BAB IV FORMULASI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PARTAI POLITIK SEBAGAI BADAN HUKUM DALAM KEBIJAKAN LEGISLASI DI INDONESIA. Pembahasan mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap Partai Politik sebagai badan hukum dalam kebijakan legislasi di Indonesia akan diawali dengan memaparkan tentang sejarah dan perioesasi perkembangan Partai Politik, selanjutnya mengenai kebijakan legislasi pertanggungjawaban pidana korporasi saat ini, dan jenis-jenis sanksi dan tindakan terhadap badan hukum. A. Sejarah dan Periodesasi Perkembangan Partai Politik Sebagai Badan Hukum. Keberadaan partai politik di Indonesia dapat dilacak sejak masa penjajahan Belanda. Tujuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Belanda sebenarnya hanya untuk mememuhi tuntutan kebutuhan administrasi dan birokrasi kolonial tingkat rendah,154 telah membangkitkan kesadaran kebangsaan dan cita cita kemerdekaan melalui gerakan politik. Pada masa mulai berkembang kekuatankekuatan politik dalam tahap pengelompokan yang diikuti dengan polarisasi, ekspansi, dan pelembagaan. Partai politik di Indonesia lahir bersamaan dengan tumbuhnya gerakan kebangsaan yang menandai era kebangkitan nasional. Berbagai organisasi modern muncul sebagai wadah pergerakan nasional untuk mencapai kemerdekaan. Walaupun pada awalnya berbagai organisasi tidak secara tegas menamakan diri sebagai partai politik, namun memiliki programprogram dan aktivitas politik.155 Berkaitan dengan pengaturan mengenai organisasi, pada masa itu hukum dasar yang berlaku diwilayah Hindia belanda adalag regeerings - reglement (RR) 1854. Pasal 111 RR menyatakan bahwa perkumpulan-perkumpulan atau persidangan-persidangan yang membicarakan soal pemerintahan atau yang membahayakan keamanan umum dilarang di Hindia Belanda. Pada 1919 RR diganti Indische Staatregeling (IS) 1918 yang
154
Jimly Assiddiqie, Kemerdekaan Bersrikat, Op.Cit., hlm. 159 Ali Safaat ,Op. Cit., hlm. 117
155
83
pada Pasal 165 memuat larangan organisasi dan perkumpulan politik.156 Dengan adanya ketentuan tersebut organisasi politik yang ada pada masa itu tidak terangterangan menunjukkan diri sebagai organisasi politik dalam tujuan, program dan aktivitasnya.157 Sebagai contoh dapat dilihat pada saat pendirian Budi Utomo pada 20 mei 1908 dan Sarekat islam pada 1911. Kedua organisasi itu tidak secara tegas menyatakan diri sebagai organisasi politik.. Pada Konggres I Sarekat Islam 26 januari 1913 di Surabaya menyatakan bahwa Sarekat Islam (SI) bukan partai politik. Dalam perkembangannya kedua organisasi tersebut program dan aktivitasnya telah memasuki ke wilayah politik yaitu memiliki keterlibatan di dalam voolksraad.158 Keberadaan kedua organisasi politik tersebut diikuti dengan munculnya berbagai organisasi partai politik. Partai-partai tersebut di antaranya adalah Indische Partij (IP), Insulinde, Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV), Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Indonesia Raya (Parindra), Partai Indonesia (Partindo), Indische Sociaal Democratische Partij (ISDP), Indische Katholijke Partij, Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), dan Partai Rakyat Indonesia (PRI). Selain berbagai partai politik, juga pernah terbentuk federasi organisasiorganisasi politik. Pada 17 Desember 1927 lahir Permufakatan PerhimpunanPerhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) yang dibentuk oleh PNI, PSI, BU, Sarikat Pasundan, Sarikat Sumatera, dan Kaum Betawi. PPPKI berupaya menyamakan arah aksi dan kerja sama, dan menghindarkan perselisihan yang melemahkan aksi kebangsaan.159Pada 1939 terbentuk Gabungan Politik Indonesia (GAPI).160 Salah satu tuntutan politik GAPI adalah pembentukan parlemen Indonesia yang merupakan lembaga legislatif dcngan model dua kamar. Bahkan 156
