BAB VI KESIMPULAN
Jalan Raya Pantura Jawa Tengah merupakan bagian dari sub sistem Jalan
Raya
Pantai
Utara
Jawa
yang
menjadi
tempat
lintasan
penghubung jaringan transportasi darat antara sentral di Surabaya pada bagian timur dan Jakarta, sentral di bagian barat. Sebagai lintasan penghubung, jalan raya ini berkembang seiring dengan perkembangan Indonesia
pada
angkutan
darat
umumnya.
di
Pulau
Perkembangan
Jawa jalan
khususnya raya
ini
dan telah
mendorong pertumbuhan ekonomi kota-kota yang dilintasinya. Ada perubahan penting yang terjadi pada Jalan Raya Pantai Utara Jawa Tengah selama abad XX. Perubahan tersebut antara lain disebabkan oleh perubahan fisik jalan raya tersebut. Perubahan tersebut menyebabkan ruang Jalan Raya Pantai Utara Jawa Tengah menjadi luas sehingga terjadi perubahan geografis dari beberapa kota yang dilaluinya. Jalan Raya Pantura Jawa Tengah secara spasial mengalami perubahan keruangan setelah tahun 1990-an. Perubahan itu ditandai dengan munculnya jalan lingkar untuk mengurai kepadatan kota yang dilalui jalur Pantura. Jalan-jalan lingkar tersebut muncul di Pemalang, Pekalongan, Weleri, Kendal, Semarang, Demak, Kudus dan Pati. Selain itu perubahan keruangan terjadi akibat munculnya jalan tol yang melintas kota Semarang. Jalan tol tersebut memecah Jalan Raya
328
329
Pantura menjadi tiga jalur yaitu melalui Krapyak-Kaligawe ke arah utara dan Krapyak-Banyumanik ke arah selatan menuju Solo dan Yogyakarta. Satu arah tersisa masuk dalam kota khusus bagi kendaraan yang bertonase kecil dan mobil pribadi. Perubahan keruangan juga terjadi di jalur pendakian Grinsing di wilayah Batang. Di jalur tersebut Jalan Raya Pantura Jawa Tengah juga mengalami perubahan menjadi tiga rute yaitu rute tengah, rute utara dan rute selatan bukit tersebut. Perubahan keruangan tersebut menjadi gejala umum di sepanjang jalur pantai Utara Jawa karena tuntutan perkembangan kota. Perkembangan Jalan Raya Pantura telah mendorong mobilitas horizontal penduduk di wilayah sekitarnya. Mobilitas tersebut ada yang bersifat tetap dan sementara. Akibat mobilitas itu penduduk di kotakota
Pantura
mengalami
perkembangan
yang
jauh
lebih
pesat
dibandingkan dengan kota-kota yang berada di wilayah pedalaman Jawa Tengah. Secara ekonomi ada beberapa kota di Pantai Utara Jawa Tengah yang mengalami perkembangan yang signifikan dibandingkan dengan kota lainnya. Titik-titik sentral perkembangan Jalan Raya Pantai Utara Jawa Tengah berada di kota Kudus, Semarang, Pekalongan, dan Tegal. Kota Semarang yang menjadi titik tengah Jalan Raya Pantura Jawa Tengah berkembang menjadi kota industri dan kota pemerintahan Provinsi sejak zaman Hindia Belanda hingga Orde Baru. Berawal dari kota Semarang, jaringan transportasi terhubung ke arah timur menuju
330
Kudus, Jepara, Pati, Rembang, dan tersambung dengan Jalan Raya Pantura Jawa Timur. Selain itu juga terhubung ke arah pedalaman menuju daerah Swapraja, Surakarta dan Yogyakarta. Jalan Raya Pantai Utara Jawa Tengah mengalami pasang surut fungsi. Perubahan fungsi tersebut sebagian ditentukan oleh kebijakan pemerintah. Pada masa Mataram, Jalan Raya Pantura Jawa Tengah berfungsi sebagai sarana transportasi darat yang menghubungkan wilayah Pantai Utara dengan wilayah pedalaman, terutama wilayah Mataram dan pelabuhan-pelabuhan di Pantai Utara Jawa, seperti Semarang, Juwana, Lasem, Pekalongan, dan