Eco Spatial Behavior Approach Of Settlement Occupancy
145
BAB VI ECO-SPATIAL BEHAVIOR PENGHUNIAN RUMAH SUSUN Uraian bab-bab terdahulu, menyebutkan bahwa indikator ESB penghunian rumah susun, adalah: (1) memiliki sikap dan tindakan yang melestarikan fungsi lingkungan permukiman rumah susun; (2) mampu melakukan coping lingkungan penghunian rumah susun baik dalam bentuk adaptasi atau adjustment; (3) mampu bersikap dan bertindak untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga; dan (4) mampu bersikap dan bertindak untuk bekerja sama dalam institusi sosial kemasyarakatan (berorganisasi). Secara agregat ketercapaian performansi ESB setiap kawasan Blok bangunan adalah Apron = 72.04 %, Boeing = 67.76 %, Conver = 67.00, dan Dakota = 77.58 %. Semua ketercapaian tersebut termasuk dalam kategori performansi sedang (< 39=tidak layak; 40–59 = Rendah; 60–79 = Sedang, dan 80–100 = Tinggi). Hasil pengamatan rinci setiap indikator ESB dapat disajikan sebagai berikut. 6.1. Pelestarian Lingkungan Penilaian terhadap kepedulian pelestarian lingkungan penghuni rusun dilakukan dengan cara menilai sikap dan tindakan pelestarian lingkungan. Penilaian sikap untuk mengetahui perilaku yang tidak nampak penghuni rumah susun dilakukan dengan cara mengukur komponen sikap yaitu kognisi, afeksi dan konasi. Penilaian tindakan untuk mengetahui perilaku nampak penghuni rumah susun melalui pernyataan melakukan tindakan seperti turut memelihara Ketertiban, keamanan, dan ketertiban, turut menghemat sumberdaya hunian rumah susun, dan turut memelihara keindahan lingkungan. Sikap penghuni rumah susun dalam melestarikan lingkungan hunian rumah susun dapat dilihat sejauh mana kepedulian penghuni dalam melestarikan lingkungan hunian rumah susun yang mencakup lingkungan (a) unit rumah susun yang dihuni, (b) benda bersama lingkungan hunian rumah susun, dan (c) kawasan yang menjadi territorial lingkungan hunian rumah susun. Komponen sikap yang dinilai mencakup (a) kognisi, (b) afeksi, dan (c) konasi dari kepedulian penghuni dalam melestarikan lingkungan hunian rumah susun.
146 Bambang Deliyanto
Hasil pengamatan sikap menunjukkan bahwa kepedulian pelestarian terhadap unit rumah susun yang dihuni rata-rata (4.06) lebih tinggi dibandingkan
kepeduliannya
terhadap
benda
bersama
(3.96)
dan
kepeduliannya terhadap kawasan teritori hunian rumah susun (3.24). Dapat dilihat bahwa kepedulian penghuni rumah susun terhadap pelestarian kawasan teritori hunian rumah susun adalah paling rendah (lihat lampiran 6.1). Penilaian afeksi kepedulian pelestarian lingkungan unit rumah susun yang relatif tinggi (4.10) dengan kognisi kepedulian pelestarian lingkungan unit rumah susun lebih rendah (4.02), ternyata bisa meningkatkan konasi kepedulian pelestarian lingkungan unit rumah susun lebih tinggi (4.05) dibandingkan konasi kepedulian pelestarian lingkungan benda bersama (3.95) dan konasi kepedulian pelestarian lingkungan kawasan territorial hunian rumah susun (3.35).
