i
BIOSENSOR ANTIOKSIDAN MENGGUNAKAN EKSTRAK PROTEIN DARI BAKTERI Deinococcus radiodurans TERIMOBILISASI PADA NANOPARTIKEL ZEOLIT
IMAS EVA WIJAYANTI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
ii
iii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Biosensor Antioksidan menggunakan Ekstrak Protein dari Bakteri Deinococcus radiodurans Terimobilisasi pada Nanopartikel Zeolit adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juli 2014
Imas Eva Wijayanti NIM G451120041
iv
RINGKASAN
IMAS EVA WIJAYANTI. Biosensor Antioksidan menggunakan Ekstrak Protein dari Bakteri Deinococcus radiodurans Terimobilisasi pada Nanopartikel Zeolit. Dibimbing oleh DYAH ISWANTINI, NOVIK NURHIDAYAT, dan DEDEN SAPRUDIN.
Senyawa antioksidan eksogen dibutuhkan pada berbagai bidang, seperti kesehatan manusia, industri makanan, dan farmasi. Saat ini, banyak penawaran yang menyatakan suatu produk mempunyai kandungan antioksidan, sehingga dibutuhkan metode yang tepat untuk mengukur sifat-sifat antioksidan pada berbagai jenis produk ini. Metode yang umum digunakan untuk penentuan sifat antioksidan adalah dengan spektrofotometri. Walaupun metode ini memiliki keakuratan yang tinggi dan dapat langsung menganalisis kandungan antioksidan, namun ia memiliki beberapa kelemahan diantaranya biaya yang relatif mahal, waktu yang lama, kurang sensitif, serta dipengaruhi oleh kekeruhan. Oleh karena itu, dibutuhkan metode yang lebih mudah, cepat, dan sensitif dalam penentuan kapasitas antioksidan. Biosensor elektrokimia menjadi salah satu alternatif yang ditawarkan untuk dapat mengatasi berbagai kelemahan metode spektrofotometri. Biosensor antioksidan telah dikembangkan secara luas untuk mengukur kapasitas antioksidan. Namun kinerja biosensor antioksidan harus terus ditingkatkan untuk menghasilkan biosensor dengan aktivitas dan stabilitas yang semakin baik. Faktor kunci keberhasilan dalam pengembangan biosensor antioksidan berbasis enzim adalah ketepatan penggunaan teknik dan matriks imobilisasi sehingga eksplorasi material yang dapat digunakan sebagai matriks pengimobilisasi terus dilakukan. Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan kinerja analitik biosensor dari ekstrak protein Superoksida Dismutase (SOD) dari bakteri Deinococcus radiodurans (D. radiodurans) yang terimobilisasi pada nanopartikel zeolit (NPZ) secara elektrokimia. Sebagai pembanding, digunakan pula enzim murni SOD dari eritrosit sapi. Penelitian ini terdiri dari beberapa tahap percobaan yaitu: aktivasi dan pembuatan NPZ, penumbuhan dan ekstraksi sel D. radiodurans, imobilisasi enzim, dan pengukuran elektrokimia untuk penentuan kinerja analitik. Dipakai empat elektrode sebagai perbandingan yaitu elektrode ekstrak SOD dari bakteri D. radiodurans yang terimobilisasi pada NPZ, elektrode enzim murni SOD dari eritrosit sapi yang terimobilisasi pada NPZ, elektrode enzim murni SOD dari eritrosit sapi tanpa imobilisasi NPZ, dan elektrode ekstrak SOD dari D. radiodurans tanpa imobilisasi NPZ. Kondisi optimum diperoleh dengan software Minitab 16 dengan program aplikasi Response Surface Methode (RSM).
v
Penelitian ini menunjukkan bahwa elektrode ekstrak kasar SOD dari bakteri D. radiodurans dengan imobilisasi NPZ memiliki kinerja yang lebih tinggi terhadap radikal bebas superoksida (O2-.) daripada ketiga elektrode lainnya. Hal ini ditunjukkan dengan stabilitas daya simpan sampai pada jam ke-8 pada elektrode ekstrak kasar SOD dari bakteri D. radiodurans mencapai 58.93%. Sedangkan elektrode enzim murni SOD yang terimobilisasi pada NPZ, elektrode ekstrak kasar SOD dan elektrode enzim murni SOD tanpa imobilisasi berturut-turut tersisa 50.43%, 36.77%, dan 25.99%. Elektrode ekstrak kasar dan enzim murni SOD yang terimobilisasi pada NPZ juga menunjukkan akurasi yang baik dengan nilai standar deviasi (SD) sebesar 0.0492 untuk elektrode ekstrak kasar terimobilisasi pada NPZ dan 0.0335 untuk elektrode enzim murni terimobilisasi pada NPZ. Sedangkan elektrode yang tidak diimobilisasi untuk elektrode ekstrak kasar dan enzim murni memiliki standar deviasi yang lebih besar yaitu 0.0921 dan 0.0593. Pengukuran limit deteksi menunjukkan nilai yang cukup rendah untuk masing-masing elektrode. Limit deteksi yang diperoleh untuk elektrode ekstrak kasar dan enzim murni SOD yang terimobilisasi pada NPZ secara berturut-turut adalah 0.5 μM dan 1.49 μM. Sedangkan untuk elektrode ekstrak kasar dan enzim murni SOD tanpa terimobilisasi pada NPZ berturut-turut adalah 1.92 μM dan 1.73 μM. Untuk semua pengukuran ini, digunakan rentang konsentrasi Xantina dari 1-7 μM. Pada rentang ini, nilai regresi (R2) untuk elektrode ekstrak kasar SOD dengan imobilisasi NPZ adalah sebesar 0.9919. Sedangkan untuk elektrode enzim murni SOD yang terimobilisasi pada NPZ, ekstrak kasar SOD dan enzim murni SOD tanpa imobilisasi pada NPZ masing-masing memiliki nilai regresi sebesar 0.982, 0.956, dan 0.9237. Dengan berdasarkan nilai regresi yang tinggi, maka sensitivitas elektrode terdapat pada rentang konsentrasi 1-7 μM adalah sebesar 0.278 AM-1. Daerah kerja yang linier, limit deteksi yang rendah, serta stabilitas, sensitivitas, dan akurasi yang tinggi menunjukkan bahwa elektrode ekstrak kasar SOD yang terimobilisasi pada NPZ dapat dijadikan alternatif pada aplikasi biosensor di masa depan yang lebih murah dan akurat.
Kata kunci: biosensor antioksidan, imobilisasi, superoksida dismutase, zeolit
vi
SUMMARY
IMAS EVA WIJAYANTI. Antioxidant Biosensors using Protein Extract of Immobilized Bacterium Deinococcus radiodurans on Zeolite Nanoparticles. Supervised by DYAH ISWANTINI, NOVIK NURHIDAYAT, and DEDEN SAPRUDIN.
Exogenous antioxidant compounds required in various fields, such as human health, food industry, and pharmaceutical. Nowadays, many states offer a product that has antioxidants, so it takes the proper method to measure the properties of antioxidant from various types of products. A common method to determinate the antioxidant properties is by spectrophotometry methods. Although this method has high accuracy and can be analyzed the antioxidant content directly, but it has several drawbacks, there are its relatively high cost, long time of analysis, less of sensitivity, and could be affected by turbidity. Therefore, it takes an easier method, more rapid, and more sensitive for the determination of antioxidant capacity. Electrochemical biosensor is an alternative methods that can be used to overcome the weaknesses of spectrophotometric methods. Biosensors antioxidants have been extensively developed widely for measuring antioxidant capacity. Biosensor antioxidants performance continues to produce biosensors with improved activity and stability are the better. The key factor of success in the development of biosensors based antioxidant enzymes is the use of precision engineering and immobilization matrix so that the exploration of materials which can be used as an immobilization matrix could be continued. The purpose of this study is to determine the analytical performance of the biosensor enzymes superoxide dismutase extract (SOD) from Deinococcus radiodurans bacterium (D. radiodurans) immobilized on zeolite nanoparticles (NPZ) electrochemically. As a comparison, pure SOD enzyme from bovine erythrocytes was used. This study consisted of several steps of experiments, that is: activation and NPZ manufacture, cultivation and extraction of D. radiodurans cells, immobilization of enzymes, and electrochemical measurements for the determination of analytical performance. Four electrodes used for comparison, there are SOD enzyme electrode from crude extract of bacterium D. radiodurans which were immobilized on NPZ, pure SOD enzyme electrode of bovine erythrocyte which were immobilized on NPZ, SOD enzyme electrode from crude extract of bacterium D. radiodurans without immobilization on NPZ, and pure SOD enzyme electrode of bovine erythrocyte without immobilization on NPZ. The optimum condition was obtained by software Minitab 16 with an application program of Response Surface Method (RSM) method.
vii
This study shows that SOD enzyme electrode from crude extract of bacterium D. radiodurans which were immobilized on NPZ has higher performance against superoxide free radicals (O2-.) than any other electrodes. It was showed by the stability of the power - save up to 8 hours on a crude extract SOD which were immobilized on NPZ electrode remaining, which was 58.93%. While the pure SOD enzyme which were immobilized on NPZ electrode, SOD enzyme electrode from crude extract of bacterium D. radiodurans without immobilization NPZ, and pure SOD enzyme electrode of bovine erythrocyte without immobilization NPZ only remaining 50.43%, 36.77%, and 25.99% respectively. SOD enzyme electrode from crude extract of bacterium D. radiodurans and pure SOD enzyme electrode of bovine erythrocyte which were immobilized on NPZ also showed good accuracy with standard deviation (SD) of 0.0492 and 0.0335. While SOD enzyme electrode from crude extract of bacterium D. radiodurans and pure SOD enzyme electrode of bovine erythrocyte without immobilitation on NPZ are 0.921 and 0.0593. Measurements showed that each electrode has low enough value of detection limit. Limit of detection obtained for SOD enzyme electrode from crude extract of bacterium D. radiodurans and pure SOD enzyme electrode of bovine erythrocyte which were immobilized on the NPZ are 0.5 μM and 1.49 μM. While SOD enzyme electrode from crude extract of bacterium D. radiodurans and pure SOD enzyme electrode of bovine erythrocyte without immobilization on NPZ are 1.92 μM and 1.73 μM. For all these measurements, xanthine concentration was in range of 1-7 μM. In this range, the value of regression (R2) for the SOD enzyme electrode from crude extract of bacterium D. radioduransis 0.9919. While for pure SOD enzyme electrode of bovine erythrocyte which were immobilized on NPZ, SOD enzyme electrode from crude extract of bacterium D. radiodurans, and pure SOD enzyme electrode of bovine erythrocyte without immobilized on NPZ show regression value of 0.982, 0.956, and 0.9237. With a high value based regression, the sensitivity of electrodes are in the range of 1-7 μM concentration. Linear working area, low limit of detection, as well as stability, sensitivity, and high accuracy indicates that the SOD enzyme electrode from crude extract of bacterium D. radiodurans which were immobilized on the NPZ can be an alternative to the application of biosensors in the future cheaper and accurate which were not only more accurate but also unexpensive.