Tegal. Sejak akhir abad XIX hingga awal abad XX, jalur kereta api di Jawa Tengah dibangun yang sebagian besar rutenya berhimpitan dengan rute Jalan Raya Pantura. Kondisi tersebut menjadikan Jalan Raya Pantura Jawa Tengah tidak lagi menjadi primadona jalur angkutan massal. Pengangkutan orang dan barang dalam jarak jauh sebagian besar beralih ke jalur kereta api. Pengangkutan hasil perkebunan seperti gula dan kopi menuju pelabuhan yang sebelumnya didominasi jalan raya sejak itu beralih ke kereta api. Jalan raya lebih banyak digunakan untuk mengangkut orang dalam jarak dekat dan barang-barang hasil pertanian untuk konsumsi lokal. Perubahan penting terjadi pada awal abad XX. Auto mobil yang semula digunakan di Eropa pada akhir abad XIX
diimpor ke Pulau
Jawa. Hadirnya jenis alat transportasi baru ini mendorong kebijakan Pemerintah Kolonial untuk memperbaiki dan membangun jalan raya
331
termasuk di Pantai Utara Jawa Tengah. Akibatnya jalan raya mulai berkembang kembali menjadi jalur transportasi penting di Jawa. Fungsi jalan raya semakin menguat ketika fungsi transportasi kereta api menurun. Pada tahun 1930-an akibat terjadinya krisis ekonomi dunia berimbas pada menurunnya permintaan produk-produk perkebunan di Hindia Belanda. Kondisi tersebut mengakibatkan produk perkebunan yang semula menjadi produk angkutan andalan berkurang dengan cukup signifikan. Selain itu, volume pergerakan kereta api juga berkurang. Ketika transportasi jalan raya menjadi primadona,
kendaraan
bermotor
mengalami
perkembangan
dan
pertumbuhan. Perkembangan tersebut diikuti dengan perbaikan Jalan Raya
Pantura
antara
lain
dengan
dilakukan
pengerasan
dan
pengaspalan. Kendaraan bermotor yang pada awal abad XX hanya milik golongan sosial tertentu, sejak tahun 1930-an berkembang ditandai dengan munculnya sarana transportasi publik berupa bus dan truk. Penguatan fungsi Jalan Raya Pantura Jawa ditandai juga dengan menguatnya promosi produsen kendaraan bermotor di kota-kota besar di Pulau Jawa termasuk Semarang. Tumbangnya Pemerintah Kolonial Belanda karena pendudukan Jepang berakibat pada menurunnya fungsi Jalan Raya Pantai Utara Jawa Tengah. Kondisi itu berlangsung hingga tahun-tahun awal Revolusi Kemerdekaan. Jalan Raya Pantura Jawa Tengah tersebut menjadi tidak terpelihara dengan baik, sehingga fungsinya sebagai wahana mobilitas barang dan orang menjadi berkurang. Jalan raya
332
lebih banyak difungsikan untuk kepentingan militer dan pengangkutan dalam jarak dekat. Perubahan penting terhadap Jalan Raya Pantura terjadi pada masa Orde Baru. Perubahan itu ditentukan oleh dua hal, yaitu kebijakan transportasi yang terfokus pada jalan raya sebagai jalur utama angkutan darat dan penguatan ekonomi pertanian pangan menggantikan ekonomi perkebunan. Selain jalan-jalan raya konvensional yang menghubungkan antara Pantura dengan pedalaman, Pemerintah membangun jalan-jalan tol dan jalan arteri untuk memecah kemacetan di kota-kota besar dan membuka isolasi wilayah perbatasan kota. Pembangunan jalan tol dan jalan arteri tersebut telah memperluas wilayah jalur Jalan Raya Pantura. Pada kota-kota yang dikembangkan jalan tol dan jalan arteri tersebut ruas Pantura memiliki banyak cabang lintasan. Rute Pantura baru melalui jalan tol dan arteri dibangun di kota-kota besar seperti Jakarta,
Semarang,
dan
Surabaya.
