10 12 14
3 KERANGKA PENELITIAN Teori Daya Saing Kebijakan Pemerintah Pada Harga Output Kebijakan Pemerintah pada Harga Input Matrik Analisis Kebijakan Kedelai Penentuan Harga Bayangan Analisis Sensitivitas Kerangka Pemikiran Operasional
15 15 16 18 21 22 22 23
4 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Jenis dan Sumber Data Metode Penentuan Sampel dan Pengumpulan Data Metode Analisis Data Analisis Indikator Matrik Kebijakan Analisis Sensitivitas Terhadap Harga dan Produktivitas Hipotesis Penelitian
26 26 27 27 28 32 36 38
5 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Deskripsi Lokasi Penelitian Karakteristik Responden Penelitian Kondisi Pasar Kedelai di Kabupaten Lamongan Persaingan antara Kedelai Impor dan Domestik di Pasar Setempat
38 38 46 53 54
6 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Input-output Usahatani Kedelai Penerimaan dan Biaya Privat Usahatani Kedelai Penerimaan dan Biaya Sosial Usahatani Kedelai Keuntungan Finansial dan Ekonomi Usahatani Kedelai
56 56 58 59 61
Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Usahatani Kedelai Kebijakan Intensif Sensitivitas Terhadap Produktivitas dan Harga Dampak Perubahan Kebijakan Terhadap Daya Saing Kedelai
63 65 70 73
7 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
78 78 78
8 DAFTAR PUSTAKA
79
LAMPIRAN
84
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Policy Analysis Matrix (PAM) Alokasi biaya komponen domestik dan asing pada sistem usahatani kedelai Perkembangan luas panen, produksi, dan produktivitas kedelai menurut kabupaten sentra di Jawa Timur pada tahun 2009-2013 Produksi tanaman pangan di Kecamatan Tikung tahun 2013 (ton) Produksi tanaman pangan di Kecamatan Mantup tahun 2013 (ton) Produksi tanaman pangan di Kecamatan Kembangbahu tahun 2013 (ton) Status usahatani kedelai terhadap sumber mata pencaharian rumah tangga petani , tahun 2013 Karakteristik responden berdasarkan umur, tahun 2013 Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan, tahun 2013 Karakteristik responden berdasarkan pengalaman bertani kedelai, tahun 2013 Karakteristik responden berdasarkan luas lahan kedelai, tahun 2013 Karakteristik responden berdasarkan status kepemilikan lahan, tahun 2013 Fisik input-output usahatani kedelai, tahun 2013 Harga dan bujet privat usahatani kedelai di lokasi penelitian, MK 2013 Harga dan bujet sosial usahatani kedelai di lokasi penelitian, MK 2013 Matriks analisis PAM usahatani kedelai di lokasi penelitian, MK 2013 Hasil analisis keuntungan finansial dan ekonomi, PCR dan DRCR usahatani kedelai (MK 2013) Nilai koefisien PAM dari usahatani kedelai di lokasi penelitian, MK 2013 Indikator daya saing sistem usahatani kedelai berdasarkan Analisis sensitivitas perubahan kebijakan tunggal Indikator daya saing sistem usahatani kedelai berdasarkan analisis sensitivitas perubahan kebijakan gabungan
30 31 40 42 44 45 46 48 49 50 52 52 57 59 60 63 64 66 73 76
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6
Laju pertumbuhan produksi, luas panen dan produktivitas kedelai nasional tahun 2000-2013 Kurva dampak kebijakan input Kurva dampak kebijakan barang nontradable Kerangka pemikiran operasional Laju perkembangan luas panen, produksi, dan produktivitas kedelai di Kabupaten Lamongan Perkembangan harga kedelai di pasar Kabupaten Lamongan
3 19 20 25 41 55
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8
Justifikasi perhitungan harga bayangan kedelai, di Kabupaten Lamongan Justifikasi perhitungan harga bayangan pupuk urea, untuk kedelai di Kabupaten Lamongan Justifikasi perhitungan harga bayangan pupuk SP-36 dan NPK, untuk kedelai di Kabupaten Lamongan Input-output usahatani kedelai di lokasi penelitian, MK 2013 Harga privat dan sosial dari usahatani kedelai di lokasi penelitian , MK 2013 Privat dan sosial bujet dari usahatani kedelai (per hektar) di lokasi penelitian, MK 2013 Policy Analysis Matrix (PAM) usahatani kedelai di lokasi penelitian , MK 2013 Nilai koefisien Policy Analysis Matrix (PAM) dari usahatani kedelai di lokasi penelitian, MK 2013
85 85 85 86 87 88 89 89
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Daya saing (competitiveness) merupakan hal yang sangat penting bagi suatu komoditas atau industri agar dapat bertahan di era pasar bebas saat ini. Apabila suatu komoditas atau industri tidak memiliki daya saing yang baik, maka tidak dapat bersaing dengan komoditas atau industri dari negara lain yang memiliki daya saing yang lebih tinggi. Menurut Simatupang (1991) serta Sudaryanto dan Simatupang (1993) daya saing akan dicapai apabila perekonomian tidak mengalami distorsi sama sekali. Komoditas yang memiliki daya saing dikatakan juga memiliki efisiensi secara ekonomi. Sumber distorsi yang dapat mengganggu tingkat daya saing suatu komoditas adalah (1) kebijakan pemerintah, baik yang bersifat langsung (seperti tarif) maupun tidak langsung (seperti regulasi); dan (2) distorsi pasar, karena adanya ketidaksempurnaan pasar (market imperfection), misalnya adanya monopoli/monopsoni domestik. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa adanya intervensi (campur tangan) pemerintah dapat mempengaruhi daya saing suatu komoditas secara signifikan. Masyarakat ekonomi ASEAN (MEA) merupakan salah satu bentuk kerjasama regional negara-negara yang berada dikawasan Asia Tenggara, salah satu anggotanya adalah Indonesia. Adanya MEA menjadikan perdagangan di kawasan ASEAN menjadi pasar tunggal, tujuannya membuat ASEAN menjadi lebih kompetitif dan dinamis. Pengurangan tarif dan hambatan lainnya terhadap barang dan jasa dilakukan secara bertahap hingga akhirnya terciptanya perdagangan yang kompetitif dikawasan ASEAN. Pembentukan MEA merupakan tantangan dan sekaligus merupakan peluang bagi Indonesia berupa keharusan untuk meningkatkan daya saing dan dapat mengakses pasar secara lebih luas di kawasan Asean. Kepentingan mengamankan produk pangan menguasai pasar di dalam negeri, menjadi salah satu tujuan kebijakan pemerintah untuk meningkatkan kemampuan daya saing suatu produk sejenis di pasar tunggal ASEAN. Salah satu komoditas strategis bagi Indonesia yang diupayakan agar dapat berdaya saing adalah kedelai. Sebagaimana tercantum dalam Renstra Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil (PPHP) 2010-2014, komoditas prioritas pertanian andalan pangan utama yaitu beras, jagung, kedelai, gula dan daging sapi (Kementerian Pertanian, 2011). Kondisi produksi kedelai domestik yang masih rendah dan pentingnya komoditas kedelai sebagai bahan baku utama sumber protein yang murah dan terjangkau bagi masyarakat, menjadi suatu dasar bagi pemerintah untuk melakukan intervensi terkait dengan sistem komoditas kedelai domestik. Pengembangan kedelai sangat strategis dikarenakan produksi belum mencukupi kebutuhan nasional. Kebutuhan kedelai nasional setiap tahun terus meningkat dan sebagian besar dipenuhi melalui impor. Jumlah konsumsi kedelai Indonesia sebanyak 2.2 juta ton per tahun dan 1.6 juta ton (72.72 persen) di impor setiap tahun. Saat ini dari total permintaan kedelai nasional, produksi kedelai nasional hanya dapat memenuhi 800 ribu ton per tahun dan sisanya sebesar 1.2 juta ton harus diimpor.
2
Rendahnya produksi kedelai nasional disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: (1) tidak tersedianya alokasi lahan yang secara pasti dan khusus diperuntukan bagi sistem produksi kedelai; (2) usahatani kedelai berisiko tinggi, produktivitasnya rendah dan pendapatan usahatani kedelai rendah; (3) pelaku usahatani kedelai adalah petani tradisional dengan skala usaha kecil; (4) adopsi teknologi produksi lambat; dan (5) data luas panen kurang akurat, cenderung bias dan program peningkatan produksi kedelai tidak terfokus pada perluasan areal baru (Sumarno dan Adi, 2010). Berdasarkan kendala diatas, produktivitas menjadi hal yang penting dalam peningkatan produksi kedelai nasional. Tantangan dalam meningkatkan daya saing kedelai domestik salah satunya adalah masalah rendahnya produktivitas. Untuk meningkatkan daya saing kedelai domestik agar dapat bersaing dengan kedelai impor adalah meningkatkan produktivitas, karena esensi dari daya saing adalah efisiensi dan produktivitas (Saptana, 2010). Terdapat kaitan antara produksi, produktivitas, dan efisiensi terhadap daya saing kedelai. Komoditas kedelai dapat dikatakan berdaya saing apabila dalam pengusahaan usahataninya efisien secara ekonomi. Efisiensi sendiri, merupakan suatu upaya untuk mencapai tujuan dengan menggunakan sumberdaya seminimal mungkin. Dalam hal produksi, efisiensi merupakan suatu upaya untuk mencapai produksi yang diinginkan dengan menggunakan input yang seminimal mungkin. Efisiensi juga merupakan salah satu sumber pertumbuhan produktivitas. Produksi merupakan hasil perkalian dari produktivitas dikalikan dengan luas panen. Sehingga dapat dikatakan bahwa, tinggi atau rendahnya produktivitas mempengaruhi produksi. Produktivitas sendiri adalah rasio antara output yang dihasilkan dengan input yang dipakai. Berdasarkan hal tersebut, dapat dilihat bahwa daya saing erat kaitannya dengan produktivitas. Upaya untuk meningkatkan produktivitas dapat dilakukan melalui perubahan teknologi ke arah penggunaan teknologi yang lebih maju, peningkatan efisiensi teknis dan peningkatan skala usaha (Coelli et al., 1998). Sumber peningkatan produktivitas kedelai domestik melalui perubahan teknologi masih terbuka, baik teknologi benih, budidaya, maupun pasca panen. Banyak tersedia paket teknologi tepat guna yang dapat dimanfaatkan oleh petani untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas, seperti teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) yang diterapkan melalui Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) dan Gerakan Penerapan-Pengelolaan Tanaman Terpadu (GP-PTT). Akan tetapi, berbagai paket teknologi ini masih belum sepenuhnya dapat diadopsi oleh petani karena berbagai keterbatasan yang dihadapi dan dimiliki petani seperti: pengetahuan petani, proses diseminasi, rendahnya keterampilan, skala usaha yang kecil, serta tingginya biaya untuk menerapkan teknologi. Kurangnya adopsi teknologi oleh petani menjadi salah satu permasalahan yang menyebabkan laju pertumbuhan produksi kedelai nasional terus menurun (Gambar 1). Kebijakan pemerintah dalam upaya untuk meningkatkan produksi kedelai meliputi kebijakan di sektor teknologi budidaya, input dan output. Upaya pemerintah dalam meningkatkan produksi kedelai ditempuh melalui peningkatan produktivitas dan perluasan areal tanam. Peningkatan produktivitas dilakukan melalui perbaikan teknologi budidaya yaitu melalui Program SL-PTT melalui GPPTT pada komoditas kedelai difokuskan untuk meningkatkan produktivitas kedelai, sedangkan program perluasan tanam dilakukan melalui Program PAT
3
(Perluasan Areal Tanam). Program perbaikan teknologi budidaya diterapkan dengan memperbaiki cara bercocok tanam kedelai di lokasi sentra kedelai. Penggunaan pupuk berimbang, penggunaan benih unggul dan mengurangi kehilangan hasil panen. Penguasaan teknik budidaya petani kedelai yang masih sederhana dan terbatas dapat dipecahkan dengan penggunaan teknologi dapat diatasi dengan program SL-PTT dan GP-PTT. Dengan mengajak partisipasi petani kedelai dalam program ini dan langsung dilakukan di tengah-tengah petani, diharapkan petani dapat merasakan serta melihat langsung perubahannya setelah menerapkannya. Sehingga tujuan pemerintah dalam meningkatkan produktivitas kedelai dapat tercapai dan dapat meningkatkan partisipasi petani dalam berusahatani kedelai. Pada tahun 2007-2008 laju pertumbuhan produksi kedelai cukup tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Peningkatan produksi tersebut merupakan keberhasilan pemerintah dalam menerapkan program Sekolah LapangPengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT). Keberhasilan program tersebut dapat meningkatkan produksi kedelai nasional sebesar 30 persen (Dinas Pertanian Jawa Timur, 2009). Akan tetapi, pada tahun selanjutnya produksi kembali turun dikarenakan rendahnya harga kedelai.
Gambar 1 Laju pertumbuhan produksi, luas panen dan produktivitas kedelai nasional tahun 2000-2013 Sumber: BPS Republik Indonesia, 2014
Perbaikan teknologi budidaya kedelai selain melalui proses budidaya itu sendiri, perlu didukung dengan pengadaan input yang terjangkau oleh petani. Input pertanian yang mendukung berkembangnya teknologi budidaya yaitu benih, pupuk dan pestisida. Ketersediaan benih unggul, pupuk dan pestisida yang murah serta terjangkau bagi petani terus diusahakan oleh pemerintah melalui subsidi terhadap benih, pupuk dan kebijakan tarif untuk pestisida. Pemberian subsidi benih, pupuk dan tarif terhadap pestisida dapat dikategorikan sebagai intervensi
4
pemerintah dalam mempengaruhi struktur pasar input. Intervensi tersebut bertujuan untuk melindungi petani dalam mendapatkan benih, pupuk dan pestisida dengan harga yang terjangkau. Penggunaan benih, pupuk dan pestisida dapat dikatakan sebagai faktor pendukung perkembangan teknologi budidaya kedelai karena dapat meningkatkan produktivitas tanaman. Intervensi pemerintah terhadap benih dan pupuk terkait dengan harga yaitu dengan cara, pemerintah membayar sebagian harga yang seharusnya dibayar oleh petani pada kondisi harga pasar tanpa ada intervensi pemerintah. Bantuan atau subsidi benih kedelai diberikan hanya terbatas pada lokasi-lokasi yang mendapatkan program pemerintah. Sehingga harga benih dan pupuk yang terima petani lebih rendah jika dibandingkan harga pupuk non-subsidi. Upaya pemerintah melalui subsidi pupuk dan benih serta penerapan tarif pada pestisida termasuk kedalam intervensi pemerintah dalam sektor input. Kebijakan pada input tersebut bertujuan untuk meningkatkan produktivitas kedelai dan meningkatkan pendapatan petani. Penggunaan benih unggul oleh petani dapat meningkatkan produktivitas kedelai. Harga benih unggul dan pupuk yang lebih rendah dibandingkan dengan harga pasar dapat mengurangi biaya produksi petani dan meningkatkan pendapatan petani kedelai. Meningkatnya produktivitas kedelai dan turunnya biaya usahatani kedelai diharapkan dapat meningkatkan daya saing komoditas kedelai serta partisipasi petani dalam menanam kedelai. Penerapan subsidi terhadap pupuk dan benih serta kebijakan tarif pada pestisida tetap dilakukan oleh pemerintah karena untuk melindungi petani meskipun kebijakan subsidi pupuk yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia lebih menguntungkan petani yang memiliki skala usahatani besar yang tidak membutuhkan subsidi dan memicu penggunaan pupuk melebihi dosis yang dianjurkan sehingga berdampak pada rusaknya kesuburan tanah. Intervensi selanjutnya yang dilakukan oleh pemerintah yaitu melalui kebijakan harga output melalui penetepan Harga Pokok Pembelian Pemerintah (HPP) pada komoditas kedelai. Pemerintah melalui kementerian perdagangan mengeluarkan surat rekomendasi HPP di tingkat petani. Tujuannya yaitu untuk menjaga stabilitas harga kedelai domestik dan melindungi petani dari jatuhnya harga. Kebijakan harga output ini belum berjalan efektif dikarenakan tidak adanya lembaga khusus yang ditugaskan untuk menampung hasil panen petani. Pemasaran kedelai yang masih dikuasai oleh pedagang dari pedagang besar provinsi/kabupaten hingga pedagang pengumpul tingkat desa, membuat daya tawar petani menjadi lemah dihadapan para pedagang. Selain itu kebijakan perdagangan dalam hal tarif kedelai impor semakin membuat petani kedelai domestik tertekan. Pengurangan tarif kedelai impor menjadi nol persen lebih menguntungkan pihak industri pangan berbahan baku kedelai (tahu dan tempe) dan konsumen dan cukup merugikan petani kedelai. Usahatani kedelai tersebar diseluruh wilayah Jawa Timur dikarenakan lingkungannya mendukung untuk tumbuhnya tanaman kedelai secara optimal. Diantara sentra-sentra produksi kedelai di jawa timur, terdapat tiga kabupaten sentra produsen kedelai terbesar yaitu Banyuwangi, Sampang dan Lamongan. Ketiga daerah ini merupakan penopang produksi kedelai jawa timur, sehingga apabila produksinya terganggu dapat berdampak pada produksi kedelai Jawa Timur dan akhirnya berdampak juga pada produksi kedelai nasional. Berdasarkan data produksi kedelai di ketiga sentra kedelai tersebut mulai tahun 2007-2013,
5
terlihat bahwa Kabupaten Lamongan mengalami tren produksi yang terus meningkat dan cenderung stabil dibandingkan dua kabupaten lainnya. Selain itu, Kabupaten Lamongan merupakan daerah yang dijadikan sebagai penerapan program SL-PTT komoditas kedelai. Potensi produktivitas kedelai di Kabupaten Lamongan cukup tinggi yaitu 1,6 ton/hektar diatas rata-rata produktivitas nasional yang hanya 1.3 ton/hektar. Melalui program SL-PTT ini dapat mencapai potensi yang dimiliki oleh Kabupaten Lamongan. Berdasarkan hal-hal yang telah dijelaskan diatas, maka dipilihlah Kabupaten Lamongan sebagai lokasi penelitian. Perumusan Masalah Adanya kebijakan pemerintah dalam menjaga stabilitas dan ketahanan pangan pada komoditas kedelai menjadikan alasan penelitian ini dilakukan. Upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam upaya meningkatkan daya saing kedelai domestik tidak hanya dilakukan saat ini saja. Pada tahun 1986, telah dilakukan berbagai program dalam rangka meningkatkan produksi kedelai nasional diantaranya program Bimas (Bimbingan Masal), Inmas (Intensifikasi Masal), Inmum (Intensifikasi Umum), Insus (intensifikasi Khusus), Supra Insus, kemudian Operasi Khusus (Opsus) kedelai. Kemudian pada tahun 2004, dilakukan program Pengembangan Kedelai Intensif (Bangkit Kedelai) dengan target pada tahun 2011 Indonesia dapat berswasembada kedelai. Akan tetapi, semua program tersebut belum dapat meningkatkan daya saing kedelai domestik terhadap kedelai impor, bahkan impor kedelai setiap tahun semakin meningkat. Dari perkembangan kebijakan pemerintah dari tahun 1986 sampai saat ini terdapat kesamaan dan perbedaan implementasi dalam upaya untuk meningkatkan produksi kedelai. Kesamaan implementasi kebijakan peningkatan produksi kedelai yaitu melalui: (1) Intensifikasi, yaitu dengan upaya peningkatan produksi melalui subsidi input produksi dan penggunaan benih unggul; (2) Ekstensifikasi, peningkatan produksi melalui perluasan areal tanam yang diprioritaskan di lahan sawah irigasi, tadah hujan dan lahan marjinal. Sedangkan perbedaan implementasi dalam upaya meningkatkan produksi kedelai domestik yaitu pada penetapan harga dasar. Strategi pemerintah dalam meningkatkan produksi kedelai nasional agar dapat berdaya saing di pasar terus menerus dilakukan meskipun masih belum mendapatkan hasil yang memuaskan. Program-program yang sebelumnya telah dilakukan terus dievaluasi dan diperbaiki agar menghasilkan program yang sesuai dengan keadaan alam dan petani di Indonesia. Upaya pemerintah saat ini dalam meningkatkan produksi kedelai nasional terus dilanjutkan dari program sebelumnya yaitu program “Bangkit Kedelai” tahun 2004-2009 menjadi program “Swasembada Kedelai” tahun 2010-2014. Strategi untuk mencapai swasembada kedelai diupayakan melalui : (1) peningkatan luas areal tanam melalui upaya khusus (Upsus) seluas 1,15 juta hektar dan utamanya diarahkan untuk tumpang sari di areal pertanaman jagung dan tanaman perkebunan (sawit, tebu); perluasan areal dilakukan di areal hutan tanaman industri (HTI), hutan tanaman rakyat (HTR), dan PT Perkebunan Nasional (PTPN); serta (2) peningkatan Indeks Pertanaman (Renstra Kementan 2010-2014). Pendekatan yang dilakukan dalam pencapaian sasaran produksi kedelai selama 2010-2014, dilakukan melalui penerapan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) yang diikuti
6
upaya pengamanan produksi dengan mengantisipasi peningkatan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) dan Dampak Perubahan Iklim (DPI) melalui pengawalan ketat, pemberdayaan petugas, koordinasi dengan instansi terkait, gerakan pengendalian, peningkatan kewaspadaan, dan penyiapan sarana dan prasarana (Kementerian Pertanian, 2014). Kebijakan pemerintah terkait kedelai yang dianggap cukup berhasil dan masih diterapkan hingga renstra Kementan tahun 2010-2014 salah satunya adalah program SL-PTT, disamping kebijakan subsidi input dan harga output. Program SL-PTT ini diterapkan oleh pemerintah di beberapa daerah salah satunya di Jawa Timur, dan memberikan hasil yang cukup baik yaitu meningkatkan produksi kedelai sebesar 30 persen (Dinas Pertanian Jawa Timur, 2009). Program tersebut berhasil meningkatkan produksi kedelai nasional sebesar 30 persen, tetapi harga yang diterima petani masih rendah dibandingkan dengan harga komoditas lain sehingga membuat petani mengalihkan usahataninya pada komoditas lain pada musim berikutnya. Persoalan ini telah diketahui oleh pemerintah, sehingga untuk mengurangi dampak dari rendahnya harga kedelai di tingkat petani, pemerintah mengeluarkan surat rekomendasi HPP kedelai. Kemudian untuk mengatasi tingginya biaya produksi usahatani kedelai, pemerintah memberikan subsidi input dan benih untuk mengurangi biaya produksi serta meningkatkan produksi kedelai. Intervensi pemerintah melalui kebijakan input, output maupun keduanya, maka alat analisis yang digunakan adalah Policy Analysis Matrix (PAM). PAM menganalisis kebijakan pemerintah dengan menggunakan tiga isu utama, yaitu isu sentral pertama mengenai analisis kebijakan pertanian adalah berkaitan dengan daya saing suatu sistem usahatani pada tingkat harga dan teknologi yang ada. Isu kedua yang terkait dengan isu sentral kebijakan pertanian adalah dampak investasi publik, dalam bentuk pembangunan infrastruktur baru, terhadap tingkat efisiensi sistem usahatani (isu kedua ini tidak tercakup dalam penelitian ini). Efisiensi diukur dengan tingkat keuntungan sosial (social profitability). Perbedaan keuntungan sosial sebelum dan sesudah adanya investasi publik menunjukkan peningkatan keuntungan sosial. Isu sentral ketiga yang terkait dengan kebijakan pertanian adalah berkaitan erat dengan isu kedua, yaitu dampak investasi baru dalam bentuk riset atau teknologi pertanian terhadap tingkat efisiensi sistem usahatani. Berdasarkan isu pertama dalam PAM mengenai analisis kebijakan pemerintah pada komoditas kedelai, maka akan dianalisis tingkat efisiensi usahatani pada kondisi harga dan teknologi yang ada. Tingkat efisiensi privat ini diukur dengan tingkat keuntungan finansial. Melalui tingkat keuntungan finansial dapat terlihat efisiensi usahatani kedelai pada kondisi harga dan teknologi yang ada. Pengaruh teknologi aktual terhadap produktivitas dalam PAM ditunjukkan dalam sel matriks penerimaan. Intervensi pemerintah terhadap kedelai domestik melalui perbaikan teknologi ditunjukkan pada sel penerimaan. Sementara itu, kebijakan input ditunjukkan pada sel input yang diperdagangkan (tradable input), kebijakan output ditunjukkan pada sel penerimaan, sedangkan kebijakan input dan output secara simultan ditunjukkan pada sel keuntungan (profitabilitas). Efisiensi diukur dengan tingkat keuntungan ekonomi. Pada isu ketiga ini, tingkat efisiensi usahatani kedelai dianalisis pada kondisi harga sosialnya. Sama halnya pada isu pertama, pada isu ketiga ini hubungan antara kebijakan pemerintah dalam investasi teknologi ditunjukkan melalui matriks penerimaan dan subsidi harga
7
ditunjukkan melalui biaya input tradabel. Dampak kebijakan pada sisi input dapat dilihat dengan menghitung selisih dan atau membandingkan antara input yang diperdagangkan (tradable input) pada harga ekonomi (sosial) dengan input diperdagang pada harga privat. Dampak kebijakan pada sisi output dapat dilihat dengan menghitung selisih dan atau membandingkan antara penerimaan pada harga ekonomi (sosial) dengan input yang diperdagang pada harga privat. Sementara itu, dampak kebijakan pada input-output secara simultan dapat dilihat dengan menghitung selisih dan atau membandingkan antara keuntungan pada harga ekonomi (sosial) dengan keuntungan pada harga privat. Hasil dari keuntungan finansial dan keuntungan ekonomi nantinya akan digunakan untuk mengukur daya saing. Melalui keuntungan finansial akan diperoleh nilai koefisien daya saing kompetitif dan melalui keuntungan ekonomi diperoleh nilai koefisien daya saing komparatif kedelai domestik. Sehingga untuk menjawab hal tersebut terdapat beberapa pertanyaan yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu: (1) bagaimana keuntungan finansial dan ekonomi dari usahatani kedelai di daerah sentra kedelai yaitu Lamongan; (2) bagaimana status daya saing komoditas kedelai domestik terhadap kedelai impor; dan (3) bagaimana dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing komoditas kedelai itu sendiri. Tingkat kebaruan atau noveltis dari penelitian ini yaitu lokasi penelitian. Kabupaten Lamongan sebagai sentra kedelai terbesar ketiga di Indonesia, selama ini belum ada yang mengukur tingkat daya saing dari komoditas kedelai di Lamongan. Kemudian pada berbagai skenario analisis sensitivitas yang dilakukan pada penelitian ini. Skenario analisis sensitivitas yang dilakukan cukup beragam dengan adanya analisis kebijakan tunggal dan kebijakan gabungan. Skenario kebijakan tunggal dilakukan dengan membuat suatu perubahan kebijakan dengan satu jenis kebijakan saja, seperti kebijakan harga kedelai, suku bunga, pupuk, dan fluktuasi nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Kemudian skenario kebijakan gabungan, dilakukan dengan membuat skenario apabila pemerintah melakukan penerapan beberapa kebijakan sekaligus pada komoditas kedelai, seperti harga kedelai, tarif impor, suku bunga, dan harga pupuk. Tujuan Penelitian Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya saing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing komoditas kedelai di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah : 1. Menganalisis tingkat keuntungan finansial dan ekonomi usahatani pada komoditas kedelai di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. 2. Menganalisis daya saing komoditas kedelai di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. 3. Menganalisis dampat kebijakan pemerintah terhadap daya saing komoditas kedelai di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur.
8
Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dengan adanya penelitian ini adalah: 1. Bagi peneliti, penelitian ini dapat menambah pengetahuan mengenai daya saing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditas kedelai di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur pada khususnya. 2. Bagi pelaku agribisnis, penelitian ini dapat menambah referensi mengenai status daya saing komoditas kedelai dan dampak kebijakan pemerintah pada sistem komoditas kedelai yang berguna dalam pengambilan keputusan pengembangan usaha. 3. Bagi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, hasil analisis daya saing dan dampak kebijakan pemerintah diharapkan dapat menjadi bahan gambaran status daya saing komoditas kedelai di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur atas respon dari kebijakan yang telah diterapkan sehingga bisa membantu dalam merumuskan dan mengimplementasikan instrument-instrumen kebijakan yang lebih efektif bagi perkembangan agribisnis kedelai. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup dari penelitian ini mencakup analisis finansial dan analisis ekonomi dari usahatani kedelai di Kabupaten Lamongan. Analisis finansial merupakan analisis usahatani pada kondisi harga dan teknologi aktual. Pada analisis finansial dilihat selisih antara penerimaan dan biaya total dengan dasar harga keluaran yang diterima dan harga masukan yang dibayar petani. Total biaya telah mencakup biaya sewa lahan dan sewa tenaga kerja dalam keluarga. Keuntungan secara finansial diperoleh dari selisih antara penerimaan dan biaya total dengan dasar perhitungan bujet privat (aktual) pada saat penelitian. Sedangkan keuntungan ekonomi diperoleh dari selisih antara penerimaan dan biaya total berdasarkan bujet sosial usahatani kedelai. Analisis ekonomi merupakan analisis usahatani dilihat pada kondisi harga sosialnya. Analisis finansial dan ekonomi diperlukan untuk melihat perubahan keuntungan dan daya saing usahatani kedelai ketika pada kondisi harga dan teknologi aktual dengan kondisi setelah adanya intervensi pemerintah. Pada penelitian ini juga mencakup menganalisis dampak kebijakan pemerintah terkait komoditas kedelai dalam kurun waktu 2010-2014. Kebijakan pemerintah yang dilihat terkait dengan kebijakan di sektor input, output dan perbaikan teknologi yaitu SL-PTT. Kebijakan disektor input mencakup kebijakan subsidi pupuk dan benih serta pestisida. Kemudian pada sektor output terkait dengan penetapan HPP kedelai. Pada sektor teknologi yang diangkat yaitu program SL-PTT, karena program ini berdasarkan data dari Dinas Pertanian Jawa Timur, 2009, mampu meningkatkan produksi kedelai sebesar 30 persen.
9
2 TINJAUAN PUSTAKA Pengukuran Daya Saing Menurut Simatupang (1991) serta Sudaryanto dan Simatupang (1993) konsep keunggulan komparatif merupakan ukuran daya saing (keunggulan) potensial, daya saing akan dicapai apabila perekonomian tidak mengalami distorsi sama sekali. Komoditas yang memiliki keunggulan komparatif dikatakan juga memiliki efisiensi secara ekonomi. Keunggulan kompetitif merupakan pengukur daya saing suatu kegiatan pada kondisi perekonomian aktual. Terkait dengan konsep keunggulan komparatif adalah kelayakan ekonomi, dan terkait dengan keunggulan kompetitif adalah kelayakan finansial dari suatu aktivitas. Sumber distorsi yang dapat mengganggu tingkat daya saing antara lain adalah (1) kebijakan pemerintah, baik yang bersifat langsung (seperti tarif) maupun tidak langsung (seperti regulasi); dan (2) distorsi pasar, karena adanya ketidaksempurnaan pasar (market imperfection), misalnya adanya monopoli/monopsoni domestik. Esterhuizen et al. (2008) dalam Saptana (2010) mendefinisikan daya saing (competitiveness) sebagai kemampuan suatu sektor industri, atau perusahaan untuk bersaing dengan sukses dalam mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan di dalam lingkungan global selama biaya imbangannya lebih rendah dari penerimaan sumber daya yang digunakan. Pada tingkat produsen, suatu komoditas dapat memiliki keunggulan komparatif, memiliki biaya oportunitas yang relatif rendah, namun ditingkat konsumen tidak memiliki daya saing (keunggulan kompetitif) karena adanya distorsi pasar dan/atau biaya transaksi yang tinggi. Hal sebaliknya juga dapat terjadi, karena adanya dukungan (campur tangan) kebijakan pemerintah, suatu komoditas memiliki daya saing di tingkat konsumen padahal ia tidak memiliki keunggulan komparatif di tingkat produsen. Pengukuran status daya saing sektor agribisnis dapat menggunakan Relative Trade Advantage/RTA (Balasa, 1989). RTA merupakan alat pengukur daya saing dan kinerja ekspor/impor melalui data post-trade (Ayala-Garay et al.,2009). Berdasarkan hal tersebut, maka sumber data alat analisis RTA menggunakan pos data perdagangan ekspor dan impor. RTA dihitung sebagai selisih antara Relative Export Advantage (RXA), yang setara dengan indeks Ballasa asli (RCA), dengan Relative Import Advantage (RMA) (Fitriani et al,2014). Perbedaan utama RXA Vollrath dari indeks asli RCA Balassa adalah bahwa hal itu untuk mencegah dari penghitungan ganda (Ferto dan Hubbard, 2003 dalam Fitriani et al, 2014 hal 89). Sedangkan analisis status daya saing terutama dari pandangan pengambil kebijakan dapat dilakukan dengan Agribusiness Executive Survey (AES). Melalui pandangan dari pengambil kebijakan tersebut, dilihat faktor penghambat dan faktor yang dapat meningkatkan daya saing. Tingginya biaya transaksi, kebijakan tenaga kerja yang tidak fleksibel, dan kompetensi sumber daya manusia (SDM) di sektor publik merupakan beberapa faktor yang menghambat daya saing dari suatu sektor. Produksi yang terjangkau, produk yang berkualitas tinggi, kompetisi yang ketat di pasar domestik, dan inovasi yang berkelanjutan merupakan kunci sukses sebagai faktor-faktor dalam meningkatkan daya saing.
