BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil yang didapatkan dalam penelitian, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Penurunan kadar asam urat darah pada mencit akan menurunkan Glomerular Injury Score. 2. Penurunan kadar asam urat darah pada mencit akan menurunkan Arteriolar Injury Score. 3. Penurunan kadar asam urat darah pada mencit akan menurunkan ekspresi mRNA gen MCP-1 di ginjal. 4. Penurunan kadar asam urat darah pada mencit akan meningkatkan ekspresi mRNA gen eNOS di ginjal. 5. Penurunan kadar asam urat darah pada mencit akan menurunkan polarisasi makrofag di ginjal ke arah M1 yang dinilai dengan rasio M1/M2.
B. Saran Saran yang diberikan dalam penelitian ini, yaitu: 1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan kombinasi antibodi yang lebih spesifik dan teknik double staining untuk menilai polarisasi makrofag. 2. Perlu penelitian lanjutan dengan durasi pemberian alopurinol yang lebih lama untuk menilai proses penyembuhan kerusakan ginjal.
78
79
3. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk menilai efek asam urat terhadap organ lain.
C. Ringkasan 1. Latar belakang Prevalensi hiperurisemia pada populasi manusia cukup tinggi. Studi di Amerika tahun 2011 menunjukkan bahwa prevalensi hiperurisemia sebesar 21,2% pada pria dan 21,6% pada wanita (Zhu et al., 2011). Data tahun 2012 pada populasi Jepang menunjukkan prevalensi kejadian hiperurisemia sebesar 30% pada pria (Hakoda, 2012). Suatu studi meta analisis di Cina tahun 2011 menunjukkan prevalensi hiperurisemia sebesar 21,6% pada pria dan 8,6% pada wanita (Liu et al., 2011). Penelitian yang dilakukan Darmawan et al. (1992) di Bandungan, Jawa Tengah terhadap 4.683 sampel berusia antara 15 – 45 tahun menunjukkan prevalensi hiperurisemia pada laki-laki sebesar 24,3% dan pada wanita 11,7%. Kurniari et al. (2011) melakukan studi di Bali, menemukan prevalensi hiperurisemia sebesar 21% pada pria dan 7% pada wanita. Data prevalensi hiperurisemia pada populasi Indonesia secara umum belum diketahui. Selama bertahun-tahun, hiperurisemia dianggap sebagai penyebab gout saja, akan tetapi sekarang diketahui bahwa asam urat berhubungan dengan berbagai penyakit metabolik dan kelainan hemodinamik (Billiet et al., 2014). Peningkatan kadar asam urat serum memiliki peran penting dalam menyebabkan resistensi insulin dan hipertensi, yang berkontribusi terhadap timbulnya sindrom kardirenal metabolik, penyakit kardiovaskuler yang berkaitan dan penyakit ginjal kronik.
80
Peningkatan kadar asam urat serum berkontribusi terhadap gangguan produksi nitrit oksida / disfungsi endotel, peningkatan kekakuan pembuluh darah, aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron, peningkatan stres oksidatif, dan respon sistem imun dan inflamasi yang maladaptif. Abnormalitas tersebut akan mendorong fibrosis pada jaringan vaskuler, jantung, dan ginjal beserta abnormalitas fungsional yang berkaitan (Chaudhary et al., 2013). Alopurinol, suatu inhibitor xanthine oxidase, merupakan obat yang secara konvensional digunakan untuk menurunkan sintesis asam urat dalam tubuh. Hambatan alopurinol terhadap xanthine oxidase menunjukkan efek anti inflamasi pada penyakit aterosklerosis, gagal jantung kongestif, dan acute lung injury. Selain itu, penelitian menunjukkan kerusakan ginjal yang diakibatkan oleh peningkatan kadar asam urat serum dapat dicegah dengan menggunakan alopurinol (Kim et al., 2014). Penelitian Pan et al. (2015) menunjukkan makrofag memiliki peran penting dalam timbulnya renal fibrosis. Penelitian ini menggunakan model mencit UUO (unilateral ureteral obstruction) mendapatkan hasil bahwa terjadi infiltrasi makrofag subtipe M1 di ginjal setelah terjadi cedera akut pada ginjal. Seiring dengan perjalanan cedera ginjal, makrofag mengalami polarisasi ke subtipe M2. Saat ini belum banyak penelitian yang mengkaji pengaruh kadar asam urat mencit terhadap polarisasi makrofag ke arah M1 atau M2. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk mengkaji pengaruh penurunan kadar asam urat darah terhadap kerusakan ginjal mencit model hiperurisemia, dengan menilai Glomerular Injury Score (GIS), Arteriolar Injury Score (AIS), ekspresi gen
81
monocyte chemoattractant protein-1 (MCP-1), ekspresi gen endothelial nitric oxide synthase (eNOS), dan polarisasi makrofag ( rasio makrofag M1/M2).