Keywords: antioxidants biosensors, immobilization, superoxide dismutase, zeolite
viii
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ix
BIOSENSOR ANTIOKSIDAN MENGGUNAKAN EKSTRAK PROTEIN DARI BAKTERI Deinococcus radiodurans TERIMOBILISASI PADA NANOPARTIKEL ZEOLIT
IMAS EVA WIJAYANTI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Kimia
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
x
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Akhiruddin Maddu, MSi
xi
Judul Tesis
: Biosensor Antioksidan menggunakan Ekstrak Protein dari Bakteri Deinococcus radiodurans Terimobilisasi pada Nanopartikel Zeolit
Nama
: Imas Eva Wijayanti
NIM
: G451120041
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof Dr Dyah Iswantini Pradono, MScAgr Ketua
Novik Nurhidayat, PhD Anggota
Dr Deden Saprudin, MSi Anggota Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Kimia
Prof Dr Dyah Iswantini Pradono, MScAgr
Tanggal Ujian: 19 Juni 2014
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Lulus:
xii
xiii
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2013 ini ialah tentang pemanfaatan biodiversitas untuk biosensor, dengan judul Biosensor Antioksidan menggunakan Ekstrak Protein dari Bakteri Deinococcus radiodurans Terimobilisasi pada Nanopartikel Zeolit. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof Dr Dyah Iswanti Pradono, MScAgr, Bapak Novik Nurhidayat PhD, dan Bapak Dr Deden Saprudin, MSi selaku pembimbing. Juga kepada Bapak Dr Akhiruddin Maddu, MSi dan Ibu Sri Sugiarti, PhD sebagai penguji yang telah memberi banyak saran. Selain itu, penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh staf Laboratorium Kimia Fisik IPB (Bapak Ismail dan Ibu Ai Siti Jamilah), Laboratorium Bersama Kimia IPB (Bapak Wawan dan Mas Eko Firmansyah), Laboratorium Genetika LIPI Cibinong (Ibu Neri, Teh Ratih, dan Bapak Acun), dan Laboratorium Fisika Puspitek LIPI Serpong (Bapak Agus Sukarto, PhD) yang telah membantu selama penelitian. Tak lupa pula, ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada kakak-kakak dan teman-teman Pascasarjana Kimia (Mbak Dhilah, Kak Titi, Mbak Nurul, Kak Bekti, Fathur, Mbak Dewi, Dhian, Damay, dan Aji), dan S1 Kimia grup riset biosensor (Waskito Aji, Fahrul, dan Royhan) atas masukan, saran dan motivasi yang diberikan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada suami, ayah, ibu, serta seluruh keluarga tercinta, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2014
Imas Eva Wijayanti
xiv
xv
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xvi
DAFTAR GAMBAR
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
xvi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian 2 METODE Alat Bahan Lingkup kerja 3 HASIL DAN PEMBAHASAN Biosensor Antioksidan Pengondisian dan Pembuatan Nanopartikel Zeolit Penumbuhan Sel D. radiodurans dan Ekstraksi SOD Imobilisasi Ekstrak Protein SOD dalam NPZ Pengukuran Elektrokimia Optimasi Nanopartikel Zeolit sebagai Matriks Imobilisasi Penentuan Stabilitas Elektrode Penentuan Sensitivitas dan Linieritas Elektrode Penentuan Limit Deteksi Pengukuran Penentuan Keterulangan Pengukuran 4 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUTAKA
1 1 3 3 3 3 3 4 7 7 8 12 13 15 17 21 22 23 23 24 24 24 25
LAMPIRAN
29
RIWAYAT HIDUP
39
xvi
DAFTAR TABEL 1 Estimasi pengaruh variabel bebas terhadap respon pada elektrode ekstrak protein SOD dari D. radiodurans 2 Estimasi pengaruh variabel bebas terhadap respon pada elektrode enzim SOD dari eritrosit sapi 3 Kondisi optimum untuk ekstrak kasar dan enzim murni SOD 4 Keterulangan pengukuran dari berbagai elektrode
18 19 20 24
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7
8 9 10 11 12 13
Cara kerja nanobiosensor Struktur zeolit Sebaran diameter partikel nanozeolit Hasil pemindaian SEM nanopartikel zeolit Situs aktif pada Enzim Superoksida Dismutase (SOD) Interaksi enzim SOD dengan radikal superoksida (O2-.) Proses transfer dari reaksi enzimatis SOD terimobilisasi dalam NPZ ke permukaan elektrode pasta karbon yang dimediasi oleh ferosen Voltammogram siklik enzim murni dan ekstrak kasar SOD yang terimobilisasi dan yang tidak terimobilisasi pada NPZ Kontur konsentrasi NPZ versus konsentrasi ekstrak kasar SOD Kontur konsentrasi NPZ versus konsentrasi enzim murni SOD Struktur enzim SOD yang diekstrak dari bakteri D. radiodurans dan enzim SOD dari eritrosit sapi Diagram aktivitas relatif versus waktu elektrode biosensor antioksidan Grafik linieritas elektrode ekstrak kasar protein SOD dan enzim murni SOD yang terimobilisasi dan yang tanpa terimobilisasi pada NPZ
8 9 10 11 12 14
15 17 18 19 20 21
22
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7
Bagan alir penelitian secara umum Optimasi variabel bebas pada elektrode enzim murni SOD dari eritrosit sapi yang terimobilisasi pada NPZ Optimasi variabel bebas pada elektrode ekstrak kasar protein SOD dari D. radiodurans yang terimobilisasi pada NPZ Stabilitas daya simpan biosensor antioksidan Sensitivitas elektrode biosensor antioksidan Limit deteksi elektrode biosensor antioksidan Keterulangan elektrode biosensor antioksidan
29 31 32 33 34 35 37
1
1
PENDAHULUAN
Adanya fenomena gaya hidup, stres, dan radikal bebas akan mengakibatkan berbagai penyakit degeneratif. Spesi oksigen reaktif (ROS), termasuk radikal bebas akan memicu kerusakan pada tingkat organ yang akan menyebabkan penyakit jantung, kanker, stroke, diabetes, dan gejala penuaan dini jika radikal bebas pada oksigen berpasangan dengan elektron dari sel manusia yang sehat (Devasagayam et al. 2004). Antioksidan diperlukan tubuh untuk melawan radikal bebas. Tubuh manusia memiliki antioksidan endogen yaitu enzim katalase, peroksidase, Superoksida Dismutase (SOD), dan glutationa S-transferase. Namun antioksidan endogen ini perlu juga dibantu dari luar (eksogen). Senyawa antioksidan eksogen dibutuhkan pada berbagai bidang, seperti kesehatan manusia, industri makanan, dan farmasi (Lindley 1998). Saat ini begitu banyak penawaran yang menyatakan suatu produk mempunyai kandungan antioksidan, sehingga dibutuhkan metode yang tepat untuk mengukur sifat-sifat antioksidan pada berbagai jenis produk ini. Kapasitas antioksidan adalah kemampuan suatu komponen atau bahan dalam mengukur sifat-sifat senyawa penangkal reaksi oksidasi. Metode yang umum digunakan untuk penentuan kapasitas antioksidan adalah dengan spektrofotometri (Khalaf et al. 2008). Meskipun metode ini akurat, namun ia memiliki beberapa kelemahan diantaranya biaya yang relatif mahal karena menggunakan bahan kimia yang bermacam-macam dalam jumlah banyak, waktu yang lama karena membutuhkan preparasi sampel, kurang sensitif terutama dalam menguji sampel berwarna, serta dipengaruhi oleh kekeruhan. Pengukuran antioksidan menggunakan metode spektrofotometeri juga seringkali terkendala terhadap preparasi sampel, contohnya preparasi ABTS dan FRAP yang sangat sensitif terhadap cahaya. Selain itu, pembentukan ABTS.- memerlukan waktu inkubasi selama 12-16 jam dalam kondisi gelap (Tawaha et al. 2007). Selain terkendala masalah preparasi sampel, pengukuran kapasitas antioksidan yang umum dilakukan juga memerlukan peralatan yang mahal, misalnya metode ORAC-FL (Thaipong et al. 2006). Kromatografi juga telah digunakan untuk menentukan kapasitas antioksidan golongan polifenol dari ekstrak teh hijau. Kapasitas antioksidan dari jeruk Irlandia dan sayuran sisa olahan produk telah ditentukan oleh Wijngaard et al. (2009) dengan menggunakan HPLC-DAAD, namun penggunaan HPLC dalam mengukur kapasitas antioksidan memerlukan preparasi sampel dan waktu pendeteksian yang lama. Oleh karena itu, dibutuhkan metode yang lebih mudah, akurat, cepat, dan sensitif dalam penentuan kapasitas antioksidan. Salah satu kinerja biosensor adalah dengan menggunakan transduser dan komponen pengenal hayati. Campanella et al. (2004) melaporkan bahwa biosensor elektrokimia dapat mengatasi kelemahan metode spektrofotometri. Metode ini sangat menjanjikan karena waktu analisis yang relatif cepat, tidak membutuhkan instrumen yang mahal, protokol operasi yang sederhana, dan akurat. Pengukuran kapasitas antioksidan pada sampel yang kompleks menggunakan biosensor juga tidak memerlukan pemisahan komponen terlebih
2
dahulu (Mello & Kubota 2007). Perkembangan biosensor elektrokimia saat ini menjadi semakin pesat karena dapat menganalisis pada tingkat renik dan selektif, sehingga telah banyak diterapkan dalam bidang elektroanalisis, bidang kesehatan, makanan, obat-obatan, dan lingkungan. Mello dan Kubota (2007) telah melakukan penelitian untuk mendapatkan biosensor antioksidan berbasis enzim lakase, peroksidase, dan tirosinase. Biosensor berbasis enzim SOD telah terbukti dapat mengukur kapasitas antioksidan pada minyak zaitun (Coban 2008). Namun, salah satu kelemahan biosensor berbasis enzim adalah penggunaan enzim sebagai pengenal hayati yang memiliki harga mahal, sehingga salah satu solusi yang ditempuh adalah penggunaan mikroba yang dapat menghasilkan enzim. Prieto-Simon et al. (2008) telah mengembangkan biosensor berbasis enzim Superoksida Dismutase (SOD) yang menunjukkan performa lebih menjanjikan daripada sitokrom c. Iswantini et al. (2011) telah mengembangkan biosensor glukosa menggunakan bakteri asal Indonesia sebagai pengganti enzim murni. Biosensor berbasis bakteri E. coli yang diimobilisasi di atas permukaan elektrode pasta karbon ini dapat mendeteksi konsentrasi glukosa sampai 20 mM. Yuan et al. (2007) menyatakan bahwa bakteri Deinococcus radiodurans adalah salah satu bakteri yang dapat menghasilkan enzim SOD. Bakteri ini memiliki sistem antioksidan yang tinggi, sehingga berpotensi sebagai pengenal hayati pada biosensor antioksidan (Trivadilla 2011). Biosensor antioksidan berbasis SOD dari ekstrak protein Deinococcus radiodurans ternyata menghasilkan afinitas enzim substrat yang tinggi daripada SOD murni (Iswantini et al. 2013). Enzim SOD memiliki stabilitas yang rendah sehingga perlu diimobilisasi pada suatu matriks agar stabilitasnya meningkat. Berberich et al. (2005) menyatakan bahwa enzim yang diimobilisasi pada polimer memiliki stabilitas yang signifikan hingga lebih dari 30 hari pada suhu 37 oC. Goriushkina et al. (2010) juga menyatakan bahwa biosensor berbasis enzim glukosa oksidase (GOD) yang diimobilisasi dengan zeolit lebih selektif. Penelitian mengenai biosensor yang pengembangannya dilakukan ke arah nanomaterial diduga dapat menghasilkan sensitivitas yang tinggi, stabilitas, dan efektivitas secara jangka panjang (Di et al. 2007). Dalam penelitiannya, Mateo et al. (2007) menyatakan bahwa metode yang dapat digunakan untuk menjaga stabilitas enzim adalah dengan melakukan imobilisasi pada nanomaterial. Tujuan material matriks dibuat dalam ukuran nanometer adalah karena jika semakin kecil ukuran partikel maka interaksi antara pengisi dan matriks semakin tinggi (Kohls & Beaucage 2010). Weniarti (2011) telah melakukan penelitian mengenai pembuatan biosensor berbasis ekstrak SOD dari Deinococcus radiodurans yang diimobilisasi pada nanokomposit zeolit. Pada penelitian ini, Km enzim SOD lebih kecil daripada nilai Km ekstrak kasar SOD, hal ini menunjukkan afinitas ekstrak kasar enzim SOD lebih rendah dibandingkan dengan enzim SOD. Nilai Km merupakan ukuran kuat dan rendahnya enzim mengikat substrat. Jika Km kecil, enzim mengikat substrat dengan kuat sehingga dengan substrat yang rendah cukup untuk menjenuhkan enzim. Sebaliknya, jika Km besar maka enzim tidak mengikat dengan kuat substrat sehingga substrat yang dibutuhkan untuk menjenuhkan enzim lebih banyak.
3
Keberadaan nanokomposit zeolit dapat berpotensi sebagai material pendukung untuk biosensor antioksidan berbasis SOD. Penelitian ini merupakan lanjutan dari Weniarti (2011) yang menggunakan matriks dalam ukuran nanometer, namun dalam bentuk komposit yaitu matriks yang tersusun dari kombinasi dua atau lebih material yang berbeda. Berdasarkan pada penelitian Zhou et al. (2007), nanopartikel zeolit sebagai matriks imobilisasi pada enzim tirosinase, ternyata biosensor memiliki stabilitas yang tinggi. Nanopartikel zeolit juga telah berhasil digunakan sebagai matriks imobilisasi enzim GDH dalam meningkatkan aktivitas enzim GDH yang ditunjukkan dengan puncak arus oksidasi yang tinggi (Fadhillah 2013).
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah meningkatkan kinerja analitik biosensor antioksidan, seperti stabilitas, sensitivitas, linieritas, limit deteksi, dan keterulangan pengukuran dengan menggunakan zeolit dalam bentuk ukuran nanopartikel sebagai matriks imobilisasi. Dari berbagai parameter ini, diharapkan diperoleh prototype suatu model biosensor antioksidan dengan imobilisasi pada material nano dari zeolit.
Manfaat Penelitian Penelitian ini secara khusus akan menggunakan zeolit dalam bentuk ukuran nanometer sebagai matriks imobilisasi yang diharapkan dapat meningkatkan kinerja analitiknya. Selain itu, pada penelitian ini juga memperhitungkan kinerja analitik seperti limit deteksi, sensitivitas, linieritas, stabilitas, dan keterulangan pengukuran yang dibutuhkan untuk dapat membuat prototype dari suatu model alat biosensor. Dari berbagai parameter ini, diharapkan penentuan kapasitas antioksidan menggunakan nanobiosensor berbasis ekstrak SOD dari bakteri D. radiodurans ini dapat diawali dan terus dikembangkan.