10
Terdapat hubungan yang jelas antara perubahan di lingkungan pengambilan keputusan dan kinerja daya saing suatu sektor. Hubungan ini mempengaruhi keberlanjutan status daya saing suatu sektor. Analisis kualitatif dan kuantitatif pada level kelembagaan agribisnis dapat menggunakan Agribusiness Confidence Index (ACI). Analisis ACI memperlihatkan bahwa tren dalam keyakinan bisnis pada suatu sektor dipengaruhi oleh sejumlah aktifitas kompleks dan ekspektasi yang mencakup kondisi iklim, perubahan pada nilai tukar mata uang dan suku bunga, pertumbuhan ekonomi, perubahan omzet dan pendapatan bersih usaha. Alat ukur daya saing yang juga banyak digunakan adalah Revealed Competitive Advantage (RCA). RCA merupakan rasio atau perbandingan antara share produk yang diekspor suatu negara terhadap perdagangan dunia (Balassa, 1965 dalam Esterhuizen, 2006 hal 116). RCA dapat digunakan untuk menilai potensi ekspor suatu negara. Indeks RCA memberikan informasi yang berguna mengenai kemungkinan potensi perdagangan dengan negara mitra baru. Negara yang memiliki profil RCA yang sama kemungkinan besar tidak ingin menjalin hubungan perdagangan bilateral yang intensitasnya sangat tinggi kecuali terlibat dalam perdagang yang industrinya sama. Berdasarkan Balassa, 1965 dalam Esterhuizen, 2006 hal 116, menyatakan bahwa RCA dapat ditunjukkan oleh kinerja perdagangan dari individu komoditas dan negara dalam pengertian bahwa pola perdagangan komoditas tersebut mencerminkan biaya relatif pasar sama halnya seperti perbedaan pada faktor daya saing non-price, seperti kebijakan pemerintah. Dalam penelitian ini menggunakan Policy Analysis Matrix (PAM), hasil analisis ini dipakai untuk melihat dua indikator pokok pengukur daya saing, yaitu Private Cost Ratio (PCR) yang merupakan indikator keunggulan kompetitif yang menunjukkan kemampuan sistem untuk membayar biaya sumber daya domestik dan tetap kompetitif pada harga privat, Domestic Resource Cost Ratio (DRCR) merupakan indikator keunggulan komparatif, yang menunjukkan jumlah sumber daya domestik yang dapat dihemat untuk menghasilkan satu unit devisa (Monke and Pearson, 1995). Selain itu dengan PAM juga dapat digunakan untuk melihat dampak efektivitas kebijakan (divergensi) terhadap input, output, serta inputoutput secara keseluruhan. Daya Saing Komoditas Pertanian Penelitian yang berkaitan dengan daya saing telah banyak dilakukan, banyak peneliti terdahulu menggunakan metode PAM. Penelitian mengenai daya saing berkaitan dengan komoditas yang memiliki pengaruh penting terhadap perekonomian suatu negara. Beberapa penelitian mengenai daya saing komoditas pokok disuatu negara diantaranya yaitu kacang-kacangan (Mahmoud, 2014), gandum (Rehman et al,. 2011), padi (Ugochukwu and Ezedinma, 2011; Akramov and Malek, 2012) dan ternak (Bojnec, 2003). Selain penelitian daya saing pada komoditas pokok, penelitian daya saing juga telah dilakukan pada beberapa komoditas perkebunan seperti manggis (Kustiari et al,. 2012; Muslim dan Nurasa, 2011), teh (Suprihatini, 2005) dan kapas (Mohanty et al., 2003). Tujuan dari semua penelitian tersebut adalah mengukur daya saing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditas pangan dan perkebunan agar dapat bersaing di pasar global. Dengan mengetahui status daya saing dan dampak kebijakan
11
pemerintah, diharapkan dapat melihat keunggulan yang dimiliki oleh komoditas tersebut. Sehingga apabila ada kebijakan pemerintah yang kurang mendukung dalam upaya meningkatkan daya saing dapat dievaluasi dan mempertahankan kebijakan yang sudah baik. Daya saing komoditas perkebunan di Indonesia sudah memiliki daya saing yang cukup baik. Beberapa komoditas perkebunan seperti lada putih (Sudarlin, 2008) dan kopi robusta (Desianti, 2002) memiliki tingkat daya saing yang cukup baik. Keuntungan yang diperoleh dalam pengusahaan komoditas lada putih menunjukkan bahwa pengusahaan komoditas lada putih secara finansial maupun ekonomi sangat menguntungkan dengan nilai keuntungan privat dan sosial masing-masing lebih besar dari nol (positif) untuk setiap tahun produksi. Indikator daya saing komoditas lada putih baik keunggulan kompetitif dan komparatif yang ditunjukkan oleh nilai PCR dan DRCR kurang dari satu untuk masing-masing tahun produksi. Keunggulan kompetitif dan komparatif tertinggi tercapai pada tahun ke-4 dengan nilai PCR dan DRCR yaitu sebesar 0.22 dan 0.18. Hal ini menandakan bahwa pengusahaan komoditas lada putih layak untuk dijalankan dan dikembangkan baik tanpa atau dengan adanya kebijakan pemerintah. Sedangkan dampak kebijakan pemerintah terhadap profitabilitas dan daya saing kopi robusta menunjukkan bahwa profitabilitas perkebunan rakyat secara finansial dan ekonomi menguntungkan. Daya saing per hektar komoditas kopi menunjukkan seluruh wilayah memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif, yang berarti setiap wilayah mampu membiayai sistem produksi kopi lebih murah dengan mendayagunakan sumber daya domestik dibandingkan jika mengimpor kopi. Bagi Indonesia, padi atau beras merupakan komoditas yang memiliki nilai strategis baik segi ekonomi, sosial maupun politik. Karena karakteristiknya yang unik dan mempunyai peran yang strategis menyebabkan banyak negara di Asia, seperti Bangladesh, Filipina, dan Pakistan menerapkan langkah perlindungan terhadap petani produsennya (Sudaryanto dan Rachman., 2000). Seperti negara lainnya yang menganggap beras sebagai komoditas strategis, Indonesia pun melakukan proteksi terhadap komoditas beras untuk melindungi petani produsen. Petani produsen padi mendapatkan proteksi input,output, maupun input-output dari pemerintah agar dapat berdaya saing (Rachman et al,. 2004; Mantau et al,. 2014). Untuk komoditas pangan lainnya seperti jagung memiliki tingkat daya saing yang baik untuk semua wilayah dan menguntungkan secara finansial maupun ekonomi ( Rusastra et al,. 2004; Mayrita, 2007). Daya saing di bidang pertanian seperti sektor perkebunan memiliki keunggulan komparatif maupun kompetitif dikarena kondisi iklim dan geografis Indonesia yang mendukung untuk budidaya manggis, kopi dan lada. Sehingga meskipun tidak adanya kebijakan pemerintah, komoditas tersebut tetap memiliki daya saing. Dapat dikatakan bahwa daya saing suatu komoditas dapat dicapai ketika adanya dukungan lingkungan yang baik seperti iklim dan letak geografis. Selain dukungan lingkungan, daya saing juga dapat dicapai ketika pemerintah melakukan intervensi terhadap komoditas yang dianggap memiliki pengaruh terhadap hajat hidup orang banyak.
12
Daya Saing Komoditas Kedelai Terkait dengan daya saing kedelai, masih terdapat beragam pendapat mengenai status daya saing kedelai Indonesia. Melalui beberapa penelitian menunjukkan bahwa kedelai domestik tidak memiliki daya saing terhadap kedelai impor (Rosegrant et al., 1987; Simatupang, 1990; Rusastra , 1995). Tetapi pada beberapa penelitian terakhir menunjukkan bahwa usahatani kedelai memiliki daya saing terhadap kedelai impor (Firdaus, 2007; Zakaria et al., 2010; Purwati et al.,2013). Berdasarkan pendapat dari pihak yang menyatakan kedelai domestik tidak memiliki daya saing, berpendapat bahwa usahatani kedelai di Indonesia lebih baik diusahakan diluar Jawa, karena kinerja usahatani kedelai di Jawa sudah mengalami kemunduran. Persaingan dengan komoditas lain yang lebih menguntungkan menjadi salah satu penyebab kinerja usahatani kedelai menurun. Kedelai merupakan salah satu komoditas pangan yang menjadi perhatian pemerintah. Berdasarkan alat analisis yang digunakannya, beberapa penelitian telah mengukur mengenai daya saing komoditas kedelai serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Alat analisis yang digunakan mengenai daya saing kedelai di Indonesia diantara yaitu RCA (Sarwono, 2014), R/C rasio (Saraswati et al.,2011) dan PAM (Purwati et al.,2013; Firdaus, 2007;dsb). Pada analisis RCA dilakukan dengan melihat data perdagangan, yaitu dengan melihat share ekspor kedelai Indonesia terhadap perdagangan dunia. Penelitian daya saing yang dilakukan dengan menggunakan RCA, yaitu menunjukkan variabel-variabel apa saja yang berpengaruh secara nyata terhadap daya saing kedelai dengan data time series perdagangan. Variabel-variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap daya saing kedelai yaitu produksi kedelai nasional dan ekspor kedelai. Variabel kebijakan pemerintah dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika tidak berpengaruh secara signifikan terhadap daya saing kedelai Indonesia (Sarwono, 2014). Pada pernyataan diatas menyatakan bahwa variabel produksi kedelai nasional sangat berpengaruh signifikan terhadap daya saing kedelai. Produksi kedelai nasional saat ini sebesar 800 ribu ton per tahun dan selalu berfluktuasi setiap tahunnya. Produksi tersebut masih rendah dibandingkan dengan permintaan kedelai nasional yang mencapai 2 juta ton per tahun. Rendahnya produksi kedelai nasional disebabnya tingginya tingkat persaingan pola tanam di lahan. Produktivitas rata-rata kedelai Indonesia sebesar 1.5 ton per hektar jika dibandingkan dengan tanaman pangan lain seperti padi dan jagung masih kalah bersaing. Titik impas produktivitas kedelai secara finansial layak diusahakan dan dapat bersaing dengan tanaman padi jika produktivitasnya sebesar 1.79-1.88 ton/ha, sedangkan dengan tanaman jagung sebesar 1.72 -1.84 ton/ha (Sarawati et al.,2011). Harga output juga berpengaruh terhadap partisipasi petani dalam menanam suatu komoditas. Suatu komoditas yang memiliki harga yang baik dan stabil lebih disenangi untuk ditanam oleh petani. Harga kedelai yang berlaku di petani saat ini berkisar antara Rp. 6 000 sampai Rp. 7 200 per kilogramnya. Harga ini cukup bersaing dengan harga komoditas pangan lain seperti padi dan jagung. Tingkat harga minimal kedelai agar dapat bersaing dengan komoditas padi berkisar antara Rp. 4 515 per kilo sampai Rp. 4 929 per kilo, sedangkan dengan komoditas jagung harganya berkisar antara Rp. 4 393 per kilo sampai Rp. 4 722
13
per kilo (Saraswati et al.,2011). Penjelasan terkait dengan produktivitas dan harga kedelai terhadap komoditas pangan pesaing seperti padi dan jagung dapat terlihat bahwa kendala pada komoditas kedelai yaitu terkait dengan produktivitas. Produktivitas yang rendah inilah yang diupayakan untuk ditingkatkan pemerintah melalui program perbaikan teknologi. Penelitian lain menunjukkan bahwa komoditas kedelai domestik memiliki daya saing terhadap kedelai meskipun masih rentan terhadap fluktuasi harga input-output (Zakaria et al., 2010; Mutiara et al.,2013; Hermanto et al., 1993). Perbaikan sistem budidaya konvensional menjadi sistem budidaya intensif salah satu pendorong dalam meningkatkan daya saing kedelai domestik (Mutiara et al., 2013). Selain itu adanya kebijakan input dan output yang dilakukan pemerintah terhadap komoditas kedelai berdampak positif terhadap keuntungan usahatani kedelai (Zakaria et al., 2010). Adanya kebijakan pemerintah terhadap input dan output kedelai domestik menyebabkan peningkatan nilai tambah yang diterima petani sebesar 5 sampai 7 persen dari yang sebenarnya. Selain dukungan kebijakan terhadap komoditas kedelai, aspek teknis dan infrastruktur perlu juga di tingkatkan oleh pemerintah dalam upaya mendorong berkembangnya usahatani kedelai. Perbaikan infrastruktur transportasi terbukti dapat meningkatkan daya saing komoditas kedelai (Sutton et al., 2005). Selain itu lingkungan yang mendukung seperti kondisi tanah dan iklim juga dapat mendorong daya saing komoditas kedelai (Hermanto et al., 1993; Khai and Yabe, 2013). Sehingga untuk daerah-daerah sentra kedelai seperti Banyuwangi, Pasuruan, dan Lamongan yang memiliki produktivitas di atas rata-rata nasional memiliki potensi keunggulan komparatif dalam usahatani kedelai (Rusastra et al., 1992). Berdasarkan hasil penelitian-penelitian yang ada, dalam pengembangan komoditas kedelai perlu di lakukan di daerah-daerah yang memiliki lingkungan yang mendukung serta perlu pengembangan kedelai di luar Jawa. Daerah-daerah sentra produksi kedelai terbesar Indonesia tersebar di provinsi Jawa (Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur), Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat,dan Sulawesi Selatan (Kementan, 2005). Terpusatnya produksi kedelai di Pulau Jawa menjadi suatu kendala bagi perkembangan komoditas kedelai karena terbatasnya lahan dan persaingan pola tanam. Oleh karena itu, apabila ingin melihat perkembangan daya saing kedelai di Indonesai salat satunya dapat dilihat dari perkembangan produksi kedelai di Pulau Jawa. Beberapa penelitian mengenai kedelai telah dilakukan di sentra kedelai di Jawa dan telah menunjukkan beberapa kesimpulan mengenai daya saing kedelai. Kondisi daya saing kedelai di Jawa Barat masih memiliki daya saing meskipun masih rentan terhadap fluktuasi harga input dan output (Zakaria et al., 2010). Provinsi Jawa Timur merupakan sentra produksi kedelai nasional dan dapat dikatakan sebagai lumbung kedelai nasional. Daerah-daerah yang menjadi sentra kedelai tersebar di Banyuwangi, Jember, Madura, dan Lamongan. Daerah Banyuwangi dan Jember sebagai sentra produksi kedelai menunjukkan bahwa komoditas kedelai di kedua daerah tersebut memiliki daya saing baik secara komparatif maupun kompetitif (Firdaus, 2007). Penelitian lain juga menunjukkan bahwa usahatani kedelai di Jawa Timur memiliki daya saing komparatif dan kompetitif yaitu di Kabupaten Sumenep, Madura (Purwati et al.,2013). Penelitian ini menunjukkan bahwa provinsi Jawa Timur dari segi lingkungan cocok sebagai lokasi pengembangan kedelai nasional.
14
Pada beberapa penelitian mengenai daya saing kedelai diatas, beberapa penelitian menggunakan alat analisis PAM (Firdaus, 2007; Purwati et al., 2013; Zakaria et al., 2010). Pada penelitian-penelitian tersebut menganalisis kebijakan pemerintah terkait dengan subsidi pupuk dan benih serta tarif untuk pestisida. Penelitian-penelitian tersebut tidak hanya menganalisis terkait kebijakan tersebut, tetapi dilakukan juga perbandingan daya saing kedelai pada kondisi lahan yang berbeda-beda dalam beberapa musim. Pembeda penelitian ini dengan penelitianpenelitian sebelumnya yaitu menganalisis kebijakan pemerintah selain pada subsidi pupuk dan benih, dimasukan juga kebijakan pemerintah disektor output seperti penetapan HPP dan perbaikan budidaya kedelai melalui SL-PTT. Kebijakan Kedelai Nasional Program peningkatan produksi kedelai tahun 2014 menargetkan produksi kedelai sebesar 2.70 juta ton biji kering dengan peningkatan rata-rata produksi per tahun sebesar 20.05 persen per tahun. Program swasembada kedelai tersebut di dukung dengan penyediaan pupuk, subsidi input, perluasan lahan baru, investasi pemerintah dan swasta di bidang pertanian dan dukungan Kementerian atau Lembaga lain (Kementerian Pertanian, 2014). Program ini dirasa sulit untuk dicapai karena tidak adanya insentif bagi petani untuk menanam kedelai. Menurut Sumarno dan Adie (2010) dalam mewujudkan swasembada kedelai secara berkelanjutan diperlukan strategi sebagai berikut: (1) penyediaan lahan khusus untuk kedelai; (2) insentif ekonomi usahatani kedelai; (3) petani usahatani kedelai skala komersial; (4) adopsi teknologi; (5) program peningkatan produksi kedelai secara target hamparan; dan (6) penyediaan benih dan pengembangan sistem. Kebijakan pemerintah dalam komoditas kedelai mencakup kebijakan harga, subsidi, dan perdagangan. Tujuan dari kebijakan harga adalah untuk menstabilkan harga, pemerataan pendapatan dan efisiensi (Saliem dan Sudaryanto, 2004). Selain itu kebijakan harga betujuan untuk memberikan insentif secara kepada petani agar dapat mendorong perkembangan komoditas kedelai (Simatupang, 1989). Subsidi terhadap harga input bertujuan untuk mengurangi biaya produksi usahatani kedelai agar dapat meningkatkan pendapatan petani. Subsidi terhadap harga input memiliki efek ganda, selain mengurangi biaya produksi, subsidi harga input juga mengurangi harga jual yang diterima konsumen. Dengan adanya subsidi selain meningkatkan pendapatan petani, disisi lain melindungi konsumen. Harga jual lebih rendah yang diterima oleh konsumen mendorong daya saing kedelai domestik di tingkat pasar jika dibandingkan tanpa ada kebijakan. Kebijakan selanjutnya yang dilakukan oleh pemerintah yaitu kebijakan perdagangan. Kebijakan perdagangan umumnya berkaitan dengan kebijakan produksi dan pemasaran. Kebijakan di bidang perdagangan umunya berkaitan dengan kebijakan harga (Simatupang, 2003). Kebijakan perdagangan yang diterapkan untuk komoditas kedelai yaitu kebijakan tarif. Kebijakan perdagangan pada umumnya bertujuan untuk memperlancar atau menghambat pemasaran suatu komoditas (Simatupang, 1989). Kebijakan tarif yang diterapkan oleh pemerintah terhadap kedelai saat ini yaitu sebesar nol persen. Kebijakan tarif nol persen membuat kedelai impor dapat masuk ke pasar dalam negeri dengan harga yang lebih rendah dan merugikan petani produsen kedelai domestik. Kebijakan tarif kedelai nol persen dapat menurunkan daya saing kedelai domestik. Selain itu
15
dalam hal kebijakan tarif, Indonesia telah menandatangani perjanjian pertanian atau Agreement on Agriculture (AoA) sebagai tanda keanggotaannya di WTO (World Trade Organization). Dalam ratifikasi pembentukan WTO yang tertuang dalam UU No. 7 Tahun 1994, yang didalamnya Indonesia berkewajiban mengikuti AoA yang salah satu isinya adalah bagi negara-negara berkembang tidak dapat secara fleksibel melakukan penyesuaian tarif sejalan dengan permasalahan dan perdagangan komoditas pertanian di negaranya (Marlian, 2004). Hal tersebut bersifat disinsentif terhadap kebijakan pembangunan pertanian di Indonesia.
3 KERANGKA PENELITIAN Teori Daya Saing Konsep mengenai daya saing umumnya dikaitkan dengan konsep keunggulan komparatif (comparative advantage) dan keunggulan kompetitif (competitive advantage). Menurut Simatupang (1991) serta Sudaryanto dan Simatupang (1993) konsep keunggulan komparatif merupakan ukuran daya saing (keunggulan) potensial, daya saing akan dicapai apabila perekonomian tidak mengalami distorsi sama sekali. Komoditas yang memiliki keunggulan komparatif dikatakan juga memiliki efisiensi secara ekonomi. Keunggulan kompetitif merupakan pengukur daya saing suatu kegiatan pada kondisi perekonomian aktual. Terkait dengan konsep keunggulan komparatif adalah kelayakan ekonomi, dan terkait dengan keunggulan kompetitif adalah kelayakan finansial dari suatu aktivitas ekonomi. Untuk mengukur daya saing suatu komoditas dapat dilakukan dengan menganalisis empat aktivitas yang terdapat dalam sistem komoditas yang dapat dipengaruhi, hal tersebut terdiri dari tingkat usahatani, distribusi dari tingkat usahatani ke industri pengolahan, dan setelah itu aktivitas pemasaran (Pearson,et.al, 2005). Ada dua indikator pokok pengukur daya saing, yaitu Private Cost Ratio (PCR) yang merupakan indikator keunggulan kompetitif yang menunjukkan kemampuan sistem untuk membayar biaya sumber daya domestik dan tetap kompetitif pada harga privat, Domestic Resource Cost Ratio (DRCR) merupakan indikator keunggulan komparatif, yang menunjukkan jumlah sumber daya domestik yang dapat dihemat untuk menghasilkan satu unit devisa (Monke and Pearson, 1995). Menurut pendapat Gray, et al. (1992) daya saing merupakan kemampuan produsen untuk memproduksi suatu komoditas dengan mutu cukup baik dan ongkos produksi yang cukup rendah, sehingga pada harga-harga yang terjadi dipasar internasional dapat diproduksi dan dipasarkan produsen dengan memperoleh laba yang mencukupi untuk dapat mempertahankan kelanjutan kegiatan produksi. Ongkos produksi yang rendah dapat didukung dengan adanya sistem pemasaran yang efisien, infrastruktur yang baik dan informasi harga yang simetris. Pengembangan produk pertanian di tingkat on-farm (farm gate levels), permasalahan mengenai produktivitas dan efisiensi pemasaran perlu diperbaiki agar komoditas pertanian dapat bersaing, terutama terhadap produk impor (Sharples, et al., 1990).
16
Konsep mengenai daya saing telah banyak dikemukakan oleh para pakar ekonomi (seperti Adam Smith, Ricardo, Heckscher-Ohlin, Krugman, Michael Porter). Konsep daya saing (competitiveness) berasal dari konsep perdagangan internasional, konsep yang dikembangkan oleh para pakar ekonomi daya saing bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui perdagangan. Untuk memahami konsep daya saing, maka akan dijelaskan mengenai perkembangannya mulai dari awal hingga saat ini yang dijadikan pijakan dalam mengukur daya saing. Konsep pertama daya saing (competitiveness) yaitu konsep keunggulan absolut. Keunggulan absolut, mengukur kemampuan suatu negara dalam menghasilkan sesuatu lebih banyak per unit input dan lebih murah dibandingkan negara lain (Adam Smith, 1776) dalam (Lindert dan Kindleberger, 1993; Esterhuizen, 2006). Adanya keunggulan absolut, suatu negara dapat berspesialisasi pada sesuatu yang memiliki keunggulan absolut dan membeli dari luar (impor) sesuatu yang tidak memiliki keunggulan absolut. Dalam konsep keunggulan absolut, suatu negara dapat meningkatkan kesejahteraannya melalui perdagangan jika memiliki keunggulan absolut. Jika suatu negara tidak memiliki keunggulan absolut, peningkatan kesejahteraan masih dapat tercapai. Apabila rasio harga antar negara masih berbeda jika dibandingkan tidak ada perdagangan, negara yang tidak memiliki keunggulan absolut tetap bisa mendapatkan keuntungan dari adanya perdagangan, disebut keunggulan komparatif (comparative advantage) Ricardo (Lindert dan Kindleberger, 1993; Esterhuizen, 2006). Dalam konsep keunggulan komparatif Ricardo, hanya satu faktor produksi yang dianggap penting yang mempengaruhi nilai suatu komoditas yaitu tenaga kerja. Berbeda halnya dengan teori yang dikemukakan oleh Heckscher-Ohlin, bahwa komoditas yang produksinya melimpah diekspor dan komoditas yang produksinya sedikit atau langka diimpor (Ohlin, 1933, dalam Lindert dan Kindleberger, 1993; Krugman, 1994). Seperti yang telah dijelaskan oleh Ricardo dan Heckscher-Ohlin, bahwa daya saing dipengaruhi oleh faktor tenaga kerja dan modal sehingga sumber daya yang langka diimpor dan sumberdaya yang melimpah diekspor. Tetapi, pada kasus perdagangan teh AS berbeda dengan konsep tersebut. Pada kasus ini, AS mengekspor barang-barang yang padat tenaga kerja dan mengimpor barang-barang yang padat modal. Dari kasus tersebut menunjukan bahwa adanya faktor lain yang mempengaruhi daya saing, yaitu keunggulan pembelajaran (learning advantage), pengalaman, serta penelitian dan pengembangan (teknologi) (Leontif, 1953, dalam Lindert dan Kindleberger, 1993; Esterhuizen, 2006). Satu lagi teori mengenai daya saing yaitu Competitiveness Theory (Michael Porter, 1990) yang menyatakan bahwa kesejahteraan adalah diciptakan melalui pilihan-pilihan. Kebijakan Pemerintah Pada Harga Output Kebijakan pemerintah terhadap harga output dibagi menjadi beberapa bagian. Monke and Pearson (1989) mengklasifikasikan kebijakan harga komoditas menjadi delapan tipe kebijakan subsidi dan dua tipe kebijakan perdagangan. Klasifikasi kebijakan harga komoditas membantu untuk menjelaskan mengenai dampak perubahan kebijakan pemerintah. Kebijakan
17
harga komoditas dibedakan menjadi tiga tipe yaitu tipe instrument (subsidi atau kebijakan perdagangan), kelompok penerima (produsen atau konsumen) dan tipe komoditas (impor atau ekspor). Tipe Instrumen Tipe instrumen membedakan antara kebijakan subsidi dan kebijakan perdagangan. Subsidi adalah pembayaran dari pemerintah. Subsidi dapat dikategorikan menjadi dua bagian yaitu subsidi positif dan subsidi negatif. Subsidi positif merupakan pembayaran yang dikeluarkan atau dibayar dari keuangan pemerintah, sedangkan subsidi negatif adalah pembayaran yang dikeluarkan untuk keuangan pemerintah (misalnya: pajak). Tingkat subsidi adalah jumlah yang dibayarkan per unit output yang disubsidi, dan total subsidi adalah perkalian dari tingkat subsidi dengan jumlah produksi atau konsumsi yang disubsidi. Tujuan dan dampak dari subsidi adalah untuk menciptakan harga di pasar domestik agar berbeda dari harga di pasar dunia, terkadang kebijakan dibuat secara berbeda antara harga domestik bagi produsen dan konsumen. Kebijakan perdagangan adalah hambatan yang diciptakan untuk barangbarang komoditas yang berorientasi pada barang impor maupun barang ekspor. Hambatan tersebut dapat berupa pengenaan tarif atau biaya termasuk pada komoditas yang diperdagangkan (dengan pajak perdagangan) atau pembatasan kuantitas (kuota perdagangan) untuk mengurangi jumlah perdagangan internasional dan untuk mengatur selisih antara harga domestik dan harga internasional. Untuk barang-barang impor, kebijakan perdagangan dapat dilakukan dengan membebankan tarif per unit (pajak impor) maupun pembatasan jumlah. Negara dapat memberikan subsidi impor maupun ekspor dan memperluas jaringan perdagangannya. Tetapi salah satu dari tindakan-tindakan tersebut adalah kebijakan subsidi dan hal tersebut sudah termasuk kedalam hal kebijakan subsidi. Hambatan (kuota impor) dilakukan untuk membatasi jumlah komoditas yang di impor dan meningkatkan harga domestik diatas harga internasional. Kebijakan perdagangan untuk ekspor termasuk didalamnya adalah pembatasan jumlah yang diekspor dari yang sebenarnya bisa diekspor ke luar negeri baik itu pajak ekspor per unit maupun kuota ekspor, menyebabkan harga domestik lebih rendah dibandingkan harga internasional. Perbedaan antara kebijakan subsidi dan kebijakan perdagangan ada tiga hal, pertama adalah implikasi kedua kebijakan tersebut bagi anggaran pemerintah. Kebijakan subsidi mempengaruhi anggaran pemerintah karena kebijakan subsidi menggunakan anggaran pemerintah sehingga alokasi anggaran bagi kegiatankegiatan pemerintah menjadi berkurang, semakin banyak kebijakan subsidi dilakukan anggaran yang dikeluarkan pemerintah akan semakin besar dan mengurangi keuangan negara. Kebijakan perdagangan melalui hambatan perdagangan baik itu berupa tarif atau kuota, hal tersebut tidak mempengaruhi anggaran pemerintah. Kedua, yaitu banyaknya alternatif kebijakan yang dapat dipilih. Kebijakan subsidi memiliki delapan yang dapat diterapkan pemerintah. Subsidi dapat diberikan kepada produsen maupun konsumen dapat diterapkan terhadap barang-barang impor maupun ekspor. Meskipun disisi lain, subsidi dapat bersifat positif maupun negatif. Kebijakan perdagangan hanya memilik dua tipe dasar kebijakan yang dapat diterapkan, yaitu hambatan terhadap barang impor dan mengontrol ekspor. Aliran perdagangan dari ekspor maupun impor dapat
18
dihambat melalui pajak perdagangan atau kuota sepanjang pemerintah memiliki mekanisme yang efektif untuk mengontrol penyelundupan. Ketiga adalah kemampuan dalam menerapkan dilapang. Kebijakan subsidi dapat diterapkan untuk setiap komoditas baik komoditas yang tradable maupun komoditas nontradable. Sementara itu, kebijakan perdagangan hanya dapat diterapkan untuk barang-barang yang diperdagangkan (tradable goods). Kelompok Penerima Kriteria kedua dari klasifikasi kebijakan adalah apakah kebijakan tersebut ditujukan untuk produsen atau konsumen. Subsidi atau kebijakan perdagangan mengakibatkan terjadinya transfer di antara produsen, konsumen dan keuangan pemerintah. Jika tidak ada subsidi dari anggaran pemerintah untuk membayar semua transfer, ketika produsen memperoleh keuntungan konsumen mengalami kerugian. Dan ketika konsumen memperoleh keuntungan, produsen mengalami kerugian. Hal tersebut merupakan situasi yang dinamakan dengan zero-sum game, yaitu keadaan dimana ketika salah satu pihak mendapatkan keuntungan pihak lain akan mendapatkan kerugian. Tetapi, dengan adanya transfer yang diikuti dengan efisiensi ekonomi yang hilang maka keuntungan yang diperoleh akan lebih kecil daripada kerugian yang diderita. Oleh karena itu, manfaat yang diperoleh kelompok tertentu (konsumen, produsen atau keuangan pemerintah) adalah lebih kecil dari jumlah yang hilang dari kelompok yang lain. Tipe Komoditas Alat ketiga dari klasifikasi tujuannya adalah untuk membedakan antara komoditas yang dapat di ekspor dan komoditas yang dapat di impor. Ketika tidak ada kebijakan harga, maka harga domestik sama dengan harga di pasar internasional, dimana untuk barang yang di impor menggunakan harga cif (cost, insurance, freight) atau harga pelabuhan impor dan harga fob (free on board) atau harga di pelabuhan ekspor digunakan untuk harga barang yang di ekspor. Oleh karena itu, negara mengimpor beberapa barang yang harus di impor dan mengekspor beberapa barang yang harus ekspor kecuali ada campur tangan pemerintah. Produsen mendapatkan keuntungan dan konsumen mengalami kerugian ketika pemerintah menerapkan kebijakan yang meningkatkan harga domestik bagi kedua barang impor dan ekspor, sedangkan konsumen mendapatkan keuntungan dan produsen mengalami kerugian ketika pemerintah menerapkan kebijakan yang menurunkan harga domestik dari kedua barang yang dapat diperjualbelikan tersebut. Kebijakan Pemerintah pada Harga Input Kebijakan pada harga input dilakukan terhadap barang yang tradable maupun non-tradable. Pada kedua input tersebut, kebijakan yang diterapkan dapat berupa kebijakan subsidi positif dan subsidi negatif (pajak), sedangkan kebijakan hambatan perdagangan tidak dapat diterapkan pada input domestik (non tradable) karena hanya dapat diterapkan pada komoditas yang diproduksi dan dikonsumsi di dalam negeri.
19
Kebijakan Input Tradable Kebijakan pada input tradable dapat berupa kebijakan subsidi atau kebijakan pajak dan kebijakan hambatan perdagangan. Pengaruh subsidi dan pajak pada input tradable dapat ditunjukkan pada Gambar 2.
S‟
P
P
S S‟
S C C
A
Pw
A
Pw
B
B Q2
Q1
D Q
(a) S-II
Q1
Q2
D Q
(b) S+II
Gambar 2 Kurva dampak kebijakan input Sumber: Monke and Pearson, 1989
Keterangan: S – II = Pajak untuk input impor (S: Subsidi) S + II = Subsidi untuk input impor (S: Subsidi) Pw = Harga dunia S = Kurva penawaran input pada kondisi ekuilibrium S‟ = Kurva penawaran input setelah diberikan subsidi Q = Kuantitas permintaan input barang
Pada gambar 2 (a) menunjukkan efek pajak terhadap input tradable yang digunakan. Adanya pajak menyebabkan biaya input produksi meningkat sehingga pada tingkat output yang sama, output domestik turun dari Q1 ke Q2 dan kurva supply bergeser ke atas. Efisiensi ekonomi yang hilang adalah sebesar ABC yang merupakan perbedaan nilai antara nilai output yang hilang Q2CAQ1 dengan biaya produksi dari output Q2BAQ1. Gambar 2 (b) menunjukkan dampak subsidi input menyebabkan harga input lebih rendah dan biaya produksi lebih rendah sehingga kurva supply bergeser ke bawah dan produksi naik dari Q1 ke Q2. Efisiensi ekonomi yang hilang dari produksi adalah sebesar ACB, perbedaan antara biaya produksi yang bertambah dengan meningkatnya output sebesar Q1ACQ2. Peningkatan nilai dari peningkatan output sebesar Q1BQ2. Seperti sebelumnya, total efisiensi efek dapat diperkirakan dengan mempertimbangkan segala input – output yang mendapatkan subsidi.
20
Kebijakan Input Non Tradable Kebijakan yang dapat diterapkan dalam input non tradable adalah kebijakan subsidi dan pajak, sedangkan kebijakan hambatan perdagangan tidak dapat diterapkan pada input non tradable karena input tersebut hanya diproduksi dan dikonsumsi di dalam negeri. Faktor domestik (input non tradable) antara lain adalah lahan dan tenaga kerja disektor pertanian. Untuk melihat kebijakan subsidi dan pajak yang diterapkan pemerintah pada input non tradable dapat dilihat pada Gambar 3.