Gambar 6.1 Diagram balok dan boxplot sikap kepedulian pelestarian lingkungan hunian rumah susun Gambar 6.1, baik pada diagram balok maupun boxplot menunjukkan bahwa median sikap kepedulian lingkungan lebih rendah dari tindakannya dalam melestarikan lingkungan, pada boxplot terlihat bahwa median tindakan melestarikan lingkungan lebih tinggi dibandingkan sikapnya, dan garis tebal yang menunjukkan median berada agak ke atas, hal ini menunjukkan bahwa distribusi jawaban responden agak menceng ke atas yang berarti jawaban responden cenderung baik atau tinggi, walaupun ada 2 pencilan pada boxplot tindakan (responden 59 dengan nilai >120 dan responden 85 dengan nilai < 40) dan 1 (satu) pencilan pada Boxplot sikap
Eco Spatial Behavior Approach Of Settlement Occupancy
147
(responden 92 dengan nilai < 20). Ilustrasi ini menggambarkan bahwa walaupun sikap melestarikan lingkungan lebih rendah namun tindakan dalam melestarikan lingkungan bisa lebih tinggi karena adanya anteseden yang menstimulus penghuni seperti adanya aturan dan norma-norma subyektif yang mengharuskan penghuni melestarikan lingkungan (Bab VII Anteseden). Ilustrasi yang digambarkan pada Gambar 2.2 tentang komponen sikap yang menyatu dalam kontinum evaluatif (Bab 2) dapat juga menjelaskan bahwa selain anteseden, kognisi dan afeksi kepedulian lingkungan saling berinteraksi mempengaruhi tindakan penghuni dalam melestarikan lingkungan. Diagram balok pada Gambar 6.1 juga menunjukkan bahwa penghuni lebih memprioritaskan pelestarian lingkungan unit rumah susun yang dihuni dibandingkan pelestarian benda bersama maupun kawasan territorial hunian rumah susun atau dengan kata lain semakin jauh dari tempat yang dihuni langsung semakin kurang rasa tanggung jawab maupun kepedulian pelestariannya. Walaupun afeksi pelestarian lingkungan kawasan paling rendah (3.12), namun dengan adanya aturan penghunian yang telah ditetapkan oleh perhimpunan penghuni maka konasi penghuni terhadap pelestarian kawasan (3.35) masih dapat ditingkatkan (lampiran 6.1). Sama halnya dengan sikap
penghuni
rumah
susun dalam melestarikan lingkung-an,
perilaku
nampak peng-huni berupa tindakan
pelestarian
lingkungan
pun
memperhatikan Gambar 6.2 Tindakan pelestarian lingkungan hunian rumah
tarian
lingkungan
lebih pelesunit
rumah susun yang dihuni
dibandingkan area yang tidak dihuni langsung seperti benda bersama dan lingkungannya. Dari lima macam tindakan, semua nilai tertinggi adalah untuk pemeliharaan unit rumah susun (turut memelihara ketertiban = 4.76; memelihara keamanan = 4.73, memelihara kerukunan = 4.70; turut menghemat
sumberdaya hunian rumah susun = 4.83, dan turut
memelihara keindahan lingkungan 4.72) dibandingkan dengan tindakan
148 Bambang Deliyanto
pelestarian benda bersama (mean = 4.42) dan tindakan pelestarian kawasan (mean = 3.93) (Lampiran 6.2 dan gambar 6.2). Hal ini menunjukkan bahwa penghuni lebih merasa bertanggung jawab terhadap unit rumah susun yang dimiliki dan dimanfaatkan langsung dibandingkan dengan benda atau kawasan yang dimiliki secara bersama-sama, walaupun demikian penghuni tetap merasa harus menjaga ketertiban, keamanan, dan kerukunan terhadap benda maupun kawasan bersama. 6.2. Tindak Penyesuaian Diri (Coping) Terhadap Lingkungan Seperti diuraikan pada Bab 2, coping lingkungan adalah upaya tindak penyesuaian diri manusia dalam berinteraksi dengan sistem lingkungan hidup manusia, baik itu lingkungan sosial, lingkungan alami, maupun lingkungan buatan, dalam bentuk adaptasi dan adjustment fisik maupun adaptasi secara mental. Oleh karena itu penilaian coping lingkungan yang diaplikasikan pada kegiatan penghunian rumah susun adalah coping dalam bentuk adaptasi, adjustment dan coping mental. Hasil pengamatan coping secara mental menunjukkan bahwa upaya tindak penyesuaian diri melalui kesediaan taat akan peraturan penghunian yang ada cukup tinggi yaitu 4.37 dari skala 5, dan bersedia melakukan tolong menolong terhadap tetangga juga cukup tinggi yaitu 4.38. Namun secara mental kesediaan menerima apa adanya akan kondisi unit rumah susun yang dihuni relativ lebih rendah (3.52) dibandingkan kedua coping mental tersebut di atas.
