2 0 1 5 CONTENT IN BAHASA INDONESIA & ENGLISH
B A N D U N G C U LT U R A L A N D T O U R I S M D E P A R T M E N T
INTRODUCTION
A
s one of the most preferred tourist destinations in Indonesia, especially on fashion and culinary distinctiveness, Bandung reveals street food cafés to chic restaurants with signature dish. The legendary local food and snacks continue to subsist from places like contemporary food courts to lingering urban kampongs. Textile industry at the outskirt of the city has immense impact on the way fashion industry functions in the city. Factory outlets are surfacing in several tourist spots. Production districts have turned themselves into marketplaces and tourist hotspots. Weekends make Bandung turns into a tourist-invaded city. This book will assist you to distribute yourself as visitors in the city. Welcome to Bandung.
S
ebagai salah satu tujuan wisata yang paling diminati di negeri, utamanya karena fashion dan kreativitas kulinernya, Bandung menebar ragam cafe hingga restoran mewah, dari utara hingga s elatan, dan dari titik terbit hingga malam panjang. Makanan khas yang legendaris pun tetap hidup dan mengangkat nama kota ini hingga mahsyur dari sebuah kampung di perkotaan. Industri tekstil pun mekar hingga harumnya terasa di factory outlet yang banyak berdiri. Tempat produksi kreativitas saat ini menjadi pusat perdagangan yang kita kenal. Semua merasakan, Bandung penuh dengan cita dan warna. Buku ini akan membantu perjalanan Anda di kota ini. Selamat datang di Bandung.
Creative Landmarks 5
a
O
Dasasila Monument
n the prime day of its 60th commemoration of the Asian African Conference in Bandung, West Java, the Dasasila or the 10 foundations of Bandung Spirit was recited by the Mayor Ridwan Kamil in the presence of hundreds of Asian and African leaders and delegates. The Bandung Spirit is the manifestation of supports for freedom and international collaboration, and an output of the 1955 Asian African Conference held in the same building, the Merdeka Building, which was designed in 1926 by Van Galen and C.P. Wolff Schoemaker. The building was previously a function hall built in 1895 and called Societeit Concordia.
6
Dasasila Monument, however, is the creation of an Indonesian scholar and artist, Sunaryo, a man born in Banyumas, Central Java, on May 15, 1943. Sunaryo was an alumnus of Bandung Institute of Technology and also studied the technique of using marble in sculpture in Carrara, Italy. With more than 10 prestigious awards, and tens of exhibitions around the world, Sunaryo won the competition of Dasasila Bandung Monument Competition in 1984.
7
The monument is now standing at the Cikapundung Riverspot area, just a few meters away from the Merdeka Building. It is made of marble with ten layers of sheaths, symbolizing ten principles or foundations of Bandung Spirit. It was initially located in Simpang Lima junction.
8
a
D
Monumen Dasasila
i hari peringatan ke-60 Konferensi Asia Afrika di Kota Bandung 24 April 2015 lalu, butir-butir Dasasila Bandung kembali dibacakan oleh Walikota Ridwan Kamil di depan para pemimpin negara dan delegasi negara-negara Asia, Afrika, dan undangan lainnya. Dasasila Bandung merupakan hasil dari konferensi yang dilangsungkan tahun 1955. Monumen Dasasila didesain oleh seorang putra bangsa yang lahir di Banyumas, 15 Mei 1943, yaitu Sunaryo. Ia merupakan lulusan Institut Teknologi Bandung dan mempelajari teknik mengukir dengan batu marmer di Carrara, Italia. Menyandang 10 penghargaan bergengsi dan pengalaman pameran di berbagai negara, Sunaryo pun salah satunya memenangkan kompetisi desain monumen Dasasila Bandung pada tahun 1984.
9
Saat ini monumen tersebut berdiri di kawasan Cikapundung Riverspot, bersebelahan dengan Gedung Merdeka. Monumen ini berbentuk putik bunga tersusun 10 undakan menghadap langit sebagai simbol 10 dasar yang terkandung dalam Dasasila Bandung.
10
11
b
A
Asian African Solidarity Monument
t the junction across the Dasasila Monument, stands a brand new landmark named Asian African Solidarity Monument. The most noticeable feature of the monument is the globe, protruding at the top of the black ceramic base where names of nations are attached. The most pronounced quote from Sukarno, the first president of Indonesia, is also read,
“Let a new Asia and new Africa be born.”
12
Located on Jalan Asia Afrika, one of the most prominent boulevards in the city, the monument is truly an eyecatcher. The Mayor of Bandung, Ridwan Kamil, put this very moment in his journal as a statement of ‘New Solidarity’ or ‘Solidarity Reborn’. A day before the inauguration, he personally stated that the monument is a message from the people of Bandung, bringing tribute to the founding fathers, all heroes in Asia and Africa, that Bandung sincerely respects the past and the future of every generation in Asia and Africa. That specifically radiates in the ray of light under the globe.