Ibidhlm. 119 Deliar Noer, Perkembangan Demokrasi Kita, Prisma 2, Pebruari 1997, hlm. 18-33 158 Op.Cit. hlm.119 159 AK. Pringgodigdo, Kedudukan presiden Menurut Tiga Undang-undang Dasar Dalam teori dan Praktik, Djakarta, PT Pembangunan , 1956, hlm. 84 160 Meliputi gerindo, Parindra, Pasoendan, Persatoean Minahasa, Partai Katolik Indonesia, Partai Sarekat Islam Indonesia, Partai Islam Indonesia dan Partai Arab Indonesia, Lihat Kahin, George Mturman, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. Judul asli : Nationalim and Revolution In Indonesia. Penerjemah : Nin bakdi Soemanto, jakarta : UNS Press dan Pustaka Sinar Harapan, 1995: hlm. 123 dalam Ali safaat , Op.Cit., hlm 120 157
84
pada akhir Desember 1939 GAPI menyelenggarakan Kongres Rakyat Indonesia yang menggabungkan antara GAPI, MIAI,161 dan Persatuan Vakbonden Pegawai Negeri (PVPN).162 Partai-partai politik yang ada sebelum kemerdekaan tersebut, tidak semuanya mendapat status badan hukum dari pemcrintah kolonial Belanda. SI belum mendapatkan pengakuan sebagai badan hukum hingga 1923. Partai-partai yang berkembang sebelum kemerdekaan pada umumnya dikategorikan sebagai partai yang bersifat ideologis (weltan-schauung partie). Partai partai tersebut memiliki fungsi dan program utama untuk mewujudkan kemerdekaan
Indonesia.
Partai-partai
tersebut
memiliki
fungsi
untuk
mengagregasikan dan mengartikulasikan aspirasi dan ideologi masyarakat untuk mencapai kemerdekaan. Disisi lain juga menjalankan fungsi rekruitmen politik. Setelah Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, pada tanggal 18 Agustus 1948 PPKI mengesahkan UUD 1945 sebagai konstitusi di Indonesia. Didalam UUD 1945 tersebut tidak terdapat ketentuan atau aturan mengenai partai politik. Secara implisit ketentuan yang terkait dengan partai politik terdapat dalam Pasal 28 UUD 1945 yang menyatakan “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul , mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang” Ketentuan tersebut dianggap belum memberikan jaminan konstitusional, karena kemerdekaan berserikat dan berkumpul , mengeluarkan pendapat baru ada jika sudah ditetapkan dengan undang-undang.163 UUD 1945 sebelum perubahan merupakan salah satu konstitusi yang sama sekali tidak menyebut partai politik didalamnya seperti 60 konstitusi negara lain dari 132 konstitusi negara-negara di dunia.
Periodesasi perkembangan partai politik
setelah kemerdekaan yang terklasifikasi dalam beberapa periode yaitu :
161
Majelis Islam A’la Indonesia, federasi organisasi organisasi Islam Indonesia yang terbentuk pada Tahun 1937, Mirriam Budiardjo, Demokrasi di Indonesia, Demokrasi Parlementer Dan Demokrasi Pancasila, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: 1994, hlm. 219 162 Deliar Noer dan Akbar syah, KNIP : Komite nasional Indonesia Pusat, Parlemen Indonesia 1945-1950, Jakarta: Yayasan Risalah, 2005, hlm. 8-9 163 Jimly Assiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Buana Ilmu Populer, Jakarta ,2007, hlm. 769-777
85
