BAB V Kesimpulan dan Saran
Dewasa ini, kita memang dihadapkan oleh berbagai permasalahan pelik terkait dengan demoralisasi. Penyebab demoralisasi ini, salah satunya adalah kegagalan pendidikan nasional dalam
mendidik generasi
penerus bangsa.
Pragmatisme dalam kalangan akademisi dan pendidikan yang opresif telah merambah dari tingkat sekolah dasar hingga tingkat perguruan tinggi. Pendewaan terhadap aspek kognitif membuat nilai-nilai intelektualitas lebih diutamakan daripada nilai-nilai yang menyangkut moralitas. Para pengajar yang seharusnya aktif-partisipatoris dalam mendidik, justru malah menjadi pasif-pragmatis terhadap siswanya. Sejak era orde baru (sebagai tanda masuknya produk-produk global dari industri sampai budaya) hingga era reformasi, pendidikan perlahan-lahan seolah kehilangan jati dirinya. Pendidikan bukan lagi menjadi bagian dari proses budaya, namun menjadi sebuah bagian dari kapitalisme global yang berciri khas materialistis. Dalam perspektif Marxian, Pendidikan dimanfaatkan oleh para penguasa modal untuk mencetak proletar-proletar baru, sehingga para borjuis tidak akan kekurangan tenaga kerja, bahkan mencapai taraf korporasi yang tak cukup lagi menampung para tenagatenaga kerja baru ini. Sehingga pendidikan pun tak hanya mencetak tenaga kerja baru bagi para borjuis, namun juga menambah statistik pengangguran baru. Memang tidak keliru apabila paradigma masyarakat terhadap pendidikan sudah berubah sedemikian rupa, karena dalam pemikiran masyarakat modern, tolak ukur materialisme adalah yang utama. Unsur kepemilikan didahulukan, dan kesuksesan seorang individu diukur dari segi nilai dan banyaknya kepemilikan itu. Nilai-nilai estetika yang dimiliki oleh budayapun lambat laun tergerus oleh budaya-
96
budaya barat ini. Bangsa Indonesia sekarang sudah mencapai taraf dicekoki habishabisan oleh westernisasi. Celakanya, yang sadar telah dicekoki dan kemudian muntahpun hanya segelintir saja. Mereka yang sadar dan kemudian mengekspresikan muntahannya melalui berbagai tulisan maupun nglakoni kehidupan yang anti mainstream dianggap orang gila. Kita sebagai manusia seharusnya bisa „melayani terhadap sesama‟, bukan justru kita berlomba-lomba saling mengalahkan satu sama lain demi taraf hidup yang lebih baik yang dimaknai sebagai kehidupan yang hedonis. Taraf hidup yang lebih baik bukan satu orang punya banyak, orang lain punya sedikit, tetapi semua orang memiliki hak hidup yang rata. Inilah salah satu unsur terpenting yang dikatakan oleh Ki Hadjar Dewantara dalam pembangunan pendidikan bangsa, yaitu PEMERATAAN, bukan PENINGGIAN. Penekanan progresifitas terhadap pembangunan khususnya pendidikan telah menyebabkan nilai-nilai budaya dikesampingkan, karena mayoritas penggagas ideide progresif tanpa disertai fondasi yang mendalam terhadap apa yang telah ditinggalkan oleh para leluhur kita. Tidak masalah apabila nilai-nilai leluhur ditinggalkan apabila tidak relevan dengan konteks kekinian (dengan catatan tidak relevan apabila merugikan hajat hidup orang banyak). Namun, realitas justru membuktikan bahwa nilai-nilai masa lalu inilah yang kiranya sangat relevan untuk diterapkan dalam konteks masa kini. Pendidikan, yang pada masa lampau digagas oleh para tokoh yang berkecimpung dalam konteks pendidikan anti kolonial, telah mampu merubah kondisi bangsa pada saat itu. Dengan pendidikan, para pemuda bangsa dapat diberi pengetahuan kebangsaan dan nasionalisme sedemikian rupa hingga melahirkan pemuda-pemuda „pemberontak‟. Namun, pendidikan kontemporer justru cenderung pragmatis hingga menciptakan pemuda-pemuda yang apatis terhadap realitas yang terjadi di sekitarnya. Pendidikan pun seakan mereproduksi generasi-generasi individualisme. Dunia akademisi hanya diperuntukkan bagi orangorang yang „berduit‟, persis seperti ketika pemerintahan kolonial mendirikan sekolah untuk bumi putera pertama kalinya.