2. Tinjauan Pustaka Asam urat adalah produk akhir metabolisme purin pada manusia dan primata yang lebih tinggi. Sebagian besar mamalia lain, kecuali anjing Dalmatian, dapat mendegradasi asam urat lebih lanjut menjadi allantoin dengan enzim uricase. Namun, pada manusia dan primata yang lebih tinggi, mutasi pada gen uricase terjadi selama evolusi dan, membuat enzim tersebut nonfungsional, mengakibatkan kadar serum asam urat yang lebih tinggi dibandingkan mamalia lainnya (So dan Thorens, 2010). Nilai normal asam urat dalam darah manusia adalah 1,5-6,0 mg/dL pada wanita dan 2,5-7,0 mg/dL pada pria. (Jin et al., 2012). Hiperurisemia adalah penyebab gout dan urolithiasis karena pembentukan dan deposisi kristal monosodium urat. Hiperurisemia merupakan temuan umum di penyakit ginjal kronis karena penurunan klirens asam urat (Filiopoulos et al., 2012). Selama dua dekade terakhir, bukti-bukti yang terkumpul telah menunjukkan peran asam urat sebagai penyebab atau mendorong progesi penyakit kardiovaskular dan penyakit ginjal kronis (Gustafsson dan Unwin, 2013). Alopurinol
dan
metabolit
utamanya,
oxypurinol
(alloxanthine),
menghambat xanthine oxidase dan mengurangi produksi asam urat dari hypoxanthine dan xanthine (Patcher et al., 2006). Alopurinol menghambat xanthine oxidase secara kompetitif pada konsentrasi rendah dan merupakan inhibitor nonkompetitif pada konsentrasi tinggi (Brunton et al., 2011).
82
Setelah tahun 2001, ketika model tikus hiperurisemia dikembangkan dengan menggunakan oxonic acid (OA) dan sampai saat ini, telah dikumpulkan bukti-bukti eksperimental bahwa hiperurisemia menyebabkan cedera ginjal, yang dapat dicegah dengan menurunkan kadar serum asam urat dengan inhibitor xanthine oxydase (XO) seperti alopurinol. Studi pertama yang menggunakan model tikus hiperuricemia yang diinduksi OA menunjukkan bahwa hiperurisemia menginduksi hipertensi sistemik serta cedera ginjal iskemik dengan deposisi kolagen, infiltrasi makrofag, dan peningkatan ekspresi tubular osteopontin yang didokumentasikan melalui pewarnaan imunohistokimia. Ginjal tikus tersebut tanpa kristal urat dan normal dengan mikroskop cahaya. Tekanan darah diturunkan dengan menurunkan kadar serum asam dengan alopurinol. Tikus hiperurisemia juga menunjukkan peningkatan renin pada aparatus jukstaglomerular dan penurunan neuronal nitric oxide synthase (nNOS) pada makula densa (Mazzali et al., 2001). Studi lain menunjukkan bahwa hiperurisemia menginduksi arteriolopathy dari arteriol aferen dengan mekanisme blood pressure-independent. Dalam penelitian ini, tikus hiperurisemia yang diberi makan OA menunjukkan hipertensi dan penebalan arteriol aferen. Alopurinol mencegah hiperurisemia, hipertensi, dan arteriolopathy. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa arteriolopathy dimediasi oleh efek langsung dari asam urat pada proliferasi sel otot polos pembuluh darah dengan aktivasi RAS (Mazzali et al., 2002). Dalam model tikus lain dengan asupan oral adenin menunjukkan hiperurisemia. Tikus yang diberi adenin juga menunjukkan peningkatan inflamasi ginjal (TNF-α), fibrosis (TGF-β), dan marker oksidatif (HO-1), bersama dengan
83
