Lampiran 1 Biografi Umar Kayam Umar Kayam lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun. Umar Kayam populer sebagai akademisi, seniman dan birokrat. Ia memulai kariernya sebagai karyawan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI (1956-1959). Seusai memperoleh gelar doctor di Amerika, pada tahun 1966 ia menjabat sebagai Direktur Jenderal Radio, Televisi, dan Film (Dirjen RTF) Departemen Penerangan RI di Jakarta. Ia menjadi ketua DKD (Dewan Kesenian Djakarta) selama dua periode menggantikan Trisno Sumardjo (1969-1973), disambung dengan menjabat Rektor Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (kini IKJ) Jakarta. Umar Kayam tidak melupakan darah keluarganya sebagai seorang guru dan pendidik. Pada tahun 1972 Kayam menjadi dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, dosen luar biasa untuk mata kuliah Sosiologi Pendidikan pada Fakultas Ilmu Sosial UI (1970-1974), dan dosen untuk mata kuliah Sosiologi Kesenian pada Fakultas Sastra UI (1974-1975). Menjadi staf senior Fellow di East Center, Honolulu, Hawaii (1973). Dari Departemen Penerangan ia dikembalikan sebagai pegawai senior di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menjabat Direktur Pusat Latihan Penelitian Ilmu-ilmu Sosial di Ujung Pandang (1975-1976) sekaligus dosen mata kuliah Sosiologi Pendidikan pada Fakultas Ilmu-ilmu Sosial Universitas Hasanuddin (1976). Ia juga menjadi dosen tamu Fullbright di Indonesian Studies Summer Institute, University of Wisconsin, Madison Amerika Serikat (1977).
Universitas Sumatera Utara
Pada tahun 1977 pihak Universitas Gadjah Mada memberi amanat kepada Umar Kayam dan rekan-rekannya untuk mendirikan Pusat Penelitian Kebudayaan UGM Yogyakarta. Umar Kayam diserahi tugas memimpin lembaga tersebut selama dua puluh tahun sampai 1997. Pada tahun-tahun inilah ia merasa ‘pulang kandang’. Sekaligus mengabdikan ilmunya di kampus di mana ia dibesarkan, Universitas Gadjah Mada. Ia menjadi dosen di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada Yogyakarta di Jurusan Sastra Indonesia dan Sastra Inggris (1977-1997). Dalam bidang seni peran, Kayam pernah menjadi aktor dalam film ‘Karmila’, ‘Kugapai Cintamu’, ‘Pengkhianatan G 30S/PKI, ‘Jakarta 66’, dan ‘Canthing’. Dalam film ‘Pengkhianatan G 30 S/PKI’ ia memerankan tokoh Sukarno. Umar Kayam juga menulis skenario untuk film ‘Yang Muda Yang Bercinta’, ‘Jago’, dan ‘Frustasi Puncak Gunung’. Umar Kayam pernah menjadi Ketua Dewan Juri Festival Film Indonesia. Selain itu, Umar Kayam sempat pula menjadi pengelola kesenian sebuah hotel di Bali. Ia lebih banyak dikenal sebagai seorang sastrawan dan budayawan. Karyanya meliputi cerpen, novel, esai-esai kesenian dan kebudayaan. Terkhusus ia menaruh perhatian pada kebudayaan Jawa. Karya-karya fiksinya dianggap mempunyai makna baru dalam dunia kesusastraan. Ia dikelompokkan sebagai sastrawan angkatan ’50 (1950-1970). Angkatan dengan corak atau kekhasan berupa penceritaan yang kokoh, tanpa banyak disertai pandangan-pandangan pribadi. Sosok Umar Kayam dalam berbagai bidangnya inilah yang menjustifikasi demikian signifikan sehingga ia perlu dikaji lebih mendalam.
