140
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Dari keseluruhan pembahasan dan uraian mengenai Sinergisitas Pengendalian dan Pemeriksaan
Dalam Pengelolaan
Dan
Pertanggungjawaban
Keuangan
Negara,
sebagaimana telah dipaparkan pada sebelumnya, maka pada bagian akhir tulisan ini, akan disampaikan kesimpulan dan saran.
1. Kesimpulan Berdasarkan analisa dari pembahasan sebagaimana telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Reformasi ketatanegaraan yang ditandai dengan amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, telah mengubah struktur ketatanegaraan khususnya pola hubungan kelembagaan di antara lembaga negara. Dalam Pasal 1 Ayat (2) perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, menyebutkan kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Dengan demikian mekanisme pelaksanan kedaulatan rakyat oleh Undang-Undang Dasar kemudian didistribusikan kepada lembagalembaga negara sesuai dengan kewenangan konstitusionalnya. Dalam konteks pengelolaan keuangan negara, perubahan terhadap Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945, menegaskan dan menempatkan Badan Pemeriksa Keuangan sebagai “Satu” lembaga negara yang melaksanakan kedaulatan rakyat melalui kewenangan kosntitusionalnya untuk memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab
141
tentang keuangan negara. Dengan demikian terjadi perubahan paradigma pengelolaan keuangan negara yang sebelumnya memposisikan DPR sebagai pemegang kekuasaan dibidang keuangan negara (otorisator), melalui Hak budget (begrooting) dan BPK merupakan lembaga yang auxiliary terhadap fungsi pengawasan yang dimiliki oleh DPR dan bertanggungjawab kepada DPR dalam mengawasi kinerja pemerintah. Konteks keuangan negara yang tercermin dalam APBN, bukanlah semata-mata merupakan kewenangan DPR sebagai bagian dari fungsi anggaran (begrooting), yang kemudian digambarkan sebagai machtiging atau autorisatie, melainkan secara ketatanegaraan dapat dikatakan merupakan perpaduan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan bersama oleh pemerintah (Presiden), DPR dan BPK sesuai dengan kewenagannya memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara. Hasil pemeriksaan tidak hanya diserahkan kepada DPR melainkan juga kepada lembaga lain sesuai dengan kewenangannya.
2. Sistem pengendalian intern pemerintah (SPIP) merupakan bagian dari kekuasaan pengelolaan keuangan negara yang dimiliki oleh presiden sebagai kepala pemerintahan. Sistem pengendalian intern pemerintah dilaksanakan ditiap unit kerja pemerintah sebagai mekanisme kendali terhadap kinerja pengelolaan keuangan negara yang bersifat internal. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, ditegaskan sistem pengendalian dilaksanakan melalui pengendalian ditiap unit kerja oleh atasan atau pimpinan unit serta melalui aparat pengendalian intern pemerintah (APIP)
142
yang melaksanakan pengawasan sebagai bagian dari pengendalian internal pemerintah dan dilaksanakan oleh BPKP bertanggungjawab pada presiden, Inspektorat Jenderal bertanggungjawab pada Menteri atau Pimpinan lembaga non depertemen, Inspektorat Provinsi yang bertanggungjawab pada Gubernur, Inspektorat Daerah yang bertanggungjawab pada Bupati/Walikota. Lingkup pengawasan yang dilakukan tiap APIP berbeda sesuai dengan mekanisme pertanggungjawabannya dan tidak bersifat hirarkis atau vertikal melainkan bersifat koordinatif. 3. Reformasi dibidang pengelolaan keuangan negara khususnya pelaksanaan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara yang ditandai dengan perubahan terhadap Pasal 23 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, tidak serta-merta diikuti dengan penguatan kelembagaan BPK terkait dengan kewenangannya, dimana sampai saat ini BPK belum mampu melaksanakan tugas konstitusionalnya secara masksimal. Justru penegasan yuridis dari kawenangan BPK ini kemudian menimbulkan persoalan tumpang-tindihnya obyek pemeriksaan obyek pemeriksaan yang melibatkan BPK sebagai lembaga pemeriksa pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara dengan aparat pengendalian intern pemerintah. Problematika tumpang-tindihnya kemudian direspon dengan cara yang lain, yaitu dengan mengatur sinergisitas antara BPK dan aparat pengendalian internal pemerintah melalui perangkat undang-undang dibidang pengelolaan keuangan negara. Secara kuantitas sinergisitas ini dapat dikatakan sebagai terobosan solutif yang baik dimana kemudian dapat membantu BPK untuk mencapai semua aspek
143
pengelolaan keuangan negara yang menjadi kewenangannya, sehingga pada tahap pemeriksaan pengelolaan hasil pemeriksaan berjalan efektif. Namun pada sisi kualitas pertanggungjawaban justru terjadi persoalan yang diakibatkan oleh lemahnya kedudukan APIP dari sisi kualitas independensi, sumber daya manusia, kelembagaan dan jabatan. Dengan demikian dapat dikatakan pelaksanaan sinergisitas ini justru melemahkan posisi BPK sebagai pemegang kuasa dibidang pemeriksaan pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara. Apabila dicermati, maka dapat dikatakan bahwa reformasi hukum keuangan negara, masih jauh dari tuntas dan menjamin kepastian hukum. Mengingat bahwa perubahan-perubahan itu masih belum menghapuskan aspek-aspek yang dapat menghambat pelaksanaannya. Terutama yang berkenaan dengan, kepastian dan kewenangan lembaga yang melakukan audit dan pemeriksaan terhadap penggunaan
keuangan
negara.