97
Masyarakat Indonesia sekarang mulai tidak dapat memahami eksistensinya sebagai manusia yang sejati. Memang tidak salah sebetulnya, karena di zaman edan, ora ngedan ora keduman, atau diartikan sebagai tidak ikut gila tidak akan kebagian. Di era globalisasi, keadaanpun seakan menjadi semakin edan lagi seiring dengan masuknya berbagai produk-produk asing. Ironinya, wakil rakyatpun isinya orangorang yang terlena akan kenyamanan di tengah keedanan ini. Bahkan, orang-orang tertentu yang berusaha melawan keadaan edan ini dicap juga sebagai wong edan. Pada akhirnya, di zaman edan pun orang saling meng edan kan satu sama lain, hingga tidak jelas siapa yang edan. Hal ini dapat terjadi karena tidak adanya bendungan yang menahan arus globalisasi, sehingga berbagai produk asing dapat merasuki setiap jengkal kehidupan individu-individu di Indonesia, bahkan di dunia, ditambah dengan pesatnya perkembangan IPTEK.
A. Konsep Pedagogis Ki Hadjar Dewantara yang ‘Sulit’ Diaplikasikan Di era modern, konsep-konsep Ki Hadjar yang bernuansa „tradisional‟pun lambat laun mulai dilupakan. Ibarat permainan engklek yang sudah mulai dilupakan tergantikan oleh materi-materi yang bernuansa modern, seperti gadget, video game, dan lain-lain. Begitu pula nasib konsep-konsep pedagogis Ki Hadjar yang sulit untuk diaplikasikan, khususnya untuk digunakan dalam sekolah-sekolah konvensional. Karena memang orientasi sekolah saat ini sudah sarat akan nilai-nilai komoditas, dalam artiansekolah bukanlah tempat untuk mencari ilmu yang mana ilmu tersebut diaplikasikan secara komunal, namun secara individual. Apabila peserta didik diberi dua pilihan, pilih dapat ilmu tapi tidak dapat ijazah atau tidak dapat ilmu tapi dapat ijazah. Tentu mayoritas akan memilih yang kedua. Hal ini manusiawi menurut saya, karena ijazah sudah menjadi „barang penting‟ untuk menjamin mereka di masa depan. Sulit, namun tidak mustahil untuk diaplikasikan. Bahkan Taman Madya Ibu Pawiyatan sendiri mengaku sulit untuk mengaplikasikan konsep-konsep Ki Hadjar 98
ini, karena memang secara umum konsep-konsep Ki Hadjar ini telah tergeser oleh nilai-nilai pendidikan yang pragmatis. Sehingga, mau tidak mau Taman Madya Ibu Pawiyatan juga harus menyesuaikan diri dengan kondisi pendidikan saat ini. Namun, tentu saja Taman Madya Ibu Pawiyatan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai yang diwariskan oleh Ki Hadjar Dewantara, walaupun aplikasinyapun makin sulit. Dalam Taman Madya Ibu Pawiyatan, aplikasinya semakin dipersulit dengan keadaan pamong yang mayoritas adalah guru honorer (tidak tetap). Dari 30 pamong yang mengajar di Taman Madya Ibu Pawiyatan, guru tetap (yayasan) hanya 8 orang, 2 orang guru DPK, dan sisanya adalah guru honorer.Pemahaman konsep-konsep Ki Hadjar Dewantarapun hanya dikuasai sedikit oleh guru-guru honorer ini. Seiring dengan perubahan zaman, terutama semakin mudahnya globalisasi melalui perkembangan IPTEK, masyarakatpun mengalami pergeseran orientasi. Apabila di masa berdirinya aplikasi ajaran Ki Hadjar Dewantara bertujuan untuk mengentaskan pribumi dari belenggu kolonialisme (humanis), di era kontemporer pendidikan seakan „bentrok‟ dengan aplikasi nilai-nilai Ki Hadjar. Karena saat ini nilai-nilai humanistis tidak menjadi acuan utama dalam pendidikan. Pendidikan hanya sekedar mengajarkan, memberi ilmu, demi tujuan individual. Kita ambil contoh Taman Madya Ibu Pawiyatan yang mengedepankan pendidikan karakter. Namun, dari sisi penilaian tetap sisi akademislah yang diutamakan. Lha, mau gimana lagi, wong pendidikan secara umum lebih mengutamakan aspek-aspek nilai akademis. Kalau penilaian kepribadian lebih diutamakan daripada penilaian akademis, bisa-bisa di masa depan murid-murid di Taman Madya Ibu Pawiyatan tidak akan bisa makan. Mau tidak mau, Taman Madya Ibu Pawiyatan tetap menyesuaikan diri dengan sistem yang ada (walaupun amburadul). Namun, tetap berusaha melestarikan nilai-nilai yang diwariskan oleh Ki Hadjar Dewantara.
