BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pembangunan di bidang ekonomi yang semakin meningkat mengakibatkan keterkaitan yang erat antara sektor riil dan sektor moneter, di mana kebijakan-kebijakan khususnya di sektor keuangan turut menentukan maju mundurnya aktifitas dunia usaha di Indonesia. Oleh karena itu lembaga perbankan sebagai salah satu lembaga keuangan yang ada di Indonesia mempunyai kedudukan yang strategis karena ikut berperan penting dalam penyediaan dana atau kredit yang dibutuhkan untuk membiayai kegiatankegiatan dibidang perekonomian, selain masih merupakan sumber dana primer bagi kebanyakan orang. Melalui berbagai kegiatan/jasa keuangan yang ditawarkan, lembaga perbankan dapat bertindak sebagai suatu wahana yang dapat menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat secara efektif dan efisien. Hal ini sesuai dengan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang menyebutkan bahwa: “Bank adalah badan usaha yang menghimpun
dana
dari
masyarakat
dalam
bentuk
simpanan
dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentukbentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut, maka salah satu cara dari pihak bank untuk menyalurkan dana adalah dengan memberikan pelayanan kredit kepada masyarakat yang membutuhkan melalui berbagai macam fasilitas. Pelayanan kredit yang diberikan pihak bank salah satunya adalah fasilitas kredit dengan jaminan fiducia. Adanya jaminan fiducia ini, diharapkan pelunasan kredit oleh penerima kredit atau debitur dapat terlaksana sesuai kesepakatan atau yang di janjikan. Dasar adanya jaminan kredit ini, adalah Pasal 8 ayat (1) Undangundang Nomor 10 Tahun 1998 dan penjelasannya yang menyebutkan bahwa: “Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan”. Dari ketentuan tersebut, kredit hanya dapat diberikan kepada mereka yang dipercaya mampu mengembalikan kredit itu dikemudian hari. Jika dijabarkan lagi, pemenuhan pengembalian pinjaman itu sama artinya dengan kemampuan
pemenuhan
prestasi
dalam
suatu
perjanjian.
Hal
ini
menunjukkan bahwa pemberian kredit didasarkan pada kepercayaan akan kemampuan penerima kredit untuk mengembalikannya. Selain hal tersebut, penjelasan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 menyatakan bahwa bahwa: Sebelum memberikan kredit bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal,
agunan (jaminan) dan prospek usaha dari nasabah debitur. Dengan demikian dalam
pemberian
kredit
bank
yang
ingin
mendapatkan
kepastian
pengembalian uangnya dapat meminta kepada debitur untuk adanya jaminan . Jaminan secara umum diatur dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 K.U.H.Perdata, yang menerangkan bahwa segala kebendaan si berhutang menjadi jaminan untuk segala perikatannya. Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan kepadanya atau kreditur, kecuali ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan. Dari uraian tersebut fiducia pertama kali timbul atas dasar kebutuhan masyarakat akan kredit dengan jaminan benda-benda bergerak, tetapi bendabenda itu masih dikuasai oleh debitur secara fisik, sehingga yang diserahkan kepada kreditur adalah hak milik atas barang tersebut secara kepercayaan. Hal demikian ini merupakan suatu yang menguntungkan bagi debitur karena hanya mengedepankan faktor kepercayaan para pihak. Oleh karena itu dalam perjanjian kredit dengan jaminan fiducia, disamping perjanjian kredit, diadakan perjanjian penyerahan hak milik secara kepercayaan atas barangbarang yang dirinci secara lengkap dan jelas yang tercantum dalam formulir dari bank. Penyerahan barang tersebut, dilakukan secara constitutum possessorium sehingga debitur tetap menguasai benda itu sebagai peminjam. Untuk kredit-kredit kecil dalam praktek perbankan lazimnya perjanjian fiducia dituangkan dalam model-model tertentu dari bank, sedangkan untuk kreditkredit besar lazim dituangkan dalam akta notaris.
