BAB IV PEMBAHASAN
IV.1
Perencanaan Evaluasi Tujuan dilakukan perencanaan evaluasi yaitu untuk memperoleh bahan bukti yang cukup, mengidentifikasi kelemahan dan menghindari salah pengertian dengan pihak terkait. Tahap-tahap yang dilakukan dalam perencanaan evaluasi adalah penentuan ruang lingkup evaluasi, tujuan pelaksanaan evaluasi dan pengumpulan data.
IV.1.1 Ruang Lingkup Evaluasi Ruang lingkup evaluasi pengendalian internal atas pembiayaan secara kredit dan penagihan piutang adalah : 1.
Identifikasi fungsi dan prosedur pengendalian internal atas pembiayaan secara kredit dan penagihan piutang pada PT KRF.
2.
Evaluasi 5 komponen pengendalian internal pada PT KRF dengan menggunakan COSO Framework sebagai dasar evaluasi.
3.
Membuat
saran-saran
perbaikan
atas
kelemahan-kelemahan
yang ditemui dalam pengendalian internal pada PT KRF.
46
IV.1.2 Tujuan Pelaksanaan Evaluasi Tujuan
pelaksanaan
evaluasi
ini
untuk
menganalisis
dan
mengevaluasi penerapan pengendalian pada 5 komponen COSO atas pelaksanaan pembiayaan secara kredit dan penagihan piutang. IV.1.3 Pengumpulan Data Pengumpulan bukti dilakukan dengan beberapa cara. Dalam pengumpulan data, penulis melakukan pengamatan dengan cara : 1.
Wawancara Penulis mengadakan tanya jawab secara langsung para pihakpihak yang bersangkutan di PT KRF.
2.
Observasi Penulis melakukan pengamatan langsung kepada objek yang diteliti.
IV.2
Evaluasi Pengendalian Internal atas Pembiayaan Secara Kredit dan Penagihan Piutang Pembiayaan secara kredit pada PT KRF merupakan kegiatan sumber pendapatan utama perusahaan. Oleh karenanya, diperlukan pengendalian internal yang andal untuk meminimalisasi resiko terjadinya kredit macet yang dapat merugikan perusahaan. Dalam penelitian ini, penulis membahas pengendalian internal atas pembiayaan secara kredit dan penagihan piutang. Dalam bab ini penulis akan melakukan evaluasi pengendalian internal pada PT KRF dengan menggunakan pendekatan
COSO.
Penulis
akan
mengevaluasi
efektifitas
penerapan 47
pengendalian internal dengan mengacu kepada COSO Framework pada PT KRF, yaitu lingkungan pengendalian (control environment), penilaian resiko (risk assessment), sistem informasi dan komunikasi (Information and communication system), aktivitas pengendalian (control activities) dan pemantauan (monitoring).
IV.2.1 Evaluasi Lingkungan Pengendalian Lingkungan pengendalian mempengaruhi jalannya perusahaan dan membentuk kesadaran sumber daya manusia atas pentingnya pengendalian yang baik. Lingkungan pengendalian merupakan fondasi bagi komponen pengendalian internal lainnya. Faktor-faktor lingkungan pengendalian meliputi: integritas dan nilai etika, dewan direksi (board of director), filosofi manajemen dan gaya operasi, struktur organisasi, kompetensi pelaporan keuangan, otorisasi dan tanggung jawab, sumber daya manusia. Peneliti
akan
melakukan
evaluasi
komponen
dari
lingkungan
pengendalian internal, sebagai berikut: 1.
Integritas dan Nilai Etika, Dewan Direksi (Board of Director), Filosofi Manajemen dan Gaya Operasi Integritas dan nilai-nilai etika yang sehat, khususnya pada level manajemen puncak, dikembangkan dan dipahami kemudian digunakan sebagai acuan/standar dalam kegiatan pelaporan keuangan. Dewan direksi dan manajemen puncak PT KRF sangat menyadari bahwa dalam menjalani kegiatan operasionalnya di Indonesia, PT KRF sebagai perusahaan pembiayaan, wajib 48
memenuhi requirement yang ditetapkan oleh BAPEPAM-LK (Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan) Ruang lingkup penelitian pada area ini dibatasi pada divisi tertentu dimana penulis melakukan wawancara dan observasi. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara, penulis menemukan bahwa laporan-laporan keuangan dibuat memenuhi requirement yang ditetapkan oleh Departemen Jendral Lembaga Keuangan (DJLK) dan diawasi secara ketat oleh Badan Pengawas Pasar Modal – Lembaga Keuangan (BAPEPAM-LK), seperti yang telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan. Efektif tanggal 15 Juni 2012, PT KRF akan mewajibkan konsumen untuk membayarkan Down Payment sebesar minimal 20%
sesuai
dengan
Peraturan
Menteri
Keuangan
No.