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 2
Sinopsis Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam Novel Para Priyayi menceritakan kehidupan seorang priyayi bernama Soedarsono sejak awal keberhasilannya menyandang beslit sebagai guru bantu di desa Ploso di sebelah selatan Jogorogo. Soedarsono, nama kecil Sastrodarsono, ialah putra seorang petani desa yang berasal dari Kedungsimo. Ia adalah anak tunggal Atmokasan. Dia juga sebagai satusatunya orang dari keluarga besarnya yang berhasil menyelesaikan sekolah sampai berhasil memperoleh beslit guru bantu. Keberhasilan tersebut dianggap oleh orang tuanya dan keluarganya sebagai suatu keberhasilan yang luar biasa sebab Soedarsono akan memasuki jenjang baru yaitu jenjang priyayi. Dalam angan-angan orang tuanya, Soedarsono akan mampu mengubah nasib dan status keluarganya dari status masyarakat kelas bawah menjadi masyarakat kelas atas. Sebagai tanda perubahan status tersebut, nama Soedarsono diganti menjadi Sastrodarsono. Dalam perjalanan selanjutnya, Sastrodarsono diangkat menjadi guru di desa Karangdompol. Keberhasilan menjadi guru tersebut berkat dukungan dan bantuan yang diberikan oleh Ndoro Seten. Sebelum memulai tugasnya sebagai guru tersebut, Soedarsono dinikahkan oleh orang tuanya dengan Ngaisah. Ngaisah yang nama sebenarnya adalah Aisah adalah anak paman jauh, Mukarom, mantra penjual candu di wilayah gupermen Jogorogo.
Universitas Sumatera Utara
Sastrodarsono dalam perkawinannya dengan Aisah dikaruniai tiga orang putra. Putra pertama bernama Noegroho, kedua bernama Hardojo, dan ketiga bernama Soemini. Dalam perkembangannya, Noegroho menikah dengan Sus. Sus adalah anak salah seorang priyayi yang terbiasa dengan adat Belanda. Hardojo menikah dengan Sumarti, muridnya ketika ia menjadi guru. Sedangkan Soemini menikah dengan Harjono, seorang asisten wedana. Dalam permulaan kehidupannya, Sastrodarsono disamping bersama-sama dengan istri dan anak-anaknya, dia juga ikut bertanggung jawab atas kehidupan keponakan-keponakannya. Dia bersedia menjalani hal tersebut karena memang dia salah seorang yang dianggap sukses oleh keluarga dan saudara-saudara orang tuanya. Terdapat tiga keponakan yang ikut berada ditengah-tengah keluarga inti Sastrodarsono. Salah satu keponakan Sastrodarsono adalah Soenandar yang dalam cerita berikutnya adalah keponakan yang mendapat perhatian utama. Cerita selanjutnya mengisahkan permasalahan dan kehidupan Sastrodarsono sendiri dalam menanggapi dan ikut membantu memecahkan permasalahan yang dihadapi anakanaknya. Keikutsertaan Soenandar dalam keluarga Sastrodarsono ternyata banyak menyita perhatian dan pemikiran Sastrodarsono dan keluarganya. Hal tersebut terjadi karena Soenandar telah menghamili seorang perempuan desa, anak seorang janda. Perempuan tersebut bernama Ngadiyem. Kehamilan tersebut terjadi di luar pernikahan. Soenandar memang terkenal sebagai anak nakal, suka membuat keributan, suka mencuri, berjudi, dan ketika dewasa ia juga terlibat aksi dengan
Universitas Sumatera Utara
gerombolan penjahat. Setelah Soenandar mengetahui keadaan Ngadiyem dia melarikan diri dengan mencuri uang tabungan keluarga Ngadiyem. Sastrodarsono dibantu beberapa pihak berusaha mencari Soenandar. Dalam pencarian tersebut ditemukan kenyataan bahwa Soenandar telah mati. Kematian Soenandar terjadi di sebuah rumah yang dibakar oleh pihak keamanan. Rumah tersebut dibakar sebab didalamnya bersembunyi para penjahat dan perampok yang dipimpin Samin Genjik. Soenandar waktu itu bergabung bersama gerombolan tersebut. Sejak ditemukan informasi tersebut, Sastrodarsono mengurus kehidupan Ngadiyem dan Emboknya serta bayi yang dikandung Ngadiyem. Diceritakan pula kehidupan Ngadiyem bersama anaknya sebagai penjual tempe. Keluarga Sastrodarsono