36
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian A. Proses Terbentuknya Pemahaman Ideologi Mahasiswa Gorontalo(1990-2001) Untuk mengungkap bagaimana proses terbentuknya pemahaman ideologi mahasiswa Gorontalo (1990-2001), penulis telah melakukan wawancara dengan beberapa informen/responden/narasumber (yang dinilai penulis mengetahui banyakin formasi terkait dengan obyek yang diteliti) Berikut ini uraian hasil wawancara dimaksud. Menurut Usman Kaharu (Wawancara,1 Desember 2012), ideologi merupakan konsep yang bersistim yang dijadikan asas, arah dan tujuan dalam kelangsungan hidup, sebagai contoh ideologi pancasila. Ideologi sebagai tempat berpijak, tidak harus selalu mengalami perubahan dan seharusnya tidak mudah untuk digoyah. Ideologi merupakan sesuatu yang penting. Menurut Beliau mengenai proses terbentuknya pemahaman ideologi mahasiswa Gorontalo lahir dari dua sumber, yaitu pengetahuan dan masalah sosial pada saat itu. Lebih lanjut, menurut Alvian Mato(Wawancara, 16 Desember 2012), bahwa “ideologi merupakan cerminan cara berpikir orang,kelompok atau masyarakat yang sekaligus membentuk orang, kelompok atau masyarakat menuju cita yang yang dicitakan. Ideologi merupakan sesuatu yang dihayati dan diresapi menjadi keyakinan”. Lebih jauh ia menjlaskan bahwa
37
Ideologi juga merupakan suatu pilihan jelas melahirkan komitmen (keterikatan) untuk mewujudkan tujuan yang dicitakan. Olehnya, semakin mendalam
kesadaran
komitmennya
untuk
ideologis
seseorang
semakin
melaksanakannya/mewujudkannya.
tinggi
pula
Komitmen
ideologi dimaksud dapat dilihat dalam sikap seseorang yang meyakini ideologinya sebagai ketentuan yang mengikat, harus ditaati dalam kehidupannya baik dalam kehidupan pribadi maupun bermasyarakat.
Kedua Penjelasan tersebut menegaskan bahwa Ideologi berintikan seperangkat nilai dan bersifat universal serta mendalam yang dimiliki, dipegang ataupun diyakini oleh seseorang, kelompok atau masyaarakat sebagai wawasan atau pandangan hidupnya. Melalui rangkaian nilai dimaksud dapat dirumuskan apa dan bagaimana yang terbaik secara moral ataupun normatif serta dianggap benar
dan
adil
dalam
bersikap/bertingkah
laku
untuk
memelihara,
mempertahankan serta membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara ataupun kehidupan duniawi umumya dengan berbagai aspek yang terkandung di dalamnya. Berkaitan dengan penjelasan tentang ideologi di atas, maka mahasiswa erat hubungannya sebagai obyek sekaligus subyek yang hidup dan menghidupkan sebuah
ideologi.Status
tercerahkan
diembannya,seharusnya
berbanding
lurusdengan kekayaan ide, gagasan, pemikiran, gerak kolektif bermoral yang linier, terstruktur maupun terorganisir serta penentu kesejarahan ataupun gerak perubahan menuju tananan yang lebih baik.Dalam konteks inilah mahasiswa dimaksud menjadi subjeksekaligus objek ideologi yang hidup dan menghidupkan idiologi.
38
Adapun
proses
terbentuknya
pemahaman
ideologi
dan
gerakan
mahasiswa,Alvian Mato menjelaskan bahwa hal tersebut (proses terbentuknya pemahaman ideologi dan gerakan mahasiswa) dalam konteks kesejarahan Indonesia khususnya Gorontalo “tidak lepas dari pengaruh masa sejarah keindonesiaan, baik dalam gerak mahasiswa secara nasional hingga khas spesifiknya yakni pada tingkatan perubahan kedaerahannya.Masa sejarah keindonesiaan dimaksud tidak lain adalah masa penjajahan, orde lama, orde baru danreformasi”. Lebih jauh ia menjelaskan bahwa: Paska reformasi mahasiswa dinilai oleh banyak kalangan telah kehilangan pedoman dan arah gerakannya.Visi kontrol terhadap kebijakan pemerintah pun tidak lagi lekat dengan andil yang diperankannya. Sikap pura-pura tidak tahu atas fungsi dan tujuan mahasiswa ataupun perannya dianggap sebagai perdamaian kebijakan kampus dengan keinginan penguasa. Parahnya lagi, birokrat kampus yang seharusnya “mengolah mahasiswa” menjadiagent of changejustru berbalik “mengolahnya”menjadi subject of change demi mengamankan kepentingan orang atau kelompok tertentu. Sisi keterlenaan inilah yang berperan dalam membentuk “kalangan tercerahkan” ini menjadi cenderung bersifat apatis, hedonis maupun pragmatis, sebut saja sebagai virus yang mendominsi karakter mahasiswa kontemporer.
Pasalnya,
gerakan
mahasiswa
yang
tidak
jarang
mengatasnamakan rakyat itu justru dikecam oleh rakyat itu sendiri, “atas nama rakyat, rakyat mana yang dimaksud” ? Ironis memang.
Sedangkan menurut saudara Abdul Kadir Lawero (wawancara, 5 November 2012)bahwa: “ideologi adalah perspektif gerakan alternatif pemikiran yang lahir dari individu-individu yang mempunyai tata kesadaran perubahan yang dilandasi dengan basis pengetahuan. Potret dari individu yang mempunyai
39
ideologi akan mampu melihat rangkaian peristiwa secara luas, sadar serta kritis. Jika di lihat Secara teoritik, arti dari pada ideologi baik melalui pendekatan istilah maupun bahasa berangkat dari “Ide dan Logos”. Konstruksi dari ide dan logos tersebut menandakan bahwa lahirnya sebuah ide” haruslah berkaitan dengan realitas sosial.
Berangkat dari rumusan ideologi di atas, dalam konteks kesejarahan Indonesia khususnya Gorontalo, cendekiawan/mahasiswa erat kaitannya dengan ideologi/sepak terjang konstruktif distributif ideologi dan gerak perubahan ke arah yang dicitakan. Hal ini tidak lepas dari spirit yang terkandung dalam tugas pokok mahasiswa itu sendiri yakni Tri Dharma Perguruan Tinggi; pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Paling tidak esensi pendidikan dimaksud sebagai pembentuk pengetahuan dan kecerdasan intelektual produktif. Semantara adanya ruang penelitian yakni sebagai media mahasiswa untuk mengetahui,mengembangkan ataupun melahirkan gagasan
maupun
karyayang
seyogyanya
bermanfaat
bagi
kalangan
akademik/pengembangan keilmuan dan terlebih bagi masyarakat pada umumnya. Selanjutnya,berkaitan dengan pengabdian pada masyarakat tentunya mahasiswa dituntut untuk memberikan sumbangsih pemikiran terbaik, penuh dedikasi dan tanggung jawab atas berbagai fakta sosial guna menentukan kebijakan, arah dan masa depan masayarakat. Olehnya, tidak berlebihan jika mahasiswa disebut sebagai “agen sosial atau agen perubahan” Abdul Kadir Lawero kemudian menjelaskan bahwa: Meskipun Gorontalo memiliki kesejarahan tersendiri pada konteksnya, namun dalam kesejarahan gerakan mahasiswa Gorontalo abad ke-20proses
40
terbentuknya pemahaman ideologinya
tidak
lepas
dari pengaruh
kesejarahan Indonesia umumnya. Semangat dan nilai yang dicitakan yang terkandung dalam berbagai peristiwa di Indonesialah yang turut membentuknya. Sebut saja mulai dari gelombang lahirnya perlawanan terhadap kolonial dan imperial besifat kedaerahan, kebangkitan nasional (1908), deklarasi sumpah pemuda (1928), proklamasi kemerdekaan (1945), masa pemerintahan orde lama (1945-1965), masa pemerintahan represif orde baru (1966-1998) maupun reformasi (1998 sampai sekarang).
Berdasarkan penegasan dari Abdul Kadil Lawero tersebut di atas, penulis kemudian memaparkan gambaran umum tentang peristiwa dari setiap periode tersebut. Yaitu: Di masa orde lama, banyak organisasi kemahasiswaan terpusat lahir dan merambah ke daerah,semisal HMI, tentunya dengan khas ideologinya.Polarisasi berbagai gerakan mahasiswa kala itu cenderung melebur bersama struktur politik kenegaraan. Ini disebabkan, gerak kepemimpinan negara lebih memperkuat posisi politik, fakta menjelaskan bahwa krandemokrasi cenderung terbuka lebar bagi mahasiswa untuk bersinggungan dengan elit politik ataupun menjadi pelaku elit politik itu sendiri. Pada masa orde baru,secara politik roda kepemimpinan negara lebih refresif state aparatus. Terkuncinya kran-kran demokrasi menutup akses gerak mahasiswa dalam mengontrol dan kebijakan menjadi lumpuh. Munculnya kebijakan pendidikan melalui diterapkannya NKK dan BKK (1978) disetiap kampus di seluruh indonesia, guna mengunci semua aktifitas mahasiswa untuk tidak
terlibat
kebangsaan.
dalam
segala-segala
persoalan-persoalan
kenegaraan
dan
41
Selanjutnya pada masa reformasi, potret gerakan mahasiswa lebih terbuka dalam memperjuangkan demokrasi kebangsaan. Akan tetapi jika merekonstruksi secara historis fakta gerakan mahasiswa setelah paska 1998 terdapat beberapa permasalahan yang penting untuk disikapi secara bersama, akibat dari tidak adanya sikap untuk mengawal agenda-agenda reformasi, salah satunya adalahkeroposnya Penegakan supremasi hukum. Berdasarkan penjelasan dari Abdul Kadir Lawero di atas, ditambah dengan refleksi tentang peristiwa (gerakan mahasiswa) dari setiap periode di atas, maka penulis dapat berasumsi bahwa Tanpa bermaksud melepaskan secara keseluruhan aspek yang terkandung dalam kesejarahan panjang Indonesia khususnya Gorontalo, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa faktor pembentuk proses pemahaman ideologi mahasiswa Gorontalo terdiri dari 4 aspek penting. Pertama, basis ideologi yakni sebagai pembentuk cara berpikir kritis dan membangun kemampuan analisis. Kedua,spirit dan karakter kuat sebagai pembentuk pribadi mahasiswa yang diharapkan. Ketiga,strategi dan langkah taktissebagai bentuk mainsetoperasional maupun praxis dalam mendesain perubahankearah yang dicitakan.
Keempat,
semangat
kolektifitas
yang
tinggi
sebagai
motor
solidaritasdan penggerak masa terorganisir. Ini kemudian ditegaskan oleh Abul Kadir Lawero Bahwa: Disamping itu bukti lahirnya pemahaman ideologi maupun gerakan mahasiswa sangat ditentukan oleh adanya pengetahuan. Pengetahuan dimaksud adalahhal mendasar yang menjadi landasan mahasiswa dalam melihat alur serta gerak perubahan situasi masyarakat, bangsa-negara serta alam, yang ditandai dengan munculnya berbagai ketimpangan sosial. Inilahsetidaknya yang akan berinklinasi pada proses lahirnya gerakan
42
mahasiswa dan mengarah pada proses terbentuknya pemahaman ideologi mahasiswa, yakni terdiri dari pengetahuan dan ketimpangan sosial (masalah sosial).
Menurut Mohammad Alfikri (wawancara, 28 Januari 2013), bahwa “ideologi adalah suatu sistem keyakinan yang dijalankan oleh seseorang atau sekelompok orang dalam kehidupan bermasyarakat”. Seseorang atau sekelompok orang, dalam konteks ini tidak lain adalah mahasiswa itu sendiri. kembali ia menegaskan bahwa “ideologi menjadi faktor utama yang menyebabkan mahasiswa bergerak, sebagai contoh gerakan mahasiswa Indonesia tahun 1998 yang menuntut suatu era baru bagi Indonesia yaitu reformasi yang berbasis pada nilai-nilai demokrasi”. Berdasakan penjelasan tersebut, dapat penulis katakan bahwa, suatu pemahaman terhadap ideologi merupakan sesuatu yang sangat penting Adapun proses terbentuknya pemahaman ideologi mahasiswa Gorontalo, ia menjelaskan bahwa: Ideologi ssebagai sistem keyakinan tentu memilki proses pembentukannya. Secara sederhana, keyakinan terbangun ketika tidak ada keraguan didalam benak seseorang atau sekelompok orang. Adapun faktor yang mebentuk keyakinan itu sendiri yaitu bersintesisnya antara apa yang dipikirkan dan apa yang dilihat. Dalam konteks terbentuknya pemahaman ideologi, hal tersebut (bersisntesisnya antara apa yang dipikirkan dan apa yang dilihat) juga tidak bisa dielakan. Sehingga, proses terbentuknya pemahaman ideologi mahasiswa Gorontalo lahir dari sintesis antara apa yang dipikirkan (pemikiran) dan apa yang dilihat (realitas).