2 METODE Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah eDAQ Potensiostat– Galvanostat yang dilengkapi perangkat lunak Echem v2.1.0 dengan sistem 3 elektrode (elektrode Ag/AgCl sebagai electrode pembanding, elektrode pasta karbon sebagai elektrode kerja, dan elektrode platina sebagai elektrode bantu), Scanning Electron Microscope (SEM), Particle Size Analyzer (PSA), Planetary Ball Milling (PBM), vakum, laminar air flow, inkubator, High Speed Refrigated
4
Centrifuge KUBOTA 6500, autoklaf, Ultrasonic Homogenizer UH-150, Spektroscopy UV-Pharmaspec 1700, pipet mikro, batang gelas, sel elektrokimia serta alat-alat gelas lainnya. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah enzim murni SOD dari eritrosit sapi (Sigma Chemical Co), sel bakteri Deinococcus radiodurans, zeolit alam dari Bayah, media untuk pertumbuhan bakteri Deinococcus radiodurans, grafit, ferosen, parafin cair, dimetil sulfoksida (DMSO), bufer fosfat, membran dialisis, xantina oksidase, xantina, dan amonium serium sulfat. Lingkup Kerja Penelitian terdiri atas dua tahap. Tahap pertama adalah peningkatan kualitas biosensor yang telah diperoleh sebelumnya menggunakan matriks imobilisasi nanopartikel zeolit sehingga dapat ditingkatkan aktivitasnya. Tahap kedua adalah penentuan aktivitas ekstrak protein SOD dari bakteri Deinococcus radiodurans yang terimobilisasi pada nanopartikel zeolit untuk menentukan mekanisme kerja biosensor berdasarkan pada kinerja analitiknya yaitu stabilitas dan sensitivitas elektrode, serta linieritas, keterulangan, dan limit deteksi pengukuran. Pembuatan Elektrode Pasta Karbon (Mirel et al. 1998) Elektrode pasta karbon dibuat dari campuran grafit dan parafin cair 2:1. Grafit dicampur dengan parafin cair hingga membentuk pasta. Kemudian pasta karbon dimasukkan ke dalam badan elektrode hingga memadat sampai ke permukaan kaca. Permukaan kaca elektrode dihaluskan dan dibersihkan dengan ampelas dan kertas minyak. Pembuatan Nanopartikel Zeolit (Wahyudi et al. 2010) Sebanyak 50 gram zeolit Bayah diaktivasi dengan menambahkan 250 mL HCl 3 M ke dalam gelas piala dan diaduk selama 1 jam. Zeolit yang telah diaktivasi disaring, kemudian dicuci dengan akuades sampai pH netral. Larutan hasil saringan diuji kandungan klorin dengan AgNO 3 dan dicuci kembali dengan akuades sampai tidak mengandung klorin. Setelah pH netral dan bebas klorin, zeolit dikeringkan pada suhu 300 oC selama 3 jam. Zeolit yang telah dikondisikan kemudian digerus dengan alat planetary ball milling (PBM) secara basah (wet milling) menggunakan metanol dan amonium serium sulfat 5% selama 10 jam. Hasil yang diperoleh kemudian diultrasonikasi selama 30 menit pada amplitudo 40%, ditentukan kapasitas tukar kation (KTK), dan diukur ukuran partikelnya dengan Particle Size Analyzer (PSA). Untuk melihat morfologi struktur zeolit yang sudah dibuat nanopartikel, maka dilakukan Scanning Electron Microscope (SEM). Penumbuhan Sel dan Ekstraksi SOD dari D. radiodurans (Chou& Tan 1991) D. radiodurans dari kultur murni ditumbuhkan pada media yang mengandung tripton 1%, yeast extract 0.5%, dan NaCl 0.5%. Selanjutnya bakteri
5
diinkubasi pada 30 oC dan panjang gelombang 600 nm. Sebelum sel dipanen, diukur terlebih dahulu pada fase logaritmik awal untuk memudahkan ekstraksi pada nilai OD (Optical Density) 0.5-0.6. Selanjutnya sel dipanen dengan sentrifugasi 7000 x G, 4 oC selama 10 menit untuk memisahkan sel mikrob dengan media. Selanjutnya sel (pelet) dicuci sebanyak 3 kali ulangan dengan menggunakan bufer fosfat pH 9.0 dan disuspensikan kembali dalam larutan bufer fosfat pH 9.0. Suspensi sel disonikasi 75 – W untuk melisis sel mikrob selama 6 menit, yaitu 3 x 2 menit dan diantara sonikasi ini didiamkan terlebih dahulu selama 1 menit. Selama sonikasi suspensi sel didinginkan dalam penangas es. Sel disentrifugasi 10.000 x G, 4 oC selama 30 menit untuk memisahkan supernatan dengan pellet. Ekstrak kasar (crude extract) protein berada di supernatan. Ekstrak sitoplasma hasil dialisis selanjutnya diukur nilai serapannya pada panjang gelombang 260 dan 280 nm untuk mengetahui konsentrasi ekstrak protein SOD. Imobilisasi Ekstrak Protein SOD dalam NPZ (Ikeda et al. 1998) Matriks nanopartikel zeolit yang digunakan dibuat bervariasi 225 mg, 185 mg, 125 mg, 65 mg, dan 25 mg dicampurkan dengan 10 mL akuades sehingga membentuk suspensi. Sebanyak 20 μL ekstrak kasar SOD dalam bufer fosfat pH 9 dicampur dengan 10 μL suspensi zeolit, didiamkan 10 menit, kemudian diteteskan sebanyak 10 µL pada permukaan elektrode, didiamkan hingga pelarutnya menguap. Selanjutnya permukaan elektrode dilapisi dengan membran dialisis, ditutup dengan jaring nilon, dan diikat dengan parafilm. Elektrode dapat langsung digunakan untuk pengukuran aktivitas antioksidan ekstrak SOD dengan metode voltammetri siklik. Elektrode direndam dalam bufer fosfat pH 9 pada suhu 4 ºC ketika tidak digunakan untuk memberikan keadaan yang sama dengan lingkungan sebenarnya. Imobilisasi ini juga dilakukan terhadap enzim SOD murni. Pengukuran Elektrokimia Pengukuran elektrokimia dilakukan dengan menggunakan seperangkat alat potensiostat/galvanostat eDAQ dan komputer beserta perangkat lunak pengolah data Echem v2.1.0. Elektrode yang digunakan yaitu elektroda Ag/AgCl, platina dan elektrode pasta karbon berturut-turut sebagai elektroda rujukan, pembantu dan kerja. Parameter pengukuran diatur sebagai berikut: Mode : Cyclic Initial E : -400 mV Final E : -400 mV Rate : 250 mV/s Step W : 20 ms Upper E : 1000 mV Lower E : -400 mV Sebanyak 1.9 mL larutan bufer fosfat 0.05 M pH 9 ditambahkan ke dalam sel elektrokimia dan puncak arus anode yang terbentuk diamati sebagai blanko. Selanjutnya ditambahkan 100 μL ferosen, 100 μL larutan xantin oksidase 0.1
6
U/mL dan 1 mL xantina 2.1 mM ke dalam sel elektrokimia. Setiap penambahan satu larutan ke dalam sel elektrokimia, perubahan arus yang terjadi diamati hingga mencapai arus keadaan tunak secara runut. Optimasi Nanopartikel Zeolit sebagai Matriks Imobilisasi Optimasi yang dilakukan adalah dengan kombinasi pada variabel pH (7-11), konsentrasi ekstrak SOD (1250-2000 μg/mL), enzim SOD (1-5 U/mL), dan konsentrasi nanopartikel zeolit (25-225 mg/10 mL). Metode yang digunakan untuk pengoptimuman aktivitas SOD adalah Response Surface Method. Setelah dilakukan optimasi, kemudian dilakukan pengukuran parameter analitiknya. Penentuan Sensitivitas Elektrode (Harvey 2000) Sensitivitas adalah ukuran seberapa baik elektrode mengukur ion utama dalam bentuk sekelumit. Digunakan konsentrasi xantina diperoleh persamaan sehingga menyatakan konsentrasi xantina terendah yang masih dapat terukur oleh elektrode. Rentang konsentrasi Xantina yang dipakai adalah dari 1-7 μM. Penentuan Stabilitas Elektrode (Harvey 2000) Stabilitas elektrode ditentukan dari pengukuran aktivitas enzim SOD setelah didapatkan kondisi optimum. Nilai aktivitas yang diperoleh pada pengukuran awal dianggap 100%. Aktivitas diukur ulang pada setiap waktu tertentu dan aktivitas yang tersisa. I saat jam ke - ( A) x 100% Aktivitas antioksidan relatif (%) = I saat awal ( A) Penentuan Linieritas Pengukuran (Harvey 2000) Penentuan konsentrasi linier ditetapkan melalui pengukuran enzim SOD pada kondisi optimum elektrode dan parameter instrumen pada berbagai rentang konsentrasi. Linieritas dan daerah kerja diperoleh dari interpretasi kurva kalibrasi. Konsentrasi yang memberikan hubungan linier adalah rentang konsentrasi kerja elektrode. Hubungan yang linier dinyatakan dengan koefisien korelasi (r) yang mengikuti persamaan:
Dengan xi adalah konsentrasi enzim SOD ke-i,x¯adalah konsentrasi rata-rata enzim SOD, yi adalah arus puncak yang terukur pada konsentrasi enzim SOD ke-i dan ¯y adalah arus puncak rata-rata.
7
Penentuan Limit Deteksi Pengukuran (Harvey 2000) Limit deteksi ditentukan dengan melakukan pengukuran terhadap enzim SOD dalam larutan elektrolit pendukung dengan rentang konsentrasi terkecil. Limit deteksi (LD) dihitung dengan persamaan: 3 x a LD= b Dengan δa adalah simpangan baku dari intersep dan b adalah kemiringan persamaan regresi.
Penentuan Keterulangan Pengukuran (AOAC 2002) Keterulangan pengukuran ditentukan dengan melakukan pengukuran pada enzim SOD pada konsentrasi optimum selama 10 kali, kemudian dihitung simpangan baku (SB) menggunakan persamaan berikut:
Persen koefisien variasi (% KV) yang menunjukkan kesalahan pengukuran arus dihitung dengan persamaan berikut:
3 HASIL DAN PEMBAHASAN Biosensor Antioksidan Penelitian ini bertujuan untuk menguji kinerja analitik dari sebuah prototype biosensor antioksidan. Adapun definisi antioksidan dapat diartikan sebagai zat yang dengan konsentrasi rendah dapat menghambat oksidasi (Antolovich, et al. 2002). Pada semua organisme, terdapat serangkaian sistem mekanisme pertahanan dari paparan radikal bebas berbagai sumber. Mekanisme pertahanan terhadap radikal bebas meliput: ii) mekanisme pencegahan, (ii) mekanisme perbaikan, (iii) pertahanan fisik, dan (iv) pertahanan antioksidan (Valko, et al. 2007). Enzim antioksidan di dalam sel merupakan pertahanan yang penting untuk melawan radikal bebas. Pertahanan antioksidan enzimatik meliputi superoksida dismutase, glutation peroksidase, dan katalase. Aktivitas katalitik enzim ini memungkinkan transformasi anion superoksida menjadi hidrogen peroksida dan air, sehingga menonaktifkan sejumlah penting oksidan. Unsur enzimatis seperti selenium, seng, tembaga, dan mangan memainkan peran katalisator penting untuk aktivitas enzimatik. Antioksidan non-enzimatik diwakili oleh asam askorbat (vitamin C), α-tokoferol (vitamin E), glutation (GSH), karotenoid, flavonoid, dan antioksidan lainnya (Valko, et al. 2007).
8
Biosensor terdiri dari dua bagian utama, yaitu komponen pengenal hayati dan transduser. Komponen pengenal hayati biosensor berinteraksi secara interaktif terhadap analat target untuk memastikan selektivitas dari sensor. Sedangkan transduser mengubah respon hayati yang dihasilkan dari interaksi dengan analat target menjadi sinyal yang dapat diukur, tranduser menentukan kepekaan biosensor (Castillo et al. 2004). Perkembangan biosensor dibagi menjadi tiga generasi, yaitu generasi pertama, generasi kedua, dan generasi ketiga. Biosensor generasi pertama melibatkan oksigen dalam pengukuran. Reaksi redoks yang terjadi melibatkan oksigen dan enzim-enzim yang terlibat diantaranya adalah oksigenase dan oksidase. Kelemahan dari biosensor generasi pertama adalah data yang dihasilkan tidak akurat karena pengaruh oksigen bebas dari lingkungan. Biosensor generasi kedua merupakan generasi biosensor yang menggunakan mediator untuk menghubungkan reaksi oksidasi substrat dengan elektrode. Sedangkan biosensor generasi ketiga mulai meningkatkan integrasi mediator dengan elektroda (Liu & Wang 2000). Cara kerja biosensor diperlihatkan pada Gambar 1.