adalah pelanggan tempe Ngadiyem. Ngadiyem sangat menghormati Sastrodarsono, demikian juga Sastrodarsono bersikap sangat baik kepada Ngadiyem. Sikap tersebut dilakukannya mengingat Ngadiyem masih memiliki ikatan persaudaraan dengannya. Suatu saat Sastrodarsono menghendaki agar Ngadiyem mengantarkan anaknya ikut ngenger di rumahnya. Ngadiyem pun menyetujui permintaan Sastrodarsono. Anaknya yang semula bernama Wage, anak hasil hubungan gelap dengan keponakannya Soenandar, oleh Sastrodarsono diganti menjadi Lantip. Sejak saat itulah Lantip menjadi keluarga Sastrodarsono. Dalam perkembangannya Lantip tumbuh menjadi manusia yang baik, satria, dan selalu menjadi tumpuan harapan keluarga Sastrodarsono dalam menyelesaikan masalahmasalah keluarga besar tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Pada bagian lain juga diceritakan bagaimana kehidupan masing-masing anggota keluarga besar Sastrodarsono. Noegroho adalah anak tertua keluarga Sastrodarsono. Noegroho menikah dengan Sus dan dikaruniai tiga orang anak, yaitu Toni, Marie, dan Tommi yang mereka semua bernama asli Suhartono, Sri Sumaryati, dan Sutomo. Noegroho semula bekerja sebagai guru dan ketika penjajahan Jepang ia sebagai opsir Peta berpangkat Kolonel. Saat terjadi kerusuhan di wilayah Indonesia, Toni meninggal karena ditembak Belanda. Kematian Toni tersebut membuat trauma pada diri Sus dan Noegroho. Mereka takut kehilangan anak yang sangat disayanginya itu kembali. Itulah sebabnya mereka memanjakan Marie dan Tommi.
Akibat sikap kedua orang tua yang
sangat memanjakan anaknya tersebut, Marie satu-satunya anak perempuan Noegroho, menemui suatu musibah. Marie berperilaku seperti orang barat, hidupnya bebas, dan sering berganti-ganti pasangan. Kebebasan pergaulan itu membuat Marie hamil di luar nikah dengan laki-laki bernama Maridjan. Maridjan adalah seorang yang bekerja di suatu perusahaan. Pada waktu itu Noegroho sedang berdinas di luar negeri. Sus mengambil keputusan untuk sowan mertuanya. Sastrodarsono menyarankan agar Marie segera saja dikawinkan dengan Maridjan. Untuk mengurus segala sesuatunya, Lantip diharapkan ikut ke Jakarta. Lantip mengurus semua masalah Marie. Ternyata Maridjan sudah pernah mempunyai seorang istri dan seorang anak. Istri dan anaknya itu sudah diceraikannya sebelum menjalin hubungan lebih akrab dengan Marie. Semua masalah bisa teratasi dan Marie menikah dengan Maridjan.
Universitas Sumatera Utara
Berikut adalah cerita tentang keluarga Hardojo. Semula Hardojo mencintai seorang wanita bernama Nunuk. Nunuk dikenalnya sejak bersekolah di HIS. Cinta Hardojo dan Nunuk gagal karena perbedaan agama. Hardojo pemeluk agama Islam walaupun bukan pemeluk yang taat, sedangkan Nunuk lahir sebagai keluarga yang beragama Katolik. Sastrodarsono dan seluruh anggota keluarga yang lain tidak menyetujui hubungan mereka. Dalam perjalanan berikutnya, Hardojo menyukai seorang gadis, muridnya sendiri, yang bernama Sumarti. Cinta Hardojo tidak bertepuk sebelah tangan. Perkawinannya dengan Sumarti dikaruniai seorang anak bernama Harimurti dan Lantip diangkat sebagai anak Hardojo. Lantip menjadi saudara tua Harimurti. Keduanya sangat rukun dan akrab. Harimurti memiliki kepekaan terhadap perasaan orang lain terutama terhadap penderitaan orang lain. Dalam kehidupannya, Harimurti aktif dalam organisasi yang disebut Lekra. Dalam organisasi tersebut Hari, panggilan akrab Harimurti, mengikat hubungan dengan seorang gadis anak pensiunan pemilik Sekolah Dasar. Gadis itu bernama Retno Dumilah yang lebih akrab dipanggil Gadis. Hubungan kedua insane tersebut sudah amat jauh dan mendalam yang akhirnya berakibat hamilnya Gadis. Tidak lama kemudian, terjadilah penangkapan habis-habisan terhadap orangorang yang terlibat PKI dan organisasi di bawahnya. Ternyata Gadis juga ditangkap dan dimasukkan ke penjara, sedangkan Hari diserahkan kepada teman-teman angkatan darat oleh Lantip agar tidak diadili oleh massa yang marah. Organisasi yang dimasuki Gadis dan Hari, yaitu Lekra, merupakan salah satu organisasi yang bergerak di bidang kebudayaan yang ikut terlibat dengan paham PKI. Penangkapan tersebut