1. Perkembangan partai Politik Pada Masa Orde Lama Demokrasi di Era Orde Lama dibagi dalam dua periode, yaitu Demokrasi Liberal Parlementer (1945-1959) yang merupakan era kebebasan dan kejayaan Parpol dan Demokrasi Terpimpin (1959 - 1966) yang merupakan era awal pengendalian Parpol oleh negara. Di era kemerdekaan tonggak eksistensi Parpol dipancangkan oleh maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 yang dikeluarkan atas desakan BP KNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat) untuk mendirikan sebanyak-banyaknya partai politik.164
Isi maklumat
tersebut :165 MAKLUMAT PEMERINTAH Berhubung dengan usul badan Pekerdja Komite Nasional Indonesia Pusat kepada Pemerintah, supaja diberikan kesempatan kepada rakjat seluas-luasnya mendirikan partai politik, dengan restriksi, bahwa partai-partai itu hendaknja memperkuat perdjuangan kita mempertahankan kemerdekaan dan mendjamin keamanan masjarakat, Pemerintah menegaskan pendiriannja jang telah diambil beberapa waktu jang lain bahwa : 1. Pemerintah menjukai timbulnja partai-partai politik, karena dengan adanja partai-partai itulah dapat dipimpin ke djalan jang teratur segala aliran paham jang ada dalam masjarakat. 2.Pemerintah berharap supaja partai-partai itu telah tersusun. sebelumnja dilangsungkan pemilihan anggota Badan-badan perwakilan rakjat pada bulan Djanuari 1948. Djakarta, 3 Nopentber 1946 Wakil Presiden, Ttd. Muhammad Hatta
Maklumat Pemerintah tersebut mencerminkan kehendak rakyat dan sebagai tafsir longgar atas Pasal 28 UUD 1945 tentang kebebasan bcrserikat dan berkumpul, dan pada hakikatnya sesuai dengan prinsip pendirian suatu Parpol, bahwa timbul dan tumbuhnva Parpol datang dari bawah, tidak ditentukan dari atas. Setelah Maklumat Pemerintah tersebut bermunculan banyak Parpol berdasarkan paham atau aliran politik yang ada. Masa itulah awal sistem multi 164
Abdul Mukhtie Fadjar, Op.Cit., hlm 21-22 Daniel Dhakidae, Partai-partai Politik di Indonesia, LitBang Kompas, 1999, hlm. 8 , dalam Abdul Mukhtie Fadjar, ibid., hlm 22-23 165
86
partai di Indonesia yang berdasarkan aliran (partai aliran) dan sekaligus dapat diartikan membuyarkan gagasan atau keinginan Presiden Soekarno dalam pidatonya tanggal 23 Agustus 1945 untuk membentuk satu partai tunggal, yaitu Partai Nasional Indonesia yang diharapkan menjadi partai pelopor.166 Masa kejayaan dan kebebasan Parpol di era demokrasi liberal berakhir dengan munculnya era demokrasi terpimpin yaitu era sistem ketatanegaraan dan politik sesudah dekrit Presiden 5 Juli 1959 . Pada masa ini terjadi penyederhanaan kepartaiaan yang ditandai dengan dikeluarkannya Penetapan Presiden Republik Indonesia No. 7 Tahun 1959 tentang Syarat-syarat dan Penyederhanaan Kepartaian (Lembaran Negara No. 149 Tahun 1959, Tambahan Lembaran Negara No. 1916, selanjutnya disingkat Penpres No. 7 Tahun 1959). Diktum pertama Penpres No. 7 Tahun 1959 tersebut menyatakan "Mencabut maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945" yang dalam Penjelasan Umum Penpres dikemukakan bahwa Maklumat yang menganjurkan berdirinya Partai-partai dengan tidak terbatas, ternyata tidak berhasil mencapai stabilitet politik yang mencapai puncaknya waktu Konstituante membicarakan Amanat Presiden 22 April 1959 yang menganjurkan kembali ke UUD1945. Sedangkan diktum kedua menetapkan Syarat-syarat dan Penyederhanaan Kepartaian. Untuk melaksanakan Penpres No. 7 Tahun 1959 dikeluarkan Peraturan Presiden No. 13 Tahun I960 tentang Pengakuan, Pengawasan, dan Pembubaran Partai-partai yangkemudian diubah dengan Perpres No. 25 tahun I960. 