43
Sementara itu, menurut Fitra Van Gobel (wawancara, 28 Januari 2013) bahwa: Ideologi adalah ide yang hidup dalam diri individu, kelompok maupun masyarakat serta menjadi landasan mendasar/diyakini sebagai kebenaran ataupun sebagai pandangan hidup dalam menentukan arah dan tujuan serta cita yang dicitakan dalam segala praktek kehidupan. Ideologi juga merupakan sesuatu yang sangat urgen dalam membangun tingkat kesadaran individu, kelompok maupun masyarakat dalam mewujudkan tatanan kebermasyarakatan yang ideal. Selain itu, idiologi juga erat kaitannya dengan bagaimana mendesain mainset serta prospek perjalanan suatu negara bangsa.
Berdasarkan penjelasan tersebut, apabila ditarik hubungan ideologi dan mahasiswa dalam konteks gerakannya, maka akan nampak suatu dominasi ideologi dalam artian ideologi menjadi faktor penting dalam gerakan mahasiswa. Ini kemudian di tegaskan oleh Fitra Van Gobel bahwa:
Ideologi menyebabkan mahasiswa bergerak dan bahkan mewajibkan mahasiswa harus bergerak, ini dikarenakan ideologi sebagai pandangan hidup dalam menentukan arah dan tujuan serta cita yang dicitakan dalam segala praktek kehidupan, dipahami betul oleh mahasiswa yangdipandang memilki kapabiltas intelektual/ilmu/pengetahuan dan kesadaran kritik kebenaran dalam melihat realitas dan dalam tindakan/mewujudkan tatanan yang lebih baik.
Penjelasan tersebut, menurut penulis bahwa ideologi merupakan faktor penting dalam gerakan mahasiswa, tetapi pemahan mahasiswa akan akan ideologi itu sendiri juga merupakan faktor yang yang tidak bisa diabaikan dalam gerakan. Dalam rangka meneguhkan argumennya tersebut ia kemudian menjelaskan
44
tentang sejarah gerakan gerakan mahasiswa Indonesia abad 20 (1990-2001), sebagai bentuk pembuktian mengenai hal tersebut di atas. Yaitu sebagai berikut: Gerakan mahasiswa Indonesia pada abad-20 (1990-2001) adalah bentuk dari perpanjangan sejarah panjang dan kesadaran totalitas gerakan nasional Indonesia yang saling behubungan dan tak dapat dipisahkan. Adapun masa sejarah dimaksud tidak lain adalah masa penjajahan, orde lama, orde baru serta era reformasi. Di masa penjajahan sebagaimana yang tercatat dalam lembaran sejarah, mulai dari kabangkitan nasional hingga berpuncak pada kesadaran akan kehidupan berbangsa dan bernegara yang merdeka turut melibatkan gerakan aktif kalangan terpelajar/mahasiswa. Pada masa orde lama, sejumlah ide-ide produktif yang “menggemparkan” dunia semisal anti-pejajahan/anti-kolonialisme, “parlemen pemuda”, wacana revolusi, gagasan nasakom, gagasan pancasila ataupun yang lainnya juga tidak lepas dari andil penting kalangan terpelajar/mahasiswa. Demikian juga pada masa orde baru. Sejumlah “gerakan pencerahan” lahir dari rahim kalangan terpelajar/mahasiswa meskipun tidak jarang berkahir dengan tragedi dengan militer dan pemegang otoritas kekuasaan represif. Sebut saja Gerakan Malari (1974), Gerakan Penolakan NKK/BKK (1978), Gerakan Pemuda Islam Menggugat (1979) ataupun Gerakan Penolakan atas Asas Tunggal Pancasila (1980-an), tragedi Tanjung Priuk (1984) serta tidak terhitungnya kasus orang/aktivis hilang hingga klimaks runtuhnya rezim represif orde baru atau yang dikenal dengan Peristiwa Reformasi (1998) juga tidak lepas dari “peran pencerahan” kalangan terpelajar/mahasiswa.
Penjelasan yang cukup panjang ini, menurut penulis lebih berinklinasi pada peranan mahasiswa dalam melahirkan ide-ide konstruktif masa-kemasa, perihal ideologi secara inklusif sangat nampak dalam pengakan atau pencapaian cita-cita mahasiswa dari masa-kemasa yaitu masa penjajahan yakni cita-cita merebut kemerdekaan dengan jalan membangun kesadaran nasional, masa orde
45
lama yaknipenegakan ideologi pancasila, masa orde baru yakni pengaklan nilainilai demokrasi dengan misi reformasi. Terlepas dari pretensi penulis di atas, Fitra Van Gobel menegaskan bahwa proses terbentuknya pemahaman ideologi mahasiswa Gorontalo“Pada Intinya proses terbentuknya pemahaman idiologi dan gerakan mahasiswa Gorontalo pada tahun 1990-2001 tidak lepas dari pengaruh kesejarahan ke-Indonesia-an sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya”. Menurut Mohammad Hardi Himba (wawancara, 28 Januari 2013), bahwa “ideologi merupakan suatu pemahaman yang diyakini seseorang atau kelompok dalam menjalani kehidupan sehari-hari”berdasarkan pengertian ideologi tersebut, Mohammad Hardi Himba kemudian mendeskripsikan bahwa
“gerakan
mahasiswa tidak bisa dilepaskan dari ideologi yang dianutnya. Sebagai contoh, gerakan mahasiswa Indopnesia pada tahun 1990-2001”. Yaitu sebagai berikut: Gerakan mahasiswa tahun 1990-2001, merupakan gerakan yang memilki bukti Outentik dalam artian, gerakan mahasiswa tersebut telah memberikan bukti nyata yakni gerakan mahasiswa tahun 1998 yang berhasil menurunkan Soeharto dari singgasananya. Gerakan mahasiswa tersebut lahir dari suatru kesadaran kritis akan posisi Indonesia pada saat itu dalam ruang yang disempitkan oleh kekuasaan orde baru. Berangkat dari penjelasannya tersebut, ia kemudian menjelaskan bahwa “ proses terbentuknya pemahaman ideologi mahasiswa Gorontalo, tidak bisa dilepaskan dari semngat juang mahasiswa itu sendiri untuk melakukan perubahan ketika berhadapan dengan kondisi masyarakat yang tidak semestinya”.
46
Menurut Abdul Azis Abdullah (wawancara, 28 Januari 2013), bahwa “ideologi merupakan suatu dasarpemikiran maupun pemahaman tentang sesuatu yang paling mendasar dan dan berdampak pada pola pikir, dan bahkan gerakan dari individu atau dalam suatu organisasi”. Kemudian, ia menjelaskan bahwa:
Proses terbentuknya pemahaman ideologi mahasiswa Gorontalo pada masa itu lahir dari sautu perjumpaan cakrawala intelektual anatara mahasiswa asli daerah yang melakukan studi diluar daerah Gorontalo dengan mahasiswa laiannya yang ada di Gorntalo, selain itu, kondisi kemasyarakatan juga memilki peran penting dalam terbentuknya pemahaman ideologi mahasiswa Gorontalo
Dari beberapa penjelasan di atas, kemudian digunakan oleh penulis untuk mengungkaplebih mendalam lagi tentang bagaimanakah proses terbentuknya pemahaman ideologi mahasiswa Gorontalo. B. Pola Gerakan Mahasiswa Gorontalo (1990-2001) Awal munculnya gerakan mahasiswa di Gorontalo. Menurut Alim S. Niode (Wawancara, 20 November 2012) bahwa “gerakan mahasiswa Gorontalo mulai nampak nanti pada masa reformasi, khususnya gerakan demonstrasi yang ditandai dengan berdirinya organisasi kemahasiswaaan ekstera kampus yaitu Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia (HMI). Ini dikarenakan adanya perbedaan konteks intelektual antara Gorontalo dengan daerah lainnya”. Informasi dari beliau tersebut, menandakan adanya sebuah proses lahirnya gerakan mahasiswa Gorontalo pada saat itu, ini tidak lepas dari pemahaman ideologi yang terbangun dan kondisi sosial pada saat itu yang ditandai dengan
47
kekuasaan Orde Baru dan Gerakan perlawanan mahasiswa khsusnya pada tahun 1998. Tidak bisa dipungkiri bahwa, kekuasaan Orde Baru turut mepengaruhi kondisi sosial di Gorontalo dan Gerakan Mahasiswa yang terjadi di pusat pemerintahan turut meninspirasi mahasiswa yang ada di Gorontalo. Ini bisa dim,ungkinkan dengan adanya keberadaan mahasiswa asal Gorontalo yang melakukan studi (kuliah) di sana (Jawa). Penjelasan ini juga menurut, penulis bahwa munculnya gerakan mahasiswa Gorontalo menandakan adanya pola gerakan dari mahasiswa Gorontalo itu sendiri. Pola gerakan yang dimaksud adalah model gerakan atau bentuk gerakan mahasiswa gorontalo pada tahun 1900-2001. Dalam mengungkap tentang pola gerakan mahasiswa Gorontalo tersebut, penulis berangkat dari beberapa pendapat dari para informen tentang pengertian mahasiswa, kemudian dilanjutkan dengan pendapat mengenai pola gerakan mahasiswa Gorontalo. Yaitu sebagai berikut. Sementara itu, Menurut Abdul Kadir Lawero, bahwa: Idealnya mahasiswa mempunyai tiga tugas yang perlu dijalankan, pertama adalah Pendidikan, kedua adalah penelitian dan ketiga adalah pengabdian pada masyarakat. Penting untuk dikatahui bahwa esensi dari ketiga tugas pokok tersebut yakni dengan pendidikan akan memiliki pengetahuan dan kecerdasan intelektual yang tinggi serta mampu menentukan gerak arah masa depannya. Adanya ruang penelitian sebagai ruang mahasiswa untuk mengenal dan mengeluarkan karya-kaya serta gagasan sesuai dengan tuntutan zaman. Berkaitan dengan pengabdian masyarakat tentunya mahasiswa di tuntut untuk memberikan sumbangsih pemikiran-pemikiran terbaik dengan penuh dedikasi dan tanggung jawab terhadap berbagai fakta-fakta sosial guna menentukan kebijakan arah dan masa depan
48
masayarakat. Konstrukti dari pemahaman ini mahasiswa di sebut sebagai “Agen Sosial” atau Agen perubahan.
Penjelasan ini, lebih berinklinasi pada tugas dan fungsi mahasiswa itu sendiri.Kemudian, alasan mengapa mahasiswa harus bergerak, ini kemudian kembali
di
jelaskan
oleh
Kadir
Lawero,
bahwa“oleh
karena
adanya
pengetahuan.Hal inilah yang menjadi landasan mahasiswa dalam melihat alur serta gerak perubahan-perubahan situasi masyarakat, bangsa-negara serta alam, yang ditandai dengan munculnya berbagai ketimpangan social”. Kemudian, menurut Alvian Mato, bahwa: Mahasiswa sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik memilki perspektif atau pandangan yang cukup luas untuk dapat bergerak disemua lapisan masyarakat, mahasiswa rentan terlibat dalam pemikiran, perbincangan, dan penelitian dalam berbagai masalh yang timbul ditengah kerumunan masyarakat, memungkinkan mereka tampil dalam forum yang kemudian mengangkat mereka ke jenjang karier sesuai dengan keahliannya. Berdasarkan penjelasan tersebut, ia kemudian mengemukakan mengapa mahasiswa harus bergerak pada saat itu. yaitu “disetiap gerakan pasti ada perjuangan”. Menurut penulis, maksud dari “disetiap gerakan pasti ada perjuangan” yaitu suatu spirit atau etos mahaiswa itu sendiri yang menyebabkan mahsiswa untuk bergerak, namun gerakan dengan semnagat perjuangan setinggi apapun tidak akan menghasilkakn apa-apa ketika tidak memliki arah dan tujuan yang jelas, dan pada dasarnya, arah dan tujuan tersebut terkadung dalam suatu ideologi sebagai dasar pijakan atau sistem keyakinan.
49
Lebih jauh, Alvian Mato menjelaskan tentang gerakan mahsiswa Gorontalo pada tahun 1990-2001, bahwa “Gerakan mahasiswa gorontalo, dalam prakteknya sering dilakukan melalaui demonstrasi, selain itu, gerakan mahasiswa Gorontalo juga dilakukan melalaui pengkaderan”. Penjelasan ini sebenarnya telah masuk dalam pola-pola gerakan mahasiswa Gorontalo. Berbeda dengan penjelasan diatas, menurut Fitra Vam Gobel, bahwa: Secara singkat dapat diasumsikan bahwa dalam konteks kesejarahan negara bangsa khususnya Indonesia porsi pelajar/cendekiawan/”orang yang tercerahkan” adalah merupakan identifikasi performa mahasiswa itu sendiri.Ia juga erat hubungannya sebagai pembentuk etape sejarah maupun totalitas kesejarahan Indonesia. Tidak dapat dipungkiri, carut marutnya Indonesia tak lepas dari kontribusi maupun andil pentingnya. Olehnya dapat dikatakan bahwa mahasiswa adalah individu/kalangan pelajar yang sarat kapabilitas intelektual, aktif, analitik, solutif, mandiri dan berkesadaran kritik dalam menentukan apa dan bagaimana yang semestinya atas kompleksitas realitas yang ada serta mampu membangun idealitas kehidupan yang dicitakan.