43/PMK.010/2012 tentang Uang Muka Pembiayaan Konsumen untuk Kendaraan Bermotor Pada Perusahaan Pembiayaan. 2.
Struktur Organisasi, Kompetensi Pelaporan Keuangan, Otorisasi dan Tanggung Jawab, Sumber Daya Manusia PT KRF telah memiliki struktur organisasi yang membagi masing-masing departemen sesuai dengan fungsi kerjanya. Otorisasi dan tanggung jawab setiap unit departemen dengan jelas disebutkan dalam buku pedoman kerja. Pemisahan tugas (segregation of duties) antara fungsi-fungsi yang kritikal telah 49
diterapkan, sehingga meminimalisasi resiko terjadinya kecurangan yang dilakukan dalam perusahaan, sebagai contoh pembiayaan fiktif. Namun berdasarkan hasil wawancara, penulis menemukan bahwa hanya departemen audit yang tidak memiliki formal job desk yang tertulis, sehingga penulis tidak dapat mengetahui secara jelas tugas dan tanggung jawab dari departemen audit. Penulis mengusulkan agar perusahaan membuat job desk untuk departemen audit sehingga tugas dan tanggung jawab departemen audit menjadi jelas. Terkait dengan pelaporan keuangan, PT KRF telah memiliki departemen Finance yang bertanggung jawab atas pelaporan keuangan perusahaan, dimana individu-individu kompeten yang tergabung didalamnya diseleksi melalui proses seleksi yang ketat sesuai dengan standar perusahaan. Secara umum, penulis menemukan bahwa PT KRF belum memiliki program pengembangan dan peningkatan kemampuan bagi
sumber
daya
manusianya
(termasuk
didalamnya
pengembangan karir dan pelatihan/training regular) Ketiadaan program tersebut dapat meningkatkan resiko tingginya people turnover dan menurunnya loyalitas sumber daya manusia kepada perusahaan. Penulis mengusulkan agar perusahaan membuat program pengembangan dan peningkatan kemampuan bagi sumber 50
daya manusianya (termasuk didalamnya pengembangan karir dan pelatihan/training
regular)
sehingga
dapat
meningkatkan
kemampuan dari sumber daya manusia yang dimilikinya dan diharapkan dapat mengurangi resiko tingginya turn-over sumber daya manusia. Pengendalian umum dan pengendalian aplikasi terkait teknologi informasi (IT General Controls and Application Controls) Berdasarkan
hasil
wawancara dan
observasi,
penulis
mengetahui bahwa perusahaan menggunakan sistem aplikasi berbasis
clipper
dalam
mendukung
kegiatan
operasional
perusahaannya. Sistem aplikasi yang digunakan biasa disebut sebagai aplikasi pembiayaan. Pengendalian umum meliputi bagaimana perusahaan me-manage perubahaan terhadap program aplikasi baik perubahan program maupun hak akses user, melakukan monitoring terhadap perubahan-perubahan yang terjadi secara berkala, pemisahan fungsi (segregation of duties) serta kegiatan backup dan recovery. Dalam area pengendalian umum, penulis menemukan bahwa:
1.
Perusahaan belum memiliki IT SOP tersendiri yang mengatur kebijakan dan prosedur terkait proses TI, contohnya: prosedur pembuatan user, perubahaan hak akses user, perubahan program, password setting, penggunaan fasilitas TI (contoh: penggunaan internet), prosedur backup dan recovery, dan lain 51
sebagainya. 2.
Perusahaan
menggunakan
free
email
provider
untuk
kepentingan komunikasi internal perusahaan. 3.
Perusahaan tidak melakukan review secara berkala terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem maupun akses.
4.
Penulis menemukan bahwa perusahaan belum melakukan proses recovery secara berkala sehingga meningkatkan resiko data backup yang dimiliki tidak dapat di-restore saat diperlukan (data availability)
5.
Perusahaan tidak mendokumentasikan setiap perubahaan yang
dilakukan
terkait
perubahaan
program
maupun
perubahan akses. Penulis mengusulkan agar perusahaan: 1.
Membuat IT Policy and Procedure yang memadai sehingga penggunaan TI dalam perusahaan menjadi tepat guna dalam mendukung perusahaan mencapai visi dan misi serta tujuannya secara maksimal.
2.
Menggunakan non-free email provider dalam melakukan komunikasi internal. Penggunaan free provider dapat meningkatkan resiko informasi (confidentiality) dapat diakses oleh orang yang tidak berwenang.
52
3.
Melakukan
prosedur
recovery
secara
berkala
untuk
meyakinkan bahwa data yang dibackup dapat digunakan saat dibutuhkan. 4.