gambaran patologis fibrosis ginjal. Menurunkan kadar asam urat dengan alopurinol menurunkan kerusakan ginjal, menunjukkan bahwa asam urat memainkan peran utama dalam patogenesis fibrosis ginjal (Diwan et al., 2013). Hiperurisemia juga memberikan kontribusi untuk progresi kerusakan ginjal pada hewan model penyakit ginjal kronis. Pada model 5/6 nefrektomi ginjal, tikus 5/6 nefrektomi yang diberi makan OA menunjukkan gagal ginjal, proteinuria, dan temuan histologis (penebalan arteri preglomerular, glomerulosklerosis, dan fibrosis interstisial) yang lebih parah bila dibandingkan dengan tikus 5/6 nefrektomi tanpa hiperurisemia. Alopurinol mengurangi kadar serum asam urat dan mencegah perubahan fungsional dan histologis pada tikus 5/6 nefrektomi yang diberi makan OA. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa hiperurisemia mempercepat kerusakan ginjal dengan meningkatkan ekspresi renin di korteks ginjal dan ekspresi cyclooxygenase-2 (COX-2) dalam arteriol aferen (Kang et al., 2002). Dalam model tikus hiperurisemia yang diinduksi OA, hiperurisemia menyebabkan stres oksidatif intrarenal, peningkatan ekspresi subunit NOX-4 dari NADPH oksidase ginjal dan angiotensin II, dan penurunan bioavailabilitas nitric oxide (NO). Tikus hiperurisemia juga menunjukkan hipertensi sistemik, vasokonstriksi ginjal, dan arteriolopathy. (Sánchez-Lozada et al., 2008). Dalam studi lain, tikus hiperurisemia yang diinduksi OA menunjukkan penurunan metabolit NO di urin (NO2-/NO3-), hipertensi sistemik, vasokonstriksi ginjal, dan arteriolopathy preglomerular, menunjukkan peran disfungsi endotel sebagai mediator cedera ginjal yang disebabkan oleh hiperurisemia (Sánchez-Lozada et al., 2007). Sebuah studi melaporkan bahwa disfungsi endotel yang diinduksi asam urat
84
dikaitkan dengan perubahan mitokondria dan penurunan konsentrasi ATP intraseluler (Sánchez-Lozada, et al. 2012). Asam urat menginduksi respon inflamasi. Respon inflamasi yang diinduksi hiperurisemia menimbulkan cedera ginjal melalui perubahan sel pembuluh darah dan tubular ginjal. Asam urat memiliki kemampuan untuk menginduksi monocyte chemoattractant protein 1 (MCP-1) dalam sel otot polos pembuluh darah, yang menunjukkan bahwa asam urat mungkin memiliki peran dalam perubahan vaskular yang terkait dengan hipertensi dan penyakit vaskular (Kanellis et al., 2003). Asam urat juga berkontribusi terhadap kerusakan ginjal melalui proliferasi sel vaskular yang disebabkan oleh aktivasi cyclooxigenase 2 (COX-2) dan peningkatan ekspresi C-reactive protein (CRP). Asam urat telah diketahui dapat menghambat proliferasi sel tubulus proksimal ginjal melalui aktivasi NF-kB dan fosfolipase A2 sitoplasma (Kim et al., 2014). Makrofag adalah sel efektor jaringan yang berasal dari monosit dari sel induk hematopoietik di sumsum tulang. Makrofag merupakan sel fagosit profesional. Makrofag mengekspresikan scavenger receptor yang bertanggung jawab untuk mengikat sel apoptotik dan nekrotik, debris sel dan patogen yang teropsonisasi (Murray dan Wynn, 2011). Setelah perekrutan ke jaringan yang cedera, monosit dapat berdiferensiasi menjadi subtipe makrofag yang berbeda di bawah pengaruh lingkungan mikro lokal. Fenotipe makrofag dapat secara luas diklasifikasikan menjadi makrofag yang diaktifkan secara klasik (M1) dan diaktifkan secara alternatif (M2) (Martinez dan Gordon, 2014). Makrofag yang diaktifkan secara klasik (M1) memediasi pertahanan host dari bakteri, protozoa dan