Gambar 1 Cara kerja biosensor Perancangan biosensor yang lebih inovatif terus dilakukan karena memiliki kelemahan, yaitu tidak dapat digunakan secara berulang, daya variasi kurang tinggi, waktu respon yang relatif rendah, rentang linier sempit, sensitivitas rendah, kurang stabil, serta presisi dan deteksi yang masih rendah (Wang et al. 2008). Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, saat ini sedang dikembangkan biosensor menggunakan matriks, dalam hal ini matriks yang banyak digunakan adalah berbasis zeolit berukuran nanometer sehingga diperoleh nanobiosensor. Nanobiosensor adalah biosensor yang menggabungkan komponen biologis dan detektor fisikokimia dengan matriks pengimobilisasi pada skala nanometer. Pengondisian dan Pembuatan Nanopartikel Zeolit Zeolit adalah mineral yang terdiri atas kristal alumino silikat terhidrasi yang mengandung kation alkali atau alkali tanah dalam kerangka tiga dimensi. Zeolit biasanya ditulis dengan rumus kimia Mx/n[(AlO2)x(SiO2)y.zH2O], dengan x dan y
9
adalah bilangan bulat, y/x sebanding atau lebih besar dari 1, n adalah valensi logam M, z adalah jumlah molekul air dalam masing-masing unit, x dan y adalah masing-masing jumlah alumina dan silika (Tang 2003). Zeolit yang digunakan pada penelitian ini berasal dari Bayah dan termasuk ke dalam jenis klinoptilolit. Penggunaan zeolit untuk modifikasi elektrode pasta karbon telah dilakukan Goriushkina et al. (2010) menggunakan zeolit untuk imobilisasi glukosa oksidase, dan Balal et al. (2009) menggunakan zeolit untuk modifikasi elektrode pasta karbon yang digunakan untuk mengukur kadar dopamin dan triptofan. Hasil tersebut juga menunjukkan bahwa elektrode pasta karbon termodifikasi zeolit, akan menghasilkan arus yang lebih tinggi dan memiliki stabilitas yang baik dalam percobaan berulang-ulang dan membuat pengukuran menjadi lebih sensitif dan selektif. Contoh struktur zeolit disajikan pada Gambar 3 berikut:
Gambar 2 Struktur zeolit Enzim SOD memiliki stabilitas yang rendah sehingga perlu diimobilisasi pada suatu matriks agar stabilitasnya meningkat. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk menjaga kestabilan enzim adalah dengan melakukan imobilisasi pada material yang memiliki pori dan untuk meningkatkan selektivitas dapat digunakan nanomaterial (Mateo et al. 2007). Penelitian yang telah dilakukan Weniarti (2011) digunakan matriks pengimobilisasi berupa material komposit, yaitu matriks yang tersusun dari kombinasi dua atau lebih material yang berbeda, dalam ukuran nanometer. Juga pada penelitian Zhou et al. (2007), yang menggunakan nanopartikel zeolit sebagai matriks imobilisasi pada enzim tirosinase, ternyata biosensor memiliki stabilitas yang tinggi. Nanopartikel zeolit juga telah berhasil digunakan sebagai matriks imobilisasi enzim GDH dalam meningkatkan aktivitas enzim GDH yang ditunjukkan dengan puncak arus oksidasi yang tinggi (Fadhillah 2013). Pada penelitian ini, digunakan zeolit alam dari Bayah yang berupa tipe zeolit klinoptilolit dengan rasio Si:Al 5:1. Zeolit alam dari Bayah ini diduga masih memiliki pengotor, sehingga dilakukan pengondisian sebagai upaya untuk membersihkan pengotor yang terikat pada zeolit. Zeolit dikondisikan secara asam dengan penambahan HCl dengan tujuan untuk membersihkan permukaan pori dan menata kembali atom yang ditukarkan seperti Fe, Mg, dan logam-logam lain di sekitar kristal. Aktivasi secara asam ini menyebabkan terjadinya dekationisasi yang menyebabkan bertambah luasnya permukaan zeolit karena berkurangnya pengotor yang menutupi pori-pori. Adanya luas permukaan yang bertambah ini, diharapkan dapat meningkatkan kemampuan zeolit dalam proses penjerapan enzim.
10
Zeolit yang sudah dikondisikan secara asam ini kemudian ditentukan nilai KTKnya. Setelah dikondisikan secara asam, terjadi peningkatan nilai KTK zeolit, yaitu dari 60.89 mek/100g menjadi 94.6 mek/100g. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Al Jabri (2008) yang mengondisikan zeolit secara asam. Nilai KTK yang semakin tinggi mengindikasikan zeolit semakin bersifat hidrofilik sehingga baik digunakan sebagai matriks pengimobilisasi enzim. Setelah zeolit dikondisikan, zeolit dibuat ukuran nanopartikel.
Gambar 3 Sebaran diameter partikel nanozeolit Nanopartikel zeolit (NPZ) dibuat dengan metode top down (memperkecil material yang besar secara langsung) dengan cara penggilingan menggunakan alat Planetary Ball Milling (PBM) secara basah (wet milling) menggunakan metanol dan ammonium serium sulfat 5% sebagai grinding agent. Partikel yang dihasilkan dari proses penggilingan ini terlihat lebih halus karena pada proses penggilingan dengan alat PBM, sampel ditumbukkan dengan bola penggiling dalam botol penggiling yang diletakkan di atas pergerakan rotasi yang disebut dengan gaya Corioli. Perbedaan kecepatan antara bola dan botol penggiling menghasilkan interaksi antara gaya gesek dan tekan yang melepaskan energi dinamik yang tinggi. Perbedaan gaya inilah yang menghasilkan tingkat pengecilan ukuran yang efektif. Namun, partikel yang dihasilkan dari proses penggilingan ini masih teraglomerasi sehingga perlu diultrasonikasi agar dalam penentuan ukuran partikel diperoleh nilai yang sesungguhnya. Ultrasonikasi menghasilkan gelombang tekanan rendah dan tekanan tinggi yang saling bertukar dalam cairan, sehingga dapat memecah gumpalan dari ukuran bahan mikro dan nano (Wahyudi et al. 2010). Setelah diultrasonikasi, partikel diukur menggunakan alat Particle Size Analyzer (PSA). Gambar 3 memperlihatkan terbentuk 4 puncak dengan ukuran diameter partikel yang berbeda-beda. Frekuensi tertinggi adalah partikel yang berdiameter pada range 90.7-97.5 nm dengan rata-rata diameter partikel 97.5 nm sebesar 90%, sementara frekuensi terendah yaitu 2% adalah partikel yang memiliki diameter pada range 73.5-78.6 nm. Hal ini menunjukkan bahwa ukuran nano partikel yang terbentuk tidak seragam. Artinya, pada proses ultrasonikasi, penguraian partikel-
11
partikel zeolit yang teraglomerasi tidak terjadi secara merata. Selain itu, disebabkan oleh keterbatasan alat PSA yang digunakan. PSA yang digunakan tidak bisa mengukur sampel berbentuk padatan, sehingga zeolit dilarutkan terlebih dahulu dalam etanol sebelum diukur, sementara zeolit merupakan padatan yang sulit terdispersi dalam pelarut sehingga hasil PSA memperlihatkan distribusi yang tidak seragam. Ukuran nanopartikel zeolit pada penelitian ini masih lebih besar jika dibandingkan dengan hasil penelitian yang diperoleh Wahyudi et al. (2010) yang berhasil mensintesis nanopartikel zeolit berdiameter sebesar 42.1 nm dan Sulistiyono (2012) yang berhasil mensintesis nanopartikel zeolit berdiameter sebesar 23 nm dengan menggunakan metode yang sama. Perbedaan hasil ini disebabkan oleh penggunaan grinding agent yang berbeda. Grinding agent merupakan material yang memiliki sifat keras dan abrasif sehingga membantu proses penggilingan menjadi lebih efektif. Grinding agent yang digunakan dalam penelitian ini adalah ammonium serium sulfat, sedangkan Wahyudi et al. (2010) menggunakan ammonium serium nitrat. Ammonium serium nitrat bersifat lebih keras dan abrasif daripada ammonium serium sulfat sehingga proses penggilingan menghasilkan partikel yang lebih kecil. Salah satu kelemahan perlakuan ultrasonikasi karena adanya gelombang tekanan rendah dan tekanan tinggi yang saling bertukar dalam cairan, sehingga dapat memecah gumpalan dari ukuran bahan mikro dan nano. Namun hal ini dapat menyebabkan struktur partikel menjadi rusak. Oleh karenanya, dilakukan Scanning Electron Microscope (SEM) untuk mengetahui bahwa struktur tidak rusak. Gambar hasil pemindaian SEM ditampilkan pada Gambar 4 berikut menunjukkan pada NPZ terjadi penggumpalan, ada rongga untuk penjebak enzim, serta saling bertumpuk membentuk agregat. Karakter ini menunjukkan bahwa NPZ tidak mengalami kerusakan setelah diultrasonikasi.
12.6 μm
SEM Tipe JSM-5000; MAG X7.500; ACC 20kV
Gambar 4 Hasil pemindaian SEM nanopartikel zeolit Menurut Kang et al. (2006), parameter bahwa sebuah NPZ tidak mengalami kerusakan adalah dengan melihat morfologi NPZ secara keseluruhan. Ciri-ciri yang mudah dilihat adalah dengan adanya penggumpalan yang
12
menunjukkan bahwa sebagian NPZ masih ada yang teraglomerasi sebagai akibat tidak meratanya proses ultrasonikasi, adanya rongga pada NPZ menunjukkan bahwa NPZ dapat menjebak enzim sehingga kestabilan enzim dapat meningkat, molekul yang saling bertumpuk serta membentuk agregat. Adapun PSA dan SEM adalah instrumen yang digunakan untuk membuktikan bahwa zeolit telah berukuran nanometer. PSA untuk pengujian secara kuantitatif yang diperlihatkan dengan hasil distribusi 90% dengan diameter rata-rata sebesar 97.5 nm, sedangkan SEM untuk pengujian secara kualitatif, melihat morfologi (bentuk) kristal pada zeolit yang telah dibuat ukuran nanometer secara milling dan ultrasonik. Selain melihat morfologi kristal zeolit dengan SEM, dapat juga dilakukan analisis X-Ray Diffraction (XRD) untuk meyakinkan bahwa zeolit tidak mengalami kerusakan pada saat penggerusan di dalam PBM dan ultrasonikasi yang menggunakan suhu dan tekanan tinggi. Dengan analisis XRD, Sulistiyono (2012) pada penelitiannya membuktikan bahwa dengan perlakukan penggerusan pada PBM dan ultrasonikasi, morfologi kristal tidak mengalami kerusakan. Berdasarkan hasil perhitungan XRD terlihat bahwa proses ultrasonik menghasilkan perubahan ukuran kristal. Sebelum proses ultrasonik ukuran kristal 38 nm kemudian menjadi 17 nm untuk media aquabides, 28 nm untuk media etanol absolut dan 11 nm untuk etilen glikol. Hal ini mununjukkan pecahnya butiran akibat gelombang ultrasonik berakibat pada pecahnya kristal juga. Penumbuhan Sel D. radiodurans dan Ekstraksi SOD Pada berbagai penelitian, SOD memperlihatkan efek regeneratif pada jaringan yang mengalami kerusakan akibat faktor usia, penyakit, dan luka. SOD memberikan keuntungan maksimal sebagai anti aging (Lefaix, 1993). SOD mengkatalis dismutasi radikal anion superoksida menjadi hidrogen peroksida mengikuti reaksi: 2O2-. + 2H+ H2O2 + O2. Aktivitas SOD dihambat oleh H2O2 maka dalam kerjanya SOD sangat membutuhkan katalase (Rice-Evan et al. 1991). SOD banyak ditemukan pada kelenjar adrenalin, ginjal, darah, limfa, pankreas, hati, usus, ovarium, otak dan timus. SOD memiliki situs aktif berupa histidin dan asparagin seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5.
Gambar 5 Situs aktif pada Enzim Superoksida Dismutase
13
Penggunaan enzim SOD murni dari eritrosit sapi (EC Number 1.15.1.1) dalam biosensor merupakan kendala karena harga enzim mahal. Oleh sebab itu, penggunaan bakteri penghasil SOD merupakan solusi untuk menekan biaya. SOD telah diisiolasi dari bakteri hipertermofilik dari Aquifex pyrophilus, Thermothrix sp, Rhodothermus sp, Bacillus sp. MHS47 (Areekit et al. 2011) dan Deinococcus radiophilus (Yun et al. 2004). Menurut Yuan et al. (2007), Deinococcus radiodurans juga merupakan salah satu bakteri penghasil SOD. Bakteri Deinococcus radiodurans termasuk dalam filum Deinococci, ordo Deinococcales, famili Deionococcuceae, genus Deinococcus, spesies radiodurans. Bakteri ini merupakan gram positif, aerob, dan non patogen yang sangat resistan terhadap radiasi ultraviolet, ionisasi, desikasi dan ROS. Kemampuan Deinococcus radiodurans ini karena terdapat Mn-SOD dan katalase yang merupakan sistem antioksidan yang dapat melindungi dari serangan radiasi. Berdasarkan aktivitas spesifik yang didapatkan maka Deinococcus radiodurans memiliki potensi untuk digunakan sebagai komponen pengenal pada biosensor antioksidan. Bakteri D. radiodurans ditumbuhkan dalam media LB cair selama 48 jam dengan suhu 30 oC. Setelah 48 jam bakteri dapat dipanen untuk mengambil enzim SOD. Sel bakteri dipecah untuk mengekstrak protein pada sitoplasma sel yang mengandung enzim SOD dengan menggunakan ultrasonic homogenizer. Protein yang terekstrak memiliki konsentrasi sebesar 6246 µg/mL. Konsentrasi ini lebih kecil dibandingkan dengan Mn-SOD yang dihasilkan dari udang Macrobrachium nipponerse sebesar 17100 mg (Yao et al. 2004). Sedangkan Seatovics et al. (2004) mendapatkan ekstrak kasar Mn-SOD dari bakteri Thermotherix sp. sebanyak 53 mg/17.5 mL. Dalam penelitian ini, bakteri Thermotherix sp. diisolasi dari pemandian air hangat di Serbia kemudian dibiakkan dalam media nutrien broth (pepton 1.5%, meat extract 0.5%, NaCl 0.5%, dan K2HPO4 pH 7.2). Kecilnya rendemen ekstrak yang dihasilkan dibandingkan dengan yang lain diduga karena D. radiodurans memiliki dinding sel yang tebal. Selain itu, bentuknya yang tetrad dan besar menyebabkan sulit untuk memecah dinding sel D. radiodurans dan mengekstrak sitoplasmanya (Trivadila 2011). Imobilisasi Ekstrak Kasar SOD dalam NPZ Stabilitas dan sensitivitas sangat dibutuhkan dalam penentuan kinerja analitik dari sebuah alat biosensor. Aktivitas enzim sangat dipengaruhi oleh adanya perubahan suhu dan pH yang ekstrim, karena dapat membuat enzim mudah terdenaturasi. Untuk menjaga fungsi katalitik enzim pada kondisi ekstrim tersebut, dilakukan imobilisasi pada permukaan material penyangga padat. Enzim redoks banyak digunakan dalam biosensor elektrokimia karena enzim ini dapat menghasilkan atau menggunakan elektron dalam mengkatalisis suatu substrat menjadi produk, sehingga elektron ini yang akan dideteksi pada transduser (Grieshaber et al. 2008). Salah satu metode yang dapat digunakan untuk menjaga kestabilan enzim adalah dengan melakukan imobilisasi enzim pada material yang berpori dan untuk meningkatkan stabilitas dapat digunakan nanomaterial (Mateo et al. 2007).
