25
c. TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Vibrio parahaemolyticus Vibrio parahaemolyticus adalah salah satu spesies bakteri dari famili Vibrionaceae yang merupakan bakteri Gram negatif berbentuk batang (curved atau straight ), anaerob fakultatif, tidak membentuk spora, pleomorfik, bersifat motil dengan single polar flagellum. Bakteri ini merupakan bakteri halofilik (tumbuh optimum pada media yang berkadar garam 3%), tidak memfermentasi sukrosa dan laktosa, dapat tumbuh pada suhu 10-44oC (optimum suhu 37oC), dimana waktu generasi bakteri pada fase eksponensial adalah 9-13 menit di kondisi optimum pertumbuhannya. Sementara itu kisaran pH dan Aw pertumbuhannya berturut-turut adalah 4.8 – 11 (optimum 7.8 – 8.6) dan 0.94 – 0.99 (optimum 0.981) (Baumann dan Schubert, 1984; Jay et al. 2005; Lake et al. 2003).
Beberapa karakter Vibrio parahaemolyticus yang
membedakannya dengan spesies Vibrio lainnya diantaranya tidak memfermentasi sukrosa seperti Vibrio cholerae dan Vibrio alginolyticus. Selain itu pada media padat bakteri ini tumbuh dengan menggunakan lateral flagella serta sifatnya yang halofilik dengan kisaran garam 0.5-8%, sedangkan bakteri Vibrio cholerae mampu tumbuh pada media tanpa garam (Holt dan Krieg, 1984).
Gambar 1. Sel V. parahaemolyticus menggunakan scanning electron micrograph (SEM), bar = 1µm
(http://en.wikipedia.org/wiki/Vibrio_parahaemolyticus)
26
Berdasarkan antigennya, Vibrio parahaemolyticus terdiri atas kelompok antigen yaitu : tipe H (flagellar), tipe O (somatic) dan tipe K (capsular). Antigen tipe H merupakan antigen paling umum untuk seluruh galur Vibrio parahaemolyticus, sedangkan antigen tipe O bersifat thermolabile dan antigen tipe K bersifat thermostable. Saat ini, terdapat 12 grup antigen O dan lebih dari 70 antigen K yang telah menghasilkan 76 serotipe (Tabel 4), dimana 5 dari antigen K dengan 2 antigen O membentuk serotipe O:K, yang kemudian digunakan untuk investigasi penyebaran penyakit yang disebabkan oleh Vibrio parahaemolyticus (Kaysner dan DePaola, 2004). Skema antigen ini pertama kali dipublikasikan oleh Sakazaki et al. (1963), selanjutnya beberapa serotipe ditambahkan oleh Komite Serotipe Vibrio parahaemolyticus Jepang dimana antigen K : 2, 14, 16, 29, 35 dan 62 bukan merupakan hasil dari Komite. Antigen K : 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan 19 bisa ditemukan lebih dari satu antigen O. Tabel 4.
Hubungan antara antigen tipe O dan K pada V. parahaemolyticus
Antigen O 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Antigen K 1,25,26,32,38,41,56,58,64,69 3,28 4,5,6,7,27,30,31,33,37,43,45,48,54,57,58,59,65 4,8,9,10,11,12,13,34,42,49,53,55,63,67 5,15,17,30,47,60,61,68 6,18,46 7,19 8,20,21,22,39,70 9,23,44 19,24,52,66,71 36,40,50,51,61 52
Kaysner dan De Paola (2004)
Vibrio parahaemolyticus merupakan flora normal di lingkungan perairan payau seperti pantai, muara sungai atau tambak yang tersebar di seluruh dunia.
Keberadaan bakteri ini umumnya lebih sering ditemui pada wilayah
beriklim sedang dan tropis atau pada musim panas di negara-negara empat musim. V. parahaemolyticus umumnya terdeteksi pada air laut, sedimen, plankton, ikan, krustasea, kekerangan dan moluska.
