Bagaimana Nasib Perbankan Kita Setelah Ditinggal IMF1 Dr. Agus Sugiarto2
Pemerintah bersama-sama dengan DPR bertekad bulat bahwa pada akhir tahun 2003 nanti program kerjasama di sektor ekonomi dengan International Monetary Fund (IMF) akan berakhir, sesuai dengan Instruksi Presiden no.5/2003 tentang Paket Kebijakan Ekonomi Menjelang dan Sesudahnya Berakhirnya Program Kerja Sama dengan IMF. Berakhirnya kerjasama tersebut bukan berarti bahwa Indonesia akan keluar dari keanggotaan resmi IMF melainkan program-program ekonomi Indonesia tidak lagi ditentukan dan disupervisi oleh IMF. Setelah krisis ekonomi dan moneter melanda Indonesia di tahun 1998, pemerintah terpaksa mengetuk pintu IMF dan meminta bantuan keuangan yang disertai dengan paketpaket program pemulihan di sektor ekonomi dan keuangan. Salah satu agenda terpenting dalam program pemulihan ekonomi tersebut adalah program pemulihan dan rehabilitasi sektor industri perbankan yang saat itu mengalami kehancuran. Program pemulihan di sektor perbankan tersebut diikuti dengan penutupan beberapa bank nasional serta pengalihan secara besar-besaran kredit macet dari bank-bank ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang pendiriannya direkomendasikan oleh IMF khusus untuk merehabilitasi bank-bank yang sakit.
Kesiapan Perbankan Setelah program restrukturisasi perbankan berjalan selama lima tahun, kita tidak bisa membohongi diri kita sendiri bahwa program tersebut telah menampakkan hasil yang nyata walaupun dalam tahap pelaksanaannya menyerap dana dan social costs yang sangat besar. Program IMF di sektor perbankan semasa krisis dengan merekomendasikan penutupan sejumlah bank telah menyebabkan
social costs yang tidak kecil. Kemudian program
rekapitalisasi perbankan sebesar kurang lebih Rp450 triliun juga telah memporak porandakan anggaran pemerintah yang seharusnya digunakan untuk kegiatan lain di luar perbankan. Program restrukturisasi perbankan yang dikomadani IMF tersebut sebenarnya telah 1 2
Artikel ini telah dimuat di harian Kompas, 24 Oktober 2003. Peneliti Bank Senior, Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan, Bank Indonesia.
2
menampakkan hasil-hasil yang bagus. Kita lihat pada Tabel 1, setelah program restrukturisasi perbankan berjalan lima tahun beberapa indikator perbankan telah menampakkan hasilnya. Tingkat permodalan bank-bank dalam bentuk CAR meningkat dari –15,7% pada tahun 1998 menjadi 23% pada akhir triwulan III/2003, yang berarti jauh diatas CAR 8% yang merupakan standar internasional, aset perbankan juga meningkat seiring dengan adanya konsolidasi jumlah bank, dan non performing loans (NPLs) net menurun dari 35,1% menjadi 1,1% untuk periode yang sama, yang berarti jauh dibawah persyaratan maksimal 5%. Indikator-indikator tersebut membuktikan bahwa progam restrukturisasi perbankan yang telah kita laksanakan selama lima tahun tersebut memang berjalan dengan baik dan berhasil, sehingga kita sudah memiliki pondasi perbankan yang lebih kuat dibandingkan dengan lima tahun silam. Dengan adanya fondasi yang kuat tersebut kita akan lebih optimis bahwa untuk ke depan perbankan nasional akan tetap siap dalam melaksanakan dan meneruskan upaya-upaya restrukturisasi perbankan yang selama ini masih berjalan. Program privatisasi bank-bank rekap yang dilaksanakan pemerintah telah berjalan dengan baik dan mampu menarik investor asing sebagai pemilik bank yang baru. Kredit baru perbankan perlahan-lahan terus mulai mengucur seiring dengan semakin mengecilnya pangsa obligasi rekap di dalam aset bankbank. Para bankir kita sudah memiliki pengalaman yang cukup kaya dari krisis moneter yang terjadi pada tahun 1998. Mereka tentunya akan lebih berhati-hati dan melihat faktor risiko sebagai suatu prioritas utama dalam menjalankan kegiatan operasional perbankan. Hal ini terbukti dengan masih berhati-hatinya bank-bank memberikan kredit untuk sektor korporasi maupun kredit ke sektor-sektor tertentu. Dengan berakhirnya kerjasama dengan IMF, perbankan akan memiliki suatu tantangan tersendiri sekaligus harus membuktikan bahwa program penyehatan perbankan dapat berjalan dengan baik walaupun kerjasama dengan IMF sudah berakhir. Tabel 1. Beberapa Indikator Kinerja Perbankan 1998
2000
2001
2003
2002
Tw I
Tw II
Tw III *)
Aset (T Rp)
895.5
1006.7
1030.5
1099.7
1112.2
1100.0
1111.7
1119.1
DPK (T Rp)