13
b
Monumen Solidaritas Asia Afrika
T
ak jauh dari Monumen Dasasila Bandung, monumen baru dibina sebagai simbol penghormatan pada para penggagas Konferensi Asia Afrika, dan terutama pada masa lalu dan masa depan Asia Afrika dari warga Bandung. Monumen ini dinamakan Monumen Solidaritas Asia Afrika. Nama-nama negara di Asia dan Afrika terpasang di dasar monumen ini beserta kutipan abadi Sukarno, “Let a new Asia and new Africa be born,” yang bermakna lahirnya era baru bagi Asia dan Afrika.
14
15
c
T
Clock of Asia and Africa
he exact spot where the Dasasila Monument was standing is now a continuing ground for another landmark anew for the eyes of Bandung citizens. A 15-meter clock arises from the center of Simpang Lima, a junction of five different streets; Asia Afrika, Sunda, Ahmad Yani, Gatot Subroto, and Karapitan Street.
16
There are 109 names of nations that comprise the whole Asian and African nations attached to the tower. They are affixed to the terra-cotta-colored walls, bringing a new look and gentler ambience to the frenzied intersection. Many would pass the monument in marvel, giving a sense of international caress and a warm welcome that they are about to enter a zone where the world leaders and head of states once met. On the top of the tower is the portrayal of a national flag, Sang Saka Merah Putih. It is made of steel sheet painted in red and white, the colors of Indonesia’s national flag. It is part of the monuments erected to welcome the guests of Bandung during the Asian African Carnival slated between April 21-26, 2015, and part of the 60th commemoration of the Asian African Conference held here.
17
c
T
Monumen Jam Asia Afrika
itik yang dahulunya ditempati Monumen Dasasila Bandung kini telah diganti dengan Monumen Jam Asia Afrika yang tingginya 15 meter. Bertempat di titik temu lima persimpangan jalan, monument ini pun menyematkan nama-nama negara-negara Asia dan Afrika yang berjumlah 109 buah. Dengan warna terra cotta, dinding monumen ini menjulang tinggi dan di pucuknya tertancap bendera Merah Putih kebanggaan bangsa kita. Sebagai bagian dari penyiapan rangkaian acara peringatan ke-60 Konferensi Asia Afrika, monumen ini seolah memberikan nuansa internasional dan setiap orang yang melaluinya dapat merasakan semangat tersebut.
18
Heritage Buildings
C
omparable with Da Lat of Indo China by the French, or Darjeerling and Simla in India by the British, or other colonial havens handpicked by the Europeans in their times of settlement, Bandung too is definitely a backdrop of heritage in its own right. The Dutch through prominent engineers and architects had engraved their legacy in Bandung, and we know it as art deco style buildings. Here are several of them:
19
a
T
Great Mosque
wo minarets of the earliest large mosque in the city become the easiest pointer for those who come by the Alun-alun Bandung, the city square located right in front of the Bandung Grand Mosque, Mesjid Raya Bandung. The mosque was built in 1810 as the capital of Bandung was relocated from Krapyak to the current neighborhood where the mosque sits. The mosque was a mere praying hut, but it was rebuilt as the minarets were also erected in 1930. The name of Mesjid Agung Bandung was changed to Mesjid Raya Bandung in 2003.
20
a
M
Masjid Raya Bandung
asjid Raya Bandung berdiri pada tahun 1810. Awalnya masjid ini memiliki bentuk atap bersusun tiga seperti masjid di daerah Jawa pada umumnya, hal tersebut konon karena pengaruh kerajaan Mataram Islam yang dulu cukup kuat di Bandung. Sampai sekarang Masjid Raya Bandung sudah mengalami banyak perombakan dan yang paling drastis terjadi pada tahun 1955 sebelum Konferensi Asia Afrika berlangsung. Atap bertingkat Masjid Raya Bandung pun diganti dengan kubah bawang khas daerah timur tengah yang diyakini para ahli sejarah bahwa desain Masjid Raya Bandung yang sekarang merupakan keinginan presiden pertama Indonesia, Soekarno.
21
Sekarang Masjid Raya Bandung makin ramai karena sudah banyak perubahan besar yang terjadi di sekitarnya, salah satunya adalah Taman Alun-Alun Bandung yang berada persis di depan Masjid dan kini menjadi daya tarik utama Kota Bandung. Keberadaan dua menara kembar Masjid Raya Bandung setinggi 81 meter yang selesai dibangun pada tahun 2004 pun makin menambah nuansa elegan di kawasan Jalan Asia Afrika.
22
b
Main Post Office
A
well-pronounced geometric art deco building is displayed here in the Bandung’s Main Post Office, formerly known as Posten Telegraf Kantoor. It was designed by J. Van Gent and built from 1928 to 1932. Serving as a post office during the colonial era, the building is an immediate landmark to the road in front of it; the Great Post Road, now Asia Afrika Boulevard. A two-meter iconic sculpture was evident at the front lot, and it was known as the Universal Postal Union embodiment. Four large pillars at the façade signify modern functional style architecture. Other art deco buildings enclose this 6,000 square-meter complex and eventually make up the whole district as a renowned heritage site in Bandung.