P
P S
Pc
S
C
PD
Pp
C
A
A
B
Pp
PD
B
D D
Pc
D
Pp‟
D
Q3
Q2 Q1
Q
(a) S – N
Q1 Q2
Q
(b) S + N
Gambar 3 Kurva dampak kebijakan barang nontradable Sumber: Monke and Pearson, 1989
Keterangan: S – N = Pajak untuk Barang Non Tradable (S: Subsidi) S + N = Subsidi untuk Barang Non Tradable (S: Subsidi) PC = Harga yang diterima konsumen PD = Harga barang di dalam negeri PP = Harga yang diterima produsen PP‟ = Harga yang diterima produsen setelah dikenakan pajak Q = Jumlah permintaan barang nontradable
Pada Gambar 3 (a) menggambarkan efek nontradable-komoditas kebijakan pada efisiensi konsumen dan produsen. Dalam gambar 3, pajak (sama dengan PC - PP) pada komoditas ini diperkenalkan. Apakah pajak yang awalnya dikenakan pada konsumen atau produsen tidak membuat perbedaan. Dalam keseimbangan baru, dua kelompok berbagi beban pajak karena hanya satu tingkat output, Q2, konsisten dengan per unit pajak dari PC – PP. upaya untuk memaksa seluruh jumlah pajak atas produsen (PD – PP‟), misalnya, akan menyebabkan output menurun di bawah Q2 ke titik seperti Q3. Pada titik ini, harga konsumen akan di atas PC dan harga produsen setelah pajak akan di atas PP‟. Selanjutnya, akan meningkatkan output dan harga konsumen akan jatuh sampai jumlah pajak yang
21
diperhitungkan penuh perbedaan antara harga konsumen dan produsen. Relatif terhadap situasi sebelum pajak, harga konsumen telah meningkat (untuk PC) dan harga produsen jatuh (PD). Efisiensi kerugian diukur oleh perbandingan kesediaan konsumen untuk membayar dan biaya sumber produksi dengan nilai „forgone‟ output, Q2BAQ1. Konsumen efisiensi kerugian diukur sebagai kerugian efisiensi BCA dan produksi sebagai DBA. Pada gambar 3 (b) menunjukkan analisis subsidi positif untuk komoditas non tradable (S+N). Kedua kelompok konsumen maupun produsen selalu memperoleh manfaat dari subsidi. Output meningkat dari Q1 ke Q2. Jika dilihat ke PD harga awal, harga konsumen lebih rendah dan harga produsen lebih tinggi. Efisiensi kerugian diukur dengan perbandingan nilai peningkatan output harga awal (Q1ABQ2), untuk biaya produksi meningkat dan peningkatan di kesediaan konsumen membayar. Total kerugian efisiensi adalah ACD. Matrik Analisis Kebijakan Kedelai Policy Analysis Matrix (PAM) dapat menunjukkan pengaruh individual maupun kolektif dari kebijakan harga dan kebijakan faktor domestik. PAM juga memberikan informasi dasar (base line information) yang penting bagi BenefitCost analysis untuk kegiatan investasi di bidang petanian. PAM merupakan metode analisis yang dikemukan oleh Eric A. Monke dan Scott R. Pearson pada tahun 1989. Metode analisis ini menganalisis empat aktivitas yang terdapat dalam sistem komoditas yang dapat dipengaruhi, hal tersebut terdiri dari tingkat usahatani, distribusi dari tingkat usahatani ke industri pengolahan, dan setelah itu aktivitas pemasaran. Pearson et al, (2005), menjelaskan bahwa metode PAM dapat membantu pengambil kebijakan baik di pusat maupun di daerah untuk menelaah tiga isu sentral analisis kebijakan pertanian dan metode PAM memiliki tiga tujuan utama yang pada hakekatnya ialah memberikan informasi dan analisis untuk membantu pengambil kebijakan pertanian ketiga isu sentral kebijakan pertanian. Isu sentral pertama mengenai analisis kebijakan pertanian adalah berkaitan dengan daya saing suatu sistem usahatani pada tingkat harga dan teknologi yang ada. Daya saing suatu sistem usahatani dapat diukur melalui perbedaan keuntungan privat sebelum dan sesudah kebijakan pada tingkat harga aktual (harga pasar). Isu kedua yang terkait dengan isu sentral kebijakan pertanian adalah dampak investasi publik, dalam bentuk pembangunan infrastruktur baru, terhadap tingkat efisiensi sistem usahatani. Efisiensi diukur dengan tingkat keuntungan sosial (social profitability), yaitu tingkat keuntungan yang dihitung berdasarkan harga efisiensi. Perbedaan keuntungan sosial sebelum dan sesudah adanya investasi publik menunjukkan peningkatan keuntungan sosial. Isu sentral ketiga yang terkait dengan kebijakan pertanian adalah berkaitan erat dengan isu kedua, yaitu dampak investasi baru dalam bentuk riset atau teknologi pertanian terhadap tingkat efisiensi sistem usahatani. Selain ketiga isu diatas, analisis PAM mempunyai tiga tujuan utama yang mendukung dalam mengatasi ketiga isu sentral kebijakan pertanian. Tujuan pertama yaitu, dalam sebuah tabel PAM suatu sistem usahatani memungkinkan seseorang untuk menghitung tingkat keuntungan privat. Tingkat keuntungan privat merupakan sebuah ukuran daya saing usahatani pada tingkat harga pasar atau harga aktual.
22
Tujuan kedua dari analisis PAM adalah menghitung tingkat keuntungan sosial sebuah sistem usahatani. Tingkat keuntungan sosial sistem usahatani dihasilkan dengan menilai output dan biaya pada tingkat harga efisiensi (social opportunity costs). Hasil perhitungan ini dapat digunakan sebagai informasi dasar untuk perhitungan social benefit-cost analysis pada tingkat harga efisiensi. Tujuan ketiga dari analisis PAM adalah menghitung transfer effect, sebagai dampak dari sebuah kebijakan. Dengan membandingkan pendapatan dan biaya sebelum dan sesudah penerapan kebijakan dapat menentukan dampak dari kebijakan tersebut. Metode PAM menghitung dampak kebijakan yang mempengaruhi input, output serta input-output secara simultan. Penentuan Harga Bayangan Harga bayangan merupakan salah satu input yang digunakan untuk menganalisis keunggulan komparatif dalam konsep daya saing. Harga pasar digunakan untuk menganalisis keunggulan kompetitif. Gittinger (1986), mendefinisikan harga bayangan merupakan suatu harga yang lebih dekat menggambarkan biaya imbangan sosial. Langkah-langkah yang dikemukakan untuk mengubah atau menyesuaikan harga pasar (harga finansial) menjadi harga bayangan (nilai ekonomi) yaitu (1) penyesuaian pembayaran transfer langsung, karena ada pajak atau subsidi, (2) penyesuaian untuk penyimpangan harga pada barang yang diperdagangkan (tradable) karena adanya distorsi pasar, baik sebagai akibat kegagalan pasar (market failure) dan struktur pasar yang tidak berjalan sempurna (imperfect market), dan (3) penyesuaian untuk penyimpangan harga pada barang-barang yang tidak diperdagangkan (non tradable), bisa disebabkan kebijakan pemerintah (UMR) dan struktur pasar yang tidak sempurna. Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas membantu dalam menentukan unsur-unsur kritikal yang berperan dalam menentukan hasil proyek. Tujuan dari analisis sensitivitas adalah untuk melihat bagaimana perubahan hasil suatu kegiatan ekonomi jika terdapat kesalahan dalam perhitungan biaya dan manfaat. Dalam Kadariah dan Grey (1978), analisis sensitivitas dapat dilakukan dengan beberapa cara: (1) mengubah besarnya variabel-variabel yang penting, masing-masing terpisah atau beberapa dalam kombinasi dengan suatu persentase dan menentukan seberapa besar kepekaan hasil perhitungan terhadap perubahan-perubahan tersebut, dan (2) menentukan seberapa besar faktor yang berubah sehingga hasil perhitungan membuat proyek tidak dapat diterima. Perubahan yang bisa terjadi dalam menjalankan proyek (bisnis) umumnya dikarenakan: (1) perubahan harga, (2) keterlambatan pelaksanaan, (3) kenaikan dalam biaya (Cost Over Run), dan (4) hasil produksi. Faktor-faktor perubahan tersebut akan mempengaruhi kelayakan suatu usaha atau aktivitas bisnis. Oleh karena itu, diperlukan analisis dan identifikasi kondisi yang memungkinkan terjadi. Kelemahan dari analisis sensitivitas adalah, (1) Tidak digunakan untuk pemilihan proyek karena merupakan analisis parsial yang hanya mengubah suatu parameter pada saat tertentu, dan (2) Hanya mencatat apa yang terjadi jika faktor berubah-ubah dan bukan untuk menentukan layak atau tidaknya suatu proyek.
23
Dalam pengusahaan kedelai terdapat beberapa indikator yang secara signifikan berpengaruh terhadap struktur biaya dan penerimaan, yaitu perubahan harga pupuk, dan harga kedelai serta gabungan dari keduanya. Perubahan yang terjadi pada penurunan harga pupuk, suku bunga, produktivitas dan peningkatan harga kedelai secara langsung berpengaruh terhadap perubahan keuntungan yang diterima oleh petani dan daya saing kedelai. Oleh karena itu, analisis sensitivitas diperlukan dengan tujuan untuk melihat seberapa besar persentase perubahan terhadap indikator-indikator daya saing yang secara signifikan berpengaruh terhadap keunggulan komparatif dan kompetitif sistem usahatani kedelai. Kerangka Pemikiran Operasional Alur operasional penelitian ini mencakup analisis keuntungan finansial, analisis ekonomi dan analisis kebijakan pemerintah pada komoditas kedelai. Keuntungan finansial merupakan selisih penerimaan dan biaya total dengan dasar perhitungan harga keluaran yang diterima dan harga masukan yang dibayar petani produsen. Total biaya telah mencakup biaya sewa lahan dan sewa tenaga kerja dalam keluarga. Keuntungan secara finansial diperoleh dari selisih antara penerimaan dan biaya total dengan dasar perhitungan bujet privat (aktual) pada saat penelitian. Perhitungan bujet privat (aktual) diperoleh dengan membuat tabel input-output usahatani kedelai. Pada tabel ini berisikan harga dari input-input yang terdapat pada usahatani kedelai yang dikeluarkan oleh petani dan harga output yang diterima petani. Input yang dipakai dalam usahatani kedelai seperti pupuk, pestisida, benih, tenaga kerja, dan sebagainya dihitung untuk mendapatkan biaya produksi yang benar-benar dikeluarkan oleh petani. Kemudian untuk output usahatani kedelai yaitu OSE atau biji kedelai dihitung jumlah yang panen oleh petani dan dijual ke pedagang dengan harga yang benar-benar diterima petani untuk mendapatkan penerimaan usahatani kedelai. Tabel input dikonversi ke satuan per hektar kebutuhan lahan usahatani kedelai. Output kedelai dikonversi ke satuan per hektar lahan hasil panen kedelai. Tabel jumlah input dan output usahatani kedelai telah diperoleh, kemudian dibuat tabel harga privat (aktual) dari usahatani kedelai. Tabel harga privat berisikan harga dari setiap input produksi dan output yang berada pada tabel input-output usahatani kedelai. Harga input dan output dihitung sesuai dengan harga satuan per unit. Berdasarkan tabel jumlah input-output usahatani kedelai dan tabel harga privat (aktual) dapat diperoleh tabel bujet privat untuk usahatani kedelai. Bujet privat diperoleh dengan cara mengalikan koefisien input-output dan harga privat. Pada bujet privat akan diperoleh total jumlah biaya input dan total penerimaan dari usahatani kedelai. Selisih antara total penerimaan dan total biaya input pada kondisi harga privat (aktual) yang kemudian disebut dengan keuntungan finansial. Hasil selisih ini menunjukkan kondisi usahatani kedelai menguntungkan secara finansial atau sebaliknya. Sedangkan keuntungan ekonomi diperoleh dari selisih antara penerimaan dan biaya total berdasarkan bujet sosial usahatani kedelai. Perbedaan penghitungan antara keuntungan ekonomi dan finansial terletak pada penentuan harga input dan output usahatani. Harga input dan output pada keuntungan ekonomi dihitung dengan menggunakan harga ekonomi (sosial) nya. Penentuan harga sosial dilakukan dengan cara pendugaan (approximation), pendugaan harga
24
sosial input-output usahatani kedelai telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Harga sosial untuk barang-barang tradabel adalah harga internasional untuk barang sejenis yang merupakan ukuran social opportunity cost terbaik bagi barang-barang tersebut. Komoditas kedelai, pupuk SP-36, pestisida dan NPK merupakan barang yang diimpor, harga impor tersebut menunjukkan opportunity cost untuk menghasilkan tambahan satu unit produk untuk memenuhi permintaan dalam negeri. Sedangkan untuk pupuk urea merupakan barang yang diekspor, sehingga harga ekspor barang tersebut menunjukkan opportunity cost satu unit tambahan produksi domestik untuk diekspor. Berdasarkan tabel jumlah input-output usahatani dan harga social diperoleh bujet sosial. Sama halnya dengan keuntungan privat (aktual), pada bujet sosial akan diperoleh total jumlah penerimaan dan biaya total usahatani kedelai pada kondisi harga sosialnya. Selisih dari penerimaan sosial dan biaya sosial akan diperoleh keuntungan ekonomi dari usahatani kedelai. Nilai dari bujet privat dan bujet sosial kemudian dimasukkan kedalam matriks PAM untuk menghitung divergensi (batas terakhir PAM) sebagai selisih antara harga privat dan harga sosial. Pada matriks PAM, nilai dari bujet privat dan bujet sosial di alokasikan ke dalam komponen domestik dan asing. Pada penelitian ini, pengalokasian komponen biaya ke dalam komponen biaya asing dan domestik memakai pendekatan langsung. Hal ini didasarkan atas kenyataan bahwa untuk input yang dapat diperdagangkan (tradable input), baik barang impor maupun produksi dalam negeri jika terjadi kekurangan permintaan dapat dipenuhi dari penawaran di pasar internasional. Pendekatan langsung mengasumsikan bahwa seluruh biaya input yang dapat diperdagangkan (tradable input), baik diimpor maupun produksi domestik dinilai sebagai komponen biaya asing. Pada matriks PAM akan diperoleh nilai bujet privat dan bujet sosial yang telah dialokasikan kedalam komponen biaya domestik dan asing, penerimaan privat dan sosial, keuntungan privat dan sosial serta efek divergensi. Berdasarkan matriks PAM tersebut dapat di ukur indikator status daya saing kedelai secara kompetitif dan komparatif disamping indikator-indikator dampak kebijakan lainnya. Indikator daya saing secara kompetitif diperoleh dengan menghitung rasio antara biaya input domestik privat (aktual) dengan selisih antara penerimaan dengan biaya input tradable. Hasil penghitungan tersebut akan diperoleh koefisien rasio biaya privat (aktual) atau disebut dengan Privat Cost Ratio (PCR). Rasio biaya privat merupakan indikator yang menunjukkan kemampuan sistem usahatani untuk membayar biaya domestik dan tetap kompetitif. Suatu kegiatan usahatani dikatakan bersifat kompetitif jika nilai PCR<1 pada kondisi terdapat intervensi pemerintah. Artinya untuk menghasilkan nilai tambah pada harga privat diperlukan tambahan satu-satuan biaya domestik yang lebih kecil. Begitupun sebaliknya, apabila nilai koefisien PCR>1 pada kondisi terdapat intervensi pemerintah. Artinya untuk menghasilkan nilai tambah pada harga privat diperlukan tambahan satu-satuan biaya domestik yang lebih besar, sehingga dapat dikatakan tidak efisien atau tidak memiliki keunggulan kompetitif. Indikator daya saing secara komparatif diperoleh dengan cara menghitung ratio antara biaya input domestik sosial dengan selisih antara penerimaan dengan biaya input tradable sosial. Pada penghitungan tersebut akan diperoleh Domestic Resource Cost Ratio (DRCR) atau biaya sumberdaya domestik. DRCR atau biaya sumberdaya domestik menunjukkan jumlah sumberdaya domestik yang dapat dihemat untuk menghasilkan satu unit devisa. Kegiatan suatu usahatani dikatakan
25
efisien pada kondisi tanpa ada kebijakan pemerintah atau dikatakan mempunyai keunggulan komparatif, jika nilai DRCR <1 semakin kecil nilainya berarti kegiatan usahatani semakin efisien dan memiliki keunggulan komparatif yang tinggi. Artinya untuk menghasilkan nilai tambah pada harga sosial diperlukan biaya sumberdaya domestik yang lebih kecil. Subsidi Input: Pupuk Obat-obatan
Teknologi Usahatani Kedelai (Bantuan Benih Unggul dan SLPTT) Produktivitas Kedelai
Harga Input Biaya Produksi Usahatani Kedelai Domestik
Penentuan HPP Kedelai
Produksi Kedelai Domestik Harga Kedelai Domestik
Pengurangan Tarif Impor Harga Kedelai Impor
Analisis Sensitivitas
Analisis Daya saing & Dampak Kebijakan Pemerintah 1. Keunggulan Komparatif - Keuntungan Sosial - Rasio Sumber Daya Domestik (DRC) 2. Keunggulan Kompetitif - Keuntungan Privat - Rasio Biaya Privat (PCR) 3. Dampak Kebijakan - Kebijakan Input (IT, NPCI,TF) - Kebijakan Output (TO, NPCO) - Kebijakan Input Output (EPC, NT, PC, SRP)
Permintaan Kedelai
Implikasi Kebijakan
Gambar 4 Kerangka pemikiran operasional Keterangan Gambar : : Alur Kerangka Pemikiran (Hubungan Kausalitas) : Variabel yang dilakukan Analisis Sensitivitas
26
Untuk melihat dampak dari suatu kebijakan adalah dengan menganalisis perbedaan antara harga input dan output sebelum adanya kebijakan baik input domestik maupun asing (tradable) dengan output (penerimaan) secara finansial dan ekonomi. Analisis PAM digunakan untuk menganalisis penerapan kebijakan harga input-output. Kebijakan harga input dianalisis berdasarkan nilai transfer (input transfer atau TI), koefisien proteksi input nominal (NPCI), tingkat proteksi input nominal (NPRI) dan transfer faktor (FT). Kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah seperti subsidi pupuk, benih, pestisida, program SLPTT dan harga output ditunjukkan melalui harga input dan output setelah adanya kebijakan. Perbedaan antara harga input dan output setelah adanya kebijakan ditunjukkan melalui penerimaan secara finansial, dan harga input dan output sebelum adanya kebijakan ditunjukkan melalui penerimaan secara ekonomi. Kebijakan subsidi pada pupuk, benih dan tarif pada pestisida akan terlihat dampaknya pada hasil analisis kebijakan input seperti nilai transfer (input transfer atau TI), koefisien proteksi input nominal (NPCI), tingkat proteksi input nominal (NPRI) dan transfer faktor (FT). Kemudian kebijakan terhadap harga output kedelai melalui HPP dapat ditunjukkan melalui analisis kebijakan output seperti transfer output (OT) dan koefisien proteksi output nominal (NPCO). Dampak kebijakan input-output usahatani kedelai ditunjukkan melalui hasil analisis Effective Protection Coefficient (EPC), Probability Coefficient (PC), Transfer bersih (Net Transfer), dan Subsidy Ratio to Producers (SRP). Kemudian dampak kebijakan pemerintah dengan perbaikan teknologi budidaya melalui SL-PTT dapat dilihat dari total penerimaan usahatani kedelai pada tabel PAM. Kemudian setelah dianalisis daya saing dan kebijakan pemerintah, akan dilakukan analisis sensitivitas dengan skenario berdasarkan fenomena kebijakan pemerintah yang ada. Dari analisis sensitivitas dapat diketahui berapa persen peningkatan maupun penurunan harga input maupun output yang terjadi, agar komoditas kedelai domestik memiliki daya saing di pasar. Pada analisis sensitivitas variabel-variabel yang dimasukkan kedalam skenario yaitu fluktuasi nilai tukar mata uang, produktivitas, harga kedelai domestik, suku bunga dan gabungan dari beberapa variabel-variabel tersebut. Secara lengkap kerangka penelitian operasional penelitian daya saing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditas kedelai di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur dapat dilihat pada Gambar 4.
4 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Lamongan, Propinsi Jawa Timur. Kabupaten Lamongan dipilih dengan pertimbangan bahwa Kabupaten Lamongan merupakan daerah sentra produksi kedelai terbesar ketiga di Jawa Timur, penguasaan teknologi budidaya oleh petani sudah cukup hingga baik, dan dijumpai sistem distribusi dan pemasaran kedelai baik kedelai domestik maupun impor. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Agustus – Desember 2014.
27
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder, baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Penelitian ini menggunakan data Penelitian Unggulan Departemen Agribisnis Institut Pertanian Bogor yang berjudul “Kajian Sistem Agribisnis Kedelai di Provinsi Jawa Timur”. Jenis data primer yang utama yaitu data struktur input output usahatani, data harga input dan output usahatani, tingkat upah tenaga kerja, struktur pasar input, struktur pasar tenaga kerja, struktur pasar lahan, biaya dan marjin pemasaran kedelai, permasalahan yang dihadapi usahatani kedelai, faktor-faktor yang lain yang berpengaruh terhadap usahatani kedelai. Data primer diperoleh dari hasil wawancara langsung dengan petani, pelaku tataniaga pada berbagai tingkatan dan observasi langsung di lapang dengan instrumen penelitian berupa kuesioner. Jenis data sekunder meliputi data luas panen, produktivitas, dan produksi kedelai, data kebutuhan kedelai domestik, data volume dan nilai impor kedelai, data nilai tukar rupiah terhadap dolar, data suku bunga bank komersial dan kebijakan yang terkait dengan sistem komoditas kedelai. Data sekunder diperoleh dari sumber-sumber yang relevan seperti buku, jurnal dan data dari dinas terkait seperti Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Badan Pusat Statistik, Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Lamongan, Perpustakaan, serta bahan-bahan pustaka lainnya yaitu internet dan hasil-hasil penelitian terdahulu. Metode Penentuan Sampel dan Pengumpulan Data Pengambilan sampel untuk usahatani dipilih dengan metode simple random sampling. Petani sampel dalam penelitian ini adalah petani kedelai yang sudah panen pada tahun 2013. Lokasi penelitian dipilih secara purposive dengan pertimbangan bahwa Kabupaten Lamongan merupakan daerah sentra produksi kedelai terbesar ketiga di Jawa Timur dan produksi kedelainya cukup stabil dibandingkan dengan kabupaten lain. Setelah ditentukan lokasi penelitian di tingkat kabupaten, selanjutnya dipilih beberapa kecamatan sebagai lokasi yang lebih spesifik untuk mewakili populasi di tingkat kabupaten. Pemilihan kecamatan dilakukan dengan kriteria-kriteria tertentu, yaitu kontinuitas menanam kedelai, tingkat produksi, dan produktivitasnya tinggi. Kriteria lain dalam pemilihan lokasi penelitian di tingkat kecamatan adalah kelembagaan Gapoktan yang masih eksis dengan kinerja yang baik. Berdasarkan hal tersebut maka diperoleh tiga kecamatan yang memenuhi kriteria-kriteria tersebut. Kecamatan yang diperoleh yaitu Kecamatan Mantup, Kembangbahu, dan Tikung. Berdasarkan data ditingkat kecamatan diperoleh data Gapoktan di tiap kecamatan, kemudian dari data tersebut diambil sampel disesuaikan dengan proporsi banyaknya anggota dalam setiap Gapoktan. Gapoktan yang mempunyai anggota lebih banyak, maka sampel yang diperoleh dari Gapoktan tersebut akan lebih banyak dibandingkan dengan anggotanya lebih sedikit. Sampel petani diperoleh dari data anggota Gapoktan dengan jumlah proporsional sesuai dengan banyaknya anggota kelompok Gapoktan yang mengusahakan tanaman kedelai. Pengambilan sampel ditingkat Gapoktan dilakukan secara acak (random sampling). Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 120 responden. Jumlah sampel tersebut kemudian dibagi ke tiga kecamatan terpilih sesuai dengan data
28
petani yang ada di Gapoktan di tiap kecamatan. Pada Kecamatan Mantup terdapat tiga Gapoktan yang memiliki kinerja Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKMA) yang baik dan produksi kedelainya tinggi. Kemudian dari tiga Gapoktan tersebut diambil sebanyak 51 responden dari total 126 petani. Kemudian di Kecamatan Tikung terdapat tiga LKMA yang kinerjanya baik dan produksinya juga cukup tinggi, lalu diambil sebanyak 50 responden dari total 103 petani. Terakhir di Kecamatan Kembangbahu terdapat satu LKMA yang kinerjanya baik, maka diambil sebanyak 19 responden dari total 43 petani. Penyebaran responden penelitian ditujukan agar mendapatkan gambaran umum daya saing kedelai di Kabupaten Lamongan melalui sampel yang ada di tiga kecamatan terbaik tersebut. Untuk penentuan responden pelaku tataniaga, pedagang input pertanian, stakeholder, pakar ahli di bidang kedelai terkait penelitian ditentukan dengan menggunakan metode snowbowling, yaitu dengan mengikuti aliran komoditas kedelai dari tingkat petani ke pelaku tataniaga pada berbagai tingkatan hingga ke pedagang besar dan purposive. Jumlah responden yang diambil proporsional terhadap jumlah pelaku pada setiap simpul pemasaran. Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan metode wawancara dengan instrumen penelitian berupa kuesioner terstruktur. Wawancara dilakukan dengan responden petani sampel, pelaku tataniaga, serta narasumber yang ahli ataupun telah berpengalaman dalam komoditas kedelai. Metode Analisis Data Adanya kebijakan pemerintah dalam menjaga stabilitas dan ketahanan pangan pada komoditas kedelai menjadikan alasan penelitian ini dilakukan. Intervensi pemerintah melalui kebijakan input, output maupun keduanya, maka alat analisis yang digunakan adalah Policy Analysis Matrix (PAM). PAM menganalisis kebijakan pemerintah dengan menggunakan tiga isu utama, yaitu isu sentral pertama mengenai analisis kebijakan pertanian adalah berkaitan dengan daya saing suatu sistem usahatani pada tingkat harga dan teknologi yang ada. Isu kedua yang terkait dengan isu sentral kebijakan pertanian adalah dampak investasi publik, dalam bentuk pembangunan infrastruktur baru, terhadap tingkat efisiensi sistem usahatani (isu kedua ini tidak tercakup dalam penelitian ini). Efisiensi diukur dengan tingkat keuntungan sosial (social profitability). Perbedaan keuntungan sosial sebelum dan sesudah adanya investasi publik menunjukkan peningkatan keuntungan sosial. Isu sentral ketiga yang terkait dengan kebijakan pertanian adalah berkaitan erat dengan isu kedua, yaitu dampak investasi baru dalam bentuk riset atau teknologi pertanian terhadap tingkat efisiensi sistem usahatani. Berdasarkan isu pertama dalam PAM mengenai analisis kebijakan pemerintah pada komoditas kedelai, maka akan dianalisis tingkat efisiensi usahatani pada kondisi harga dan teknologi yang ada. Tingkat efisiensi privat ini diukur dengan tingkat keuntungan finansial. Melalui tingkat keuntungan finansial dapat terlihat efisiensi usahatani kedelai pada kondisi harga dan teknologi yang ada. Pengaruh teknologi aktual terhadap produktivitas dalam PAM ditunjukkan dalam sel matriks penerimaan. Intervensi pemerintah terhadap kedelai domestik melalui perbaikan teknologi ditunjukkan pada sel penerimaan. Sementara itu, kebijakan input ditunjukkan pada sel input yang diperdagangkan (tradable input),
29
kebijakan output ditunjukkan pada sel penerimaan, sedangkan kebijakan input dan output secara simultan ditunjukkan pada sel keuntungan (profitabilitas). Efisiensi diukur dengan tingkat keuntungan ekonomi. Pada isu ketiga ini, tingkat efisiensi usahatani kedelai dianalisis pada kondisi harga sosialnya. Sama halnya pada isu pertama, pada isu ketiga ini hubungan antara kebijakan pemerintah dalam investasi teknologi ditunjukkan melalui matriks penerimaan dan subsidi harga ditunjukkan melalui biaya input tradabel. Dampak kebijakan pada sisi input dapat dilihat dengan menghitung selisih dan atau membandingkan antara input yang diperdagangkan (tradable input) pada harga ekonomi (sosial) dengan input diperdagang pada harga privat. Dampak kebijakan pada sisi output dapat dilihat dengan menghitung selisih dan atau membandingkan antara penerimaan pada harga ekonomi (sosial) dengan input yang diperdagang pada harga privat. Sementara itu, dampak kebijakan pada input-output secara simultan dapat dilihat dengan menghitung selisih dan atau membandingkan antara keuntungan pada harga ekonomi (sosial) dengan keuntungan pada harga privat. Pada penelitian ini digunakan pendekatan Analisis Matriks Kebijakan (Policy Analysis Matrix). Dengan pendekatan ini, dapat dilihat bagaimana keunggulan kompetitif (efisiensi finansial) dan keunggulan komparatif (efisiensi ekonomi) dari komoditas kedelai, serta dampak intervensi atau kebijakan pemerintah terhadap sistem komoditas kedelai. Analisis data penelitian dengan menggunakan pendekatan PAM terdiri atas beberapa tahap dalam pembuatan tabel PAM. Tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Langkah pertama adalah membuat tabel input-output usahatani dengan mengumpulkan data langsung dari lapangan melalui wawancara dengan petani. Koefisien teknis dari tabel input-output ini digunakan baik untuk melakukan analisis usahatani secara privat maupun sosial. 2. Langkah kedua adalah membuat tabel harga privat (harga aktual) untuk input dan output. Tabel harga privat ini berisikan harga untuk setiap input produksi dan output yang ada dalam tabel koefisien input. 3. Langkah ketiga adalah menghitung budjet privat (dengan mengalikan koefisien input-output dengan harga privat) dan bujet sosial (dengan mengalikan koefisien input-output dengan harga sosial) 4. Langkah keempat adalah membuat tabel harga sosial (harga efisiensi) baik untuk input maupun output. Tabel harga sosial berisikan harga dari setiap input maupun output yang tercantum pada tabel koefisien input-output. 5. Langkah kelima adalah menghitung bujet sosial. Bujet sosial untuk usahatani kedelai diperoleh dengan mengalikan koefisien input-output dengan harga sosialnya. 6. Langkah keenam adalah memasukkan nilai-nilai yang diperlukan dari bujet privat dan bujet sosial ke dalam matrik PAM untuk menghitung divergensi (baris terakhir dari PAM) sebagai selisih antara harga privat dan harga sosial. 7. Pengalokasian komponen domestik dan asing. 8. Langkah terakhir menghitung indikator PAM yang terdiri dari 13 indikator. Untuk input dan ouput yang dapat diperdagangkan secara internasional, harga sosialnya dihitung berdasarkan harga perdagangan internasional. Untuk komoditas yang diimpor dipakai harga CIF (Cost Insurance and Freight) dan
30
untuk harga sosial input non-tradable digunakan biaya imbangannya (opportunity cost). Tabel 1 Policy Analysis Matrix (PAM) Penerimaan (Revenue) Privat Sosial Efek Divergensi
A E I3
Biaya Usahatani Input Faktor Tradable Domestik B C F G J4 K5
Keuntungan D1 H2 L6
Sumber: Monke and Pearson, 1989
Keterangan: 1 Keuntungan privat 2 Keuntungan sosial 3 Transfer Output 4 Transfer Input 5 Transfer Faktor 6 Transfer Bersih
: : : : : :
D H I J K L
= = = = = =
A–B–C E–F–G A–E B–F C–G D – H atau L = I – J – K
Pengalokasian Komponen Biaya Domestik Pada penelitian ini, pengalokasian komponen biaya ke dalam komponen biaya asing dan domestik memakai pendekatan langsung. Hal ini didasarkan atas kenyataan bahwa untuk input yang dapat diperdagangkan (tradable input), baik barang impor maupun produksi dalam negeri jika terjadi kekurangan permintaan dapat dipenuhi dari penawaran di pasar internasional. Pendekatan langsung mengasumsikan bahwa seluruh biaya input yang dapat diperdagangkan (tradable input), baik diimpor maupun produksi domestik dinilai sebagai komponen biaya asing. Barang-barang yang diasumsikan 100 persen tradable goods adalah kedelai, pupuk Urea, TSP, NPK, pestisida, alat angkut, dan alat penanganan. Sedangkan input yang diasumsikan 100 persen sebagai domestic factors adalah benih kedelai, nilai sewa, lahan, tenaga kerja, pupuk kandang, pajak dan iuran air. Komposisi alokasi biaya domestik dan asing untuk kegiatan transportasi didasarkan atas hasil kajian terhadap pelaku tataniaga, dimana untuk biaya tenaga kerja dalam proses pengangkutan sebagai komponen domestik dan biaya angkut yang merepresentasikan sewa alat angkut sebagai komponen asing (tradable). Selanjutnya, biaya penanganan untuk komoditas kedelai terdiri dari biaya bahan dan tenaga kerja/buruh (domestic factor). Secara terperinci alokasi biaya komponen domestik dan asing disajikan dalam Tabel 2.
31
Tabel 2 Alokasi biaya komponen domestik dan asing pada sistem usahatani kedelai Jenis Biaya Domestik (%) Asing (%) Benih 100.00 0.00 Pupuk Urea 0.00 100.00 Pupuk SP-36 0.00 100.00 Pupuk ZA 0.00 100.00 Pupuk NPK 0.00 100.00 TSP 0.00 100.00 Pupuk kandang 100.00 0.00 ZPT 0.00 100.00 Pestisida 0.00 100.00 Herbisida 0.00 100.00 Tenaga kerja 100.00 0.00 Penyusutan Alat 0.00 100.00 Biaya modal 100.00 0.00 Sewa lahan 100.00 0.00 Pengangkutan kedelai 55.00 45.00 Penanganan kedelai 65.00 35.00
Metode Penentuan Harga Bayangan Justifikasi penentuan harga bayangan input dan output, sebagai berikut: 1. Harga kedelai impor didasarkan atas harga CIF rata-rata bulanan satu tahun (Januari 2013-Januari 2014), kemudian dikonversi dengan nilai tukar dolar terhadap rupiah rata-rata satu tahun. Tahap selanjutnya ditambah dengan biaya transport dari Pelabuhan ke pedagang besar (PB) provinsi, selanjutnya karena persaingan kedelai domestik dan impor terjadi di pedagang besar provinsi perlu dilakukan penyesuaian, yaitu dikurangi biaya transportasi ke pedagang besar kabupaten dan dari PB kabupaten ke petani, kemudian dikurangi biaya penanganan, sehingga diperoleh harga sosial kedelai. 2. Untuk benih kedelai karena pengadaannya berasal dari dalam negeri serta tidak adanya distorsi baik karena distorsi kebijakan pemerintah maupun distorsi pasar, maka penentuan harga sosialnya didekati dari harga aktualnya. 3. Berdasarkan neraca perdagangan, pupuk (kecuali Urea), NPK, dan TSP adalah net import. Oleh karena itu untuk menghitung harga sosial pupuk tersebut digunakan harga paritas CIF pada pelabuhan Indonesia dengan menambahkan beberapa biaya (transport dan penanganan) sampai di tingkat petani. Sedangkan pupuk Urea diturunkan dari harga FOB. 4. Harga sosial pestisida dan herbisida, bentuk cair maupun padat digunakan harga privat aktual pada lokasi penelitian, kemudian dikurangi tarif impor sebesar 10 persen dan pajak pertambahan nilai 10 persen. 5. Harga sosial fungisida, baik cair maupun padat didekati dengan harga rata-rata aktual pada lokasi penelitian, kemudian dikurangi tarif impor sebesar lima persen, pajak pertambahan nilai 10 persen, sehingga diperoleh harga sosial fungisida untuk setiap lokasi penelitian.