Penjelasan ini, menurut penulis, merupakan deskripsi dari seorang atau sekelompok mahasiswadalam praksis kehidupan masyarakat, sebagai pelopor dengan modal kapabilitas intelektual dalam melihat realitas dan mengkonstruksi realitas itu sendiri. sederhananya, tipologi mahasiswa dalam pejelasan tersebut di atas tidak lain adalah tipolagi mahasiswa yang memilki ideologi dan idealisme yang jelas. Kemudian, Fitra Van Gobel mengemukakan bahwa mengapa harus bergerak? Yaitu:
50
Berdasarkan fakta sejarah, Indonesia pada masa penjajahan, orde lama, orde baru, dan reformasi, Kalangan terpelajar/mahasiswa sudah semestinya “gelisah” dan bergerak menuju tatanan yang lebih baik, terlebih jika dikontekskan dengan identifikasi performa bentukan sejarahnya. Lebih dari itu adalah seharusnya menjadi tanggung jawab moralnya sebagaimana “ketercerahan mampu mencerahkan”.
Dapat dipahami bahwa, maksud dari penjelasan di atas, mengapa mahasiswa harus bergerak, tidak lain karena suatu pemahaman akan kondisi realitas yang berakar pada masa lalu, termasuk peristiwa-peristiwa yang secara manusiawi tidak semestinya terjadi yakni dehumanisasi dalam bentuk apapun dan dalam instrumen apapaun. Kemudian eksistensi dari mahasiswa itu sendiri (ketercerahan mampu mencerahkan) sebagai tanggung jawab moralnya. Berdasarkan penjelasan tersebut diatas, Fitra Van Gobel, kemudian mengemukakan pendapatnya tentang gerakan mahasiswa Gorontalo tahun 19902001, yaitu: Gerakan mahasiswa Gorontalo sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa gerakan mahasiswa Gorontalo merupakan bentuk dari perpanjangan sejarah panjang dan kesadaran totalitas gerakan nasional Indonesia yang saling behubungan dan tak dapat dipisahkan. Olehnya pengaruh angin segar reformasi juga turut membentuk kesadaran/gerakan kalangan
terpelajar/mahasiswanya.gerakan
Pembentukan
Provinsi
Gorontalo bisa bukti akan kesadaran dan gerakannya.
Berdarkan itu pula, ia kemudian mengemuakakn pendapatnya tentang pola Gerakan mahasiswa Gorontalo pada saat itu.
51
Berdasrkan fase sejarah gerakan mahsiswa Indonesia, nyatanya tidak lepas dari ideologi, dan pada dasarnya ideologi mahasiswa Gorntalo terbentuk dalam fase kesejarahan pula. sewajarnya gerakan mahasiswa yakni membangun gagasan “pencerahan” bisa dilakukan dalam berbagai macam pola. Dalam sejarahnya, demonstrasi, pemogokan, forum diskusi, dan lain sebagainya telah dilakukan oleh mahasiswa itu sendiri. tetapi, pola gerakan mahsiswa Gorontalo lebih cenderung lebih nampak dalam bentuk demonstrasi dan form-forum diskusi, berupa dialog dan sejenisnya.
Menurut Mohammad Alfikri, bahwa “mahasiswa adalah seseorang atau sekelompok orang yang terdaftar diperguruan tinggi, dalam pergeruan tinggi itu, mahaisswa sering terlibat dalam dialektika intelektual atau pertemuan cakrawala intelektual diantara mereka semua”. Penjelasan ini kemudian dilanjutkan dengan pendapatnya bahwa mengapa mahasiswa harus bergerak? “karena itu sautu kewajiban bahkan suatu ibadah”. Penjelasan ini apabila ditangkap secara kritis, bisa dipahami, tiak lepas dari eksistensi mahasiswa itu sendiri termasuk tanggung jawab moralnya. Terlebih lagi dlaam kehidupan sosial”. Kemudian, berpendapat bahwa “gerakan mahasiswa Gorontalo, dalam awal pertumbuhannya tidak lepas dari pengaruh gerakan mahsiswa secara holistik, dengan danya berbagai daktor penunjang, berupa perkembangan media informasi, pertemuan antara mahasiswa regional, dan lain sebagainay”. Mengenai pola gerakan mahasiswa Gorontalo, ia berpendapat bahwa “untuk memahami pola gerakan mahasiswa Gorontalo, hanya akan terjadi apabila berkaca pada sejarah gerakan mahasiswa Indonesia, sebagaimana telah dijelaskan diatas”. Menurut Mohammad Hardi Himba, bahwa mahasiswa
52
dapat dinilai dari dua pesepektif yaitu dari sisi negatif dan sisi positif. Dari sisi negatif, semisal mahaiswa yang bersifat hedonis, yang ditandai dengan kebiasaan untuk bersenang-senang (hura-hura) tanpa ada tujuan yang jelas. Dari sisi positif, semisal mahaiswa yang bersifat aktifis baik dalam kampus maupun di luar kampus, yang ditandai dengan kebiasaan untuk memikirkan dan mendahulukan kepentingan orang banyak.
Penjelasan ini, lebih mengambil metode komparatif untuk mendefinisikan tentang mahasiswa, meski demikian dapat dipahami bahwa tyernyata terdapat tipologi mahasiswa yang hanya mementingkan kesenangan dalam bentuk berhura-hura. Hardi Himba kemudian mengemukakan pendapatnya tentang mengapa mahasiswa harus bergerak, yaitu sebagai berikut:
Menurutnya, ini tidak bisa dilepaskan dari seuatu kesadaran akan eksistensi mereka yang seharusnya menjadi mahasiswa dalam pengertian psostif seerti yang telah dijelaskan diatas. Dalam bahasa eksistensialis, mahasiswa sebagai agen perubahan dan pengontrol sosial yang tidak lain faktor atau etos yang mendorong mahasiswa untuk bergerak.
Berdasarkan pengertian dan pretensi tentang mengapa mahasiswa harus bergerak, hardi dimba kemdian Hardi Himba berpendapat bahwa:
Gerakan mahasiswa Gorntalo pada tahun 1990-2001, cikal bakal konstruksi gerakannya berakar pada sejarah pergerakan nasional. Karena, Gorontalo diketahui bersama merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang pada saat itu juga (1990-2001) sedang dalam kondisi ketyerkungkungan oleh hegemoni Orde Baru dan akhirnya berhasil dirobohkan oleh gerakan mahasiswa tahun 1998. Pada saat sama, di Gorontalo, telah ada mahasiswa dengan jumlah kalau bisa dikatakan
53
cukup banyak, berkat berdirinya beberapa universitas, ini kemudian memungkin lahir dan berkembanya gerkan mahasiswa Gorontalo.
Penjelasan mengenai Gerakan mahasiswa Gorontalo dari Hardi Himba tersebut di atas, lebih berinklinasi pada proses kelahirannya, lebih jauh ia berpendapat tentang pola gerakan mahasiswa Gorontalo, yaitu sebagai berikut: Pola Gerakan mahaisswa pada saat itu lebih mengarah pada gerakan demosntrasi. Sebagaimana demonstrasi merupakan salah sati instrumen penyampaian aspirasi rakyat yang memeilki dasar hukum sebagai legitimasi akan praktek demonstrasi itu sendiri dan mekanisme pelaksaannya bisa dikatakn mudah. Sehinganya, gerakan mahasiswa Goropntalo lebih cenderung ke pola Gerakan Demonstrasi. Tapi, ketika melihat sejarah pergerakan mahasiswa nasional, dalam pola gerakannya, ternyata juga dilakukan dalam bentuk pemboikotan, melalalui diskusi atau dialog dan bahkan melalalui pemberontakan. Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan Gerakan mahasiswa Gorontalo akan juga menggunakan pola tersebut.
Keterangan dari semua informen/responden di atas, tidak lepasa dari pembacaan sejarah tentang gerakan mahasiswa yang ada. Secara umum dapat penulis simpulkan bahwa, pola gerakan mahasiswa Gorontalo pada saat itu lebih terfokus pada gerakan demonstrasi dan dialog. 4.2 Pokok-Pokok Temuan A. Faktor-Faktor Yang Membentuk Pemahaman Ideologi Mahasiswa Gorontalo(1990-2001) Ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses terbentuknya pemahaman ideologi mahasiswa Gorontalo(1990-2001) yakni sebagai berikut :
54
1. Faktor Pengetahuan Pengetahuan adalah hasil dari aktifitas mengetahui dan tersimpannya suatu kenyataan ke dalam jiwa hingga tidak ada keraguan.Olehnya ketidakraguan dapat dikatakan sebagai syarat untuk dapat mengetahui. Dalam konteks ini, pengetahuan telah melahirkan suatu pemahaman ideologi mahasiswa. pertanyaanya kemudian adalah bagaimanakah proses dari terbentuknya pengetahuan itu? Pengetahuan dapat terbentuk dari pengalaman seseorang ataupun adanya sarana yang mendorong untuk memperolehnya,semisal lembaga pendidikan. Dalam konteks Gorontalo khususnya pada tahun `1990-2001, sarana pendidikan khusunya perguran tinggi memang belum berkembang pesat seperti saat ini. Standar kualitas pendidikan masih berkiblat di pulau Jawa sebagai pusat perkembangan dan pembangunan segala bidang atau paling tidakpada perguruan tinggidi Ibukota provinsi (Manado).Hal ini menyebabkan banyak pelajar ataupun mahasiswa Gorontalo yang ingin melanjutkan studinya lebih memilih untuk ke pulau Jawa, Makassar, dan Manado, demi mengejar standar kualitas pendidikan dimaksud. Pendidikan atau pengetahuan yang diperoleh oleh orang-orang Gorontalo diluar daerah kemudian ditransformasikan di Gorontalo, fakta ini dapat dilihat ketika mereka kembali ke daerahnya (Gorontalo)yakni adanya diskusi-diskusi yang dipelopori oleh mereka. Lebih dari itu, mereka yang telah selesai studi, kemudian menjadi tenaga pengajar baik disekolah maupun di pergururan tinggi yang ada di Gorontalo. Proses ini kemudian melahirkan suatu kesadaran kritis dari
55
para mahasiswa Gorontalo saat itu yakni ditandai dengan berdirinya HMI cabang Gorontalo serta terjadinya demonstrasi terhadap Bupati Gorontalo (Nooriman). 2. Faktor Masalah Sosial Proses terbentuknya pengetahuan, tidak lepas dari kondisi sosial yang ada dalam
pembentukan
kesadaran
(karakter)
seseorang.
Pengetahuan
yang
berbasiskan kondisi sosial (realitas) akan melahirkan tipologi pengetahuan, sebut saja pengetahuan magis, pengetahuan naif dan pengetahuan kritis. Tipologi pengetahuan tersebut di jelaskan oleh Mansour Fakih dalam William O’ Neil yaitu: Pertama, pengetahuan magis, yaitu tingkat pengetahuan yang tidak mengetahui kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya lainnya. Misalnya saja masyarakat miskin yang tidak mampu melihat kaitan kemiskinana mereka dengan sistem politik dan kebudayaan. pengetahuan magis lebih melihat faktor diluar manusia sebagai penyabab dan ketakberdayaan. Kedua, pengetahuan naif, yaitu pengetahuan ini lebih melihat aspek manusia menjadi akar penyebab masalah masyarakat. Dalam pengetahuan ini, masalah etika dan kreatifitas dianggap sebagai penentu perubahan sosial. Jadi dalam menganalsis suatu masyrakat miskin, bagi mereka disebabakan karena salah masyarakat sendiri, yakni mereka malas, tidak memilki jiwa kewirasuastaan, atau tidak memilki budaya membangun dan seterusnya. Ketiga, pengetahuan kritis, yaitu pengetahuan yang melihat aspek sistem struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan struktur lebih menganalisis untuk secara kritis menyadari struktur dan sistem sosial, politik, ekonomi, dan budaya dan akibatnya kepada keadaan masyarakat.