Membuat dokumentasi yang baik atas perubahan yang dilakukan pada sistem aplikasi maupun hak akses user. Dokumentasi
yang
dibuat
dapat
berupa
hardcopy
documentation (berupa form) atau softcopy documentation (contoh: email). Atribut yang perlu diperhatikan dalam pembuatan dokumentasi yang baik adalah:
Terdapat informasi mengenai requestor dari perubahan yang diminta.
Terdapat departemen
otorisasi terkait,
persetujuan misalnya:
(approval) manager,
dari untuk
dilakukannya perubahan yang diminta.
Terdapat
otorisasi
persetujuan
(approval)
dari
departemen TI untuk dilakukannya perubahan tersebut. Juga, perlu disebutkan siapa user departemen TI yang melakukan perubahan yang diminta.
Terdapat tanggal request, tanggal persetujuan dan tanggal perubahan dilakukan kedalam sistem.
Terdapat hasil uji (testing) yang digunakan oleh user.
Terdapat informasi user yang melakukan testing serta persetujuan dari user tersebut bahwa perubahan yang 53
dibuat telah sesuai dengan yang diharapkan. Berdasarkan
hasil
wawancara
dan
observasi,
terkait
area
pengendalian aplikasi, penulis mengetahui bahwa: 1.
Aplikasi pembiayaan yang digunakan memiliki beberapa menu utama, yaitu menu AR, AP, STNK, Accounting. Login diperlukan
untuk
dapat
mengakses
sistem
aplikasi
pembiayaan, seperti terlihat dibawah ini:
Gambar 4.1 Aplikasi Pembiayaan
54
2.
Untuk setiap menu tertentu, hanya satu user yang memiliki akses login ke menu tersebut, sebagai contoh: admin sales, admin collection, dan lain-lain. Disamping satu user tersebut, BFM memiliki akses ke semua menu. Login ID dan password dibutuhkan
sebelum
user
dapat
mengakses
aplikasi
pembiayaan, seperti terlihat dibawah ini:
Gambar 4.2 Menu Aplikasi Pembiayaan
55
Gambar 4.3 Login Aplikasi Pembiayaan 3.
Setting konfigurasi untuk User ID dan password adalah sebagai berikut: 1.
Panjang karakter user ID dan password
adalah 6
karakter. 2.
Tidak terdapat history password yang digunakan.
3.
Tidak
terdapat
password
validity
period
yang
diterapkan. User dan password yang sudah tidak digunakan akan dihapus oleh BFM. 4.
Akses ke tabel master data hanya dimililiki oleh departemen TI.
56
Penulis mengusulkan: 1.
Menerapkan history password dan password validity period. Dengan adanya history password misalnya sebanyak tiga kali, user diwajibkan untuk tidak menggunakan password yang sama sebanyak tiga kali. Dengan password validity period yang contohnya di setting menjadi sembilan puluh hari, user diwajibkan untuk mengganti password nya setelah sembilan puluh hari. Hal ini dapat mengurangi resiko password diketahui oleh user yang tidak berhak yang mencoba mengakses ke dalam sistem aplikasi.
IV.2.2 Evaluasi Penilaian Resiko Setiap perusahaan akan menghadapi berbagai resiko baik internal maupun external yang harus dinilai. Sebelum melakukan penilaian resiko, perusahaan harus menetapkan tujuan pelaporan keuangan. Penilaian resiko adalah identifikasi dan analisa atas resiko-resiko yang relevan dalam mencapai tujuan, sebagai dasar untuk menentukan bagaimana resiko harus dikelola. Resiko-resiko umum yang terdapat dalam lembaga keuangan adalah credit risk, liquidity risk, market risk, operational risk, strategic risk, IT risk dan compliance risk.
57
Berdasarkan hasil wawancara, penulis menemukan bahwa PT KRF telah melakukan penilaian resiko kredit (credit risk) menggunakan data history kredit macet sebagai dasar melakukan penilaian resiko sebagai berikut: 1.
Besar/kecil nya down payment yang dibayarkan oleh konsumen.
2.
Lama kerja account officer yang terkait dalam pemberian kredit.
3.
Lama tenor (periode) kredit Namun, penilaian resiko kredit tersebut belum dilakukan secara
regular, hanya dilakukan ad-hoc saja. PT KRF juga belum melakukan penilaian atas resiko-resiko lainnya diluar resiko kredit (credit risk) Penulis mengusulkan agar PT KRF dapat melakukan penilaian resiko kredit secara regular, sehingga perusahaan dapat menentukan langkah yang harus dilakukan tepat pada waktunya (in timely manner). Penulis juga mengusulkan agar perusahaan dapat melakukan kegiatan penilaian resiko lainnya (liquidity risk, market risk, operational risk, strategic risk, IT risk dan compliance risk) sehingga dapat dilakukan penilaian resiko secara menyeluruh yang dapat memberikan manfaat bagi perusahaan.