14
Imobilisasi enzim bertujuan mempertahankan aktivitas dan stabilitas enzim. Hal ini karena enzim memiliki stabilitas dan sensitivitas yang tinggi jika dalam kondisi normal, tapi sangat sensitif terdenaturasi oleh pH dan suhu yang ekstrim, pelarut organik, dan deterjen. Untuk menjaga fungsi katalitik enzim pada kondisi ekstrim ini maka dilakukan imobilisasi pada permukaan material penyangga padat seperti nanopartikel zeolit. Stabilitas dan sensitivitas suatu biosensor enzim terimobilisasi pada matriks, selain dipengaruhi oleh substrat juga dipengaruhi oleh metode imobilisasi dan material penyangga yang digunakan (Zhou et al. 2007). Imobilisasi enzim meningkatkan selektivitas substrat, meningkatkan laju regenerasi pusat aktif, dan laju pengikatan substrat (Laurinavicius et al. 2004). Goriushkina et al. (2010) menggunakan zeolit untuk imobilisasi glukosa oksidase dan Balal et al. (2009) menggunakan zeolit untuk modifikasi elektrode pasta karbon yang digunakan untuk mengukur kadar dopamin dan triptofan. Beberapa penelitian ini menunjukkan bahwa zeolit yang digunakan sebagai matriks imobilisasi dapat meningkatkan stabilitas enzim pada permukaan elektrode pasta karbon. Gambar 6 di bawah ini merepresentasikan kondisi yang imobilisasi yang terjadi pada permukaan elektrode.
Gambar 6 Interaksi enzim SOD dengan radikal superoksida (O2-.) Kinerja imobilisasi ini adalah dengan mengupayakan agar enzim tetap berada pada matriks sehingga dapat bereaksi dengan radikal superoksida yang menghasilkan elektron bebas. Marklund (1982) menyatakan bahwa SOD (EC Number 1.15.1.1) adalah enzim dengan bobot molekul 135.000 Dalton. Adanya membran dialisis berfungsi sebagai penahan agar SOD tetap berada pada elektrode pasta karbon. Membran dialisis yang dipakai adalah Thermo Scientific SnakeSkin Dialysis Tubing, 10K MWCO (Molecular Weight Cut Off) sehingga membran ini akan mempertahankan protein memiliki massa molekul yang memiliki bobot molekul sekurang-kurangnya 10 kDa. Selain itu, ukuran pori membran dialisis adalah sebesar 24 Ǻ memungkinkan radikal superoksida yang memiliki ukuran sebesar 1 Ǻ dapat melewati pori ini. Radikal superoksida ini kemudian dapat melewati membran dialisis dan berinteraksi dengan enzim SOD yang sudah terjerap di permukaan pasta karbon yang termodifikasi NPZ. Radikal superoksida yang telah melewati pori membran bereaksi dengan enzim SOD sehingga menghasilkan reaksi oksidasi. Adapun interaksi antara enzim SOD
15
dengan radikal superoksida dideskripsikan pada Gambar 7. Radikal superoksida dihasilkan dari reaksi Xantin dan XO mengikuti reaksi sebagai berikut: Xantina + O2 + H2O
XO
asam urat + 2H+ + O2-.
Gambar 7 Proses transfer dari reaksi enzimatis SOD terimobilisasi dalam NPZ ke permukaan elektrode pasta karbon yang dimediasi oleh ferosen Radikal superoksida yang dihasilkan dari reaksi enzimatis ini sebagai substrat dari reaksi yang dikatalis oleh SOD yang diimobilisasi pada permukaan elektrode pasta karbon dilapisi NPZ, menghasilkan arus puncak oksidasi dan reduksi pada voltammogram siklik (Gambar 8). NPZ dibuat dari zeolit yang merupakan kristal alumino silikat terhidrasi yang mengandung kation alkali atau alkali tanah dalam kerangka tiga dimensi. Zeolit yang digunakan pada penelitian ini berasal dari Bayah dan termasuk ke dalam jenis klinoptilolit. Imobilisasi enzim pada zeolit dengan cara diteteskan di permukaan elektrode bertujuan untuk mempertahankan aktivitas dan stabilitas enzim. Sedangkan ukuran zeolit yang dibuat nanometer bertujuan agar interaksi antara pengisi dan matriks semakin tinggi. Semakin tinggi interaksi, maka semakin stabil enzim tetap berada di tempatnya. Penelitian Fadhilah (2013) menunjukkan bahwa elektrode pasta karbon terimobilisasi nanopartikel zeolit, akan menghasilkan arus yang lebih tinggi dan memiliki stabilitas yang baik dalam percobaan berulang-ulang, memiliki daerah yang linier, dan membuat pengukuran menjadi lebih sensitif. Pengukuran Elektrokimia Elektrokimia merupakan ilmu yang mempelajari aspek elektronik dari reaksi kimia. Elemen yang digunakan dalam reaksi elektrokimia dikarakterisasi dengan banyaknya elektron yang dimiliki. Sensor elektrokimia terdiri dari elektrode pembanding, elektrode pendukung, dan elektrode kerja. Elektrode pembanding umumnya dibuat dari Ag/AgCl yang memiliki nilai potensial yang telah diketahui konstan serta tidak sensitif terhadap komposisi larutan yang dianalisis. Elektrode kerja berperan sebagai elemen transduksi dalam reaksi biokimia (Grieshaber et al. 2008) dan merupakan tempat terjadinya reaksi yang akan merespon analit target. Elektrode pendukung umumnya dari Pt/Ti, membentuk hubungan dengan larutan elektrolit sehingga arus mengalir ke elektrode kerja. Elektrode pendukung diperlukan untuk memperkecil kesalahan dari tahanan sel dalam
16
mengontrol potensial elektrode kerja. Ketiga elektrode ini digunakan untuk meminimalkan kesalahan yang diakibatkan oleh adanya lapisan produk reaksi yang ada pada elektrode. Lapisan ini akan mengakibatkan adanya hambatan tambahan pada sel elektrokimia. Elektrode pembanding dan elektrode kerja dibuat sedekat mungkin agar diperoleh hasil pengukuran dengan hambatan sel yang minimal. Namun jarak elektrode pembanding dan kerja yang terlalu dekat dapat mengakibatkan adanya gangguan karena spesi produk yang menempel pada elektrode. Elektrode pendukung dapat mengatasi permasalahan jarak elektrode pembanding dan kerja. Elektrode pendukung akan memberikan jalur alternatif aliran elektron dalam sel elektrokimia, sehingga elektrode pembanding tidak akan terbentuk lapisan produk reaksi. Hal ini akan membuat pengukuran dapat dilakukan dengan hambatan sel yang minimal (Ekananda 2007). Pengukuran elektrokimia dilakukan dengan menggunakan seperangkat alat potensiostat/galvanostat eDAQ dan komputer beserta perangkat lunak pengolah data Echem v2.1.0. Gambar 8 memperlihatkan voltammogram siklik pengukuran arus pada enzim murni dan ekstraks kasar yang terimobilisasi dan tanpa imobilisasi pada NPZ. Inset merupakan kondisi arus mulai dari blanko hingga terbentuknya puncak. Pada pengukuran secara amperometri (mengubah reaksi transfer elektron menjadi sinyal arus) ini, digunakan 3 sistem elektrode. Elektrode yang digunakan yaitu elektroda Ag/AgCl, platina, dan elektroda pasta karbon berturut-turut sebagai elektroda rujukan, pembantu, dan kerja. Adapun cara pengukuran ini adalah dengan memasukkan bufer fosfat ke dalam sel elektrokimia sebagai blanko yang menunjukkan bahwa alat dapat menetralkan aktivitas sebelumnya. Selanjutnya ditambahkan ferosen sebagai penguat arus, kemudian ditambahkan xantina oksidase (XO) dan xantina ke dalam sel elektrokimia. Reaksi XO dengan xantina akan menghasilkan radikal bebas superoksida (O2-.). Terbentuknya puncak oksidasi menunjukkan bahwa terjadi reaksi oksidasi karena adanya transfer elektron pada reaksi antara enzim dan substrat. Pengaruh ferosen (FeII(C5H5)2) adalah untuk menghasilkan puncak anode dan katode pada kisaran potensial positif. Arus puncak anode pada periode forward scan berhubungan dengan oksidasi inti ferosen (Fc) menjadi ion ferosenium Fc+ ([FeII(C5H5)2]+), sedangkan pada periode reserve scan pada arus puncak katode muncul akibat reduksi Fc + menjadi Fc. Siklus reaksi redoks tersebut mengikuti persamaan reaksi berikut: [FeII(C5H5)2]+ + eFeII(C5H5)2 II + [Fe (C5H5)2] + e FeII(C5H5)2
17
-5
1.0x10 -6 8.0x10-5 1.0x10 -6 6.0x10-6 8.0x10 -6 4.0x10-6 6.0x10 -6-6 4.0x10 2.0x10 -6 0.0 2.0x10
-5
-5 1.0x10 .0x10 -6 -6 8.0x10 .0x10 -6 -6 6.0x10 .0x10 -6 -6 .0x10 4.0x10 -6 -6 .0x10 2.0x10 0.00.0
0.0 -2.0x10 -6 -6 -2.0x10 -4.0x10-6 -4.0x10 -6 -6.0x10-6 -6.0x10 -6 -8.0x10-6 -8.0x10 -5 -1.0x10 Gambar 8-1.0x10 Voltammogram siklik enzim murni dan ekstraks SOD yang -5 Enzim murnikasar non NPZ Enzim murni non NPZ -5 -5 -1.2x10 terimobilisasi dan yang tidak terimobilisasi pada NPZ Ekstraks kasar non -1.2x10 -5 Ekstraks kasar nonNPZ NPZ -5 -1.4x10 Enzim murni non NPZ Ekstraks kasar ++NPZ murnitanpa non NPZ -1.4x10Enzim murni imobilisasi Ekstrak kasar terimobilisasi Ekstraks kasar NPZ -5 -5 -1.6x10 Ekstraks kasar non nonNPZ NPZ -1.6x10 kasar Enzim Enzim murni+ +NPZ NPZ Ekstrak kasar tanpa imobilisasi Enzimmurni murni terimobilisasi -5-5 -1.8x10 Ekstraks kasar ++ NPZ NPZ -1.8x10 kasar -5-5 Enzim murni ++ NPZ NPZ -2.0x10 -2.0x10 Enzim murni Optimasi -5-5 Nanopartikel Zeolit sebagai Matriks Imobilisasi -2.2x10 -2.2x10 -5-5 -2.4x10 -2.4x10 -5 Parameter-paramater yang dioptimumkan pada aktivitas biosensor -5 -2.6x10 -2.6x10 antioksidan dilakukan dengan rancangan percobaan metode -0.6 -0.4 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.0 1.2 1.2 -0.6 -0.4 -0.2 -0.2menggunakan 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 -6
IpIp(A) (A)
-6
-6 .0x10 -2.0x10 -6 -6 .0x10 -4.0x10 -6 -6 .0x10 -6.0x10 -6 -6 .0x10 -8.0x10 -5 -5 .0x10 -1.0x10 -5 -5 .2x10 -1.2x10 -5 -5 .4x10 -1.4x10 -5 -5 .6x10 -1.6x10 -5 -5 .8x10 -1.8x10 -5 -5 .0x10 -2.0x10 -5 -5 .2x10 -2.2x10 -5 -5 .4x10 -2.4x10 -5 -5 .6x10 -2.6x10 -0.6 -0.6 -0.4 -0.4
-0.2 -0.2
permukaan respon. Parameter-parameter yang dioptimumkan adalah pH (7-11), E (V) 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2 0.0 0.2 nanopartikel 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2 konsentrasi zeolit (25-225 mg/10E (V) mL), konsentrasi ekstrak kasar (V) SOD dari D.EE radiodurans (1250-2000 ppm), dan konsentrasi SOD (1-5 unit/mL). (V) Optimasi dilakukan dengan membuat variasi untuk faktor yang berpengaruh signifikan terhadap respon. Faktor tersebut dioptimasi menggunakan metode RSM yang merupakan himpunan metode matematika dan statistika yang bertujuan mengoptimalkan respon. Kelebihan optimasi menggunakan RSM dibandingkan dengan konvensional adalah RSM dapat mengoptimasi faktor dengan melihat hubungan antar sesama faktor dengan respon dalam waktu bersamaan. Gambar 9 menunjukkan konsentrasi NPZ versus skonsentrasi ekstrak kasar SOD dari D. radiodurans yang mempengaruhi tingginya arus.