Gambar 6.3 Diagram balok dan boxplot coping mental penghunian rumah susun
Eco Spatial Behavior Approach Of Settlement Occupancy
149
Gambar 6.3 boxplot menunjukkan bahwa median coping mental juga terendah (<12), coping mental mempunyai 2 pencilan (responden 42, 89) yang nilainya di bawah 6 dan 3 pencilan (responden 70, 77, dan 92) yang nilainya di bawah 4. Kondisi ini menunjukkan bahwa ada 5 atau kurang dari 5%
penghuni
yang
mengalami
kesulitan
dalam
coping
mental,
kemungkinan ini disebabkan oleh belum siapnya penghuni untuk tinggal di hunian susun yang sangat berbeda dengan kehidupan di hunian horizontal atau hunian non vertikal. Walaupun mereka sudah tinggal cukup lama (69.5% di atas 5 tahun) coping mental terhadap fisik bangunan membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan coping mental secara sosial (Lampiran 6.3 dan Gambar 6.3). Coping sosial atau adaptasi sosial penghuni rumah susun yang termasuk golongan ekonomi menengah ini, menurut Wirotomo (1993) lebih tinggi dibandingkan gol ekonomi lemah yang tinggal di rumah susun sewa sederhana. Temuan ini bisa menjelaskan mengapa mayoritas responden menyatakan betah (49,5%) dan sangat betah (36,2%), dengan mayoritas kekerabatan baik (60%), partisipasi masyarakat cukup baik 38,1% dan baik 28,6%, serta toleransi secara sosial yang baik (62,9%) seperti yang telah diuraikan pada Bab 5. Hasil pengamatan coping tindakan dalam bentuk adaptasi dan adjustment menunjukkan bahwa penghuni rumah susun cenderung lebih bisa beradaptasi (penyesuaian diri) terhadap seting spasial rumah susun tanpa melakukan perubahan (mean adaptasi = 4.25) dibandingkan adjustment atau upaya merubah seting spasial sesuai kebutuhan penghuni (mean adjustment = 2.95). Seperti halnya pada pelestarian lingkungan, coping
tindakan
dalam
bentuk
adjustment,
penghuni
juga
lebih
memperhatikan adjustment untuk unit rumah susun yang dihuni (3.31) dibandingkan dengan adjustment benda bersama (2.95) dan adjustment kawasan territorial hunian rumah susun (2.58). Bentuk adjustment penghuni terhadap unit satuan rumah susun adalah lebih pada penataan interior, pengecatan dinding dan plafon serta penambahan lantai keramik karena kondisi eksisting atau seting awal unit satuan rumah susun adalah berlantaikan semen. Adjustment dalam bentuk lain seperti membongkar dinding atau menambah kamar tidak dimungkinkan karena alasan struktur dan luas bangunan unit satuan rumah susun relativ sempit sehingga peluang
150 Bambang Deliyanto
penghuni menata unit satuan rumah susun yang dihuni hanyalah melalui penataan interior (Gambar 6.4) khususnya unit satuan rumah susun yang terletak di lantai 1, 2, dan lantai 3 (Gambar 6.4 a, b, c, dan d). Tetapi untuk lantai 5 masih memungkinkan menata bagian bawah atap (loteng) menjadi ruangan untuk aktifitas istirahat, karena masih mempunyai ketinggian tertinggi 2,5 m sehingga memungkinkan adanya kegiatan di loteng tersebut, seperti ditemukan pada beberapa responden yang tinggal di tipe T18 Dakota (Gambar 6.4, gambar e dan f).