2. Perkembangan Partai Politik Pada Masa Orde Baru (1967 – 1998) Kehidupan kepartaian era Orde Baru diawali dengan pembubaran PKI pada tanggal 12 Meret 1966 dengan Keputusan Presiden/ Panglima Tertinggi/ Pemimpin Besar Revolusi No.1/3/1966 (Dikukuhkan dengan Ketetapan MPRS No. XXV/ MPRS/1966 tanggal 5 Juli 1966) dan kemudian Partindo (1967) karena kedua Parpol tersebut dianggap terlibat peristiwa G30S/ PKI tahun 1965, sehingga dari 10 Parpol warisan Demokrasi Terpimpin tinggal 8 Parpol. Jumlah Parpol tersebut kemudian bertambah dengan berdirinya Partai Muslimin Indonesia 166
Abdul Mukhtie Fadjar, Op.Cit., hlm 23
87
(Parmusi) berdasarkan Keppres No. 70 Tahun 1968 tanggal 20 Februari 1968 yang dimaksudkan untuk mengakomodasi para pengikut eks partai Masyumi (berdasarkan Piagam Penggabungan tanggal 17 Agustus 1967). Parmusi didukung oleh ormas-ormas Islam,167 dan Golongan Karya yang merupakan penjelmaan Sekretariat Bersama Golkar. Dengan demikian ada 10 (sepuluh) Parpol atau Sembilan Parpol Golkar pada masa awal Orde Baru yang selanjutnya menjadi peserta Pemilu tahun 1971. Setelah Pemilu 1971, pemerintah mendorong (memaksa) sembilan Parpol tersebut untuk melakukan fusi yang kemudian dikukuhkan dengan UU No.3 Tahun 1975 Tentang Partai Politik dan Golongan Karya, sehingga jumlah Parpol pada era Orde Baru hanya tiga saja, yaitu : 1) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan fusi partai-partai Islam; 2) Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan fusi dari partaipartai nasionalis dan agama non- islam. 3) Golongan Karya (Golkar) yang dinyatakan sebagai golongan politik tersendiri di luar dan tak mau disebut partai politik, meskipun dipandang dari sudut manapun Golkar tidak ubahnya seperti Parpol. 168
Menurut Pasal 2 ayat (1) UU No. 3 tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya harus berazaskan Pancasila dan UUD 1945, tetapi dalam ayat (2) masih diperbolehkan mempunyai ciri sendiri. Setelah revisi atas UU No. 3 tahun 1975 dengan UU No. 3 Tahun 1985, Parpol dan Golkar harus menganut satusatunya azas yakni Pancasila. Sistem kepartaian Orde Baru sering dinamakan sistem kepartaian yang hegemonik, yaitu sistem kepartaian di mana tingkat kompetensi antara Parpol dibuat
seminimal
mungkin
oleh
Parpol
hegemoni169
Daniel
167
30 Tahun Indonesia Merdeka, 1965-1973, Tira Pustaka, 1981. Boileau, M. Julian. Golkar : Functional Group Politics in Indonesia. CSIS. Jakarta ;
168
1983 169
Affan Gaffar dan Ichlasul Amal. Makalah : Fungsi dan Peranan Partai Politik. UMM
Press, 1988
88
Dhakidae170menyebutnya sebagai sistem partai tunggal (Golkar) dengan dua partai setelit (PPP dan PDI). Sedangkan Maurice Duverger171 menyebut sistem partai yang dominan, yaitu apabila suatu partai memperlihatkan dua karakteristik : i) ia harus mengungguli rival-rivalnya dalam jangka waktu yang cukup panjang, dan ii) ia harus dapat mengidentifikasikan dirinya dengan bangsa sebagai keseluruhan. Instrumen hukum yang dipakai untuk menata kehidupan kepartaian Orde Baru, yakni UU No. 3 tahun 1975 Tentang Partai Politik dan Golongan Karya yang diubah dengan UU No. 3 tahun 1985. Dengan berlakunva UU No. 3 tahun 1975 yang diubah dengan UU No. 3 Tahun 1985 tentang Parpol dan Golkar, maka UU No. 7 Pnps Tahun 1959 tentang Syarat-syarat dan Penyederhanaan Kepartaian (LNRI Tahun 1959 no. 149), UU No. 13 Pnps Tahun I960 tentang Pengakuan, Pengawasan, dan pembubaran Partai-partai (LNRI Tahun 1960 No. 79) dan perubahannya dengan UU No. 25 Pnps 1960 (LNRI Tahun 1960 No. 139) dinyatakan tidak berlaku (Pasal 17). 