BAB VI KESIMPULAN
Desa Jungutbatu yang secara administratif terletak di kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Bali menyimpan sejumlah pesona alam dan kebudayaan tersendiri. Desa ini berada di pulau Nusa Lembongan, sebelah tenggara Pulau Bali. Dari Pulau Bali, Nusa Lembongan hanya bisa ditempuh melalui jalur laut. Kawasan ini berkembang menjadi sebuah daerah tujuan wisata di Propinsi Bali. Kekayaan alamnya menjadi modal utama pariwisata di Desa Jungutbatu. Pariwisata di Desa Jungutbatu membawa dampak yang luar biasa untuk masyarakat lokal desa, terutama dari segi ekonomi. Pariwisata membuka lapangan pekerjaan baru untuk masyarakat lokal. Walaupun mayoritas hingga saat ini masih bekerja di budi daya rumput laut, namun sebagian masyarakat lokal desa juga mencoba peruntungannya di bidang pariwisata. Pariwisata yang ada di Desa Jungutbatu termasuk dalam jenis ekowisata. Ekowisata merupakan jenis pariwisata yang memanfaatkan lingkungan (baik itu keindahan dan keunikan alam) ataupun budaya masyarakatnya dengan mengemukakan unsur-unsur konservasi, edukasi, dan pemberdayaan masyarakat lokal. Dalam ekowisata, peran serta masyarakat lokal dalam menjaga lingkungannya (terutama alam) sangatlah penting agar tercipta sebuah sustainable tourism atau pariwisata berkelanjutan, terutama dalam hal menjaga kebersihan lingkungan. Kebersihan juga merupakan salah satu modal pariwisata, dimana
kenyamanan para turis yang datang berkunjung ke Desa Jungutbatu akan dipertaruhkan. Partisipasi masyarakat lokal terlihat aktif dalam penentuan strategi kebijakan arah pembangunan terlihat dalam pembuatan sebuahawig-awig. Awigawig merupakan peraturan yang dibuat oleh desa adat (Pakraman Jungutbatu). Seluruh proses ini diawasi oleh krama atau masyarakat umum, yang hasilnya nanti sebagai hukum yang mengikat untuk mengatur kepentingan bersama. Kedudukan desa adat (pakreman) Jungutbatu sangatlah dihormati oleh masyarakatnya. Masyarakat lokal sangat patuh pada desa adat dan segala peraturannya. Awig-awig mengenai lingkungan desa hanya ada pada pelestarian hutan mangrove saja. Dimana masyarakat lokal dilarang menebang pohon bakau secara sengaja. Fungsi dari hutan Mangrove selain untuk kepentingan bersama (fungsi ekologis hutan mangrove yang sangat penting), juga untuk kepentingan pariwisata. Salah satu hal yang menarik adalah adanya perbedaan persepsi atau nilai di masyarakat lokal pada konsep bersih dan kotor di lingkungan domestik serta publik (umum) yang mempengaruhi perilaku sehari-hari masyarakat lokal terhadap lingkungannya.Dalam penelitian ini, lingkungan dimana masyrakat lokal tinggal dibagi menjadi dua, yaitu lingkungan umum (publik) dan lingkungan rumah (domestik). Terdapat perbedaan mencolok diantara keduanya terkait maslaha kebersihan. Sebagai contohnya,lingkungan rumah (domestik) sebagai tempat tinggal dari si empunya rumah, sangatlah bersih dan terjaga dari kotoran dan sampah. Kebersihan rumah merupakan sebuah keharusan bagi mereka.
Menurut mereka, jika rumah bersih maka akan mempengaruhi hati, pikiran, dan jasmani mereka di hadapan Sang Hyang Widi. Terdapat nilai religi di dalamnya yang menyebabkan kebersihan menjadi sebuah keharusan di lingkungan domestik. Jiwa dan raga mereka akan ikut suci jika rumah (tempat tinggal mereka) bersih dari kotoran dan sampah. Nilai atau konsepsi Hindu yang terkandung dalam Tri Hita Karana tercermin dalam lingkungan rumah. Selain itu, rasa memiliki atas rumah sebagai hak pribadi juga ikut mempengaruhi perilaku mereka sehari-hari. Berbeda halnya dengan yang tampak pada lingkungan publik desa mereka, dimana terdapat banyak sampah yang berserakan. Masyarakat
Desa
Jungutbatu
belum
sepenuhnya
siap
dalam
mengembangkan pariwisata (ekowisata). Sampah-sampah terlihat masih banyak berserakan di berbagai sudut desa (lingkungan publik). Dengan banyaknya sampah-sampah yang berserakan (terutama sampah plastik), mengindikasikan jika partisipasi masyarakat lokal terhadap kebersihan lingkungannya sangat kurang atau pasif. Sebagai salah satu daerah tujuan wisata di Propinsi Bali, keberadaan sampah tersebut tentu saja sangat mengganggu dan mengurangi kenyamanan para turis yang datang berkunjung. Tidak jarang turis baik asing maupun lokal sering kali mengeluhkan mengenai banyaknya sampah yang ada. Partisipasi masyarakat lokal dalam menjaga kebersihan lingkungan umum secara perorangan di Desa Jungutbatu sangat kecil. Masih banyak terlihat orang yang dengan enaknya membuang sampah sembarangan, dan banyaknya sampahsampah yang mengotori di sembarang tempat. Tidak adanya rasa memiliki tempat umum sebagaimana tempat domestik. Partisipasi masyarakat lokal yang terlihat di