Di dalam perjanjian kredit dengan jaminan fiducia ada kalanya terjadi tidak terpenuhinya kewajiban oleh debitur, baik tidak dikembalikannya kredit pada waktu yang telah diperjanjikan, atau diebitur memindah-tangankan benda jaminan yang ada dalam kekuasaannya sebagai pinjaman. Apabila debitur memindahtangankan benda jaminan, dan pada saat yang bersamaan debitur yang bersangkutan sudah tidah mampu membayar pelunasan hutangnya, maka pihak bank akan mengalami kesulitan untuk meminta hak atas jaminan tersebut. Sebelumnya
sudah
ditentukan
bahwa
debitur
dilarang
memindahtangankan jaminan kepada siapapun, namun dapat saja karena sifat dari debitur yang nakal dan menjual atau mengadaikan barang jaminan kepada pihak lain. Pihak bank hanya memegang jaminan surat kepemilikannya saja (misal STNK atau BPKB), sehingga bank akan dirugikan, dan pihak bank tidak mudah untuk menarik jaminan karena sudah beralih ke tangan orang lain. Atas dasar tersebut, penulis tertarik melakukan penelitian dengan judul, “Wanprestasi Dalam Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Fiducia Di BRI Unit Kelai Tanjung Redep Berau Kalimantan Timur”.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis dapat merumuskan suatu permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana tindakan BRI dalam hal debitur terlambat melakukan pembayaran kredit dengan jaminan fiducia pada BRI Unit Kelai Tanjung Redeb Berau Kalimantan Timur? 2. Bagaimanakah penyelesaian dalam hal debitur memindahtangankan jaminan dalam perjanjian kredit dengan jaminan fiducia pada BRI Unit Kelai Tanjung Redeb Berau Kalimantan Timur?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah yang dikemukakan, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui tindakan BRI dalam hal debitur terlambat melakukan pembayaran kredit dengan jaminan fiducia pada BRI Unit Kelai Tanjung Redeb Berau Kalimantan Timur. 2. Untuk
mengetahui
upaya
penyelesaian
dalam
hal
debitur
memindahtangankan jaminan dalam perjanjian kredit dengan jaminan fiducia pada BRI Unit Kelai Tanjung Redeb Berau Kalimantan Timur.
D. Tinjauan Pustaka Perjanjian secara umum dapat mempunyai arti luas dan sempit. Dalam arti luas suatu perjanjian berarti setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagai yang dikehendaki oleh para pihak, sedangkan “perjanjian” dalam arti sempit hanya ditujukan kepada hubungan-hubungan hukum dalam
lapangan hukum kekayaan, seperti yang dimaksud dalam Buku III K.U.H.Perdata. Pengertian perjanjian menurut Pasal 1313 K.U.H.Perdata adalah sebagai berikut, “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan yang mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya kepada satu orang atau lebih lainnya”. Menurut Hartono Hadisoeprapto, “perjanjian adalah sumber perikatan yang terpenting, sebab memang yang paling banyak perikatan itu terbit dari adanya perjanjian-perjanjian”.1 Agar perjanjian itu sah, menurut Pasal 1320 K.U.H.Perdata diperlukan 4 (empat) syarat, adapun syarat-syarat tersebut adalah: 1. Sepakat mereka mengikatkan dirinya. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. 3. Mengenai suatu hal tertentu. 4. Sebab-sebab yang halal. Syarat-syarat tersebut merupakan syarat mutlak atau syarat-syarat sahnya suatu perjanjian. Dua syarat yang pertama merupakan syarat subyektif karena mengenai subyeknya atau orangnya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir merupakan syarat obyektif, karena mengenai perjanjian itu sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan. Perjanjian yang dibuat dengan sah menimbulkan perikatan atau hak dan kewajiban bagi para pihak yang membuatnya. Dalam suatu perjanjian ada 1
Hartono Hadisoeprapto, Pokok-pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, Liberty, Yogyakarta, 1984, hal. 35.