a
b
c
d
e
f
Gambar 6.4 Bentuk coping tindakan adjustment terhadap unit rumah susun yang dihuni Keterangan Gambar 6.4: Gambar a, b, c dan d: Bentuk coping adjustment dalam menata interior unit rumah susun dengan cara memilih ukuran perabot yang kecil, memperbaiki kualitas lantai dengan keramik dan pengecatan ruang dalam sesuai dengan selera penghuni. Gambar e dan f
:
Bentuk coping penghuni di lantai 5 yang memanfaatkan ruang atap/loteng sebagai tambahan ruang tidur, dengan konstruksi lantai dari kayu/multipleks.
Eco Spatial Behavior Approach Of Settlement Occupancy
Perbandingan
coping
tindakan
adaptasi
dan
coping
151
tindakan
adjustment penghuni rumah susun terhadap unit rumah susun, benda bersama dan kawasan territorial hunian rumah susun dapat dilihat pada Gambar 6.5 dan Lampiran 6 Tabel 6.4, yang menunjukkan bahwa adaptasi terhadap unit rumah susun
(4.20)
besar
dibandingkan
adjustment unit
lebih
terhadap
rumah
(3.31),
susun
begitu
adaptasi
juga
terhadap
benda bersama (4.21) juga Gambar 6.5 Coping tindakan penghunian rumah susun
lebih
besar
dibandingkan dengan adjustment
terhadap
benda bersama (2.95). Hal yang sama juga terjadi pada adaptasi terhadap kawasan territorial (4.34) lebih besar dibandingkan dengan adjustment terhadap kawasan territorial (2.58). Hal ini dapat disimpulkan bahwa semakin publik
bersifat suatu
seting
spasial semakin tinggi tingkat
penerimaan
(adaptasi) sedangkan
nya, semakin
bersifat privat suatu seting spasial semakin tinggi semakin tinggi Gambar 6.6 Coping tindakan berdasarkan sifat ruang
tingkat adjustment nya (Gambar 6.6).
6.3. Motivasi Kesejahteraan Motivasi menurut Gardner (1985) dalam Parrera (1993) adalah penggabungan antara keinginan untuk mencapai sesuatu tujuan ditambah usaha dan mempunyai sikap positif terhadap tujuan yang hendak dicapai atau Motivasi = f (keinginan, usaha, sikap positif). Dalam Bab Metodologi,
152 Bambang Deliyanto
tujuan yang hendak dicapai adalah kesejahteraan yang mempunyai komponen (1) peningkatan kualitas unit rumah susun yang dihuni; (2) peningkatan penghasilan (3) kesehatan lingkungan (4) pengetahuan penghunian; dan (5) pemanfaatan waktu luang untuk kesenangan atau rekreasi (leisure). Hasil
pengamatan
motivasi
penghuni
dalam
meningkatkan
kesejahteraan penghunian rumah susun menunjukkan bahwa keinginan penghuni untuk meningkatkan kesejahteraan cukup tinggi yaitu sikap posistif penghuni terhadap tujuan peningkatan kesejahteraan yang mempunyai nilai antara 4.45 sampai dengan 4.56 pada skala 5.00 diikuti oleh keinginan dengan nilai 4.10 sampai dengan 4.24. Walaupun sikap positif dan keinginan untuk mencapai tujuan peningkatan kesejahteraan penghuni rumah susun, ternyata upaya atau usahanya untuk mencapai tujuan tersebut tidak setinggi sikap positif dan keinginannya (nilai usaha antara 3.80 – 3.92), karena setiap usaha untuk pencapaian tujuan tersebut membutuhkan pengelolaan tenaga, pikiran, modal dan waktu sehingga hasil dari usaha selalu di bawah dari nilai keinginan dan sikap positif. Keinginan dan sikap positif ini tinggi dimungkinkan karena lokasi penghunian rumah susun mereka terletak di pusat-pusat kegiatan bisnis seperti Jakarta Fair, pusat informasi perdagangan internasional, mall dan sebagainya, di samping itu lokasi penghunian mereka juga dilengkapi dengan ruang terbuka hijau (RTH) dan fasilitas penghunian lain, sehingga peluang untuk meningkatkan kesejahteraan cukup tinggi. Secara rinci keinginan, sikap positif dan upaya atau usaha untuk mencapai setiap komponen kesejahteraan dapat dilihat pada Gambar 6.7.
