BAHAN DAN METODA
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Insektarium Balai Penelitian Marihat, Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Pematang Siantar dengan ketinggian tempat ± 369 m di atas permukaan laut. Penelitian berlangsung dari bulan Oktober - November 2009.
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah tanaman kelapa sawit berumur 6 bulan dengan ketinggian ± 1 m, imago predator S. croceovittatus, dan ulat api S. asigna instar 3 – 5. Alat yang digunakan adalah sungkup yang terbuat dari kawat kasa berukuran panjang 60 cm, lebar 60 cm dan tinggi 100 cm, stoples, polibag berdiameter ± 25 cm, stop watch, alat tulis, buku data, kamera digital, dan alatalat lain yang diperlukan dalam pelaksanaan penelitian.
Metodologi Penelitian Penelitian perilaku dan tanggap fungsional S. croceovittatus terhadap ulat api terdiri dari empat perlakuan yaitu 1 ekor Sycanus jantan, 1 ekor Sycanus betina, 1 pasang Sycanus jantan dan betina, dan 3 pasang Sycanus jantan dan betina, yang dilakukan pada dua kepadatan populasi ulat api yaitu 5 ekor dan 10 ekor. Setiap perlakuan diulang tiga kali.
Universitas Sumatera Utara
Pelaksanaan Penelitian Persiapan Ulat Api Ulat api yang sehat instar 3 – 5 diambil dari lapangan sesuai dengan yang dibutuhkan untuk masing-masing perlakuan, yaitu 5 ekor pada perlakuan pertama dan 10 ekor pada perlakuan kedua.
Penyediaan imago Sycanus croceovittatus umur 1 hari Nimfa instar akhir S. croceovittatus diambil dari lapangan, kemudian dimasukkan ke dalam sungkup yang telah berisi tanaman kelapa sawit yang ditanam dalam polibag. Selanjutnya dimasukkan ulat api sebagai pakan S. croceovittatus. Predator yang digunakan adalah imago berumur 1 hari.
Percobaan Pertama kali disiapkan tanaman kelapa sawit dalam sungkup kemudian diletakkan ulat api instar 3-5 pada daun kelapa sawit. Selanjutnya dilepas S. croceovittatus stadia imago ke dalam sungkup tersebut masing-masing sesuai perlakuan. Diamati perilaku predator dalam mencari mangsa dan dicatat waktu yang dibutuhkan predator tersebut untuk penanganan mangsanya.
Peubah Amatan Lama Pencarian Mangsa a.
Lama pencarian mangsa pertama diperoleh dari perhitungan waktu sejak predator diinokulasikan ke dalam kotak pemeliharaan serangga sampai predator menangkap mangsa pertamanya.
Universitas Sumatera Utara
b.
Selang waktu pencarian mangsa pertama dengan pencarian mangsa kedua dan seterusnya.
Lama Penanganan Mangsa Lama penanganan mangsa meliputi perilaku dan waktu yang dibutuhkan predator untuk menangani satu mangsa. a.
Laju pemangsaan terhadap waktu yang meliputi jumlah pemangsaan diamati setiap 2 jam dari pukul 08.00 – 14.00 WIB pada semua populasi mangsa.
b.
Tanggap fungsional bertujuan untuk mengetahui tingkat predatisme S. croceovittatus terhadap kepadatan mangsa.
Model yang digunakan adalah:
Keterangan: Y
= Jumlah mangsa termangsa
X
= Kepadatan populasi mangsa
Tt = Jumlah waktu yang tersedia a
= Laju (koefisien) pencarian mangsa
Th = Waktu yang diperlukan untuk menangani satu mangsa (Varley et al., 1974; Tarumingkeng, 1992).
Daya Predasi Sycanus croceovittatus Daya predasi S. croceovittatus diperoleh dengan cara menghitung jumlah ulat api yang berhasil dimangsa untuk setiap perlakuan predator selama pengamatan.