23
b
Kantor Pos Besar Bandung
S
alah satu bangunan klasik bergaya art deco geometrik di Jalan Asia Afrika yang saat ini masih beroperasi secara reguler adalah Kantor Pos Besar Bandung yang dulu dikenal dengan nama Posten Telegraf Kantoor. Kantor Pos Besar Bandung merupakan buah karya seorang arsitek bernama J. Van Gent. Bangunan yang sedari jaman kolonial Belanda sudah berfungsi sebagai kantor pos ini dibangun dari tahun 1928-1932. Tepat di halaman depan Kantor Pos Besar Bandung berdiri patung setinggi dua meter yang disebut patung Universal Postal Union atau Uni Postale Universalle (UPU). Kemudian disekelilingnya terlihat empat pilar besar yang menambah kesan klasik bangunan yang sudah menjadi salah satu dari deretan bangunan tua bersejarah di sepanjang Jalan Asia Afrika.
24
c
T
PLN
he building is right at the bank of Cikapundung River. Story has it that the area was once a pond with clear spring water. The water so clear that rhinos plunged there and became so clean, giving birth to local moniker ‘Badak Putih’, Sundanese language for White Rhino, or loosely translated as cleansed rhino.
25
Other account stated that the founding father of Bandung, Raden Adipati Wiranata Kusumah II, stuck a pole right on the spot and a well was built around it. This is what we know as Sumur Bandung, or the Well of Bandung. Up until now, at the Bale Sumur Bandung, the house of the well of Bandung, a section in the PLN Building, there are those legendary springs and seldom exposed to public due to its sacredness. The building itself was built in 1933 and designed by C.P. Wolff Schoemaker. It was inaugurated on October 26, 1939 as N.V. Gebeo or Bandoeng en Omstreken, an electricity East Indies company. An account wrote that an electricity company named Bandoengsche Electriciteit Maatschapij which has been around the city since 1905 once was also housed in the building.
26
c
PLN
G
edung PLN yang berada tidak jauh dari Sungai Cikapundung termasuk salah satu gedung bersejarah yang mempunyai beragam cerita. Dahulu, area yang sekarang ditempati Gedung PLN adalah sumber mata air yang sangat bersih. Saking bersihnya, badak yang berendam di dalam sumber air mata tersebut pun menjadi bersih sampai orang menyebutnya sebagai badak putih. Cerita lain juga menyebutkan bahwa di dalam Gedung PLN terdapat Bale Sumur Bandung, yaitu mata air yang memancar keluar ketika Raden Adipati Wiranata Kusumah II menancapkan tongkatnya sebagai penanda titik nol kilometer Kota Bandung. 27
Gedung PLN yang didesain langsung oleh C.P. Wolff Schoemaker dibangun pada tahun 1933. Gedung PLN diresmikan pada tanggal 26 Oktober 1939 sebagai N.V. Gebeo atau Bandoeng en Omstreken atau biasa disebut sebagai perusahaan listrik milik East Indies. Beberapa sumber lain mengatakan ada perusahaan listrik bernama Bandoengsche Electriciteit Maatschapij yang sudah berdiri sejak tahun 1905 dan pernah bertempat di Gedung PLN yang kita lihat sekarang.
28
d
O
Mandiri
ne of the most beautiful architectural collections yet less illustrious to visitors is The Mandiri Building. It is right at the side of the newly built pedestrian bridge. The building was designed by two architects named Hulswit Vermen and Edward Cuypers and built in 1912. The building was designed to become a company named Nederlandsche Handel Maatschappij.
29
At the end of the block, right across the Main Post Office, another building, which is also known as the office of Mandiri Bank, stand so exquisitely. It was another creation of J. Van Gent and built in 1915, serving as a bank. This building is an excellent exemplification of past architecture in the city, where all buildings built at junctions usually incorporate single or double towers.
30
Gedung dengan gaya arsitektur neo klasik ini dulunya merupakan Gedung Nederlandsche Handels Maatschappij Bank tapi seiring waktu berjalan, pada tahun 1960 gedung ini berubah menjadi gedung Bank Expor-Impor (Exim) Bandung Lapangan Raya. Kemudian sejak bulan Oktober tahun 1998, Bank Exim dan beberapa bank lainnya, yaitu Bank Bumi Daya, Bank Dagang Negara dan Bank Bapindo bergabung menjadi Bank Mandiri. Hingga saat ini Gedung Bank Mandiri masih kokoh berdiri di kawasan Jalan Asia Afrika, menjadikannya salah satu bangunan heritage yang makin mengukuhkan kalau Bandung itu adalah Paris Van Java-nya Indonesia.