IV.2.3 Evaluasi Informasi dan Komunikasi PT KRF telah memiliki sistem akuntansi yang cukup memadai dengan
adanya
kebijakan
dan
prosedur-prosedur
formal
yang
memperlihatkan bagaimana proses pembiayaan secara kredit dijalankan. 58
Penerapan yang dilakukan oleh perusahaan terkait dengan informasi dan komunikasi adalah sebagai berikut: 1.
PT KRF telah memiliki sistem dan prosedur yang mengatur jalannya aktivitas pembiayaan secara kredit. Didalam sistem dan prosedur pembiayaan secara kredit dijelaskan dari proses pengajuan sampai persetujuan kredit. Sistem dan prosedur ini telah disosialisasikan kepada bagian-bagian terkait dan harus dipatuhi oleh karyawan perusahaan.
2.
Terdapat komunikasi yang efektif dan kondusif diantara individuindividu yang bekerja di PT KRF, sehingga meningkatkan kinerja perusahaan.
IV.2.4
Evaluasi Aktivitas Pengendalian Internal Aktivitas pengendalian merupakan kebijakan dan prosedur yang dapat membantu manajemen melakukan tugasnya. Aktivitas tersebut memastikan bahwa tindakan yang diperlukan untuk mengatasi resiko dalam pencapaian tujuan perusahaan. Evaluasi terhadap aktivitas pengendalian internal yang akan dibahas penulis adalah meliputi : 1.
Evaluasi terhadap pemisahan tugas yang memadai Pembagian struktur organisasi merupakan salah satu unsur
dari pengendalian internal yang memisahkan tanggung
jawab fungsional secara tegas. Pemisahan tugas atas fungsi yang kritikal dapat meminimalisasi resiko kecurangan yang dapat dilakukan oleh individu dalam perusahaan. 59
Dalam melakukan evaluasi pada aktivitas pengendalian internal, diperlukan keterkaitan fungsi-fungsi yang saling berhubungan dalam menjalankan pembiayaan secara kredit dan penagihan piutang yang sedang berjalan di dalam perusahaan. Juga, dalam melakukan evaluasi terhadap pemisahan tugas, perlu
diketahui
fungsi-fungsi
apa
saja
yang
harus
dipisahkan agar tidak terjadi kecurangan (fraud) Melalui wawancara dan observasi atas prosedur yang diberikan oleh perusahaan, penulis menemukan bahwa perusahaan telah menerapkan pemisahaan fungsi kritikal sebagai berikut: 1.
Fungsi penjualan telah terpisah dengan fungsi kredit. Pada sistem penjualan kredit perusahaan, fungsi penjualan dan persetujuan kredit telah terpisah. Fungsi penjualan dilakukan oleh bagian account officer dan input data penjualan dilakukan oleh bagian administrasi penjualan, sedangkan fungsi persetujuan kredit dilakukan oleh BMM. Pemisahan tugas kedua fungsi ini bermaksud untuk menciptakan
pengecekan
internal
terhadap
transaksi
pembiayaan kredit. Dalam transaksi pembiayaan kredit, fungsi penjualan mempunyai
kecenderungan
untuk
menjual
barang
sebanyak-banyaknya, seringkali mengabaikan dapat ditagih atau tidaknya piutang tersebut. Oleh karena itu diperlukan 60
pengecekan oleh fungsi kredit sebelum transaksi penjualan kredit disetujui. Fungsi kredit ini
memiliki
wewenang
untuk menolak pemberian kredit kepada konsumen. Dengan adanya dua fungsi terpisah, maka pengendalian internal akan lebih mudah dilakukan. 2.
Fungsi akuntansi telah terpisah dari fungsi penagihan maupun fungsi penerimaan kas. Pada sistem penerimaan kas perusahaan, fungsi akuntansi telah terpisah dari fungsi penagihan dan fungsi penerimaan kas. Fungsi penagihan di perusahaan di lakukan oleh collector yang bertanggung jawab untuk menagih piutang konsumen yang telah jatuh tempo, dan uang akan di serahkan ke bagian kasir untuk disimpan dan diproses lebih lanjut. Sedangkan bagian akuntansi bertanggung jawab mencatat laporan penerimaan kas yang diserahkan dari bagian kasir. Disamping pengendalian internal tersebut diatas, penulis menemukan bahwa perusahaan telah menerapkan key performance indicator (KPI) yang berisikan award dan punishment bagi fungsi sales (account officer), BMM dan collector yang diharapkan dapat meningkatkan efektifas pengendalian internal perusahaan.