Bagaimana
menyederhanakan
prosedur
pemeriksaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, sehingga trasparansi atau keterbukaan informasi bagi kepentingan pemeriksaan menjadi mudah dan guna menghilangkan prasangka atau dugaan adanya penyimpangan bahkan korupsi. Sistem pengelolan keuangan negara yang baik mempersyaratkan antara lain sistem pengendalian internal yang kuat yang terdiri dari bendahara yang comptabel, Aparat Pemeriksa Intern yang handal dan pemeriksa Ekstern yang Independen. Bendahara yang comptabel diharapkan dapat menolak transaksi yang tidak sesuai dengan alokasi yang telah ditentuan sehingga memperkecil peluang penyimpangan, bila masih terjadi penyimpangan maka aparat pengawas
144
intern (APIP) diharapkan mampu secepatnya mendeteksi penyimpangan tersebut untuk disampaikan kepada atasan sebagai pihak yang bertanggungjawab mengelolah keuangan negara dan untuk memastikan bahwa penggunaan keuangan negara oleh pemerintah telah sesuai dengan persetujuan yang diberikan DPR maka dilakukan pemerikasaan oleh lembaga pemeriksa Eksternal dalam hal ini oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dalam sistem pengelolaan keuangan negara yang baik, keberadaan Aparat Pengawas Internal (APIP) sangat penting artinya namun pembentukannya harus mempertimbangkan aspek efektifitas dan efesiensi, tidak tumpang tinggi yang pada akhirnya membebani keuangan negara.
2. Saran Dibangunnya pola sinergistas antara BPK dan APIP bukan jawaban yang baik untuk mencapai tata kelola keuangan negara yang baik pula. Dengan demikian dibutuhkan sebuah reformasi keuangan yang radikal dengan merubah paradigama yang sudah ada sebelumnya, oleh penulis ada beberapa hal penting yang bisa dilaksanakan terkait sinergisitas pengendalian dan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yakni, 1. Penguatan dari sisi yuridis terhadap BPK juga haruslah disertai dengan penguatan aspek kelembagaan mulai dari kulitas dan kuantitas sumber daya manusia, saranaprasarana mengingat luasnya aspek pemeriksaan dan jangka waktu penyerahan hasil pemeriksaan. 2. Independensi APIP sangat bergantung pada mekanisme pertanggungjawaban dengan demikian maka untuk menjaga hal ini, pertanggungjawaban pengendalian
145
yang dilakukan oleh APIP selayaknya bersifat hirarkis tidak terpencar sesuai dengan kedudukannya. APIP di tingkat kabupaten dan provinsi bertanggungjawab langsung kepada Menteri Dalam Negeri. Demikian juga dengan pelembagaannya tidak diserahkan langsung kepada pemerintah daerah melainkan langsung dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara Dan Reformasi Birokrasi sehingga mekanisme pengisian jabatan dan rekruitmen tidak dipengaruhi oleh politik di tingkat lokal karena berhubungan langsung dengan entitas yang diperiksa. Inspektorat Jenderal sebagai aparat pengendalian pada tingkat kementerian dan lembaga non depertemen, bertanggung jawab pada BPKP sebagaimana kewenangan BPKP yang memeriksa lintas sektoral serta bertanggungjawab langsung kepada presiden, sehingga kedudukan BPKP harus ditingkatkan dari lembaga pemerintah non kementerian menjadi kementerian atau paling tidak kebijakan anggaran dan struktural tidak bergantung pada salah satu kementerian. 3. Apabila tetap mengedepankan sinergisitas antara BPK dan APIP sebagaimana tertuang dalam perudang-undangan dibindang keuangan negara maka konteks independensi APIP harus ditingkatkan dengan bertanggungjawab kepada BPK sebagaimana kewenangan BPK terkait pemeriksaan pengelolaan yang juga didalamnya mengandung aspek pengendalian. Sehingga penggunaan hasil pemeriksaan APIP oleh BPK benar-benar sesuai dan dapat dipertanggungjawabkan, hal ini dapat dilihat dari beberapa kasus di lembaga maupun daerah yang mengakibatkan kerugian negara justru setelah BPK mengeluarkan opini wajar tanpa pengecualian.