Bagi seorang yang berpengetahuan magis ia akan beranggapanbahwa realitas yang ada adalah kehendak Tuhan. Sebaliknyabagi seorang yang
56
berpengetahuan naif memandang bahwa realitas yang ada, sudah terjadi dan semua karena kesalahan manusia sendiri.Sedangkan bagi seseorang yang berpengetahuan kritis, ia akan cenderung melawan realitas yang ada bahwasesuatu yang nyata bukanlah yang seharusnya. Kondisi sosial pada saat itu, merupakan kondisi yang penuh dengan tekanan dan masalah sosial yang tidak lepas dari watak pemerintahan orde baru itu sendiri. Kebijakanpemerintahan orde baru yang bersifat sentralistik, otoriter, dan despotis mengakibatkan terjadinya berbagai macam masalah sosial hingga puncaknya, memicu kemarahan massakhsusnya mahasiswa yang ditandai dengan peristiwa reformasi 1998. Hal ini dapat diasumsikan bahwa, sebagian besar mahasiswa pada saat itu telah membentuk pengetahuan kritis yang terlahir dari suatu kesadaran ketimpangan kondisi sosial yang ada. Dalam konteks Gorontalo, dapat dilihat bagaimana mahasiswa Gorontalo yang tergabung dalam HPMIG berhasil menurunkan Bupati Gorontalo saat itu hingga bagaimana peran mahasiswa dalam perjuangan membentuk provinsi Gorontalo. Proses perjuangan pembentukan provinsi Gorontalo, tidak lepas dari masalah sosial yang ada ataupun upaya mahasiswa dalam menanggapi undangundang No. 22 tahun 1999, tentang otonomi daerah, yakni terkait dengan pentingnya kesadaran dan pengetahuan akan nilai-nilai demokrasi yang ditandai dengan bergerak maju untuk mendirikan provinsi Gorontalo yang saat itu masih berada dalam naungan Sulawesi Utara. Terlepas dari apakah proses itu disadari
57
ataupun tidak, faktor pengetahuan dan masalah sosial telah sama-sama membentuk pemahaman ideologi dan gerakan mahasiswa Gorontalo. B. Gerakan Mahasiswa Gorontalo (1990-2001) Gerakan mahasiswa Gorontalo (1990-2001) terjadi dalam beberapa pola, yakni sebagi berikut : 1. Gerakan Melalui Demonstrasi Demonstrasi sebagai salah satu bentuk penyampaian pendapat yang diatur dalam konstitusi,dipandang sebagai salah satu solusi
menyampaikan gagasan
konstruktif terkait regulasi yang tidak berpihak kepada keinginan rakyat. Dalam persfektif ini peranan demonstrasi dilegalkan sebagai bentuk gerakan dalam kontrol demokrasi. Berdasarkan fase sejarah demonstrasi di Indonesia mulai menguat khususnya pada peristiwa tahun 1965-1966 (peralihan momentum besar pemerintahan orde lama ke orde baru), 1973-1974 (peristiwa Malari), 1977-1978 (peristiwa penerapan NKK/BKK), dan terakhir tahun 1998 gerakan reformasi menumbangkan pemerintahan orde baru. Aksi demonstrasi merupakan tindakan atau reaksi yang dilakukan individu ataupun kelompok dalam memandang kondisi dan atau mengubah kondisi tertentu menuju suatu keadaan baru yang dipandang lebih baik atau bermakna.Lebih dari itudemonstrasi merupakan upaya sadar dalam mendorong gerakan individu, maupun kelompok dalam melakukan kontrol terhadap sesuatu sistem yang berlaku.
58
Dalam (Pasal 9, UU nomor 9 tahun 1998 mengenai kebebasan menyampaikan pendapat dimuka umum : 1998) dikatakan bahwa demontrasi diinterpretasikan dalam bentuk gerakan parlemen jalanan, sebagai sebagai salah satu bentuk dalam menyampaikan pendapat, dimuka umum yang dilindungi oleh undang-undang. Dalamkonteks Gorontalo,dapatdilihat bagaimana gerakan mahasiswa Gorontalo
menurunkan
Bupati
Gorontalo
(Nooriman)
ataupun
dalam
mensosialisasikan/gerakan pembentukan provinsi Gorontalo. 2. Gerakan Melalui Dialog Gerakan mahasiswa Gorontalo tidak hanya dilakukan melalui demonstrasi tetapi juga sering dilakukan melalaui dialog.Dialog merupakan suatu proses yang dinamis atau dialektik yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dalam suatu kondisi tertentu dan dengan adanya objek pembicaraan yang beragam. Tujuan dari dialog adalah untuk mencapai suatu kesepakatan bersama. Dalam konteks gerakan mahasiswa Gorontalo melalui dialogdapat dilihat dalam perjuangan pembentukan provinsi Gorontalo, yakni pada 1 Desember 1999 bertempat di restoran Elita kota Gorontalo yang berhasil membentuk formatur pemilihan panitia persiapan pembentukan provinsi Gorontalo.
4.3 Pembahasan A. Gorontalo Abad XX Gorontalo pada awal abad XX masih berada dalam penetrasi kolonial Belanda, namun penetrasi tersebut ditanggapi oleh rakyat Gorontalo dengan
59
perlawanan yang berpuncak pada kemerdekaan Gorontalo pada 23 Januari 1942, yang dalam terminus Joni Apriyanto disebut dengan perlawanan kolektif tahun 1942. Peristiwa 23 Januari 1942, adalah momentum bersejarah bagi rakyat Gorontalo dan Indonesia umumnya. Bagaimana tidak, momentum tersebut merupakan manifestasi dari semangat juang, tekad dan cita-citasebagai sikap kolektif rakyat Gorontalo dalam menggulingkan kolonial Belanda untuk kebebasan dan pembebasan. Ini merupakan bukan hal yang mudah, hegemoni kolonial belanda di Gorontalo (1705-1942) memilki dampak dalam setiap aspek kehidupan rakyat Gorontalo baik dalam aspek ekonomi, politik, mentalitas dan lain sebagainya. Hegemoni tidak terbatas sebagai kekuatan politik, tetapi juga kebudayaan melalui kepemimpinan moral dan intelektualberfungsi untuk mengendalikan kesadaran publik dalam masyarakat jajahan. Liberalisme, humanisme dan kristianisme juga ikut serta membentuk kolonialisme, tidak benar bahwa kolonialisme
semata-mata
karena
faktor
ekonomi,
sebagaimana
didugasebelumnya. Faktor-faktor militer, agama, dan kebudayaan pada umumnya secara bersama-sema menopang kepentingan ekonomi tersebut”. Sehinggadalam prosesmerebut kemerdekaan, termasuk penyatuan sikap kolektif dibutuhkan penyadaran terhadap rakyat Gorontalo atas kondisi mereka. Ini kemudian dipelopori oleh orang-orang Gorontalo tertentu (kaum terpelajar) dengan mendirikan sekolah, organisasiserta menggunakan media massa yang pada dasarnya memiliki orientasi ideologinya masing-masing, tetapi memiliki satu tujuan yaitu kemerdekaan.
60
Akhirnya sekitar pukul 10.00 pagi, dipimpin oleh Nani Wartabone bendera merah putih dinaikan diringi lagu Indonesia Raya. Kemerdekaan yang berhasil direbut oleh rakyat Gorontalo, seharusnya tidak hanya untuk dikenang melalui seremonial upacara peringatan atau pembangunan tugu dan semacamnya sebagai simbol kemerdekaan (kalau memang itu ada). Secara aksiologis, kemerdekaan adalah etos untuk kebebasan dan pembebasan. Kemerdekaan harus kita isi dengan nilai-nilai tersebut dan nilai-nilai itu harus di implementasikan dalam keseharian kita bukan dikerdilkan pada hari senin saja atau hanya disimbolkan dalam bentuk benda mati dan berlumut.Begitu banyak nilai yang perlu digali dari peristiwa tersebut, sebagaimana Ali syari’ati mengatakan bahwa Badai dan kemelut perubahan macam apa yang kita hadapi? Nilai-nilai yang digoncangkan dan kacaunya sistem kehidupan adalah barang yang dijanjikan oleh perubahan itu. Lalu, apa yang harus dikerjakan? Dari mana kita harus memulainya ? Kembali,temukan jati diri. Pencarian jati diri adalah hal yang sangat penting sebagai elan vital dan membutuhkan pembacaan yang lebih dalam untuk menemukan itu. Dalam peristiwa tersebut, hal kecil yang bisa kita petik adalah spirit perjuangan para pejuang saat itu sebagai motivasi bagi semua generasi dalam menjawab persoalan hidup zaman digital saat ini. Zaman digital adalah zaman dimana para generasinya telah dimanjakan oleh kemurahan kapitalisme. Mereka menikmati alienasi sosial bukan sebagai beban kehidupan. Tapi, lebih sebagai sebuah legalitas sosialisme ekstasi.
61
Jika dikatakan bahwa peristiwa tersebut adalah toggak perubahan sosial Gorontalo hingga saat ini, maka pembacaan terhadap perubahan sosial khususnya dalam bidang politik, ekonomi, dan pendidikan, menjadi sangat penting untuk dielaborasi.Hal ini bertujuan untuk menemukan dasar lahirnya gerakan mahasiswa Gorontalo khususnya perubahan sosial pada tahun 1990-2001yang menandai dimulainya sejarah baru Indonesia hingga memasuki masa “orde lama (19501965),orde baru (1965-1998) maupun masa reformasi (1998-2004)”. (M.C Ricklefs, 2010).
1. Kondisi Politik Gorontalo (1990-2001) Awal tahun 1990-an, hampir seluruh bagian belahan dunia dilanda oleh angin besar demokratisasi. Perjuangan menuju tatanan yang lebih demokratis menjadi ciri penting dalam perkembangan politik dimasa itu.“Banyak negara di seluruh penjuru dunia sejak 1990-an, berbagai langkah telah ditempuh untuk mencoba menggantikan pemerintahan otoritarian atau rezim satu-partai dengan sistem multi-partai. Sepanjang kurun waktu dari 1989 hingga pertengahan 1993, misalnya lebih dari dua puluh negara di Afrika saja berupaya untuk memperkenalkan
konstitusionalisme
dan
institusi-institusi
parlementer
demokratis” (Anthony Giddens, 2009 : 147-148). Kemudian Hutington dalam Basri Amin, dkk (2012 : 34) dalam studinya tentang “gelombang-gelombang demokrasi menyatakan bahwa: Demokrasi merupakan kecenderungan politik paling penting abad 20, antara tahun 1974-1990 saja ada lebih 30 negara bergeser dari otoritarianisme ke demokrasi. Tetapi, kata Hutingtong, faktor tunggal tidka
62
memadai untuk menjelaskan perkembangan demokrasi di semua negara di sebuah negara, sehingga faktor tunggal tidak merupakan keharusan bagi perkembangan demokrasi. Karena itulah demokratisasi merupakan hasil suatu kombinasi faktor-faktor penyebab dan kombinasi inilah yang menyebabkan hasil demokrasi berbeda-beda di setiap negara.