18
Plot konsentrasi NPZ vs konsentrasi ekstrak kasar enzim SOD Contour Plot1500 of Ipa vs Konsentrasi NPZ (mg/10mL), Ekstrak SOD (ppm) 1350 1650 1800 1950 1350
150
100
50
Konsentrasi NPZ (mg/10mL)
Konsentrasi NPZ
200
1500
1650
1800
1950
200
200
200
150
150
100
100
150
Ipa < 5.0 5.0 5.0 – 7.5 7.5 7.5 – 10.0 10.0 – 10.0 12.5 12.5 – 12.5 15.0 15.0 – 17.5 15.0 17.5 – 20.0 > 17.5 20.0
Ipa < – – – – – – >
5.0 7.5 10.0 12.5 15.0 17.5 20.0 20.0
100 50
50 1350
1500 1650 1800 Ekstrak SOD (ppm)
1950
50
Gambar konsentrasi NPZ versus 13509 Kontur 1500 1650 1800konsentrasi 1950 ekstrak kasar SOD Ekstrak SOD
Kontur menunjukkan puncak arus oksidasi yang tertinggi pada daerah dengan warna hijau gelap (> 20.00 µA). Dari kontur ini dicari variabel yang paling berpengaruh terhadap arus. Output minitab estimasi koefisien persamaan model konsentrasi NPZ versus konsentrasi ekstraks kasar SOD dari bakteri D. radiodurans ditunjukkan pada Tabel 1. Dari P value, diperoleh faktor yang berpengaruh adalah konsentrasi NPZ dan konsentrasi ekstrak kasar enzim SOD. Hal ini didukung pula oleh kontur hubungan antara konsentrasi NPZ dan konsentrasi ekstrak SOD terhadap puncak arus oksidasi. Semakin besar konsentrasi ekstrak SOD yang digunakan, arus oksidasi yang terbentuk semakin tinggi. Tabel 1 Estimasi pengaruh variabel bebas terhadap respon pada elektrode ekstrak kasar SOD dari bakteri D. radiodurans Variabel bebas Koef T P Konstanta 6.06367 7.545 0.000 pH 0.08185 0.153 0.881 Konsentrasi NPZ 0.39614 0.743 0.047 Konsentrasi Ekstrak kasar SOD 1.97155 3.697 0.004 S = 1.97050 R-Sq = 91.45% R-Sq(adj) = 83.76% Tabel 1 menunjukkan bahwa ada faktor yang mempengaruhi model dengan melihat P value < 0.05 yaitu konsentrasi NPZ dan konsentrasi ekstrak kasar SOD. Tabel ini juga memperlihatkan nilai R2 sebesar 91.45%, yang berarti faktor-faktor dapat memprediksi respon sebesar 91.45%. Adapun Gambar 10 menunjukkan pengaruh konsentrasi NPZ versus konsentrasi enzim murni SOD dari eritrosit sapi terhadap tingginya respon arus oksidasi.
19
Plot konsentrasi NPZ vs konsentrasi enzim murni SOD 1
2
3 vs Konsentrasi NPZ4(mg/10mL), SOD (U/mL) 5 Contour Plot of Ipa 1
Konsentrasi NPZ (mg/10mL)
Konsentrasi NPZ
200
150
100
3
4
5
200
200
150
150
Ipa < 4 4 – 5 5 – 6 6 – 7 > 7
200
Ipa < 4 4 – 5 5 – 6 6 – 7 > 7
150 100
100
50
50 1
50
2
2
3 SOD (U/mL)
4
100
5
Gambar 10 Kontur konsentrasi NPZ versus konsentrasi enzim 50 murni SOD 1
Sama halnya pada Gambar 9, arus tertinggi diperlihatkan pada daerah 2 hijau tua yang3 menggambarkan4 arus oksidasi tertinggi. 5 berwarna Namun pada SOD daerah ini, arus tertinggi hanya berada pada kisaran arus > 7 µA. Hal ini terjadi karena beberapa faktor, salah satunya adalah hanya adanya satu variabel bebas yang mempengaruhi tingginya arus oksidasi. Ini dibuktikan pada Tabel 2 berdasarkan P value yang terhitung. Tabel 2 Estimasi pengaruh variabel bebas terhadap respon pada elektrode enzim murni SOD dari eritrosit sapi Variabel bebas Koef T P Konstanta 3.56498 14.136 0.000 pH 0.00945 0.056 0.956 Konsentrasi NPZ 0.14934 0.893 0.393 Konsentrasi enzim murni SOD 0.26237 1.568 0.014 S = 0.618354 R-Sq = 86.03% R-Sq(adj) = 73.46% Tabel 2 ini menunjukkan bahwa ada faktor yang mempengaruhi model dengan melihat P value < 0.05 yaitu hanya konsentrasi enzim murni SOD. Tabel ini juga memperlihatkan nilai R2 sebesar 86.03%, yang berarti faktor-faktor dapat memprediksi respon sebesar 86.03%. Setelah dilakukan optimasi pada masing-masing enzim, hasil kondisi optimum pada ekstrak kasar dan enzim murni SOD memiliki beberapa variasi yang berbeda. Tabel 3 berikut mengambarkan kondisi optimum untuk ekstraks kasar dan enzim murni SOD. Hasil pengukuran antara ekstraks kasar dan enzim murni SOD menunjukkan perbedaan arus yang dihasilkan secara signifikan. Hal ini karena adanya perbedaan mendasar antara ekstrak kasar dan enzim murni SOD dalam hal strukturnya.
20
Tabel 3 Kondisi optimum untuk ekstrak kasar dan enzim murni SOD Variabel Ekstrak kasar SOD Enzim murni SOD pH 9 11 Konsentrasi NPZ 141.25 mg/10 mL 225 mg/10 mL Konsentrasi enzim 2000 ppm 5 U/mL Arus prediksi yang dihasilkan 6.74 μA 5.61 μA Pada Tabel 3, terdapat satuan konsentrasi enzim yang berbeda antara konsentrasi ekstrak kasar dengan konsentrasi enzim murni SOD. Konsentrasi ekstrak kasar SOD diperoleh dari pengukuran panjang gelombang kemudian dikonversi ke dalam satuan ppm (μg/mL), sedangkan pada konsentrasi enzim murni SOD digunakan satuan U/mL yang didefinisikan sebagai banyaknya enzim yang dapat mengkatalisis 1 μmol/mL substrat pada kondisi tertentu. Perbedaan struktur enzim SOD dari eritrosit sapi dan dari bakteri D. radiodurans, menyebabkan hasil pengukuran optimum menjadi berbeda. Gambar 11 menggambarkan perbedaan struktur enzim SOD yang diekstrak dari bakteri D. radiodurans dan enzim SOD dari eritrosit sapi. Enzim SOD dari eritrosit sapi yang memiliki tipe Cu/Zn-SOD yang merupakan enzim dimer dengan setiap monomer berisi satu situs aktif Cu dan satu situs aktif Zn yang dihubungkan oleh histidin imidazol. Cu diikat tiga histidin lain dan membentuk struktur distorsi planar persegi dengan satu penambahan molekul air, sedangkan Zn yang diikat dua histidin dan satu aspartat sebagai tambahan pada jembatan imidazol. Sedangkan enzim SOD yang diekstrak dari bakteri D. radiodurans adalah tipe Mn-SOD yang merupakan enzim dimer dengan satu atom Mn untuk setiap unit. Pada situs aktif, Mn diikat tiga residu histidin, satu residu asam aspartat, dan molekul pelarut sebagai ligan kelima. Ligan ini diikat sebagai hidroksida ketika Mn dalam keadaan oksidasi dan proses protonisasi selama reduksi Mn. Perbedaan-perbedaan struktural menyebabkan Cu/Zn SOD dan Mn-SOD memiliki reaksi mekanisme yang berbeda, yang berakibat pula pada perbedaan pengukuran karena respon yang berbeda (Abreu & Cabelli 2010).
(a) (b) Gambar 11 Struktur enzim SOD yang diekstrak dari bakteri D. radiodurans (a) dan enzim SOD dari eritrosit sapi (b)
21
Penentuan Stabilitas Elektrode Stabilitas penyimpanan jangka panjang merupakan faktor penting dalam penggunaan biosensor secara komersial. Pada penelitian ini, stabilitas elektrode diuji dengan menyimpan elektrode pada larutan bufer fosfat pada suhu 4 ºC dan dilihat kinerjanya selama 8 jam. Hasil pengukuran ditunjukkan pada Gambar 12 yang menyatakan bahwa elektrode ekstrak kasar SOD yang terimobilisasi pada NPZ memiliki stabilitas yang paling tinggi, ditunjukkan dengan penurunan aktivitas relatif menjadi 58.93% setelah 8 jam. Sedangkan elektrode enzim murni SOD yang terimobilisasi pada NPZ, elektrode ekstrak kasar SOD dan elektrode enzim murni SOD tanpa imobilisasi berturut-turut tersisa 50.43%, 36.77%, dan 25.99%. Ini menunjukkan bahwa daya simpan elektrode ekstrak kasar SOD yang terimobilisasi pada NPZ lebih lama daripada ketiga elektrode lainnya. Pilan dan Raicopol (2014) telah melakukan uji daya simpan elektrode biosensor berbasis polianilin yang diimobilisasi nanokomposit film selama 2 hari, aktivitas relatifnya tersisa tinggal 10%. Selain itu, biosensor ini memiliki sensitivitas yang tinggi. Hal ini menunjukkan adanya peran matriks pengimobilisasi untuk menjaga kestabilan enzim (Mateo et al. 2004). Pada elektrode yang terimobilisasi, digunakan pasta karbon dan NPZ sebagai matriks. Sedangkan elektrode tanpa imobilisasi, hanya pasta karbon yang berperan sebagai matriks.
Gambar 12 Diagram aktivitas relatif versus waktu elektrode biosensor antioksidan Ekstrak terimobilisasi pada NPZ
Enzim tanpa terimobilisasi pada NPZ
Enzim terimobilisasi pada NPZ
Ekstrak tanpa terimobilisasi pada NPZ
22
Penentuan Sensitivitas dan Linieritas Elektrode Sensitivitas adalah ukuran seberapa baik elektroda mengukur ion utama dalam bentuk sekelumit. Digunakan konsentrasi xantina serendah-rendahnya hingga diperoleh persamaan sehingga dapat menyatakan konsentrasi Xantina terendah yang masih dapat terukur oleh elektrode. Rentang konsetrasi Xantina yang dipakai adalah dari 1-7 μM. Sensitivitas diketahui dari nilai regresi (R 2) untuk elektrode ekstrak kasar SOD terimobilisasi pada NPZ adalah sebesar 0.9919. Sedangkan untuk elektrode enzim murni SOD yang terimobilisasi pada NPZ, ekstrak kasar dan enzim murni SOD tanpa imobilisasi masing-masing memiliki nilai regresi lebih kecil yaitu sebesar 0.982, 0.956, dan 0.9237. Perbandingan linieritas dari keempat elektrode tersebut ditunjukkan pada Gambar 13. Linieritas menggambarkan konsistensi elektrode dalam mengukur arus. Dari grafik diketahui bahwa elektrode ekstrak kasar SOD yang terimobilisasi pada NPZ memiliki sensitivitas sebesar 0.278 AM-1, besarnya 4 kali lipat lebih tinggi daripada ketiga elektrode lainnya. Ini dapat dilihat dari perbandingan slope yang ditampilkan. Dari hasil perhitungan ini, secara umum keempat elektrode ini berada pada daerah yang linier.