3. Perkembangan Partai Politik Pada Masa Reformasi (1999 – sekarang) Masa Reformasi adalah masa kehidupan ketatanegaraan dan politik sesudah berakhirnya masa Orde Baru pada tanggal 21 Mei 1998. Sejak masa reformasi hingga saat ini telah tiga kali diberlakukan undang-undang yang mengatur mengenai Parpol, yaitu : 1). UU No. 2 Tahun 1999 Tentang Partai Politik (LNRI Tahun 1999 No. 22, TLNRI No. 3809) yang berlaku dari tanggal 1 Februari 1999 sampai tanggal 26 Desember 2002 dan, 2). UU No. 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik (LNRI Tahun 2002 No. 138, TLNRI No. 4251) yang berlaku mulai tanggal 27 Desember 2002, kemudian pada tanggal 6 Desember 2007 DPR menyepakati UU Parpol yang baru pengganti UU Parpol 2002 yaitu,
170
Daniel Dhakidae, Op.Cit., hlm. 13 Maurice Duverger, Terjemahan Layla Hasyim, Partai Politik Dan Kelompok-kelompok Penekan, suatu Pengantar Komparatif, Bina Aksara, Jakarta, 1981: hlm. 40 171
89
3). Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2008 Nomor 2 dan Undundang-undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang –Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 8) Ketentuan mengenai Partai Politik pada masa reformasi diuraikan sebagai berikut: a). Pengaturan Terhadap Partai Politik dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1999. Munculnya gerakan reformasi pada tahun 1998 yang meruntuhkan Orde Baru juga berakibat runtuhnya sistem kepartaian Orde Baru. Ketentuan peraturan perundang-undangan yang pertama kali secara khusus mengatur partai politik pada masa reformasi adalah Undang-undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik yang menggantikan UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya yang telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 1985. Berdasarkan undang-undang tersebut partai politik diakui sebagai sarana yang sangat penting arti, fungsi serta perannya. Partai politik merupakan wujud kemerdekaan berserikat, berkumpul dan megeluarkan pikiran dalam mengembangkan kehidupan demokrasi yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat.172 UU No. 2 tahun 1999 telah menimbulkan perubahan besar dalam kehidupan kepartaian di Indonesia, yaitu :173 (1) Adanya perubahan dari sistem multipartai terbatas menjadi sistern multipartai tidak terbatas. Paragraf pertama Penjelasan Umum UU No. 2 Tahun 1999 menyatakan "Dengan demikian, pada hakikatnya negara tidak membatasi jumlah partai politik yang dibentuk oleh rakyat".174 Atas perubahan sistem kepartaian tersebut jumlah Parpol yang awalnya dibatasi tiga saja, yaitu PPP, PDI, dan Golkar, menjadi tidak terbatas jumlahnya. Jumlah Parpol setelah lahirnya UU No. 2 Tahun 1999 sebanyak 141 Parpol (termasuk PPP, PDI, dan Golkar yang menurut Pasal 20 UU dianggap telah memenuhi 172
Lihat konsideran “menimbang” huruf c UU Nomor 2 Tahun 2009 Abdul Mukhtie Fadjar, Op.Cit., hlm 41-44 174 Paragraf pertamaPenjelasan umum UU Nomor 2 Tahun 1999 173
90
persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 4 UU). 48 Parpol dinyatakan boleh mengikuti Pemilu, sedangkan 93 Parpol tidak lolos verifikasi untuk dapat mengikuti Pemilu,
bahkan
menurut hasil penelitian Litbang Harian Kompas mencapai 180 Parpol.