Universitas Sumatera Utara
HASIL DAN PEMBAHASAN
Lama Pencarian Mangsa Hasil pengamatan terhadap lama pencarian mangsa menunjukkan bahwa terdapat perbedaan dari lama pencarian mangsa pertama dengan mangsa berikutnya berdasarkan jumlah predator dan kepadatan mangsa (Lampiran 2). Rata-ratanya dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2. Tabel 1. Rata-rata lama pencarian mangsa berdasarkan kepadatan mangsa Perilaku pemangsaan Lama pencarian mangsa pertama (menit) Lama pencarian mangsa berikutnya (menit)
Kepadatan 5 ekor
Kepadatan 10 ekor
15.06
9.99
10.46
4.61
Tabel 1 menunjukkan bahwa lama pencarian mangsa pertama yang tercepat diperoleh pada perlakuan kepadatan 10 ekor ulat api, yaitu selama 9.99 menit, sedangkan yang paling lama pada perlakuan kepadatan 5 ekor ulat api, yaitu selama 15.06 menit. Hal ini disebabkan karena jumlah mangsa yang tersedia lebih banyak sehingga interval penemuan mangsa oleh predator lebih singkat. Selain itu, mangsa juga relatif sulit untuk menghindar saat didekati oleh predator. Hasil pengamatan ini sesuai dengan pendapat Supartha dan Susila (2001) pada penelitian pemangsaan Curinus coeruleus terhadap Diaphorina citri yang menyatakan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk menemukan inang (mangsa) pada kepadatan tinggi lebih singkat dibandingkan pada kepadatan rendah.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 9. Pencarian mangsa oleh Sycanus Sumber: Foto Langsung Proses pemangsaan predator terhadap mangsa umumnya dilakukan secara bertahap yaitu: (1) proses pencarian dan penemuan habitat mangsa. Pada proses ini predator umumnya menggunakan indra penglihatan dan chemoreception (respon fisiologis oleh organ indra terhadap rangsangan kimiawi) untuk menemukan habitat mangsanya (Huffaker dan Messenger, 1989). (2) proses pencarian dan penemuan serangga mangsa. Proses ini dilakukan setelah berada pada habitat mangsa. Pada proses tersebut predator menggunakan antena untuk menerima rangsang kimiawi dan fisik dari mangsa dan mendeteksi ada atau tidaknya mangsa yang sesuai. (3) proses penerimaan mangsa sebagai pakan. Pada proses ini predator menilai kadar gizi dan rasa yang dimiliki oleh mangsa tersebut (Driesche et al, 2008). (4) kesesuaian mangsa sebagai pakan. Proses ini merupakan proses akhir dari pemangsaan oleh predator. Bila ternyata mangsa itu memiliki kualitas dan kuantitas gizi dan rasa yang enak bagi kelangsungan hidup
Universitas Sumatera Utara
predator maka mangsa tersebut dikategorikan sebagai mangsa yang sesuai bagi kehidupan predator. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa predator S. croceovittatus dalam pencarian mangsanya, mula-mula melakukan penerbangan acak naik turun di dalam sungkup yang kemudian sampai pada bagian tanaman kelapa sawit. Setelah berada pada tanaman inang predator melakukan pencarian mangsa dengan bergerak naik-turun pada daun dan pelepah tanaman. Predator bergerak lamban mendekati ulat api dan setelah berada dekat mangsa, predator ini menusukkan stiletnya pada bagian tubuh ulat api. Stilet dapat ditusukkan dari bagian atas, bawah maupun dari arah samping mangsa. Sebelum mengisap cairan tubuh mangsa, predator ini menusukkan stiletnya pada beberapa bagian tubuh mangsa agar mangsa tidak bergerak. Tabel 2. Rata-rata lama pencarian mangsa berdasarkan jumlah predator Perilaku pemangsaan
1 ekor Sycanus ♂
1 ekor Sycanus ♀
1 pasang Sycanus
3 pasang Sycanus
Lama pencarian mangsa pertama (menit)
16.04
16.23
10.94
6.91
Lama pencarian mangsa berikutnya (menit)
9.21
9.94
6.09
4.89
Tabel 2 menunjukkan bahwa lama pencarian mangsa pertama yang paling cepat terdapat pada perlakuan 3 pasang Sycanus jantan dan betina yaitu selama 6.91 menit, sedangkan yang paling lama yaitu pada perlakuan 1 ekor Sycanus betina yaitu selama 16.23 menit. Hal ini disebabkan karena predator menyerang mangsa secara berkelompok. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa 2 ekor Sycanus dapat menyerang 1 ulat api secara bersamaan. Setelah menusukkan stilet
Universitas Sumatera Utara
dan mengisap cairan tubuh ulat api, Sycanus akan terus memangsa selama ± 4 jam hingga ulat mati. Namun, terkadang predator ini berpindah-pindah dari satu mangsa ke mangsa lain.