Produk perikanan memberikan semua
kondisi yang dibutuhkan oleh V. parahaemolyticus untuk tumbuh dan
27
berkembang biak seperti keberadaan garam, kandungan nutrien, pH dan Aw yang optimum dan faktor lainnya sehingga bakteri ini sering disebut flora normal pada produk perikanan. Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Keberadaan V. parahaemolyticus Bakteri patogen yang terkait dengan produk perikanan secara umum dikelompokkan atas 3 yaitu : bakteri yang merupakan flora normal perairan laut (Vibrio spp., Listeria monocytogenes, Clostridium botulinum dan Aeromonas hydrophila), bakteri yang berasal dari kontaminasi feses (Salmonella spp., E. coli patogenik, Shigella spp., Campylobacter spp., dan Yersinia enterocolitica), dan bakteri yang berasal dari kontaminasi selama pengolahan (Bacillus cereus, Staphylococcus aureus, Listeria monocytogenes, dan Clostridium perfringens). V. parahaemolyticus merupakan flora normal yang hidup di perairan payau dan sebagian jenisnya bersifat patogen pada produk perikanan seperti udang, ikan, kepiting, tiram, kerang, dan jenis cephalopoda. (Feldhusen, 2000; Liston, 1990; Liu dan Chen, 2004; Su dan Liu, 2007). Keberadaan V. parahaemolyticus di lingkungan perairan dan produk perikanan dipengaruhi oleh musim, lokasi, polutan, jenis sampel dan metode analisis (Cook et al. 2002; DePaola et al. 1990; DePaola et al. 2000; Kaneko dan Colwell, 1973; Kaysner et al. 1990; Watkins dan Cabelli, 1985) . Suhu perairan merupakan faktor penting yang mengontrol tingkat V. parahaemolyticus pada lingkungan, dimana terjadi peningkatan jumlah V. parahaemolyticus pada kisaran suhu 10-30°C (De Paola et al. 1990; Kaneko dan Colwell, 1973; Watkins dan Cabelli, 1985). Penelitian menunjukkan V. parahaemolyticus jarang ditemukan saat suhu perairan di bawah 10°C akan tetapi keberadaannya akan meningkat sejalan dengan meningkatnya suhu perairan. Studi ekologi lainnya menyebutkan bahwa V. parahaemolyticus dapat bertahan hidup pada biota perairan (plankton, kekerangan, kustasea, ikan) dan sedimen selama musim dingin dan akan terlepas ke perairan saat suhu meningkat pada awal musim panas (Kaneko dan Colwell, 1973). DePaola et al. (1990) melaporkan, hasil survei 9 pantai di USA dalam kurun waktu 1984-1985 menunjukkan densitas V. parahaemolyticus yang cukup rendah di perairan (4 koloni/ml) ketika terjadi penurunan suhu di bawah 16°C.
28
Namun demikian, densitas bakteri ini meningkat menjadi 103 koloni/ml saat suhu perairan mencapai 25°C. Pada budidaya tiram di Oregon juga menunjukkan adanya korelasi positif antara jumlah V. parahaemolyticus dengan peningkatan suhu dan pupolasi tertinggi terjadi pada musim panas (Duan dan Su, 2005). Sementara itu keberadaan V. parahaemolyticus di produk perikanan diketahui lebih banyak teridentifikasi pada saat terjadi peningkatan suhu lingkungan.
Keysner
dan
DePaola
(2000)
melaporkan
jumlah
V.
parahaemolyticus pada tiram yang dipanen pada musim semi dan panas lebih banyak dibandingkan musim dingin yaitu di atas 103cfu/g dan dapat berkembang biak dengan cepat pada tiram yang terpapar suhu tinggi. Hasil penelitian Gooch et al. (2002) menunjukkan bahwa populasi V. parahaemolyticus pada tiram meningkat 50-790 kali lipat dari jumlah awal selama 24 jam setelah panen jika disimpan pada suhu 26°C. Sementara itu, hasil survei sampel tiram yang diambil dari restoran dan seluruh pasar produk hasil perikanan tingkat eceran sampai grosir di USA selama Juni 1998 - Juli 1999 menyimpulkan bahwa V. parahaemolyticus memiliki kepadatan tertinggi (> 103MPN/g) pada musim panas (Cook et al. 2002). V. parahaemolyticus dapat dideteksi pada rentang salinitas yang cukup besar (5-35 ppt) dengan salinitas optimal berkisar 22 ppt (DePaola et al. 1990). Beberapa penelitian menyebutkan bahwa terdapat korelasi yang tidak langsung antara polusi fekal dengan keberadaan V. parahaemolyticus karena diduga merupakan
biostimulasi
dari
mikrofauna
yang
berasosiasi
dengan
V.
parahaemolyticus (Watkins dan Cabelli, 1985). Selain itu V. parahaemolyticus diduga terkait erat dengan keberadaan zooplankton terutama copepoda yang dikaitkan dengan aktivitas dan afititas kitinase dari kitin (Fratamico et al. 2005; Kaneko dan Colwell, 1973; Watkins dan Cabelli, 1985).