99
Saya pikir aplikasi dari konsep-konsep Ki Hadjar akan sulit untuk diterapkan dalam institusi pendidikan formal dengan sistem yang seperti ini. Karena memang tuntutan globalisasi membuat intelektualisme (materialisme) lebih dominan daripada nilai-nilai kepribadian (perenial). Lain halnya apabila diterapkan di sekolah-sekolah yang berani melawan sistem. Namun, sekolah seperti ini tentu saja sifatnya hanya dianggap sekolah informal, seperti sekolah tani, sekolah alam, dan sebagainya.Taman Siswa memang tidak bisa melawan sistem, karena tuntutan mereka adalah juga harus bekerjasama dengan pemerintah melalui konsep Tri Ko-nya (Kooperatif, Konsultatif, Korektif). Untuk itulah mereka tetap mengakui pemerintah dengan cara mengikuti sistem yang ada, namun di samping itu mereka juga harus konsultatif dan korektif terhadap pemerintah.
B. Taman Siswa sebagai Salah Satu Pendidikan Alternatif Sebagai institusi pendidikan yang memiliki nilai historis-kultural, taman siswa dapat dikatakan sebagai salah satu alternatif bagi pendidikan di Indonesia kontemporer. Saya mengatakan „salah satu‟, karena saat ini sudah banyak institusi pendidikan yang lebih menekankan pada aspek-aspek estetika, sekolah alam misalnya. Namun, mayoritas pendidikan estetika tersebut hanya sebagai pendidikan informal. Pendidikan yang dianggap pendidikan formal adalah pendidikan yang mengutamakan nilai-nilai teoritis yang diambil dari berbagai mata pelajaran. Kita lihat saja, di dalam penilaian raport nilai-nilai mata pelajaran selalu diutamakan dan dijadikan acuan sebagai tingkat „kepandaian‟ siswa. Taman Siswa adalah institusi pendidikan formal yang tetap mengedepankan nilai-nilai nasionalisme dan wawasan kebangsaan. Kenyataannya, nilai-nilai yang diusung Taman Siswa menjadikan Taman Siswa sendiri kurang laku, namun Taman Siswa tetap mempertahankan apa yang menjadi jati dirinya dari berdirinya Taman Siswa hingga sekarang. Sistem among merupakan salah satu ciri khas yang dimiliki 100
Taman Siswa. Sistem ini harus tetap lestari, karena sistem ini merupakan salah satu representasi dari pendidikan yang humanis. Humanis adalah salah satu syarat terciptanya proses pengajaran yang baik. Dengan proses pengajaran yang baik, maka akan menciptakan generasi-generasi yang baik pula. Untuk itulah Taman Siswa yang bertindak sebagai agen pendidikan berbasis nasionalisme-historis-kultural harus tetap eksis hingga sekarang, walaupun diterpa oleh derasnya globalisasi. Asas kemerdekaan yang diusung Taman Siswa, membuat Taman Siswa harus dapat berdiri sendiri. Hal ini sangatlah penting, terutama di era globalisasi. Dengan tidak terikat kepentingan-kepentingan tertentu, maka pendidikan yang sesungguhnya akan dapat tercipta, salah satunya adalah pendidikan yang tidak berorientasi pada keuntungan. Di era globalisasi, tentu banyak pihak yang menawarkan berbagai „bantuan‟ (baca: investasi) ditambah dengan iklim pasar bebas yang cerah, untuk mendorong suatu kegiatan agar semakin mempermudah dalam pelaksanaannya. Padahal, senyatanya para investor ini tentu harus memperoleh keuntungan dari investasinya, karena investor menggunakan logika bisnis. Pendidikan, yang hakekatnya adalah „mencerdaskan kehidupan bangsa‟ akan sukar berjalan apabila diselingi oleh kepentingan-kepentingan bisnis seperti ini. Dengan investasi yang disembunyikan melalui istilah „bantuan‟, maka lambat laun pendidikan akan tergeser dari hakekatnya yang sejati. Intervensi akan datang melalui para investor ini, dan pendidikan akan terbawa arus untuk mengikuti jalan pikiran si investor, yaitu logika bisnis. Untuk itu, Taman Siswa tetap harus „merdeka‟ dan tidak terikat oleh kepentingan pihak-pihak luar. Gap atau kesenjangan yang terjadi antara sekolah negeri dan sekolah swasta harus dihilangkan. Sekolah negeri dan sekolah swasta harus dapat bersama-sama menata dunia pendidikan nasional. Pemerintah harus mulai memperhitungkan „pendidikan-pendidikan alternatif‟ yang banyak dipelopori oleh sekolah-sekolah swasta. Perlu dicatat, bahwasannya sekolah swasta sangat berperan penting dalam pembangunan pendidikan nasional, khususnya Taman Siswa. 101
