BAB V PEMBAHASAN
Penelitian perbedaan kecemasan dan depresi antara ibu penderita tunagrahita ringan dan sedang di SLB Negeri Surakarta dilakukan pada bulan Oktober – November 2015. Sampel terbagi atas dua kelompok, yaitu ibu penderita tunagrahita ringan yang menduduki kelompok kelas C dan kelompok yang kedua adalah ibu penderita tunagrahita sedang yang menduduki kelompok kelas C1. Penelitian diawali dengan dengan memberikan kuesioner kepada ibu penderita tunagrahita di SLB Negeri Surakarta kelas I SD sampai dengan kelas XI SMP. Responden diminta mengisi formulir informed consent dan mengisi form LMMPI (Lie-Minnesota Multyphasic Personality Inventory), kuesioner TMAS (Taylor’s Manifest Anxiety Scale), dan kuesioner BDI-II (Beck’s Depression Inventory). Kuesioner yang dibagikan berjumlah 82, dengan rincian 45 kuesioner untuk kategori kelas C (tunagrahita ringan) dan 37 kuesioner untuk kategori kelas C1 (tunagrahita sedang). Dari 82 kuesioner yang dibagikan, kuesioner total yang memenuhi LMMPI berjumlah 39 kuesioner dengan rincian 24 kategori kelas C dan 15 kategori kelas C1. Untuk kategori kelas C, dilakukan random sampling menggunakan microsoft excel, sehingga di dapatkan sampel 15 orang dari kategori kelas C dan 15 orang dari kategori kelas C1. Data yang terkumpul kemudian dilakukan uji statistik yaitu uji normalitas Shapiro-Wilk dan uji t tidak berpasangan menggunakan program SPSS 20 for Windows. Pada perhitungan uji normalitas 52
53
Shapiro-Wilk Skor TMAS dan BDI-II berdistribusi normal. Karena syarat distribusi data normal terpenuhi, maka uji hipotesis yang digunakan adalah uji t tidak berpasangan. A. Analisis Hasil Penelitian Setiap orangtua mengharapkan kelahiran anak yang sehat dan normal. Sangat sedikit orangtua yang memikirkan resiko anaknya terlahir dengan disabilitas. Orangtua yang diberi informasi bahwa anaknya menderita disabilitas mengalami berbagai reaksi diantaranya ketidakpercayaan, perasaan bersalah, penolakan, malu, penyangkalan, dan
perasaan tidak berdaya
(Shajjad, 2011). Orangtua yang memiliki anak dengan disabilitas dapat mengalami episode panik, kecemasan, ketidakberdayaan. Mereka dapat juga mengalami periode apati, kemarahan, depresi dan kegetiran (Vijesh dan Sukumaran, 2007) Orangtua dengan anak disabillitas intelektual (DI) atau tunagrahita sering dilaporkan mengalami depresi dan kecemasan (Ryde-Brandt, 1990; Motamedi et al., 2007; Gallagher et al., 2008; Olsson dan Hwang, 2001; Norhidayah et al., 2013). Pada penelitian ini memberikan kesimpulan bahwa tidak ada perbedaan skor kecemasan (skor TMAS) dan skor depresi (skor BDI-II) antara ibu penderita tunagrahita ringan (C) dan sedang (C1) di SLB Negeri Surakarta. Hal ini bertentangan dengan penelitian yang telah disebutkan sebelumnya. Hasil uji t tidak berpasangan skor TMAS dan skor BDI-II berturut-turut di dapatkan p = 0,55 dan p = 0,92. Tetapi, penelitian ini senada dengan penelitian oleh Andersson (1993) yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan
54
kecemasan dan depresi antara keluarga yang memiliki anak tunagrahita dengan keluarga yang tidak memiliki anak tunagrahita. Hasil yang tidak signifikan dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: 1.
Pada penelitian ini dibedakan derajat IQ anak tunagrahita, yaitu tunagrahita sedang dan tunagrahita ringan. Azwar (1996) pada buku psikologi intelegensi mengatakan bahwa klasifikasi tunagrahita yang ada sekarang menggolongkan tunagrahita berdasarkan IQ anak. Padahal masalah tunagrahita lebih kompleks daripada masalah keterbatasan kemampuan tingkat intelektualitas. Bahkan secara umum penderita tunagrahita mengalami masalah sosial yang lebih penting daripada masalah
intelektual.