85
virus, dan memiliki peran dalam kekebalan antitumor. Makrofag yang diaktifkan secara alternatif (M2) memiliki fungsi antiinflamasi dan mengatur penyembuhan luka (Murray dan Wynn, 2011). Dalam eksperimental crescentic glomerulonephritis, infiltrasi makrofag pada glomerulus dan interstitial ginjal mengadopsi fenotipe M1 dan menghasilkan berbagai molekul proinflamasi, termasuk IL-1β, tumor necrosis factor-α (TNF-α), inducible nitric oxide synthase (iNOS), IL- 12, matrix metalloproteinase (MMP) 12 dan faktor jaringan. Blokade sistemik faktor yang dilepaskan makrofag ini dapat mengurangi cedera glomerulus dan glomerulosklerosis yang terjadi (Han et al., 2011). Sebagaimana penyakit ginjal berjalan dari fase inflamasi akut ke fase fibrosis kronis, fenotip makrofag dapat berubah. Sebuah studi crescentic glomerulonephritis pada tikus mengidentifikasi perubahan fenotip makrofag dari M1 ke M2 selama progresi ke fase fibrosis kronis, dan deplesi makrofag selama fase fibrosis secara signifikan mengurangi fibrosis glomerular dan interstitial dalam asosiasi dengan penurunan ekspresi TGF-β1 dan perlindungan dari kerusakan kapiler (Han et al., 2013). Studi lain pada model cedera ginjal yang mengalami resolusi secara spontan, seperti setelah cedera ginjal iskemia reperfusi akut atau pelepasan UUO, telah mengidentifikasi bahwa makrofag mengalami perubahan fenotipe selama pemulihan dari cedera ini untuk memberikan peran pelindung dan perbaikan jaringan.
Deplesi / blokade makrofag selama fase pemulihan ini ditemukan
memperpanjang waktu yang dibutuhkan untuk pemulihan, menunjukkan peran
86
fungsional untuk makrofag dalam perbaikan ginjal. (Cochrane et al., 2005; Vinuesa et al., 2008) Selain itu, kegagalan makrofag untuk beralih dari fenotipe proinflamasi M1 ke M2 dapat mendorong inflamasi dan fibrosis ginjal yang progresif, bahkan setelah resolusi cedera iskemia reperfusi (Lech et al., 2014).
3. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimental. Penelitian ini menggunakan rancangan post test only with controlled group design, yang terdiri dari kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Hewan coba berupa mencit diperoleh dari Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu (LPPT) UGM unit 4 dengan karakteristik berwarna putih, jenis kelamin jantan, galur Swiss, usia 3 bulan dan berat badan 30-40 gram. Mencit diadaptasikan dalam kandang selama 7 hari sebelum perlakuan, diberi pakan AIN-76A dan air matang ad libitum. Mencit dibagi dalam 5 kelompok perlakuan. Perhitungan besar sampel penelitian menggunakan rumus Federer (David dan Arkeman, 2008), yaitu 5 ekor mencit pada tiap kelompok sehingga total sampel yang digunakan adalah 25 ekor mencit. Hewan coba dibagi dalam 5 kelompok secara acak, yaitu kelompok kontrol, kelompok AU7, kelompok AU14, kelompok AU7AL7, dan kelompok AU14AL7. Pembagian kelompok ini dilakukan merujuk pada penelitian Pan et al. (2015) dan Zhou et al. (2012). Kelompok kontrol diberi perlakuan injeksi intraperitoneal NaCl 0,9% selama 14 hari. Kelompok AU7 diberi perlakuan injeksi intraperitoneal asam urat 125 mg/kgBB/hari selama 7 hari. Kelompok AU14 diberi perlakuan injeksi intraperitoneal asam urat 125 mg/kgBB/hari selama 14 hari. Kelompok AU7AL7