Gambar 13 Grafik sensitivitas elektrode ekstrak kasar SOD dan enzim murni SOD yang terimobilisasi dan yang tanpa terimobilisasi pada NPZ Ekstraks terimobilisasi pada NPZ Enzim terimobilisasi pada NPZ
Enzim tanpa terimobilisasi pada NPZ Ekstrak tanpa terimobilisasi pada NPZ
23
Khasanah et al. (2013) melaporkan penelitiannya bahwa elektrode hanging mercury drop dengan molecularly imprinted (HMD-MIP) yang dibuat dengan mengembangkan sensor voltametri ekstraks kreatinin dari jaringan polimer untuk penentuan kreatinin memiliki linieritas hingga 0.9985. Pada penelitian ini, sebelum menggunakan MIP yang dibuat dengan mereaksikan ekstrak kreatinin dari jaringan polimer. Penelitian ini menghasilkan kinerja analitik berupa linieritas, ketelitian, ketepatan, sensitivitas, limit deteksi yang baik. Penentuan Limit Deteksi Pengukuran Limit deteksi didefinisikan sebagai konsentrasi terkecil analit yang memberikan sinyal secara signifikan lebih besar daripada sinyal pereaksi blanko (Harvey 2000). Limit deteksi dalam penelitian ini diperoleh berdasarkan rentang pengukuran pada saat konsentrasi xantina terkecil (1 μM). Pada saat konsentrasi xantina yang lebih kecil lagi, sinyal xantina tidak dapat dibedakan lagi dengan sinyal blanko. Limit deteksi yang diperoleh untuk elektrode ekstraks kasar dan enzim murni SOD yang terimobilisasi pada NPZ secara berturut-turut 0.5 μM dan 1.49 μM. Sedangkan untuk elektrode ekstrak kasar dan enzim murni SOD tanpa imobilisasi pada NPZ berturut-turut sebesar 1.92 μM dan 1.73 μM. Ini berarti dengan konsentrasi xantina terendah, keempat elektrode masih dapat mendeteksi sinyal xantina sekurang-kurangnya 2 μM. Limit deteksi elektrode ekstrak kasar SOD terimobilisasi pada NPZ merupakan limit deteksi terkecil, ini berarti dengan konsentrasi xantina terendah, elektrode masih dapat mendeteksi sinyal Xantina sampai 0.5 μM. Zhirong et al. (2010) pernah melakukan penelitian untuk penentuan limit deteksi pada makanan menggunakan surfaktan gemini, hasilnya bahwa elektrode ini dapat mendeteksi sampai 0.03 μM. Surfaktan gemini digunakan sebagai pengisi pada material komposit yang dimodifikasi pada elektrode karbon nanotube yang dilakukan untuk penentuan konsentrasi Sudan I pada makanan. Surfaktan gemini adalah surfaktan yang terdiri dari dua ekor hidrofobik dihubungkan oleh grup spacer. Dibandingkan dengan surfaktan konvensional, surfaktan gemini menunjukkan banyak sifat yang unik, seperti konsentrasi misel kritis yang rendah, efisiensi yang lebih tinggi dalam menurunkan tegangan permukaan air, kelarutan kuat, dan kemampuan sebagai wetting agent. Zhao et al. (2009) melaporkan limit deteksi pada elektrode pasta karbon untuk biosensor asam urat sebesar 29.5 μM. Meskipun memiliki limit deteksi pada konsentrasi yang lebih tinggi, biosensor asam urat ini memiliki daya simpan yang cukup lama, artinya biosensor ini memiliki kestabilan yang tinggi. Penentuan Keterulangan Pengukuran Keterulangan pengukuran (repeatability) menurut AOAC (2002) adalah kesamaan hasil jika suatu metode dilakukan berulang kali oleh analis yang sama pada kondisi sama dalam selang waktu yang pendek. Keterulangan dinilai dengan melakukan penetapan terpisah lengkap terhadap sampel-sampel identik terpisah dari kelompok yang sama. Pada penelitian ini, keterulangan dilakukan sebanyak 10 kali. Keterulangan pengukuran dalam penelitian ini dinyatakan dalam standar
24
deviasi (SD) dan nilai persen koefisien variansi (%KV). Syarat penerimaan %KV sesuai standar AOAC (2002) adalah: (1) sangat teliti: %KV < 1, (2) teliti: %KV 1-2, (3) sedang: %KV 2-5, dan (4) tidak teliti: %KV > 5. Semakin kecil nilai SD dan %KV, maka ketelitian semakin tinggi dan kesalahan pengukuran arus semakin kecil. Hasil analisis pengukuran keterulangan pengukuran ditampilkan pada Tabel 4 berikut. Tabel 4 Keterulangan pengukuran dari berbagai elektrode Elektrode Standar deviasi Ekstrak kasar SOD tanpa imobilisasi pada NPZ 0.0921 Ekstrak kasar SOD terimobilisasi pada NPZ 0.0492 Enzim murni SOD tanpa imobilisasi NPZ 0.0593 Enzim murni SOD terimobilisasi pada NPZ 0.0335
% Koefisien variasi 0.388 0.315 0.193 0.128
Dari Tabel 4 di atas, maka diketahui bahwa elektrode ekstrak kasar dan enzim murni SOD dengan imobilisasi pada NPZ memiliki keterulangan yang baik, ditunjukkan dengan nilai SD dan %KV yang rendah. Nilai SD dan %KV yang rendah ini menunjukkan bahwa pengukuran keempat elektrode ini sangat teliti atau memiliki tingkat akurasi yang tinggi.
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Ekstrak enzim SOD dari D. radiodurans yang terimobilisasi pada nanopartikel zeolit dapat meningkatkan kinerja analitik biosensor. Indikator utama adalah dari kinerja analitik yang baik yaitu berupa daerah kerja yang linier, limit deteksi yang rendah, serta stabilitas, sensitivitas, dan akurasi yang tinggi. Elektrode ekstrak kasar SOD yang diimobilisasi NPZ memiliki linieritas dan stabilitas yang lebih tinggi, sensitivitas yang 4 kali lebih tinggi, dan limit deteksi yang 3 kali lebih rendah daripada elektrode enzim murni SOD yang diimobilisasi nanopartikel zeolit. Saran Ada beberapa saran yang diajukan terkait penelitian ini: 1. Perlu dilakukan pemurnian ekstrak kasar menjadi enzim murni sebagai perbandingan dengan enzim murni SOD dari eritrosit sapi karena pada penelitian ini masih menggunakan ekstrak kasar bakteri D. radiodurans. 2. Penelitian ini belum mengaplikasikan kondisi optimum elektrode untuk mengukur kapasitas antioksidan. Oleh karena itu, diperlukan aplikasi elektrode untuk mengukur kapasitas antioksidan pada berbagai sampel makanan, minuman, dan obat-obatan untuk menghasilkan prototype elektrode berbasis enzim menggunakan matriks imobilisasi nanopartikel zeolit. 3. Diperlukan juga penelitian untuk meningkatkan stabilitas elektrode agar dapat dipakai dalam jangka waktu yang lebih lama.
25
DAFTAR PUSTAKA Abreu I. A, Cabelli D. E. 2010. Superoxide dismutases-a review of the metalassociated mechanistic variations. BBAPAP 1804:263-274. Al-Jabri M. 2008. Kajian Metode Penetapan Kapasitas Tukar Kation Zeolit sebagai Pembenah Tanah untuk Lahan Pertanian Terdegradasi. J Standardisasi 10 (2):56-69. Antolovich M, Prenzler PD, Patsalides E, McDonald S, Robards K. 2002. Methods for Testing Antioxidant Activity. Analyst 127: 183-198. [AOAC] Association of Official Analytical Chemists. 2002. AOAC Guidelines for Single Laboratory Validation of Chemical Methods for Dietary Supplements and Botanicals. [Internet]. [diunduh pada 2013 10 Juli]. Tersedia pada: http://www.aoac.org/Official_Methods/slv_guidelines.pdf. Areekit S, Kanjanavas P, Khawsak P, Pakpitchareon A, Potivejkul K, Chansiri G, Chansiri K. 2011. Cloning, expression, and characterization of thermotolerant manganese superoxide dismutase from bacillus sp. mhs47. Int J Mo Sci 12: 844-856. Balal K, Mohammad H, Bahareh, Ali BMH, Mozhgam Z. 2009. Zeolite nanoparticle modified carbon paste electrode as a biosensor for simultaneous determination of dopamine and tryptophan. J Chim Chem.56: 789-796. Berberich JA, Yang LW, Bahar I, Russel AJ. 2005. A stable three enzyme creatinine biosensor. Analysis of the impact of silver ions on creatinine amidinohydrolase. Acta Biomaterialia 1:183–191. Campanella L, Bonnani A, Bellantoni D, Favero G, Tomasseti M. 2004. Comparison of fluorimetric, voltametric dan biosensor methods for determination of total antioxidant capacity of drug products containing acetylsalicylic acid. J Pharm,Biomed, Anal 36:91-99. Castillo J, Gaspar S, Leth S., Niculescu M, Mortari A, BontideanI, Soukharev V, Dorneanu SA, Ryabov AD, Soregi E. 2004. Biosensor for life quality design, development and aplication. Sensor and Actuators B 102: 179-194. Chou FI, Tan ST. 1991. Salt-Mediated Multicell Formation in Deinococcus radiodurans. J Bacteriology 173(10):3184–3190. Coban S. 2008. Development of biosensors for determination of total antioxidant [Thesis] Izmir (TR): Izmir Institute of Technology. Devasagayam TPA, Tilak JC, Boloor KK, Sane KS, Ghaskadbi SS, Lele RD. 2004. Free Radicals and Antioxidants in Human Health: Current Status and Future Prospects. JAPI 52:794-804. Di J, Peng S, Shen C, Ghao Y, Tu Y. 2007. One-step method embedding superoxide dismutase and gold nanoparticles in silica sol-gel network in the precense of cysteine for construction of third-generation biosensor. Bioelectron 23:88-94. Ekananda R. 2007. Pembuatan dan Karakterisasi Biosensor Kolesterol dan Biosensor Glukosa. Jakarta (ID): Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
26
Fadhilah R. 2013. Biosensor Glukosa Menggunakan GDH-FAD yang Diimobilisasi pada Nanopartikel Zeolit secara Elektrokimia. [Tesis] Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Goriushkina TB, Kurç BA, Sacco Jr. A, Dzyadevych SV. 2010. Application of zeolites for immobilization of Glucose Oxidase in amperometric biosensors. Sensor Electronics and Microsystem Technologies 1:36-42. Grieshaber D, MacKenziel R, Vorosl J, Reimhult E. 2008. Review paper guanine and adenine biosensor. J Biosen Bioelect 24: 591-599. Harvey D. 2000. Modern Analitycal Chemistry. Singapore (SG): McGraw-Hill. Ikeda T, Mastubara H, Kato K, Iswantini D, Kano K, Yamada M. 1998. Electrochemical monitoring of in vivo reconstitution of glucose dehydrogenase in Escherichia coli cells with externally added pyrroloquinoline quinone. J Electroanal Chem 449:219-224. Iswantini D, Nurhidayat N, Trivadila. 2011. Glucose biosensor selected Indonesia bacteria. Microbiology Indonesia 5(1):9-14. Iswantini D, Nurhidayat N, Trivadila, Nurcholis W. 2013. Antioxidant Biosensor Using Microbe. World Academy of Science, Engineering and Technology. 78:1272-1279. Kang Y, Shan W, Wu J, Zhang Y, Wang X, Yang W, Tang Y. 2006. Uniform nanozeolite microspheres with large secondary pore architecture. J Chem. Mater 18:1861-1866. Khalaf NA, Shakya AK, Al-Othman A, El-Agbar Z, Farah H. 2008. Antioxidant activity of some common plants. Turk J Biol 32:51-55. Khasanah M, Supriyanto G, Azhar AP. 2013. Pengembangan sensor kreatinin melalui modifikasi elektroda hanging mercury drop dengan molecularly imprinted polianilin. Media Kimia FST 1(1):7-13. Kohls DJ, Beaucage G. 2002. Structural changes in precipitated silica induced by external forces. J Chem. Phys. 132:154-163. Laurinavicius V, Razumiene J, RamanaviciusA, Ryabov AD. 2004. Wiring of PQQ dehydrogenase. Biosensors and Bioelectronics 20:1217-1222. Lefaix JL, Delanian S, Leplat JJ, Tricaud Y, Martin M, Hoffschir D, Daburon F, Baillet F. 1993. Radiation induced cutaneo muscular fibrosis (III): major therapeutic efficacy of liposomal Cu/Zn superoxide dismutase. J of Nature Genetic 80(9):799-807. Lindley MG. 1998. The impact of food processing on antioxidants in vegetable oils, fruits and vegetables. Trends Food Sci. Technol. 9:336-340. Liu J, Wang J. 2000. A novel improved design for the first-generation glucose biosensor. Food Technology Biotechnology 39(1): 55-58. Marklund SL. 1982. Human copper-containing superoxide dismutase of high molecular weight. Proc. natl. Acad. Sci. USA. Biochemistry 79:7634-7638. Mateo C, Palomo JM, van Langen LM, van Rantwijk F, Sheldon RA. 2004. A new, mild crosslinking methodology to prepare crosslinked enzyme aggregates. Biotech Bioeng 86 (3):273-276. Mello LD, Kubota LT. 2007. Review biosensors as a tool for the antioxidant status evaluation. Talanta 72:335–348.
27
Mirel S, Sandulescu R, Kauffman JM, Roman L. 1998. Electrochemical study of some 2-mercapto-5-R-ammino-1,3,4-thiadiazole derivatives using carbon paste electrodes. J Pharm Biomed Anal. 18:535-544. Pilan L, Raicopol M. 2014. Highly selective and stable glucose biosensors based on polyaniline/carbon nanotubes composites. J Sci. Bull. B(76):155-166. Prieto-Simon B, Cortina M, Campas M, Calas-Blanchard C. 2007. Electrochemical biosensors as a tool for antioxidant capacity assessment. J Sens Actua 129:459-466. Rice-Evans CA, Diplock AT, Symons MCR. 1991. Technique in Free Radical Research. Elsivier Amsterdam, London, Tokyo. Elsevier: 207–234. Seatovic S, Gligic L, Radulovic Z, Jacikov RM. 2004. Purification and partial characterization of SOD from thermophilic bacteria Thermotherix sp. J.Serb.Chem.Soc 96:9-16. Sulistiyono E. 2012. Pembuatan Nano Magnesium Karbonat Hasil Ekstraksi Mineral Dolomit dengan Gelombang Ultrasonik. [Tesis] Jakarta (ID): Universitas Indonesia. Tang YR. 2003. Adsorbent Fundamental and Applications. Ottawa (AF): J Wiley. Tawaha K, Alali FQ, Gharaibeh M, Mohammad M, El-Elimat T. 2007. Antioxidant activity and total phenolic content of selected Jordanian plant species. J Foodchem 104:1372–1378. Thaipong K, Boonprakob U, Crosby K,Cisneros-Zevallos L, Byrne DH. 2006. Comparison of ABTS, DPPH, FRAP, and ORAC assays for estimating antioxidant activity from guava fruit extracts. J of Food Composition and Analysis 19:669-675. Trivadila. 2011. Biosensor antioksidan menggunakan superoksida dismutase Deinococus radiodurans diimobilisasi pada permukaan elektrode pasta karbondan parameter kinetikanya. [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Valko M, Leibfritz D, Moncol J, Cronin MT, Mazur M, Telser J. 2007. Free radicals and antioxidants in normal physiological functions and human disease. J Biochemistry & Cell Biology 39: 44–84. Wahyudi A, AmaliaD, Sariman, Rochani S. 2010. Sintesis nanopartikel zeolit secara topdown menggunakan planetary ball mill dan ultrasonikator. M&E. 8:1. Wang H, Zhou C, Liang J, Yu H, Peng F, Yang J. 2008. High sensitivity glucose biosensor based an Pt electrode position onto low-density aligned carbon nanotubes. Int J Electrochen Sci 3(11): 1258-1267. Weniarti. 2011. Biosensor antioksidan berbasis superoksida dismutase Deinoccos radiodurans diimobilisasi pada nanokomposit zeolit alam Indonesia. [Tesis] Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Wijngaard HH, Rößle C, Brunton N. 2009. A survey of Irish fruit and vegetable waste and by-products as a source of polyphenolic antioxidants. J Food Chem 116:202–207. Yao C, Way AL, Wang WN, Sun RY. 2004. Purification and partial characterization of Mn-SOD from niusele tissue of the shrimp Maerobrachium nipponerse. Aquaculture 24:621-631.