175
Tentang daftar jumlah Parpol yang lahir sesudah
berlakunya UU No. 2 Tahun 1999 (2) Kebijakan kehidupan kepartaian menjadi kompetitif di mana semua Parpol mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama. Sebagaimana di nyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) dan ayat (4) UU No. 2 tahun 1999 bahwa “Setiap partai politik mempunyai kedudukan, fungsi, hak dan kewajiban yang sama dan sederajat serta bersifat mandiri.” (3) Perubahan dari kebijakan Parpol harus menganut asas tunggal Pancasila Perubahan atas Pasal 2 UU No 3 tahun 1975 oleh UU No. 3 Tahun 1985) menjadi kebijakan bahwa Parpol bebas memilih asas atau ciri asalkan tidak bertentangan dengan dan harus mencantumkan Pancasila sebagai dasar negara dalam anggaran dasar partai (Pasal 2 ayat (2) huruf a dan b UU No. 2 Tahun 1999), dalam Paragraf keempat Penjelasan Umum UU N0.2 Tahun 1999 dinyatakan bahwa, setiap partai politik dapat mempunyai ciri, aspirasi dan program sendiri yang tidak bertentangan dengan Pancasila. (4)
Perubahan dari kebijakan massa mengambang (floating mass) di mana kepengurusan Parpol hanya sampai Daerah Tingkat II (Kabupaten/Kota). Pasal 11 UU No. 2 tahun 1999 menyatakan bahwa Partai politik dapat membentuk kepengurusan di Ibukota Republik Indonesia untuk pengurus tingkat pusat , di ibukota propinsi untuk pengurus Daerah Tingkat I, di ibukota Kabupaten/ kotamadya untuk pengurus Daerah Tingkat II, di kecamatan propinsi untuk pengurus Tingkat kecamatan dan di Desa/ kelurahan
175
Tim Litbang Harian Kompas 1999, h. xi. 91
propinsi untuk pengurus Tingkat Desa/ Kelurahan. (5)
Perubahan dari kebijakan tidak ada larangan bagi PNS untuk menjadi angota Parpol asal sepengetahuan atasannya (Pasal 8 ayat (2) UU No. 3 Tahun 1975 jo UU No. 3 Tahun 1985) ke kebijakan yang melarang PNS menjadi anggota Parpol (PP No. 5 Tahun 1999).
(6)
Perubahan kebijakan dari tidak adanya ketentuan tentang pembatasan jumlah sumbangan kepada Parpol. Pasal 14 dan 15 UU N0. 2 tahun 1999 telah membatasi jumlah sumbangan yang dapat diterima oleh partai politik dari perseorangan yaitu maksimal Rp.15.000.000,- dalam waktu satu tahun . Sedangkan sumbangan dari
perusahaan
sebanyak-banyaknya
Rp.
150.000.000,-
Selanjutnya partai politik harus membuat daftar penyumbang dan jumlah sumbangannya , serta terbuka untuk diaudit setiap akhir tahun dan setiap 15 hari sebelum serta 30 hari sesudah pemilihan umum kepada Mahkamah Agung. (7)
Perubahan kebijakan dari yang tidak menentukan persyaratan bagi Parpol/ Golkar untuk ikut Pemilu (karena peserta Pemilu telah ditentukan secara definitif, yakni PPP, PDI, dan Golkar, ke kebijakan yang menentukan syarat-syarat bagi Parpol untuk bisa ikut Pemilu, seperti persebaran kepengurusan yakni setengah jumlah provinsi dan pada setiap provinsinya tersebar dalam setengah jumlah kabupaten/kota, serta adanya ketentuan electoral threshold (2%) untuk dapat ikut Pemilu berikutnya.
(8) Tetap diberlakukannya larangan bagi Parpol. Hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh partai politik meliputi bebrapa hal, sebagaiman diatur dalam pasal 16 : (a) menganut, mengembangkan, menyebarkan ajaran atau paham komunisme/ marxixme –leninisme dan ajaran lain yang bertentangan dengan Pancasila; (b) menerima sumbangan dan/ atau bantuan dalam bentuk apapun dari pihak asing, baik langsung maupun tidak langsung; (c) memberi sumbangan dan/ atau bantuan dalam bentuk apapun 92
kepada pihak asing, baik langsung maupun tidak langsung yang dapat merugikan kepentingan bangsa dan negara; (d) melakukan kegiatan yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah Republik Indonesia dalam memelihara prsahabatan dengan negara lain. (9) Perubahan kebijakan mengenai pengawasan dan sanksi terhadap Parpol atas ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Undangundang No 2 Tahun 1999 dilakukan oleh Mahkamah Agung. Mahkamah Agung dapat membekukan atau membubarkan suatu Partai Politik. Selain itu mahkamah Agung dapat menjatuhkan sanksi
administratif berupa penghentian bantuan dari anggaran
negara, serta dapat mencabut hak suatu partai politik untuk ikut pemilihan umum. Perubahan kebijakan dari tidak dikenalnya pembubaran Parpol ke kebijakan bahwa Parpol dengan syarat dan mekanisme tertentu dapat di bubarkan sebagaimana diatur dalam UU No. 2 tahun 1999 tentang Partai Politik, berarti kembali ke era kepartaian Demokrasi Terpimpin (Orde Lama).