Gambar 6.7 Motivasi kesejahteraan penghuni rumah susun
Eco Spatial Behavior Approach Of Settlement Occupancy
153
Upaya atau bentuk usaha untuk meningkatkan kesejahteraan penghunian rumah susun antara lain pengecatan, penggantian lantai, perbaikan plafond dan lainnya untuk memelihara atau meningkatkan kualitas unit rumah susun yang dihuni. Usaha yang paling sering dilakukan untuk peningkatan kualitas unit rumah susun adalah pengecatan interior hunian (3.46), dan yang paling rendah adalah perbaikan plafond. Usaha untuk meningkatkan penghasilan adalah berdagang, pelayanan jasa, dan berjualan pada event-event khusus seperti 17 Agustusan, lebaran, HUT DKI dan lainnya. Usaha untuk menjaga kesehatan lingkungan dilakukan dalam bentuk kerja bakti yang sering dilakukan (3.50) dan menjaga kesegaran ruangan (4.57) dengan membuka jendela agar udara segar masuk ruangan melalui cross ventilasi. Usaha untuk meningkatkan pengetahuan dilakukan melalui diskusi atau tukar pengalaman untuk meningkatkan kenyamanan tinggal di rumah susun. Usaha untuk meningkatkan leisure dilakukan dengan memanfaatkan fasilitas rumah susun seperti ruang terbuka hijau untuk bermain, berolah raga atau berekreasi. Terlihat bahwa usaha meningkatkan kesejahteraan melalui peningkatan penghasilan adalah yang terkecil (Tabel 6.1). Tabel 6.1 Bentuk usaha dalam meningkatkan kesejahteraan penghunian Komponen Tindakan Pengecatan Penggantian lantai Perbaikan plafond Perbaikan lainnya Berdagang Pelayanan jasa Berjualan di event2 khusus Kerja Bakti Lingkungan Menjaga kesegaran udara ruangan melalui cross ventilasi Update pengetahuan Pemanfaatan fasilitas rusun untuk bermain dan berekreasi Pemanfaatan fasilitas rusun kesenangan lain Rata-rata
Meningkatkan kesejahteraan penghunian rumah susun Kua. Pengha- Kesehatan Pengeta- Leisure Unit RS silan Lingk huan 3.46 2.34 2.06 3.30 1.99 1.75 1.51 3.50 -
Total 3.46 2.34 2.06 3.30 1.99 1.75 1.51 3.50
-
-
4.57
-
-
4.57
-
-
-
3.31
.-
3.31
-
-
-
-
3.26
3.26
-
-
-
-
1.30
1.30
2.79
1.75
4.04
3.31
2.28
2.83
154 Bambang Deliyanto
6.4. Keaktifan Berorganisasi Salah satu indikator apakah penghuni rumah susun berperilaku ESB adalah apakah penghuni tersebut mempunyai sikap dan tindakan untuk bekerja
sama
dalam
institusi
sosial
kemasyarakatan seperti keikutsertaannya mereka dalam Perhimpunan Penghuni Susun
Rumah Kemayoran
(PPRSK) yang harus diikuti penghuni dalam mengelola
property
hunian rumah susun, Gambar 6.8 Sikap dan tindakan penghuni rumah susun dalam berorganisasi
keikutsertaannya dalam lembaga
sosial
yang
ada di rumah susun Kemayoran (LSRSK) seperti arisan warga, pengajian, karang taruna, perkumpulan olah raga maupun perkumpulan lainnya, dan keikutsertaannya dalam lembaga sosial yang ada di luar rumah susun Kemayoran (non LSRSK) seperti perkumpulan hobby yang tersedia di luar hunian rumah susun. Sikap dan tindakan untuk bekerja sama dalam institusi sosial kemasyarakatan ini sebagai salah satu indikator penghuni rumah susun berperilaku ESB adalah sebagai upaya untuk beradaptasi atau mengurangi dampak
sosial
seting
spasial
permukiman