32
6. Harga sosial lahan didekati dengan nilai sewa lahan, hal ini dilandasi oleh: a) mekanisme pasar lahan di pedesaan berjalan dengan baik, dan b) sulitnya mencari opportunity cost of land. 7. Harga sosial tenaga kerja dihitung dengan menggunakan nilai upah aktual yang berlaku pada lokasi penelitian. Hal ini didasari pemikiran bahwa aksesibilitas lokasi sentra produksi kedelai umumnya memadai, sehingga mendorong berjalannya pasar tenaga kerja di pedesaan dan terintegrasinya pasar tenaga kerja, baik antar wilayah maupun antar sektor. 8. Sebagian besar petani kedelai akses terhadap pembiayaan melalui Gapoktan, maka tingkat suku bunga aktual ditentukan 1.5 persen per bulan atau 18 persen per tahun, dengan tingkat inflasi tujuh persen. Harga bayangan bunga modal dihitung dengan mengurangkan tingkat suku bunga aktual 18 persen dengan tingkat inflasi 7 persen, sehingga diperoleh harga bayangan bunga modal 11 persen atau 3.66 persen per musim tanam (empat bulan). 9. Harga bayangan nilai tukar rupiah terhadap dolar menggunakan actual exchange rate, hal ini didasarkan bahwa Indonesia mengikuti rezim nilai tukar bebas (floating exchange rate). Besarnya harga bayangan nilai tukar dihitung berdasarkan rata-rata nilai tukar dalam musim tanam dengan menggunakan data nilai tukar rupiah terhadap dolar dari Bank Indonesia. Analisis Indikator Matrik Kebijakan Analisis Keuntungan Analisis Keuntungan Privat (D) = A – B – C Keuntungan privat menunjukkan selisih antara penerimaan dengan seluruh biaya yang dikeluarkan berdasarkan harga pasar yang berlaku. Selain itu, keuntungan privat merupakan indikator daya saing dari sistem komoditas berdasarkan teknologi, nilai output, biaya input, dan transfer kebijaksanaan. Nilai keuntungan privat yang lebih besar dari nol (D>0), berarti secara finansial komoditas tersebut layak untuk diusahakan. Demikian sebaliknya, jika nilai keuntungan privat kurang dari nol (D<0), berarti secara finansial komoditas tersebut tidak menguntungkan pada kondisi adanya intervensi pemerintah. Untuk menghitung keuntungan privat kegiatan usahatani kedelai terdapat beberapa langkah. Langkah-langkah tersebut yaitu: (1) membuat tabel inputoutput fisik; (2) menentukan harga privat dari output dan faktor produksi; dan (3) membuat tabel bujet privat dengan mengalikan angka-angka (koefisien) yang ada pada tabel input-output dengan harga privat. Bujet (biaya dan pendapatan usahatani) komoditas yang digunakan dalam penelitian ini adalah bujet untuk komoditas kedelai. Data produksi dan harga digunakan untuk menghitung pendapatan usahatani kedelai di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur pada musim panen tahun 2013. Analisis Keuntungan Sosial (H) = E – F – G Keuntungan sosial menunjukkan selisih antara penerimaan dengan seluruh biaya yang dikeluarkan berdasarkan harga bayangan. Keuntungan sosial merupakan indikator keuntungan komparatif (comparative advantage) dari sistem komoditas pada kondisi tidak ada divergensi harga akibat kebijaksanaan. Apabila
33
nilai keuntungan sosial lebih besar dari nol (H>0), berarti pada kondisi pasar persaingan sempurna, kegiatan usahatani kedelai menguntungkan secara ekonomi dan layak dikembangkan. Keunggulan Kompetitif dan Keunggulan Komparatif Private Cost Ratio (PCR)/ Rasio Biaya Privat (PCR) = C/(A – B) Rasio biaya privat merupakan rasio antara biaya input domestik privat dengan selisih antara penerimaan dengan biaya input tradable privat. Rasio biaya privat merupakan indikator yang menunjukkan kemampuan sistem usahatani untuk membayar biaya domestik dan tetap kompetitif. Suatu kegiatan usahatani dikatakan bersifat kompetitif jika nilai PCR<1 pada kondisi terdapat intervensi pemerintah. Artinya untuk menghasilkan nilai tambah pada harga privat diperlukan tambahan satu-satuan biaya domestik yang lebih kecil. Domestic Resource Cost Ratio (DRCR) = G/(E – F) Domestic Resource Cost Ratio (DRCR) atau biaya sumberdaya domestik merupakan indikator keunggulan komparatif yang menunjukkan jumlah sumberdaya domestik yang dapat dihemat untuk menghasilkan satu unit devisa. Kegiatan suatu usahatani dikatakan efisien pada kondisi tanpa ada kebijakan pemerintah atau dikatakan mempunyai keunggulan komparatif, jika nilai DRCR <1 semakin kecil nilainya berarti kegiatan usahatani semakin efisien dan memiliki keunggulan komparatif yang tinggi. Artinya untuk menghasilkan nilai tambah pada harga sosial diperlukan biaya sumberdaya domestik yang lebih kecil. Distorsi Kebijakan dan Kegagalan Pasar Distorsi kebijakan muncul ketika adanya intervensi pemerintah yang menyebabkan harga pasar berbeda dengan harga efisiennya. Kebijakan distortif umumnya dilakukan untuk tujuan yang bersifat “non-efisien” (yaitu pemerataan atau ketahanan pangan). Kebijakan yang distortif akan menghambat terjadinya alokasi sumberdaya yang efisien dan dengan sendirinya akan menimbulkan divergensi. Sebagai contoh adalah tarif impor kedelai, bisa diterapkan untuk meningkatkan pendapatan petani (tujuan pemerataan) dan meningkatkan produksi kedelai dalam negeri (tujuan ketahanan pangan), namun akan menimbulkan kerugian efisiensi (efficiency losses) bila harga kedelai impor yang digantikannya ternyata lebih murah dari biaya sumberdaya domestik yang digunakan untuk memproduksi kedelai dalam negeri, sehingga akan timbul trade-offs. Pengambilan kebijakan harus memberikan bobot tertentu kepada masing-masing tujuan yang saling bertentangan tersebut, untuk menentukan apakah kebijakan tarif impor perlu diterapkan atau tidak. Kegagalan pasar (market failure), pasar dikatakan gagal apabila tidak mampu menciptakan harga yang kompetitif, yang mencerminkan social opportunity cost, yang menciptakan alokasi sumberdaya maupun produk yang efisien. Jenis kegagalan pasar yang umum ialah monopoli (penjual yang menguasai harga di pasar) atau monopsoni (pembeli menguasai harga pasar), negative externalities (biaya, di mana pihak yang menimbulkan terjadinya biaya tersebut tidak bisa dibebani biaya yang ditimbulkannya) atau positive externalities
34
(manfaat, di mana pihak yang menimbulkan manfaat tersebut tidak dapat menerima kompensasi atau imbalan atas manfaat yang ditimbulkannya) dan pasar faktor domestik yang tidak sempurna (tidak adanya lembaga yang dapat memberikan pelayanan yang kompetitif serta informasi yang lengkap). Adanya distorsi kebijakan atau kegagalan pasar akan menimbulkan divergensi (divergences). Kedua hal tersebut menyebabkan harga aktual berbeda dengan harga efisiensi atau sosialnya. Pada tabel matrik PAM di atas pada baris ketiga terdapat simbol-simbol huruf yang menggambarkan efek divergensi. Sel dengan simbol huruf I mengukur tingkat divergensi revenue atau pendapatan penerimaan (yang disebabkan oleh distorsi pada harga output), simbol J mengukur tingkat divergensi biaya input tradabel (disebabkan oleh distorsi pada harga input tradabel), simbol K mengukur divergensi biaya faktor domestik (disebabkan oleh distorsi harga faktor domestik), dan simbol L mengukur net transfer effects (mengukur dampak total dari seluruh divergensi). Efek divergensi (baris ketiga) dihitung dengan menggunakan identitas divergensi (divergences identity). Menurut aturan perhitungan tersebut, semua nilai yang ada pada baris ketiga (efek divergensi) merupakan selisih antara baris pertama (usahatani yang diukur dengan harga aktual atau harga privat) dengan baris kedua (usahatani yang diukur dengan harga sosial). Output Transfer Divergensi pada harga output menyebabkan pendapatan privat (A) berbeda dengan pendapatan sosial (E), serta terjadinya output transfer (I = (A – E)). Divergensi bisa positif ( menyebabkan timbulnya implisit subsidi atau transfer sumberdaya yang menambah keuntungan sistem usahatani) atau negatif (menyebabkan implisit pajak atau transfer sumberdaya yang mengurangi keuntungan sistem usahatani). Besaran untuk output transfer dibuat dalam satuan mata uang dalam negeri (Rupiah) per kilogram (atau per ton) komoditas utama yang dihasilkan (atau dijual), dalam penelitian ini satuan yang digunakan adalah rupiah per kilogram kedelai pada tingkat penggilingan, atau rupiah per kilogram biji kedelai di tingkat petani. Jika nilai output transfer lebih dari nol (OT>0) menunjukkan adanya transfer dari masyarakat atau pemerintah terhadap produsen, demikian juga sebaliknya. Rasio yang dibuat untuk mengukur output transfer disebut Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO). NPCO = A/E, rasio ini menunjukkan seberapa besar penerimaan pada harga domestik (harga privat) berbeda dengan penerimaan pada harga sosial. Bila NPCO lebih besar dari satu (NPCO>1), berarti harga domestik lebih tinggi dari harga impor (atau ekspor) dan berarti sistem usahatani yang sedang diteliti menerima proteksi. Bila nilai NPCO lebih kecil dari satu (NPCO<1), harga domestik lebih rendah dari harga dunia berarti harga domestik di disproteksi. Dalam situasi tidak ada policy transfer (yakni, bila I sama dengan nol), harga domestik tidak akan berbeda dengan harga dunia, dan NPCO akan sama dengan satu. Tradable Input Transfer Divergensi pada harga input tradabel menyebabkan biaya input tradabel privat (B) berbeda dengan biaya sosialnya (F), serta terjadinya transfer input tradabel (J = (B – F)). Divergensi ini bisa positif (menyebabkan suatu implisit
35
pajak atau transfer sumberdaya keluar dari sistem) atau negatif (menyebabkan implisit subsidi atau transfer sumberdaya ke dalam sistem). Pada penelitian ini misalnya adalah subsidi atas pupuk, petani hanya akan membayar sebesar (B) sebagian dari biaya yang seharusnya dibayar (F). Pemerintah harus membayar sisanya (J) sebagai subsidi pupuk. Interpretasi tradabel input transfer didasarkan pada perbandingan antara harga privat (harga aktual) dengan harga sosial (harga dunia). Rasio untuk mengukur transfer input tradabel adalah Nominal Protection Coefficient on Input (NPCI), NPCI = B/F. Rasio ini menunjukkan seberapa besar harga domestik dari input tradabel berbeda dengan harga sosialnya. Bila nilai NPCI lebih besar dari satu, biaya input domestik lebih mahal dari input pada tingkat harga dunia. Dengan kata lain, sistem seolah-olah dibebani pajak oleh kebijakan yang ada. Bila nilai NPCI lebih kecil dari satu, harga domestik lebih rendah dari harga dunia, dan sistem seolah-olah disubsidi oleh kebijakan yang ada. Apabila tidak ada transfer (yakni, bila J sama dengan nol), harga input domestik dan harga dunia tidak akan berbeda, dan NPCI akan sama dengan satu. Rasio yang kedua adalah Effective Protection Coefficient (EPC). Rasio ini membandingkan nilai tambah pada tingkat harga domestik (A – B) dengan nilai tambah pada tingkat harga dunia (E – F). EPC = (A – B)/(E – F). Tujuan dari EPC adalah menunjukkan dampak transfer gabungan yang disebabkan oleh sebuah kebijakan (policy transfer), baik transfer output tradabel maupun transfer input tradabel. EPC merupakan bentuk lain dari Effective Rate of Protection (ERP), sebuah ukuran distorsi perdagangan yang umum dipakai. ERP = (EPC – 1) x 100%. Faktor Transfer Divergensi dapat dipengaruhi harga faktor domestik (tenaga kerja terampil, tenaga kerja tidak terampil, modal, dan lahan). Divergensi pada pasar faktor domestik menyebabkan harga privat faktor domestik (C) berbeda dengan harga sosialnya (G) dan dengan sendirinya menimbulkan transfer faktor domestik (K = (C – G)). Divergensi faktor domestik dapat bernilai positif ( menyebabkan terjadinya implisit pajak atau transfer sumberdaya keluar sistem) atau negatif ( menyebabkan terjadinya implisit subsidi atau transfer sumberdaya ke dalam sistem. Divergensi di pasar faktor domestik timbul sebagai akibat kegagalan pasar maupun distorsi kebijakan. Distorsi yang terjadi di pasar tenaga kerja dan modal timbul karena adanya pajak atau subsidi (misalnya pajak tunjangan pensiun yang dibebankan kepada upah atau subsidi kredit), regulasi harga (misal, upah minimum atau tingkat bunga tertinggi), atau kebijakan ekonomi makro yang distorsif (misal, kebijakan moneter yang bersifat inflationary). Transfer Bersih (Net Transfer) Transfer bersih adalah penjumlahan dari transfer output, transfer input tradabel, dan transfer faktor domestik. Transfer bersih menunjukkan selisih antara keuntungan privat dan keuntungan sosial. Apabila sebuah kebijakan mampu menghilangkan kegagalan pasar, dan apabila seluruh kebijakan distorsif dicabut, maka divergensi akan hilang dan transfer bersih akan nol. Transfer bersih juga
36
akan bernilai nol apabila distorsi dalam harga output terhapus oleh distorsi pada harga input dengan nilai yang sama namun dengan tanda yang berbeda. Profitability Coefficient (PC) Untuk mengukur dampak dari seluruh transfer atas keuntungan privat dapat digunakan rasio yang disebut Profitability coefficient (PC). PC sama dengan rasio antara keuntungan privat dan keuntungan sosial, atau PC = D/H = (A – B – C)/(E – F – G). PC dihitung dengan menggunakan data yang sama dengan ketika menghitung transfer bersih, sehingga memungkinkan untuk membandingkan transfer bersih di antara sistem yang berbeda. Apabila nilai PC lebih besar dari satu (PC>1), berarti secara keseluruhan kebijakan pemerintah memberikan insentif kepada produsen. Sebaliknya, apabila nilai PC lebih kecil dari satu (PC<1) berarti kebijakan pemerintah mengakibatkan keuntungan yang diterima produsen lebih kecil dibandingkan tidak ada intervensi pemerintah. Subsidy Ratio to Producers (SRP) Rasio kedua yang bisa dipakai untuk mengukur seluruh dampak transfer adalah Subsidy Ratio to Producers (SRP). SRP adalah ukuran proteksi yang disetarakan dengan tarif atas output (output tarif equivalent). Rasio ini merupakan perbandingan antara transfer bersih dengan nilai output pada tingkat harga dunia, atau SRP = L/E. SRP menunjukkan sejauh mana pendapatan dari sistem meningkat atau menurun karena pengaruh transfer. Apabila nilai SRP lebih kecil dari satu (SRP<1) menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah yang berlaku selama ini menyebabkan produsen mengeluarkan biaya di atas biaya sosial yang seharusnya dikeluarkan. Sebaliknya jika nilai SRP lebih dari satu (SRP>1) menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah yang berlaku saat ini menyebabkan produsen mengeluarkan biaya dibawah biaya sosial yang seharusnya dikeluarkan. Analisis Sensitivitas Terhadap Harga dan Produktivitas Pemilihan skenario analisis sensitivitas berdasarkan kebijakan pemerintah dan kondisi ekonomi yang ada. Skenario yang dipilih yaitu perubahan harga kedelai, depresiasi nilai tukar rupiah, tarif impor kedelai, suku bunga, produktivitas dan harga pupuk subsidi. Perubahan harga output kedelai mempengaruhi daya saing kedelai domestik dengan persentase yang beragam. Peningkatan harga kedelai domestik sebesar 10 persen dan 20 persen meningkatkan efisiensi sistem usahatani kedelai (Kumenaung, 2002). Berdasarkan penelitian tersebut kenaikan harga kedelai sebesar 10 persen dan 20 persen membantu meningkatkan produktivitas kedelai, oleh karena itu pada penelitian ini digunakan skenario perubahan kenaikan harga kedelai sebesar 13 persen dan 15 persen. Skenario kenaikan harga kedelai domestik sebesar 13 persen dilakukan berdasarkan kebijakan pemerintah yang tertuang dalam Permendag No. 23 Tahun 2013, yang menyebutkan bahwa harga dasar kedelai di tingkat petani sebesar Rp. 7 500 sedangkan kondisi aktual dilapang rata-rata harga kedelai di tingkat petani sebesar Rp. 6 585.83. Harga kedelai aktual saat ini di tingkat petani memang menjadi keluhan bagi petani kedelai di lokasi penelitian. Petani menganggap harga kedelai masih sangat
37
murah dan perlu ditingkatkan agar para petani kembali bergairah untuk menanam kedelai. Harga kedelai yang diinginkan oleh petani yaitu sebesar 150 persen dari harga gabah. Akan tetapi hal tersebut masih jauh dari harapan, dikarenakan kebijakan saat ini mengenai harga dasar kedelai di tingkat petani belum berjalan dengan baik karena tidak adanya badan khusus yang secara konsisten menampung produksi kedelai petani dan membeli harga sesuai harga dasar yang telah direkomendasikan oleh pemerintah. Kebijakan pemerintah mengenai harga dasar kedelai hanya sebatas rekomendasi bagi para pedagang dan tidak terlalu mengikat, sehingga pelaksanaan aktual dilapang tidak sesuai dengan harapan yang ingin dicapai oleh rencana pemerintah. Kebijakan lain yang mempengaruhi tingkat daya saing sistem usahatani kedelai yaitu nilai tukar rupiah. Adanya perdagangan bebas antar negara dan kebijakan nilai tukar mengambang yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia membuat mekanisme nilai tukar bergantung pada kondisi pasar uang yang dinamis. Skenario perubahan nilai tukar yang dilakukan yaitu depresiasi nilai tukar mata uang Indonesia (rupiah) terhadap mata uang dollar Amerika Serikat sebesar 20 persen, 27 persen dan 39 persen. Kondisi ekonomi Indonesia yang mengalami pelambatan pertumbuhan memicu depresiasi nilai tukar terhadap dolar amerika dan belum adanya tanda-tanda penguatan perekonomian. Sehingga dilakukan skenario kondisi nilai tukar yang terus mengalami depresiasi. Kebijakan selanjutnya yang pernah dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap komoditas kedelai yaitu pengenaan tarif terhadap kedelai impor. Pengenaan tarif itu sendiri bertujuan untuk melindungi produsen kedelai domestik. Akan tetapi sejak tahun 2013 tarif yang diberlakukan untuk kedelai impor diturunkan menjadi nol persen. Sebelum diturunkannya tarif impor menjadi nol persen, tarif yang pernah diberlakukan yaitu sebesar 5 persen. Naiknya harga kedelai dunia dan kurangnya pasokan kedelai domestik membuat harga kedelai di pasar tidak terkendali, sehingga untuk menstabilkan harga kedelai pemerintah menurunkan tarif kedelai impor sebesar nol persen. Suku bunga merupakan komponen kebijakan pemerintah yang mempengaruhi biaya pengembalian petani terhadap pinjaman yang mereka ajukan. Kondisi responden di lokasi penelitian umumnya meminjam modal usahatani dari kelompok tani. Pengelolaan kredit usahatani di tingkat petani menerapkan suku bunga yang rendah, akan tetapi modal yang di miliki Gapoktan untuk menyalurkan kredit usahatani berasal dari Bank BRI. Kebijakan selanjutnya yaitu mengenai subsidi pupuk, sebelumnya pemerintah pernah membuat kebijakan mengurangi subsidi terhadap pupuk. Pada kondisi saat ini, dengan kebijakan pemerintahan yang cenderung mengurangi kebijakan subsidi terhadap masyarakat dan mengalihkannya pada sektor infrastruktur, sehingga terdapat kemungkinan adanya kebijakan dalam mengurangi subsidi pupuk. Kebijakan lain terkait dengan upaya mendorong peningkatan daya saing yaitu meningkatkan produktivitas tanaman kedelai. Skenario terhadap produktivitas dilakukan dengan cara meningkatkan produktivitas kedelai sebesar 1.6 ton/ha. Rata-rata produktivitas kedelai yang didapat oleh responden sebesar 1.4 ton/ha, skenario peningkatan produktivitas sebesar 1.6 ton/ha didasarkan pada rata-rata produktivitas tanaman kedelai yang ada di Kabupaten Lamongan dengan teknologi yang ada. Sehingga dengan kondisi riil yang ada dan potensi yang dimiliki oleh Kabupaten Lamongan dapat dilihat dampaknya terhadap daya saing komoditas kedelai.
38
Hipotesis Penelitian Berdasarkan penjelasan diatas terkait dengan tinjauan dari beberapa penelitian terdahulu di Provinsi Jawa Timur dan kebijakan pemerintah pada sektor input, output dan teknologi. Maka hipotesis terkait dengan Daya Saing dan Dampak Kebijakan Komoditas Kedelai di Kabupaten Lamongan, yaitu: 1. Usahatani kedelai di Kabupaten Lamongan menguntungkan secara finansial maupun ekonomi. 2. Komoditas kedelai berdaya saing secara kompetitif maupun komparatif. 3. Kebijakan pemerintah terkait sektor input, output dan teknologi, melindungi dan menuntungkan usahatani kedelai.
5 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Deskripsi Lokasi Penelitian Kabupaten Lamongan merupakan sentra produksi kedelai terbesar ketiga secara nasional dengan jumlah produksi sebesar 32.4 ton setelah kabupaten Banyuwangi dan Sampang (Tabel 3). Sebagai salah satu sentra produksi kedelai terbesar nasional, Kabupaten Lamongan mendapatkan perhatian dari pemerintah dalam produksi kedelai salah satunya adalah dengan masuknya Kabupaten Lamongan menjadi salah satu daerah yang mendapatkan program SLPTT. Program SLPTT dilakukan dengan tujuan agar produksi kedelai di sentra produksi menjadi lebih optimal dari sebelumnya dan memberikan contoh bagi petani bagaimana membudidayakan tanaman kedelai yang baik dan benar. Adanya SLPTT diharapkan dapat menarik petani untuk ikut membudidayakan tanaman kedelai dengan memberikan contoh terlebih dahulu, sehingga dengan adanya hal tersebut dapat meningkatkan produksi kedelai di daerah tersebut. Selain itu, adanya pesaingan lahan dengan komoditas lain yang lebih menguntungkan membuat petani kedelai mengalihkan tanaman kedelainya ke tanaman lain yang menguntungkan. Hal tersebut berdampak pada menurunnya produksi kedelai di Lamongan dalam kurun waktu tahun 2011-2012 (Tabel 3). Selain itu, dilihat dari produksi kedelai tahun 2009-2013 (Tabel 3) terlihat bahwa produksi Kabupaten Lamongan cukup stabil dibandingkan daerah-daerah sentra produksi kedelai lainnya seperti Banyuwangi dan Sampang. Oleh karena itulah, Kabupaten Lamongan dipilih sebagai lokasi penelitian ini. Penelitian ini dilakukan di tiga kecamatan yang ada di Kabupaten Lamongan yaitu Kecamatan Tikung, Kembangbahu, dan Mantup. Kriteria pemilihan lokasi ini didasarkan pada kontinuitas dalam menanam kedelai, produksi dan produktivitas kedelai yang tinggi. Diharapkan dengan memilih kriteria tersebut petani responden merupakan petani yang membudidayakan kedelai secara baik sehingga hasil yang diperoleh petani optimum dan mencerminkan kondisi usahatani kedelai di Kabupaten Lamongan. Komoditas kedelai sendiri merupakan tanaman yang dibudidayakan oleh petani setempat pada musim kedua antara bulan Februari-Mei dan mulai panen pada bulan Juni-September setelah musim tanam padi selesai. Saat yang baik
39
untuk menanam kedelai adalah pada saat akhir musim hujan, karena kondisi tanah yang masih lembab menyimpan air dan ketersediaan air yang cukup pada saat masa pertumbuhan. Oleh sebab itu, ketepatan memulai masa tanam kedelai menjadi penting, karena apabila petani telat memulai masa tanam akan mempengaruhi kualitas kedelai dan produksi yang dicapai. Pada umumnya pola tanam yang dilakukan petani dalam satu tahun yaitu padi-kedelai-padi, padikedelai-jagung dan padi-kedelai-kacang hijau. Kondisi lahan yang ditanami kedelai umumnya adalah lahan non-irigasi atau tegalan. Karena kondisi tersebut, pada saat musim tanam kedelai petani mengandalkan air hujan dan embung sebagai sumber pengairan untuk tanaman kedelai. Meskipun mengalami keterbatasan dalam hal sumberdaya air untuk pengairan tanaman kedelai, petani di Lamongan dapat menghasilkan produksi kedelai yang cukup baik dengan syarat tidak mengalami telat tanam. Kedelai dibudidayakan oleh petani dengan sistem monokultur, sehingga penghidupan petani sangat bergantung pada kegiatan bertaninya. Proses budidaya kedelai sendiri cukup mudah dan tidak membutuhkan hal yang sangat sulit dibandingkan dengan tanaman lain. Setelah musim panen padi selesai, ketika akan memulai menanam kedelai petani melakukan pengolahan tanah dan meratakannya saja tanpa perlu membuat alur seperti tanaman lain. Setelah proses pengolahan tanah selesai petani menanam benih kedelai dengan cara disebar diareal yang sudah disiapkan tersebut, setelah itu menyiramnya. Kemudian satu-dua minggu setelah sebar dilakukan penyulaman oleh petani. Pemupukan tanaman dilakukan umumnya dua kali dalam semusim, yaitu pada saat satu atau dua minggu setelah tanam dan saat lima dan enam minggu setelah tanam. Penyemprotan pestisida sendiri dilakukan umumnya satu kali pada saat tanaman berumur empat minggu, penyemprotan tambahan dilakukan petani apabila ada serangan hama dan penyakit. Penyiangan dilakukan dua kali dalam semusim dan terkadang lebih, bergantung pada sedikit dan banyaknya tanaman pengganggu yang ada di lahan pertanian. Kedelai dipanen saat tanaman berumur ± 90 hari, tanaman dibiarkan dilahan sampai daun tanaman kering dan polong penuh serta menguning. Setelah kedelai dipanen, kedelai yang masih utuh bersama dengan brangkasannya dijemur sebelum dirontokan dimesin perontok. Penjemuran kedelai sendiri masih sangat bergantung pada sinar matahari, apabila cuaca cerah maka penjemuran cukup 2-3 hari saja dan apabila cuaca hujan penjemuran bisa sampai 5-6 hari. Setelah kedelai utuh beserta brangkasan sudah cukup kering, maka setelah itu dilakukan perontokan menggunakan mesin perontok kedelai dan pada umumnya selesai dalam waktu sehari. Kemudian, setelah di dapat kedelai yang siap dijual petani membungkusnya didalam karung untuk disimpan dirumah sebelum dijual ke pedagang. Umumnya petani menjual hasil panennya ke pedagang desa, karena disana disetiap desa terdapat banyak pedagang yang siap menampung hasil panen kedelai petani. Kondisi saluran tataniaga kedelai di Kabupaten Lamongan cukup panjang dan pedagang mempunyai kekuatan yang cukup besar dalam menentukan harga. Dekatnya letak pedagang desa disekitar petani, adanya hubungan kekerabatan, adanya jabatan yang dipegang oleh pedagang tersebut dalam kehidupan sosial di masyarakat serta ketokohan yang dimiliki oleh pedagang membuat petani sungkan dan terkadang tidak ingin menjual hasil panennya ke pihak lain. Kondisi inilah
40
yang membuat petani tidak memiliki daya tawar yang cukup besar terhadap pedagang. Oleh sebab itu perlu upaya dari pemerintah untuk mengatasi hal tersebut seperti pembentukan koperasi ataupun lembaga lain yang dapat mengurangi panjangnya rantai tataniaga yang mengurangi keuntungan petani serta dapat meningkatkan posisi tawar petani.
Tabel 3 Perkembangan luas panen, produksi, dan produktivitas kedelai menurut kabupaten sentra di Jawa Timur pada tahun 2009-2013 Tahun
Jawa Timur
2009 2010 2011 2012 2013
264 779 246 894 252 815 220 815 210 500
2009 2010 2011 2012 2013
355 260 339 491 366 999 361 986 329 461
2009 2010 2011 2012 2013
13.42 13.75 14.52 16.39 15.65
Banyuwangi
Bojonegoro
Jember
Luas Panen (Hektar) 20 308 12 343 15 873 13 197 19 891 15 233 18 552 14 149 15 403 9 456 Produksi (Ton) 76 434 24 207 14 471 53 464 16 113 19 321 61 767 23 759 23 004 49 208 26 568 27 232 55 116 18 801 21 108 49 056 35 875 35 150 26 117 32 979
15.58 14.90 17.57 18.84 16.71
Produktivitas (Kw/Ha) 11.92 11.72 10.15 14.64 11.94 15.10 14.32 19.25 12.21 22.32
Lamongan
Sampang
22 023 21 881 22 493 20 253 23 725
20 696 21 198 22 229 20 625 24 552
31 772 36 377 35 530 32 409 36 953
31 947 32 119 31 031 35 951 41 166
14.43 16.62 15.80 16.00 15.58
15.44 15.15 13.96 17.43 16.77
Sumber: BPS Provinsi Jawa Timur tahun 2010-2014
Kondisi usahatani kedelai di Kabupaten Lamongan sebenarnya baru kembali menggeliat pada tahun 2012/2013. Sebelum tahun 2012, petani sempat beralih tanam dari komoditas kedelai ke komoditas lain seperti jagung dan kangkung. Di desa tempat penelitian dilakukan, petani mengalihkan pola tanam dari kedelai ke tanaman kangkung. Komoditas kangkung diusahakan oleh petani dikarenakan harganya yang lebih tinggi dibandingkan kedelai yaitu berkisar Rp. 9 000- Rp. 12 000/kg. Komoditas kangkung yang diusahakan oleh petani bukan untuk konsumsi tanaman kangkung, tetapi biji kangkung yang di usahakan oleh petani. Usahatani kangkung sempat menjadi tren di kalangan petani dikarenakan harganya yang tinggi dan adanya jaminan pasar dari perusahaan eksportir. Dalam mengusahakan kangkung petani bekerjasama dengan perusahaan swasta untuk memanfaatkan biji kangkung sebagai komoditas ekspor. Kerjasama antara petani dan perusahaan meliputi pemberian benih kangkung dari perusahaan, pendampingan dan kepastian harga yang akan diterima oleh petani pada saat panen. Pada awalnya kerjasama ini berjalan hanya untuk beberapa kelompok saja dan berjalan baik hampir selama tiga tahun. Tingginya keuntungan yang diperoleh
41
serta kepastian harga dan pasar membuat petani lain ikut menanam kangkung juga. Seperti hukum permintaan pasar, semakin banyak barang yang diproduksi untuk ditawarkan dan permintaan yang sedikit menyebabkan harga kangkung anjlok pada tahun 2012 dikisaran Rp. 4 000-5 000/kg. Banyaknya petani yang membudidayakan kangkung serta kualitas biji kangkung yang tidak baik membuat harga kangkung turun dan petani merugi karena biaya dalam mengusahakan kangkung yang tinggi serta produksinya yang sedikit dibandingkan tanaman lain seperti kedelai. Turunnya harga kangkung menjadi momentum bagi komoditas kedelai untuk menjadi komoditas alternatif sebagai tanaman sela sebelum ke musim tanam selanjutnya dan harga kedelai dipetani masih cukup tinggi berkisar Rp. 6 000-Rp. 7 000/kg. Sejak tahun 2012 komoditas kedelai menjadi tanaman yang kembali dibudidayakan oleh petani sampai dengan sekarang. Oleh karena itulah dapat dilihat pada Gambar 5, produksi kedelai di Kabupaten Lamongan mengalami tren menurun dari tahun 2008-2012 dan kembali meningkat pada tahun 2013.
Gambar 5 Laju perkembangan luas panen, produksi, dan produktivitas kedelai di Kabupaten Lamongan Sumber: BPS Kabupaten Lamongan, 2014
Berdasarkan penjelasan diawal, lokasi penelitian dilakukan di Kecamatan Tikung, Mantup, dan Kembangbahu. Kriteria pemilihan dilakukan berdasarkan tingkat produksi kedelai terbesar di Kabupaten Lamongan, Kinerja lembaga petani seperti Gapoktan dan kontinuitas dalam mengusahakan komoditas kedelai. Untuk mengetahui kondisi di ketiga kecamatan lokasi penelitian tersebut, akan dijelaskan pada sub-bab selanjutnya. Berdasarkan deskripsi dari setiap kecamatan diharapkan dapat menjelaskan alasan dipilihnya ketiga kecamatan tersebut sebagai lokasi penelitian dalam tesis ini. Deskripsi mengenai ketiga kecamatan tersebut akan dijelaskan pada sub-bab berikut ini.
42
Gambaran Umum Kecamatan Tikung Kecamatan Tikung merupakan salah satu kecamatan yang dijadikan sebagai tempat pengambilan respoden penelitian. Luas lahan yang digunakan sebagai lahan pertanian ini mencapai 70.1 persen dari seluruh luas wilayah Kecamatan Tikung. Jenis lahan pertanian di Kecamatan Tikung terdiri dari tiga jenis lahan pertanian, yaitu lahan sawah berpengairan, lahan sawah tidak berpengairan, dan lahan tegalan atau ladang. Ketiga jenis lahan pertanian tersebut, apabila dibandingkan dengan luas wilayah maka diperoleh luas lahan sawah berpengairan sebesar 30.15 persen, luas lahan sawah tidak berpengairan sebesar 39.92 dan sisanya sebesar 16.65 persen merupakan lahan tegalan atau ladang. Untuk tanaman kedelai, umumnya menggunakan lahan tegalan atau ladang dan lahan sawah tidak berpengairan.