C. Globalisasi sebagai Tantangan Mungkin banyak yang berpikir, dalam tulisan-tulisan ini globalisasi seakan dipojokkan. Globalisasi seperti sumber dari berbagai permasalahan yang menimpa Indonesia saat ini. Ya, memang begitu kenyataannya. Namun, yang menjadi perkara adalah globalisasi yang destruktif, bukan globalisasi yang konstruktif. Globalisasi memang tidak melulu sebagai suatu fenomena yang destruktif, terutama bagi negara dunia ketiga, tergantung bagaimana suatu negara menyikapinya melalui pemerintahan yang semata-mata tidak menelan globalisasi itu sendiri (good government) tanpa dirasakan. Fenomena globalisasi harus kita kunyah, kita rasakan, yang dirasa tidak mengenakkan kita muntahkan, yang dirasa enak bolehlah kita telan. Di era modern (sebagai produk dari globalisasi), kita seolah dituntut untuk mengejar dan mencontoh negara-negara maju sebagai indikator pembangunan. IPTEK terus dikembangkan melalui pendidikan-pendidikan yang ditinggikan kualitasnya. Padahal masih banyak daerah-daerah yang kualitas IPTEKnya masih rendah, sehingga menciptakan kesenjangan IPTEK dalam masyarakat Indonesia. Kesenjangan IPTEK ini sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup mereka yang ilmu pengetahuannya masih tergolong rendah, karena tidak mudah bagi mereka untuk mengikuti perkembangan IPTEK ini. Belum lagi permasalahan ekonomi yang tentunya menjadi masalah utama bagi masyarakat yang ilmu pengetahuannya rendah. Pada akhirnya semakin terbukti bahwa penguasaan IPTEK adalah mereka yang memiliki kekuasaan ekonomi (menengah ke atas). Di era globalisasi, kita seolah juga dituntut untuk beralih dari perekonomian yang berbasis pertanian (agro) ke ekonomi industri (industrialisasi). Disinilah sebenarnya kita mulai tidak memahami lagi jati diri kita sebenarnya sebagai bangsa Indonesia(krisis identitas). Kita memiliki kekayaan alam melimpah, gemah ripah loh jinawi, tanahnya sangat subur sehingga apa saja bisa tumbuh di tanah Indonesia. Hingga ada lirik lagu Koes Plus yang berbunyi “orang bilang tanah kita tanah surga,
102
tongkat kayu dan batu jadi tanaman”. Namun, kita justru beralih ke ekonomi industri untuk mengikuti alur modernisme. Kekayaan alam kita justru dieksploitasi besarbesaran oleh industri-industri asing. Peralihan ini salah satunya menggunakan cara mengubah orientasi masyarakat (khususnya masyarakat pedesaan) untuk bekerja di kota. Pemerintah tentu mengingatkan bahwa masyarakat desa harus tetap di desa untuk membangun pertaniannya. Mau membangun pertanian bagaimana, lha wong di kota jelas kehidupan lebih gemerlap. Memang manusiawi apabila masyarakat di desa tidak ingin ketinggalan untuk bermigrasi ke kota-kota, mencari sumber penghasilan baru yang lebih layak. Lahan mereka di pedesaan dijual kepada pihak-pihak developer, yang „sayangnya‟ lahan-lahan ini digunakan untuk membangun pabrik atau perumahan modern, karena masyarakat desa (terutama pemuda) mayoritas sudah berorientasi untuk bermigrasi ke kota. Kita sering mendengar istilah „ndeso‟ dalam kehidupan kita sehari-hari. Kata ini ditujukan kepada orang yang tidak mengerti atau belum memahami sesuatu. Ya, seakan ndeso menandakan bahwa orang desa tidak mengerti apa-apa, tidak pintar, ketinggalan jaman. Stigma yang melekat dalam masyarakat kita adalah orang kota lebih baik, lebih pintar, lebih maju daripada orang desa. Ini salah satu bentuk hegemoni modernisme agar kota tidak kekurangan tenaga-tenaga kerja baru. Menjadi orang desa seakan menjadi suatu kemunduran, karena tingkat kesejahteraan di desa sangat rendah. Petani yang merupakan simbol sebagai identitas negara agro justru semakin termarginalkan. Hal ini pulalah yang melatarbelakangi migrasinya orangorang desa ke kota, agar tidak dipandang sebagai wong ndeso. Padahal, wong ndeso adalah salah satu agen pembangunan. Seyogyanya kita sebagai negara berkembang, tidak harus menjadikan negara maju sebagai panutan. Sudah saatnya kita merefleksikan realitas sosial kita terhadap globalisasi, agar globalisasi memberikan dampak positif bagi kita (globalisasi konstruktif). Pemerintah seringkali terlalu fokus untuk dapat bersaing agar tidak ketinggalan dengan Negara-negara maju. Yang jadi pertanyaannya, „tidak 103