rumah
susun
secara
kelembagaan. Hasil pengamatan terhadap sikap dan tindakan penghuni dalam berorganisasi menunjukkan bahwa sikap penghuni rumah susun KBBK dalam berorganisasi dapat dikategorikan rendah (skor < 3 dari skala 5) baik untuk sikapnya terhadap PPRSK (skor = 2.41), LSRSK (skor = 2.78), maupun sikapnya terhadap non LSRSK (skor = 2.42). Rendahnya sikap ini ditelusuri lebih lanjut ternyata 63.8% penghuni rumah susun menyatakan tidak setuju bahwa kesadaran lingkungan penghuni dapat ditunjukkan melalui kesediaan penghuni ikut aktif dalam organisasi penghuni PPRSK, walaupun 42.9% penghuni menyatakan kesediaannya mengikuti LSRSK sebagai perkumpulan sosial. Hal ini menunjukkan bahwa
Eco Spatial Behavior Approach Of Settlement Occupancy
kewajiban
penghuni
berhimpun
dalam
PPRSK
belum
155
dirasakan
manfaatnya, mereka masih menganggap bahwa PPRSK sama dengan kelembagaan administratif setingkat RW (Ketua RW merangkap Ketua PPRSK) padahal tugas dan kewajiban kedua lembaga tersebut berbeda, lembaga RW lebih fokus pada administrasi kependudukan sementara lembaga PPRSK di desain untuk mengelola property kawasan hunian yang mencakup benda-benda bersama hunian rumah susun (UURS Th 1985), oleh karena itulah pengelolaan property hunian rumah susun menjadi kurang optimal dan kelembagaan PPRSK dianggap sama dengan lembaga RW. Walaupun sikap berorganisasi penghuni rumah susun dikategorikan rendah akibat ketidaktepatan penerapan kelembagaan PPRSK dan kelembagaan RW, ternyata tindakan yang nampak dari perilaku/kesediaan penghuni rumah susun dalam berorganisasi dapat dikategorikan sedang (mempunyai skor mendekati 3 atau lebih). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat keikutsertaan penghuni dalam berorganisasi adalah sedang, terutama keikutsertaan dalam LSRSK seperti kelompok arisan, pengajian, atau perkumpulan olah raga di KBBK yang mencapai skor 3.625, keikutsertaan PPRSK yang mencapai skor 3.075, dan yang paling rendah adalah keikutsertaan non LSRSK yang mencapai skor 2.90. Kewajiban penghuni bergabung dalam PPRSK mencapai tingkat partisipasi 3.075 atau 72.5% dari skor 5.00 dikarenakan hanya tinggal 56.2% penghuni yang wajib bergabung dalam PPRSK sebagai penghuni pertama rumah susun di KBBK, sisanya adalah penghuni dengan status kontrak yang tidak merasa wajib bergabung dalam PPRSK, tetapi masih bersedia mengikuti LSRSK yang sekaligus dimanfaatkan sebagai tempat bersosialisasi dengan warga lainnya. Gambaran tersebut di atas menunjukkan bahwa communal dweling masih terlihat di kehidupan rumah susun KBBK seperti kehidupan di rumah gadang (Minangkabau) dan rumah bentang (Dayak), tidak seperti yang dikemukakan oleh Achir (1993) yang menyatakan bahwa “rumah susun mewah
sebagai ruangan antara dinding-dinding
yang
mengisolasi
manusia”. Kondisi ini dimungkinkan karena mereka termasuk gol ekonomi menengah ke bawah yang proses adaptasi sosial cenderung melalui
156 Bambang Deliyanto
interaksi sosial. Di bawah ini digambarkan seting spasial yang banyak digunakan dalam berinteraksi sosial atau berkumpul dan berorganisasi.