61
Namun,
penulis
juga
menemukan
bahwa
perusahaan belum mempunyai prosedur regular terkait dengan evaluasi atas pencapaian KPI yang berhasil dicapai maupun yang gagal dicapai. Penulis mengusulkan agar perusahaan menerapkan formal prosedur untuk melakukan evaluasi secara regular tersebut. 2.
Evaluasi terhadap pengendalian internal persetujuan pemberian kredit. Berdasarkan wawancara, penulis menemukan bahwa perusahaan memberikan persetujuan kredit bagi konsumennya tanpa adanya survey status keuangan. Proses survey tidak mencakup status keuangan calon konsumen (misalnya: ada tidak nya sangkutan kredit di tempat lain) dengan tidak adanya survey status keuangan ini dapat meningkatkan resiko meningkatnya kredit macet, karena evaluasi atas solvabilitas konsumen tidak dianalisa sebelum kredit disetujui. Perusahaan telah melakukan proses survey ulang atas permohonan kredit yang dilakukan oleh calon konsumen. Survey yang dilakukan mencakup: konfirmasi atas status kepemilikan rumah, lama tinggal di rumah tersebut, benar atau tidak pengajuan kredit tersebut diajukan oleh calon konsumen. Penulis mengusulkan agar perusahaan melakukan survey terkait status keuangan calon konsumen (contoh melalui 62
referensi dari keluarga/lingkungan sekitar). 3.
Evaluasi terhadap pengendalian internal proses penagihan piutang. Dalam melakukan penagihan piutang, perusahaan masih menggunakan kolektor, yang datang secara langsung ke konsumen untuk melakukan penagihan atas piutang. Hal ini disebabkan karena mayoritas konsumen PT KRF tidak memiliki rekening bank. Penagihan menggunakan cara tersebut meningkatkan resiko lapping yang dilakukan oleh kolektor. Berikut adalah contoh kwitansi yang digunakan untuk melakukan penagihan:
Gambar 4.4 Bukti Kwitansi Pembayaran Penulis
mengusulkan
agar
PT
KRF
menjadikan
63
kepemilikan atas rekening bank sebagai salah satu persyaratan yang
harus
dimiliki
konsumen
apabila
mereka
ingin
mengajukan permohonan kredit kepada PT KRF, sehingga pembayaran cicilan yang dilakukan oleh konsumen dapat dilakukan melalui transaksi bank, misalnya dengan metode transfer atau auto debet. Disamping itu, penulis mengetahui bahwa perusahaan telah memiliki pengendalian internal terkait dengan hilangnya kwitansi yang digunakan sebagai basis untuk melakukan penagihan,
yaitu
dengan
pembuatan
laporan
kronlogis
hilangnya kwitansi yang harus disetujui oleh BFM. Namun, penulis menemukan bahwa perusahaan tidak memiliki kegiatan monitoring yang dilakukan secara berkala yang bertujuan untuk menganalisa seberapa sering kwitansi hilang, siapa kolektor yang paling sering menghilangkan kwitansi, dan alasan apa yang biasanya digunakan sebagai alasan hilangnya kwitansi. Dengan dilakukannya monitoring secara berkala, maka perusahaan dapat menganalisa kolektor mana yang harus lebih diawasi, sehingga dapat meminimalisasi kecurangan (contoh: melakukan penagihan lebih dari satu kali kepada konsumen) yang mungkin dilakukan oleh kolektor. 4.