ketinggalan‟ dalam hal apa? Inilah yang harus dikaji lebih lanjut, karena ketertinggalan ini hanya sering diidentikkan dengan ketinggalan dalam hal IPTEK dan ekonomi.
D. Taman Madya Ibu Pawiyatan dalam Menyikapi Globalisasi Globalisasi menyebabkan nilai-nilai dan budaya eksternal dapat merambah masuk dan mempengaruhi nilai-nilai „orisinil‟ kita. Pengaruh ini dapat berdampak positif maupun negatif, tergantung dari bagaimana kita menyikapinya. Di tengah arus globalisasi, Taman Madya Ibu Pawiyatan yang merupakan salah satu institusi Taman Siswa, tetap berusaha mempertahankan nilai-nilai yang diwariskan oleh para leluhur Republik Indonesia, khususnya Ki Hadjar Dewantara. Nilai-nilai ini diajarkan melalui mata pelajaran yang termasuk di dalam kurikulum Taman Siswa, yaitu ketaman siswaan dan budi pekerti. Mempertahankan „keorisinalitas‟ di tengah banyaknya pengaruh-pengaruh luar memang tidak mudah. Namun, lain halnya dengan Taman Madya Ibu Pawiyatan. Walaupun dengan peserta didik yang tergolong sangat sedikit, sekolah ini tetap berusaha mengimplementasikan nilai-nilai yang terkandung dalam asas Taman Siswa. Bagi Taman Madya Ibu Pawiyatan, pendidikan yang diterapkan oleh Taman Siswa adalah pendidikan yang sesungguhnya, yaitu pendidikan yang relevan terhadap situasi bangsa Indonesia. Dari segi infrastruktur dan fasilitas, sekolah ini dapat dibilang memadai. Pamongpun juga terbilang cukup memadai untuk mengajar muridnya, dilihat dari jumlah pamong dan tingkat pendidikannya. Namun, dengan jumlah siswa yang makin ajeg turunnya tiap tahun menyebabkan banyak fasilitas yang mubazir, seperti banyaknya ruang kelas yang terpaksa tidak digunakan. Apabila hal ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin lagi tahun depan jumlah peminat Taman Madya Ibu Pawiyatan
104
semakin turun. Yang lebih buruk lagi, tentu saja tidak menutup kemungkinan untuk gulung tikar. Lalu, bagaimana sebenarnya agar Taman Madya Ibu Pawiyatan dapat kembali „berjaya‟? Pertanyaan ini cukup sulit untuk dijawab, karena yang jadi pokok permasalahan adalah problem eksternal, bukan problem internal. Permasalahannya adalah, adanya gap antara sekolah negeri dan sekolah swasta. Kebijakan-kebijakan pemerintah terkait dengan sekolah negeri dan sekolah swasta justru membuat sekolah swasta kecil semakin terpojok. Salah satunya adalah kewajiban pemerintah daerah untuk menyelenggarakan sekolah negeri. Pemerintah seakan ingin bersaing dengan sekolah-sekolah swasta. Tentu tidak masalah bagi sekolah-sekolah swasta yang sudah „besar‟. Namun, sekolah swasta kecil akan kalah bersaing dengan sekolah negeri. Sudah saatnya pemerintah memperhatikan sekolah swasta kecil yang berperan penting dalam pembangunan karakter bangsa, khususnya Taman Siswa. Taman Madya Ibu Pawiyatan harus tetap berdiri sebagai salah satu institusi pendidikan formal tingkat SMA yang mengimplementasikan nilai-nilai luhur warisan Ki Hadjar Dewantara. Pembangunan pendidikan harus dimaknai pemerataan pendidikan, bukan peninggian pendidikan. Proses pendidikan harus didasari pada jiwa ngemong para guru terhadap murid, agar tidak ada lagi kesenjangan antara guru dan murid. Taman Madya Ibu Pawiyatan harus kita apresiasi karena sekolah ini tetap teguh mempertahankan „keorisinalitas‟nya di tengah arus globalisasi, yang mana sekolah-sekolah lain sudah terkena dampak destruktifnya.