Berangkat dari eksplanasi Giddens tersebut, sehingga pertanyaannya kemudian adalah, mengapa demokrasi sedikit banyak telah menjadi populer secara universal? “Demokrasi telah menjadi populer sacara universal saat ini karena merupakan sistem politik terbaik yang dapat ditempuh dan diandalkan umat manusia, dan kini sebagian besar bangsa dan masyarakatnya menyaksikannya”. (Francis Fukuyama dalam Anthony Giddens, 2009 : 148) Demokrasi adalah sistem politik, yang didalamnya terdapat persekutuan antar “rakyat awam” dalam menetapkan bagaimana kekuasaan dan wewenang seharusnya didistribusikan dikotanya. Oleh sebab itu, ini dicirikan oleh tipe “kemerdekan” yang melibatkan orang-orang diatur dan mengatur menurut gilirannya”,
demikian
Aristoteles
(384-322)
mengeksplanasikan
tentang
demokrasi. (Aristoteles dalam Stephan Palmquist, 2007 : 345). Kemerdekaan,
distribusi
kekuasaan
dan
wewenang,
harus
diimplementasikan dalam bentuk keterlibatan warga negara dalam pembuatan keputusan politik, tingkat persamaan (kesetaraan) tertentu antara warga negara, tingkat kebebasan atau kemerdekaan tertentu dan diakui serta dipakai oleh para warga negara dan penghormatan terhadap supremasi hukum. Dalam hemat penulis, demokrasi haruslah memberikan kesejahteraan secara umum terhadap
63
masyarakat karena kebebasan, kesamaan, kesetaraan, keterbukaan, etika, norma, serta kebebasan rakyat baik individu maupun kelompok untuk menyampaikan pendapat, keinginan bebas untuk berkumpul dan berorganisasi/berserikat. Merupakan prasyarat dari kesejahteraan itu. Sehingga para pemegang amanah kekuasaan (pemerintah) pada dasarnya hanya berupa privilese (hak istimewa), harus menjamin kesejahteraan masayarakat itu sendiri. Penerimanaan terhadap demokrasi oleh sebagian masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak lepas dari harapan dan kesadaran masyarakat. Proposisi mengapa pilihan terhadap demokrasi dianggap lebih memadai dan mungkin dalam praktek berbangsa dan bernegara, berdasarkan pada; demokrasi mencegah sistem pemerintahan autokrasi yang keji dan sewenangwenang dan demokrasi menjamin hak-hak fundamental warga negaranya. Olehnya demokrasi seharusnya lebih menjamin kebebasan warga negaranyam lebih luas dibanding sistem lain. Pemerintahan demokrasi seharusnya dapat memberikan kesempatan yang lebih luas bagi warga negaranya untuk menentukan nasibnya sendiri yakni hidup sesuai
dengan
pilihannya
ditetapkan.Pemerintahan,
dibawah
demokrasi
rambu-rambu juga
seharusnya
hukum dapat
yang
sudah
memberikan
kesempatan yang lebih luas bagi warga negara dalam melakukan tanggung jawab moral.Demokrasi seharusnya lebih dapat menjamin pekembangan kemanusiaan, juga dalam menjamin kesetaraan politik yang lebih tinggi pada warganya. Dalam sistem demokrasi representatif modern seharusnya menghindari perang terhadap negara lain dan negara dengan sistem pemerintahan demokrasi
64
seharusnya juga cenderung lebih makmur dibandingakan dengan sistem nondemokrasi. Penerimaan demokrasi dengan proposisi ini, menandakan adanya suatu pemahaman “masyarakat awam” akan prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri dengan harapan besar akan praktek demokrasi itu sendiri yakni dapat memberikan kesejahteraan terhadap masyarakat termasuk kesetaraan politik dan keadilan sosial. Pada 1 Juli 1945 menjelang ufuk kemerdekaan Indonesia oleh Ir. Soekarnodi depan sidang BPUPKI dengan lantang mengucapkan pidato bersejarah “lahirnya pancasila”. Dalam pidato tersebut, Bung Karno bertutur “saudara-saudara badan permusyarawatan yang hendak kita buat hendaknya bukan badan permusyarawatan politieke deomocratie saja, tetapi badan yang bersama-sama dengan masyarakat dapat mewujudkan dua prinsip politikie rechtvaardigheid (kesetaraan politik) dan sociale rechtvaardigheid (keadilan sosial). Pretensi
tersebut
di
atas
merupakan
rencana
penerapan
sistem
pemerintahan demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan prinsip kesetaraan politik dan keadilan sosial bagi rakyat Indonesia dan dengan syarat bahwa antara pemerintah dan masyarakat harus bersama-sama dalam merealisasikan prinsip-prinsip tersebut. Tetapi, prinsip kesetaraan dan keadilan sosial tak pernah kunjung di realisasikan. Momen-momen politik dan sirkulasi kekuasaan sejak tahun 45, 65, 98 sampai hari ini ataupun prinsip-prinsipyang menjadi tujuan republik dan publik menjadi terlupakan, bahkan ironisnya prinsip-
65
prinsip tersebut dalam momentum politik (misalnya pemilu) dari masa- kemasa hanya menjadi bagian dari retortika politik semata. J. Duhn dalam Basri Amin, dkk (2012 : 31-32) dalam kritiknya terhadap praktik demokrasi. Ia menyatakan bahwa “demokrasi tidak lebih sebagai suatu nama intensi atau niat baik penguasa agar rakyat percaya bahwa mereka mempunyai niat baik”. Ungkapan J. Duhn tersebut kemudian dijelaskan oleh Basri Amin, dkk (2012 : 32) bahwa “ Duhn seolah mengingatkan kita bahwa dalam realitas, pihak yang paling berkepentingan dalam wacana demokrasi adalah justru mereka yang berkuasa dan bukannya pihak masyarakat sipil, yang dalam banyak kasus siringkali ‘dikebiri’ oleh mereka yang berkuasa”. Lebih jauh Basri Amin, dkk (2012 : 32) menegaskan bahwa: Argumen Duhn di atas ada benarnya dan mempunyai relevansi dengan kasus Indonesia. Sebab apa yang kita alami selama ini –terutama di masa ‘Orba’-, dimana rezim Orba praktius telah melakukan hegemoni dan salah tafsir atas makna demokrasi yang sebenarnya. Orba tidk saja melakukan represi atas haka-hak politik rakyat, tetapi juga sukses meng-set up seluruh memori dan norma-norma kenegaraan kita.
Praktek demokrasi di Indonesia dengan prinsip-prinsipnya yang egaliter itu, tak kunjung terealisasikan. Kekuasaan orde baru telah menyakinkan bahwa praktek demokrasi tidak akan pernah terealisasikan. Bagaimana tidak, Soeharto sebagai pemegang amanah kekuasaan yang diberikan oleh rakyat, memperlihatkan watak otoriterianisme,prinsip-prinsip demokrasi diperkosa dengan segala macam bentuk pembatasan aspirasi rakyat.
66
“Setelah Soeharto diangkat sebagai pejabat-Presiden, para pemimpin Orde Baru tidak membuang-buang waktu dalam meperkuat posisi mereka. Perhatian utama mereka adalah melenyapkan pengaruh Soekarno, pembersihan angkatan bersenjata dan administarsi sipil terus berlanjut, para buruh dan pegawai yang terampil disingkirkan, atau bahkan dipenjara, dan lainnya diganti oleh para pendukung orde baru yang tidak cakap”. (Malcolm Caldweel dan Ernest Utrecht, 2011 : 285). Dalam pemerintahan orde baru, hegemoni Soeharto yang bertahan selama 32 tahun di backup oleh aparatus represif yaitu militer (ABRI) khususnya Angkatan Darat (AD), serta aparatus ideologis yaitu para kroni-kroninya dengan Partai Golkar sebagai instrumen manipulasi kekuasaanya. Ini terbukti dengan kemenangan Golkar dalam enam kali pemilu sejak tahun 1971. “Pemilihan umum pada 3 Juli 1971 dimenangkan oleh tentara yang disponsori kelompok-kelompo fungsional, Golongan Karya atau Golkar. Dengan menggunakan intimidasi, penahanan lawan-lawan yang dianggap berbahaya, penyalahgunaan fasilitas pemerintahan, dan praktik sistem massa mengambang yang curang”. (Malcolm Caldweel dan Ernest Utrecht, 2011 : 310). Lebih jauh Malcolm Caldweel dan Ernest Utrecht menegaskan bahwa: Sistem “massa mengambang” terbukti sangat membantu. Di sejumlah desa, pleton-pleton tentara Indonesai bergerak pada malam hari, membawa daftar pendaftaran pemilih. Semua orang dewasa didesa itu dipaksa untuk menandatangani atau membuat cap jempol untuk menunjukan mereka akan memilih Golkar. Setelah menyelesaikan “opersasi istimewa mereka, para pemimpin Golkar mengumumkan bahwa desa itu tertutup bagi semua
67
partai politik karena semua penduduk desa sudah menyatakan kesetiaan mereka. (Malcolm Caldweel dan Ernest Utrecht, 2011 : 311).
Di Gorontalo, dalam salah satu sumber dieksplanasikan bahwa salah satu rakyat yang pengalaman hidupnya telah melewati empat zaman (Belanda, Jepang, Orde Lama, dan Orde Baru), mengatakan bahwa “di zaman Belanda, Belandalah yang dielu-elukan, di zaman Jepang jangan sebut Belanda nanti disembelih, pada zaman orde lama Soekarno-lah yang disebut-sebut. Demikian halnya di masa orde baru yang disebut dan dielu-elukan itu tak lain adalah pemerintahan, khsusnya Golkar, merekalah yang berkuasa”. (Alim S. Niode, 2007 : 128). Ini menandakan bahwa pengaruh politik orde baru dan Golkar sebagai instrumennya sangat nyata dalam praktek politik Gorontalo pada saat itu, sehingga orde baru dan Golkar di sebut dan dielu-elukan. Penafsiran kekuasaan diidentikan dengan pemerintah dan pemerintah diidentikan dengan negara. “Identifikasi yang keliru ini kemudian digiring lagi dengan idiom kekuasaan bahwa umat harus taat kepada Allah, kepada Rasullnya, dan kepada pemerintah. Mengkritik, membantah apalagi menentang pemerintah adalah sesuatu yang salah”. (Alim S. Niode, 2007 : 129). Hal ini menurut penulis, Hegemoni orde baru dengan demokrasi sebagai masker wajah otoriternya, tidak hanya mempengaruhi aspek fisik masyarakat dalam hal praktek politik, tetapi juga mempengaruhi aspek psikis masyarakat serta memungkinkan terjadinya tekanan terhadap partisipasi politik dan komunikasi politik dalam pencitraan akan perkembangan pembangunan infrastruktur pada saat itu.
68
Perkembangan selanjutnya, seiring dengan gerak reformasi, di Gorontalo organisasi-organisasi LSM mulai bermunculan, dengan tujuan yang sangat variatif. Akan tetapi dalam sumber itu pula, di eksplanasikan bahwa “gerakan organisasi-organisai LSM itu, belum dapat menyentuh makna substantif dari reformasi sosial. Seseorang, Volunter Urban Management Advisory yang bekerja di Gorontalo dibawah UNDP mengatakan bahwa LSM-LSM tersebut sebagian besar berorientasi dana. Dia sering menemukan mereka menjual proposal ke pemerintah daerah, padahal dana pembangunan daerah sudah ditetapkan menurut anggaran”. (Alim S. Niode,2007 : 138).
2. Kondisi Ekonomi Gorontalo (1990-2001) Kondisi ekonomi Gorontalo pada tahun 1990-2001 tidak bisa dilepaskan dari kondisi (pertumbuhan/perkembangan) ekonomi Indonesia di bawah kekuasaan Orde Baru pada saat itu. Ini dikarenakan, secara geografis, Gorontalo merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kemudian dominasi Orde Baru yang sangat sentralistik. Sehingga, dibutuhkan suatu pemaparan tentang kondisi ekonomi Indonesia pada masa Orde Baru, untuk melihat bagaimana kondisi ekonomi Gorontalo pada tahun 1990-2001. “Sistem ekonomi berdiri diatas kaki sendiri atau berdikari-nya Seokarno, yang merupakan hasil logis proses dekolonialisasi ekonom pada akhir 1965, menjadi saksi dari nasionalisasi investasi asing yang baru dan bahkan bentuan asing. Kesemuanya dipandang sebagai alat untuk mengeksploitasi kekayaan
69
Indonesia” (Malcolm Caldweel dan Ernest Utrecht, 2011 : 286).Lebih jauh Malcolm Caldweel dan Ernest Utrecht mnegaskan bahwa: Ketika Orde Baru muncul, para pemimpinnya segera dihadapkan kepada kebutuhan untuk membuktikan keunggulan rezim mereka dibanding Orde Lama-nya Soekarno. Pembuktian terbaik keberhasilan itu adalajh dengan pengurangan inflasi (kekacauan yang diakibatkan oleh penyingkiran terhadap orang-orang yang dicurigai dan bebrbagai kerusuhan anti-Cina telah menyebabkan inflansi pada akhir 1966 hingga 700 persen) dan penurunan harga-harga. Upaya ini akan menghasilkan gengsi yang hebat. Tetapi, keberhasilan demikian hanya akan diperoleh dengan cepat jika bantuan asing segera datang. Dan memmang, negara-negara kapitalis yang merasa lega bahwa “ancaman komunis telah dilenyapkan”.tidak mebuangbuang waktu untuk menwarkan kredit dan investasi.
Ini kemudian mendorong pemerintahan Orde Baru menerima syarat-syarat yang disodorkan oleh negara-negara asing berupa pengakuan hutang-hutang lama, ganti rugi atas nasionalisasi sebelumnya, pemulihan perkebunan yang sudah dinasionalisasi kepada pemilik sebelumnya, pengenalan suatu akta baru yang memeberikan keuntungan dan fasilitas pajak istimewa untuk infestasi modal asing baru, dikenalkan kebijakan moneter yang tidak menguntungkan industri dalam negeri. Sehingga sebagai besar kebutuhan publik tidak lagi mendapat subsidi negara, impor bahan-bahan mentah untuk industri dalam negeri tidak mendapatkan subsidi lagi, dan kredit untuk para usahawan dalam negeri dihentikan. Hal ini dikarenakan, untuk mendapatkan investasi asing harus memenuhi syarat yaitu: anggaran belanja harus seimbang.
70
Dalam rangka memenuhi syarat tersebut, “Pemerintah Orde Baru menerima nasehat secara teknis dari Mafia Berkeley yakni para teknokrat didikan Amerika Serikat (AS), selain menerima dari para pakar IMF dan Bank Dunia yang memperkenalkan teknik-teknik kapitalis ortodoks tetapi tanpa merubah struktur yang bertingkat-tingkat”.(Malcolm Caldweel dan Ernest Utrecht, 2011 : 287). Pinjaman penstabilan di peroleh dari AS, Jepang, Jerman Barat, dan Belanda. Pada saat yang sama dipaksakan langkah-langkah penghematan dengan kebijakan ekonomi yang ketat. Pinjaman itu diperuntukan mengisi devisa yang dibutuhkan untuk mengimpor beras bagi kebutuhan penduduk. Dengan harapan, akan terjaganya harga-harga beras dan barang-barang konsumsi lainnya, turun ketingkat yang lebih rasional. Malcolm Caldweel dan Ernest Utrecht, (2011 : 288) memberi keterangan bahwa: Untuk mendapatkan pinjaman, Indonesia menegok kembali Bank Dunia dan IMF. Pada 1967 IMF memberi Indonesia pinjaman $ 51 juta. Pada tahun yang sama Inter-Govermental Group On Indonesia (IGGI, negaranegara pemeberi kredit kepada Indonesia) memberi pinjaman penstabilan sebanyak $ 200 juta. Pada tahun 1968 IGGI memberi pinjaman $ 325 juta: $ 250 juta digunakan untuk penyetabilan dan $ 75 juta digunkan untuk perbaikan jalan, jaringan komunikasi, sistem irigasi, dan sebagainya.