31
d
Mandiri
32
T
idak dapat dipungkiri jika banyak sekali gedung tua di kawasan Jalan Asia Afrika Bandung yang terinspirasi dari gaya arsitektur Eropa. Salah satunya adalah Gedung Bank Mandiri yang berada tepat di seberang kawasan Alun-Alun Bandung. Kalau Anda cermati dengan seksama, Gedung Bank Mandiri ini memang merupakan salah satu gedung tua yang tampilannya tidak banyak berubah dari dulu, bahkan kontras sekali dengan Menara BRI yang tepat berada di sebelahnya. Gedung yang bagian atasnya ada tulisan “Nedhandel NV” ini dibangun pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1912 oleh arsitek dari perusahaan A.B. Hutswit Vermen en Cuypers.
e
A
Merdeka
nother creation of three prominent architectures in their era, Albert Aalbers, C.P. Wolff Schoemaker and Van Galen is the Merdeka Building, located on a 7,500 meter square land, where the Societeit Concordia, a dance hall and social gathering venue for the rich in early 1900s, was previously built in 1895. Merdeka Building adopted another art deco style, and was built in 1926.
33
A very substantial gathering, a conference involving nations from Asian and African continents in 1955, was held here and known widely as the Asian African Conference. On April 24th, 2015, the commemoration of Asian African Conference hit its 60th year. The building stood to embrace national leaders and heads of states, visually glowing and historically brighter.
34
35
G e
Merdeka
36
edung Merdeka dapat dikatakan sebagai salah satu ikon landmark tertua di Bandung. Tercatat banyak peristiwa bersejarah yang terjadi di gedung yang dulunya bernama Gedung Societeit Concordia ini. Berawal dari tempat ngopi para opsir Belanda, kemudian berganti nama menjadi Dai Toa Kaikan di masa kependudukan Jepang tahun 1942-1945, Gedung Societeit Concordia juga sempat menjadi pusat pemerintahan Kota Bandung untuk sementara setelah Jepang kalah dari sekutu sampai akhirnya Soekarno mengganti nama Gedung Societeit Concordia menjadi Gedung Merdeka dan akhirnya diberdayakan untuk menggelar Konferensi Asia Afrika pada tahun 1955.
Selain itu, konon katanya ada terowongan di bawah Gedung Merdeka yang terhubung ke Gedung De Vries yang persis berada di seberang Gedung Merdeka. Kini, keberadaan Gedung Merdeka makin ikonik apalagi setelah berlangsungnya peringatan Konferensi Asia Afrika ke-60.
Banyak perubahan signifikan di sekitar kawasan gedung yang berdiri di atas tanah seluas 7.500 meter persegi ini, dari mulai bangku, ornamen batu, tiang lampu sampai air mancur bermusik yang ada di bagian barat Gedung Merdeka. Jalan Asia afrika dan Gedung Merdeka akan selalu menjadi kawasan bersejarah yang tidak akan lekang oleh waktu, destinasi yang wajib Anda jelajahi jika ingin merasakan secuil nuansa Eropa di Bandung. 37
f
De Vries
“Landbouw Benooodigdheben Import Commissionairs he most conspicuous element of this building is the architectural insignia written on at the upper Venduhouders Warenhuis wall of the façade. It says: de Vries Export Kunst Boek - Paper Handel”
T
38
That loosely means the building is erected by the owner as a marketplace. In 1879, when the rich gathered, they came to a café in the north of Alun-alun, the city square, to enjoy coffee and in 1895, Klaas de Vries turned the coffee corner to become a convenience store. In 1899, the convenience store moved to this building on de Groote Postweg, today known as Asia Afrika Boulevard.
39
This particular building exposes a classic Indies with large collumns and tall windows. So little had the facade changed from its original construction. The last renovation was in 2010 by its current owner, the OCBC NISP who bought it in 2005. The government only allows necessary renovation, and discourages any modern reconstruction upon this heritage building.
40
f
De Vries
B
andung memang kota wisata belanja. Tapi kalau bicara pusat perbelanjaan legendaris yang pernah ada di Bandung, Anda harus melangkahkan kaki ke Jalan Asia Afrika No. 81. Di sana berdiri Gedung De Vries yang kini sudah menjadi gedung dari salah satu bank swasta di Indonesia. De Vries disebut-sebut sebagai pusat perbelanjaan pertama yang ada di Bandung. Jika Anda perhatikan, di bagian depan De Vries ada tulisan
“Landbouw Benooodigdheben Import Commissionairs Venduhouders Warenhuis de Vries Export Kunst Boek - Paper Handel”
,kurang lebih tulisan tersebut bermakna “Tempat ini dibangun oleh pemiliknya untuk berniaga atau berjualan”.