Tabel 4 Produksi tanaman pangan di Kecamatan Tikung tahun 2013 (ton) Kacang Padi Kacang No Nama Desa Jagung Kedelai (GKG) Hijau (OSE) 1. Kelorarum 2 256.60 92.00 331.20 65.70 2. Soko 5 057.70 401.20 833.00 99.90 3. Balongwangi 4 589.50 410.60 753.50 210.40 4. Wonokromo 4 382.60 184.60 517.10 33.80 5. Takeranklating 4 767.80 226.60 407.10 28.60 6. Botoputih 2 237.20 123.90 343.60 38.60 7. Dukuhagung 4 801.90 561.30 612.70 53.60 8. Pengumbulanadi 4 262.50 283.20 481.60 24.10 9. Bakalanpule 2 849.20 148.30 273.20 29.30 10. Guminingrejo 1 669.00 42.50 184.90 5.40 11. Jotosanur 2 407.50 53.00 92.50 6.70 12. Jatirejo 3 361.40 88.50 236.00 17.40 13. Tambakrigadung 4 269.30 70.60 233.20 39.90 Jumlah 46 912.13 2 686.15 5 299.64 653.13 Sumber: Kecamatan Tikung dalam angka 2014
Komoditas kedelai merupakan tanaman pangan terbesar kedua yang diproduksi oleh petani di Kecamatan Tikung. Total produksi tanaman kedelai di Kecamatan Tikung selama tahun 2013 sebanyak 5 299.64 ton dengan Desa Soko dan Balongwangi sebagai desa penghasil kedelai terbanyak (Tabel 4). Berdasarkan hasil produksi tersebut, maka dipilih kedua desa tersebut sebagai desa contoh untuk pengambilan sampel responden. Tanaman kedelai diusahakan oleh petani setempat dikarenakan perawatannya yang tidak terlalu rumit dibandingkan dengan tanaman lain, selain itu untuk saat ini harga kedelai masih terbilang baik dengan kisaran harga di tingkat petani antara Rp. 6 500-7 000/kg. Selain harga dan proses budidaya yang mudah, faktor lain yang menjadikan tanaman kedelai sebagai pilihan untuk ditanam petani yaitu ketahanan tanaman kedelai saat ditanam pada musim kering. Tanaman kedelai masih berproduksi
43
cukup baik meskipun kondisi lahan kekurangan air dan kering dibandingkan tanaman lain. Oleh sebab itulah banyak petani di Kecamatan Tikung yang mengusahakan tanaman kedelai pada musim kering. Gambaran Umum Kecamatan Mantup Kecamatan Mantup merupakan produsen kedelai terbesar kedua setelah Kecamatan Tikung. Luas lahan pertanian di kecamatan ini mencapai 92.03 persen dari seluruh luas wilayah kecamatan. Rincian luas lahan yang digunakan sebagai lahan pertanian yaitu sebanyak 14.93 persen merupakan lahan sawah pengairan, 75.08 persen berupa lahan sawah tidak berpengairan, dan 2.02 persen adalah lading/tegal. Usahatani kedelai di Kecamatan Mantup umumnya diusahakan pada lahan sawah tidak berpengairan dan ladang/tegalan. Desa yang dijadikan contoh untuk kecamatan matup yaitu desa sumberdadi, kedungsoko, dan rumpuk. Ketiga desa ini dipilih sebagai contoh responden untuk penelitian dikarena memiliki kelompok tani dan lembaga pembiayaan usahatani yang cukup baik dibandingkan dengan desa lain. Kategori kelompok tani yang baik disini adalah memiliki pembukuan yang baik dan sudah ada struktur organisasi kelembagaan yang teratur, serta penyaluran pemberian modal usahatani kepada petani yang menjadi anggota kelompok tani. Diharapkan dengan adanya kelembagaan di tingkat petani dan di kelola oleh petani untuk permbiayaan usahatani dapat memudahkan petani dalam mengakses pembiayaan usahatani dengan menyesuaikan kondisi petani. Adanya kelembagaan dalam pembiayaan usahatani diharapkan dapat mengurangi ketergantungan terhadap rentenir dan tengkulak yang merugikan petani. Kemudahan pembiayaan di tingkat petani dengan bunga yang rendah dimungkinkan dapat meningkatkan kesejahteraan petani. Hubungan antara kelembagaan petani dan usahatani kedelai di desa contoh yaitu dari segi pembiayaan modal usahatani. Usahatani kedelai di desa contoh merupakan usahatani terbesar ketiga yang banyak diusahakan oleh petani setelah padi dan jagung. Usahatani kedelai sangat cocok diusahakan di desa contoh karena tahan terhadap musim kering dan keterbatasan air yang melanda setelah musim tanam padi. Meskipun kondisi kering dan kekurangan air, tanaman kedelai masih bisa berproduksi baik dibandingkan dengan tanaman lain sehingga menjadi pilihan petani untuk mengusahakannya. Kelembagaan yang baik, dalam hal ini pembiayaan modal usahatani melalui Gapoktan, sangat membantu petani dalam pembelian input usahatani kedelai. Bunga yang relatif rendah yaitu berkisar 1-1.5 persen perbulan, tidak adanya agunan serta kelonggaran dalam pengembalian, sangat membantu petani yang tidak memiliki modal. Kelembagaan yang baik dalam hal ini mampu mengelola dana bergulir dari pemerintah untuk pembiayaan modal usahatani, membantu petani untuk meningkatkan kualitas usahatani kedelai. Kemudahan akses modal usahatani membantu petani yang kurang mampu dalam kegiatan usahatani untuk pembelian benih unggul serta input lainnya seperti pestisida. Pemberian bunga modal yang rendah yaitu berkisar 1-1.5 persen per bulan, hal ini sejalan dengan program kebijakan pemerintah dalam upaya pemberian subsidi bunga kredit untuk modal kerja usahatani. Dikarenakan petani secara perorangan kurang memiliki akses secara luas pada lembaga pembiayaan, maka
44
dengan adanya kelembagaan seperti Gapoktan dan Kelompok tani, petani dapat mengakses lembaga keuangan dengan pembuatan Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis yang dibentuk di tingkat Gapoktan untuk membiayai anggota yang ada dibawah naungannya. Meskipun bunga kredit saat ini yang berlaku di tingkat petani masih dirasakan terlalu tinggi, akan tetapi bunga kredit masih dibawah ratarata lembaga keuangan non-bank yang berapa disekitar petani, seperti rentenir, tengkulak, dan lain-lain. Sehingga dengan adanya kelembagaan yang baik ditingkat petani diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan petani yang akhirnya dapat meningkatkan kinerja usahatani kedelai di desa contoh. Karena dengan meningkatnya kesejahteraan petani dan akses modal kerja, dapat mendorong peningkatan kinerja usahatani melalui peningkatan teknologi seperti penggunaan benih unggul dan alsintan.
Tabel 5 Produksi tanaman pangan di Kecamatan Mantup tahun 2013 (ton) Padi Kc. Kedelai No Nama Desa Jagung Kc. Hijau (GKG) (OSE) 1. Sumberdadi 1 686.00 692.00 266.00 6.30 2. Kedukbembem 1 192.00 613.00 304.00 6.30 3. Kedungsoko 2 071.00 423.00 324.00 6.30 4. Sidomulyo 1 318.00 796.00 286.00 6.30 5. Sukosari 1 654.00 606.00 324.00 6.30 6. Mojosari 1 786.00 715.00 349.00 6.30 7. Rumpuk 1 148.00 629.00 241.00 6.30 8. Pelabuhanrejo 1 803.00 794.00 330.00 6.30 9. Sumberkerep 1 537.00 653.00 298.00 6.30 10. Sumberagung 1 289.00 572.00 299.00 6.30 11. Mantup 3 423.00 2 986.00 684.00 6.30 12. Tugu 1 300.00 538.00 254.00 6.30 13. Sumberbendo 1 342.00 688.00 266.00 6.30 14. Tunggunjager 3 487.00 2 639.00 626.00 12.50 15. Sukobendu 2 864.00 2 482.00 564.00 6.30 Jumlah 27 900.00 15 826.00 5 415.00 100.00 Sumber: Kecamatan Mantup dalam angka 2014
Gambaran Umum Kecamatan Kembangbahu Kondisi lahan untuk usahatani kedelai di Kecamatan Kembangbahu, hampir sama dengan kecamatan contoh lain yang dijadikan lokasi penelitian yaitu lahan tegalan. Produksi kedelai di Kecamatan Kembangbahu merupakan terbesar ketiga setelah tanaman padi dan jagung. Desa contoh yang dijadikan sebagai pengambilan sampel responden penelitian yaitu Desa Puter. Desa puter dipilih sebagai lokasi contoh dikarena merupakan salah satu produsen kedelai terbesar di Kecamatan Kembangbahu dengan produksi sebesar 724.50 ton/tahun (Tabel 6) dan memiliki kelembagaan gapoktan yang cukup baik. Kondisi di Kecamatan Kembangbahu terdapat banyak pedagang kedelai tingkat kecamatan dan kabupaten. Petani kedelai di Kecamatan Kembangbahu
45
sebagian besar langsung menjual hasil panen ke pedagang kecamatan. Banyaknya pedagang disekitar petani membuat petani kedelai di Kecamatan Kembangbahu memiliki banyak pilihan dari segi harga untuk menjual hasil panennya. Petani dapat memilih penjual yang menawarkan harga yang lebih baik dibandingkan pedagang lain. Pada desa contoh penelitian memiliki kelembagaan Gapoktan yang cukup baik. Kelembagaan pembiayaan petani atau Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis di desa puter sudah memiliki legalitas formal dan telah berjalan dengan baik dalam penyaluran pembiayaan modal kerja usahatani dari tahun 2010. Pada tahun 2012 lembaga penyaluran pembiayaan petani resmi memiliki legalitas formal menjadi Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKMA). Adanya LKMA di desa puter sangat membantu petani dalam mengakses modal kerja usahatani, sehingga mengurangi permasalahan pembiayaan modal kerja. Dengan bunga rendah, proses mudah, tanpa agunan dan kelonggaran dalam proses pengembalian sangat membantu usahatani kedelai dan tanaman lainnya. Adanya kelembagaan yang baik ditingkat petani diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan petani yang akhirnya dapat meningkatkan kinerja usahatani kedelai di desa contoh. Karena dengan meningkatnya kesejahteraan petani dan akses modal kerja, dapat mendorong peningkatan kinerja usahatani melalui peningkatan teknologi seperti penggunaan benih unggul dan alsintan.
Tabel 6 Produksi tanaman pangan di Kecamatan Kembangbahu tahun 2013 (ton) Kc. Padi No Nama Desa Jagung Kedelai Kc. Hijau (GKG) (OSE) 1. Moronyamplung 1 940.24 2 016.27 469.16 22.50 2. Dumpiagung 2 200.77 1 925.84 524.48 27.72 3. Katemas 1 993.75 1 424.96 453.00 21.60 4. Gintungan 2 031.82 1 791.54 544.64 19.62 5. Pelang 2 297.60 1 997.86 693.00 36.60 6. Puter 2 153.43 1 881.60 724.50 36.68 7. Maor 1 116.87 838.04 353.13 44.64 8. Randubener 1 610.36 911.07 451.50 38.10 9. Kaliwates 1 777.23 977.12 369.52 41.25 10. Tlogoagung 3 046.68 1 171.62 406.50 20.16 11. Kedungmegarih 3 173.58 22.90 12. Kembangbahu 2 515.50 575.84 128.76 7.21 13. Lopang 6 499.44 2 015.65 746.49 30.78 14. Mangkujajar 2 788.57 29.58 17.76 5.30 15. Kedungsari 2 875.32 33.18 16. Doyomulyo 4 504.50 373.03 14.80 6.35 17. Sidomukti 2 926.99 20.84 7.44 18. Sukosongo 2 984.21 16.02 Jumlah 48 437.00 18 022.96 5 897.24 365.95 Sumber: Kecamatan Kembangbahu dalam angka 2014
46
Karakteristik Responden Penelitian Responden dalam penelitian ini merupakan petani kedelai dari tiga kecamatan, yaitu: Kecamatan Tikung, Mantup, dan Kembangbahu, Kabupaten Lamongan yang telah panen kedelai pada musim tanam 2013. Karakteristik responden petani meliputi status usahatani, umur, pendidikan, pengalaman berusahatani, luas lahan dan status kepemilikan lahan. Karakteristik petani tersebut perlu dijelaskan, karena hal tersebut mempengaruhi kinerja pelaksanaan kegiatan usahatani kedelai dan produktivitas yang dicapai petani. Status Usahatani Kedelai Status usahatani kedelai dikategorikan menjadi dua yaitu usahatani kedelai sebagai pekerjaan utama dan sebagai pekerjaan sampingan. Klasifikasi ini dilakukan berdasarkan curahan waktu kerja yang dilakukan oleh petani dalam berusahatani kedelai. Jika curahan waktu yang dilakukan oleh petani dalam berusahatani kedelai lebih banyak, maka petani tersebut diklasifikasikan sebagai usaha utama. Status usahatani kedelai petani dilokasi penelitian dapat dilihat di Tabel 7.
Tabel 7 Status usahatani kedelai terhadap sumber mata pencaharaian rumah tangga petani , tahun 2013 Kec. Kec. Tikung Kec. Mantup Kembangbahu Status Usahatani Kedelai Jumlah Jumlah Jumlah (%) (%) (%) (Orang) (Orang) (Orang) Utama 26 52.00 28 54.90 5 26.30 Sampingan 24 48.00 23 45.10 14 73.70 Jumlah 50 100.00 51 100.00 19 100.00
Dari 50 responden petani kedelai di Kecamatan Tikung, 26 responden (52 persen) menyatakan bahwa usatani kedelai adalah pekerjaan utama. Sementara 24 responden lainnya (48 persen) menyatakan bahwa usahatani kedelai merupakan usaha sampingan. Kegiatan usaha sampingan yang dilakukan oleh petani di Kecamatan Tikung diantaranya yaitu berdagang, menjadi buruh lepas dan berternak. Hal yang sama terjadi pula pada responden usahatani kedelai di Kecamatan Mantup. Dari 51 responden petani kedelai, 28 responden (54.90 persen) menyatakan bahwa usahatani kedelai merupakan pekerjaan utama, sementara 23 responden lainnya (45.10 persen) menyatakan bahwa usahatani kedelai adalah usaha sampingan. Pekerjaan utama yang dilakukan oleh petani di Kecamatan Mantup diantaranya adalah berdagang dan buruh. Berbeda halnya dengan kondisi di Kecamatan Kembangbahu, sebagian besar petani menyatakan bahwa usahatani kedelai yang mereka usahakan sebagai pekerjaan sampingan. Sebanyak 14 responden (73.70 persen) menyatakan bahwa usahatani kedelai adalah pekerjaan sampingan, sementara 5 responden (26.30 persen) menyatakan
47
sebagai pekerjaan utama. Pekerjaan utama yang dilakukan oleh petani yaitu berdagang dan menjadi buruh lepas. Berdasarkan kondisi dari status usahatani yang dijalankan, menggambarkan bahwa dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari dari petani lebih mengandalkan usaha lain kecuali petani di Kecamatan Mantup. Dari seluruh responden atau 120 orang, sebanyak 61 orang (50.80 persen) menyatakan bahwa usahatani kedelai merupakan usaha sampingan. Sedangkan 59 orang (49.20 persen) menyatakan bahwa usahatani kedelai merupakan pekerjaan utama. Berdasarkan hal tersebut, perbandingan antara status usahatani yang dijalankan hampir berimbang, hal ini menunjukkan bahwa kegiatan usahatani kedelai masih diminati oleh masyarakat di kecamatan penelitian sebagai sumber penghasilan mereka. Adapun banyaknya responden yang menjadikan usahatani kedelai sebagai usaha sampingan menunjukkan bahwa usahatani kedelai masih belum dapat diandalkan sebagai sumber penghasilan utama petani. Berdasarkan hasil wawancara terhadap petani yang menjadikan usahatani kedelai sebagai pekerjaan utama, diperoleh informasi bahwa selain bertani, petani responden juga melakukan pekerjaan lain seperti menjadi buruh tani. Hal ini tentunya akan memberikan konsekuensi terhadap pengembangan usahatani kedelai, banyaknya petani yang menjadikan usahatani sebagai usaha sampingan dan kurang dapat diandalkannya usahatani sebagai sumber penghasilan menyebabkan petani lebih memprioritaskan terhadap pemenuhan kebutuhan rumah tangga dibandingkan untuk mengembangkan usahatani kedelai. Umur Petani Responden Salah satu komponen yang menggambarkan karakteristik responden adalah umur petani. Berdasarkan data sebaran umur responden dapat diketahui umur produktif petani dan tinggi rendahnya curahan tenaga dan waktu dari pekerja tani. Data pada Tabel 8, menunjukkan bahwa sebaran umur responden secara keseluruhan adalah 23-78 tahun. Meskipun ada beberapa responden petani kedelai yang sudah berada diatas usia produktif yaitu umur 65-78 tahun, tetapi apabila dilihat dari keseluruhan data, mayoritas petani kedelai berada pada golongan umur 23-64 tahun. Struktur umur tersebut menunjukkan sebagian besar petani berada pada umur produktif yang dapat mendukung pengembangan usahatani kedelai termasuk kedalam usia produktif yaitu 15-64 tahun. Pada Tabel 8 dapat dilihat, bahwa mayoritas sebaran umur petani responden berada pada kisaran umur 37-64 tahun. Mayoritas responden petani kedelai di Kecamatan Tikung rata-rata petani responden berumur 47 tahun, dengan umur responden tertua berumur 70 tahun dan yang termuda berumur 25 tahun. Sedangkan rata-rata responden petani kedelai di Kecamatan Mantup dan Kembangbahu berumur 50 tahun dengan usia petani responden tertua berturutturut berada pada usia 72 dan 64 tahun, petani responden termuda berumur 25 dan 35 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan tenaga kerja luar keluarga sangat diperlukan oleh petani di Kabupaten Lamongan. Umur petani yang mayoritas sudah berusia cukup lanjut, tidak mempunyai curahan tenaga dan waktu untuk mengusahakan pertaniannya sendiri. Meskipun kegiatan on-farm usahatani kedelai tidak begitu berat jika dibandingkan dengan usahatani padi, akan tetapi dalam proses pengolahan lahan hingga pengolahan hasil panen membutuhkan curahan tenaga dan waktu kerja yang relatif tinggi sehingga peran tenaga kerja
48
luar keluarga sangat penting. Hal ini yang mengindikasikan mahalnya upah tenaga kerja luar keluarga dalam kegiatan usahatani di Kabupaten Lamongan dan rendahnya daya tawar petani terhadap upah tenaga buruh tani. Kedepan untuk meningkatkan partisipasi dan semangat generasi muda, introduksi alat dan mesin pertanian sangat menentukan keberhasilan pengembangan usahatani kedelai.
Tabel 8 Karakteristik responden berdasarkan umur, tahun 2013 Selang Umur (tahun) 23-29 30-36 37-43 44-50 51-57 58-64 65-71 72-78 Jumlah Rata-rata (Th.) Maksimal (Th.) Minimal (Th.)
Kec. Tikung Jumlah (%) (Orang) 2 4.00 4 8.00 11 22.00 17 34.00 6 12.00 8 16.00 2 4.00 0 0.00 50 100.00 47 70 25
Kec. Mantup Jumlah (Orang) 1 4 8 11 18 7 1 1 51 50 72 25
(%) 1.90 7.90 15.80 21.60 35.30 13.70 1.90 1.90 100.00
Kec. Kembangbahu Jumlah (%) (Orang) 0 0.00 1 5.30 2 10.50 9 47.40 2 10.50 5 26.30 0 0.00 0 0.00 19 100.00 50 64 35
Tingkat Pendidikan Petani Responden Tingkat pendidikan responden petani kedelai berpengaruh terhadap tingkat penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kegiatan usahatani. Sebagian besar petani, memiliki tingkat pendidikan yang masih rendah yaitu SD/sederajat. Meskipun memiliki tingkat pendidikan yang rendah, petani kedelai di Lamongan dapat dikatakan petani yang berhasil karena meskipun tidak menggunakan prosedur yang dianjurkan oleh penyuluh, mereka dapat mencapai hasil yang cukup tinggi dibandingkan daerah lainnya. Pengalaman, kerja keras dan kemauan belajar menjadikan petani di Lamongan menjadi petani yang berhasil dibandingkan daerah sekitarnya. Hal ini terbukti dari produksi kedelai Kabupaten Lamongan yang menempati urutan sentra produksi kedelai terbesar nomer tiga di Jawa Timur setelah Banyuwangi dan Madura. Namun demikian, rendahnya tingkat pendidikan petani kedelai perlu dilengkapi pelatihan-pelatihan baik aspek teknis maupun manajemen. Dengan peningkatan keterampilan teknis dan kapasitas manajerial, petani dapat meningkatkan produktivitas dan pendapatannya. Sebagian besar petani responden di Kecamatan Tikung yaitu sebanyak 66 persen hanya mencapai tingkat pendidikan sekolah dasar (SD) atau sederajat dan Tidak Tamat SD. Responden yang mencapai jenjang pendidikan tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) yaitu 14 persen, Sekolah Menengah Atas (SMA) sebesar 16 persen dan yang mencapai jenjang sarjana hanya 4 persen. Petani yang memiliki pendidikan SMA dan Sarjana, umumnya selain sebagai petani mereka
49
juga bekerja sebagai pedagang pengumpul baik tingkat desa maupun kecamatan dan menjadi ketua Poktan maupun Gapoktan. Sama seperti responden di Kecamatan Tikung, tingkat pendidikan petani responden di Kecamatan Mantup dan Kembangbahu mayoritas berpendidikan sekolah dasar (SD) dan Tidak Tamat Sekolah (62.80 persen) dan (68.50 persen). Akan tetapi, jumlah petani yang memiliki tingkat pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) sebesar 23.50 persen lebih tinggi jika dibandingkan dengan Kecamatan lain seperti Tikung dan Kembangbahu. Sedangkan petani responden di Kecamatan Kembangbahu yang mencapai tingkat pendidikan SMP dan SMA sebesar 21.10 persen dan 10.40 persen. Rendahnya tingkat pendidikan petani memiliki konsekuensi terhadap rendahnya penerapan teknologi pada tingkat usahatani. Peran penyuluh pertanian sangat diperlukan dalam penyampaian penerapan teknologi pada tingkat usahatani. Peran penyuluhan yang diperlukan oleh petani dalam upaya penerapan teknologi diantaranya yaitu pendampingan, pembinaan secara berkala dan pelatihan secara terus menerus. Adanya peran tersebut diharapkan dapat membantu petani dalam meningkatkan kualitas dan produksi kedelai yang dihasilkan oleh petani.
Tabel 9 Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan, tahun 2013 Kec. Kec. Tikung Kec. Mantup Kembangbahu Tingkat Pendidikan Jumlah Jumlah Jumlah (%) (%) (%) (Orang) (Orang) (Orang) Tidak Tamat SD 16 32.00 9 17.60 4 21.10 SD (sederajat) 17 34.00 23 45.20 9 47.40 SMP (sederajat) 7 14.00 7 13.70 4 21.10 SMA (sederajat) 8 16.00 12 23.50 2 10.40 Diploma 0 0.00 0 0.00 0 0.00 Sarjana 2 4.00 0 0.00 0 0.00 Jumlah 50 100.00 51 100.00 19 100.00
Pengalaman Berusahatani Kedelai Kegiatan usahatani kedelai yang dilakukan oleh petani responden di ketiga lokasi penelitian merupakan usaha yang dilakukan secara turun temurun. Kegiatan usahatani sudah dilakukan oleh petani responden sejak mereka berumur belasan tahun. Petani responden belajar budidaya tanaman dari orang tua mereka yang juga berprofesi sebagai petani, sehingga umumnya tehnik budidaya usahatani petani responden dilakukan secara tradisional. Pemahaman yang masih tradisional ini terkadang menjadi kendala dalam mengoptimalkan usahatani yang dilakukan oleh petani responden. Diantara kebiasaan yang salah dalam kegiatan budidaya yang dilakukan oleh petani adalah tidak adanya jarak tanam dalam kegiatan usahatani kedelai. Dalam kegiatan budidaya kedelai, umumnya petani melakukan penanaman kedelai dengan cara disebar. Teknik budidaya ini memberikan keuntungan bagi petani lebih mudah dan efisien dalam kegiatan menanam, karena tidak terlalu membutuhkan banyak
50
tenaga kerja dan cepat selesai. Akan tetapi, tehnik budidaya ini memberikan kerugian bagi petani yaitu pemborosan dalam penggunaan benih dan kurang optimalnya produksi kedelai yang dihasilkan. Teknik tanam dengan cara disebar membuat benih yang digunakan oleh petani lebih banyak karena apabila menggunakan jarak tanam kebutuhan benih akan lebih terkontrol karena sudah dipastikan kebutuhannya sesuai jarak tanam yang ada. Jarak tanam juga mengatur agar tanaman kedelai tidak bersaing dalam mengambil unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman dalam perkembangan dan pertumbuhannya sehingga tanaman dapat tumbuh secara optimal. Dengan pertumbuhan yang optimal, produksi yang dihasilkan akan lebih baik dan berkualitas. Selain itu, adanya jarak tanam dapat memudahkan petani dalam kegiatan penyiangan atau pembersihan lahan dari gulma jika dibandingkan dengan tidak adanya jarak tanam. Sebaran karakteristik petani responden berdasarkan pengalama bertani dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10 Karakteristik responden berdasarkan pengalaman bertani kedelai, tahun 2013 Kec. Kec. Tikung Kec. Mantup Kembangbahu Pengalaman Bertani (tahun) Jumlah Jumlah Jumlah (%) (%) (%) (Orang) (Orang) (Orang) 1-6 5 10.00 3 5.90 0 0.00 7-12 3 6.00 2 3.90 0 0.00 13-18 1 2.00 2 3.90 3 15.80 19-24 12 24.00 8 15.70 1 5.30 25-30 15 30.00 9 17.70 3 15.80 31-36 4 8.00 7 13.70 0 0.00 37-42 6 12.00 13 25.50 9 47.40 43-48 2 4.00 4 7.80 1 5.30 49-54 2 4.00 2 3.90 2 10.40 55-60 0 0.00 1 2.00 0 0.00 Jumlah 50 100.00 51 100.00 19 100.00 Rata-rata (Th.) 26 31 35 Maksimal (Th.) 50 59 54 Minimal (Th.) 3 5 15
Pengalaman bertani kedelai petani responden sudah lama dilakukan dengan sebagian besar petani melakukan usahatani kedelai lebih dari 18 tahun. Pada Kecamatan Tikung umumnya petani memiliki pengalaman usahatani kedelai diatas 18 tahun sebanyak 41 orang (82 persen), di Kecamatan Mantup sebanyak 44 orang (86.27 persen) dan Kecamatan Kembangbahu sebanyak 16 orang (84.21 persen). Dari data karakteristik pengalaman bertani petani responden dapat dilihat bahwa kegiatan usahatani kedelai sudah dilakukan sangat lama dan petani sangat berpengalaman dalam kegiatan usahataninya. Berdasarkan hal tersebut, maka diperlukan usaha yang sangat besar apabila ingin memperbaiki cara budidaya yang dilakukan oleh petani. Sehingga adopsi teknologi yang akan di terapkan oleh
51
petani menghadapi tantangan yang cukup besar. Hanya petani-petani muda dan memiliki pendidikan yang cukup tinggi yang bersedia menerima penggunaan teknologi yang terbaru. Bagi petani yang telah berpengalaman diperlukan waktu yang lama dan upaya yang terus menerus serta pembuktian yang dapat dilihat dan dirasakan langsung oleh petani agar dapat menerima metode maupun teknologi dalam budidaya usahatani kedelai dan komoditas yang lainnya. Luas Lahan Usahatani Kedelai Luas lahan usahatani merupakan salah satu ciri penting bagi penggolongan skala usahatani yang dilakukan oleh petani. Sebagian besar petani di Indonesia termasuk kedalam petani gurem yang memiliki luas lahan kurang dari 0.25 ha dan bersifat subsisten. Berdasarkan seminar petani kecil di Jakarta pada tahun 1979 (BPLPP, 1979), definisi petani yang memiliki lahan sempit atau usahatani kecil yaitu petani yang memiliki luas lahan lebih kecil dari 0.25 hektar lahan sawah di Jawa atau 0.5 hektar di luar Jawa. Bila petani tersebut juga mempunyai lahan tegal, maka luasnya 0.5 hektar di Jawa dan 1.0 hektar di luar Jawa. Jenis lahan yang digunakan sebagai usahatani kedelai merupakan lahan tegalan dan terletak di Jawa, sehingga termasuk kategori petani kecil adalah luas 0.5 hektar. Ciri lainnya yang menonjol pada petani kecil ialah kecilnya kepemilikan dan penguasaan sumberdaya serta rendahnya pendapatan yang diterima. Gambaran distribusi luas lahan pada Tabel 11 menunjukkan bahwa sebagian besar petani menggarap lahan kecil yang luas totalnya hanya merupakan bagian kecil dari luas total usahatani. Berdasarkan ciri yang telah dijelaskan mengenai petani kecil dan data pada Tabel 11 dapat disimpulkan bahwa sebagian besar petani responden termasuk kedalam usahatani kecil. Umumnya luas lahan yang dimiliki oleh petani berkisar antara 0.1-1.0 hektar. Pada Kecamatan Tikung terdapat 17 orang petani (34 persen) yang termasuk kedalam kategori petani kecil, di Kecamatan Mantup terdapat sebanyak 22 orang (43.10 persen) petani kecil dan Kecamatan Kembangbahu sebanyak 13 orang (68.40 persen). Besarnya luas lahan sangat berpengaruh terhadap penggunaaan alsintan dan pendapatan petani. Petani yang memiliki lahan yang sempit akan sulit dalam penggunaan alsintan dalam kegiatan usahatani. Kemudian dalam hal pendapatan sangat berpengaruh, sempitnya luas lahan yang digarap oleh petani mengakibatkan rendahnya produksi yang dihasilnya dan tinggi biaya usahatani yang harus ditanggung karena usahataninya tidak efisien. Pada umumnya, petani yang memiliki lahan kecil memiliki keterbatasan dalam pemenuhan input produksi dan dalam menerapkan teknologi lebih maju dalam usahataninya. Lahannya sering tidak subur dan terpencar-pencar dalam beberapa petak. Mereka mempunyai pendidikan, pengetahuan dan kesehatan yang sangat rendah. Mereka sering terjerat hutang dan tidak terjangkau oleh lembaga kredit dan sarana produksi. Selain itu, mereka menghadapi pasar dan harga yang tidak stabil, mereka juga kalah bersaing melawan anggota masyarakat yang lebih berkuasa dalam menggunakan pelayanan pemerintah. Akibatnya adalah, kelangsungan hidup petani sering tergantung pada orang lain dan pengaruh iklim yang buruk atau harga yang rendah dapat membawa bencana kepada petani dan keluarganya.
52
Tabel 11 Karakteristik responden berdasarkan luas lahan kedelai, tahun 2013 Kec. Tikung Kec. Mantup Kec. Kembangbahu Luas lahan Jumlah Jumlah Jumlah (Hektar) (%) (%) (%) (Orang) (Orang) (Orang) 17 34.00 22 43.10 13 68.40 0.1- ≤0.5 21 42.00 21 41.20 4 21.00 0.5- ≤1.0 7 14.00 7 13.70 1 5.30 1.0- ≤1.5 3 6.00 1 2.00 1 5.30 1.5- ≤2.0 ≥2.0 2 4.00 0 0.00 0 0.00 Jumlah 50 100.00 51 100.00 19 100.00 Rata-rata (Ha) 0.73 0.50 0.42 Maksimum (Ha) 4.00 1.30 1.50 Minimum (Ha) 0.10 0.10 0.10
Status Kepemilikan Lahan Status kepemilikan lahan merupakan suatu hal yang penting dalam menentukan keputusan penggunaan input-output usahatani dan jenis komoditas yang akan di usahakan. Berdasarkan jenis kepemilikannya petani dibagi menjadi beberapa jenis (Soekartawi et al, 1986) yaitu petani pemilik penggarap, petani pembagi hasil dimana pengambilan keputusan dalam menentukan besarnya pembagian masukan dan keuntungan yang diperoleh ditentukan bersama, yaitu pemilik 60 persen dan petani pembagi hasil 40 persen (60:40), dan ketiga petani pembagi hasil dimana pengambilan keputusan terletak pada pemilik tanah.
Tabel 12 Karakteristik responden berdasarkan status kepemilikan lahan, tahun 2013 Kec. Tikung Kec. Mantup Kec. Kembangbahu Status Kepemilikan Jumlah Jumlah Jumlah Lahan (%) (%) (%) (Orang) (Orang) (Orang) Milik Sendiri 50 100.00 49 96.10 18 94.70 Sewa 0 0.00 2 3.90 1 5.30 Jumlah 50 100.00 51 100.00 19 100.00
Kondisi yang ada di ketiga kecamatan lokasi penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar status kepemilikan lahan yang dimiliki oleh petani adalah milik sendiri. Hal tersebut menunjukkan bahwa petani responden memiliki keputusan penuh terhadap penentuan input-output yang akan digunakan dalam kegiatan usahataninya dan jenis komoditas yang akan ditanam. Pada Kecamatan Tikung, seluruh petani responden yaitu sebanyak 50 orang (100 persen) menyatakan bahwa status kepemilikan lahan merupakan milik sendiri, di Kecamatan Mantup sebanyak 49 orang (96.10 persen) menyatakan bahwa status kepemilikan lahan merupakan lahan milik sendiri dan Kecamatan Kembangbahu sebanyak 18 orang (94.70 persen). Dengan status kepemilikan lahan milik sendiri petani dapat secara bebas menentukan jenis komoditas yang ditanam, tingkat
53
teknologi yang diterapkan, dan memberikan keuntungan yang tinggi bagi petani. Di sisi lain, kebebasan petani dalam menentukan jenis komoditas yang akan ditanam membuat pola tanam petani menjadi tidak memiliki kepastian. Apabila suatu komoditas tidak memberikan keuntungan bagi petani, maka petani akan menggantikannya dengan komoditas yang memberikan keuntungan yang lebih tinggi. Hal ini terlihat pada saat harga kedelai jatuh dipasaran, petani yang sebelumnya menanam kedelai beralih ke tanaman lain seperti padi, kangkung dan jagung yang memberikan keuntungan yang lebih tinggi karena harga dan produksinya lebih tinggi dibandingkan kedelai. Kondisi Pasar Kedelai di Kabupaten Lamongan Petani menghadapi struktur pasar oligopsonistik, hal itu terlihat dari banyaknya petani produsen kedelai yang menawarkan produk yang identik dan petani bertindak sebagai penerima harga dan berhadapan hanya dengan beberapa pedagang saja. Struktur pasar oligopsonistik terutama terjadi pada musim panen raya kedelai. Sementara itu pada musim bukan panen raya, petani menghadapi struktur pasar yang mendekati pasar persaingan sempurna. Saluran pemasaran petani kedelai di desa contoh terdapat tiga jenis saluran, yaitu pedagang tingkat desa, pedagang tingkat kecamatan dan pedagang tingkat kabupaten. Pedagang tingkat desa yaitu pedagang yang membeli kedelai di desa tempat pedagang tersebut berada dan desa lain yang berada dekat dengan lokasi pedagang. Pedagang tingkat desa umumnya membeli kedelai dari petani dengan kuantitas sangat bervariasi dari 50-400 kg per petani. Pedagang tingkat kecamatan yaitu, pedagang yang membeli kedelai dari setiap desa yang berada dalam satu kecamatan tempat pedagang itu berada dan kecamatan lain yang berada di dekat lokasi pedagang tersebut berada. Pada umumnya pedagang tingkat kecamatan membeli kedelai dari pedagang tingkat desa maupun petani dengan kuantitas minimal 400 kg hingga 1 ton per pedagang pengumpul desa. Sedangkan pedagang di tingkat kabupaten merupakan pedagang yang membeli kedelai dari petani dengan cakupan antar kabupaten, untuk memenuhi volume pembeliannya selain dipasok dari kabupaten tempat pedagang tersebut berada pedagang juga dapat membeli ke kabupaten lain yang ada di dekatnya seperti Kabupaten Bojonegoro, Jember, dan Mojokerto. Untuk kapasitas pembelian pedagang tingkat kabupaten umumnya minimal 8 ton atau satu truk. Kedelai yang diproduksi di Kabupaten Lamongan sendiri selain untuk memenuhi kebutuhan kedelai untuk konsumen di pasar, dipakai juga untuk memasok industri tahu yang ada diluar Kabupaten Lamongan. Untuk di Kabupaten Lamongan sendiri, industri berbahan baku kedelai seperti tahu dan tempe tidak berkembang secara baik dikarenakan faktor teknis yang tidak mendukung. Adapun pabrik tahu yang ada di Kabupaten Lamongan, umumnya berada di perbatasan dengan kabupaten lain seperti Mojokerto. Sehingga dapat dikatakan, sebagian besar produksi kedelai di Kabupaten Lamongan dijual untuk memenuhi pasokan industri tahu di luar Kabupaten Lamongan seperti Kabupaten Mojokerto dan Gresik. Adanya kecocokan lahan penanaman, tanaman yang tahan terhadap kondisi cuaca kering dan industri tahu yang membutuhkan pasokan kedelai domestik, hal inilah yang membuat usahatani kedelai dapat bertahan di
54
Kabupaten Lamongan. Akan tetapi, apabila harga kedelai jatuh dapat membuat petani mengalihkan usahatani kedelai ke tanaman lain yang lebih menguntungkan. Adanya perubahan harga dan pembangunan industri berbahan baku kedelai di Kabupaten Lamongan dapat mempengaruhi kondisi usahatani kedelai di Lamongan. Adanya rencana proyek pembuatan pabrik gula baru di Kabupaten Lamongan dapat mengancam keberlangsungan usahatani kedelai. Karena adanya pabrik gula di Lamongan, akan membutuhkan pasokan tebu dari petani sekitar, jika usahatani tebu lebih menguntungkan dibandingkan usahatani kedelai dan petani akan mengalihkan usahatani kedelainya ke usahatani tebu. Selain itu, alternatif usahatani tanaman kangkung yang sedang lesu di desa contoh dapat menjadi ancaman juga bagi usahatani kedelai. Saat ini harga kedelai masih lebih tinggi dibandingkan harga biji kangkung, sehingga petani menanam kedelai. Akan tetapi apabila harga biji kangkung kembali naik, dapat diperkirakan petani akan mengalihkan lagi tanaman kedelainya menjadi tanaman kangkung. Persaingan antara Kedelai Impor dan Domestik di Pasar Setempat Persaingan antara kedelai impor dan domestik terjadi di tingkat pedagang besar, seperti pedagang tingkat kabupaten dan provinsi. Kedelai impor digunakan sebagai bahan baku utama tempe dan campuran untuk usaha tahu. Untuk usaha industri tempe skala besar menggunakan 100 persen kedelai impor, sedangkan untuk usaha industri tahu menggunakan campuran antara kedelai impor dan domestic. Untuk usaha industri tahu, campuran kedelai impor dan kedelai domestik bervariasi, ada yang memakai takaran campuran 2 : 1 (dalam 3 kg pembuatan tahu, 2 kg kedelai impor dan 1 kg kedelai domestik), dan ada yang memakai campuran 1:2 (dalam 3 kg pembuatan tahu, 1 kg kedelai impor dan 2 kg kedelai domestik) yang sangat tergantung pasokan kedelai di pasar. Bahan baku kedelai, sebagian besar digunakan untuk industri tahu dan tempe. Pengaruh takaran terhadap kualitas tahu yang dihasilkan menurut pengusaha industri tahu setempat yaitu apabila menggunakan takaran kedelai impor lebih banyak, akan membuat tahu tahan lama sekitar 2-3 hari dan tidak cepat masam. Sehingga jenis takaran 2:1 banyak digunakan oleh pengusaha industri tahu yang menjual tahunya ke luar daerah. Sedangkan untuk pengusaha tahu yang menggunakan takaran 1:2, banyak digunakan oleh pengusaha tahu yang skala usahanya lebih kecil dan pangsa pasarnya hanya berada di sekitaran Lamongan, sehingga tidak memerlukan tahu yang tahan lama karena langsung habis terjual dalam 1-2 hari. Dalam hal harga kedelai impor dan domestik cukup bersaing dipasaran, perkembangan laju harga kedelai impor dan domestik memiliki tren yang sama (Gambar 6). Fluktuasi harga kedelai domestik selalu mengikuti flukstuasi harga kedelai impor, hal ini menunjukkan bahwa dalam hal harga, kedelai domestik memiliki daya saing yang cukup baik karena dapat mengimbangi harga kedelai impor. Berdasarkan Gambar 6, dapat dilihat bahwa fluktuasi laju perkembangan harga kedelai di pasar lamongan sempat turun tajam pada November 2012 dan naik tajam pada September 2013. Fluktuasi pada tahun 2012 disebabkan oleh tingginya impor kedelai pada tahun tersebut yang mencapai 2.13 juta ton, sehingga banyaknya kedelai impor dengan harga yang murah dipasar membuat petani kedelai domestik harus menyesuaikan harganya agar dapat tetap bersaing dengan kedelai impor. Banyaknya persediaan kedelai di pasar, membuat harga
55
menjadi turun. Pada tahun 2013, harga kedelai meningkat tajam dikarenakan naiknya harga kedelai dunia di pasar internasional. Meningkatnya harga kedelai impor dipasar dunia yang berpengaruh terhadap harga kedelai impor di pasar nasional membuat pemerintah mencabut tarif impor kedelai dari 5 persen menjadi 0 persen untuk melindungi industri tahu dan tempe nasional. Selain itu hal tersebut diperparah dengan menurunnya produksi kedelai domestik, petani produsen kedelai yang sebelumnya mengusahakan kedelai pada tahun 2012 mengalami kerugian karena anjloknya harga kedelai. Dampak dari anjloknya harga kedelai pada tahun 2012 berdampak pada produksi tahun 2013, petani sudah merasa dirugikan karena anjloknya harga kedelai mengalihkan usahatani kedelainya ke tanaman lain seperti jagung.