Gambar 10. Sycanus memangsa ulat api secara bersamaan Sumber: Foto Langsung Lama pencarian mangsa berikutnya yang tercepat pada perlakuan 3 pasang Sycanus yaitu selama 4.89 menit, dibandingkan dengan lama pencarian mangsa pertama yaitu 6.91 menit. Hal ini disebabkan karena setelah menemukan mangsanya yang pertama, predator bergerak lebih cepat mencari mangsa berikutnya karena telah mengenali mangsanya. Hasil pengamatan tersebut sesuai dengan pernyataan Debach (1979 dalam Supartha dan Susila, 2002) bahwa umumnya bila serangga predator telah mampu mengenali mangsanya pada habitat atau relung spesifiknya, maka proses pencarian, penemuan dan pemangsaan selanjutnya lebih mudah dilakukan. Fenomena itu umumnya terlihat dari lebih singkatnya waktu pencarian, penemuan dan penanganan satu mangsa oleh predator bersangkutan.
Universitas Sumatera Utara
Lama Penanganan Mangsa a. Laju Pemangsaan Predator S. croceovittatus (%) Hasil pengamatan menunjukkan bahwa laju pemangsaan S. croceovittatus berdasarkan kepadatan mangsa dan jumlah predator yang tertinggi terdapat pada pukul 08.00 WIB (Lampiran 3). Rata-ratanya dapat dilihat Tabel 3. Tabel 3. Persentase rata-rata laju pemangsaan S. croceovittatus Kepadatan populasi
Waktu pemangsaan 08.00 WIB 10.00 WIB 12.00 WIB 14.00 WIB
Total pemangsaan
5 ekor
20
13.34
8.34
6.67
48.35
10 ekor
11.67
9.17
6.67
3.34
30.85
Rata-rata
15.84
11.26
7.51
5.01
39.6
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa ulat api banyak dimangsa predator S. croceovittatus pada pukul 08.00 – 10.00 WIB sebesar 15.84%, sedangkan pukul 12.00 WIB sebesar 7.51% dan pukul 14.00 WIB sebesar 5.01%. Hal ini disebabkan karena sebelum diaplikasikan ke tanaman kelapa sawit, predator sudah dilaparkan selama 48 jam, sehingga kemampuan memangsa pada setiap jumlah predator hampir sama besarnya pada pukul 08.00 – 10.00 WIB, sedangkan pada pukul 12.00 WIB dan 14.00 WIB kemampuan memangsanya berkurang karena predator sudah kenyang pada pukul 08.00 – 10.00 WIB. Rata-rata laju pemangsaan predator ini tergolong rendah yaitu sebesar 39.6% per harinya. Hal ini dipengaruhi oleh ukuran tubuh yang relatif kecil, aktivitas makan yang lambat dan waktu kejenuhan predator setelah memangsa satu mangsa.
Universitas Sumatera Utara
b. Tanggap Fungsional Data pengamatan menunjukkan bahwa Sycanus betina memiliki tingkat pemangsaan yang sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan Sycanus jantan. Hal ini dapat dilihat dari rata-rata pemangsaan predator per hari pada Tabel 4 (Lampiran 4). Tabel 4. Rata-rata tingkat pemangsaan S. croceovittatus Kepadatan mangsa
Tingkat pemangsaan (ekor) 1 ekor Sycanus ♂
1 ekor Sycanus ♀
1 pasang Sycanus
3 pasang Sycanus
Total
5 ekor
1
1.10
1.20
1.65
4.95
10 ekor
1.11
1.24
1.42
1.96
5.73
Rata-rata tingkat pemangsaan S. croceovittatus adalah 1-2 ekor/hari. Hal ini disebabkan karena aktivitas makan predator yang lambat. Tingkat pemangsaan dan waktu penanganan mangsa merupakan parameter yang digunakan untuk menentukan besarnya tanggap fungsional ini. Menurut Pervez dan Omkar (2005), perbedaan nilai parameter ini mungkin disebabkan oleh perbedaan ukuran tubuh, voracity (kerakusan), waktu kejenuhan, tingkat kelaparan, kemampuan mencerna, kecepatan berjalan, dan lain-lain. Hasil pengamatan tersebut dapat digambarkan sebagai keefektifan predator dalam mengatur keseimbangan populasi mangsa. Keefektifan predator dicerminkan oleh tanggapnya terhadap kepadatan populasi mangsa.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 11. Tanggap fungsional S. croceovittatus terhadap kepadatan populasi S. asigna