41
Pada tahun 1879, De Vries adalah tempat ngopi kaum elit belanda. Kemudian pada tahun 1895, dibukalah Toko De Vries oleh Klaas de Vries. Awalnya lokasi Toko De Vries di utara Alun-Alun, tapi pada tahun 1899, De Vries pindah ke Groote Postweg (kini, Jalan Asia Afrika). De Vries mempunyai arsitektur bergaya klasik indis, terlihat dari penempatan tiang-tiang berkolom besarnya. Dari toko kelontong sampai toko meubel, dari diskotik sampai menjadi bank, De Vries adalah gedung bersejarah yang tampilannya tidak banyak berubah sedari dulu. Destinasi wajib bagi Anda yang ingin melihat pusat perbelanjaan legendaris yang pernah ada di Bandung. 42
g
T
Majestic
he building has a combination of strong character of local culture and neo classic or art deco ornamental style. This is the New Majestic, designed by C.P. Wolff Schoemaker in 1925. The New Majestic was once called Majestic, meaning greatness in Dutch and also in English. This is the first elite theatre built in the city and played the first Indonesian movie, “Loetoeng Kasaroeng,” although it was not endorsed as one since the production was not made by Indonesian.
43
The designer incorporated the mask of Batara Kala, the underworld god in Hinduism who rules time. C.P. W. Schoemaker thought that the element at the façade would put local element and portray cultural representativeness of Indonesia. The building is built with linear curvature resembling a biscuit can, and therefore known as the bilkken trommel building, the biscuit-can building.
44
g
Majestic
D
i awal tahun 1900, New Majestic bernama Bioskop Concordia. Letaknya yang tidak jauh dari Gedung Societeit Concordia (kini, Gedung Merdeka) membuat Bioskop Concordia menjadi spot hiburan untuk para kaum elit di masa itu. Pengelola Bioskop Concordia sampai mempunyai aturan “Verbodden voor honder en irlander” yang berarti “Dilarang masuk bagi anjing dan pribumi”.
45
Daya tarik Bioskop Concordia masih bertahan sampai sekarang, bangunan yang didesain oleh Wolff Schoemaker mempunyai arsitektur khas yang menyerupai kaleng biskuit atau bilken trommel. Concordia sendiri dalam bahasa Romawi kuno mempunyai makna dewa keharmonisan dan kedamaian. Walau sudah banyak perubahan yang terjadi baik dari segi fungsi dan tampilan, Anda tetap dapat melihat keharmonisan sejarah yang ada di gedung yang umurnya sudah lebih dari 100 tahun ini.
46
h
T
Swarha
he old building silently keeps a long story about journalism during the Asian African Conference in 1955. Journalists from around the world stayed in the building as media delegates. Positioned across the main post office, Swarha was strategically designed to serve the journalists for fast communication. Today, the hotel is not in operational and stays abandoned although the lower story is functioned as textile store. Sitting behind the Great Mosque, the hotel becomes less noticeable although its sheer size is far from insignificant.
47
h
Swarha
B
icara soal hotel-hotel yang mempunyai nilai sejarah di Bandung, Hotel Swarha adalah salah satu bagian dari sejarah Konferensi Asia Afrika pada tahun 1955 silam. Saat itu, Hotel Swarha yang mengakomodir para wartawan yang datang dari berbagai pelosok dunia untuk meliput Konferensi Asia Afrika. Letaknya yang tidak jauh dari Gedung Merdeka membuat Hotel Swarha menjadi spot strategis untuk lalu lalang para wartawan, apalagi Hotel Swarha tepat berada di seberang Kantor Pos Bandung, sehingga memudahkan para wartawan untuk mengirim hasil liputan lewat telegram.
48
Sebagai salah satu hotel yang turut menyukseskan Konferensi Asia Afrika pada tahun 1955, Hotel Swarha tidak mengalami banyak perubahan sampai sekarang. Lokasinya yang berada di antara Masjid Raya Bandung dan pertokoan di Jalan Asia Afrika membuat Hotel Swarha luput dari perhatian banyak orang, bahkan Hotel Swarha sempat menjadi toko tekstil ketika hotelnya sudah tidak beroperasi lagi.Setidaknya, Hotel Swarha pernah menjadi bagian sejarah yang tidak boleh dilupakan begitu saja, sebagai pusat informasi dunia ketika para petinggi-petinggi negara Asia dan Afrika berkumpul di Bandung untuk menyatukan suara anti kolonialisme.
49
Historical Hotels a
I
The Prama Grand Preanger
n its early days, The Prama Grand Preanger, also widely known as Preanger, was merely a store for the preanger planters, the landlords and businessmen who owned tea and cinchona plantation around Bandung highland that is known as the priangan or parahyangan, a moniker that turned to become preanger. Some of the most illustrious preanger planters were Pieter Engelhard, Dr. Andries de Wilde, F.W. Junghuhn, Robert A. Kirkhoven, and K.A.R. Bosscha.
50
The building became a hotel as W.H.C. van Deeterkom saw the opportunity in 1897 and turned the store to become a hotel. Up until now, the hotel is one of the most prominent heritage accommodations in the city. Designed by C.P. Wolff Schoemaker and co-designed by the first president of Indonesia, Sukarno, who was also an architect, the building expresses a historical articulation of another art deco style that makes up Bandung as one of the richest collection of art deco building city. Do stop by for an interesting museum that offers so much information about the past built in the hotel.