Gambar 6 Perkembangan harga kedelai di pasar Kabupaten Lamongan tahun 2012-2013 Sumber: Kemendag Provinsi Jawa Timur (Siskaperbapo, 2014)
Kasus di Lamongan memberikan gambaran berbeda, ketika produksi kedelai di sentra produksi menurun seperti Banyuwangi dan Bojonegoro, di Lamongan justru mengalami peningkatan (Gambar 5). Peningkatan produksi ini dikarenakan banyaknya petani yang beralih mengusahakan tanaman kedelai yang sebelumnya mengusahakan tanaman lain seperti kangkung dan jagung. Hal ini dikarenakan penurunan harga komoditas seperti biji kangkung dan jagung dibawah harga kedelai, sehingga petani kembali mengusahakan tanaman kedelainya. Kenaikan dan penurunan harga memiliki dampak yang sangat siginifikan terhadap pemilihan jenis komoditas yang akan diusahakan, hal ini juga menunjukkan petani semakin peka terhadap harga komoditas. Dapat disimpulkan bahwa kestabilan harga kedelai domestik dapat membantu pemerintah untuk meningkatkan produksi kedelai nasional dan mengurangi ketergantungan terhadap kedelai impor. Selain itu, persaingan antara kedelai impor dan kedelai domestik terjadi pada tingkat pedagang besar sampai ke industri tahu. Pengurangan ketergantungan terhadap kedelai impor bisa diatasi dengan kontinuitas pengadaan
56
pasokan bahan baku kedelai domestik untuk industri tahu dan harga yang stabil bagi petani kedelai dan pelaku industri tahu. Berdasarkan Gambar 6, memberikan beberapa gambaran pokok sebagai berikut: (1) kedelai impor dan kedelai domestik memiliki pola pergerakan harga yang relatif sama; (2) secara umum harga kedelai impor sedikit lebih rendah dibandingkan kedelai domestik; dan (3) terdapat saling pengaruh-mempengaruhi antara kedelai impor dan kedelai domestik.
6 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Input-output Usahatani Kedelai Dalam menganalisis sistem komoditas dengan menggunakan metode PAM diperlukan kompilasi data input-output usahatani. Karena PAM didasarkan pada bujet usahatani, input data untuk PAM yaitu pendapatan, biaya dan keuntungan yang diperoleh dari lapang. Data pendapatan dan biaya diperlukan untuk aktivitas pada sistem budidaya atau usahatani, pemasaran dari tingkat petani ke pengolahan, pengolahan, dan pemasaran dari tingkat pengolahan ke pedagang besar. Data bujet usahatani didasarkan pada data aktual saat penelitian ini dilakukan. Data bujet usahatani digambarkan melalui koefisien input-output usahatani kedelai pada musim kering disajikan pada Tabel 13. Data input-output usahatani kedelai merupakan kompilasi data yang diperoleh dari lapang. Data diperoleh dari hasil wawancara dengan petani responden. Data tersebut merupakan gambaran penggunaan input-input yang digunakan dan produksi yang dicapai oleh petani dalam mengusahakan usahatani kedelai pada kondisi teknologi yang ada. Jumlah input-output yang ada akan digunakan sebagai dasar dalam penghitungan analisis PAM. Produktivitas usahatani kedelai di Kabupaten Lamongan termasuk tinggi jika dilihat dari rata-rata produktivitas kedelai nasional sebesar yaitu sebesar 1.44 ton per hektar. Kondisi iklim dan lahan di Kabupaten Lamongan cocok untuk menanam kedelai, oleh karena itulah Kabupaten Lamongan menjadi salah satu daerah sentra produksi kedelai terbesar di Jawa Timur. Penggunaan pupuk urea untuk usahatani kedelai dapat dikatakan berlebihan dari dosis yang dianjurkan. Penggunaan pupuk urea per hektar sebanyak 139.19 kg per hektar, melebihi dosis anjuran seharusnya yaitu sebanyak 100 kg per hektar untuk tanaman kedelai. Kondisi ini apabila terus berlanjut dapat membuat kondisi lahan per tanaman menjadi rusak karena berkurangnya kesuburan tanah akibat terlalu banyak pupuk yang diberikan. Sedangkan untuk penggunaan pupuk SP-36 dan NPK, dosis penggunaaannya berada dibawah dosis pupuk anjuran. Penggunaan pupuk SP-36 ditingkat petani sebesar 41.03 kg per hektar dibawah dosis anjuran yaitu sebesar 200 kg per hektar. Untuk pupuk NPK penggunaan oleh petani sebanyak 188.29 kg per hektar masih dibawah dosis anjuran yaitu sebanyak 300 kg per hektar. Penggunaan pupuk yang tidak berimbang terlalu banyak salah satu unsur yang dibutuhkan tanaman dapat berdampak pada produktivitas tanaman. Selain itu penggunaan benih di tingkat petani per hektar sebesar 84.85 kg per hektar, kondisi ini melebihi anjuran penggunaan benih per hektar yaitu sebesar 40 kg per hektar.
57
Benih yang digunakan oleh petani merupakan benih hasil dari musim panen sebelumnya sehingga mutunya tidak sebaik benih unggul. Berdasarkan hal tersebut, dengan kondisi produktivitas kedelai yang ada dan perbaikan budidaya masih terdapat peluang untuk meningkatkan produksi kedelai domestik. Tenaga kerja dalam usahatani kedelai terbagi menjadi dua yaitu tenaga kerja dalam keluarga dan tenaga kerja luar keluarga. Penggunaan tenaga kerja luar keluarga umumnya digunakan pada saat proses pengolahan tanah, penyemprotan, pemeliharaan dan panen. Sedangkan untuk tenaga kerja dalam keluarga umumnya mengikuti semua tahapan dalam proses budidaya terutama pemupukan dan pemeliharaan. Tenaga kerja dibedakan berdasarkan jenis kelamin yaitu tenaga kerja wanita dan pria dikarenakan berbedanya curahan tenaga yang diberikan dan jenis pekerjaan yang dilakukan. Untuk tenaga kerja wanita umumnya digunakan pada saat musim tanam dan panen karena tenaganya yang lebih kecil dibandingkan pria. Sedangkan tenaga kerja pria umumnya digunakan pada saat proses pengolahan tanah, pemeliharaan, dan panen. Perbedaan berdasarkan tenaga yang dicurahkan dan jenis pekerjaan yang dilakukan menjadikan upah yang diberikan pun berbeda antara pria dan wanita. Upah tenaga kerja wanita lebih rendah dibandingkan upah tenaga kerja pria atau jika dikonversikan sebesar 0.70 dari upah tenaga kerja pria.
Tabel 13 Fisik input-output usahatani kedelai, tahun 2013 Input-Output Unit Input Tradabel Pupuk : a. Pupuk Kimia - Urea - SP-36 - NPK b. Pestisida Cair c. Pestisida Padat Faktor Domestik Benih Pupuk Kandang Tenaga Kerja: a. Tenaga Kerja Pria DK b. Tenaga Kerja Wanita DK c. Tenaga Kerja Pria LK d. Tenaga Kerja Wanita LK Modal Usahatani Sewa Lahan Ouput Produksi
Jumlah
kg/ha kg/ha kg/ha Liter/ha gr/ha
139.19 41.03 188.29 1.00 1.00
kg/ha kg/ha
84.85 66.00
HKP/ha HKW/ha HKP/ha HKW/ha Rp/ha Ha
kg/ha
42.00 15.00 29.00 10.00 8 162 267.15 1.00
1 442.58
58
Tabel input-output ini akan menjadi dasar dalam penghitungan analisis PAM. Berdasarkan tabel input-output ini akan dikalikan dengan harga privat dan sosial untuk mengukur keuntungan finansial dan ekonomi usahatani kedelai. Setelah mengukur keuntungan finansial dan ekonomi usahatani kedelai, selanjutnya akan dilakukan pengukuran status daya saing kedelai dengan menggunakan Tabel PAM yang didasari oleh inpu-output usahatani kedelai. Penerimaan dan Biaya Privat Usahatani Kedelai Pada penjelasan sebelumnya telah dibuat hubungan input-output fisik usahatani kedelai. Nilai-nilai yang ada dalam input-output fisik usahatani kedelai merupakan cerminan dari tingkat teknologi yang digunakan pada usahatani kedelai di Kabupaten Lamongan. Jumlah fisik input-output usahatani kedelai per hektar. Setelah pembuatan hubungan input-output fisik usahatani kedelai selanjutnya adalah membuat tabel harga privat (harga aktual) untuk setiap input yang digunakan serta output yang dihasilkan. Harga-harga yang digunakan sesuai dengan waktu penelitian dilakukan. Harga privat untuk kegiatan usahatani kedelai disajikan pada Tabel 14. Harga-harga privat setiap input yang digunakan serta output yang dihasilkan merupakan harga aktual pada saat penelitian dan hasil dari wawancara dengan petani serta informasi dari para ahli setempat. Harga privat input tradabel seperti pupuk urea sebesar Rp. 1 736.19 per kilogram, SP-36 sebesar Rp. 2 300.00 per kilogram dan NPK sebesar Rp. 2 783.74. Harga privat untuk faktor domestik seperti benih sebesar Rp. 7 032.52 input benih termasuk ke dalam faktor domestik dikarenakan untuk benih kedelai di tingkat petani tidak di perdagangkan secara internasional begitu juga dengan input pupuk kandang. Untuk input tenaga kerja dibagi menjadi tenaga kerja pria dan wanita karena curahan tenaga dan jenis pekerjaannya berbeda serta upah yang dibayarkan oleh petani berbeda antara pria dan wanita. Untuk upah tenaga kerja pria sebesar Rp. 78 032.52 per hari dengan jumlah jam kerja per hari selama delapan jam. Sedangkan untuk upah tenaga kerja wanita sebesar Rp. 62 686.80 per hari dengan jumlah jam kerja selama tujuh jam per hari. Harga kedelai di tingkat petani adalah sebesar Rp. 6 585.83 per kilogram. Selanjutnya dalam alur analisis PAM, setelah membuat tabel harga privat adalah membuat bujet privat. Pembuatan tabel bujet privat yaitu dengan mengalikan jumlah fisik yang disajikan pada input-output dengan nilai-nilai pada tabel harga privat. Tabel 14 menyajikan hasil perkalian antara jumlah fisik inputoutput dan harga privat. Berdasarkan tabel bujet privat, usahtani kedelai mendapatkan pendapatan sebesar Rp. 9 500 615.31 per hektar per musim tanam. Jika dilihat dari persentase kontribusi biaya input terhadap total biaya usahatani kedelai, dapat dilihat bahwa komponen biaya faktor domestik sangat dominan terhadap total biaya usahatani kedelai yaitu sebesar 90.05 persen. Dalam komponen biaya faktor domestik, dapat dilihat bahwa biaya tenaga kerja pria baik memiliki kontribusi yang sangat besar terhadap pengeluaran petani kedelai yaitu sebesar 30.47 persen untuk tenaga kerja pria dalam keluarga dan 20.84 persen untuk tenaga kerja luar keluarga. Sehingga dapat disimpulkan bahwa apabila terdapat perubahan upah tenaga kerja, akan sangat mempengaruhi struktur biaya usahatani kedelai. Selain itu besarnya komponen biaya faktor domestik jika dibandingkan dengan total biaya input tradabel menunjukkan bahwa
59
pengembangan usahatani kedelai domestik sangat ekstensif menyerap tenaga kerja. Tabel 14 Harga dan bujet privat usahatani kedelai di lokasi penelitian, MK 2013 Input-Output Unit Harga Privat Bujet Privat Persentase Input Tradabel Biaya Pupuk : a. Pupuk Kimia - Urea Rp/kg 1 736.19 241 651.97 2.24 - SP-36 Rp/kg 2 300.00 94 358.97 0.87 - NPK Rp/kg 2 783.74 524 153.43 4.85 b. Pestisida Cair Rp/liter 212 817.66 212 817.66 1.97 c. Pestisida Padat Rp/gr 2 384.15 2 384.15 0.02 Total Biaya Input Tradabel 1 075 366.19 9.95 Faktor Domestik Biaya Benih Rp/kg 7 032.52 596 742.42 5.52 Biaya Pupuk Rp/kg 500.00 33 001.03 0.31 Kandang Biaya Tenaga Kerja: a. Tenaga Kerja Pria Rp/HKP 78 032.52 3 292 113.81 30.47 DK b. Tenaga Kerja Rp/HKW 62 686.80 940 301.97 8.70 Wanita DK c. Tenaga Kerja Pria Rp/HKP 78 032.52 2 251 505.41 20.84 LK d. Tenaga Kerja Rp/HKW 62 686.80 626 867.98 5.80 Wanita LK Modal Usahatani % 0.06 489 736.03 4.53 Sewa Lahan Rp/ha 1 500 000.00 1 500 000.00 13.88 Total Biaya Faktor Domestik Ouput Penerimaan Rp/kg
6 585.83
9 730 268.66
90.05
9 500 615.31
-
Penerimaan dan Biaya Sosial Usahatani Kedelai Penentuan harga sosial dilakukan dengan cara pendugaan (approximation), pendugaan harga sosial input-output usahatani kedelai telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Harga sosial untuk barang-barang tradabel adalah harga internasional untuk barang sejenis yang merupakan ukuran social opportunity cost terbaik bagi barang-barang tersebut. Komoditas kedelai, pupuk SP-36, pestisida dan NPK merupakan barang yang diimpor, harga impor tersebut menunjukkan opportunity cost untuk menghasilkan tambahan satu unit produk untuk memenuhi permintaan dalam negeri. Sedangkan untuk pupuk urea merupakan barang yang diekspor, sehingga harga ekspor barang tersebut menunjukkan opportunity cost satu unit
60
tambahan produksi domestik untuk diekspor. Harga sosial untuk kegiatan usahatani kedelai disajikan pada Tabel 15. Harga sosial untuk input tradabel seperti pupuk urea diperoleh sebesar Rp. 4 744.29, SP-36 sebesar Rp. 4 214.67 dan pupuk NPK sebesar Rp. 6 764.08 per kilogram. Harga sosial ouput kedelai sebesar Rp. 7 471.40 per kilogram. Untuk nilai harga sosial input-input lain mengikuti harga aktual pada saat penelitian. Setelah diketahui nilai harga sosial, selanjutnya dibuat bujet sosial dengan mengalikan jumlah fisik input-output usahatani dengan harga-harga sosial. Harga sosial tenaga kerja dihitung dengan menggunakan nilai upah aktual yang berlaku pada lokasi penelitian. Hal ini didasari pemikiran bahwa aksesibilitas lokasi sentra produksi kedelai umumnya memadai, sehingga mendorong berjalannya pasar tenaga kerja di pedesaan dan terintegrasinya pasar tenaga kerja, baik antar wilayah maupun antar sektor. Berdasarkan hasil bujet sosial diperoleh pendapatan usahatani kedelai sebesar Rp. 10 778 112.59 per hektar per musim tanam.
Tabel 15 Harga dan bujet sosial usahatani kedelai di lokasi penelitian, MK 2013 Input-Output Unit Harga Sosial Bujet Sosial Persentase Input Tradabel Biaya Pupuk : a. Pupuk Kimia - Urea Rp/kg 4 744.29 660 334.30 5.55 - SP-36 Rp/kg 4 214.67 172 909.52 1.45 - NPK Rp/kg 6 764.08 1 273 616.59 10.71 b. Pestisida Cair Rp/liter 212 817.66 212 817.66 1.79 c. Pestisida Padat Rp/gr 2 384.15 2 384.15 0.02 Total Biaya Input Tradabel (Rp/ha) 2 322 062.22 19.53 Faktor Domestik Biaya Benih Rp/kg 7 032.52 596 742.42 5.02 Biaya Pupuk Rp/kg 500.00 33 001.03 0.28 Kandang Biaya Tenaga Kerja: a. Tenaga Kerja Rp/HKP 78 032.52 3 292 113.81 27.69 Pria DK b. Tenaga Kerja Rp/HKW 62 686.80 940 301.97 7.91 Wanita DK c. Tenaga Kerja Rp/HKP 78 032.52 2 251 505.41 18.94 Pria LK d. Tenaga Kerja Rp/HKW 62 686.80 626 867.98 5.27 Wanita LK Modal Usahatani % 0.04 326 490.69 2.75 Sewa Lahan Rp/ha 1 500 000.00 1 500 000.00 12.62 Total Biaya Faktor Domestik (Rp/ha) 9 567 023.32 Ouput Penerimaan Rp/kg 7 471.40 10 778 112.59
80.47
61
Dalam struktur bujet sosial usahatani kedelai, dapat dilihat bahwa komponen input tradabel berkontribusi sebesar 19.53 persen terhadap total biaya usahatani kedelai. Sedangkan, untuk komponen faktor domestik memiliki kontribusi sebesar 80.47 persen terhadap total biaya. Berdasarkan hal tersebut, dapat dilihat secara lebih rinci bahwa input-input yang memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap biaya usahatani kedelai secara berturut-turut yaitu pupuk NPK (10.71 persen), upah tenaga kerja pria dalam keluarga (27.69 persen), upah tenaga kerja luar keluarga (18.94 persen), dan biaya sewa lahan (12.62 persen). Besarnya biaya yang dikeluarkan oleh petani dalam membeli input-input tersebut tidak terlepas dari jumlah pemakaian dan harga input itu sendiri. Apabila petani menggunakan input lebih banyak melebihi dosis anjuran, selain merugikan bagi tanaman maka akan mempengaruhi keuntungan petani karena biaya yang dikeluarkan lebih besar dari yang seharusnya. Penggunaan input yang tepat dan efisien dapat membantu petani mengurangi biaya usahatani kedelai dan meningkatkan keuntungan petani. Keuntungan Finansial dan Ekonomi Usahatani Kedelai Keuntungan finansial merupakan selisih penerimaan dan biaya total dengan dasar perhitungan harga keluaran yang diterima dan harga masukan yang dibayar petani produsen. Total biaya telah mencakup biaya sewa lahan dan sewa tenaga kerja dalam keluarga. Keuntungan secara finansial diperoleh dari selisih antara penerimaan dan biaya total dengan dasar perhitungan bujet privat (aktual) pada saat penelitian. Sedangkan keuntungan ekonomi diperoleh dari selisih antara penerimaan dan biaya total berdasarkan bujet sosial usahatani kedelai. Hasil analisis keuntungan finansial dan ekonomi (sosial) secara terperinci dapat dilihat pada Tabel 16 . Berdasarkan analisis biaya dan keuntungan secara finansial (privat) menunjukkan bahwa usahatani kedelai di Kabupaten Lamongan tidak menguntungkan. Besarnya kerugian usahatani kedelai secara privat sebesar Rp. 1 305 019.54/ha/musim. Sementara itu, analisis biaya dan keuntungan secara sosial atau ekonomi menunjukkan bahwa pengusahaan usahatani kedelai di Kabupaten Lamongan secara ekonomi tidak menguntungkan. Besarnya kerugian usahatani kedelai secara sosial di Lamongan sebesar Rp 1 110 972.95/ha/musim. Dari Tabel 16 terlihat bahwa besarnya kerugian pada keuntungan privat usahatani kedelai di desa contoh Lamongan lebih tinggi dari keuntungan ekonominya. Hal ini merupakan indikasi bahwa harga input yang dibayar petani lebih tinggi dan atau harga output yang diterima oleh petani lebih rendah dari harga sosial. Alasan mengapa usahatani kedelai di Kabupaten Lamongan tidak menguntungkan dapat dilihat dari struktur biaya usahatani kedelai pada Tabel 14 dan 15. Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat persentase biaya setiap input terhadap biaya total usahatani kedelai. Dari hal tersebut dapat dilihat bahwa komponen faktor domestik memiliki kontribusi yang sangat besar terhadap biaya total usahatani kedelai yaitu berturut-turut sebesar 90.05 persen dan 80.47 persen. Dalam kedua bujet usahatani kedelai, baik privat maupun sosial, terdapat tiga input usahatani yang memberikan kontribusi biaya yang sangat besar yaitu upah tenaga kerja dalam keluarga, upah tenaga kerja luar keluarga dan sewa lahan. Kontribusi dari ketiga input tersebut terhadap total biaya usahatani kedelai
62
mencapai lebih dari 50 persen. Sehingga apabila terjadi perubahan terhadap kuantitas penggunaan dan harga input tersebut dapat berpengaruh besar terhadap biaya dan pendapatan usahatani kedelai. Berdasarkan data input-output usahatani kedelai (Tabel Lampiran 5) di Kabupaten Lamongan dapat dilihat bahwa upah per hari kerja pria (HKP) sebesar Rp. 78 032.52/hari dan upah per hari kerja wanita (HKW) sebesar Rp. 62 686.80. Besarnya biaya tenaga kerja di tempat penelitian dikarenakan sedikitnya sumber daya manusia yang ingin bekerja di sektor pertanian. Buruh tani yang ada di Lamongan umumnya berasal dari daerah sekitaran Lamongan sendiri, seperti Bojonegoro, Tuban dan Mojokerto. Pada umumnya tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian di Lamongan di dominasi oleh orang tua yang telah berumur 40 tahun keatas. Sumber daya manusia lainnya yang berumur produktif dan memiliki pendidikan SMA bekerja di sektor manufaktur, seperti pabrik olahan makanan, tekstil, dan lainnya. Kurangnya minat generasi muda di Lamongan dalam bertani dikarenakan kurangnya penghasilan dalam bertani jika dibandingkan dengan bekerja di sektor indutri, tingginya risiko dalam berusaha tani, dan adanya kepastian pendapatan jika bekerja di sektor industri jika dibandingkan dengan berusahatani. Buruh tani di Lamongan memiliki kekuatan daya tawar yang cukup tinggi, hal tersebut dapat dilihat dari besarnya upah yang di dapatkan oleh buruh tani. Buruh tani di Lamongan pada umumnya datang setelah musim tanam di daerahnya selesai dan kembali pada saat musim panen tiba. Berdasarkan hasil wawancara, upah yang diperoleh buruh tani di Lamongan selain dalam bentuk uang yaitu makan besar dua kali sehari, makanan ringan dan rokok untuk buruh pria. Sedangkan untuk buruh wanita sama seperti buruh pria, tetapi yang membedakan adalah besaran uang yang diterima per hari dan tidak mendapatkan rokok. Jika dibandingkan dengan UMK Kabupaten Lamongan pada tahun 2013, berdasarkan Peraturan Gubernur Jawa Timur Tahun 2012 Nomor 72 Tahun 2012 menyebutkan bahwa rekomendasi Upah Minimum Kabupaten Lamongan sebesar Rp. 1 075 700/bulan. Apabila dibagi sesuai dengan hari kerja selama 25 hari kerja dalam sebulan, maka upah per hari kerja sebesar Rp. 43 028/hari. Berdasarkan hal tersebut terlihat bahwa di Kabupaten Lamongan sangat kekurangan tenaga kerja dalam kegiatan usahatani kedelai yang menyebabkan buruh tani memiliki daya tawar yang tinggi serta upah yang tinggi juga, sehingga mengurangi keuntungan usahatani kedelai petani. Tingginya biaya upah di Lamongan merupakan suatu hal yang disebabkan oleh langkanya tenaga kerja di sektor pertanian. Sedangkan disisi lain biaya tenaga kerja sektor pertanian cukup murah, hal itu terlihat dari elastisitas permintaan tenaga kerja atas perubahan upah riil pada sektor pertanian bersifat inelastis (Mahyuddin dan M. Zain, 2010). Elastisitas permintaan tenaga kerja di sektor pertanian yang bersifat inelastis membuat proporsi perubahan upah hanya berpengaruh kecil terhadap permintaan tenaga kerja, sehingga meskipun upah naik maupun turun permintaan tenaga kerja di sektor pertanian tidak akan bertambah secara signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa petani memiliki kekuatan yang cukup besar dalam menentukan upah, dan buruh tani sebagai price taker sehingga menerima berapapun upah yang ditawarkan oleh petani pengguna tenaga kerja luar keluarga. Penggunaan biaya tenaga kerja luar keluarga yang
63
tinggi dapat menyebabkan usahatani menjadi tidak efisien sehingga mengurangi keuntungan usahatani (Tahir et al, 2010). Penjelasan dari hasil analisis yang finansial dan ekonomi diperoleh informasi bahwa usahatani kedelai atas biaya total di Kabupaten Lamongan tidak menguntungkan. Namun apabila hanya memperhitungkan keuntungan usahatani atas biaya tunai, maka usahatani kedelai di Kabupaten Lamongan masih menguntungkan. Akan tetapi karena telah ditetapkan sebagai komoditas yang strategis pemerintah tetap berupaya memproduksi kedelai dalam negeri. Upaya perbaikan teknologi budiadaya melalui program SLPTT, subsidi terhadap input, dan penerapana harga kedelai di tingkat petani pun telah dilakukan. Upaya-upaya tersebut telah dilakukan akan tetapi masih belum dapat membuat usahatani kedelai menguntungkan bagi petani. Berdasarkan hal tersebut dan melihat komoditas kedelai yang strategis, maka untuk melindungi petani kedelai domestik perlu dilakukan kebijakan proteksi agar petani mendapat insentif dari usahataninya tersebut. Proteksi diperlukan agar menjaga stabilitas harga disamping perlu diperbaikinya tataniaga yang berkeadilan pada petani kedelai.
Tabel 16 Matriks analisis PAM usahatani kedelai di lokasi penelitian, MK 2013 Biaya Keuntungan Keterangan Penerimaan Input Faktor Tradabel Domestik Privat 9 500 615.31 1 075 366.19 9 730 268.66 -1 305 019.54 Sosial 10 778 112.59 2 322 062.22 9 567 023.32 -1 110 972.95 Efek -1 277 497.28 -1 246 696.03 163 245.34 -2 415 992.49 Divergensi
Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Usahatani Kedelai Keunggulan Kompetitif Hasil analisis pada Tabel 17 menunjukkan bahwa untuk komoditas kedelai di Kabupaten Lamongan diperoleh nilai koefisien PCR sebesar 1.15. Nilai koefisien PCR untuk komoditas kedelai >1 menunjukkan bahwa pengusahaan usahatani kedelai secara privat di pedesaan contoh Kabupaten Lamongan tidak mempunyai keunggulan kompetitif. Dari hasil tersebut dapat dinyatakan bahwa, untuk menghasilkan satu-satuan nilai tambah output kedelai pada harga privat diperlukan lebih dari satu dari satu-satuan biaya sumberdaya domestik. Dapat juga dikatakan bahwa, untuk menghemat satu-satuan devisa pada harga privat diperlukan korbanan lebih besar dari satu-satuan biaya sumberdaya domestik. Kondisi usahatani yang tidak memiliki keunggulan kompetitif yang menjadi salah satu sebab mengapa usahatani kedelai tidak berkembang dilapang. Saat ini petani menanam kedelai dikarenakan harga kedelai saat ini masih lebih baik dibandingkan dengan komoditas lain yang sering ditanam oleh petani seperti jagung dan kangkung. Sehingga apabila harga komoditas seperti jagung dan kangkung yang sering di jadikan tanaman musim kedua atau musim kering harganya kembali naik, maka petani akan beralih ketanaman tersebut. Hasil penelitian ini menguatkan kembali hasil penelitian-penelitian sebelumnya
64
mengenai daya saing kedelai yang menyatakan bahwa komoditas kedelai tidak memiliki keunggulan kompetitif (Rusastra et al, 2004). Kondisi ini salah satunya dapat disebabkan oleh sistem usahatani yang digunakan di lokasi penelitian yang masih dilakukan secara tradisional. Sistem usatani kedelai jika dilakukan secara intensif dapat meningkatkan keunggulan kompetitif komoditas kedelai. Pada daerah Pasuruan Jawa Timur, usahatani kedelai memiliki keunggulan kompetitif yang tinggi karena didukung oleh sistem usahatani intensif. Sistem usahatani kedelai secara intensif memiliki nilai keunggulan kompetitif yang lebih tinggi dibandingkan dengan sistem usahatani konvensional (Mutiara et al, 2013). Penggunaan input yang tepat juga dapat membantu meningkatkan keunggulan kompetitif usahatani kedelai, artinya sistem usahatani yang efisien menjadi salah satu kunci untuk meningkatkan keunggulan kompetitif. Hal tersebut terbukti dengan tingginya keunggulan kompetitif usahatani kedelai di negara Vietnam. Penggunaan input yang tepat menjadikan petani kedelai di negara Vietnam mendapatkan keunggulan kompetitif dan keuntungan yang tinggi dalam kegiatan usahatani kedelai (Viet Khai and Yabe, 2013).