Evaluasi terhadap pengendalian internal proses motor tarikan. Berdasarkan wawancara, penulis mengetahui bahwa PT 64
KRF hanya memiliki sedikit motor tarikan yang disebabkan oleh
ketidak
sanggupan
konsumen
untuk
memenuhi
kewajibannya membayar cicilan. Penulis juga mengetahui bahwa motor hasil tarikan (yang tidak dapat ditebus lagi oleh konsumen), oleh PT KRF akan dijual kembali kepada pembeli (perorangan/dealer yang bekerja sama) apabila penawaran yang diajukan oleh pembeli disetujui oleh BFM. Penarikan motor dilakukan
apabila
konsumen
tidak
dapat
melunasi
kewajibannya setelah diberikan tenggang waktu selama dua minggu. Dalam proses penarikan motor, terkadang motor sulit ditarik dengan berbagai alasan (misalnya: konsumen sudah tidak tinggal di rumahnya lagi, konsumen sulit ditemui, atau motor sudah tidak ada ditangan konsumen) Motor tarikan juga bisa ditemui dalam keadaan tidak utuh (dipereteli oleh konsumen) PT KRF akan menugaskan team khusus untuk menelusuri kebenaran dari alasan-alasan tersebut. Berdasarkan wawancara, terkait dengan motor yang telah dipereteli oleh konsumen, PT KRF menyadari bahwa hal tersebut adalah resiko yang harus dihadapi oleh perusahaan. PT KRF memperlakukan hal tersebut sebagai potensial kerugian yang harus ditanggungnya. Motor yang telah dipereteli akan dijual kembali kepada perorangan/dealer yang bekerjasama 65
sesuai dengan penawaran yang disetujui dengan kondisi motor tarikan. Proses penjualan motor yang telah dipereteli tersebut akan mengikuti prosedur standar penjualan motor tarikan. Sesuai
dengan
ketentuan
pemerintah,
perusahaan
hendaknya memperbesar down payment (misalnya sekitar 20%-30%) sehingga konsumen yang mengajukan pengajuan kredit merupakan konsumen dengan kemampuan financial yang baik dan dapat melakukan pelunasan kreditnya. Penulis mengusulkan agar perusahaan menjadikan syarat tinggal minimal disuatu tempat (misalnya jika status rumah tinggal konsumen adalah kontrak, maka periode kontrak minimal di rumah tersebut adalah 2 tahun) sebagai salah satu atribut wajib yang harus dipertimbangkan saat proses persetujuan kredit. Hal ini dilakukan untuk mengurangi tingkat resiko konsumen dengan itikad tidak baik (dengan sengaja mengajukan kredit dan membawa kabur motor yang telah dibelinya, dan lain sebagainya) Disamping
hal
tersebut
diatas,
tidak
tertutup
kemungkinan bahwa penarik motor melakukan kecurangan dengan membuat laporan penarikan yang tidak benar, yaitu: motor
berhasil
ditarik
namun
tidak
dikembalikan
ke
perusahaan melainkan dipergunakan untuk kepentingan pribadi (disimpan di rumah untuk dipergunakan kembali atau untuk 66
dijual) Penulis mengusulka perusahaan melakukan penugasan kepada penarik motor yang berbeda apabila penarikan motor tidak berhasil dilakukan oleh penarik motor lebih dari tiga kali, untuk menghindari resiko tersebut diatas.
IV.2.5 Evaluasi Pemantauan Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis pada perusahaan, penulis menemukan beberapa hal terkait penerapan pemantauan perusahaan yang telah dilakukan dengan baik pada transaksi pembiayaan secara kredit dan penagihan, sebagai berikut: 1.
Rekonsiliasi harian atas penerimaan kas dan kwitansi tidak tertagih Dari hasil observasi dan wawancara yang dilakukan, penulis menemukan bahwa perusahaan telah melakukan pemantauan atas penerimaan kas hasil kolektor dengan banyaknya kwitansi yang tidak tertagih. Hal ini dapat meminimalisasi resiko piutang tidak tertagih dapat di-follow up tepat waktu. Selain itu, dapat mendeteksi kecurangan yang dilakukan oleh kolektor tepat waktu.
2.
Manajemen melakukan evaluasi atas bad debt yang disebabkan oleh kredit macet. Berdasarkan hasil wawancara, penulis mengetahui bahwa perusahaan melakukan evaluasi terhadap piutang tak tertagih (bad debt) fungsi yang berkaitan dalam transaksi pembiayaan secara 67
kredit dengan menggunakan data historical sebagai basis melakukan evaluasi. Namun, kegiatan pemantauan tersebut diatas, belum dilakukan secara regular, misalnya mingguan atau dua mingguan. Penulis mengusulkan agar perusahaan melakukan evaluasi secara regular sehingga dapat membantu manajemen dalam menentukan strategi dalam pemberian kredit maupun menentukan skema insentif yang menarik yang dapat meningkatkan semangat team penjualan dan kolektor dalam melakukan fungsinya. Berdasarkan hasil wawancara dengan GM Finance, penulis mengetahui bahwa allowance for bad debt ditetapkan oleh perusahaan sebesar 2%.
Penulis
juga mengetahui
bahwa
perusahaan melakukan review diakhir tahun untuk mengevaluasi piutang yang potensial menjadi bad debt. Pada akhir tahun, perusahaan akan mencatat secara langsung AR Bad Debt tersebut sebagai biaya. Berdasarkan hasil wawancara tersebut, penulis mengusulkan skema insentif yang menarik yang dapat meningkatkan semangat kolektor dalam melakukan penagihan atas AR bad debt yang secara pencatatan sudah diakui sebagai biaya, sebagai berikut:
68
AR Tahun Berjalan 1.
Berhasil Tarik Barang, Insentifnya :
Motor : Rp 250.000,-
Insentif diberikan setelah barang tarikan tersebut sudah terjual. 2.