51
a
Prama Grand Preanger
H
otel Preanger pada awalnya bukanlah sebuah hotel, melainkan sebuah toko yang menyediakan kebutuhan sehari-hari bagi para pemilik perkebunan di priangan (priangan planters). Karena banyak golongan priangan planters yang berlibur di kawasan Groote Postweg (kini, Jalan Asia Afrika), W.H.C. Van Deeterkommelihat adanya potensi dan mengubah toko tersebut menjadi Hotel Preanger di tahun 1897. Hotel Preanger juga mengalami banyak renovasi, salah satunya renovasi yang dilakukan oleh Wolff Schoemaker pada tahun 1929.Menariknya, Wolff Schoemaker juga dibantu oleh muridnya yang tidak lain dan tidak bukan adalah presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno.
52
Hotel yang masih mempertahankan gaya arsitektur art deco-nya ini juga pernah dikunjungi oleh banyak tokoh penting dunia, salah satunya adalah penerbang wanita pertama yang melintasi Samudera Atlantik seorang diri, Amelia Earhart tercatat pernah menginap di hotel yang sekarang bernama Prama Grand Preanger. Selain kamar untuk bermalam, ada juga museum di dalam Hotel Preanger, museum yang buka dari pukul 11 siang sampai pukul 5 sore menyimpan banyak cerita tentang sejarah hotel ketika pertama kali berdiri dan Bandung pada saat itu. Hotel Preanger adalah salah satu one stop historical spot yang wajib Anda coba kunjungi kalau sedang berlibur di Bandung.
53
b
L
Savoy Homann
ong ago in 1870s, the hotel was only a small building with 80 rooms for accommodation. The Homann family came to Bandung as a part of the plantation scheme rolled by the East Indies company. Now, the hotel has 185 rooms and was renovated to become part of the art deco building by A.F. Aalbers and R. De Waal in 1937 under the hotel management of Fr. J.A. Van Es who managed Des Indes Hotel in Batavia or today known as Jakarta. The renovation ended in 1939, displaying an exceptional curve representing waves and sail post.
54
Uniquely, the hotel was the first one to provide a hotel shuttle bus, picking up guests from the train station to the current location on Asia Afrika Boulevard. The hotel is said to have its twin, which is the Dennis Bank or today is seen as Bank Jabar Banten on Braga and Naripan junction. The hotel was a place for the famous to stay. Some of the illustrious names are Sukarno, Nehru, Cho En Lai, and even Charlie Chaplin.
55
b
Savoy Homann
B
erdiri sejak tahun 1871, Hotel Savoy Homann adalah satu-satunya hotel tertua di Bandung yang masih beroperasi sampai sekarang. Terkenal dengan gaya arsitektur art deco-nya, Hotel Savoy Homann termasuk hotel favorit tokohtokoh dunia sedari dulu. Kamar 244 di Hotel Savoy Homann merupakan kamar favorit presiden pertama Indonesia, Soekarno. Bukan hanya petinggi negara-negara Asia Afrika saja yang pernah merasakan kenyamanan kamar Hotel Savoy Homann, tapi juga komedian legendaris dunia, Charlie Chaplin sempat menginap di Hotel Savoy Homann pada tahun 1927.
56
57
Berawal dari peninggalan keluarga Jerman yang pindah ke Bandung pada tahun 1870 sampai akhirnya dikelola oleh pribumi asli Indonesia, Hotel Savoy Homann adalah destinasi kaya akan sejarah yang tidak boleh Anda lewatkan kalau sedang berkunjung ke Bandung.
58
Urban Furniture
59
To commemorate the Asian African Conference held 60 years ago in Bandung, the message of ‘solidarity from Bandung to the world’ met its fortune as the stone is originated from the Bandung’s geographical landscape, etched with each name of 109 Asian and African nations and shaped as 60-centimeter in diameter spherical forms, symbolizing our common ground, the planet earth in its 60th commemoration of the prominent conference in Bandung.
a
G
Etched Basalt-Stone Balls
oing global is clearly pronounced in Bandung as the town is recently adorned with stone balls. Try counting the number, and you will not find fewer than 300 of them. These stone balls are made locally, precisely from Padalarang, West Bandung Region, in the land of West Java. The area is known as one of the sources of karst and basalt rock in the province. Is it so special that the stone balls are made locally? Perhaps.
60
There are 59 national names etched on the stone balls from Prama Grand Preanger Hotel to Savoy Homann Hotel, and 50 others from De Vries building to the Main Post Office. The rest of the smaller stone balls are spread around Asia Afrika Boulevard area as the major heritage district in Bandung.