E. Merubah Paradigma Pendidikan Kita selalu menganggap bahwa pendidikan sangat penting untuk masa depan, terutama untuk memperoleh pekerjaan yang layak. Stigma seperti ini sangat berbahaya untuk perkembangan pendidikan di masa depan, karena pendidikan
105
sekedar dimaknai sebagai investasi. Investasi di sini dimaksudkan pendidikan hanya sebagai sarana untuk mencapai „kesuksesan‟ individual. Seperti yang sudah dijelaskan di bab-bab sebelumnya, „kesuksesan‟ hanya dimaknai secara materialisme, dengan kata lain yang kasat mata. Padahal, seharusnya pendidikan memiliki nilainilai luhur, yaitu untuk kepentingan masyarakat secara luas, bukannya untuk mencapai kepentingan-kepentingan individu semata. Pola pikir masyarakat yang demikian memang tidak sepenuhnya keliru, mengingat berbagai problem yang menimpa dunia pendidikan kita hingga menciptakan sistem pendidikan nasional yang pragmatis. Adanya syarat-syarat bekerja yang menggunakan syarat-syarat ijazah, sertifikat, dan lainnya membuat masyarakat terkonstruksi bahwa dalam pendidikan ijazahlah yang terpenting untuk mendapatkan penghidupan yang layak di masa depan. Sehingga, masyarakat makin berlomba-lomba dan berkompetisi satu sama lain dalam pendidikan. Pasca pendidikanpun masyarakat dituntut untuk berkompetisi pula dalam dunia kerja. Yang menang mendapatkan pekerjaan dan nafkah, yang kalah hanya dapat menerima menjadi pengangguran atau pekerjaan lain yang „kurang‟ memadai. Pendidikan kontemporer yang cenderung bersifat opresif, menyebabkan nilai-nilai humanis dalam pendidikan digeser oleh nilai-nilai modern yang cenderung memunculkan dehumanisasi. Modernitas yang sarat akan materialisme, menyebabkan pendidikan dimaknai sebagai sebuah sarana untuk berbisnis. Hanya yang memiliki aksesibilitas yang dapat mencicipi sebuah pendidikan yang dinilai berkualitas (baca: pendidikan formal). Aksesibilitas ini dapat berbentuk seperti ekonomi, infrastruktur, maupun budaya. Pendidikan bukanlah agen pencetak kesenjangan sosial. Pendidikan harus dapat mencakup seluruh masyarakat Indonesia, sebagaimana yang telah termaktum dalam undang-undang. Pendidikan progresif tidak harus melulu mengadopsi teoriteori barat, melainkan bagaimana kita „meracik‟ antara teori-teori yang diadopsi dari
106
luar dengan realitas sosial. Tentu saja kita harus berpedoman pada nilai-nilai budaya yang terkandung di dalam aspek historis masyarakat Indonesia. Dengan demikian, implementasi pendidikan nasional akan memiliki relevansi dengan realitas sosial masyarakat kita yang majemuk, dan pendidikan yang dicita-citakan oleh Ki Hadjar Dewantara, yaitu pendidikan yang bermanfaat bagi seluruh masyarakat bumi pertiwi.
107