Tidak berhasil Tarik Barang, tapi konsumen membayar lunas Hutangnya dan dendanya. (Untuk konsumen yang menunggak ≥ 6 Kwitansi). Insentifnya :
3.
Motor : Rp 250.000,-
Tidak berhasil Tarik Barang, tapi konsumen membayar lunas Hutangnya dan dendanya. (Untuk konsumen yang menunggak < 6 Kwitansi). Insentifnya :
Motor : Rp 150.000,-
Insentif denda : sesuai kebijakan discount denda.
69
AR Bad Debt tahun sebelumnya. Penulis mengetahui bahwa terdapat besar nominal uang pada periode saat ini akan berbeda pada periode berikutnya, sebagaimana diketahui mengenai time value of money. Dengan menggunakan metode future value atas besaran angsuran yang tertunggak, penulis mencoba membuat skema insentif yang dapat menarik kolektor untuk lebih giat dalam melakukan penagihan. Berikut ini adalah formula perhitungan future value menggunakan Microsoft excel: FV: (rate, nper, pmt, [pv],[type] Asumsi yang digunakan: Rate : 7%, asumsi dari tingkat inflasi tertinggi selama tahun 2011 berdasarkan laporann inflasi BI. Nper : 1 tahun (jumlah angsuran yang dilakukan) Pmt : Rp. 350,000 (rata-rata besar angsuran yang dibayarkan) Pv
: nilai saat ini yang akan dihitung nilai akan datangnya.
Type : 1 = pembayaran dilakukan diawal periode 0 = pembayaran dilakukan diakhir periode Rate dibagi 12, karena pembayaran dilakukan bulanan. Nper dikali 12, karena angsuran dilakukan bulanan. =FV(7%/12,1*12,0,-350000,0) Jadi, future value dari Rp. 350,000 adalah: Rp. 375,302
70
1.
2.
Berhasil Tarik Barang. Insentif : A SISA AR POKOK+BUNGA)
B % FV (B/A)
C INSENTIF
≤ 1.000.000
38%
Rp 250.000,-
D % INSENTIF (C/A) 25%
> 1.000.000 - ≤ 2.500.000 > 2.500.000
15% 38% 15% 30%
Rp 500.000,-
20%
Rp 750.000,-
30%
Tidak berhasil Tarik Barang, tapi konsumen membayar lunas Hutang dan dendanya. Insentif :
Penulis
20% dari hasil pelunasan hutangnya (diluar denda).
Insentif denda :
Ada discount denda, insentif denda 15%.
Tdk ada disc denda, insentif denda 25% juga
mengusulkan
agar
perusahaan
melakukan
benchmarking kepada perusahaan sejenis, sehingga perusahaan dapat meningkatkan daya saingnya, memperluas pangsa pasar dan juga dalam mempertahankan sumber daya manusia yang dimilikinya.
IV.3 Temuan Audit Berdasarkan evaluasi yang telah dilakukan dengan COSO framework sebagai dasar audit program dan dilengkapi oleh bukti dokumentasi yang mendukung, berupa hasil observasi langsung dan wawancara dengan pihak-pihak terkait sesuai dengan prosedur yang berlaku. 71
Hasil temuan audit dari observasi dan wawancara ,penulis menemukan kelemahan-kelemahan yang memungkinkan terjadinya kecurangan, terhadap fungsi administrasi pembiayaan kredit yaitu:
1. Persetujuan Konfirmasi Hasil Survey hanya disetujui oleh Branch Marketing Manager (BMM) Kondisi: Sesuai dengan prosedur permohonan dan persetujuan pemberian kredit di PT.KRF yang sedang berjalan, dimana BMM menjalankan tugasnya dalam melakukan review dan analisa atas aplikasi pembiayaan kredit dan memberikan persetujuan atas konfirmasi hasil survey (KHS). Sebab: Berdasarkan pemisahan tugas (segregation of duties) yang telah ditetapkan oleh PT.KRF sendiri, memberikan Otorisasi mutlak kepada BMM dalam memberikan persetujuan konfirmasi hasil survey (KHS). Akibat: Dengan otorisasi mutlak yang dimiliki BMM dalam memberikan persetujuan KHS, dapat diperoleh adanya kemungkinan BMM melakukan kecurangan untuk kepentingan pribadi atau melakukan kerjasama dengan pihak-pihak yang merugikan perusahaan (penyalahgunaan wewenang). Rekomendasi: Sebaiknya konfirmasi hasil survey yang telah dianalisa oleh BMM, direview kembali oleh GM marketing sebelum dilakukan persetujuan atas aplikasi 72
pembiayaan. Selain itu penulis mengusulkan agar perusahaan membuat job desk tugas dan tanggung jawab departemen audit yang jelas sehingga dapat berfungsi dalam mengawasi kinerja kerja pimpinan dan karyawan perusahaan.