kalanya terjadi wanprestasi, yang artinya menurut Hartono Hadisoeprapto adalah, “tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan, baik perikatan yang timbul karena perjanjian maupun perikatan yang timbul karena undang-undang”.2 Tidak dipenuhinya kewajiban itu selain karena wanprestasi dapat juga karena keadaan memaksa (overmacht), atau peristiwa yang terjadi di luar kemampuan debitur, sehingga debitur tidak mempunyai kesalahan. Bentuk wanprestasi ada 4 (empat), yaitu: 1. Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali, artinya debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya yang telah disanggupi untuk dipenuhi dalam suatu perjanjian. 2. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak sebagaimana yang diperjanjikan. 3. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktunya. 4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan. Untuk mengetahui sejak kapan debitur itu dalam keadaan wanprestasi, perlu diperhatikan apakah dalam perikatan itu ditentukan tenggang pelaksanaan pemenuhan prestasi atau tidak. Dalam perjanjian untuk memberikan sesuatu atau untuk melakukan sesuatu, di mana tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi tidak ditentukan, dipandang perlu untuk memperingatkan debitur guna memenuhi prestasi. Dalam hal tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi telah ditentukan, maka menurut ketentuan
2
Ibid, hal. 73.
Pasal 1238 K.U.H.Perdata, debitur dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan. Akibat hukum bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah, hukuman atau sanksi sebagai berikut: 1. Debitur diharuskan membayar ganti kerugian yang telah diderita oleh kreditur. 2. Dalam perjanjian timbal balik, wanpretasi dari satu pihak memberikan hak kepada pihak lainnya untuk membatalkan atau memutuskan perjanjian lewat hakim. 3. Risiko beralih kepada debitur sejak saat terjadinya wanprestasi, ketentuan ini hanya berlaku bagi perikatan untuk memberikan sesuatu. 4. Debitur atau kreditur yang terbukti melakukan wanprestasi membayar biaya perkara apabila ia diperkarakan dimuka hakim. 5. Pemenuhan perjanjian jika masih dapat dilakukan, atau pembatalan perjanjian disertai dengan pembayaran ganti rugi.3 Alasan tidak dapat dipenuhinya kewajiban adalah keadaan memaksa (overmacht), akibatnya ada salah satu pihak yang dirugikan. Keadaan memaksa adalah suatu keadaan dimana tidak dapat dipenuhinya prestasi oleh debitur karena terjadi suatu peristiwa yang bukan karena kesalahannya. Peristiwa dimana tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi pada waktu membuat perjanjian.4
3 4
Subekti, Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung, 1995, hal. 61. Setyawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 1984, hal. 27.
Unsur-unsur yang terdapat dalam keadaan memaksa: 1. Tidak
dapat
dipenuhinya
prestasi
karena
suatu
peristiwa
yang
memusnahkan atau membinasakan benda yang menjadi obyek perjanjian. 2. Tidak dapat dipenuhinya suatu prestasi karena suatu peristiwa yang menghalangi perbuatan debitur. 3. Peristiwa yang tidak dapat diketahui atau diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan atau perjanjian baik oleh debitur maupun oleh kreditur, bukan karena kesalahan pihak-pihak khususnya debitur. Sifat keadaan memaksa ada 2 (dua): 1. Bersifat absolute (mutlak) ialah suatu keadaan dimana prestasi sama sekali tidak dapat dipenuhi, maka perikatan tersebut terhenti sama sekali. 2. Bersifat relatif ialah suatu keadaan dimana kewajiban berprestasi terhentikan untuk sementara dan akan timbul lagi setelah keadaan memaksa berhenti. Sehubungan dengan ketentuan umum tentang perjanjian, Pasal 1319 K.U.H.Perdata
menyatakan
bahwa,
“Semua
persetujuan,
baik
yang
mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang lain”. Salah satu perjanjian yang tidak dikenal dengan nama tertentu seperti disebut dalam K.U.H.Perdata adalah perjanjian kredit. Di dalam Pasal 1 angka 11 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, terdapat pengertian mengenai kredit sebagai berikut: “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang
dapat disamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan”. Dari Pasal 1 angka 11 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut dapat diketahui bahwa kredit diperoleh atas dasar persetujuan pinjam meminjam antara bank dengan peminjam. Perjanjian pinjam meminjam uang diatur dalam Pasal 1754 jo 1756 K.U.H.Perdata. Marhainis
Abdul
Hay
dalam
bukunya
Rachmadi
Usman
mengemukakan bahwa, “perjanjian kredit adalah identik dengan perjanjian pinjam meminjam dan dikuasai oleh ketentuan Bab XIII Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata”.5 Menurut Mariam Darus Badrulzaman, perjanjian kredit bank adalah: “Perjanjian pendahuluan dari penyerahan uang, perjanjian pendahuluan ini merupakan hasil permufakatan antara pemberi dan penerima pinjaman mengenai hubungan-hubungan hukum antara keduanya. Perjanjian ini bersifat konsensuil, dikuasai oleh Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Bagian Umum K.U.H.Perdata”.6 Penyerahan uangnya sendiri adalah bersifat riil. Pada saat penyerahan uang dilakukan, barulah berlaku ketentuan yang dituangkan dalam model perjanjian kredit pada kedua pihak. Dalam aspek yang riil perjanjian kredit 5
Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Jakarta, PT. Gramedia, 2001, hal. 261. 6 Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, Cetakan Ke Lima, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1991, hal. 57.
bank tunduk pada Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan ketentuan-ketentuan yang terdapat pada model-model perjanjian kredit yang digunakan di lingkungan perbankan. Dalam prakteknya, istilah kredit juga digunakan untuk penyerahan uang, sehingga jika digunakan kata kredit, istilah itu meliputi baik perjanjian kreditnya yang bersifat konsensuil maupun penyerahan uangnya yang bersifat riil. Jelaslah kiranya untuk mengetahui sifat perjanjian kredit yang tidak cukup melihat K.U.H.Perdata atau Undang-undang Perbankan Tahun 1998 saja, akan tetapi juga harus memperhatikan ketentuan-ketentuan yang berlaku atau yang dipakai dalam praktek perbankan, yaitu model-model perjanjian kredit. Kredit yang dilepaskan oleh bank memerlukan pengamanan, tanpa adanya pengamanan bank sulit untuk mengelakkan risiko yang datang sebagai akibat tidak berprestasinya debitur. Agar bank terlepas dari risiko tersebut atau setidak-tidaknya memikul risiko yang sekecil-kecilnya, bank senantiasa ingin mendapatkan kepastian bahwa kredit yang dilepaskan tersebut dipergunakan sesuai dengan tujuan dan kebutuhan serta dapat kembali dengan aman. Untuk mendapatkan kepastian dan keamanan tersebut, bank melakukan tindakantindakan pengamanan dan meminta nasabah agar mengikatkan suatu barang tertentu sebagai jaminan dalam pemberian kreditnya. Berkaitan dengan kredit dari bank, di dalam Pasal 8 ayat (1) Undangundang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992, disebutkan bahwa dalam memberikan kredit, Bank Umum wajib
mempunyai
keyakinan
berdasarkan
analisis
yang
mendalam
serta
kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya sesuai yang diperjanjikan. Dari ketentuan tersebut, ternyata kredit hanya dapat diberikan kepada mereka yang dipercaya mampu mengembalikan kredit itu dikemudian hari. Jika dijabarkan lagi, pemenuhan pengembalian pinjaman itu sama artinya dengan kemampuan pemenuhan prestasi dalam suatu perjanjian. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian kredit didasarkan pada kepercayaan akan kemampuan penerima kredit untuk mengembalikannya. Untuk memperoleh keyakinan tentang kemampuan tersebut di dalam penjelasan Pasal 8 ayat (1) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 dikatakan bahwa: “Sebelum memberikan kredit bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan (jaminan) dan prospek usaha dari nasabah debitur”. Perjanjian kredit mempunyai beberapa fungsi, diantaranya: 1. Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok, artinya perjanjian kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidak batalnya perjanjian lain yang mengikutinya, misalnya perjanjian pengikatan jaminan; 2. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak dan kewajiban di antara debitur dan kreditor;
3. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit.7 Sifat perjanjian kredit seperti perjanjian pada umumnya adalah konsensuil, yaitu sudah terjadi pada saat ada kesepakatan antara bank dengan penerima kredit pada saat ditanda tanganinya perjanjian kredit. Hal ini sesuai dengan pendapat Mariam Badrulzalam, bahwa perjanjian kredit adalah perjanjian pendahuluan yang “merupakan hasil permufakatan antara pemberi dengan penerima pinjaman mengenai hubungan-hubungan hukum antara keduanya”. Di samping itu perjanjian kredit juga bersifat riil, yaitu apabila didasarkan kepada Pasal 1754 K.U.H.Perdata dihubungkan dengan penafsiran para praktisi hukum, maka perjanjian kredit bersifat riil, dengan kata lain perjanjian kredit benar-benar terjadi dengan diserahkannya kredit oleh bank kepada pemohon. Dalam pemberian kredit bank yang ingin mendapatkan kepastian pengembalian uangnya dapat meminta kepada debitur untuk adanya jaminan. Pengertian jaminan adalah tanggungan atas suatu perikatan yang terjadi karena perjanjian, demi terlaksananya perjanjian itu. Dengan kata lain adanya jaminan memberikan kepastian hukum bahwa suatu perjanjian akan dapat terlaksana seperti yang diharapkan para pihak yang membuatnya, yaitu kreditur dan debitur. Dari pengertian itu, bagi kreditur jaminan berfungsi sebagai pengaman bagi terlaksananya perjanjian yang dibuat bersama dengan
7
Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1993, hal. 228.
debitur. Disamping itu juga ada kepastian hukum tentang terlaksananya perjanjian tersebut. Undang-undang
Nomor
10
Tahun
1998
tentang
Perbankan
memberikan arti jaminan dalam arti luas, karena dalam undang-undang ini jaminan tidak dalam pengertian yuridis saja, tetapi juga dalam pengertian ekonomi. Jaminan disini berupa jaminan yang sifatnya materiil dan immateriil. Di dalam K.U.H.Perdata jaminan diatur dalam Buku II yang dapat digolongkan menurut cara terjadinya, menurut sifatnya, menurut obyeknya, menurut kewenangan menguasainya dan lain sebagainya. Jaminan yang diberikan bagi kepentingan semua kreditur dan menyangkut semua harta benda kekayaan debitur disebut jaminan umum. Jaminan umum ini lahir karena undang-undang, yaitu adanya ketentuan undang-undamg yang menentukan bahwa semua harta benda debitur baik benda bergerak maupun benda tetap dapat dijadikan jaminan bagi seluruh perutangannya. Pasal 1132 K.U.H.Perdata menentukan bahwa hasil penjualan dari benda-benda yang menjadi jaminan dibagi antara para kreditur seimbang dengan besar piutangnya masing-masing. Kreditur dengan jaminan umum ini disebut dengan kreditur konkuren, karena para kreditur mempunyai kedudukan yang sama, tidak ada yang lebih didahulukan dalam pemenuhan piutangnya. “Tanpa adanya perjanjian yang diadakan oleh para pihak terlebih
dahulu, para kreditur konkuren semuanya secara bersama-sama memperoleh jaminan umum yang diberikan oleh undang-undang”.8 Jaminan yang lahir karena adanya perjanjian, yaitu jaminan khusus. Jaminan khusus ini timbul karena adanya perjanjian yang khusus diadakan antara kreditur dan debitur. Kreditur dalam jaminan khusus ini disebut kreditur preferen, karena kreditur memegang hak yang pemenuhan piutangnya harus didahulukan. Di dalam perjanjian dengan jaminan khusus, ada jaminan yang bersifat kebendaan maupun jaminan yang bersifat perorangan. Jaminan yang bersifat kebendaan ialah adanya benda tertentu yang dipakai sebagai jaminan, sedangkan jaminan yang bersifat perorangan ialah adanya orang tertentu yang sanggup memenuhi prestasi manakala debitur wanprestasi. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan perbedaan antara jaminan umum dengan jaminan khusus, yaitu: 1. Jaminan umum mengenai semua benda bergerak maupun tidak bergerak, sudah ada maupun yang masih akan ada, sedangkan dalam jaminan khusus bendanya bergerak yang berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak. 2. Kedudukan kreditur dalam jaminan umum sama di dalam pemenuhan piutangnya, sedangkan dalam jaminan khusus pemenuhan piutangnya didahulukan.