87
diberi perlakuan injeksi intraperitoneal asam urat 125 mg/kgBB/hari selama 7 hari dan dilanjutkan dengan pemberian alopurinol 50mg/kgBB/hari dengan cara sondase selama 7 hari. Kelompok AU14AL7 diberi perlakuan injeksi intraperitoneal asam urat 125 mg/kgBB/hari selama 14 hari dan dilanjutkan dengan pemberian alopurinol 50mg/kgBB/hari dengan cara sondase selama 7 hari. Dosis asam urat yang digunakan merujuk pada penelitian Zhou et al. (2012) dan hasil optimasi yang telah dilakukan di laboratorium bagian Anatomi FK UGM. Dosis allopurinil yang digunakan merujuk pada Peglow et al. (2011) dan Derbre et al. (2012). Setelah perlakuan selesai dilakukan anestesi dengan penthobarbital 1:10 (0,1mg/10gBB) melalui injeksi intraperitoneal. Dilakukan pengambilan darah dari vena retroorbital untuk pemeriksaan kadar serum asam urat dan kreatinin. Selanjutnya dilakukan dislokasi servikal dilanjutkan diseksi untuk mengambil organ ginjal. Ginjal kiri dimasukkan ke dalam larutan RNA Later untuk selanjutnya dilakukan isolasi RNA, pembuatan CDNA dan PCR. Ginjal kanan dimasukkan ke dalam larutan paraformaldehid 4% dalam PBS baru kemudian dilakukan pembuatan blok paraffin. Blok paraffin yang diperoleh dibuat sediaan histopatologi. Dilakukan perwarnaan dengan periodic acid schiff (PAS) dan imunohistokimia dengan antibodi anti cd68 (Abcam, ab955) dan antibodi anti arginase I (Santa Cruz, sc20150). Setelah pewarnaan PAS selesai dilakukan, dilakukan pengukuran Glomerular Injury Score (GIS) dan Arteriolar Injury Score (AIS) menurut Klopfleisch (2013). Glomerular injury score (GIS) diukur dengan pengamatan
88
terhadap 20 glomerulus ginjal dengan mikroskop cahaya perbesaran 400 kali pada setiap sediaan histopatologi ginjal mencit yang telah diwarnai dengan Periodic Acid Schiff (PAS). Setiap glomerulus dinilai derajat kerusakannya, dengan skor: 0 = glomerulus normal; 1 = kerusakan < 1/3 area glomerulus; 2 = kerusakan 1/3 – 2/3 area glomerulus; 3 = kerusakan > 2/3 sampai seluruh area glomerulus. Arteriolar Injury Score (AIS) diukur dengan pengamatan terhadap 20 arteriol aferen dengan mikroskop cahaya perbesaran 400 kali pada setiap sediaan histopatologi ginjal mencit yang telah diwarnai dengan Periodic Acid Schiff (PAS). Setiap arteriol aferen dinilai derajat kerusakannya dengan skor: 0 = arteriol normal; 1 = hialinosis <50% lingkar dinding arteriol; 2 = hialinosis 50 – 100% lingkar dinding arteriol tanpa penyempitan lumen; 3 = hialinosis 100% lingkar dinding arteriol disertai penyempitan lumen. Pemeriksaan imunohistokimia dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut. Deparafinisasi dan rehidrasi pada slide kemudian dilakukan antigen retrival dengan metode pemanasan menggunakan buffer sitrat selama 15 menit. Tambahkan H2O2 3% selama 5 menit untuk inhibisi peroksidase. Tambahkan BSA 1% untuk blocking background selama 20 menit, dilanjutkan dengan aplikasi antibodi anti CD68 1 : 400 pada slide, diamkan 1 malam. Pada hari berikutnya aplikasikan secondary antibodi menggunakan trekkie universal link 1-2 tetes, diamkan selama 60 menit, teteskan Trek Avidin HRP label 1-2 tetes, diamkan selama 45 menit. Aplikasikan DAB 1:200, lihat di mikroskop, kemudian rendam dengan hematoksilin 3 menit, cuci dengan air mengalir selama 5 menit, dilanjutkan dengan dehidrasi kemudian mounting. Ulangi langkah di atas untuk antibodi anti