625.3
617.6
699.1
797.4
835.8
833.4
846.8
858.0
Kredit (T Rp)
545.5
277.3
320.5
358.6
410.3
420.5
434.1
447.2
NII (T Rp)
-61.2
-38.6
22.8
37.8
42.9
11.4
23.4
27.8
0.9
1.2
1.9
2.3
2.2
2.4
100.6
100.1
94.4
89.3
87.6
89.9
ROA (%) BOPO
n.a
n.a
101.0
169.0
LDR (%)
72.4
26.2
33.2
33.0
38.2
39.0
40.3
41.1
Kredit/AP (%)
74.4
33.8
33.0
34.8
40.1
39.9
41.1
41.8
NPLs Gross (%
48.6
32.8
18.8
12.1
8.1
8.2
8.0
7.8
NPLs net (%)
35.1
7.3
5.8
3.6
2.1
0.6
1.2
1.1
-15.7
-8.1
12.7
20.5
22.5
24.8
23.0
23.0
CAR (%) *) Aug 2003
White Paper
1999
**) sumber Bank Indonesia
3
Upaya pemerintah yang berani mengakhiri kerjasama ekonomi dengan IMF bukanlah suatu hal yang aneh dan mengkawatirkan. Pemerintah sendiri telah menyusun suatu white paper yang berisikan tiga sasaran pokok yaitu, pertama, memelihara dan memantapkan stabilitas makro. Kedua, meneruskan restrukturisasi dan reformasi di sektor keuangan dan ketiga, meningkatkan investasi, ekspor dan penciptaan lapangan kerja. Jadi sangatlah jelas sekali bahwa setelah program kerjasama dengan IMF berakhir, pemerintah telah memiliki agenda ke depan yang jelas dan terencana sehingga tidak akan timbul suatu kekosongan program pasca IMF.
Dari ketiga sasaran pokok tersebut, agenda reformasi di sektor
perbankan masih terus dilanjutkan sehingga program reformasi di sektor perbankan yang selama ini disusun dengan bantuan IMF tidak akan berhenti. Yang menjadi tantangan berat dan terbesar bagi pemerintah adalah implementasi dari white paper tersebut. Jangan sampai program-program lanjutan dalam rangka pemulihan dan pemantapan stabilitas ekonomi tersebut tidak berjalan.
Arsitektur Perbankan Indonesia Bank Indonesia sendiri saat ini sedang menyusun suatu program besar di sektor perbankan yang lebih dikenal dengan nama Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Proyek API tersebut saat ini sedang mendekati tahap akhir dalam penyusunannya dan diharapkan dapat diimplementasikan secara bertahap mulai tahun 2004 sampai beberapa tahun ke depan. Lahirnya API tersebut tidak lain adalah sebagai policy guidance atau policy direction mengenai arah dan kebijakan perbankan nasional dalam jangka panjang. Saat ini perbankan nasional kita belum memiliki kejelasan bagaimana arah perbankan nasional nantinya ke depan. Perbankan memerlukan strategic vision
yang jelas dan bersifat komprehensif
sehingga para pelaku di sektor perbankan dapat mengetahui bagaiaman bentuk dan arah perbankan ke depan. Salah satu alasan API dibuat adalah untuk memperkuat ketahanan kelembagaan perbankan nasional maupun sistem dan industri perbankan itu sendiri sehingga perbankan Indonesia diharapkan mampu menghadapi segala macam gangguan dalam bentuk external shocks maupun instability yang bersifat mendadak maupun bersifat systemic. Dalam Tabel 2, terlihat bahwa program API
tersebut bersifat menyeluruh
dan
mencakup semua aspek kehidupan perbankan dari sejak bank itu lahir sampai mati. Kejelasan program kebijakan perbankan yang tertuang dalam API tersebut meliputi 6 pilar yang terdiri dari
struktur perbankan yang sehat, pengaturan perbankan yang efektif, pengawasan
4
perbankan yang efektif, industri perbankan yang kuat, infrastruktur pendukung perbankan dan perlindungan konsumen. Keenam pilar tersebut telah mencakup segala aspek kebutuhan perbankan yang harus dijalankan baik oleh bank-bank itu sendiri maupun oleh Bank Indonesia. Dalam implementasinya nanti, API tersebut akan dijabarkan dalam bentuk rekomendasi-rekomendasi dan rencana kegiatan yang bersifat konkrit sehingga agenda kegiatan yang harus dilaksanakan di sektor perbankan menjadi jelas dan terarah baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Semua rekomendasi dan rencana kegiatan di dalam API tersebut akan dilakukan secara bertahap serta jelas produk yang akan dihasilkan untk setiap kegiatannya. Dengan demikian, Bank Indonesia telah menyiapkan suatu program dan agenda kegiatan yang jelas untuk perbankan nasional meskipun tidak ada lagi kerja sama dengan IMF. Tabel 2. Arsitektur Perbankan Indonesia Pengaturan Pengaturan Kondisi Kondisi Internal Internal
Pengawasan Pengawasan Struktur Strukturperbankan perbankan yang yangsehat sehat
Nasabah Nasabah
Infrastruktur Infrastruktur
Basel Accord Bank-bank yang beroperasi di
Indonesia sama halnya dengan bank-bank yang