a
b
c
d
e
f
Gambar 6.9 Seting spasial hunian rumah susun di KBBK terkait dengan tempat-tempat berorganisasi Keterangan Gambar: a. Halaman lantai dasar Apron yang diseting sebagai tempat berkumpul organisasi kelompok catur. b. Dua unit rumah susun yang terletak di lantai dasar dimanfaatkan sebagai kantor RW yang sedang menampung kegiatan kelompok pengajian. c. Unit rumah susun yang terletak di lantai dasar dimanfaatkan sebagai ruang serbaguna yang sedang berfungsi sebagai rumah duka bagi penghuni rumah susun yang meninggal dunia. d. Selasar Blok rumah susun Dakota dapat dimanfaatkan sebagai tempat bersosialisasi warga yang berada dalam satu lantai seperti pengajian dan arisan. e. Sebagian halaman parkir yang dimanfaatkan sebagai Masjid sekitar Blok rumah susun. f. Dua unit rumah susun yang terletak di lantai dasar dimanfaatkan sebagai kantor RW.
Eco Spatial Behavior Approach Of Settlement Occupancy
157
6.5. Analisis Keterkaitan Karakteristik Penghuni Rumah Susun Terhadap ESB Akumulasi penilaian keempat komponen sikap indikator ESB (covert) tersebut di atas dapat digambarkan bahwa komponen motivasi untuk peningkatan kualitas lingkungan permukiman yang dihuni mempunyai skor yang tertinggi (4,18 pada
skala
5)
seperti merawat rumah, meningkatkan kesejahteraan, meningkatkan pengetahuan penghunian dan memanfaatkan fasilitas lingkungan untuk
aktivitas
leisure. Skor yang Gambar 6.10 Sikap dan tindakan penghuni rumah susun dalam berperilaku ESB
terendah adalah
(2,54) komponen
kesadaran
dalam
berorganisasi, seperti kemauan ikut dan aktif baik perhimpunan penghuni rumah susun Kemayoran (PPRSK) maupun kelompok-kelompok kegiatan sosial seperti pengajian, arisan dan lain-lain. Gambaran komponen tindakan ESB (overt) yang memperoleh skor yang tertinggi (4,4) adalah tindakan pelestarian lingkungan, seperti: tindakan menjaga ketertiban, menjaga
keamanan
lingkungan,
kerukunan
warga
merawat
dan
memanfaatkan benda dan enerji secara efisien., dan yang mendapat skor yang terendah (1,27) adalah sama dengan komponen sikap ESB yaitu keaktifan dan keikutsertaan dalam berorganisasi (Gambar 6.10). Atribut karakteristik yang ingin dilihat keterkaitan atau hubungannya dengan ESB adalah: (1) Tipe Bangunan Hunian; (2) Kesejahteraan penghuni; (3) Pendidikan penghuni; (4) Persepsinya terhadap ekosistem; (5) Penghasilan penghuni; (5) Fungsi seting hunian; (6) performansi teknis bangunan hunian; (7) persepsi spasial; (8) persepsi sosial; dan (9) lama tinggal.