Universitas Sumatera Utara
mengakibatkan terpisahnya Gadis dengan Hari. Mereka dipenjara di tempat yang berbeda. Kedua orang tua Hari benar-benar bingung menghadapi masalah itu. Berkat bantuan Lantip yang saat itu mempunyai kenalan beberapa perwira, Hari berhasil dibebaskan. Semua itu juga atas bantuan Noegroho. Namun, Hari masih menjalani hukuman dengan status tahanan rumah. Dalam kegoncangan pikirannya di rumah Hari selalu mengingat dan memikirkan Gadis serta anak yang dikandungnya yang diperkirakan berusia tujuh bulan. Sekali lagi, berkat usaha Lantip, Gadis dapat ditemukan. Noegroho pun berhasil membawa surat-surat untuk memindahkan status tahanan Gadis. Semua keluarga, kecuali Hari, pergi ke rumah tahanan Plantungan untuk menjemput Gadis, namun beberapa hari sebelum rombongan keluarga Hari datang, Gadis meninggal karena melahirkan sepasang bayi kembar, laki-laki dan perempuan. Soemini, satu-satunya anak perempuan Sastrodarsono, bersuamikan Raden Harjono Cokrokoesoemo asisten Wedana Karanglo. Masalah yang dihadapi keluarga Soemini adalah adanya selir gelap suaminya seorang penyanyi keroncong. Harjono yang sudah menjadi pejabat tinggi kepala jawatan di kementrian dalam negeri sering berapat dan bekerja hingga larut malam. Soemini pun banyak terlibat dengan organisasi kewanitaan dan sering pulang terlambat. Harjono tampak kurang senang dengan semua itu dan sekali-kali juga menggerutu sebab setiap kali pulang istrinya belum berada di rumah. Kegoncangan rumah tangga tersebut terjadi saat Soemini sudah bercucu dan Harjono berumur 51 tahun. Mungkin karena kesibukan masing-masing atau tekanan
Universitas Sumatera Utara
pekerjaan yang membuat Harjono membutuhkan seorang teman perempuan yang lain. Masalah itu segera teratasi setelah Soemini dinasihati oleh ibunya. Soemini pun menyadari kekurangannya selama ini. Akhirnya keluarga Soemini hidup rukun kembali dan Harjono bisa melepaskan penyanyi keroncong yang bernama Sri Asih. Tokoh Lantip merupakan satu-satunya tokoh yang tidak memiliki masalah pribadi yang terlalu berat ketika dewasa. Masa lalunya memang sangat mengenaskan. Sastrodarsono tidak habis-habisnya berucap syukur kepada Allah yang Maha Adil sebab anak jadah itu tumbuh sebagai anak yang sungguh baik dan amat berbakti kepada semua keluarga Sastrodarsono. Lantip selalu membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi keluarga besar Sastrodarsono dengan rasa rendah diri, penuh kesabaran, dan jauh dari rasa pamrih. Masalah demi masalah berhasil dia selesaikan sampai ia kurang begitu memperhatikan kepentingannya sendiri. Sampai usianya yang menjelang 31 tahun belum menemukan gadis yang cocok. Beberapa waktu kemudian Lantip bertunangan dengan Halimah rekan asisten asal Pariaman, Sumatra Barat. Pengabdian Lantip kepada keluarga besar Sastrodarsono untuk menyampaikan pidato selamat jalan kepada embah kakung di makam. Lantip dipilih sebagai wakil keluarga besar tersebut karena Lantip merupakan satu-satunya calon yang lebih pantas dan paling besar jasanya dalam keluarga besar Sastrodarsono. Dialah orang yang paling ikhlas, tulus, dan tanpa pamrih berbakti kepada keluarga tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 3 Kulit Sampul Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 4 Kartu Ikhtisar Klasifikasi Data Etika Kekuasaan Jawa dalam Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam Tabel 1 Konsep Kekuasaan Jawa melalui Tokoh Utama NO.