Tabel 17 Hasil analisis keuntungan finansial dan ekonomi, PCR dan DRCR usahatani kedelai (MK 2013) Parameter Nilai 1. Keuntungan Finansial (Rp/ha) -1 305 019.54 2. Keuntungan Ekonomi (Rp/ha) -1 110 972.95 3. PCR 1.15 4. DRCR 1.13
Keunggulan Komparatif Berdasarkan hasil pada Tabel 17, dapat disimpulkan bahwa usahatani kedelai di desa contoh tidak mempunyai keunggulan komparatif yang ditunjukkan oleh besaran nilai koefisien yaitu sebesar 1.13. Dari hasil analisis tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa bagi Lamongan, untuk menghasilkan satu-satuan output kedelai pada harga sosial diperlukan korbanan biaya sumberdaya domestik pada harga sosial lebih besar dari satu. Dengan kata lain, untuk menghemat satu-satuan devisa harus mengorbankan biaya imbangan sumberdaya domestik yang lebih besar. Dengan demikian untuk wilayah Kabupaten Lamongan secara ekonomi akan lebih menguntungkan mengimpor dibandingkan meningkatkan produksi domestik. Hasil ini menjadi salah satu penjelas mengapa usahatani kedelai tidak dapat berkembang, bahkan mengalami penurunan secara tajam, disisi lain volume impor terus meningkat dari waktu ke waktu. Hal ini menguatkan penelitian-penelitian terdahulu yang menunjukkan bahwa komoditas kedelai tidak memiliki keunggulan komparatif (Rosegrant et al., 1987; Simatupang, 1990; dan Rusastra, 1995). Pengusahaan usahatani kedelai di Jawa sudah mengalami kemunduran, hal itu diperlihatkan dengan tidak efisiennya usahatani kedelai di tiga provinsi di Jawa; yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Selain itu, tidak adanya terobosan teknologi baru (varietas unggul) yang mampu meningkatkan produktivitas kedelai secara nyata. Kinerja keunggulan komparatif kedelai di luar Jawa lebih baik dibandingkan dengan di
65
Jawa disebabkan oleh biaya ekonomi per unit output yang lebih rendah sekitar 45.00 persen. Adapun hal lain yang menjadikan komoditas kedelai tidak memiliki keunggulan komparatif adalah kondisi lingkungan yang tidak mendukung (Hermanto et al.,1993; Zakaria et al., 2010). Kondisi iklim di Kabupaten Lamongan cocok untuk perkembangan tanaman kedelai, akan tetapi kondisi lahan tegalan yang tidak memiliki sistem jaringan irigasi atau pengairan yang baik membuat potensi tersebut tidak termanfaatkan dengan baik. Sebagai contoh, komoditas kedelai di daerah Jember memiliki keunggulan komparatif karena didukung oleh lingkungan yang baik seperti kondisi tanah dan iklim yang sesuai serta pengairan yang dikelola dengan baik (Hermanto et al., 1993). Begitu juga dengan pengusahaan usahatani kedelai di lahan sawah irigasi dan tadah hujan, hasilnya lebih baik jika dibandingkan dengan lahan tegalan (Zakaria et al., 2010). Hasil yang lebih baik ditunjukkan dengan tingginya nilai keuntungan yang diperoleh petani di lahan sawah irigasi dan tadah hujan jika dibandingkan dengan lahan tegalan. Selain itu, nilai DRCR untuk usahatani kedelai nilainya berturutturut lebih kecil dari petani dengan lahan sawah irigasi, tadah hujan dan tegalan, artinya dengan kondisi lahan dan iklim yang sesuai serta dibantu dengan tatakelola pengairan yang baik dapat meningkatkan keunggulan komparatif komoditas kedelai, karena semakin nilai DRCR<1 berarti sistem usahatani kedelai semakin efisien dan mempunyai keunggulan komparatif yang tinggi. Kebijakan Intensif Ukuran dampak divergensi dan kebijakan pemerintah dalam Matrix PAM adalah transfer output, transfer input, transfer faktor dan transfer bersih. Ukuran relatif ditunjukkan oleh analisis koefisien proteksi output nominal atau nominal protection coefficient on output (NPCO), koefisien proteksi input nominal atau nominal protection coefficient on input (NPCI), koefisien proteksi efektif atau effectif protection coefficient (EPC). Koefisien profitabilitas atau profitability coefficient (PC) dan rasio subsidi bagi produsen atau subsidy ratio to producen (SRP). Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Input Kebijakan insentif yang terdapat pada input tradable ditunjukkan oleh nilai transfer input (IT), NPCI dan Transfer Faktor (TF). Bentuk kebijakan pada input tradable dapat berupa kebijakan perdagangan serta subsidi dan pajak, sedangkan bentuk divergensi lainnya dapat disebabkan adanya distorsi pasar. Transfer input menunjukkan selisih antara biaya input yang dapat diperdagangkan pada harga privat dengan biaya input yang dapat diperdagangkan pada harga sosial. Nilai Transfer Input yang positif menunjukkan adanya kebijakan subsidi negatif atau pajak pada unsur input tradable yang mengurangi tingkat keuntungan produsen atau dengan kata lain produsen membayar input dengan harga yang lebih tinggi dari yang seharusnya. Kerugian yang dialami oleh produsen disebabkan adanya distorsi pasar. Sedangkan, transfer input yang bernilai negatif menunjukkan adanya kebijakan subsidi pada input, karena subsidi pada harga input akan mengakibatkan biaya yang dikeluarkan untuk input pada tingkat aktual
66
atau privat lebih rendah daripada tingkat harga sosial. Hal itu menunjukkan bahwa kebijakan subsidi pada input tradable akan menguntungkan produsen domestik. Berdasarkan hasil pada Tabel 18 transfer input bernilai negatif menunjukkan adanya kebijakan subsidi pada input. Kebijakan subsidi menyebabkan biaya input yang dikeluarkan oleh petani lebih rendah daripada tingkat harga sosial. Petani kedelai di Kabupaten Lamongan membayar input produksi lebih rendah sebesar Rp. 1 246 696.03 per hektar per musim tanam dibandingkan harga sosialnya. Transfer negatif ini berasal dari biaya pupuk, dimana petani membayar pupuk dengan harga pupuk yang rendah dari seharusnya. Kebijakan ini dapat mendukung untuk pengembangan usahatani kedelai di Kabupaten Lamongan. Kebijakan subsidi pada input tradable ini membantu mengurangi kerugian yang dialami oleh petani. Berdasarkan hal tersebut menunjukkan bahwa dalam kegiatan usahatani kedelai kebijakan subsidi masih diperlukan oleh petani. Apabila kebijakan subsidi terhadap input dihapus atau dikurangi oleh pemerintah maka kerugian yang dialami oleh petani akan lebih besar. Berdasarkan hasil kajian Firdaus et al, 2011 menunjukkan bahwa kebijakan subsidi pupuk yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia lebih menguntungkan petani yang memiliki skala usahatani besar jika dibandingkan petani skala kecil. Pada usahatani kedelai, kebijakan subsidi input masih sangat diperlukan dalam upaya mendorong perkembangan usahatani kedelai. Kebijakan subsidi input terbukti mengurangi kerugian petani kedelai jika dibandingkan dengan harga sosialnya.
Tabel 18 Nilai koefisien PAM dari usahatani kedelai di lokasi penelitian, MK 2013 Parameter Koefisien Nilai 1. Output Transfer -1 277 497.28 2. Input Transfer -1 246 696.03 3. Factor Transfer 163 245.34 4. Net Transfer -2 415 992.49 5. Private Cost Ratio (PCR) 1.15 6. Domestic Resource Cost Ratio (DRCR) 1.13 7. Nominal Protection Coefficient (NPC) a. On Tradeble Outputs (NPCO) 0.88 b. On Tradeble Inputs (NPCI) 0.46 8. Effective Protection Coefficient (EPC) 1.00 9. Profitability Coeficient (PC) 1.17 10. Subsidy Ratio to Producers (SRP) -0.22
Koefisien proteksi input nominal (NPCI) sebagai indikasi transfer input yang merupakan rasio antara biaya input tradable yang dihitung berdasar harga privat dengan biaya input tradable yang dihitung pada harga sosial. Nilai NPCI menunjukkan tingkat proteksi atau distorsi yang dibebankan pemerintah pada input tradable bila dibandingkan tanpa ada kebijakan. Nilai NPCI lebih besar dari satu (NPCI>1) menunjukkan adanya kebijakan proteksi terhadap produsen input
67
tradable tersebut dan atau terdapat pajak pada input tersebut, sedangkan sektor yang menggunakan input tersebut dirugikan dengan tingginya biaya produksi yang dikeluarkan. Sedangkan jika nilai NPCI lebih kecil dari satu (NPCI<1) maka menunjukkan adanya subsidi atas input tersebut dan petani produsen diuntungkan. Transfer input untuk jenis pupuk Urea, SP-36, dan NPK petani memberikan transfer negatif dan nilai koefisien NPCI < 1, hal ini berarti bahwa ada kebijakan subsidi yang dilakukan oleh pemerintah terhadap pupuk. Untuk semua jenis pupuk yang digunakan, petani memberikan transfer negatif dan nilai koefisien NPCI < 1, artinya bahwa pemerintah memberikan transfer kepada petani untuk semua jenis pupuk melaui kebijakan subsidi pupuk. Secara umum, berdasarkan Tabel 18 nilai koefisien NPCI untuk seluruh input sistem usahatani kedelai menunjukkan nilai NPCI < 1 atau 0.46, hal ini berarti pemerintah melakukan kebijakan subsidi terhadap input pada sistem usahatani kedelai. Selain penggunaan input tradable, petani juga menggunakan input yang tidak diperdagangkan atau non tradable input yang sering disebut faktor domestik (domestic factor). Untuk mengukur transfer yang diterima oleh petani untuk membayar factor domestik dapat dilihat dengan membandingkan perbedaan harga privat dengan harga sosialnya atau disebut dengan Transfer Faktor. Nilai transfer faktor lebih besar dari nol (FT>0) mengandung arti bahwa ada transfer dari petani produsen kepada produsen domestik faktor. Nilai transfer faktor usahatani kedelai di Kabupaten Lamongan sebesar Rp. 163 245.34. Nilai ini menunjukkan bahwa harga domestik faktor yang dikeluarkan oleh petani produsen pada tingkat harga privat lebih tinggi dibandingkan dengan biaya faktor domestik yang dikeluarkan pada harga sosial. Hal ini menunjukkan bahwa adanya kebijakan pemerintah yang melindungi produsen domestik faktor, misalnya melalui subsidi bunga dan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), yang diberikan. Produsen input mendapatkan tambahan keuntungan sebesar Rp. 163 245.34 per hektar per musim tanam dari usahatani kedelai dilakukan oleh petani. Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Output Campur tangan pemerintah atau adanya kebijakan insentif dalam output dapat dilihat dari besarnya nilai transfer output (OT) dan NPCO. Bentuk campur tangan pemerintah tersebut adalah kebijakan perdagangan yang berupa tarif impor kedelai dan penetapan HPP komoditas kedelai. Transfer output merupakan selisih antara penerimaan yang dihitung atas harga privat dengan penerimaan yang dihitung berdasarkan harga sosial. Koefisien proteksi output nominal (NPCO) merupakan indikasi dari transfer output yang ditunjukkan oleh rasio antara penerimaan yang dihitung berdasar harga privat dengan penerimaan yang dihitung berdasar harga sosial. Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 18 diperoleh hasil transfer output (OT) dan NPCO untuk usahatani kedelai di Kabupaten Lamongan. Hasil analisis menunjukkan untuk usahatani kedelai nilai OT yang negatif dan nilai koefisien NPCO < 1. Besarnya nilai koefisien NPCO untuk kedelai sebesar 0.88, artinya petani kedelai menerima harga 22 persen lebih rendah dari yang seharusnya. Kondisi tersebut menjelaskan bahwa dengan adanya kebijakan atau intervensi pemerintah terhadap output kedelai lebih menguntungkan konsumen, karena konsumen membeli output kedelai dengan harga yang lebih rendah dari harga sebenarnya. Artinya, terdapat pengalihan surplus dari produsen ke konsumen.
68
Kerugian yang dialami oleh petani kedelai per hektar per musim tanam dapat dilihat dari nilai TO pada Tabel 18. Berdasarkan nilai TO tersebut kerugian yang dialami oleh petani negatif sebesar - Rp. 1 277 497.28/ha/musim. Hal ini terjadi dikarenakan harga sosial kedelai yang diterima oleh petani lebih tinggi dibandingkan dengan harga yang diterima oleh petani. Harga sosial kedelai di tingkat petani diperhitungkan berdasarkan harga kedelai impor yang harganya lebih tinggi dibandingkan dengan kedelai domestik dengan kualitas yang sama. Rendahnya harga kedelai yang ditawarkan oleh petani dapat menjadi suatu keunggulan dalam menghadapi masuknya kedelai impor di pasar. Tingginya nilai distorsi penerimaan output yang bernilai negatif, dikarenakan rendahnya kualitas kedelai yang dihasilkan oleh petani yang diakibatkan oleh kurangnya ketersediaan air untuk tanaman kedelai dan sistem usahatani yang diterapkan masih konvensional. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Input-Output Kebijakan input dan output secara keseluruhan dapat dilihat dari nilai Net Transfer (NT), Effectif Protection Coefficient (EPC), Profitability Coefficient (PC) dan Subsidy Ratio to Producer (SRP). Hasil perhitungan indikator dampak kebijakan input-output pada sistem usahatani kedelai di Kabupaten Lamongan dapat dilihat pada Tabel 18. Transfer bersih (NT) merupakan selisih antara keuntungan bersih yang benar-benar diterima oleh produsen dengan keuntungan bersih sosialnya. Nilai transfer bersih lebih dari nol (NT>0) menunjukkan bahwa adanya tambahan surplus produsen yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input dan output secara simultan. Transfer bersih (NT) juga menggambarkan apakah kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah menguntungkan atau merugikan petani kedelai di Kabupaten Lamongan. Hasil analisis transfer bersih (NT) untuk komoditas kedelai di desa contoh Kabupaten Lamongan diperoleh nilai NT negatif. Nilai NT negatif dapat diartikan bahwa adanya kebijakan pemerintah atau distorsi pasar pada input (tradable input dan domestic factor) dan output secara keseluruhan yang merugikan petani kedelai. Nilai transfer bersih usahatani kedelai di Kabupaten Lamongan sebesar negatif sebesar - Rp. 2 415 992.49 per hektar per musim tanam. Hal ini menunjukkan bahwa belum adanya kebijakan yang memberikan insentif ekonomi yang diterima petani, sehingga program pengembangan produksi kedelai di lokasi penelitian kurang berjalan dengan baik. Hal inilah yang menjadi faktor penjelas tidak berkembangnya pertanaman kedelai di Indonesia baik di daerah sentra produksi utama maupun daerah pengembangan baru. Nilai EPC merupakan indikator yang menunjukkan tingkat proteksi simultan terhadap input-output tradable. Nilai ini menunjukkan sejauh mana kebijakan pemerintah bersifat melindungi atau menghambat produksi domestik. Nilai EPC lebih besar dari satu (EPC>1), menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah yang diterapkan saat ini bersifat melindungi produksi domestik. Semakin besar nilai EPC, maka semakin tinggi tingkat proteksi pemerintah terhadap komoditas pertanian domestik. Besarnya nilai koefisien EPC untuk komoditas kedelai diperoleh nilai koefisien EPC=0.99. Nilai koefisien EPC sistem usahatani kedelai di Kabupaten Lamongan sebesar 0.99. Nilai koefisien EPC tersebut mengindikasikan tidak
69
adanya perlindungan atau proteksi pemerintah terhadap produsen atau petani kedelai. Bahkan petani harus mensubsidi produsen input dan konsumen kedelai, karena nilai tambah yang dinikmati petani kedelai lebih kecil dari nilai tambah secara sosial. Kebijakan pemerintah terhadap input-output menghambat petani kedelai dalam menghasilkan kedelai domestik. Hal ini dikarenakan kurang efektifnya kebijakan harga dasar penjualan yang diterapkan oleh pemerintah karena tidak adanya badan yang secara khusus membeli kedelai dari petani dengan harga dasar yang telah ditentukan oleh pemerintah. Nilai koefisien keuntungan (PC) menunjukkan keuntungan yang diperoleh petani dengan adanya intervensi atau distorsi yang dilakukan oleh pemerintah. Indikator koefisien keuntungan (PC) merupakan perbandingan antara keuntungan bersih yang benar-benar diterima produsen dengan keuntungan bersih sosialnya. Nilai koefisien keuntungan lebih dari satu (PC>1), menunjukkan bahwa secara keseluruhan kebijakan pemerintah memberikan insentif kepada produsen, demikian juga sebaliknya. Besarnya nilai koefisien PC dilokasi penelitian adalah positif lebih besar dari 1. Artinya kebijakan pemerintah atau distorsi pasar yang ada pada usahatani kedelai memberikan insentif kepada petani, karena petani memperoleh keuntungan jauh lebih tinggi dari seharusnya. Koefisien nilai SRP merupakan indikator yang menunjukkan proporsi penerimaan pada harga sosial yang diperlukan apabila subsidi atau pajak digunakan sebagai pengganti kebijakan. Nilai koefisien SRP juga menunjukkan tingkat penambahan dan pengurangan penerimaan atas pengusahaan suatu komoditas karena adanya kebijakan pemerintah. Apabila nilai SRP>0 menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah mendukung atau menguntungkan usahatani suatu komoditas karena biaya yang diivestasikan petani lebih besar daripada nilai tambah keuntungan yang diterima petani. Besarnya nilai koefisien SRP pada komoditas kedelai dilokasi penelitian sebesar -0.22, artinya secara umum kebijakan pemerintah yang ada memberikan dampak yang merugikan petani kedelai. Petani kedelai menerima subsidi negatif atau mereka harus membayar pajak, dibandingkan jika tidak ada kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah berpengaruh negatif terhadap struktur biaya produksi, biaya yang dikeluarkan oleh petani lebih besar dari pada nilai tambah keuntungan yang diterima oleh petani. Berdasarkan dampak divergensi kebijakan pemerintah terhadap inputoutput usahatani kedelai, menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah saat ini merugikan pengusahaan usahatani kedelai di Kabupaten Lamongan. Biaya yang harus dikeluarkan oleh petani kedelai lebih besar dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh. Kondisi ini menjadi salah satu sebab mengapa produksi kedelai domestik tidak berkembang, kurangnya insentif yang diterima petani membuat usahatani kedelai kurang diminati. Kebijakan subsidi pupuk perlu dicermati kembali, apakah sudah memberikan hasil yang baik atau tidak terhadap usahatani kedelai. Harga kedelai yang stabil dan tepat menjadi pertimbangan petani dalam mengusahakan usahatani kedelai. Kebijakan tarif impor kedelai sebesar nol persen (0 persen) perlu dikaji kembali dalam upaya meningkatkan produksi kedelai domestik.
70
Sensitivitas Terhadap Produktivitas dan Harga Analisis sensitivitas dilakukan untuk mengamati perubahan terhadap harga output dan komponen biaya dalam usahatani kedelai. Analisis sensitivitas perlu dilakukan dikarenakan matriks analisis kebijakan (PAM) memiliki keterbatasan. Analisis PAM yang bersifat statis tidak dapat menggambarkan situasi ekonomi secara yang dinamis. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi setiap perubahan ekonomi yang bersifat dinamis diperlukan simulasi kebijakan pemerintah. Dengan menggunakan simulasi perubahan terhadap harga output dan komponen biaya usahatani kedelai, kita dapat mengetahui persentase perubahan tersebut yang dapat mempengaruhi keunggulan komparatif dan kompetitif usahatani kedelai. Dalam pengusahaan kedelai terdapat beberapa indikator yang secara signifikan berpengaruh terhadap struktur biaya dan penerimaan, yaitu perubahan harga pupuk, dan harga kedelai serta gabungan dari keduanya. Dasar penentuan skenario perubahan dalam analisis PAM yaitu terkait dengan kebijakan yang pemerintah yang diterapkan pada komoditas kedelai domestik. Adapun kebijakan pemerintah terkait dengan komoditas kedelai domestik yaitu perbaikan teknologi budidaya yang dapat dilihat dari perubahan produktivitas, harga input seperti subsidi pupuk, harga output yaitu perubahan harga kedelai di tingkat petani. Kebijakan makro pemerintah yang terkait dengan pembangunan pertanian dan berpengaruh terhadap terhadap kinerja usahatani kedelai dimasukan kedalam skenario analisis sensitivitas yaitu suku bunga. Hal ini dikarenakan dalam kebijakan pembiayaan sektor pertanian pemerintah mengeluarkan skema kredit program seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E) yang sebagian bunganya disubsidi pemerintah. Pada lokasi penelitian kelompok-kelompok tani responden memanfaatkan kredit tersebut untuk dikelola dan disalurkan ke petani anggota, sehingga secara tidak langsung mempengaruhi kinerja usahatani kedelai. Perubahan yang terjadi pada penurunan harga pupuk, bibit, suku bunga dan peningkatan harga kedelai secara langsung berpengaruh terhadap perubahan keuntungan dan daya saing usahatani kedelai. Skenario perubahan terhadap input dan output usahatani yang akan dilakukan berdasarkan tinjauan penelitian terdahulu dan aturan pemerintah yang telah ditetapkan. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu mengenai dayasaing dan dampak kebijakan pemerintah pada komoditas kedelai menunjukkan bahwa perubahan harga output, tarif impor, suku bunga dan subsidi pupuk berpengaruh terhadap kinerja usahatani kedelai (Kemenaung, 2002 dan Handayani,2007). Oleh karena itu pada penelitian ini skenario yang akan dipakai terdiri dari skenario perubahan kebijakan tunggal dan perubahan kebijakan kombinasi, skenario perubahan kebijakan tunggal sebagai berikut: 1. Peningkatan harga kedelai di tingkat petani sebesar 13 dan 15 persen. 2. Peningkatan produktivitas sebesar 11 persen 3. Peningkatan suku bunga sebesar 10 persen. 4. Peningkatan tarif impor sebesar 5 persen. 5. Peningkatan harga pupuk sebesar 40 persen. 6. Peningkatan nilai tukar rupiah sebesar 20 persen, 27 persen dan 39 persen. Pemilihan skenario analisis sensitivitas pada berdasarkan kebijakan pemerintah dan kondisi ekonomi yang ada. Skenario yang dipilih yaitu perubahan
71
harga kedelai, produktivitas, depresiasi nilai tukar rupiah, tarif impor kedelai, suku bunga dan harga pupuk subsidi. Perubahan harga output kedelai mempengaruhi daya saing kedelai domestik dengan persentase yang beragam. Peningkatan harga kedelai domestik sebesar 10 persen dan 20 persen meningkatkan efisiensi sistem usahatani kedelai (Kumenaung, 2002). Berdasarkan penelitian tersebut kenaikan harga kedelai sebesar 10 persen dan 20 persen membantu meningkatkan produktivitas kedelai, oleh karena itu pada penelitian ini digunakan skenario perubahan kenaikan harga kedelai sebesar 13 persen dan 15 persen. Skenario kenaikan harga kedelai domestik sebesar 13 persen dilakukan berdasarkan kebijakan pemerintah yang tertuang dalam Permendag No. 23 Tahun 2013, yang menyebutkan bahwa harga dasar kedelai di tingkat petani sebesar Rp. 7 500 sedangkan kondisi aktual dilapang rata-rata harga kedelai di tingkat petani sebesar Rp. 6 585.83. Skenario kenaikan harga kedelai sebesar 15 persen dilakukan sebagai alternatif kebijakan. Produktivitas rata-rata dari responden penelitian yaitu sebesar 1.4 ton/ha. Kondisi ini masih dibawah rata-rata produktivitas tanaman kedelai di Kabupaten Lamongan yang sebesar 1.6 ton/ha. Lokasi lahan yang umumnya ditanamani tanaman kedelai yaitu lahan non-irigasi atau tegalan, dengan lahan tersebut beberapa petani ada yang dapat mencapai produktivitas kedelai sebesar 1.6 ton/ha atau bahkan lebih. Dengan teknologi dan keadaan cuaca serta lahan yang sama hal tersebut menunjukkan bahwa produktivitas kedelai masih bisa dinaikan dengan cara perbaikan teknis budidaya. Adanya program SLPTT sebagai upaya peningkatan produktivitas kedelai pada petani dapat mencapai potensi optimalnya sebesar 1,6 ton/ha atau naik 11 persen dari rata-rata produktivitas yang ada saat ini. Hal tersebut dapat dicapai karena kondisi dan teknologi yang digunakan hampir sama dan tidak ada perbedaan yang besar, hanya perlu pengawasan dan penyuluhan yang baik dari penyuluh tingkat kecamatan. Pada sektor pembiayaan, petani responden terdapat beberapa yang menggunakan fasilitas pinjaman dari kelompok tani. Dana yang dikelola kelompok tani merupakan dana dari program pemerintah yang sebagian bunganya disubsidi oleh pemerintah. Saat ini bunga pinjaman yang diterima oleh petani melalui kelompok tani cukup rendah dan mudah, karena tidak perlu memakai agunan. Bunga yang dipatok oleh kelompok tani berkisar 1,5-2 persen perbulan, jika dibandingkan sumber pembiayaan lain seperti rentenir, pinjaman ini termasuk lunak dan membantu petani. Sumber dana yang dikelola oleh kelompok tani berasal dari Bank. Dana yang dipinjam kelompok tani harus dikembalikan ke bank dengan bunga yang telah ditentukan. Sehingga apabila terjadi fluktuasi suku bunga bank maka akan mempengaruhi tingkat bunga pengembalian petani terhadap kelompon tani. Pada skenario dipilih peningkatan suku bunga 10 persen karena suku bunga pinjaman di Indonesia masih tergolong mahal dan seringkali terjadi kenaikan dibandingkan penurunan. Oleh sebab itulah skenario kenaikan suku bunga 10 persen ini dilakukan untuk melihat pengaruhnya terhadap daya saing kedelai domestik. Pada sektor input yaitu pupuk, pemerintah saat ini masih mensubsidinya dikarenakan petani masih membutuhkannya. Akan tetapi permasalah seperti buruknya distibusi pupuk, banyaknya penyalahgunaan pupuk subsidi serta berlebihnya penggunaan pupuk yang dipakai petani menjadi bahan evaluasi. Banyaknya pendapat yang menyuarakan pengalihan subsidi pupuk menjadi
72
subsidi harga ouput menjadikan skenario ini dilakukan. Pada skenario ini dilakukan peningkatan harga pupuk sebesar 40 persen, hal ini didasarkan bahwa pemerintah saat ini mensubsidi hampir 50 persen dari harga pupuk sebenarnya. Jadi saat ini petani hanya membayar harga pupuk setengah dari harga pupuk di tingkat pasar. Skenario peningkatan harga pupuk ini juga didasarkan pada sebelumnya yang menyatakan peningkatan harga pupuk sebesar 40 persen mengakibatkan surplus konsumen menurun dan permintaan kedelai menurun karena naiknya harga kedelai domestik (Kemenaung, 2002). Kebijakan selanjutnya yang pernah dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap komoditas kedelai yaitu pengenaan tarif terhadap kedelai impor. Pengenaan tarif itu sendiri bertujuan untuk melindungi produsen kedelai domestik. Akan tetapi sejak tahun 2013 tarif yang diberlakukan untuk kedelai impor diturunkan menjadi nol persen. Sebelum diturunkannya tarif impor menjadi nol persen, tarif yang pernah diberlakukan yaitu sebesar 5 persen. Naiknya tarif kedelai impor sebesar 20 persen dan 30 persen dapat meningkatkan efisiensi sistem usahatani kedelai domestik (Kemenaung, 2002; Handayani, 2007). Naiknya harga kedelai dunia dan kurangnya pasokan kedelai domestik membuat harga kedelai di pasar tidak terkendali, sehingga untuk menstabilkan harga kedelai pemerintah menurunkan tarif kedelai impor sebesar nol persen. Diharapkan pada masa yang akan datang, pemerintah akan menaikan kembali tarif kedelai impor agar dapat melindungi produsen kedelai domestik. Kebijakan lain yang mempengaruhi tingkat daya saing sistem usahatani kedelai yaitu nilai tukar rupiah. Adanya perdagangan bebas antar negara dan kebijakan nilai tukar mengambang yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia membuat mekanisme nilai tukar bergantung pada kondisi pasar uang yang dinamis. Perubahan nilai tukar merupakan perubahan yang dipengaruhi oleh kondisi eksternal. Pemerintah tidak dapat mengontrol perubahan tersebut karena telah diserahkan seluruhnya pada mekanisme pasar. Persentase perubahan nilai tukar rupiah berdasarkan fluktuasi nilai tukar rupiah yang terjadi, kondisi pertumbuhan ekonomi dunia yang melambat juga mempengaruhi nilai tukar rupiah. Skenario perubahan nilai tukar yang dilakukan yaitu depresiasi nilai tukar sebesar 20 persen, 27 persen dan 39 persen. Kondisi ekonomi Indonesia yang mengalami pelambatan pertumbuhan memicu depresiasi nilai tukar terhadap dolar amerika dan belum adanya tanda-tanda penguatan perekonomian. Oleh sebab itu dilakukan skenario kondisi nilai tukar yang terus mengalami depresiasi. Skenario perubahan kebijakan kombinasi yang akan dilakukan, sebagai berikut: 1. Peningkatan harga kedelai sebesar 20 persen dan tarif impor sebesar 20 persen. 2. Peningkatan harga kedelai sebesar 10 persen dan suku bunga 10 persen. 3. Penghapusan tarif impor, peningkatan harga kedelai 10 persen, peningkatan suku bunga 10 persen dan subsidi pupuk sebesar 20 persen. Skenario analisis sensitivitas gabungan pertama adalah naiknya harga kedelai domestik sebesar 20 persen dan tarif impor kedelai sebesar 20 persen. Skenario ini di dasarkan pada penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa peningkatan harga kedelai domestik sebesar 20 persen dan penetapan tarif impor kedelai sebesar 20 persen berdampak pada meningkatnya luas panen, produksi kedelai dan harga riil kedelai domestik (Handayani, 2007). Skenario kebijakan gabungan kedua dilakukan dengan dasar bahwa peningkatan harga kedelai
73
domestik sebesar 10 persen terjadi karena kurang optimalnya penerapan kebijakan harga kedelai oleh pemerintah karena besarnya pengaruh pedagang dalam penentuan harga kedelai. Serta suku bunga naik dikarenakan kondisi ekonomi di Indonesia masih belum stabil dan kebijakan suku bunga dalam negeri cenderung menerapkan suku bunga tinggi. Skenario ketiga yaitu gabungan dari kebijakan perdagangan dan input. Skenario ini menggabungkan kondisi dimana pemerintah tetap menerapkan tarif impor nol persen akan tetapi untuk melindungi petani tetap dengan memberikan subsidi input dan harga output. Dampak Perubahan Kebijakan Terhadap Daya Saing Kedelai Analisis sensitivitas dilakukan dengan tujuan untuk melihat kondisi daya saing sistem usahatani kedelai di Kabupaten Lamongan jika terjadi perubahanperubahan baik tingkat harga maupun kebijakan pemerintah. Pemilihan skenario perubahan kebijakan dilakukan berdasarkan literatur penelitian terdahulu dan perubahan kondisi kebijakan pemerintah yang ada. Adanya analisis sensitivitas, diharapkan dapat membantu memberikan informasi yang tepat untuk meningkatkan daya saing kedelai domestik dengan melakukan simulasi perubahan terhadap kebijakan pemerintah. Selain untuk meningkatkan daya saing komoditas kedelai domestik, analisis sensitivitas juga dapat membantu untuk memberikan informasi mengenai perubahan kebijakan pemerintah yang dapat mendorong efisiensi atau untuk melindungi petani dalam usahatani kedelai domestik. Dengan meningkatnya efisiensi dalam sistem usahatani kedelai dapat berdampak pada peningkatan daya saing kedelai domestik, sedangkan kebijakan proteksi dapat meningkatkan insentif petani dalam upaya meningkatkan produksi kedelai.
Tabel 19 Indikator daya saing sistem usahatani kedelai berdasarkan analisis sensitivitas perubahan kebijakan tunggal Indikator Daya Saing No. Skenario PCR DRCR 1 Harga Kedelai Domestik Naik 13 persen 1.01 1.13 2 Harga Kedelai Domestik Naik 15 persen 0.99 1.13 3 Produktivitas Kedelai Domestik Naik 11 persen 1.03 0.99 4 Depresiasi Nilai Tukar Rupiah 20 persen 1.15 0.96 5 Depresiasi Nilai Tukar Rupiah 27 persen 1.15 0.91 6 Depresiasi Nilai Tukar Rupiah 39 persen 1.15 0.84 7 Tarif Impor Kedelai 5 persen 1.15 1.07 8 Suku Bunga Naik 10 persen 1.18 1.13 9 Harga Pupuk Naik 40 persen 1.22 1.25 10 Kondisi Aktual (tarif nol persen, kurs th.2013 ) 1.15 1.13
Berdasarkan hasil pada Tabel 19 menunjukkan bahwa perubahan terhadap harga output kedelai berdampak terhadap daya saing sistem usahatani kedelai. Pada saat harga kedelai naik sebesar 15 persen meningkatkan keunggulan kompetitif sistem usahatani kedelai menjadi sebesar 0.99 dari kondisi aktualnya 1.15. Berdasarkan hal tersebut menunjukkan bahwa peningkatan harga output
74
sangat berpengaruh terhadap peningkatan daya saing sistem usahatani kedelai. Hal tersebut terlihat dari semakin kecilnya nilai PCR sistem usahatani kedelai saat dilakukan perubahan harga output kedelai domestik. Artinya kenaikan harga output kedelai domestik membantu meningkatkan keunggulan kompetitif kedelai domestik terhadap kedelai impor. Peningkatan harga kedelai sebesar 15 persen dapat dikatakan belum signifikan dalam membantu meningkatkan keunggulan kompetitif kedelai. Apabila terjadi pasokan yang banyak dipasar karena meningkatnya harga, tentunya akan berpengaruh terhadap harga kedelai sehingga terjadi penurunan harga dan berdampak pada daya saing kedelai. Pada nilai koefisien DRCR tidak ada perubahan antara kondisi aktual dan setelah adanya peningkatan harga kedelai yaitu tetap sebesar 1.13. Hal ini dikarenakan, peningkatan harga kedelai domestik tidak mempengaruhi harga sosial kedelai yaitu harga kedelai impor. Harga kedelai aktual saat ini di tingkat petani memang menjadi keluhan bagi petani kedelai di lokasi penelitian. Petani menganggap harga kedelai masih sangat murah dan perlu ditingkatkan agar para petani kembali bergairah untuk menanam kedelai. Harga kedelai yang diinginkan oleh petani yaitu sebesar 150 persen dari harga gabah. Akan tetapi hal tersebut masih jauh dari harapan, dikarenakan kebijakan saat ini mengenai harga pokok pembelian pemerintah (HPP) kedelai di tingkat petani belum berjalan dengan efektif karena tidak adanya badan khusus yang secara konsisten menampung produksi kedelai petani dan membeli harga sesuai HPP yang telah direkomendasikan oleh pemerintah. Kebijakan pemerintah mengenai HPP kedelai hanya sebatas rekomendasi bagi para pedagang dan tidak terlalu mengikat, sehingga pelaksanaan aktual dilapang tidak sesuai dengan harapan yang ingin dicapai oleh rencana pemerintah. Produktivitas rata-rata dari responden penelitian yaitu sebesar 1.4 ton/ha. Kondisi ini masih dibawah rata-rata produktivitas tanaman kedelai di Kabupaten Lamongan yang sebesar 1.6 ton/ha. Lokasi lahan yang umumnya ditanamani tanaman kedelai yaitu lahan non-irigasi atau tegalan, dengan lahan tersebut beberapa petani ada yang dapat mencapai produktivitas kedelai sebesar 1.6 ton/ha atau bahkan lebih. Dengan teknologi dan keadaan cuaca serta lahan yang sama hal tersebut menunjukkan bahwa produktivitas kedelai masih bisa dinaikan dengan cara perbaikan teknis budidaya. Berdasarkan pada hasil analisis sensitivitas, terlihat bahwa peningkatan produktivitas sebesar 11 persen mampu meningkatkan daya saing kedelai secara komparatif menjadi 0.99 dari kondisi aktual sebelumnya sebesar 1.13. Peningkatan daya saing komparatif menjadi 0.99 masih rentan terhadap daya saing kedelai, karena apabila terjadi sedikit perubahan terhadap produktivitas kedelai seperti kondisi cuaca yang berubah serta keterlambatan dalam memulai musim tanam akan langsung mempengaruhi daya saing kedelai menjadi tidak berdaya saing. Pada Tabel 19 menunjukkan bahwa depresiasi nilai tukar rupiah sebesar 20 persen, 27 persen dan 39 persen meningkatkan keunggulan komparatif kedelai domestik, hal tersebut dapat dilihat dari nilai DRCR<1. Nilai koefisien DRCR untuk depresiasi nilai tukar sebesar 20 persen, 27 persen dan 39 persen berturutturut sebesar 0.96; 0.91 dan 0.84 dari kondisi aktual sebelumnya yaitu sebesar 1.13. Depresiasi terhadap nilai tukar rupiah membuat harga kedelai impor lebih mahal jika dibandingkan dengan kedelai domestik. Hal ini menunjukkan bahwa depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar sebesar 20 persen, 27 persen dan 39
75
persen membuat sistem usahatani mempunyai keunggulan komparatif. Selain itu, depresiasi nilai tukar rupiah dapat menghemat jumlah sumberdaya domestik yang digunakan untuk menghasilkan satu unit devisa. Hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwa penerapan tarif kedelai impor sebesar 5 persen belum dapat meningkatkan keunggulan kompetitif maupun komparatif kedelai domestik. Artinya sistem usahatani kedelai domestik tidak efisien dan belum dapat menghemat penggunaan jumlah sumberdaya domestik. Kebijakan penerapan tarif terhadap kedelai impor saat ini belum membantu petani dalam bersaing dengan kedelai impor. Kebijakan pengenaan tarif kedelai impor diperlukan untuk melindungi produsen kedelai domestik agar dapat bertahan dari persaingan dengan kedelai impor. Peluang untuk meningkatkan tarif impor masih cukup terbuka, karena saat ini pemerintah memberikan tarif impor kedelai 0%, sedangkan batas tarif (bound tariff) yang diperkenankan pemerintah sebesar 27% (www.wto.org). Suku bunga merupakan komponen kebijakan pemerintah yang mempengaruhi biaya pengembalian petani terhadap pinjaman yang mereka ajukan. Kondisi responden di lokasi penelitian umumnya meminjam modal usahatani dari kelompok tani. Pengelolaan kredit usahatani di tingkat petani menerapkan suku bunga yang rendah, akan tetapi modal yang di miliki Gapoktan untuk menyalurkan kredit usahatani berasal dari Bank BRI. Kondisi suku bunga secara tidak langsung mempengaruhi tingkat peminjaman modal usahatani. Peningkatan suku bunga sebesar 10 persen berdampak pada semakin turunnya daya saing komparatif kedelai domestik terhadap kedelai impor yang sebelumnya nilai koefisien PCR sebesar 1.15 menjadi 1.18. Kebijakan selanjutnya yaitu mengenai subsidi pupuk, sebelumnya pemerintah pernah membuat kebijakan mengurangi subsidi terhadap pupuk. Pada kondisi saat ini, dengan kebijakan pemerintahan yang cenderung mengurangi kebijakan subsidi terhadap masyarakat dan mengalihkannya pada sektor infrastruktur, sehingga terdapat kemungkinan adanya kebijakan dalam mengurangi subsidi pupuk. Kebijakan peningkatan harga pupuk sebesar 40 persen membuat petani kedelai semakin tidak berdaya saing. Kebijakan ini merugikan petani dan akan membuat produksi kedelai nasional terus turun karena usahataninya merugi. Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan peningkatan harga pupuk sebesar 40 persen mengakibatkan surplus konsumen menurun dan permintaan kedelai menurun karena naiknya harga kedelai domestik (Kemenaung, 2002). Hal tersebut menunjukkan bahwa kebijakan subsidi masih diperlukan oleh petani kedelai. Berdasarkan hasil analisis sensitivitas pada Tabel 19 menunjukkan bahwa perubahan harga output kedelai domestik sebesar 15 persen, depresiasi nilai tukar dan upaya peningkatan produksi dapat dikatakan efisien karena dapat meningkatkan daya saing kedelai domestik secara komparatif dan kompetitif. Sedangkan kebijakan menaikan suku bunga dan pengurangan subsidi pupuk merugikan petani kedelai. Hal tersebut menunjukkan bahwa kebijakan subsidi pupuk dan subsidi suku bunga masih diperlukan untuk menjaga daya saing kedelai domestik. Sehingga berdasarkan hasil tersebut, apabila pemerintah ingin meningkatkan daya saing kedelai domestik diperlukan kebijakan-kebijakan tersebut dan memastikan dapat diaplikasikan dilapang dengan baik. Pengawasan dan pelaksaaan dengan sistem yang baik perlu dibuat oleh pemerintah agar
76
kebijakan yang dikeluarkan benar-benar bermanfaat dan dapat dirasakan langsung oleh petani.