lingkungan publik hanya pada saat melakukan kerja bakti yang merupakan bagian dari acara adat dan dilakukan setiap tiga hari sebelum hari raya Galungan. Menurut Tosun, partisipasi tersebut termasuk dalam partisipasi coercive (kekerasan atau paksaan). Dikatakan partisipasi coercive karena terdapat sanksisanksi yang akan dikenakan jika masyarakat lokal tidak mengikutinya, termasuk sanksi adat di dalamnya. Yang mana menurut masyarakat lokal, sanksi adat tersebut sangat memberatkan dan juga memberi tekanan untuk mereka. Kedudukan desa adat (pakreman) sangat dihormati oleh masyarakat lokal Desa Jungutbatu. Partisipasi lainnya ditunjukkan oleh sebuah kelompok pemuda yang peduli akan kebersihan lingkungan bernama Karnyok. Digerakkan oleh beberapa pemuda yang bekerja di bidang pariwisata, mereka melakukan kerja bakti setiap minggunya dengan rute yang telah ditentukan sebelumnya. Karnyok mendapatkan dukungan dan juga bantuan dari para pelaku pariwisata di Desa Jungutbatu. Adanya keluhan mengenai kebersihan desa dari para turis, menjadi salah satu faktor terbentuknya kelompok ini. Partisipasi yang dilakukan karnyok menurut Tosun,
merupakan
partisipasi
terdorong
untuk
melakukannya
(induced
participation). Semua anggota dari Karnyok bekerja di bidang pariwisata, dimana mereka setiap hari harus bertemu dan menemani turis yang datang berkunjung. Rasa malu akan menghinggapi di diri mereka jika para turis mengeluh mengenai kotornya lingkungan umum Desa Jungutbatu. Adanya kepentingan terutama ekonomi, karena pariwisata merupakan sumber kehidupan mereka menyebabkan mereka melakukan kegiatan bersih-bersih sampah di desa.
Tidak adanya awig-awig desa adat yang mengikat masyarakat lokal mengenai larangan membuang sampah sembarangan, ataupun dalam menjaga kebersihan menjadi salah satu penyebab kurang disiplinnya masyarakat lokal dalam menjaga lingkungannya. Selain itu juga, faktor kurangnya kesadaran, kurangnya rasa memiliki atas tempat publik, serta adanya nilai profan untuk pantai dan laut pun ikut mempengaruhi perilaku membuang sampah sembarangan di tempat umum. Saat ini, perilaku membuang sampah sembarangan sudah menjadi suatu kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat lokal desa dan susah untuk dihilangkan. Adanya nama ekowisata sebagai jenis pariwisata yang ada di Desa Jungutbatu tidak diikuti dengan partisipasi aktif dari masyarakat lokal dalam menjaga kebersihan lingkungannya, terutama lingkungan umum. Peran serta atau partisipasi dari masyarakat lokal dirasakan sangat kurang di dalamnya. Kebersihan hanya dirasakan dalam lingkungan domestik yang tidak lain adalah rumah tempat tinggal masyarakat lokal dan juga lokasi wisata. Partisipasi masyarakat lokal hanya tampak pada saat kerja bakti adat sebelum hari raya galungan danyang dilakukan oleh kelompok pemuda yang bekerja di bidang pariwisata saja dengan mendapat dukungan dari para pemilik usaha pariwisata di Desa Jungutbatu. Hal tersebut seperti menjadi sebuah antiklimaks, dimana seharusnya sebuah lokasi pariwisata (ekowisata) yang menjual keindahan dan keunikan alam di samping budaya masyarakat lokal mendapatkan dukungan dari masyarakat lokal selaku tuan rumah,namun hal tersebut tidak terlihat sepenuhnya di Desa
Jungutbatu. Dukungan tersebut juga ditujukan supaya pariwisata yang berada di desanya dapat terus tumbuh dan berkembang, karena pariwisata sudah menjadi bagian hidup (sumber penghasilan) dari Desa Jungutbatu. Penamaan atau pelebelan ekowisata di Desa Jungutbatu menjadi sebuah pertanyaan kembali ketika berada di desa tersebut dengan keadaan lingkungan seperti itu. Sebagai tuan rumah, diperlukan kerja keras untuk mengembangkan ekowisata dari masyarakat lokal. Nilai Tri Hita Karana(parahyangan, pawongan, palemahan)yang menjadi sebuah nilai penting dalam agama Hindu hanya tampak pada lingkungan domestik.Nilai dan perilaku yang mereka lakukan dan tanamkan dalam lingkungan domestik, sebaiknya dilakukan juga pada lingkungan publik desa mereka.Sehingga lingkungan akan terus terjaga dan pariwisata di Desa Jungutbatu (Nusa Lembongan umumnya) akan terus berkembang.