Penyakit Bawaan Pangan (foodborne diseases) oleh Vibrio parahaemolyticus Keberadaan V. parahaemolyticus patogenik pada produk perikanan dapat menyebabkan penyakit pada manusia melalui konsumsi pangan (foodborne diseases) terutama melalui pangan mentah atau yang tidak dimasak sempurna. Keberadaan V. parahaemolyticus dapat disebabkan oleh kontaminasi silang antar
29
pangan olahan dan mentah atau melalui pencucian pangan dengan air yang mengandung V. parahaemolyticus. Penyakit karena V. parahaemolyticus adalah gastroenteristis seperti diare (98%), kejang bagian perut (82%), mual (71%), muntah (52%), dan demam (27%) dengan masa inkubasi 4-96 jam dengan ratarata 15 jam (Barker dan Gangarosa, 1974; Levine et al. 1993) . Sebagian kecil kasus, bakteri ini menyebabkan kerusakan (luka) pada mukosa usus sehingga terdapat darah pada feses penderita bahkan dapat menyebabkan septisemia. Penyakit bawaan pangan oleh V. parahaemolyticus umumnya lebih sering terjadi di negara beriklim tropis karena merupakan kondisi optimum pertumbuhan bakteri ini. Awalnya kasus V. parahaemolyticus terjadi secara sporadis akan tetapi menyebar dengan cepat ke seluruh dunia dan menjadi kasus kejadian luar biasa (KLB). Kasus infeksi karena V. parahaemolyticus melalui konsumsi pangan pertama sekali terjadi di Osaka-Jepang pada tahun 1951 akibat mengkonsumsi ikan sardine mentah. Kasus ini memakan korban sebanyak 272 orang menderita sakit dan 20 orang meninggal (Daniels et al. 2000). Tahun 1998 kasus infeksi karena V. parahaemolyticus meningkat dua kali lipat dibandingkan tahun 1997 dan melebihi jumlah kasus yang disebabkan oleh Salmonella. Pada kurun waktu 1996-1998 terjadi 20-30% kasus KLB (IDSC, 1999 dalam US-FDA, 2005). Negara Asia lainnya adalah Taiwan, sebanyak 57% (42/74 kasus KLB) adalah yang disebabkan oleh V. parahaemolyticus seperti yang dilaporkan Kementerian Kesehatan Taiwan tahun 1994. Kurun waktu 1986-1995 sebanyak 35% (197/555 kasus) merupakan kasus yang disebabkan oleh V. parahaemolyticus (Pan et al. 1996; Pan et al.1997). Sementara itu terjadi 5 kasus KLB di di Thailand, dimana 7-93 orang terinfeksi setelah mengkonsumsi kepiting dan ikan makarel olahan pada tahun 1971. Pada November 1970-Juni 1973, sebanyak 7930 sampel klinis penderita diare teridentifikasi V. parahaemolyticus (Phayakvichien et al. 1990). Di Vietnam, kasus KLB terdeteksi sebanyak 548 kasus pada tahun 1997-1999, dimana 90% terjadi pada usia di atas 5 tahun. Dalam kasus ini sebanyak 77% menderita muntah, diare (53%), dan diare berdarah (6%) (Tuyet et al. 2002). Indonesia sendiri pernah terjadi kasus sebesar 3.7% (19/514 pasien) dengan gastroenteristis akut dan diketahui positif V. parahaemolyticus sepanjang tahun
30
1974 (Bonang et al. 1974). Kasus KLB karena infeksi V. parahaemolyticus yang terjadi di negara-negara di Asia dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Kasus KLB karena infeksi V. parahaemolyticus di Asia No 1
2
Negara Jepang
-
Taiwan
-
Insiden V. parahaemolyticus Kasus I tahun 1951 (272 orang sakit; 20 orang meningal 20-30% kasus KLB (1996-1998) 57% (42/72 kasus KLB) terjadi pada tahun 1994 Tahun 1986-1995 sebesar 35% (197/
Referensi
Daniels et al. (2000) US-FDA (2005) Pan et al.(1996) Pan et al.(1997)
555 kasus) adalah kasus Vp 3
Thailand
-
4 5
Vietnam Indonesia
-
Terjadi 5 kasus KLB karena konsumsi kepiting dan makarel pada tahun 1971 Tahun 1970-1973 terdapat Vp pada 7390 sampel klinis pasien diare Tahun 1997-1999, terjadi 548 kasus Tahun 1974 ditemukan 3.7% (19/154 pasien) dengan gastroenteris akut karena Vp
Phayakvichien et al. (1990) Tuyet et al. (2002) Bonang et al. (1974)
Kasus KLB V. parahaemolyticus juga dilaporkan terjadi di negara Eropa dan Amerika (Tabel 6) walaupun lebih jarang dibandingkan negara-negara di Asia. Robert-Pillot et al. (2004) menyebutkan bahwa kasus KLB serius pernah terjadi di Perancis pada tahun 1997 karena mengkonsumsi udang yang diimpor dari Asia dan memakan korban 44 orang. Amerika Serikat melaporkan terjadi 40 kasus KLB yaitu sepanjang 1973 – 1998 di 15 negara bagian dan wilayah Guam dengan 1064 penderita dan median tingkat serangan 56% (3 - 100%) dimana sebagian besar kasus terjadi di bulan Juli. Penyebabnya adalah tiram dan kerang mentah (38% kasus) atau yang tidak dimasak sempurna. Pada periode ini, 30% KLB terjadi pada 1997 – 1998 dan tiga diantaranya cukup besar yaitu Juli– Agustus 1997, keracunan disebabkan oleh konsumsi tiram mentah dari Puget Sound, Washington selanjutnya dua kasus KLB gastroenteritis karena V. parahaemolyticus terjadi pada Mei–Juni 1998 akibat mengkonsumsi tiram mentah yang berasal dari Galveston Bay, Texas dan di akhir Juli 1998, KLB V. parahaemolyitcus terkait dengan konsumsi tiram dan kerang mentah yang berasal dari Teluk Oyster, Long Island, New York (Daniels et al, 2000).