Sejak tahun 1967 hingga tahun 1976 Indonesia telah menerima pinjaman dar IGGI, untuk lebihjelasnya lihat tabel berikut:
71
Tabel II. Daftar Pinjaman Indonesia Kepada IGGI Tahun
Jumlah
1967
$ 200 juta
1968
$ 325 juta
1969
$ 500 juta
1970
$ 600 juta
1971
$ 600 juta
1972
$ 720 juta
1973
$ 760 juta
1974
$ 850 juta
1975
$ 850 juta
1976
$ 1.100 juta
Total
$ 6.505 juta
Sumber: Malcolm Caldweel dan Ernest Utrecht, (2011 : 288)
Juni 1966 dapat dikatakan sebagai tonggak dimulainya kebijakan orde baru. Dalam bidang ekonomi, melalui sidang majelis permusyarawatan sementara (MPRS) dengan menetapkan MPRS Nomor XXIII tahun 1966 tentang “pembaharuan landasan kebijakan ekonomi, keuangan, dan pembangunan”. Dan dibentuk pula kabinet Ampera (Amanat Penderitan Rakyat) pada 25 Juli 1966 dan dewan stabilitas ekonomi pada 11 Agustus 1966. Ini merupakan langkah awal yang diambil oleh pemerintah orde baru dalam bentuk konsolidasi ekonomi secra progerasif dengan mefasilitasi potensi-potensi ekonomi yang dinilai paling mudah
72
diproduksi untuk menjalankan roda perekonomian Indonesia yang berorientasi “pasar”. Bagaimana tidak, kebijakan pemerintah dalam Undang-Undang penanaman
modal
asing
dan
Undang-Undang
pokok-pokok
kehutanan,
mengisyaratkan bahwa pemerintah memberikan peluang besar kepada berbagai pihak asing untuk masuk ke sektor-sektor strategis ekonomi indonesia. Awal 1970-an, Indonesia mulai memasuki era dominasi negara dalam bidang ekonomi, peran dominan negara terhadap bidang ekonomi tersebut, terutama terlihat pada aspek terjang perusahaan-perusahaan negara dan pada fungsi Anggaran Perencanaan dan Belanja Negara (APBN) yang dijadikan instrumen utama dalam mengalokasikan faktor-faktor produksi, baik secara sektoral, regional, maupun kelas pengusaha. Dalam konteks itu, perusahaan negara
yang
paling
mencolok
peranan
dan
kedudukannya
dalam
perekonomiannasional pada masa itu adalah PN Pertamina. Dalam periode ini, peran BUMN di beberapa sektor, perusahaanperusahaan negara tersebut seperti mewakili peranan negara melekuakan kontrol atas mata rantai perekonomian secara efektif tetapi tidak efisien. Dalam berbagai sektor ekonomi tidak hanya dominan dalam bidang perminyakan, tetapi juga perkebunan yaitu: karet, kelapa sawit dan lain sebagainya dalam kegiatan produksi, distribusi, dan ekspor dan dibidang perbankan dalam kegiatan distribusi aset. Proses tersebut sangat nampak dalam tabel berikut ini:
73
Tabel III. Perkembangan Ekspor Miyak 1969/1970-1981/1982 (Jutaan Dolar AS) Tahun
Total Ekspor
Ekspor Minyak
% Ekspor Minyak Terhadap Total Ekspor
1969/1970
1.044
384
37
1970/1971
1.204
443
36,80
1971/1972
1.374
590
42,94
1972/1973
1.939
965
49,77
1973/1974
3.613
1.708
47,28
1974/1975*
7.182
5.153
71,71
1975/1976
7.146
5.273
73,79
1976/1977**
9.213
6.350
68,93
1977/1978
10.860
7.353
67,71
1978/1979
11.353
7.374
64,96
1979/1980***
17.820
11.649
65,37
1980/1981
22.470
16.883
75,14
1981/1982
23.606
19.436
82,34
1982/1983
18.672
14.744
78,97
Sumber: Dorodjatum Kuntjoro-Jakti dalam Andrionof A. Chaniago (2012 : 42) Keterangan: * Dampak dari perang Arab-Israel yang meletus Oktober 1973, mengakibatkan harga minyak melonjak dar 3 dola AS menjadi 12 dolar AS per barel. ** Kenaikan penerimaan ekspor tahun ini juga disebabkan kontribusi lonjakan penerimaan ekspor dari beberapa komoditi sebagai akibat lonjakan harga komoditi tersebut dipasar dunia,
74
seperti kopi, kayu dan karet. *** Hampir semua komoditi ekspor Indonesai pada tahun anggaran 1979/1980 kembali mengalami kenaikan harga yang rata-rata mencapai angka 55 persen dari tahun sebelumnya. Perubahan harga tersebut juga memberi kontribusi terhadap kenaikan penerimaan ekspor, disamping kenaikan penerimaan dari minyak.
Tabel IV. Volume Ekspor Disektor Perkebunan Kategori
1966 1967 1968 1969 1970 1971 1972 1973 1974
Karet
96
92
108
120
111
111
111
123
109
Kopra
96
92
174
126
149
62
28
34
-
Kopi
90
148
79
118
96
69
89
93
102
Tembakau
97
78
68
42
81
136
183
230
188
Minyak Sawit Biji Palem
141
105
121
141
126
166
184
205
192
96
118
111
130
129
148
146
121
66
Lada
168
304
200
136
22
197
201
201
124
Sumber: Malcolm Caldweel dan Ernest Utrecht (2011 : 293)
Tabel V. Distribusi Aset Disektor Perbankan Kelompok Bank
Aset
Bank Negara *
Rp. 13.004.122.152.000,-
Bank Swasta Devisa
Rp. 1.099.250.213.000.-
75
Bank Swasta Non-Devisa
Rp. 472.449.784.000,-
Bank Asing
Rp. 975.685.247.000,-
Sumber: J. Panglaykim dalam Andrionof A. Chaniago (2012 : 47) Keterangan:
*Bank Bumi Daya, Bank Dagang Negara, Bank Eksim, BRI dan BNI. ** BCA, Panin Bank, Bank Dagang Nasional Indonesia, Bank Duta Ekonomi, Bank Bali, Bank Umum Nasional, Bank Niaga, Overseas Ekspres Bank dan Bank Pacific
Berangkat dari ketiga tabel diatas, bisa dilihat kebijakan yang diambil maupun dari struktur ekonomi Indonesia pada masa ini, jelas bahwa pemerintahan Orde Baru hanya membawa bangsa Indonesia untuk menikmati hasil eksploitasi sumber daya alam. Tanpa upaya serius mempersiapkan transformasi ekonomi ke ekonomi yang bermuatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Upaya antisipasi atas kemungkinan jatuhnya nilai jual maupun penurunan dratis volume permintaan atas komoditas sumber daya alam pada era ini benarbenar tidak terlihat. Ini sangat nampak anjloknya harga minyak dan nilai tukar dolar terhadap nilai tukar mata uang asing, merupakan dua faktor eksternal yang sangat mempengaruhi perekenomian indonesia. Salah satu sektor yang paling terkena akibat meresostnya penerimaan negara karena harga minyak turun drastis adalah Industri dalam negeri.Menurut Andrionof A. Chaniago (2011 : 49) bahwa: Akibat persoalan-persoalan yang muncul di awal 1980-an itu, pemerintah menjadi sangat tergantung pada dunia usaha swasta yang sedang bangkit. Sedangkan peranan jangka pendek yang dapat dilakukan pemerintah ketika menghadapi situasi tersebut adalah menhentikan atau menjadwalkan kembali 48 proyek pembangunan besar, meperketat penerapan APBN dan menghapus subsidi konsumsi minyak bumi di dalam negeri.
76
Situasi dan kondisi yang terjadi pada awal 1980-an itu menyadarkan para pembuat kebijakan ekonomi Indonesia untuk melakukan retsrukturasi ekonomi atau penyesuaian struktural. Hal ini dilakukan dengan dua cara, sebagai mana yang dijelakan oleh Andrionof A. Chaniago (2011 : 49) yaitu: Pertama, mengurangi ketergantungan pada sumber devisa yang berasal dari ekspor migas. Alternatifnya yaitu dengan meningkatkan ekspor barang-barang hasil industri yang permintaan pasarnya, di dalam negeri, masih terbatas. Kedua, untuk menggerakan ekonomi dalam negeri pemerintah memberikan berbagai intensif mellaui dukungan kebijakan fisikal. Tujuannya untuk menarik investasi asing dan mendorong masukny barang modal dari luar negeri, dengan maksud untuk meamcu pertumbuhan industri yang berorientasi ekspor dan memulihkan kembali kekuatan cadangan devisa nasional.
Untuk mewujudkan misi tersebut (restrukturasi ekonomi nasional), pemerintah mengambil kebijakan deregulasi dalam sektor moneter, perbankan, perdagangan luar negeri, maupun industri. Ini kemudian dilakukan sejak tahun 1983 Samapai pada tahun 1996. Lebih rinci lihat tabel berikut ini:
Tabel VI. Daftar Deregulasi Tahun
Bentuk Deregulasi
1983
Deregulasi sistem perbankan
1984-1985
Penyederhanaan perizinan dan pengurangan tarif dibidang tata niaga, serta pengurangan proteksi (Inpres No.4 Tahun 1984)
Inpres No.5 Tahun 1984 sebagai Dasar Hukum Deregulasi
77
Reformasi
perpajakan
dengan
mengeluarkan
UU
perpajakan Januari 1984; deregulasi ekspor-impor (Inpres No.4 tahun 1985) anatara lain mengalihkan sebagian peranan Dirjen Bea dan Cukai kepada SGS, dan membebaskan arus perhubungan antar pulau. 1986-1987
Peket Mei 1986, memberi kebebasan kepada sebagian produsen eksportir untuk mengimbpor langsung kebutuhan impor mereka
Devaluasi rupiah 50% terhadap dolar AS
Oktober 1986, pembebasan sebagian barang impor dari pemberlakuan tata niaga (dilanjutkan dengan keputusan yang sama pada 1987)
1987
Paket kebijakan Januari 1987 tentang ekspor
Kebijakan Juni 1987 tentang investasi dan lisensi kapasitas
Kebijakan Juli 1987 tentang penyederhanaan kuota tekstil
Paket kebijakan 24 Desember 1987 tentang pasar modal, tarif dan perizinan
1988-1996
Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1988 tentang badan pertahanan nasional, 19 Juli 1988.
Paket Oktober 1988 tentang Liberalisasi keuangan
Paket Nopember 1988 tentang perdagangan barang plastik, angkatan laut, industri dan pertanian
78
Paket Desember 1988 tentang pasar modal dan modal Ventura
Paket kebijakan Maret 1989 tentang likuiditas pasar unag (sebagai lanjutan dari paket Oktober 1988 dan pekt Desember 1988)
Paket Mei 1989 tentang investasi dan daftar negatif investasi
Paket kebijakan Juni 1989 tentang penataan BUMN
Kepres No. 53 tahun 1989 tentang swastanisasi kawasan industri
Paket Januari 1990 tentang perizinan, tarif dan koperasi
Paket Pebruari 1991 tentang globalisasi perbankan
Paket
kebijakan
Juni
1991
tentang
investasi
(pelonggaran DNI)
Paket kebijakan Juli 1991 tentang pembenahan tata niaga impor (penurunan tarif bea masuk), izin tenaga kerja asing, investasi dan 10 sektor rill
Paket kebijkan Mei 1993 tentang ekspansi kreit perbankan
Paket kebijakan Juni 1993 tentang deregulasi industri otomotif, penurunan tarif, tata niaga ekspor dan Daftar Negatif Investasi (DNI)
79
Paket kebijakan Oktober 1993 tentang tata niaga ekspor-impor, tarif, izin penanaman modal, industri farmasi dan amdal
Paket kebijakan mei 1994 tentang keleluasan investor asing disektor rill, pasar modal dan industri media massa
Paket deregulasi mei 1995 tentang tarif bea masuk dan bea masuk tambahan (BM/BMT), tata niaga impor, kawasan berikat (EPTE), penanaman modal, perizinana dan restrukturasi usaha
Deregulasi Januari 1996.