8
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan Di Indonesia, Yogyakarta, Departemen Kehakiman, 1980, hal. 45.
Lembaga jaminan yang mempunyai sifat kebendaan adalah hak tanggungan, gadai dan fiducia. Jaminan yang demikian mempunyai ciri-ciri: 1. Dapat dipertahankan terhadap siapapun juga. 2. Selalu
mengikuti
bendanya,
kemanapun
juga
benda
itu
berada
(zaaksgevolg, droit de suite). 3. Mengenal asas prioriteit. 4. Mempunyai droit de preference. 5. Dapat diperalihkan. Jaminan yang bersifat perorangan adalah jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu, yang hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu atas harta kekayaan debitur umumnya.9 Selain ciri-ciri yang membedakan antara jaminan kebendaan dengan jaminan perorangan, dapat disebutkan pula bahwa jaminan perorangan mengenal asas kesamaan disamping asas prioriteit yang dikenal dalam jaminan kebendaan. Asas kesamaan yang dikenal dalam jaminan perorangan mempunyai arti bahwa piutang yang terjadinya lebih dulu tidak dibedakan dengan piutang yang terjadinya belakangan. Termasuk dalam jaminan perorangan adalah, perjanjian penanggungan, perjanjian garansi, perutangan tanggung-menanggung dan lain-lain. Selain pembedaan lembaga jaminan atas jaminan kebendaan dan jaminan perorangan, dikenal pula adanya jaminan atas benda bergerak dan jaminan atas benda tidak bergerak. Pembedaan atas benda bergerak dan benda 9
Mariam Darus Badrulzaman, op.cit., hal. 60.
tidak bergerak mempunyai arti penting, karena atas dasar pembedaan tersebut, dapat ditentukan jenis lembaga jaminan mana yang dapat dipasang untuk kredit yang akan diberikan. “Misalnya benda jaminan berupa benda bergerak, maka dapat digunakan lembaga jaminan yang berbentuk gadai atau fiducia, sedangkan apabila benda jaminan berupa benda tetap maka dapat digunakan lembaga jaminan yang berbentuk hak tanggungan.”10 Jaminan yang merupakan pengamanan pembayaran kembali kredit yang diberikan, dapat juga dibedakan atas jaminan dengan menguasai bendanya dan jaminan tanpa menguasai bendanya. Jaminan yang diberikan dengan menguasai bendanya misalnya pada gadai, lama-kelamaan dalam praktek perkreditan di Indonesia dirasakan berat untuk dilaksanakan, karena debitur justru memerlukan benda jaminan itu untuk dipakai sehari-hari dalam rumah, pekerjaan atau perusahaan. Atas dasar tersebut maka lahirlah fiducia, yaitu jaminan tanpa menguasai bendanya, karena syarat inbezitstelling tidak dapat dilaksanakan. Perjanjian dengan jaminan tanpa menguasai bendanya ini dilakukan dengan membuat perjanjian jaminan khusus, yaitu membuat perjanjian tambahan selain perjanjian pokoknya. Fidusia atau Fidusiaire Eigendomsoverdracht yaitu penyerahan hak milik secara kepercayaan adalah penyerahan hak milik secara constitutum possessorium, yaitu “Penyerahan barang dari debitur kepada kreditur, tanpa
10
Sri Seodewi Masjchoen Sofwan, op.cit, hal. 57.