31
Kasus KLB V. parahaemolyitcus di New York, Oregon dan Washington, kembali terjadi pada 20 Mei – 31 Juli 2006 setelah mengkonsumsi tiram dan remis mentah dan olahan di restoran. Tiram dan remis berasal dari daerah pantai Washington dan British Columbia-Canada yang didistribusikan secara nasional ke pasar ikan dan restoran. Luasnya daerah pemasaran berdampak pada meluasnya daerah sebaran penyakit. Pada tahun 2006, 122 kasus berasal dari 17 sumber produk hasil perikanan yang sama dan berimplikasi pada penutupan perusahaan pemanenan tiram yang merupakan pemasok utama tiram penyebab KLB (Balter et al, 2006). Selain itu kasus KLB juga dilaporkan di Chile pada November 1997April 1998, dimana kasus ini terkait dengan konsumsi kerang. Hal ini diduga adanya pengaruh El Nino selain suhu perairan yang kemungkinan dapat membantu blooming bakteri. Spanyol juga menghadapi kasus KLB karena V. parahaemolyticus antara Agustus-September 1999, dimana 64 orang menderita sakit setelah mengkonsumsi tiram mentah yang berasal dari pasar lokal (Cordova et al. 2002; Lozano-Leon et al. 2003). Tabel 6. Kasus KLB karena infeksi V. parahaemolyticus di Eropa dan Amerika No 1
Perancis
Negara -
Insiden V. parahaemolyticus Referensi Tahun 1997 karena konsumsi udang Robert-Pillot et al.
Amerika Serikat
-
Tahun 1973 – 1998, 40 kasus KLB Daniels et al. (2000)
yang diimpor dari Asia 2
3
Chile
4
Spanyol
di 15 negara bagian dan wilayah Guam dengan 1064 penderita - Mei-Juli 2006, terjadi kasusKLB setelah mengkonsumsi tiram dan remis mentah dan olahan - November 1997-April 1998, terjadi kasus KLB terkait dengan konsumsi kerang - Bulan Agustus-September 1999, sebanyak 64 orang terinfeksi Vp
(2004)
Balter et al. (2006) Cordova (2002)
et
al.
Lozano-Leon et al. (2003)
Penyakit bawaan pangan karena V. parahaemolyitcus sangat terkait dengan cara mengkonsumsi bahan pangan tersebut. Kasus V. parahaemolyitcus yang terjadi di Taiwan disebabkan oleh kebiasaan masyarakatnya mengkonsumsi produk perikanan dalam kondisi mentah. Kondisi yang sama tampaknya juga
32
terjadi
di
beberapa
negara
Asia
lainnya
yang
mempunyai
kebiasaan
mengkonsumsi produk perikanan dalam kondisi mentah seperti Jepang, Cina, Vietnam, dan Thailand. Selain itu infeksi karena V. parahaemolyitcus juga terjadi setelah mengkonsumsi produk perikanan olahan. Hal ini terutama disebabkan oleh pemasakan yang tidak sempurna sehingga tidak membunuh semua V. parahaemolyitcus yang ada, atau proses penanganan yang buruk seperti kondisi higiene dan sanitasi tidak terjaga, penyimpanan produk pada suhu ruang selama beberapa jam sebelum diolah/dikonsumsi, atau terjadinya kontaminasi silang antara produk yang telah dimasak dengan produk mentah.