89
Arginase I dengan komposisi antibodi anti arginase I 1:500, pemanasan buffer sitrat 10 menit, dan DAB 1:300. Selanjutnya dilakukan penilaian polarisasi makrofag untuk mencari rasio M1/M2 sesuai dengan penelitian Zhang et al. (2014). Rasio M1/M2 dihitung dengan membagi jumlah makrofag yang terdiferensiasi M1 dibandingkan dengan jumlah makrofag yang terdiferensiasi M2 pada sediaan histopatologi ginjal mencit yang diukur dalam 10 lapangan pandang mikroskop cahaya dengan pembesaran 400 kali. RNA diekstraksi dari 50-100 mg jaringan ginjal kiri menggunakan GENEzol™. Selanjutnya dilakukan pembuatan cDNA. Total RNA yang dipakai adalah 3000ng dicampur dengan 5x buffer, random primer, dNTP, dan ReverTraAce. Dilakukan PCR dengan kondisi 30oC selama 10 menit, 42oC selama 60 menit, dan 99oC selama 5 menit. Setelah selesai cDNA disimpan pada suhu 20oC. PCR dilakukan terhadap cDNA yang telah diperoleh menggunakan primer MCP-1 (forward: 5’- CTA CAG ACA ACC ACC TCA AGC ACT TCT GTA G 3’; reverse: 5’- GGC ATC ACA GTC CGA GTC ACA C -3’), primer eNOS (forward: 5’- GTC CTG CAA ACC GTG CAG AG -3’; reverse: 5’- TGG GTG CGC AAT GTG AGT C -3’), dan primer GAPDH (forward: 5’- TGT GTC CGT CGT GGA TCT GA -3’; reverse: 5’- TTG CTG TTG AAG TCG CAG GAG -3’). PCR dilakukan dengan mengambil cDNA 250 ng ditambahkan dengan master mix (dNTP, Taq, dan 10x buffer) dan ditambahkan dengan primer kemudian dilakukan denaturasi awal 94oC selama 2 menit, PCR 30 siklus dengan kondisi 94oC selama
90
10 detik, 60oC selama 30 detik dan 72oC selama 1 menit diakhiri fase ekstensi akhir dengan kondisi 72oC selama 10 menit kemudian disimpan pada suhu -20oC. Produk PCR dimasukkan dalam gel agarose 2% kemudian dielektroforesis dengan voltase 100V selama 10 menit. Foto dari gel diambil dengan menggunakan gel doc yang ada di laboratorium Biokimia FK UGM. Selanjutnya pada gambaran hasil yang didapat dilakukan analisia densitometri yang dinilai dengan software Image J. Semua hasil yang didapat akan disajikan dalam bentuk rerata ± SD. Analisis statistika pada penelitian ini menggunakan program SPSS statistics 19. Nilai p < 0,05 digunakan sebagai kriteria signifikansi. Uji normalitas data menggunakan uji Shapiro-Wilk dilanjutkan dengan uji one way ANOVA dan uji post hoc LSD jika didapatkan data terdistribusi normal. Jika data terdistribusi tidak normal dilakukan uji Kruskal-Wallis dan uji post hoc Mann-Whitney.
4. Hasil Penelitian dan Pembahasan Berdasarkan hasil penelitian ini, diperoleh data mencit yang diinjeksi asam urat intraperitoneal (AU7 dan AU14) mengalami peningkatan kadar asam urat serum secara bermakna dibandingkan kelompok kontrol. Hasil ini sesuai dengan penelitian Zhou et al. (2012) yang menggunakan injeksi asam urat intraperitoneal 250mg/kgBB/hari untuk menimbulkan hiperurisemia pada mencit jantan CD-1. Perbedaannya, pada penelitian ini dosis asam urat 125mg/kgBB/hari sudah dapat menimbulkan hiperurisemia. Sementara itu, kelompok mencit yang diberi alopurinol (AU7AL7 dan AU14AL7) kadar asam urat serumnya secara bermakna lebih rendah dibandingkan