2. Penagihan piutang konsumen secara langsung oleh kolektor Kondisi: Berdasarkan Prosedur administrasi penagihan yang berjalan di PT. KRF, penagihan piutang konsumen dilakukan secara langsung oleh kolektor setelah mendapat perintah dan tanda terima kwitansi dari bagian admin penagihan. Sebab: Karena segmen pasar PT. KRF adalah konsumen menengah kebawah, dimana mayoritas konsumen tidak memiliki rekening bank, sehingga hanya dapat melakukan pembayaran secara langsung kepada kolektor PT. KRF. Akibat: Penagihan secara langsung ini dapat meningkatkan resiko lapping yang kemungkinan besar dapat dilakukan oleh kolektor. Rekomendasi: Sebaiknya perusahaan melakukan monitoring terhadap kinerja kolektor, dengan dilakukannya pengawasan secara berkala, maka perusahaan dapat menganalisa kolektor mana yang harus lebih di awasi, sehingga dapat meminimalisasi kecurangan dalam penagihan. Selain itu perusahaan bisa melakukan kerjasama dengan fasilitas-fasilitas publik seperti: kantor pos, dalam upaya memberi kemudahan konsumen dalam melakukan pembayaran apabila konsumen tidak 73
memiliki rekening bank dan menjadikan kepemilikan atas rekening bank sebagai salah satu persyaratan apabila konsumen ingin mengajukan permohonan kredit kepada PT KRF.
3. PT Kresna Reksa Finance belum melakukan penilaian resiko Kondisi: PT KRF hanya melakukan penilaian resiko kredit (credit risk) menggunakan data history kredit macet sebagai dasar melakukan penilaian resiko, Namun penilaian resiko kredit tersebut belum dilakukan secara regular, hanya dilakukan ad-hoc saja. Sebab: PT. KRF belum menyadari pentingnya melakukan kegiatan penilaian resiko lainnya (liquidity risk, market risk, operational risk, strategic risk, IT risk dan compliance risk). Akibat: Dengan hanya melakukan penilaian resiko kredit yang dilakukan secara ad-hoc saja, tentunya perusahaan tidak mendapatkan penilaian resiko-resiko yang mungkin timbul dan tidak dapat menentukan strategi yang tepat untuk mengatasi resiko-resiko yang tidak terdeteksi bagi perusahaan. Rekomendasi: Penulis mengusulkan agar PT KRF dapat melakukan penilaian resiko kredit secara regular, sehingga perusahaan dapat menentukan langkah yang harus dilakukan tepat pada waktunya (in timely manner). Penulis juga mengusulkan agar perusahaan dapat melakukan kegiatan penilaian resiko lainnya (liquidity risk, 74
market risk, operational risk, strategic risk, IT risk dan compliance risk) sehingga dapat dilakukan penilaian resiko secara menyeluruh yang dapat memberikan manfaat bagi perusahaan.
4. Belum terdapat job desk tugas dan wewenang departemen audit yang jelas dalam buku pedoman kerja. Kondisi: KRF telah memiliki struktur organisasi yang membagi masing-masing departemen sesuai dengan fungsi kerjanya. Otorisasi dan tanggung jawab setiap unit departemen dengan jelas disebutkan dalam buku pedoman kerja. Pemisahan tugas (segregation of duties) antara fungsi-fungsi yang kritikal telah diterapkan. Namun, berdasarkan hasil wawancara, penulis menemukan bahwa hanya departemen audit yang tidak memiliki formal job desk yang tertulis. Sebab: Berdasarkan kegiatan operasional yang sedang berjalan, departemen audit selama ini melakukan pengawasan hanya berdasarkan kebijakan-kebijakan perusahaan secara ad-hoc saja, karena belum memiliki formal job desk yang tertulis. Akibat: Dengan pengawasan yang dilakukan oleh fungsi audit pada perusahaan saat ini, tentunya belum berfungsi secara maksimal dalam melakukan pengawasan dan meminimalisasi resiko terjadinya kecurangan yang mungkin timbul dari departemen-departemen yang ada dalam struktur organisasi perusahaan.
75
Rekomendasi: Penulis mengusulkan agar perusahaan membuat job desk untuk departemen audit sehingga tugas dan tanggung jawab departemen audit menjadi jelas. sehingga meminimalisasi resiko terjadinya kecurangan yang dilakukan dalam perusahaan, sebagai contoh pembiayaan fiktif, dan dapat berfungsi dalam mengawasi kinerja kerja pimpinan dan karyawan perusahaan.
76