28
Yuan WY, Bing T, Yuejin H. 2007. A novel gene of Deinoccocus radiodurans responsible for oxidative stress. Chin Sci Bul 15:2081-2087. Yun YS, Lee YM. 2003. Production of Superoxide Dismutase by Deinococcus radiophilus.J. of Biochemistry & Molecular Biology 36(3):282-287. Zhao C, Wan L, Wang Q, Liu S, Jiao K. 2009. Highly sensitive and selective uric acid biosensors based on direct electron transfer of hemoglobinencapsulated chitosan-modified glassy carbon electrode. J Analytical Sciences 5:1013-1017. Zhirong Mo, Yafen Zhang, Faqiong Zhao, Fei Xiao, Gaiping Guo, Baizhao Zeng. 2010. Sensitive voltammetric determination of Sudan I in food samples by using gemini surfactant–ionic liquid–multiwalled carbon nanotube composite film modified glassy carbon electrodes. J Food Chemistry 121:233–237. Zhou X, Yu T, Zhang Y, Kong J, Tang Y, Marty JL, Liu B. 2007. Nanozeoliteassembled interface towards sensitive biosensing. Electrochemistry Communications 9:1525–1529.
29
Lampiran 1 Bagan alir penelitian secara umum Pembuatan Nanopartikel zeolit
Imobilisasi pada enzim ekstrak SOD
Diukur arus oksidasinya
Uji kapasitas oksidasi
Optimasi
Pengukuran sifat-sifat analitik: stabilitas, sensitivitas, linieritas, limit deteksi, dan keterulangan pengukuran.
Pembuatan Nanopartikel Zeolit 50 gram zeolit Bayah Diaduk dengan 250 mL HCl 3 M Zeolit tersuspensi dalam asam Disaring sampai pH netral Zeolit teraktivasi Digerus dengan planetary ball milling & ammonium serium sulfat. Ultrasonik 30 menit, amplitudo 40%. Nanopartikel zeolit
30
Penumbuhan sel dan ekstraksi Deinococcus radiodurans Bakteri D. radiodurans Media LB cair selama 48 jam diinkubasi Ekstraksi SOD Sentrifugasi 7000 x G, 4 oC 10 menit Pellet SOD Sonikasi dan sentrifugasi pellet pada 10.000 x G suhu 4 oC selama 30 menit Supernatan ekstrak protein SOD
Imobilisasi, optimasi, dan pengukuran elektrokimia
Ekstrak kasar SOD Imobilisasi pada nanopartikel zeolit Aktivitas SOD Optimasi menggunakan Potensiostat Pengukuran kinerja analitik
Penghitungan kinerja analitik
31
Lampiran 1 Optimasi variabel bebas pada elektrode enzim murni SOD dari eritrosit sapi yang terimobilisasi pada NPZ pH 7 8 8 8 8 9 9 9 9 9 10 10 10 10 11
Konsentrasi NPZ (mg/10 mL) 125 185 185 65 65 125 225 125 25 125 185 65 185 65 125
[SOD] U/mL 3 2 4 2 4 3 3 1 3 5 4 2 2 4 3
Respon Arus (μA) 4.17 4.52 5.59 4.04 6.16 3.56 5.48 1.28 3.31 1.06 5.13 0.5 0.3 4.79 4.11
32
Lampiran 3 Optimasi variabel bebas pada elektrode ekstrak kasar SOD dari D. radiodurans yang terimobilisasi pada NPZ pH 7 8 8 8 8 9 9 9 9 9 10 10 10 10 11
Konsentrasi NPZ (mg/10 mL) 125 185 65 65 185 125 225 125 25 125 65 65 185 185 125
[ekstrak SOD] ppm 1625 1850 1850 1400 1400 1625 1625 2000 1625 1250 1400 1850 1850 1400 1625
Respon Arus (μA) 4.68 6.26 11.73 10.21 9.51 6.11 11.7 12.36 10.82 11.22 6.59 9.01 16.6 9.1 3.21
33
Lampiran 4 Stabilitas daya simpan biosensor antioksidan Jam ke0 1 2 3 4 5 6 7 8
Arus prediksi (μA) Ekstrak+NPZ Ekstrak tanpa NPZ Enzim tanpa NPZ 5.77 5.55 10.85 4.34 3.84 9.02 6.48 3.09 9.00 6.33 2.73 8.64 4.42 2.72 5.95 4.01 2.24 4.33 3.89 2.17 4.32 3.66 2.11 3.02 3.40 2.04 2.82
Enzim + NPZ 7.75 6.86 4.55 2.58 1.84 1.27 1.21 1.10 0.95
Persentase aktivitas relatif biosensor berbanding waktu Jam ke0 1 2 3 4 5 6 7 8
Persentase aktivitas relatif elektrode (%) Ekstrak+NPZ Ekstrak tanpa NPZ Enzim tanpa NPZ Enzim + NPZ 100.00 100.00 100.00 100.00 72.22 69.19 83.13 94.99 112.31 55.68 82.95 81.97 109.71 49.19 79.63 70.87 76.60 49.01 54.84 61.07 69.49 40.37 39.91 57.86 67.42 39.09 39.82 57.52 63.43 38.02 27.83 56.90 58.93 36.76 25.99 50.42
34
Lampiran 5 Sensitivitas elektrode biosensor antioksidan Arus prediksi (μA) [Xantina] (μM) Ekstrak+NPZ Ekstrak tanpa NPZ Enzim tanpa NPZ Enzim + NPZ 1 0.17 0.33 0.27 0.33 2 0.39 0.36 0.28 0.36 3 0.78 0.43 0.35 0.43 4 1.03 0.49 0.51 0.49 5 1.37 0.59 0.73 0.59 6 1.57 0.62 0.77 0.62 7 1.78 0.73 0.78 0.73
35
Lampiran 6 Limit deteksi elektrode biosensor antioksidan [Xantina] 1 μM A. Elektrode ekstrak kasar SOD dari D. radiodurans terimobilisasi pada NPZ n
xi
xi-x
(xi-x)^2
1
0.11
-0.046
0.002116
2 3
0.18 0.19
0.024 0.034
0.000576 0.001156
0.049152823
4
0.11
-0.046
0.002116
Ld = 0.147458469
5 6 7 8 9 10
0.16 0.18 0.16 0.18 0.12 0.17 0.156
0.004 0.024 0.004 0.024 0.12 0.014
1.6E-05 0.000576 1.6E-05 0.000576 0.0144 0.000196 0.021744
0.05%
Sb = 0.002416
Limit deteksi 0.0005 mM atau 0.5 μM
B. Elektrode ekstrak kasar SOD dari D. radiodurans tanpa terimobilisasi NPZ n
xi
xi-x
(xi-x)^2
1
0.2
-0.037
0.001369
2 3
0.24 0.31
0.003 0.073
9E-06 0.005329
4
0.13
-0.107
0.011449
5 6 7 8 9 10
0.32 0.12 0.27 0.11 0.31 0.36 0.237
0.083 -0.117 0.033 -0.127 0.073 0.123 -0.037
0.006889 0.013689 0.001089 0.016129 0.005329 0.015129 0.07641
Sb =
0.00849 0.092141196
Ld =
0.276423588 0.00191575
Limit deteksi 0.001957 mM atau 1.9157 μM
36
C. Elektrode enzim murni SOD dari eritrosit sapi terimobilisasi pada NPZ n
xi
xi-x
(xi-x)^2
1
0.25
-0.011
0.000121
2 3
0.28 0.22
0.019 -0.041
0.000361 0.001681
4
0.33
0.069
0.004761
5 6 7 8 9 10
0.26 0.22 0.24 0.29 0.25 0.27 0.261
-0.001 -0.041 -0.021 0.029 -0.011 0.009
0.000001 0.001681 0.000441 0.000841 0.000121 8.1E-05 0.01009
Sb =
0.001121111 0.033482997
Ld =
0.100448992 0.001496046
Limit deteksi 0.001496 mM atau 1.496 μM
D. Elektrode enzim murni SOD dari eritrosit sapi tanpa terimobilisasi NPZ n
xi
xi-x
(xi-x)^2
1
0.33
0.023
0.000529
2 3
0.27 0.23
-0.037 -0.077
0.001369 0.005929
4
0.2
-0.107
0.011449
5 6 7 8 9 10
0.32 0.35 0.36 0.28 0.37 0.36 0.307
0.013 0.043 0.053 -0.027 0.063 0.053
0.000169 0.001849 0.002809 0.000729 0.003969 0.002809 0.03161
Sb =
0.003512222 0.059264004
Ld =
0.177792013 0.001722624
Limit deteksi 0.0017226 mM atau 1.7226 μM
37
Lampiran 7 Keterulangan elektrode biosensor antioksidan [Xantina] 3 μM A. Elektrode ekstrak kasar SOD dari D. radiodurans terimobilisasi pada NPZ n 1
xi 0.2
xi-x -0.037
(xi-x)^2 0.001369
2
0.24
0.003
9E-06
3 4 5 6 7 8 9 10
0.31 0.073 0.13 -0.107 0.32 0.083 0.12 -0.117 0.27 0.033 0.11 -0.127 0.31 0.073 0.36 0.123 0.237
0.005329 0.011449 0.006889 0.013689 0.001089 0.016129 0.005329 0.015129 0.07641
Sb =
0.092141196
%KV = 0.023583333
B. Elektrode ekstrak kasar SOD dari D. radiodurans tanpa terimobilisasi NPZ n 1
xi 0.11
xi-x (xi-x)^2 -0.046 0.002116
2
0.18
0.024 0.000576
3 4 5 6 7 8 9 10
0.19 0.034 0.001156 0.11 -0.046 0.002116 0.16 0.004 1.6E-05 0.18 0.024 0.000576 0.16 0.004 1.6E-05 0.18 0.024 0.000576 0.12 0.12 0.0144 0.17 0.014 0.000196 0.156 0.021744
Sb =
0.049152823
%KV =
0.315082198
38
C. Elektrode enzim murni SOD dari eritrosit sapi terimobilisasi pada NPZ n 1
xi 0.25
xi-x (xi-x)^2 -0.011 0.000121
2
0.28
0.019
0.000361
3 4 5 6 7 8 9 10
0.22 0.33 0.26 0.22 0.24 0.29 0.25 0.27 0.261
-0.041 0.069 -0.001 -0.041 -0.021 0.029 -0.011 0.009
0.001681 0.004761 0.000001 0.001681 0.000441 0.000841 0.000121 8.1E-05 0.01009
Sb =
0.033482997
%KV =
0.128287346
D. Elektrode enzim murni SOD dari eritrosit sapi tanpa terimobilisasi pada NPZ n 1
xi 0.33
xi-x (xi-x)^2 0.023 0.000529
2
0.27
-0.037 0.001369
3 4 5 6 7 8 9 10
0.23 -0.077 0.005929 0.2 -0.107 0.011449 0.32 0.013 0.000169 0.35 0.043 0.001849 0.36 0.053 0.002809 0.28 -0.027 0.000729 0.37 0.063 0.003969 0.36 0.053 0.002809 0.307 0.03161
Sb =
0.059264004
%KV =
0.19304236
39
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tasikmalaya pada tanggal 13 Juni 1987 dari pasangan Toto Suwito, S.Pd dan N. Dedeh Mardiah, S.Pd.SD. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dan isteri dari Agus Lukman Hakim, SE. M.Si. Tahun 2005 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Serang. Pendidikan sarjana yang ditempuh di Program Studi Kimia, Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Gadjah Mada, lulus pada tahun 2010. Sejak tahun 2010 tersebut, penulis berkesempatan untuk mengajar di Universitas Mathla’ul Anwar Banten Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jurusan Pendidikan Matematika. Tahun 2012, penulis diterima di Program Studi Kimia pada Program Sekolah Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 2014. Selama mengikuti program S2, penulis menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Muslim Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (HIMMPAS IPB).