91
kelompok kontrol. Hal ini menunjukkan alopurinol 50 mg/kgBB/hari dapat menurunkan kadar asam urat serum sampai batas normal pada mencit yang mengalami hiperurisemia. Kadar asam urat normal pada mencit berkisar 0,5 – 1,5 mg/dL (Watanabe, et al, 2002). Hasil ini sesuai dengan Peglow et al. (2011) dan Derbre et al. (2012). Kadar kreatinin serum pada mencit yang mengalami hiperurisemia (AU7 dan AU14) lebih tinggi jika dibandingkan kontrol. Hal ini menunjukkan adanya gangguan pada fungsi filtrasi ginjal mencit akibat hiperurisemia. Kelompok yang diberi alopurinol (AU7AL7 dan AU14AL7) memiliki kadar kreatinin serum yang secara signifikan lebih rendah dibandingkan kelompok AU7 dan AU14. Hal ini menunjukkan
penurunan
kadar
asam
urat
darah
memiliki
efek
yang
menguntungkan untuk fungsi filtrasi ginjal. Hasil ini sesuai dengan penelitian Ryu et al. (2013) yang memperoleh hasil pemberian alopurinol akan mengurangi kadar kreatinin serum pada tikus hiperurisemia. Semua kelompok memiliki skor glomerular injury score yang lebih tinggi dibandingkan kontrol menunjukkan kerusakan yang terjadi akibat kondisi hiperurisemia. Skor glomerular injury score kelompok AU7AL7 lebih rendah dibandingkan kelompok AU7, menunjukkan adanya perbaikan kerusakan glomerulus ketika kadar asam urat darah diturunkan. Hal yang sama juga tampak pada skor glomerular injury score kelompok AU14AL7 dibandingkan kelompok AU14. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Diwan et al. (2013) yang memperoleh hasil
hiperurisemia menyebabkan glomerulosklerosis
ginjal,
sementara pemberian alopurinol menurunkan kerusakan glomerulus yang terjadi.
92
Semua kelompok memiliki arteriolar injury score yang lebih tinggi dibandingkan kontrol menunjukkan kerusakan yang terjadi akibat kondisi hiperurisemia. Arteriolar injury score kelompok AU7AL7 lebih rendah dibandingkan kelompok AU7, menunjukkan adanya perbaikan kerusakan arteriol aferen glomerulus ketika kadar asam urat darah diturunkan. Hal yang sama juga tampak pada skor arteriolar injury score kelompok AU14AL7 dibandingkan kelompok AU14. Hasil ini sejalan dengan hasil dari Mazzali et al. (2002) dan Kang et al. (2002). Penelitian Mazzali et al. (2002) memperoleh hasil tikus hiperurisemia mengalami hipertensi dan penebalan arteriol aferan. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa penebalan arteriol aferen dimediasi oleh efek langsung dari asam urat pada proliferasi sel otot polos pembuluh darah dengan aktivasi RAS. Penelitian Kang et al., (2002) juga menunjukkan bahwa hiperurisemia mempercepat kerusakan ginjal dengan meningkatkan ekspresi renin di korteks ginjal dan ekspresi cyclooxygenase-2 (COX-2) dalam arteriol aferen. Asam urat menimbulkan aktivasi jalur MAPK dan NF-kB pada otot polos arteriol (So dan Thorens, 2010) dan sel epitel tubulus yang meningkatkan ekspresi sitokin proinflamasi MCP-1 sehingga mendorong infiltrasi makrofag ke dalam interstitial ginjal (Zhou et al., 2012). Makrofag ini sendiri berikutnya akan memproduksi sitokin berupa TNF-α dan MCP-1 yang memimbulkan proses inflamasi di jaringan ginjal dan infiltrasi lebih banyak lagi sel-sel makrofag (Billiet et al., 2014).