DATA KUTIPAN
KODE DATA (Sumber Data/ Halaman)
1.
....wibawa itu tidak membuat orang merasa [Novel Para Priyayi takut melainkan hormat. 157] Wibawa
2.
….Bapak, adalah matahari tempat kami [Novel Para Priyayi berpaling. Seperti juga matahari, Bapak 181] memang selalu menyilaukan mata kami…Dari mulutnya keluar sabda-sabda Kharisma yang mengandung bobot yang berwibawa sekali bagi kami anak-anak. Kami menerima sabda atau fatwa itu tanpa reserve, tanpa berani menyanggahnya.
3.
Hari itu saya, Soedarsono, anak tunggal Mas [Novel Para Priyayi Atmokasan, petani Desa Kedungsimo, pulang 29] dari Madiun dengan berhasil mengantongi beslit guru bantu di Ploso. Guru Bantu. Itu Wewenang berarti sayalah orang pertama dalam keluarga besar kami yang berhasil menjadi priyayi, meskipun priyayi yang paling rendah tingkatnya. Itu tidak mengapa. Yang penting kaki saya sudah melangkah masuk jenjang priyayi. Beberapa tahun lagi, kalau saya rajin dan setia kepada gupermen, saya akan menjadi guru penuh sekolah desa. Itu akan lebih memantapkan kedudukan saya sebagai priyayi, sebagai abdi gupermen. Dan kalau saya sudah menjadi mantra guru, wah, itu sudah boleh dikatakan menjadi priyayi yang
Universitas Sumatera Utara
terpandang. 4.
NO.
Di sekolah desa kami diperintahkan untuk [Novel Para Priyayi sangat menekankan pengajaran kami di 53] bidang-bidang berhitung, menulis, dan bahasa Kemampuan Khusus DATA KUTIPAN
KODE DATA (Sumber Data/ Halaman)
Jawa. Kami diperintahkan untuk sangat keras dan tertib dalam mengajar bidang-bidang tersebut. Maka hasilnya pun kelihatan pada anak-anak desa yang tamat dari sekolah desa. Mereka, pada umumnya, sangat bagus tulisan tangannya dan pintar berhitung serta baik penguasaan bahasa Jawanya.
Tabel 2 Etika Kekuasaan Jawa NO.
DATA KUTIPAN
1.
Ngelmu iku, kalakone kanti laku…(Ilmu itu akan terlaksananya lewat upaya keras…)
2.
…pada setiap malam hari-hari yang dianggap keramat oleh orang Jawa, misalnya, malam Selasa Kliwon atau malam Jumat Kliwon, banyak orang pada kungkum, berendam, di sungai itu. …sistem yang melahirkan penguasa-penguasa [Novel Para Priyayi yang kejam dan sewenang-wenang tidak 291] mungkin mengangkat kehidupan orang kecil Menjalankan Wewenang
3.
KODE DATA (Sumber Data / Halaman) [Novel Para Priyayi 131] Membangun Wibawa Kekuasaan - Menguasai Ilmu [Novel Para Priyayi - 6] Upaya Mendapatkan Kharisma - Laku badaniah
167
Universitas Sumatera Utara
4.
bagaimanapun sistem dan penguasanya Secara Optimal mengira bisa begitu. Soalnya sistem dan - Bersikap Alus penguasa begitu sesungguhnya tidak kenal akrab dengan kehidupan wong cilik. Warna semangat itu adalah warna pengabdian [Novel Para Priyayi kepada masyarakat banyak, terutama kepada 126] wong cilik, tanpa pamrih…
168
Universitas Sumatera Utara