61
a
K
Bola Batu
ota Bandung saat ini lebih semarak, terutama di kawasan Asia Afrika dengan kehadiran 300 bola batu yang disusun di tepian jalan bersejarah ini. Sejumlah 109 batu ini diukir dengan nama-nama negara-negara Asia dan Afrika. Bola-bola batu ini dibuat di Padalarang, Jawa Barat dan menjadi simbol solidaritas Kota Bandung bagi dunia. Batu-batu ini terbuat dari batu basalt berdiameter 60 centimeter, dibentuk seperti bola dunia. Dari titik di depan Hotel Prama Grand Preanger hingga persimpangan Braga di tepi Gedung Merdeka, terdapat 59 batu bernama, dan 50 lagi tersusun hingga persimpangan Jalan Banceuy di ujung Gedung Kantor Pos Besar. 62
b
Vintage Urban Streetlights
T
here is a slice sensation of Italy, a glimpse colonialism age of the Dutch East Indies, and a cuddling romance of Paris when a row of 6-meter vintage streetlights are installed around Asia Afrika Boulevard and Braga Street, two most prominent lanes in Bandung City for photographers and street artists alike. The tiger of Bandung, the icon for local football club, PERSIB, is mounted on each light post. At the mid-section of the post, two flower pots are affixed right under the LED lights. The whole set becomes very romantic at night. 63
During the pre-industrial era in Europe, the streetlights were installed to provide lights and prevent the wanderers from tripping on the pavements, besides its main purpose,security. Although accounts stated that the Mayor of London, Sir Henry Barton, initiated the regulation for public illumination, the ambience of the whole European nations is lucidly immersed as you walk down the lane at during the day. Oh yes, the double decker bus named Bandros in Bandung is also an amplifying factor of the old era when it unexpectedly passes by the boulevard.
64
b
Tiang Lampu Antik
N
uansa Eropa yang romantis dan klasiknya karya-karya penataan kota gaya Belanda begitu terasa dengan hadirnya setelah terpasangnya lampu-lampu kuno yang menjulang setinggi 6 meter di Jalan Asia Afrika dan Jalan seputar Braga dan Balai Kota Bandung. Penataan ini otomatis mengundang para pencari gambar dan model-model untuk berpose.
65
Berbahan besi yang dicata hijau tua, serta penyematan pot bunga di bawah lampu LED yang menyala teduh, tiang ini dihiasi pula oleh ikon kebanggaan sepak bola Kota Bandung, PERSIB. Maung Bandung berpose di atas dua kaki belakangnya di puncak tiang yang memberikan kesan gagahnya kota ini. Walau bukan perintis penerangan kota seperti Walikota London dahulu, Sir Henry Barton, Walikota Bandung, Ridwan Kamil memiliki semangat untuk menjadikan kota ini secantik kota-kota di Eropa.
66
c
N
Cast Iron Benches
ow, strolling along the Asia Afrika Boulevard will not be the same. As visitors learn the heritage buildings, they can always sit down on the newly provided vintage cast iron bench along the boulevard while reading the guide book or simply enjoy the ambience. The benches are there to be part of the urban beautification program in welcoming the 60th commemoration of Asian African Conference held in April 2015.
67
The bench is iron cast and pinned down to the newly renovated sidewalk. More than 40 benches are provided along the boulevard between The Prama Grand Preanger to the Merdeka Building, and there are more up until the Main Post Office close to Mandiri Building and Swarha.
68
c
K
Kursi Besi Tempa
adang berjalan kaki menikmati suasana Eropa di kawasan Jalan Asia Afrika dapat membuat kaki lelah. Tapi jangan khawatir, tahun ini ada yang berbeda dari kawasan Jalan Asia Afrika. Memperingati Konferensi Asia Afrika yang sudah memasuki tahun ke-60, banyak perubahan yang terjadi di Kota Bandung, khususnya di kawasan Jalan Asia Afrika. Penambahan bangku taman klasik yang tersebar di sepanjang Jalan Asia Afrika sampai Jalan Braga makin menambah kental suasana Eropa sekaligus pelepas lelah bagi anda yang ingin duduk-duduk sejenak sambil menikmati gedung-gedung bersejarah yang ada di Paris Van Java.
69
Sebagai satu dari sekian furnitur yang menghiasi kawasan Jalan Asia Afrika, keberadaan bangku taman ini cukup signifikan bagi para pejalan kaki yang mungkin capek berkeliling dari Jalan Braga sampai Jalan Asia Afrika, sekedar duduk sambil bersenda gurau dengan kerabat atau keluarga, bangku taman yang menghiasi kawasan Jalan Asia Afrika ini mungkin akan menjadi bagian dari kenangan untuk siapapun tentang nikmatnya bersantai di Kota Bandung. 70
d
W
Pedestrian-Only Streets
e always love an empty street, and strolling on it is almost magical, because most people end up in a tragedy. It’s that guilty pleasure and a risky business in one place. For decades, the people of Bandung have dreamed about a pedestrian-only street. In the first quarter of the year, Bandung offers not one pedestrian-only street, but two of them. One on Jalan Cikapundung Timur adjacent to Merdeka Building, and the other is on Jalan Dalem Kaum, next to the Great Mosque of Bandung.