158 Bambang Deliyanto
Data yang dianalisis hubungan kedekatannya dengan atribut penghunian rumah susun berbasis pada seting spasial (tipe unit rumah susun) seperti dalam Tabel 6.2. Tabel 6.2. Tipe unit rumah susun berdasarkan atribut penghunian ATRIBUTPENGHUNIANRUSUN Tipe T-18 T-21 T-36 T-42
Persepsi Penghunian
ESB 307.56 282.88 276.44 279.00
Karateristik Penghuni
Sejahtera
Sosial
Ekosistem
Spatial
Teknis
Fungsi
Lamting
Pendi
Penghsl
8.11 8.44 7.81 10.00
15.78 15.28 14.48 11.00
6.56 6.63 6.74 6.00
24.17 24.81 23.7 22.00
20.5 21.38 22.13 20.00
19.89 21.59 21.19 20.00
15.28 8.35 7.52 2.00
3.94 2.68 4 5.00
1.83 3.9 1.87 2.00
Data tersebut di atas, dianalisis dengan metode Biplot untuk mengetahui keterkaitan atribut penghunian rumah susun yang mencakup ESB, persepsi penghunian, dan karakteristik penghuni berdasarkan tipe hunian rumah susun yang dihuni. Hasil analisis keterkaitan atau kedekatan antar atribut terhadap tipe rumah susun yang dihuni seperti yang disajikan pada Gambar 6.11.
Gambar 6.11 Biplot Penghunian Rumah susun di KBBK
Hasil analisis menunjukkan adanya kedekatan jarak antar atribut persepsi penghunian yang ditunjukkan menggerombolnya atribut persepsi penghunian seperti persepsi keindahan lingkungan/ekosistem,
Eco Spatial Behavior Approach Of Settlement Occupancy
159
persepsi fungsi hunian, persepsi performansi teknis, persepsi sosial, dan persepsi terhadap seting spasial rumah susun. Kedekatan jarak ini menggambarkan kemiripan dan adanya hubungan antar atribut tersebut. Gerombol atribut persepsi penghunian penghuni T21 dan T36 mempunyai kedekatan atau kemiripan karakteristik kondisi ekosistem, fungsional seting hunian, seting spasial, dan persepsi sosial. Karena terletak pada kuadran yang berbeda persepsi penghuni rumah susun lainnya atau yang tinggal di tipe T18 dan T42 memiliki karakteristik yang berbeda dengan persepsi penghuni rumah susun T21 dan T36. Kedekatan T18 dengan atribut ESB, menunjukkan bahwa penghuni rumah susun T18 lebih berperilaku ESB dibandingkan penghuni rumah susun tipe lainnya, hal ini disebabkan karena seting spasial T18 walaupun mempunyai luas yang terkecil namun mempunyai teras bersama yang lebih luas dan berfungsi sebagai ruang publik sekelompok hunian yang terletak pada satu lantai yang sama sehingga dapat menstimulus penghuninya untuk saling berkomunikasi dan beraktivitas sehari-hari sesuai fungsi suatu hunian, yang pada akhirnya dapat mendorong penghuni berperilaku ESB. Walaupun demikian tidak berarti bahwa semua tipe kecil (T18) akan relevan dengan ESB, relevansi ESB dengan rumah tipe kecil akan terlihat bila didukung dengan seting spasial yang memadai. Karakteristik
penghuni T42
lebih
sejahtera
dan
mayoritas
pendidikan penghuninya lebih tinggi dibandingkan dengan penghuni rumah susun tipe lainnya. Nilai keragaman ESB di rumah susun KBBK cukup tinggi dibandingkan nilai keragaman ekosistem, fungsi hunian, performansi teknis rumah susun, dan persepsi spasial yang mempunyai keragaman yang kecil, hal ini dapat diketahui hampir seragamnya jawaban penghuni tentang persepsi spasial. Nilai keragaman ini ditunjukkan oleh panjang pendeknya atribut vektor, semakin pendek panjang vektor semakin kecil keragamannya . Hubungan antar atribut atau peubah bisa ditunjukkan melalui sudut yang terbentuk, jika sudut yang terbentuk < 900 maka korelasi bersifat positif, sebaliknya jika sudut yang terbentuk > 900 maka korelasi
160 Bambang Deliyanto
bersifat negatif. Hasil analisis menunjukkan bahwa ESB mempunyai korelasi positif dengan lama tinggal, interaksi sosial, seting spasial, dan pendidikan.