Di Thailand, tingkat
kontaminasi V. parahaemolyticus pada produk perikanan sebesar 77.5% pada kurun waktu 1971-1972. Penelitian lain menyebutkan terdapat 27% dan 49% produk perikanan beku dan mentah mengandung V. parahaemolyticus. Sementara itu sebanyak 78% seafood mentah di Bangkok pada Mei-Oktober 1994 terkontaminasi V. parahaemolyticus, dimana kontaminasi tertinggi terdapat pada remis (100%), kerang (96%), udang (68%) dan kepiting bakau (51%). Produk udang beku yang siap diekspor juga ditemukan V. parahaemolyticus sebesar 64% pada Mei 1995-Juli 1996. Sampel udang beku di unit pengolahan di Propinsi Chachoengsao-Thailand juga terkontaminasi V. parahaemolyticus sebesar 80% (April-Mei 1999) (Limuthaitip, 1995; Kowcachaporn, 1997; Phayakvichien et al. 1990; Phumiprapat, 1992; Pungchitton, 1999 dalam Jaesawang, 2005). Infeksi V. parahaemolyticus pada manusia terkait dengan galur patogenik dari bakteri ini. Galur bakteri penyebab gastroenteritis pada manusia pertama kali diisolasi dari sampel klinis penderita kasus KLB di Calcutta-India tahun 1994-1996 yaitu V. parahaemolyticus O3:K6 (Okuda et al. 1997).
V.
parahaemolyticus O3:K6 ini bersifat pandemik di negara Asia Tenggara akan tetapi bukan merupakan galur yang sama dengan galur O3:K6 yang masuk melalui turis-turis Asia (international travellers) yang terjadi pada tahun 19821993 (Chiou et al. 2000; Okuda et al. 1997; Vuddhakul et al. 2000). Galur O3:K6 juga teridentifikasi di USA pada tahun 1998 dan menyebabkan kasus KLB (416 orang) setelah mengkonsumsi tiram mentah (Daniels et al. 2000). Selain itu galur ini pada produk yang sama juga menyebabkan kasus KLB di Connecticut, New Jersey, dan New York (CDC, 1999). Galur patogen lainnya yang dominan
33
dan menyebabkan peningkatan KLB di dunia adalah O4:K68 dan O1:K untypeable (KUT), dimana galur ini dilaporkan terkait dekat dengan galur O3:K6 (Martinez-Urtaza et al. 2004).
Faktor Virulen Vibrio parahaemolyticus Beberapa hasil penelitian melaporkan bahwa V. parahaemolyticus patogenik umumnya diisolasi dari 90% sampel klinis dan hanya sekitar 1-2% dari lingkungan maupun produk perikanan (Kelly dan Dan Stroh, 1988; Miyamoto et al. 1969; Sakazaki et al. 1968). dihubungkan
dengan
kemampuan
V. parahaemolyticus patogenik umumnya bakteri
ini
memproduksi
hemolisis.
Berdasarkan kemampuannya memproduksi hemolisis , terdapat 3 jenis hemolisis yang dihasilkan oleh V. parahaemolyticus yaitu thermolabile hemolysin (TLH), thermostable direct hemolysin (TDH), dan TDH related hemolysin (TRH). Thermolabile hemolysin (TLH) adalah protein dengan
berat molekul
berturut-turut 47.5 dan 45.3kDa yang memiliki aktivitas phospholipase/lyso phospholipase . Hemolisis ini terdapat pada semua galur V. parahaemolyticus akan tetapi peranannya dalam patogenesis tidak diketahui secara pasti (Bhunia, 2008).
Gen penyandi tlh banyak digunakan untuk mengidentifikasi V.
parahaemolyticus pada sampel dengan menggunakan metode berbasis molekuler. Infeksi oleh V. parahaemolyticus penyebab gastroenteritis pada manusia terkait dengan keberadaan thermostable direct hemolysin (TDH). Kejadian ini dikenal dengan istilah fenomena Kanagawa (KP) dan disebut sebagai faktor virulen. Fenomena Kanagawa (KP+) merupakan aktivitas β hemolisis pada media agar Wagatsuma (mengandung sel darah merah manusia) yang ditandai dengan pembentukan zona bening di sekitar koloni pada media agar setelah diinkubasi pada suhu 37°C selama 18-24 jam (Joseph et al. 1982; Miyamoto et al. 1969; Sakazaki et al. 1968). Keberadaan KP+ terkait dengan produksi TDH yang dapat menyebabkan lisis pada membran sel darah merah melalui pembentukan pori sehingga beberapa ion masuk ke dalam sel dan terjadi pembengkakan sel yang mengakibatkan kematian sel karena ketidakseimbangan
ion (Bhunia, 2008).
Mekanisme hemolisis yang disebabkan oleh TDH diawali dengan tahap pengikatan membran sel darah merah, selanjutnya terbentuk pori trans membran
34
yang pada akhirnya mengakibatkan gangguan pada membran sel (Honda et al. 1992).