diikuti dengan fisik barangnya, karena benda tetap berada dalam kekuasaan debitur”.11 Menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999, “Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda”. Lembaga jaminan fidusia merupakan jaminan hak milik secara kepercayaan. Hubungan hukum antara debitur pemberi fidusia dan kreditur merupakan suatu hubungan hukum yang berdasarkan atas kepercayaan. Pemberi fidusia atau debitur percaya bahwa kreditur akan mengembalikan hak milik yang telah diserahkan kepadanya, setelah debitur melunasi hutangnya. Kreditur percaya bahwa debitur juga tidak akan menyalahgunakan barang jaminan yang berada dalam kekuasaannya dan bersedia memelihara barang tersebut. Dalam perjanjian kredit bank dengan jaminan fidusia, disamping perjanjian pemberian kredit, diadakan perjanjian penyerahan hak milik secara kepercayaan (fidusia) atas barang-barang yang terinci secara lengkap dan jelas tercantum dalam formulir tertentu dari bank, dan penyerahan barang dilakukan di tempat barang berada yang dilakukan dengan penyerahan secara constitutum possessorium serta peminjam tetap menguasai benda itu sebagai penyimpan.
11
Mariam Darus Badrulzaman, op.cit, hal. 19.
Pada prinsipnya semua benda, baik yang bergerak ataupun yang tidak bergerak, dapat dijaminkan dengan fidusia. Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 memberi pengertian yang luas terhadap benda yang dapat dijadikan obyek fidusia yaitu, benda bergerak yang berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan, seperti: barang-barang perniagaan, inventaris, ternak, kendaraan bermotor, saham-saham, surat-surat piutang dan lain sebagainya. Dalam perjanjian kredit bank dengan jaminan fidusia ada hak dan kewajiban yang harus dilakukan oleh kreditur maupun debitur. Dalam perjanjian kredit bank dengan jaminan fidusia, disamping perjanjian pemberian kredit, diadakan perjanjian penyerahan hak milik secara kepercayaan (fidusia), oleh karena itu dengan adanya penyerahan hak milik secara kepercayaan oleh debitur, maka terhitung pada saat ditanda-tanganinya perjanjian fidusia, debitur bukan lagi sebagai pemilik dari barang yang dijaminkan, melainkan hanya sebagai peminjam pakai.
E. Metode Penelitian Untuk mendapatkan data dan pengolahan yang diperlukan dalam rangka penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian hukum empiris sebagai berikut: 1. Objek Penelitian
Penyelesaian dalam hal debitur memindahtangankan jaminan dalam perjanjian kredit dengan jaminan fiducia pada BRI Unit Kelai Tanjung Redep Berau Kalimantan Timur. 2. Subjek Penelitian a. Pimpinan atau wakil BRI Unit Kelai Tanjung Redep Berau Kalimantan Timur. b. Debitur yang memindahtangankan jaminan dalam perjanjian kredit pada BRI Unit Kelai Tanjung Redep Berau Kalimantan Timur. 3. Sumber Data a. Data primer, yaitu data yang didapat langsung dengan subyek penelitian. b. Data sekunder adalah berupa data yang diperoleh dari penelitian kepuatakaan (library research) yang terdiri atas: a. Bahan hukum primer, dalam hal meliputi: Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, dan Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Fiducia. b. Bahan hukum sekunder, adalah bahan yang digunakan sebagai pelengkap bahan hukum primer, berupa buku-buku, literatur, dokumen-dokumen, maupun makalah-makalah yang berkaitan dengan obyek penelitian.
4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara secara bebas, namun berpedoman pada daftar pertanyaan yang telah disiapkan. 5. Metode Pendekatan Metode yang dilakukan oleh penulis adalah yuridis normatif, yang mana dalam melakukan pada objek penelitian lebih menitikberatkan pada aspekaspek yuridis, yang dimana dalam melakukan analisa data-data yang diperoleh dari objek penelitian dengan menggunakan asas-asas hukum, teori-teori hukum serta ketentuan perundang-undangan. 6. Metode Analisis Data Data yang telah terkumpul dianalisis secara deskriptif kualitatif, yaitu menganalisa hasil penelitian dengan menggambarkan hubungan yang ada antara hasil penelitian yang diperoleh tersebut untuk memaparkan dan menjelaskan suatu persoalan, sehingga sampai pada suatu kesimpulan.