Contoh
masalah sosial
yaitu
kemampuan
berkomunikasi, kecakapan, kemandirian, dan kemampuan bersosialisasi anak tunagrahita dengan orang disekitarnya. Oleh karena itu IQ atau kecerdasan anak kurang berpengaruh terhadap tingkat stres orang yang mengasuh anak tunagrahita. 2.
Pada penelitian lain, hal yang mempengaruhi kecemasan dan depresi yaitu derajat perilaku anak (Shajjad, 2011; Baker, 2010 ; Maes, 2003; Gallagher et al., 2008). Menurut Shajjad (2011) masalah perilaku anak yang berkepanjangan
seperti
hiperaktivitas,
stereotipik,
dan
letargi
menyebabkan ibu lebih cemas dan depresi. Maes (2003) mengatakan bahwa anak yang memiliki masalah pada perilakunya membuat keluarganya terbebani dalam mengurus dan mengatur anak tunagrahita tersebut. Sedangkan Baker (2010) mengatakan bahwa anak dengan
55
masalah perilaku menyebabkan ibu lebih stress. Penelitian ini tidak signifikan disebabkan karena anak dengan IQ yang tinggi belum tentu tidak memiliki masalah perilaku, begitupula sebaliknya anak dengan IQ yang rendah belum tentu memiliki masalah perilaku. 3.
Faktor-faktor lain yang mempengaruhi kecemasan dan depresi ibu penderita tunagrahita adalah dukungan sosial untuk ibu dan beban perawatan ibu. Gallagher et al. (2008) dan Shajjad (2011) mengatakan bahwa kecemasan dan depresi ibu dipengaruhi oleh adekuat atau tidaknya dukungan sosial untuk ibu. Ibu lebih cemas dan depresi ketika lingkungan sekitar ibu seperti keluarga, masyarakat, atau sekolah tidak memberikan dukungan dalam merawat anak dengan tunagrahita. Selain itu beban perawatan ibu juga mempengaruhi kecemasan dan depresi ibu. Besarnya beban perawatan ibu menyebabkan ibu lebih cemas dan depresi. IQ anak tunagrahita mempengaruhi level kelas anak, sehingga pelajaran yang di terima anak kategori C dan C1 berbeda. Hal ini dapat menyebabkan perbedaan kualitas anak, sehingga berpengaruh pada masa depan anak. Besarnya beban perawatan dipengaruhi salah satunya oleh bayangan ibu tentang masa depan anak (Zarit et al., 1980). Namun, karena banyaknya faktor yang menyebabkan beban perawatan ibu sehingga kecemasan dan depresi pada ibu tidak hanya disebabkan karena bayangan tentang masa depan anak.
4.
Penelitian ini menerima Ho, kemungkinan alasan tidak terbuktinya hipotesis dapat disebabkan kerena landasan teori yang digunakan untuk
56
menyusun hipotesis sudah using, kurang valid, atau tidak relevan. Selain itu tidak terbuktinya hipotesis dapat disebabkan karena keterbatasan metodologi dan keterbatasan subjek atau sampel. Oleh karena hasil Uji t pada skor kecemasan dan depresi tidak signifikan, dilakukan uji beda pada variabel lain, yaitu pendidikan ibu, pekerjaan, dan pengeluaran dalam satu bulan. Pada variabel lain dilakukan uji beda dengan uji non parametrik yaitu uji Kruskal-Wallis dengan hasil paling tidak terdapat perbedaan skor TMAS antara beberapa kelompok tersebut. Uji Kruskal-Wallis skor TMAS dengan variabel tingkat pendidikan (tabel 4.4) didapatkan nilai p=0,007. Dengan kesimpulan kelompok yang memiliki perbedaan skor TMAS adalah : 1) kelompok SD/SMP dan Perguruan tinggi, 2) kelompok SMA dan Perguruan tinggi. Hal ini senada dengan penelitian oleh Norhidayah et al. (2013) yang menyatakan bahwa presentasi kecemasan lebih banyak pada ibu dengan tingkat pendidikan lebih rendah. Uji Kruskal-Wallis skor TMAS dengan variabel pekerjaan (tabel 4.5) didapatkan nilai p = 0,015. Kelompok yang memiliki perbedaan skor TMAS adalah kelompok Ibu rumah tangga dan PNS. Jenis pekerjaan mempengaruhi timbulnya gejala penyakit psikologi pada orang
dewasa.