Perubahan
ini
berpengaruh
terhadap terintegrasinya antara kota-kota kecil dengan kota besar. Perkembangan
Jalan
Raya
Pantura
didukung
dengan
pertumbuhan jalan-jalan di wilayah pedalaman. Pertumbuhan jalanjalan penghubung ini terkait dengan kebijakan ekonomi Orde Baru yang berorientasi swassembada pangan. Sejak tahun 1970-an terjadi perubahan pola tanaman di Jawa yang semula menekankan pada tanaman perkebunan berubah menjadi tanaman pangan. Persawahan yang semula dominan menjadi lahan perkebunan tebu berubah total
333
menjadi lahan tanaman padi. Sentra-sentra industri gula mengalami kemerosotan sehingga jaringan kereta api yang terkait dengan industri gula mengalami penurunan total. Akibatnya jaringan kereta api sebagai pengangkut barang hasil perkebunan telah terputus. Sejalan dengan itu migrasi penduduk desa-desa di Jawa menuju kota-kota besar, terutama Jakarta, Semarang dan Surabaya semakin menguat. Seirama dengan itu, Jalan Raya Pantai Utara Jawa menjadi menguat karena menjadi
penghubung
antara
pedalaman
Jawa
Tengah
menuju
Semarang, Jakarta atau Surabaya. Semarang menjadi titik tengah yang menghubungkan transportasi jalan raya dari Surabaya ke Jakarta atau sebaliknya. Sejak itu konsepsi Pantura yang semula dominan milik Jawa Tengah telah berubah menjadi Pantai Utara Jawa atau Pantura dan Pantai Utara Jawa Tengah hanya menjadi bagiannya. Jalan Raya melahirkan tata nilai yang dibangun oleh pemerintah melalui
sejumlah
aturan
yang
dikeluarkan.
Akan
tetapi
dalam
implementasinya di jalan raya menghasilkan tata nilai yang berbeda yang disepakati dan saling dipahami antara
sesama pengemudi dan
atau petugas pengatur lalu lintas. Kesenjangan antara aturan dengan perilaku itu tergantung pada dua hal, yakni semakin padatnya angkutan yang melintas di Jalan Raya Pantura dan longgarnya proses pemberian izin pengemudi hingga pengaturan lalu lintas di jalan raya. Faktor terakhir ini berkaitan dengan perilaku korupsi yang dilakukan aparat keamanan. Pada masa Kolonial Belanda kesenjangan antara aturan dengan perilaku di jalan raya lebih tipis dibandingkan dengan
334
masa pascakemerdekaan. Kesenjangan tersebut semakin melebar pada masa Orde Baru. Pertumbuhan fisik jalan dan kendaraan yang melintas di atasnya telah melahirkan budaya Jalan Raya Pantura. Jalan Raya yang semula didominasi oleh angkutan pribadi pada masa Kolonial Belanda bergeser didominasi oleh angkutan umum dan angkutan barang terutama truk setelah tahun 1970-an. Perubahan ini melahirkan budaya jalan raya yang berubah. Kriminalitas jalan raya yang semula perorangan menjadi kriminalitas yang terorganisasi dalam bentuk premanisme jalan raya. Premanisme jalan ini sebagian besar melibatkan aparat pengatur jalan raya. Korupsi menjadi “tradisi” di arena Jalan Raya Pantura Jawa Tengah sehingga dipahami oleh para pengemudi sebagai hal yang wajar. Tradisi ini berrantai mulai dari mengurus surat perizinan mengemudi hingga pelanggaran di jalan raya. Hubungan antara pengemudi dan aparat melahirkan budaya “tahu sama tahu” yang saling mereka pahami. Tradisi hubungan antara pengemudi dengan petugas lalu lintas dalam bentuk pemberian uang pelicin berkembang sejalan dengan semakin padatnya lalu lintas di Jalan Raya Pantai Utara Jawa Tengah. Kebiasaan para sopir berhenti di tempat-tempat istirahat telah melahirkan kebiasaan minum-minuman keras dan prostitusi. Pemeo yang mengatakan bahwa sopir bermakna “ngaso mampir” (kalau istirahat tinggal sejenak) memiliki makna negatif tentang perilaku sopir angkutan umum yang menggunakan layanan
335
prostitusi
di
tempat-tempat
istirahat
bagi
angkutan
kendaraan
bermotor. Jalan Raya Pantura telah melahirkan “image” masyarakat sebagai wilayah “keganasan” (wild area). Pantura diasosiasikan dengan kepadatan,
kebisingan,
adu
kekerasan, dan hedonisme.
kekuatan
di
jalan,
pembantaian,
Image tersebut muncul sejalan dengan
ketidakseimbangan antara ruas jalan dengan jumlah kendaraan yang melintas di atasnya.