Thermostable direct hemolysin (TDH) bersifat stabil terhadap panas
(100°C; 10 menit) dan aktivitas hemolitiknya tidak dapat ditingkatkan dengan penambahan lesitin. Hal ini yang menunjukkan bahwa TDH memiliki aktivitas langsung terhadap sel darah merah (Nishibuchi dan Kaper, 1995). Aktivitas TDH menyebabkan peningkatan konsentrasi kalsium dalam sel sehingga memicu sekresi ion klorida melalui sel intestinal. Thermostable direct hemolysin (TDH) merupakan protein (terdiri dari 165 asam amino) yang tidak memiliki lipida dan karbohidrat dengan berat molekul 42 kDa. Thermostable direct hemolysin (TDH) terdiri dari 2 sub unit identik yang masing-masing memiliki berat molekul 21 kDa (Honda dan Iida, 1993; Miyamoto et al. 1980; Takeda et al. 1978 dalam Levin, 2009). Gen penyandi TDH pertama kali dikloning oleh Kaper et al. (1984) yang disebut tdh1, kemudian ditemukan gen tdh2 oleh Hida dan Yamamoto (1990).
Nishibuchi dan Kaper (1990)
melaporkan bahwa semua KP+ pada sampel klinis galur V. parahaemolyticus umumnya mengandung gen tdh1 dan tdh2 dan jika galur V. parahaemolyticus menunjukkan aktivitas hemolisin yang rendah pada agar Wagatsuma maka diduga hanya memiliki 1 gen tdh. Thermostable direct hemolysin (TDH) disebut sebagai faktor virulen pertama V. parahaemolyticus dan digunakan untuk mengidentifikasi galur patogenik V. parahaemolyticus (Cook et al. 2002; Okuda et al. 1997). V. parahaemolyticus patogenik umumnya terkait erat dengan KP+, akan tetapi Honda et al. (1987 dan 1988) melaporkan bahwa ditemukan V. parahaemolytic patogenik pada sampel klinis pasien KLB di Maldives pada tahun1985 yang ditandai dengan Fenomena Kanagawa negatif (KP-).
Galur ini
diketahui tidak memproduksi TDH tetapi memproduksi TDH-related hemolysin (TRH) yang menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia. Shirai et al. (1990) menyatakan bahwa 52 galur dari sampel klinis 8 pasien diare hanya memproduksi TRH sehingga disebut juga sebagai gen patogen V. parahaemolyticus.
Gen trh
umumnya dikaitkan dengan V. parahaemolyticus yang menunjukkan hasil urease yang positif sehingga sering dijadikan indikator untuk identifikasi V. parahaemolyticus patogenik walaupun tidak mutlak (Suthienkul et al. 1995; Kaufman et al. 2002). Sekuen gen trh diketahui memiliki kemiripan dengan gen
35
tdh sebesar 68%. Gen trh diketahui lebih labil terhadap panas karena inaktivasi gen trh dapat dilakukan pada suhu 65°C selama 15 menit. Selain kemampuan memproduksi hemolisin, aktivitas urease diduga terkait dengan V. parahaemolyticus patogenik. Umumnya V. parahaemolyticus tidak memproduksi urease (Okuda et al. 1997; Osawa et al. 1996). Kelly dan Stroh (1989) melaporkan bahwa isolasi dari sampel klinis pasien gastroenteritis di Canada menunjukkan semua sampel memberikan hasil urease positif (Uh+) dan hasil Kanagawa negatif.
Produksi urease oleh V. parahaemolyticus pada
umumnya dikaitkan dengan keberadaan faktor virulen TRH sehingga diduga dapat digunakan untuk identifikasi V. parahaemolytic patogenik yang memproduksi gen trh ( Osawa et al. 1996). Aktivitas urease dan TRH dilaporkan saling terkait karena adanya hubungan secara genetis antara gen urease (ureC) dan gen trh pada kromosom dari galur V. parahaemolyticus patogenik (Iida et al. 1997; Park et al. 2000). Namun demikian, gen urease tidak berpengaruh terhadap regulasi ekspresi gen tdh dan trh (Nakaguchi, 2003). Genom V. parahaemolyticus O3:K6 diketahui memiliki dua gen sistim sekresi tipe III (TTSS) yaitu TTSS1 dan TTSS2 yan terdapat pada kromoson I dan II.