Penelitian
oleh
Newbury-Birch
dan
Kamali
(2001)
menyebutkan bahwa jenis pekerjaan dapat mempengaruhi stress, kecemasan, dan depresi. Pada penelitian lainnya, terdapat perbedaan kecemasan antara ibu rumah tangga dengan wanita karir yang sudah menikah (Irfan et al., 2012). Uji Kruskal-Wallis skor TMAS dengan variabel pengeluaran dalam satu bulan (tabel 4.6) didapatkan nilai p = 0,012. Kelompok yang memiliki perbedaan
57
skor TMAS adalah kelompok pengeluaran Rp. 500.000 - Rp. 1.500.000 dan > Rp. 2.500.000. Tingkat ekonomi dapat dilihat dari pendapatan dan pengeluaran keluarga.
Pada
beberapa
penelitian,
tingkat
ekonomi
yang
rendah
mempengaruhi depresi dan kecemasan (Kidwai, 2013; Madianos et al., 2011; Lempers dan Clark-Lempers, 1997; Starkey et al., 2012; Bradley et al., 2009; Lorant et al., 2002). Namun pada hasil tersebut, tidak diteliti pendapatan keluarga dalam satu bulan, sehingga pengeluaran dalam satu bulan belum menjadi prediktor tingkat ekonomi seseorang. Uji Kruskal-Wallis pada skor BDI-II dengan tingkat pendidikan, pekerjaan, dan pengeluaran dalam satu bulan berturut-turut menghasilkan nilai p=0,711, p=182, p=0,313 (p>0,05). Dapat diambil kesimpulan bahwa tidak ada perbedaan bermakna antara skor BDI-II dengan variabel tingkat pendidikan, pekerjaan, dan pengeluaran dalam satu bulan. Craft et al. (1998), Lorant et al. (2002), dan Starkey et al. (2012) mengatakan bahwa tingkat ekonomi yang rendah berhubungan dengan tingkat depresi. Namun,
pada penelitian ini,
didapatkan hasil yang tidak signifikan. B. Keterbatasan Penelitian 1. Keterbatasan Metodologi Penelitian ini merupakan jenis penelitian dengan metode potong lintang atau cross sectional. Desain penelitian ini memiliki kekurangan pada segi penjelasan mekanisme sebab akibat dari variabel yang diteliti. Hal ini dapat terjadi karena desain penelitian ini hanya melakukan pengambilan sampel penelitian pada satu waktu saja (Sastroasmoro, 2011). Selain itu, karena
58
pengukuran efek dan faktor resiko dilakukan pada satu waktu menyebabkan episode kecemasan dan depresi ibu tidak dapat terukur dengan baik. Ibu dengan anak tunagrahita memiliki episode depresi dan kecemasan pada waktu yang berbeda-beda. Meskipun begitu, Dyson (1993) mengatakan bahwa stres pada ibu penderita tunagrahita dapat presisten seiring berjalannya waktu. Kelemahan metode ini juga berada pada pengambilan kesimpulan, pengambilan kesimpulan pada desain ini lebih lemah dibandingkan desain case control dan cohort. 2. Keterbatasan Subjek Subjek yang diteliti adalah ibu penderita tunagrahita sedang dan ringan di SLB Negeri Surakarta. Sampel yang diambil pada penelitian ini tergolong sedikit. Subjek yang diteliti persebarannya tidak homogen, karena memiliki latar belakang pendidikan, pekerjaan, dan pengeluaran yang berbeda-beda sehingga kemungkinan terjadi kesalahan random.