71
No matter how old you are, being there is like unleashing that restrained freedom. It’s quite an unusual sight and unshackled feeling. Both streets are adorned with vintage streetlights and benches. Not to mention the flower pots lining up at the street sides. 72
S d
Jalan Khusus Pejalan Kaki
iapapun menyukai berjalan di tengah jalur kendaraan yang dikosongkan. Perasaan bebas dan bahagia selalunya menjadi pemersatu para pejalan kaki. Kini, di Jalan Cikapundung Timur di tepi Gedung Merdeka dan Jalan Dalem Kaum dibuat khusus bagi pejalan kaki. Furnitur kota dan program percantikan kota begitu kental dan dibarengi festival-festival kreatif, semua menjadi sebuah keharmonisan bagi warga juga bagi wisatawan.
73
e
A
Pedestrian Bridge
sia Afrika Boulevard gets busier as the traffic builds up twice as many. The illustrious district at the eve of the 60th commemoration of Asian African Conference was an urban enticement for visitors and citizens. The pedestrian bridge at the Cikapundung Barat Street required a makeover, not only for the safeguard of the passerby, but also for city branding.
74
With the colonial art deco style, this particular pedestrian bridge appears much brighter than before. Under the bridge, an immortal quote of a Dutch phenomenologist and cultural scientist who spent much of his time in Indonesia, Martinus Antonius Weselinus Brouwer (M.A.W. Brouwer), is affixed so passionately. Cars and motorcycles pass by under it, with a noteworthy recollection of the city, the land of Sundanese people;
“Bumi Parahyangan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum.” It loosely translates, “The land of Sundanese people was created when God was smiling.”
75
e
Jembatan Penyebrangan
76
D
i saat perayaan peringatan ke-60 Konferensi Asia Afrika, jembatan penyeberangan di Cikapundung Barat direnovasi ulang dengan bentuk yang semakin menyatu dengan gaya bangunan di sekitarnya, yaitu gaya art deco. Dahulu sedikit ditelantarkan, kini jembatan penyeberangan ini bagaikan kebanggaan baru bagi kota ini. Di bawahnya tersemat kutipan abadi dari Martinus Antonius Weselinus Brouwer yang berbunyi,
f
S
Dancing Water Fountain
erving as a small centralized parking space, the lot at the bank of Cikapundung River is now transformed as a park with fountain and seating facilities. This open plaza is known as Cikapundung River Spot. The open plaza is large enough to accommodate hundreds of people gathering or simply enjoying open-air lunch or afternoon conversation with a pond nearby. Under large trees shadowing the lot, visitors can sit on one of the 16 red benches while enjoying a dancing water fountain.
77
The 2-meter in diameter fountain is harmonized with a list of songs played in the morning and at night, especially during the weekends. Tentatively, the fountain plays every 15 minutes on weekends at 06.30 pm up to around 10.00 pm, even sometimes to 11.00 pm. With colorful lights illuminating the showering water fountain, the sight is quite appealing. The songs known familiar enough to the locals are Halo Halo Bandung, Manuk Dadali, and The Queen’s We Are the Champions.
78
f
Air Mancur Menari
D
ulunya lokasi ini adalah tempat parkir kendaraan yang juga tak begitu sering dimanfaatkan. Kini, dengan penataan kota yang terpadu, dibuatlah taman bernama Cikapundung Riverspot yang merupakan plaza terbuka bagi wisatawan dan warga untuk dapat berkumpul dan berinteraksi. Di sini dibuat air mancur yang dikelola dengan harmonis bersama lagu yang dimainkan saat beroperasi. Dimulai dari pukul 18.30 hingga pukul 22.00 bahkan 23.00 saat akhir pekan, air mancur ini indah berwarna warni memancarkan air yang menghibur sekaligus menyemangati karena alunan lagu Halo Halo Bandung, Manuk Dadali, dan juga salah satu lagu The Queen pun dilantunkan, yaitu We Are the Champions.
79
BUKU PARIWISATA KOTA BANDUNG by: Bandung Cultural and Tourism Department
Copywriter: Anggun Nugraha MBA. Aria Gardhadipura Editor: Kenny Dewi Kaniasari MA. Photography: Fiq Istiqlal Valdi Hidayat Mulyanto Ajie M. Noor Layout & Design: Abdul Aris Mustaqin Thank to: Model: Dewi, Anne, Marcell Make Up Artist: Intan G2D, Ferry WK Approved by: Bandung Cultural and Tourism Department All rights reserved. No part of this book may be reproduced or quoted without written permission from the publishers.The contents are not the responsibility of the printing company.
80
B A N D U N G C U LT U R A L A N D T O U R I S M D E P A R T M E N T
Jl. Ahmad Yani No. 277 Bandung, West Java, Indonesia Phone: +62 22 7271724 Fax: +62 22 7210768
[email protected] @Disbudpar_Bdg www.bandungtourism.com