TTSS merupakan factor virulen penyebab diare yang dimiliki oleh bakteri
seperti Shigella, Salmonella, dan enteropathogenic E. coli (EPEC). Secara umum mekanisme sistim sekresi tipe III (TTSS) ini terlibat dalam perpindahan protein efektor bakteri menuju sitoplasma sel inang dari bakteri tersebut (Makino et al. 2003). Hal ini diduga juga merupakan faktor virulen yang terdapat pada V. parahaemolyticus. Salah satu faktor virulen yang dimiliki bakteri Gram negatif termasuk V. parahaemolyticus adalah kemampuan menempel pada sel epitel inangnya. V. parahaemolyticus diketahui dapat memproduksi sel yang berasosiasi dengan hemaaglutinin (HA) pada saat menempel di mukosa usus (Yamamoto dan Yokota, 1989). Hemaaglutinin merupakan glikoprotein antigenik yang berperan dalam proses terikatnya virus pada sel yang terinfeksi sehingga menyebabkan sel darah merah menggumpal. Selain itu pili dari V. parahaemolyticus diduga memiliki peranan dalam hal menempelnya reseptor epitel usus (Nakasone dan Iwanaga, 1990).
36
Identifikasi V. parahaemolyticus Patogenik Metode untuk identifikasi V. parahaemolyticus patogenik telah banyak dikembangkan.
Identifikasi V. parahaemolyticus patogenik dapat dilakukan
dengan metode Kanagawa (KP+) yaitu dengan melihat aktivitas β hemolisis yang ditandai dengan terbentuknya zona bening di sekitar koloni bakteri yang ditumbuhkan pada media agar Wagatsuma.
Metode ini memiliki kelemahan
antara lain waktu preparasi dan analisis yang panjang, interpretasi hasil analisis yang kurang akurat, sensivitas rendah, dan belum tersedianya media analisis untuk mengidentifikasi faktor virulen TRH. Kendala - kendala metode konvensional untuk mengidentifikasi V. parahaemolyticus patogenik tersebut
mendorong
pengembangan metode identifikasi dengan hasil yang lebih akurat, sensitifitas tinggi dan tepat serta waktu analisis yang pendek. Identifikasi V. parahaemolyticus patogenik berbasis pendekatan molekuler seperti polymerase chain reaction (PCR) telah banyak dilakukan.
Metode PCR
telah banyak dikembangkan untuk pengujian-pengujian mikrobiologi karena memiliki beberapa keunggulan diantaranya tingkat akurasi dan sensitifitas tinggi, ketepatan hasil uji tinggi, waktu pengujian relatif cepat dan dapat digunakan untuk pengujian komponen yang jumlahnya sangat sedikit. Metode PCR adalah suatu metode enzimatis untuk melipatgandakan secara eksponensial suatu sekuen nukleotida tertentu dengan cara in vitro. Metode ini pertama kali dikembangkan oleh Kary B. Mullis pada tahun 1985 dan memiliki tingkat sensitifitas tinggi sehingga dapat digunakan untuk melipatgandakan satu molekul DNA dan dapat dilakukan dalam waktu singkat. Proses PCR memiliki 4 komponen utama yaitu cetakan DNA (DNA template), merupakan fragmen DNA yang akan dilipatgandakan; oligonukleatida primer yaitu sekuen oligonukletida pendek (15-25 basa nukleotida) yang digunakan untuk mengawali sintesis rantai DNA; deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP) yang terdiri dari dATP, dCTP, dGTP, dTTP; dan enzim DNA polimerase merupakan enzim yang melakukan katalisis reaksi sintesis rantai DNA. Enzim yang digunakan adalah Taq DNA polimerase karena enzim ini tahan terhadap suhu tinggi yang diperlukan untuk tahap pemisahan rantai cetakan DNA (denaturasi) sehingga tidak dibutuhkan penambahan enzim pada tiap siklus PCR (Yuwono, 2006). Selain itu komponen
37
lain yang berperan pada proses PCR adalah senyawa buffer yang berperan dalam proses penempelan primer (annealing) dimana di dalam senyawa buffer terkandung 10-50 mM Tris-HCl (pH 8.3-8.8), KCl, MgCl2, dan komponen lain seperti gelatin dan deterjen non ionik seperti Tween 20 untuk mempertahankan kestabilan enzim Taq DNA polimerase. Metode PCR didasarkan atas 3 tahapan untuk reaksi sintesis DNA (pelipatgandaan fragmen DNA). Tahapan-tahapan pada proses PCR dimulai dari : a.
Denaturasi; merupakan tahap awal PCR yang bertujuan untuk memisahkan rantai DNA yang berantai ganda menjadi rantai tunggal karena pembuatan copy DNA oleh enzim Taq DNA polimerase membutuhkan DNA berantai tunggal. Denaturasi dilakukan pada suhu 94°C selama 1-2 menit.
b.