Sumber: Andrionof A. Chaniago (2011 : 59)
Berdasarkan tabel di atas (Tabel. VI), bisa dikatakan bahwa pemerintah lebih banyak melakukan deregulasi investasi, perbankan dan perdagangan dari pada sektor rill, nanti pada Juli 1992 diregulasi pada sektor rill dilakukan oleh pemerintah Orde baru. Sehingga dapat disimpulkan bahwa deregulasi pada sektor nonrill tidak bisa dilepaskan dari problem struktural ekonomi Indonesia karena kuatnya pengaruh kekuatan ekonomi yang dekat dengan sentra kekuasaan. Adanya berbagai macam deregulasi dari pemerintah Orde Baru, tentu memilki dampak terhadap perkembangan ekonomi Indonesia. Sebagaimana dijelaskan oleh Andrionof A. Chaniago (2011 : 60) bahwa:
80
Perkembangan ekonomi,terutama disektor-sektor perdagangan, jasa dan industri sejak pertengahan dekade 1980-an, membawa dampak yang besar pula yakni meningkatnya aset dan omzet perusahaan-perusahaannasional. Pemerintah tentu menikmati hasil dari peningkatan gairah ekonomi itu, terutama terlihat pertumbuhan penerimaan pajak.pada saat yang sama, pemerintah telah dapat menggantikan sumber penerimaan yang semula didominasi migas, kini beralih ke sumber nonmigas. Dampak yang paling penting dengan adanya berbagai deregulasi tersebut yaitu terbentuknya bubble ekonomy Indonesia pada periode 1988 hingga pertengahan 1997 yang berakhir dengan krisis amat parah. Sektor properti dan perbankan membuat ekonomi nasional rentan terhadap goncangan eksternal. Sumber kerntanan itu semakin besar apabila melihat kondisi ketidakseimbangan penguasaan lembaga politik masyrakat atas praktik dominasi oleh segelintir pihak yang menguasai lembaga politik dan aset-aset ekonomi.
Berangkat dari penjelasan tersebut, bisa dikatakan bahwa krisis ekonomi merupakan akibat yang paling krusial dari kebijakan deregulasi pemerintah Orde Baru, krisis ini juga tidak lepas dari faktor manajemen perbankan yang buruk, intervensi pemerintah terlalu besar dalam perekonomian, praktik-praktik KKN terus berlangsung, rendahnya kepercayaan pasar, semakin tergantungannya Indonesia pada modal asing dan utang luar negeri semakin meningkat. Secara umum, pertumbuhan ekonomi indonesia pada masa Orde Baru bisa dilihat pada tabel berikut ini: Tabel VII. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Pada Masa Orde Baru Tahun
Ciri Ekonomi dan Kebijakan
1966-1974 Konsolidasi dan mobilisasi investasi
Pertumbuhan Ekonomi -
81
1975-1981 Oil Boom dan etatisme negara
7,02
1982-1987 Liberalisasi fase I
3, 6
1988-1996 Liberalisasi radikal
7,2
1997-2002 Krisis
0,7
Sumber: Andrionof A. Chaniago (2011 : 74) Menurut Djafar Ibrahim, dkk (2012 : 63) bahwa “ selama kurun waktu 1978-1998, krisis ekonomi telah mengakibatkan konstraksi perekonomian Indonesia sebesar 19 %, yaitu 5 % pada tahun 1997 dan 14 % pada tahun 1998. Konstraksi sebesar itu terutama menimpa sektor sektor industrial, perdagangan dan jasa, sedangkan sektor pertanian dapat tumbuh walaupun relatif kecil”. Penjelasan tersebut, menandakan bahwa sektor pertanian memiliki suatu potensi untuk mendongkrat perekonomian Indonesia yang ditimpa krisis (masa rehabilitas). Potensi dalam sektor pertanian untuk mendongkrat ekonomi Indonesia tersebut, dideskripsikan oleh Nastion dalam Djafar Ibrahim, dkk (2012 : 64) antara lain sebagai berikut: Pertama,Indonesia mempunyai keunggulan komparatif dalam ketersediaan sumber daya alam yang menjadi penyangga untama sektor pertanian. Kedua, daftar secara sektor pertanian relatif tradisional, terlindungi dari pengaruh eksternal yang merugikan. Ketiga, sektor pertanian terdiri dari sangat banyak rumah tangga petani, perusahan kecil menengah sehingga memungkinkan terjadinya perdagangan internal. Keempat¸sumber daya alam Indonesia sangat bergam diantara wilayah sehingga memungkinkan terjadinya perdagangan antar wilayah yang ekstensif.
82
Berdasarkan potensi tersebut, sektor pertanian dapat menjadi dongkrat ekonomi Indonesia dalam masa rehabilitasi, ini kemudian dilaksanakan oleh pemerintah dengan program pengembangan agropolitan, yang diperkuat dengan UUD 1945 pasal 27 dan 33 untuk mewujudkan tujuan pembangunan nasional. Dalam melaksanakan program agropolitan tersebut maka penguatan ekonomi kerakyatan terutama disektor pertanian perlu dipersiapkan. “Agropolitan berasal dari kata “agro” yang berarti “pertanian” dan “politan” yang berarti “kota”, sehingga dapat diartikan yaitu kota pertanian atau kota di wilayah pertanian atau di kawasan kota” (Friedman dan Douglas dalam Djafar Ibrahim, dkk. 2012 : 69). Ekonomi kerakyatan adalah kebijakan dari pemerintah, dengan konsep memberikan bantuan kepada rakyat untuk mengembangkan sektor perekonomian mereka (ekonomi rakyat) agar dapat bertahan hidup.Pada dasarnya ekonomi kerakyatanadalah konsep dari sebuah tatanan atau sistem dengan maksud pengembangan ekonomi kerakyatan yakni demokrasi ekonomi. Sehingga peran pemerintah sangat dibutuhkan di samping dibutuhkan juga peran pengusaha. Peran pangusaha dalam hal iniadalah bersepakat dengan ekonomi rakyat yakni bagaimana suatu ekonomi rakyat dapatdipertahankan hidupnya dan memperoleh akses tertentu ataupun perlakuan khusus tertentu. Mengingat akses tidak muncul dengan sendirinya, makaia harus dimediasi, distimulasi ataupun difasilitasi. Dengan demikian yang dibutuhkan adalah suatu intervensi pemerintah. Di Gorontalo, “pada pertengahan tahun 1996, ekonomi kerakyatan mulai dikembangkan. Beberapa koperasi yang bergerak memfasilitasi modal pedagang
83
kecil dan asongan dengan menerapkan konsep bagi hasil. Lambat laun bentuk koperasi memperoleh dukungan besar dan menjadi baitul maal wal tamwil (BMT)”. (Alim S. Niode, 2007 : 108). Dalam sumber tersebut juga dieksplanasikan bahwa di Gorontalo “modernisasi pertanian pada masyarakat tani dilancarkan dengan program panca usaha tani. Berbagai paket teknologi diadopsi dengan cepat. Bibit unggul, teknologi, pengelolaan seperti traktor, pengendalian penyakit dan teknologi paska panen memacu produktifitas baik pertanian maupun peternakan dan perikanan”. (Alim S. Niode,2007 : 104). Di tengah-tengah krisisekonomi yang melanda Indonesia dan seiring dengan arus modernisasi, Gorontalo menampilkan sesuatu yang fenomenal dalam sektor perekonomian, yaitu munculnya angkutan baru yang disebut becak motor atau yang lebih dikenal dengan bentor. Bentor merupakan bentuk transformasi dari becak, dimana becak menggunakan sepeda dengan manusia sebagai tenaga pendorong, sementara bentor menggunakan tenaga mesin motor sebagai tenaga penggerak, daya tampung untuk bentor dalam ukruan minimal yaitu 3 orang. Di Gorontalo bentor dijadikan salah satu alternatif lapangan pekerjaan masyarakat Gorontalo, di saat Indonesia mengalami krisis ekonomi. Bentor merupakan salah satu karya kreatif masyarakat gorontalo yang telah bayak diadopsi oleh daerahdaerah lain. 3. Kondisi Pendidikan Gorontalo (1990-2001) Kebijakan pemerintah Orde Baru ternyata tidak hanya mempengaruhi sistem politik dan ekonomi di Gorontalo, tetapi juga mempengaruhi sistem
84
pendidikan di Gorontalo. Ini tidak lepas dari faktor geografis dan sistem pemerintahan Orde Baru yang sangat sentralistik. sehingga penjelasan tentang kondisi Gorontalo pa tahun 1990-2001, harus berangkat dari kebijakan pemerintahan Orde Baru itu sendiri dalam bidang pendidikan. Mohammad Rifa’i (2011 : 193) menjelaskan bahwa, kebijakan pemerintah Orde Baru dalam bidang pendidikan di awali dengan: Ketetpan MPRS nomor XXVII/MPRS/1966 bab II pasal 3, dicantumkan bahwa tujuan pendidikan nasional Indonesia dimaksudkan untuk membentuk manusia pancasila sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti yang dikehendaki oleh pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Pembentukan manusia pancasila adlah sesuatu yang diperlukan untuk mengubah mental masyrakat yang sudah banyak mendapat indoktrinisasi Manipol USDEK pada zaman Orde Lama, pemurnian semangat pancasila dianggap sebagai jaminan tegaknya Orde Baru. Hal tersebut kemudian dikuatkan dalam pasal 4 ketetapan MPRS nomor XXII/1966 tersebut, selanjutnya disebutkan tentang isi pendidikan harus memuat: Pertama, mempertingi mental, moral, budi pekerti, dan meperkuat keyakinan beragama,. Kedua, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan. Ketiga, membina/mengembankan fisik yang kuat dan sehat.
Ketetapan MPRS di atas menandakan suatu perubahan pendidikan dari Orde Lama ke Orde Baru. Hal yang bisa dipahami tujuan dari pembentukan manusia pancasilais sangat berkaitan dengan peristiwa tragis pasca Gerakan 30 September atau 1 Oktober, ketika Orde Baru menuduh PKI sebagai pengkhianat pancasila kemudian mengubah, kemudian mengubahmental masyarakat yang penuh dengan doktrin-doktrin Manipol USDEK.
85
Mohammad Rifa’i juga menegaskan bahwa “Orde Baru identik dengan ideologi pembangunan. Begitupula arah dan kebijakan pendidikan disesuaikan dengan gerakan pembangunan. Di dalam mengaktualisasikan pembangunannya, Orde Baru setiap lima tahun memilki program pembangunan yang dikenal dengan istilah pelita (Pembangunan lima tahun)”. Program Pelita dalam bidang pendidikan berlangsung selama lima kali yaitu Pelita I-Pelita V dengan kebijakan pendidikan yang berbeda-beda. Lebih jelasnya lihat tabel berikut: Tabel VIII. Kebijakan Pemerintah Orde Baru Dalam Bidang Pendidikan Pelita ke Pelita I
Kebijakan Dalam Bidang Pendidikan
Kebijaksanaan
terhadap
penyesuaian
diri
dari
persediaan tenaga kerja dengan kebuthan untuk pembangunan
ekonomi
harus
ditujukan
kearah
pembaruan sisitem pendidikan dari tingkat sekolah dasar
samapai
kurikulum
akan
keperguruan diadakan
tinggi. sehingga
Peninjauan terdapat
kesempatan untuk mendapatkan pelajaran praktik yang memungkinkandipelajarinya
segi
praktis
dari
pengetahuan yang diikutinya Pelita II
Merumuskan perluasan kesempatan belajar sekolah dasar sebagai salah satu prioritas pembangunan bidang pendidikan
Pelita III
Pendidikan diletakan pada perluasan pendidikan dasara dalam rangka mewujudkan pelaksanan wajib belajar yang sekaligus memberikan keterampilan yang sesuai
dengan
kebutuhan
lingkungannya
serta
peningkatan pendidikan teknik dan kejuruan pada
86
semua tingkat untuk dapat menghasilkan anggotaanggota masyarakat yang memiliki kecakapan sebagai tenaga-tenaga pembangunan
Sarana dan prasanara pendidikan termasuk gedung, perlatan, perpustakaan, fasilitas kerja dan kondisi kehidupan yang layak bagi seluruh tenaga pendidikan dan
pengajaran
makin
disempurnakan
dan
ditingkatakan Pelita IV
Titik berat pembangunan pendidikan diletakan pada peningkatan mutu dan perluasan pendidikan dasar dalam
rangka
pelaksanaan
mewujudkan
wajib
belajar,
dan serta
menetapkan meningkatkan
perluasan kesempatan belajar pada tingkat pendidikan menengah Pelita V
Pendidikan nasional akan dilaksanakan secara lebih terpadu
dan
pembangunan
serasi yang
sesuai
dengan
memerlukan
tuntutan
berbagai
jenis
keterampilan dan keahlian. Sehubungan dengan itu, berbagai jenis pendidikan kejuruan dan keahlian termasuk politeknik terus diperluas dan ditingkatkan mutunya. Dalam pada itu, keterpaduan antara dunia pendidikan dan dunia usaha semakin diupayakan Sumber: Mohammad Rifa’i (2011) Berdasarkan tabel diatas, bisa dilihat bahawa pendidikan pada masa Orde Baru pada permulaannya berusaha membedakan diri dengan pendidikan masa
87
Orde Lama, kemudian bentuk dan implementasi kebijakan pendidikannya selalu dikaitkan dengan persoalan pembangunan dan ekonomi. Stabilitas politik memberi pengaruh pada dunia pendidikan. Yang kesemuannya itu tidak lain bertujuan untuk memperkokoh hegemoni pemerintahan Orde Baru itu sendiri terhadap rakyat Indonesia. Dengan demikian, pendidikan juga menjadi instrumen untuk melegitimasi kekuasaan. Hal ini tidak bedanya dengan model pendidikan pada masa kolonial Belanda, sebagai mana yang dikatakan oleh Menurut Michel Foucault dalam Jenny Edkins dan Williams Vaughan(2010) bahwa, “pengetahuan dalam berbagai bentuknya melahirkan kekuasaan demikian juga sebaliknya”. Di Gorontalo, sepanjang orde baru, “pendidikan lebih dipandang sebagai kunci untuk masuk pegawai negeri sipil, rupanya hanya pegawai negeri yang dianggap layak bagi mereka yang telah tamat mengikuti pendidikan atau sebaliknya, pendidikan hanya dibutuhkan hanya sebagai prasayarat untuk menjadi pegawai negeri”. (Alim S. Niode,2007 : 93). Lebih jauh dalam sumber tersebut di jelaskan bahwa: Secara historis pendidikan di Gorontalo, memang berkonotasi baik/positif. Ketika realitas sosial melembagakan pegawai negeri adalah mereka yang terdidik maka logika sosial menerjemahkannya menjadi: pegawai negeri itu baik. Pada gelombang sejarah berikutnya pemerintah merekrut pegawai yang terdidik menjadi pegawai negeri yang digaji pemerintah. Pada yang terakhir ini akhirnya pendidikan terkooptasi oleh hegemoni kekuasaan karena silogisme yang sempurna dicapai dalam formulasi pemerintahan itu baik. Itulah sebabnya, sesungguhnya banyak yang telah dicapai oleh dunia pendidikan, tetapi pada sisi lain kenyataanya pendidikan turut menjadi alat untuk melegitimasi kekuasaan. Banyak kalanganterdidik yang kemudian direkrut menjadi pegawai negeri terjerambab kedalam kerangkeng status
88
selanjutnya nyaris tersungkur tak sempat mencitrakan pendidikan sebagai suatu proses pembebasan dari kjahilan menuju kemanusiaan sejati. (Alim S. Niode,2007 : 94)
Berdasarkan
hal
tersebut,
bisa
dikatakan
bahwapendidikan
dan
pengetahuan sebagai penerang kehidupan manusia benar-benar talah menerangi kehidupan manusia, dengan tujuan mengenali, merumuskan, melestarikan dan menyalurkan kebenaran serta mengkonstruksi kesadaran akan posisi, ruang dan akibat justru berbalik menjadi peredup kehidupan manusia itu sendiri. Pendidikan dan pengajaran pada prinsipnya sebagai instrumen pencerahan bagi umat manusia, secara teologis sebagai kewajiban bagi manusia.Secara esensial merupakan suatu proses memanusiakan manusia.Hal ini terkait dengan tujuan pendidikan itu sendiri yakni pendidikan secara menyeluruh adalah untuk mengenali, merumuskan, melestarikan dan menyalurkan kebenaran. Pertumbuhan
pendidikan
di
Gorontalo,
dapat
dikatakan
belum
berkembang pesat seperti saat ini.Pertumbuhan pendidikan di Gorontalo paling tidak dapat ditemukan sejak tahun 60-an yakniditandai dengan berdirinya Universitas
Islam
Indonesia
(UII)
danJunior
Collega,
meskipun
pada
kenyataannya UII sebagai perguruan tinggi pertama di Gorontalo kurang jelas perkembangannya di kemudian hari. Sebaliknya dengan Junior College, ia mengalami beberapa perubahan yang menandakan adanya perkembanagan yaitu IKIP Manado Cabang Gorontalo (1965), FKIP (1982), STIKIP Gorontalo (1993), IKIP Negeri Gorontalo (2001) dan UNG (2004). Pada tahun 1990-an juga berdiri fakultas Tarbiyah IAIN Alauddin dan STIE Limboto.