beroperasi di negara lain selalu memperhatikan aspek-aspek kehati-hatian (prudential) dalam menjalankan kegiatan operasinya. Aspek kehati-hatian dalam penyelenggaraan perbankan yang sehat antara bank yang satu dengan lainnya adalah sama, begitu halnya dengan best practices di negara-negara lain karena perbankan mereka juga akan menerapkan prinsipprinsip kehati-hatian. Ketentuan CAR sebesar 8% dianut hampir oleh semua negara, begitu halnya dengan ketentuan NPLs sebesar 5%. Kesamaan prinsip dalam operasional penyelenggaran perbankan tersebut tidak terlepas karena adanya suatu peran yang sangat
5
besar dari Basel Committe on Banking Supervision (BCBS) yang bermarkas di Basel, Swis dan didirikan oleh negara-negara maju. Lembaga tersebut merupakan think tank (pemikir) mengenai konsep-konsep perbankan dan penyelenggaran operasional perbankan secara internasional. Untuk itu, BCBS telah
mengeluarkan pedoman-pedoman tentang
penyelenggaraan perbankan yang prudent dan lebih dikenal dengan Basel Accord I dan Basel Accord II. Pedoman tersebut diikuti dan diimplementasikan oleh semua negara maju dan sebagian besar negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Hal ini menjadi suatu tantangan tersendiri bagi Indonesia terlebih lagi setelah Indonesia diterima sebagai salah anggota Bank for International Settlements (BIS) dan BCBS itu sendiri merupakan bagian dari BIS. Semua bank-bank yang berada di seluruh dunia diharapkan memiliki standar penyelenggaraan yang sama dari sisi tingkat kehati-hatiaannya khususnya yang menyangkut aspek risiko yang dihadapi oleh bank. Oleh karenanya, sangatlah penting bagi perbankan nasional kita untuk terus mengacu pada ketentuan perbankan yang berstandar internasional apabila kita tidak ingin perbankan kita dianggap terbelakang atau dibawah standar. Pedoman-pedoman untuk industri perbankan yang dikeluarkan oleh BCBS tersebut sangatlah bagus karena lebih mengedepankan aspek-aspek operasional bank yang sehat dan berhati-hati serta aspek-aspek risiko yang dihadapi oleh bank dan bagaimana mengatasi risiko-risiko tersebut. Masuknya program-program IMF ke perbankan nasional beberapa tahun lalu telah membuka mata kita bahwa industri perbankan Indonesia harus secepatnya menerapkan ketentuan-ketentuan maupun pedoman yang telah digariskan oleh BCBS untuk sektor perbankan. Akhirnya kita memiliki agenda yang jelas kapan kita akan menerapkan pedoman-pedoman perbankan yang berstandar internasional, yang lebih dikenal dengan 25 Basel Core Principles for Effective Banking Supervision. Dengan berakhirnya kerja sama dengan IMF tidak berarti agenda di sektor perbankan nasional kita menjadi mandek dalam mengimplementasikan 25 core principles tersebut. Bank Indonesia sebagai otoritas pengawas dan pembina perbankan telah memiliki agenda yang jelas mengenai implementasinya secara bertahap.
Perlunya self discipline
6
Marilah kita sekarang merenungkan kembali keputusan pemerintah dan DPR tersebut, apakah kita sudah benar-benar siap untuk mengakhiri program kerja sama dengan IMF tersebut. Selama ini kita memiliki mandor yang setiap kali melihat dan mengontrol pekerjaan kita serta selalu mengingatkan kita bahwa pekerjaan kita belum selesai atau masih belum layak. Dengan kepergian IMF berarti kita menjadi mandor diri kita sendiri, kita harus memiliki rasa disiplin yang sama dengan mandor-mandor IMF tersebut sehingga mau tidak mau kita juga harus mampu mengimplementasikan white paper pemerintah tersebut dengan lebih baik dan terencana. Kita tidak perlu terlalu kawatir bahwa setelah IMF pergi kita akan mengalami kesulitan di depan, alasan tersebut terlalu berlebih-lebihan. Agenda pemulihan ekonomi kita masih dan akan terus berjalan tanpa bantuan kerja sama dengan IMF. Sekali lagi, yang harus kita perhatikan ke depan adalah kemampuan kita untuk mendisiplinkan diri kita sendiri dalam menjalankan paket-paket kebijakan pemulihan ekonomi yang telah kita gariskan. Kita harus bisa membuktikan kepada dunia luar bahwa kita mampu menjalankan program kebijakan pemulihan ekonomi tanpa mandor-mandor asing. Khusus untuk sektor perbankan, pemerintah maupun Bank Indonesia juga telah memiliki agenda dan program pemulihan yang jelas dan terencana dengan baik dalam rangka menciptakan perbankan nasional yang sehat dan stabil, sehingga kita tidak perlu kawatir dengan nasib perbankan kita setelah ditinggalkan oleh IMF.