Gambar menunjukkan bahwa tingkat kepadatan mangsa mempengaruhi tingkat predatisme predator. Pada kepadatan mangsa rendah tingkat predatisme predator rendah. Hal ini disebabkan karena predator memerlukan waktu yang relatif lama untuk menemukan mangsa dibandingkan pada perlakuan populasi tinggi sehingga waktu yang tersedia tidak dapat digunakan secara efektif oleh predator untuk menemukan mangsa. Tanggap predator ini adalah tanggap fungsional terhadap kepadatan populasi mangsa. Hal ini sesuai dengan kajian Holling (1965 dalam Suin, 2003) yaitu ada tiga tipe tanggap fungsional, dan pemangsaan oleh S. crocecovittatus ini termasuk dalam tanggap fungsional tipe I dimana laju pemangsaan per predator konstan. Jumlah mangsa yang dimangsa tiap predator per satuan waktu bertambah dengan meningkatnya kepadatan populasi mangsa, tetapi pada batas waktu tertentu walaupun kepadatan populasi mangsa terus bertambah, jumlah mangsa yang dimangsa predator tidak bertambah lagi karena saat itu predator telah kenyang.
Universitas Sumatera Utara
Daya Predasi Hasil pengamatan menunjukkan bahwa daya predasi S. croceovittatus tidak begitu tinggi, hanya mencapai 43.3%, hal ini dapat dilihat pada Tabel 5 (Lampiran 3). Tabel 5. Persentase rata-rata jumlah mangsa termangsa Kepadatan mangsa
1 ekor Sycanus ♂
1 ekor Sycanus ♀
1 pasang Sycanus
3 pasang Sycanus
5 ekor
13.4
16.7
23.4
30
10 ekor
16.7
20
26.7
43.3
Tabel 5 menunjukkan bahwa daya predasi S. croceovittatus yang paling tinggi adalah 43.3% dimana rata-rata jumlah mangsa yang dimangsa adalah 1-2 ekor/hari. Hal ini disebabkan karena aktivitas makan predator yang lambat sehingga dalam satu hari tidak banyak mangsa yang termangsa. Hasil pengamatan ini sesuai dengan penelitian Sipayung dkk (1988) bahwa aktivitas makan Sycanus lambat dan berlangsung pada siang hari. Ketika ulat api tersedia, kepik ini akan menusuk dengan segera dan mengisap cairan tubuh ulat dalam waktu 4-5 jam. Daya predasi dapat meningkat bila disertai oleh peningkatan populasi predator di lapangan dan semakin pendeknya waktu yang dibutuhkan predator untuk menangani mangsanya. Hal ini sesuai dengan literatur yang dikemukakan oleh Tarumingkeng (1992) bahwa keefektifan predator dalam pengaturan populasi mangsa dipengaruhi oleh kemampuan berkembangbiak, kemampuan mencari mangsa, dan kisaran toleransi terhadap habitat dan instar mangsa. Selain itu, lamanya waktu yang digunakan oleh predator untuk mengejar, menangkap dan menangani mangsa merupakan faktor penting yang menentukan dalam efisiensi pemangsaan.
Universitas Sumatera Utara
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan 1. Lama pencarian dan penanganan satu mangsa membutuhkan waktu 10.46 menit pada kepadatan 5 ekor ulat api dan 4.61 menit pada kepadatan 10 ekor ulat api. 2. Daya predasi imago betina (18.35%) sedikit lebih tinggi dibandingkan imago jantan (15.05%). 3. Kepadatan populasi ulat api mempengaruhi daya predasi S. croceovittatus. 4. S. croceovittatus memiliki tanggap fungsional untuk mengatur keseimbangan populasi mangsa, namun kurang efektif karena pengaruh aktivitas makan yang lambat.
Saran S. croceovittatus kurang efektif untuk mengendalikan populasi ulat api, karena itu tidak dianjurkan digunakan dalam pengendalian hayati terhadap ulat api di lapangan.
Universitas Sumatera Utara