Tabel 20 Indikator daya saing sistem usahatani kedelai berdasarkan analisis sensitivitas perubahan kebijakan gabungan Indikator Daya Saing No. Skenario PCR DRCR 1 Harga Kedelai Domestik Naik 20 persen dan 0.94 0.93 Tarif Impor Kedelai 20 persen 2 Harga Kedelai Domestik Naik 10 persen dan 1.06 1.18 Suku Bunga Naik 10 persen 3 Tarif Impor Kedelai Nol persen, Harga Kedelai Domestik Naik 10 persen, Suku Bunga Naik 10 1.04 1.13 persen dan Harga Pupuk Naik 20 persen 4 Kondisi Aktual (Tarif nol persen, kurs th.2013) 1.15 1.13
Sebelumnya telah dilakukan analisis sensitivitas terhadap perubahan kebijakan tunggal pemerintah. Pada Tabel 20 dilakukan analisis sensitivitas terhadap perubahan gabungan kebijakan pemerintah. Kondisi ekonomi yang dinamis terkadang terjadi perubahan yang lebih kompleks, tidak hanya satu kebijakan saja, terkadang beberapa kebijakan dapat berubah sesuai dengan kondisi ekonomi yang sedang terjadi. Analisis sensitivitas gabungan ini dilakukan agar dapat mengantisipasi perubahan kebijakan karena kondisi yang lebih kompleks sesuai dengan keadaan sebenarnya. Analisis sensitivitas gabungan mencakup perubahan harga kedelai domestik, tarif impor kedelai, suku bunga, nilai tukar, subsidi, dan upah tenaga kerja petani. Hasil analisis sensitivitas kebijakan gabungan pada skenario pertama adalah naiknya harga kedelai domestik sebesar 20 persen dan tarif impor kedelai sebesar 20 persen. Kebijakan pemerintah tersebut berdampak efisien terhadap daya saing kedelai domestik. Peningkatan harga kedelai domestik dan penetapan tarif impor kedelai sebesar 20 persen dapat meningkatkan dayasaing kedelai domestik baik secara kompetitif maupun komparatif. Meningkatnya dayasaing kedelai domestik dapat dilihat dari nilai koefisien PCR dan DRCR < 1. Nilai koefisien PCR sebesar 0.94 lebih rendah dibandingkan nilai koefisien PCR pada kondisi aktualnya yaitu sebesar 1.15. Pada koefisien DRCR juga mengalami penurunan dari kondisi aktualnya sebesar 1.13 menjadi 0.93. Nilai koefisien PCR dan DRCR menunjukkan bahwa, kedelai domestik memiliki keunggulan kompetitif maupun komparatif karena dapat menghemat sumber daya yang dikeluarkan untuk menghasilkan satu unit devisa serta mampu membayar biaya domestik dan tetap kompetitif. Kebijakan peningkatan harga kedelai domestik memang perlu dilakukan, karena pada kondisi saat ini harga kedelai di tingkat petani masih belum dapat memberikan insentif yang menguntungkan bagi petani. Rendahnya insentif yang diperoleh petani kedelai menjadi salah satu penyebab mengapa usahatani kedelai di lokasi penelitian kurang berkembang. Dampak kebijakan kenaikan harga kedelai sebesar 10 persen dan suku bunga sebesar 10 persen dapat dikatakan tidak efisien. Hal tersebut terlihat dari
77
nilai koefisien PCR dan DRCR pada Tabel 20. Penerapan kebijakan peningkatan harga kedelai domestik sebesar 10 persen dan suku bunga sebesar 10 persen menghasilkan nilai koefisien PCR dan DRCR>1. Hasil analisis sensitivitas pada skenario kedua ini nilai koefisien PCR lebih rendah dari kondisi aktualnya yaitu dari 1.15 menjadi 1.06. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan gabungan ini membantu meningkatkan keunggulan kompetitif kedelai, tetapi masih belum menjadikan komoditas kedelai memiliki keunggulan kompetitif karena nilai koefisien PCR masih lebih dari 1. Berbeda hasilnya dengan nilai koefisien DRCR, penerapan kebijakan gabungan skenario kedua ini membuat komoditas kedelai domestik semakin tidak memiliki daya saing. Nilai koefisien DRCR meningkat dari kondisi aktual yang ada yaitu dari 1.13 menjadi 1.18. Nilai koefisien tersebut menunjukkan bahwa komoditas kedelai domestik tidak memiliki keunggulan komparatif. Berdasarkan nilai koefisien PCR dan DRCR, kebijakan tersebut belum efisien karena belum dapat meningkatkan dayasaing kedelai domestik. Kombinasi kebijakan tersebut tidak efisien karena dengan peningkatan harga kedelai domestik diharapkan meningkatkan keuntungan usahatani kedelai, tetapi disisi lain dengan peningkatan suku bunga justru menurunkan keuntungan. Sehingga dampak kebijakan peningkatan harga kedelai domestik dibarengi dengan meningkatnya nilai suku bunga, membuat kondisi daya saing sistem usahatani kedelai domestik tidak berubah dan tetap tidak berdayasaing dengan kedelai impor. Kombinasi kebijakan tarif impor sebesar nol persen, harga kedelai domestik naik sebesar 10 persen, suku bunga naik sebesar 10 persen dan harga pupuk sebesar 20 persen dapat dikatakan tidak efisien. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai koefisien PCR setelah dilakukan simulasi skenario kebijakan gabungan ketiga. Nilai PCR mengalami penurunan sebesar 1.04 dari nilai koefisien aktual sebelumnya yaitu 1.15. Kebijakan gabungan ketiga ini mampu meningkatkan keunggulan kompetitif kedelai domestik, tetapi masih perlu penambahan kebijakan agar komoditas kedelai domestik berdaya saing, karena berdasarkan nilai koefisien PCR masih diatas 1 yang artinya belum berdaya saing secara kompetitif. Kemudian pada nilai koefisien DRCR dapat dilihat bahwa penerapana skenario kebijakan gabungan ketiga ini tidak merubah daya saing kedelai domestik secara komparatif. Nilai koefisien DRCR pada kondisi aktual sama dengan setelah dilakukan perubahan kebijakan yaitu sebesar 1.13. Peningkatan harga kedelai domestik meningkatkan pendapatan yang diterima oleh petani kedelai. Akan tetapi, naiknya suku bunga dan harga pupuk ikut meningkatkan biaya input usahatani. Sehingga peningkatan harga kedelai domestik tidak berdampak signifikan terhadap usahatani kedelai. Kebijakan tarif impor kedelai sebesar nol persen membuat kedelai domestik tidak berdayasaing karena kondisi usahatani kedelai domestik yang masih tradisional dan tidak efisien. Adanya penerapan tarif impor nol persen membuat harga kedelai impor lebih murah dibandingkan kedelai domestik dan pasokannya dapat memenuhi kebutuhan kedelai nasional. Kombinasi kebijakan ini merugikan petani karena peningkatan harga kedelai domestik tidak sebanding dengan biaya yang harus ditanggung oleh petani. Kondisi kebijakan ini tidak mendukung tujuan pemerintah dalam upaya untuk meningkatkan produksi kedelai domestik dan menjadikannya sebagai subtitusi kedelai impor.
78
7 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan tujuan penelitian didasarkan pada hasil penelitian dapat diambil simpulan sebagai berikut: 1) Pengusahaan komoditas kedelai di Kabupaten Lamongan tidak menguntungkan dan tidak efisien secara finansial serta ekonomi. Sistem usahatani kedelai tidak memiliki dayasaing berdasarkan teknologi, nilai output, biaya input dan transfer kebijaksanaan yang ada. 2) Berdasarkan indikator daya saing yaitu PCR dan DRCR masing-masing memiliki nilai >1, menunjukkan bahwa sistem usahatani kedelai di Kabupaten Lamongan tidak memiliki keunggulan kompetitif maupun keunggulan komparatif. 3) Berdasarkan nilai DRCR>1, menunjukkan bahwa sistem komoditas kedelai di Indonesia lebih baik mengimpor dari luar negeri dibandingkan diproduksi di dalam negeri. 4) Berdasarkan indikator dampak divergensi kebijakan pemerintah terhadap input-output usahatani kedelai menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah yang ada merugikan petani kedelai di Kabupaten Lamongan. Biaya yang harus dikeluarkan oleh petani kedelai lebih besar dibandingkan dengan yang diperolehnya. Adapun kebijakan yang merugikan petani yaitu penghapusan tarif impor kedelai dari 5 % menjadi 0%. 5) Perbaikan teknologi budidaya, subsidi pupuk dan harga output belum dapat meningkatkan daya saing kedelai domestik terhadap kedelai impor. Penerapan perbaikan teknologi budidaya masih belum optimal karena kurangnya pendampingan dan pengawalan dilapang. 6) Perubahan harga kedelai domestik, berupa peningkatan harga kedelai dapat meningkatkan daya saing secara keunggulan kompetitif kedelai domestik, namun tidak memperbaiki keunggulan komparatif kedelai domestik. 7) Peningkatan depresiasi nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing khususnya dolar USA, serta penerapan tarif impor dapat meningkatkan daya saing usahatani kedelai secara komparatif. Saran Implikasi kebijakan setelah dilakukan penelitian ini yaitu mencari sumbersumber pertumbuhan produktivitas yang dapat dilakukan. Sumber-sumber pertumbuhan produktivitas dan kebijakan yang relevan dan dapat diaplikasikan di lapang yaitu: 1) Masih perlu adanya peningkatan penerapan teknologi budidaya, dapat dilakukan melalui penerapan program PTT dan saat ini menjadi Gerakan Penerapan-Pengelolaan Tanaman Terpadu (GP-PTT) dan program perluasan areal tanam kedelai. 2) Peningkatan kegiatan pendampingan secara lebih intensif pada petani agar dapat memastikan penerapan teknologi berjalan dengan baik, yaitu dengan
79
cara menambah tenaga penyuluh pertanian disetiap desa baik penyuluh pertanian PNS, Tenaga Harian Lepas (THL), maupun penyuluh swadaya. 3) Secara umum petani produsen kedelai di Kabupaten Lamongan belum menikmati perlindungan (insentif) dari adanya kebijakan pemerintah, bahkan keadaannya cenderung mengalami kehilangan surplus. Perlunya perbaikan kebijakan proteksi pada komoditas kedelai. Hal ini dapat dilakukan oleh pemerintah melalui penerapan tarif impor kedelai serta subsidi pupuk dan subsidi bunga agar dapat mendukung peningkatan produksi kedelai domestik. 4) Perlunya perbaikan harga kedelai domestik dalam mendukung peningkatan produksi kedelai domestik. Berdasarkan analisis sensitivitas peningkatan harga kedelai domestik mampu meningkatkan daya saing kedelai domestik. 5) Penelitian lanjutan yang berkaitan dengan dengan pengukuran daya saing kedelai diharapkan dapat menganalisis efisiensi dan faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing usahatani kedelai di Kabupaten Lamongan dan memperluas kajian daya saing menurut agroekosistem dan jenis atau varietas kedelai.
8 DAFTAR PUSTAKA Abdul Gaffar Tahir, D.H. Darwanto, J.H. Mulyo, dan Jamhari. 2010. Analisis Efisiensi Produksi Sistem Usahatani Kedelai di Sulawesi Selatan. Jurnal Agro Ekonomi, Vol. 28 No. 2:133-151. Akramov, K and M. Malek. 2012. Analyzing Profitability of Maize, Rice, and Soybean Production in Ghana: Result of PAM and DEA Analysis. International Food Policy Reasearch Institute. GSSP Working Paper No. 0028. Amar K.Z., Wahyuding K.S dan Reni Kustiari. 2010. Analisis Daya Saing Komoditas Kedelai Menurut Agro Ekosistem: Kasus di Tiga Provinsi di Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi, Volume 28 No.1, Mei 2010: 21-37. Badan Pusat Statistik. 2014. Luas Lahan, Produktivitas, Produksi, Kedelai serta Volume Impor Kedelai di Indonesia. www.bps.go.id. Badan Pusat Statistik Jawa Timur. 2014. Jawa Timur dalam Angka. Surabaya. Badan Pusat Statistik Kabupaten Lamongan. 2014. Kabupaten Lamongan Dalam Angka. Lamongan. Balassa, B. 1989. Comparative Advantage, Trade Policy and Economic Development. London, Harvester/Wheatsheaf. Bojnec, S. 2003. Three Concept of Competitiveness Measures for Livestock Production in Central and Eastern Europe. Agriculturae Conspectus Scientificus, Vo. 68 (2003) No. 3: 209-220. Coelli, T.J., D.S.P. Rao and G.E. Battese. 1998. An Introduction to Efficiency and Productivity Analysis, Kluwer-Nijhoff, Boston. Desianti, L.C. 2002. Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Profitabilitas dan Dayasaing Kopi Robusta Indonesia. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
80
Esterhuizen, Dirk, J. V. Royen and Luc D‟Haese. 2006. Determinan of Competitiveness in The South African Agro-Food Fibre Complex, University of Pretoria. Esterhuizen, Dirk, J. V. Royen and Luc D‟Haese. 2008. An Evaluation of The Competitiveness Sector in South Africa. Advantage in Competitiveness Research 16(1-2), 31-46. Fang. C., and J. Beghin. 1999. Food self-sufficiency,comparative advantage, and agricultural trade: a policy analysis matrix for Chinese agriculture. Working Paper 99-WP 223. Center for Agricultural and Rural Development, Iowa State University, Ames, IA. Feryanto. 2010. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Komoditas Susu Sapi Domestik di Jawa Barat. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Firdaus, Muhammad. 2007. Analisis Daya Saing Kedelai di Jawa Timur. J-SEP, Vol. 1 No. 2: 16-27. Gittinger, J.P. 1986. Analisis Ekonomi Proyek-proyek Pertanian. Terjemahan. Edisi Kedua. UI-Press dan John Hopkins, Jakarta. Handayani, Dian. 2007. Simulasi Kebijakan Daya Saing Kedelai Lokal Pada Pasar Domestik. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hermanto, A. Zulham, and S.H. Suhartini. 1993. Local Comparative Advantage of Soybean Production: Case from East Java, Indonesia. Local Soybean Economics and Government Policies in Thailand and Indonesia. (Ed. P. Jierwiriyapant et al.), CGPRT Center and CASER, Bogor. Kadariah LK. dan Gray C. 1978. Pengantar Evaluasi Proyek. Edisi Revisi. Jakarta (ID): Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Kemenaung, A.G. 2002. Dampak Kebijakan Ekonomi dan Liberalisasi Perdagangan Terhadap Keragaan Industri Komoditas Kedelai Indonesia. Disertasi. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kementerian Perdagangan Jawa Timur, 2014. Harga Komoditas Kedelai di Pasar Jawa Timur tahun 2012-2013. www.siskaperbapo.go.id. Kementerian Pertanian Indonesia, 2015. Rencana Strategi Kementerian Pertanian Republik Indonesia 2010-2014. www.kementan.go.id. Kementerian Pertanian. 2012. Statistik Pertanian 2013. Pusat Data dan Informasi Pertanian-Kementerian Pertanian. Jakarta. Khai, H.V. and M. Yabe. 2013. The Comparative Advantage of Soybean Production in Vietnam: A Policy Analysis Matrix Approach. A Comprehensive Survey of International Soybean Reasearch: Genetics, Physiology, Agronomy and Nitrogen Relationship, pp. 161-179. Kustiari, R., H.J. Purba dan Hermanto. 2012. Analisis Daya Saing Manggis Indonesia di Pasar Dunia (Studi Kasus di Sumatera Barat). Jurnal Agro Ekonomi. Vol. 30 No. 1: 81-107. Krugman, Paul R. dan M. Obstfeld.1994. Ekonomi Internasional Teori dan Kebijakan. Edisi Kedua. Universitas Indonesia dan Hasper Collins Publishers. Lindert, Peter H. dan Charles P. Kindleberger. 1993. Ekonomi Internasional. Edisi Kedelapan. Penerbit Erlangga. Jakarta.
81
Mahmoud,B. 2014. Protection and Comparative Advantage of Walnut Production in Iran: A Policy Analysis Matrix. Interdisciplinary Journal Of Contemporary Research in Business Vol. 6 No. 4: 66-77. Mahyudin dan Majdah M. Zain. 2010. Elastisitas Permintaan Tenaga Kerja dan Kekakuan Upah Riil Sektoral di Sulawesi Selatan. Jurnal AgroEkonomi, Vol. 28 No. 2: 113-132. Mantau, Z., Harianto, and Nuriatono, N. 2014. Analysis of Competitiveness of Lowland Rice Farming in Indonesia: Case Study of Bolaang Mongondow District, North Sulawesi Province. Journal of Economics and International Finance, Vol. 6(4),pp. 85-90. Mayrita, B.M. 2007. Analisis Daya Saing dan Insentif Kebijakan Pemerintah pada Usahatani Jagung Lahan Kering dan Lahan Sawah di Propinsi Sumatera Utara. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Mohanty, S., Fang, C., and Chaudhary, J. (2003). Assessing the Competitiveness of Indian Cotton Production: A Policy Analysis Matrix Approach, Journal of Cotton Science,7(3). Monke, E.A and Scott, Pearson. 1989. The Policy Analysis Matrix for Agricultural Development. Cornell University Press. Itacha and London. Monke, E.A. dan Pearson, S.R. 1995. The Policy Analysis Matrix for Agricultural Development. Cornell University Press. Itacha and London. Muslim, C. dan Nurasa, T. 2011. Daya Saing Komoditas Promosi Ekspor Manggis, Sistem Pemasaran dan Kemantapannya di Dalam Negeri (Studi Kasus di Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat). Jurnal Agro Ekonomi, Vol. 29 No. 1: 87-111. Mutiara, F., Koestiono, D., and Muhaimin, A.B. 2013. Keunggulan Komparatif dan Dampak Kebijakan Subsidi Input Output Terhadap Pengembangan Komoditas Kedelai di Kabupaten Pasuruan. HABITAT, Vol. XIV No.2: 92-102. Pearson S,C, S. Bahri. 2005. Aplikasi Policy Analysis Matrix pada Pertanian Indonesia. Terjemahan. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Purwati, R.W., Santoso,R., dan Wahyudi, D. 2013. Daya Saing Kedelai di Kecamatan Ganding Kabupaten Sumenep. Jurnal Cemara, Vol. 10 No.1: 18-35. Rachman, B., P. Simatupang, dan T. Sudaryanto. 2004. Efisiensi dan Daya Saing Sistem Usahatani Padi. Prosiding Efisiensi dan Daya Saing Sistem Usahatani Beberapa Komoditas Pertanian di Lahan Sawah Hal. 1-21, Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Rehman, A., N.P. Khan, I. Khan, M. Nazir, M. Khan, D. Jan, and A. Ali. 2011. Comparative Advantage and Policy Analysis Of Wheat In District D.I. Khan Of Khyber Pakhtunkhwa. Interdisciplinary Journal Of Contemporary Research in Business Vol. 3 No. 8: 982-1008. Rininta, S., Salyo, S., dan T. Adisarwono. 2011. Analisis Daya Saing Kedelai Terhadap Tanaman Padi dan Jagung. Buana Sains, Vol. 11 No. 1: 97102. Rosegrant, M.W., F. Kasryno, L.A. Gonzales, C.A. Rasahan, and Y. Saefudin. 1987. Price and Invesment in Indonesian Food Crops Sector. IFPRI, Washington, D.C. and CASER, Bogor, Indonesia.
82
Rusastra, I W., R. Sajuti dan Ch. Muslim. 1992. Telaahan Aspek Produksi dan Pemasaran Kedelai di Jawa Timur. FPAE Vol.9 No.2 dan Vol.10 No.1 , Juli 1992, Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Rusastra, I W. 1995. Keunggulan Komparatif , Struktur Proteksi dan Perdagangan Internasional Kedelai Indonesia. Ekonomi Kedelai di Indonesia (Ed. B. Amang, M.H. Sawit, A. Rachman), IPB Press, Bulog, Jakarta. Rusastra, I W., B. Rachman dan S.Friyatno. 2004. Analisis Daya Saing dan Struktur Proteksi Komoditas Palawija. Prosiding Efisiensi dan Daya Saing Sistem Usahatani Beberapa Komoditas Pertanian di Lahan Sawah Hal. 28-49, Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Saliem, H.P. dan T. Sudaryanto. 2004. Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap Kinerja Ketahanan Pangan Nasional. Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekonomi Pertanian, Bogor. Saptana, 2010. Tinjauan Konseptual Mikro-Makro Daya Saing dan Strategi Pembagungan Pertanian. Forum Penelitian Agro Ekonomi Vol. 28 No.1 hal 1-18. Bogor. Sarwono, Willy Pratama. 2014. Analisis Daya Saing Kedelai Indonesia. Journal of Economics dan Policy 7 (2): 100-202. Simatupang, P. 1991. The Conception of Domestic Resource Cost and Net Economic Benefit for Comparative Advantage Analysis. Agribusiness Division Working Paper No. 2/91, Centre for Agro-Socioeconomic Research. Bogor. Simatupang, P. 1990. Comparative Advantage and Government Protection Structure of Soybean Production in Indonesia. Comparative Advantage and Protection Structures of the Livestock and Feedstuff Subsectors in Indonesia (Ed. F. Kasryno and P. Simatupang). CASER, AARD, Bogor. Soekartawi, et.al. 1986. Ilmu Usahatani. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Sudarlin, 2008. Analisis Daya Saing Pengusahaan Komoditi Lada Putih (Kasus di Kecamatan Airgegas, Kabupaten Bangka Selatan, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung). Skripsi, Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sudaryanto, T. dan P. Simatupang, 1993. Arah Pengembangan Agribisnis: Suatu Catatan Kerangka Analisis dalam Prosiding Perspektif Pengembangan Agribisnis di Indonesia. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor. Sudaryanto, Tahlim dan B. Rachman. 2000. Arah Kebijaksanaan Distribusi/Perdagangan Beras dalam Mendukung Ketahanan Pangan dan Hortikultura. Ditjen Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. Sumarno dan Adie, M.M. 2010. Strategi Pengembangan Produksi Menuju Swasembada Kedelai Berkelanjutan. Iptek Tanaman Pangan, Vol. 5 No. 1: 49-63. Suprihatini, R. 2005. Daya Saing Ekspor The Indonesia di Pasar Dunia. Jurnal Agro Ekonomi, Vol. 23 No. 1: 1-29. Suryana, A. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Kedelai. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta.
83
Sutton, M.C., Klein, N., and Taylor, G. 2005. A Comparative Analysis of Soybean Production Between The United States, Brazil and Argentina. Journal of The ASFMRA. 33-41. Suyamto dan Widiarta, I.N. 2014. Kebijakan Pengembangan Kedelai Nasional. Prosiding Simposium dan Pameran Teknologi Aplikasi Isotop dan Radiasi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Hal. 3750. Ugochukwu, A.I and C.I. Ezedinma. 2011. Insentification of Rice Production Systems in South-eastern Nigeria: A Policy Analysis Matrix Approach. International Journal of Agriculture Management and Development (IJAMAD), 1 (2): 89-100. [WTO] World Trade Organization. 2016. Tarrif Download Facility [internet]. [diacu 2016 Maret 21]. Tersedia dari http:// tariffdata.wto.org/Reporters And Products.aspx.
84
LAMPIRAN
85
Lampiran 1 Justifikasi perhitungan harga bayangan kedelai, di Kabupaten Lamongan Uraian MK 2013 Harga CIF (US$/ton) 620.00 Harga CIF (US$/kg) 0.62 Exchange Rate (Rp/US$) 10 407.60 Harga CIF (Rp/kg) 6 421.40 Biaya angkutan dan penanganan (Rp/kg): a. Pelabuhan-kota provinsi 200.00 b. Kota provinsi-kota kabupaten 400.00 c. Kota kabupaten-desa 250.00 d. Penanganan (bongkar/muat) 200.00 Harga sosial di petani (Rp/kg kedelai) 7 471.40
Lampiran 2 Justifikasi perhitungan harga bayangan pupuk urea, untuk kedelai di Kabupaten Lamongan Uraian MK 2013 Harga FOB (US$/ton) 354.96 Exchange Rate (Rp/US$) 10 407.60 Harga FOB (Rp/kg) 3 694.29 Biaya angkutan & Penanganan (Rp/kg) Pelabuhan-kota Provinsi 200.00 Kota provinsi-kota kabupaten 400.00 Kota Kabupaten-desa 250.00 Penanganan (bongkar/muat) 200.00 Harga sosial di petani (Rp/kg) 4 744.29
Lampiran 3 Justifikasi perhitungan harga bayangan pupuk SP-36 dan NPK, untuk kedelai di Kabupaten Lamongan MK 2013 Uraian SP-36 NPK Harga CIF (US$/ton) 304.07 167.00 Exchange Rate (Rp/US$) 10 407.60 10 407.60 Harga CIF (Rp/kg) 3 164.67 2 087.50 Biaya angkutan & Penanganan (Rp/kg) Pelabuhan-kota Provinsi 200.00 200.00 Kota provinsi-kota kabupaten 400.00 400.00 Kota Kabupaten-desa 250.00 250.00 Penanganan (bongkar/muat) 200.00 200.00 Harga sosial di petani (Rp/kg) 4 214.67 6 764.08
86
Lampiran 4 Input-output usahatani kedelai di lokasi penelitian, MK 2013 Input-Output Input Tradabel Pupuk : a. Pupuk Kimia - Urea - SP-36 - NPK b. Pupuk lainnya - Pupuk alternatif - Pupuk organik c. Pestisida Cair d. Pestisida Padat e. Herbisida Cair f. Herbisida Padat Biaya Traktor Faktor Domestik Benih Pupuk Kandang Tenaga Kerja: a. Traktor b. Ternak c. Tenaga Kerja Pria DK d. Tenaga Kerja Wanita DK e. Tenaga Kerja Pria LK f. Tenaga Kerja Wanita LK Modal Usahatani Sewa Lahan Ouput Produksi
Unit
kg/ha kg/ha kg/ha
Jumlah
139.19 41.03 188.29
kg/ha kg/ha Liter/ha gr/ha Liter/ha gr/ha Rp/ha
1.00 1.00 -
kg/ha kg/ha
84.85 66.00
Rp/ha Rp/ha HKP/ha HKW/ha HKP/ha HKW/ha Rp/ha Ha
kg/ha
42.00 15.00 29.00 10.00 8 162 267.15 1.00
1 442.58
87
Lampiran 5 Harga privat dan sosial dari usahatani kedelai di lokasi penelitian, MK 2013 Input-Output Unit Privat Sosial Input Tradabel Pupuk : a. Pupuk Kimia - Urea - SP-36 - NPK b. Pupuk lainnya - Pupuk alternatif - Pupuk organik c. Pestisida Cair d. Pestisida Padat e. Herbisida Cair f. Herbisida Padat Biaya Traktor Faktor Domestik Benih Pupuk Kandang Tenaga Kerja: a. Traktor b. Ternak c. Tenaga Kerja Pria DK d. Tenaga Kerja Wanita DK e. Tenaga Kerja Pria LK f. Tenaga Kerja Wanita LK Modal Usahatani Sewa Lahan Ouput Harga Kedelai
Rp/kg Rp/kg Rp/kg
1 736.19 2 300.00 2 783.74
4 744.29 4 214.67 6 764.08
Rp/kg Rp/kg Rp/liter Rp/gr Rp/liter Rp/gr Rp/unit
212 817.66 2 384.15 -
212 817.66 2 384.15 -
Rp/kg Rp/kg
7 032.52 500.00
7 032.52 500.00
78 032.52 62 686.80 78 032.52 62 686.80 0.06 1 500 000.00
78 032.52 62 686.80 78 032.52 62 686.80 0.04 1 500 000.00
6 585.83
7 471.40
Rp/unit Rp/unit Rp/HKP Rp/HKW Rp/HKP Rp/HKW % Rp/ha
Rp/kg
88
Lampiran 6 Privat dan sosial bujet dari usahatani kedelai (per hektar) di lokasi penelitian, MK 2013 Input-Output Unit Privat Sosial Input Tradabel Biaya Pupuk : a. Pupuk Kimia - Urea - SP-36 - NPK b. Pupuk lainnya - Pupuk alternatif - Pupuk organik c. Pestisida Cair d. Pestisida Padat e. Herbisida Cair f. Herbisida Padat Biaya Traktor
Rp/ha Rp/ha Rp/ha
241 651.97 94 358.97 524 153.43
660 334.30 172 909.52 1 273 616.59
Rp/ha Rp/ha Rp/ha Rp/ha Rp/ha Rp/ha Rp/ha
212 817.66 2 384.15 -
212 817.66 2 384.15 -
Rp/ha Rp/ha
596 742.42 33 001.03
596 742.42 33 001.03
Rp/ha Rp/ha Rp/ha Rp/ha Rp/ha Rp/ha Rp/ha Rp/ha
3 292 113.81 940 301.97 2 251 505.41 626 867.98 489 736.03 1 500 000.00
3 292 113.81 940 301.97 2 251 505.41 626 867.98 489 736.03 1 500 000.00
Ouput Penerimaan
Rp/ha
9 500 615.31
10 778 112.59
Input Tradabel Faktor Domestik Total Biaya
Rp/ha Rp/ha Rp/ha
1 075 366.19 9 730 268.66 10 805 634.85
2 322 062.22 9 567 023.32 11 889 085.53
Keuntungan R/C Ratio
Rp/ha
-1 305 019.54 0.88
-1 110 972.95 0.91
Faktor Domestik Biaya Benih Biaya Pupuk Kandang Biaya Tenaga Kerja: a. Traktor b. Ternak c. Tenaga Kerja Pria DK d. Tenaga Kerja Wanita DK e. Tenaga Kerja Pria LK f. Tenaga Kerja Wanita LK Modal Usahatani Sewa Lahan
89
Lampiran 7 Policy Analysis Matrix (PAM) usahatani kedelai di lokasi penelitian, MK 2013 Biaya Keuntungan Keterangan Penerimaan Input Faktor Tradabel Domestik Privat 9 500 615.31 1 075 366.19 9 730 268.66 -1 305 019.54 Sosial 10 778 112.59 2 322 062.22 9 567 023.32 -1 110 972.95 Efek Divergensi -1 277 497.28 -1 246 696.03 163 245.34 -2 415 992.49
Lampiran 8 Nilai koefisien Policy Analysis Matrix (PAM) dari usahatani kedelai di lokasi penelitian, MK 2013 Parameter Koefisien Nilai 1. Output Transfer -1 277 497.28 2. Input Transfer -1 246 696.03 3. Faktor Transfer 163 245.34 4. Net Transfer -2 415 992.49 5. Private Cost Ratio (PCR) 1.15 6. Domestic Resource Cost Ratio (DRCR) 1.13 7. Nominal Protection Coefficient (NPC) c. On Tradeble Outputs (NPCO) 0.88 d. On Tradeble Inputs (NPCI) 0.46 8. Effective Protection Coefficient (EPC) 0.99 9. Probability Coefficient (PC) 1.17 10. Subsidy Ratio to Producers (SRP) -0.22
90
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Bogor, pada tanggal 16 Juli 1988. Penulis merupakan anak kedua dari pasangan Syahrudin dan Maemunah. Pada tahun 2003 Selama penulis duduk di bangku sekolah menengah pertama dan menengah atas, penulis aktif mengikuti perlombaan baris berbaris pramuka di tingkat Kota Bogor. Tahun 2006 penulis lulus dari SMAN 6 Bogor dan pada tahun yang sama penulis diterima di program studi Teknologi Industri Benih, Diploma Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Penelusuran Minat Dan Kemampuan (PMDK). Penulis lulus jenjang Diploma pada tahun 2009 dengan predikat “Cumlaude” di Program studi Teknologi Industri Benih, Program Diploma Institut Pertanian Bogor (IPB). Penulis mengikuti program Sarjana Ekstensi pada program studi Agribisnis, Institut Pertanian Bogor (IPB) mulai tahun 2009 hingga tahun 2012. Penulis mengikuti program Pascasarjana pada Jurusan Magister Sains Agribisnis dengan mendapatkan sponsor dari Kementerian Pendidikan Tinggi melalui Program BPPDN Dikti tahun 2013. Selama mengikuti perkuliahan, penulis mengikuti beberapa kegiatan akademik dan kegiatan sosial yang diselenggarakan oleh Departemen Agribisnis seperti Kuliah Umum, Seminar Nasional, dan Seminar Internasional. Selain aktif di Departemen Agribisnis, penulis juga aktif sebagai pengurus Forum Mahasiswa Pascasarjana IPB di bidang kesejahteraan mahasiswa.