93
Semua kelompok perlakuan memiliki nilai ekspresi MCP-1 yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol, menunjukkan proses inflamasi yang berlangsung di ginjal akibat hiperurisemia. Hasil ini sesuai dengan Zhou et al. (2012) yang memperoleh hasil peningkatan ekspresi MCP-1 pada sel epitel tubulus ginjal setelah pemberian asam urat. Nilai ekspresi MCP-1 kelompok AU14AL7 secara bermakna lebih rendah dibandingkan kelompok AU14, menunjukkan adanya penurunan proses inflamasi setelah kadar asam urat serum menurun. Akan tetapi, proses inflamasi ini masih berlangsung jika melihat nilai ekspresi MCP-1 kelompok perlakuan dibandingkan kontrol. Proses inflamasi yang masih berlangsung pada semua kelompok kecuali kontrol mungkin menunjukkan bahwa pemberian alopurinol selama 7 hari belum cukup untuk perbaikan ginjal atau adanya suatu proses menuju gangguan ginjal kronik. Pada penelitian ini, kelompok AU7 dan AU14 secara bermakna memiliki nilai ekspresi eNOS yang lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol, AU7AL7 dan AU14AL7 menunjukkan terjadinya disfungsi endotel pada kondisi hiperurisemia. Nilai ekspresi eNOS kelompok AU7AL7 dan AU14AL7 secara bermakna lebih tinggi dibandingkan AU7 dan AL14 menunjukkan adanya perbaikan fungsi endotel setelah kadar asam urat serum diturunkan. Asam urat menimbulkan disfungsi endotel sebagai akibat stres oksidatif. Disfungsi endotel yang terjadi menyebabkan penurunan ekspresi eNOS sehingga fungsi vasodilatasi pembuluh darah ginjal terganggu. Sánchez-Lozada, et al. (2008) mendapatkan hasil pada model tikus hiperurisemia yang diinduksi OA,
94
hiperurisemia menyebabkan stres oksidatif intrarenal, peningkatan ekspresi subunit NOX-4 dari NADPH oksidase ginjal dan angiotensin II, dan penurunan bioavailabilitas nitric oxide (NO). Penelitian berikutnya melaporkan bahwa disfungsi endotel yang diinduksi asam urat dikaitkan dengan perubahan mitokondria dan penurunan konsentrasi ATP intraseluler. Asam urat menyebabkan penurunan ekspresi enzim aconitase-2 dan enoyl CoA hydratase-1 di mitokondria. Selain itu juga terjadi peningkatan kerusakan mitDNA dan penurunan massa mitokondria sel endotel (Sánchez-Lozada, et al. 2012). Penelitian ini memperoleh hasil kelompok AU7 dan AU14 memiliki nilai rasio makrofag M1/M2 yang secara bermakna lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol, AU7AL7 dan AU14AL7. Hal ini menunjukkan ketika kadar asam urat serum tinggi, maka jumlah makrofag M1 tinggi sementara jumlah makrofag M2 rendah. Selanjutnya ketika kadar asam urat serum turun (kelompok AU7AL7 dan AU14AL7), jumlah makrofag M1 menurun sedangkan jumlah makrofag M2 meningkat. Akan tetapi, dalam penelitian ini, jumlah makrofag M1 selalu lebih tinggi dibandingkan dengan makrofag M2 pada semua kelompok perlakuan. Hasil ini menunjukkan proses inflamasi masih terus berlangsung walaupun mulai terjadi perbaikan pada kelompok yang diberi alopurinol. Ketika kadar asam urat darah turun, penurunan jumlah makrofag M1 mungkin terjadi karena makrofag M1 mengalami polarisasi ke arah M2 yang memiliki fungsi perbaikan jaringan. Lech et al., (2014) dengan model mencit iskemia reperfusi, memperoleh hasil bahwa kegagalan makrofag untuk beralih dari fenotipe proinflamasi M1 ke
95
M2 dapat mendorong inflamasi dan fibrosis ginjal yang progresif, bahkan setelah resolusi cedera iskemia reperfusi. Di sisi lain, makrofag M2 juga memiliki efek profibrotik, makrofag M2 dapat melepaskan insulin-like growth factor-1 (IGF-1), fibroblast growth factor-2 (FGF-2) dan platelet-derived growth factor (PDGF), yang mempromosikan proliferasi myofibroblast (Meng et al., 2014).
5. Kesimpulan Berdasarkan hasil yang didapatkan dalam penelitian, dapat diambil kesimpulan mencit hiperurisemia memiliki glomerular injury score, arteriolar injury score, ekspresi MCP-1, dan rasio makrofag M1/M2 yang lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dengan mencit hiperurisemia yang diberi alopurinol. Ekspresi Enos mencit hiperurisemia secara bermakna lebih rendah dibandingkan dengan mencit hiperurisemia yang diberi alopurinol.
6. Saran Berdasarkan hasil penelitian ini perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan kombinasi antibodi yang lebih spesifik dan teknik double staining untuk menilai polarisasi makrofag. Perlu juga penelitian lanjutan dengan durasi pemberian alopurinol yang lebih lama untuk menilai proses penyembuhan kerusakan ginjal. Terakhir, Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk menilai efek asam urat terhadap organ lain.