Annealing (penempelan); merupakan tahap penempelan primer pada cetakan DNA yang telah berantai tunggal. Primer akan membentuk jembatan hidrogen dengan cetakan DNA pada daerah sekuen yang komplementer dengan sekuen primer. Annealing dilakukan pada suhu 55°C selama 1-2 menit. Suhu 55°C yang digunakan pada tahap annealing memiliki spesifitas reaksi amplifikasi yang lebih tinggi akan tetapi efisiensinya menurun. Amplifikasi lebih efisien pada suhu 37 °C tetapi umumnya terjadi penempelan primer di tempat yang salah. Primer yang digunakan dalam PCR ada dua yaitu oligonukleotida yang memiliki sekuan identik dengan salah satu rantai cetakan DNA pada ujung 5’fosfat dan oligonukleotida yang identik dengan sekuen pada ujung 3’OH pada rantai cetakan DNA lain.
c.
Ekstensi; merupakan tahap pembentukan polimerisasi rantai DNA yang baru berdasarkan informasi yang ada pada cetakan DNA.
Setelah terbentuk
polimerisasi, rantai DNA yang baru akan membentuk jembatan hidrogen dengan cetakan DNA. Tahap ekstensi dilakukan pada suhu 72°C yang merupakan suhu optimum aktivitas Taq DNA polimerase selama 1-2 menit. DNA rantai ganda yang terbentuk antara rantai cetakan DNA dengan rantai DNA hasil polimerasi selanjutnya didenaturasi kembali pada suhu 94°C untuk memperoleh rantai DNA tunggal yang baru dan berfungsi sebagai cetakan reaksi polimerasi selanjutnya.
38
Reaksi polimerasi ini diulangi kembali sebanyak 25-30 siklus dan pada akhir siklus akan diperoleh molekul DNA rantai ganda hasil polimerasi dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan jumlah cetakan DNA yang digunakan. Selanjutnya DNA hasil polimerasi di elektroforesis pada gel agarose dan divisualisasikan (Sambrook et al. 1989). Identifikasi V. parahaemolyticus patogenik menggunakan metode PCR dilakukan dengan cara mengamplifikasi gen tdh dan trh V. parahaemolyticus. Amplifikasi gen tdh dan trh dilakukan menggunakan sepasang primer spesifik dari masing-masing gen penyandi tersebut.
Salah satu sekuen nukleotida dan
protokol PCR yang digunakan untuk mengidentifikasi V. parahaemolyticus patogenik adalah hasil penelitian dari Tada et al. (1992) yaitu untuk target gen tdh amplifikasi dilakukan pada ukuran amplikon 251 bp dan untuk gen trh pada ukuran amplikon 250 bp. Sekuen nukleotida baik gen tdh
maupun gen trh
bakteri
V.
parahaemolyticus secara keseluruhan adalah 570 bp. Beberapa hasil penelitian melaporkan bahwa sekuen nukleotida gen tdh V. parahaemolyticus memiliki keragaman yang relatif sedikit (kurang dari 33%) sedangkan gen trh memiliki sekuen yang lebih bervariasi (gen trh1 dan trh2). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tada et al. (1992) menggunakan beberapa kombinasi pasangan primer untuk gen tdh dan trh serta optimasi protokol PCR terutama untuk penentuan suhu annealing (penempelan primer), diketahui bahwa pasangan primer untuk identifikasi gen tdh dan trh V. parahaemolyticus pada ukuran amplikon 251 bp dan 250 bp memberikan hasil dengan spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi. Spesifisitas primer dikonfirmasi dengan analisis Southern blot hybridization menggunakan probe gen tdh dan trh.
Sedangkan sensitifitas metode PCR
dikofirmasi dengan menggunakan DNA genom V. parahaemolyticus WP1 dan AQ4037 yang merupakan galur V. parahaemolyticus penghasil gen tdh dan trh. Amplifikasi sekuen nukleotida untuk mengidentifikasi gen tdh dan trh bakteri V. parahaemolyticus dengan target gen tdh dan trh pada ukuran amplikon yang berbeda juga telah dilakukan. Bej et al. (1999) melaporkan identifikasi V. parahaemolyticus dapat dilakukan dengan metode multiplex PCR dimana sekuen primer gen tdh (L-tdh dan R-tdh) dan trh (L-trh dan R-trh) menggunakan
39
pasangan primer pada ukuran amplikon masing-masing 269 bp (Nishibuchi dan Kaper, 1985) dan 500bp (Honda dan Iida, 1993; Honda et al. 1991). Sementara itu, penelitian Rosec et al. (2009) menyebutkan bahwa untuk identifikasi V. parahaemolyticus patogenik berdasarkan gen tdh menggunakan sekuen primer VP21 dan VP22 pada ukuran amplikon 400 bp dan gen trh dengan pasangan primer S1 dan S2 pada ukuran amplikon 460 bp.