89
Pentingnya Universitas, karena di dalam universitas terdapat para mahasiswa yang turut/banyak berperan dalam proses pembangunan bangsa Indonesia
ataupun
dinamika
sejarah
bangsa
(sejarah
gerakan
mahasiswa),termasuk meruntuhkan rezim represif yakni rezim orde baru. Sebagaimana di uraikan oleh Karl Jaspers dalam Reyner Emyot Ointoe bahwa “ diantara hal-hal yang paling mengikat mahasiswa di dunia universitas adalah keterlibatan mereka dalam menjelajahai kebenaran dan kewibawaan mereka menjaga martabat kecendekiawan” Akan tetapi,yang perlu diperhatikan,apakah pelaksanaan pendidikan dan pengajaran dalam suatu universitas sudah sesuai dengan prinsip pendidikan dan pengajaran itu sendiri,khususnya dalam konteks Gorontalo (1990-2001).sebagai mana dikatakan oleh Ivan Illich dalam Reyner Emyot Ointoe bahwa “justru lembaga pendidikanlah yang mematikan hak-hak kebebsan sosial para anak didik”. Dalam perkembangan selanjutnya pendidikan dan pengajaran
di
Gorontalotelah melahirkan pemikiran kritis di kalangan masyarakat Gorontalo (kalangan terpelajar). Hal ini disebabkan semakin tumbuhnya lembaga pendidikan khususnya universitas di Gorontalo, ditambah lagi relatif banyak masyarakat Gorontalo yang menempuh pendidikan di luar daerah. Sebagaimana ditegaskan oleh Alim S. Niode bahwa “Di Gorontalo, fenomena demikian terkonsentrasi terutama terkonsentrasi pada lingkungan elit pendidikan saja. Sungguhpun demikian bahwa, perkembangan ini adalah sebuah hal yang unik karena daya eksplanasinya dapat membuktikan bahwa pendidikan subordinasi kekuasaan dan
90
bahwa antara kekuasaan dan pendidik bukanlah sebuah hubungan yang bersifat hegemonik”.
B. Ilustrasi Proses Terbentuknya Pemahaman Idiologi dan Pola Gerakan Mahasiswa Gorontalo (1990-2001) Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya bahwa dalam proses kelahiran pemahaman dan gerakan mahasiswa Gorontalo,tidak lepas dari kondisilokal Gorontalo itu sendiri yakni kondisi politik, ekonomi dan kondisi pendidikannya. Dalam konteks nasional, tahun 1990-2001 merupakan kondisi transisi politik Indonesia yang ditandai dengan krisis ekonomi dan politik yang terjadi di Indonesia khususnya pada masa orde baru. Kekuasaan orde baru mulai menandakan keruntuhannya akibat adanya gerakan-gerakan perlawanan masyarakat yang dimotori kalangan terpelajar (mahasiswa). Gerakan-gerakan perlawanan dimaksud adalah bentuk dari gerakan kolektif (pengorganisasian massa) yakni gerakan organisasi, pengkajian dan diskusi tentang isu-isu yang berkembang pada saat itu. Sebagai contoh dalam konteks sejarah gerakan mahsiswa 98, organisasi yang berperan penting yaitu: FORKOT (Forum Kota) , FAMRED (Forum Aksi Mahasiswa Untuk Reformasi Dan Demokrasi), FKMSJ (Forum Komunikasi Senat Jakarta), KOMRAD (komite Mahasiswa Dan Rakyat Untuk Demokrasi), KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia), DAN HAMMAS (Himpunan Mahasiswa Muslim Antar Kamapus). Dalam praktek gerakannya, organisasi-organisasi tersebut memilki
91
orientasinya masing-masing, tetapi mempunyai satu tujuan yang sama, yakni penegakan nilai-nilai demokrasi dengan jalan reformasi. Di Gorontalo, dalam sumber yang penulis temukan, dijelaskan bahwa pada tahun 1996, mahasiswa Gorontalo (mahasiswa tersebut, sebagaian besar adalah mahasiswa yang belajar di Kotamadia) melakukan demonstrasi terhadap Bupati Gorontalo yaitu Nooriman yang terlibat dalam kasus KKN. Bersamaan dengan itu kedatangan (pulang kampung) mahasiswa asal Gorontalo yang tersebar diberbagai kota di Indonesi dalam rangka melaksanakan MUBES (Musyawarah Besar) organisasi HPMIG (Himpunana Pelajar Mahasiswa Indonesia Gorontalo) juga turut memperkuat demonstrasi tersebut. Tepatnya, demonstrasi tersebut dilakukan setelah pelaksanaan MUBES HPMIG, dengan tuntutan yang ditujukan kepada PEMDA (Pemerintah Daerah) SULUT (Sulawesi Utara) bahwa “turunkan Noriman (Bupati Gorontalo pada saat itu) atau Gorontalo berpisah dengan Sulut”.Akhirnya, Nooriman turun dari jabatannya pada tahun 1999.Perlu diketahui juga bahwa, “sebelum demonstrasi terhadap Nooriman dan pelaksanaan MUBES, Mahasiswa Gorontalo yang tergabung dalam HPMIG juga telah melakukan demostrasi dengan tuntutan “pengamanan jalannya prosesi reformasi dan sembako, serta kenaikan harga yang dipicu oleh krisis moneter”. (Alim S. Niode, 2007 : 42). Pada tahun 1998, pemerintah pusat menetapkan undang-undang nomor 22 tentang otonomi daerah. Ketetapan pemerintah tersebut kemudian ditanggapi oleh oleh mahasiswa Gorontalo dengan suatu ide tentang pembentukan Provinsi Gorontalo. Sehingga gerakan mahasiswa Gorontalo saat itu terfokus dalam usaha
92
untuk pembentukan Provinsi Grorontalo. Dalam proses gerakan tersebut, mahasiswa bergerak melalui organisasi-organisasi. Organisasi mahasiswa yang paling nampak pada saat itu adalah HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) Cabang Gorontalo danHPMIG. Dalam gerakan pembentukan provinsi, HPMIG mengambil langkah awal seiring dengan pelaksanaan MUBES V HPMIG yang akan dilaksanakan pada tanggal 20 Januari 1999. Diskusi dan kajian dilakukan terkait dengan pembentukan provinsi Gorontalo.Implikasi dari diskusi dan kajian tersebut adalah “direkomendasikannya prmbentukan provinsi Gorontalo dalam MUBES V HPMIG.Selanjutnya, sehari sesudah MUBES HPMIG bersama elemen mahasiswa lainnya turun kejalan, tepatnya di RRI cabang muda kota Gorontalo. Alex Olii membacakan surat pernyataan tutuntutan pembentukan
provinsi Gorontalo”.
(Tim HMI Cabang Gorontalo, 2005 : 34). Dengan misi yang sama HMI Cabang Gorontalo, mengabil langkah awal dengan mengadakan dialog terbuka, yang dilaksanakan pada tanggal 1 Desember 1999 bertempat di restoran Elita kota Gorontalo. Dengan tujuan untuk memperoleh dukungan rakyat untuk mebentuk povinsi Gorontalo. “Peserta dialog yang hadir pada saat itu adalah Prof. Drs. H. Ibrahim Polontalo, Prof. Drs. H. Kadir Abdussamad, Jotje Nento, SH. Drs. Abdullah Muhammad, Drs. Kasiru Salimi dan Ir. Efendi Lamatenggo. Hasil dari dialog ini adalah terbentuknya formatur pemilihan panitia persiapan pembentukan provinsi Gorontalo yang diketuai oleh Kadir Abdussamad”. (Tim HMI Cabang Gorontalo, 2005 : 38).
93
HMI juga melakukan aksi sosialisasi kepada seluruh elemen masyarakat Gorontalo untuk mendukung pembentukan provinsi Gorontalo, dengan cara menyebarkan selebaran-selebaran dan pembentangan spanduk yang bertuliskan “Gorontalo-Tomini Raya Yes”. Kemudian mereka juga mensosialisasikan pokokpokok pikiran yang tidak lainadalahhasil dari dialog pada tanggal 1 Desember ke DPR-RI diJakarta. Selain ituHMI juga mendirikan organiasi perjuangan pembentukan provinsi yaitu: KPMGP (Kesatuan Aksi Pemuda Masyaraat Gorontalo Untuk Provinsi), AMATORA (Aliansi Masyrakat Tomini Raya), Somasi Prontal (Solidaritas Masyarakat Peduli Privinsi Gorontalo), Forbes dan GDP (Gerakan Pemuda Gorontalo). Perjuangan mahasiswa Gorontalo dalam membentuk provinsi Gorontalo bukanlah hal yang mudah, karena pada awal-awal pergerakan, sebagaian besar masyarakat bersikap pesismis terhadap gerakan mahasiswa tersebut. Bahkan tidak jarang mendapat hujatan dari orang-orang tertentu. Akan tetapi semangat dari mahasiwa tidak redup begitu saja. Hal ini ditegaskan oleh M. Rustam Tilomedalam dalam proses wawancara yang dilakukan oleh penulis (Wawancara dilakukan pada 20 Desember 2012, pukul
20.35-22.15, bertempat di rumah
kediaman kompleks perumahan lestari)“Hal yang menarik dalam perjuangan mahasiswa itu adalah kerelaan dari para mahsiswa untuk menjadi penjual kupon presnas dengan harga 100, 500, 1000 dan koran Habari Lo Lipu.Menurut beliau, mahasiswa merupakan martir utama dalam perjuangan pembentukan provinsi Gorontalo”.