b. Pengaturan Terhadap Partai Politik dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 Untuk melaksanakan pemilihan umum 2004 dan menyesuaikan ketentuan tentang partai politik dengan hasil perubahan UUD 1945, muncullah UU No. 31 Tahun 2002 (LNRI Tahun 2002 No. 138, TLNRI No. 4251) Tentang Partai Politik untuk menggantikan UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik yang dipandang tidak
sesuai
lagi
dengan
perkembangan
masyarakat
dan
perubahan
ketatanegaraan. Dalam konsideran “menimbang” huruf (a). (b) dan (d) UU No. 31 Tahun 2002 kembali menegaskan bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul dan kekebasan mengeluarkan pendapat adalah bagian dari hak asasi manusia sebagaimana diakui dan dijamin dalam UUD 1945. Usaha untuk memperkukuh kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mngeluarkan pendapat dipandang merupakan upaya untuk mewujudkan kehidupan berbangsa yang kuat dalam Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, demokratis dan berdasarkan 93
hukum. Partai politik diakui sebagai salah satu wujud partisipasi rakyat yang penting dalam megembangkan kehidupan demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan , kesetaraan, kebersamaan dan kejujuran. Secara umum materi muatan undang-undang tersebut merupakan penyempurnaan dari undang-undang sebelumnya. Adapun ketentuan bab baru dalam undang-undang tersebut yaitu peradilan perkara partai politik, larangan serta pembubaran dan penggabungan partai politik. Penjelasan umum UUNo. 31 Tahun 2002 dinyatakan secara tegas telah menunjukkan arah kebijakan bahwa sistem kepartaian kita menganut sistem multi partai sederhana yang dilakukan dengan menerapkan persyaratan kualitatif ataupun kuantitatif, baik dalam pembentukan Partai Politik maupun dalam penggabungan Partai Politik-Partai Politik yang ada. Selanjutnya mengenai pengaturan tentang syarat-syarat pembentukan, larangan, pembubaran dan penggabungan, pengawasan, dan sanksi terhadap Partai Politik dalam UU No. 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik (disingkat UU Partai Politik 2002) intinya sbb. : 1) Pengaturan persyaratan pembentukan Partai Politik , secara umum hampir sama dengan UU No. 2 Tahun 1999 , Dalam UU No. 31 tahun 2002 syarat jumlah kepengurusan yang semula merupakan syarat umtuk mengikuti pemilihan umum berdasarkan UU No. 2 Tahun 2009 menjadi salah satu syarat pendaftaran Pertai Politik pada Kementrian Hukum dan HAM. Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (3 ) huruf b disyaratkan bahwa Partai Politik harus mempunyai kepengurusan minimal 50% jumlah provinsi, 50% jumlah kabupaten/kota dari provinsi terkait, dan 25% jumlah kecamatan dari kabupaten/kota yang bersangkutan; Partai Politik juga harus mendaftar kembali jika ada perubahan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, nama, lambang, dan tanda gambar Partai Politik (Pasal 4)
94
2) Dalam pasal 6 ayat (1) huruf c UU No. 31 tahun 2002 mencantumkan kembali tujuan umum dan tujuan khusus yang telah ada di UU No. 2 Tahun 1999 , dengan menambahkan satu tujuan umum yaitu mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam Pasal 6 ayat (3) ditentukan bahwa tujuan tersebut diwujudkan secara konstitusional. Namun tidak ditentukan bahwa tujuan tersebut harus ada dalam AD/ ART partai seperti dalam UU No. 2 Tahun 1999. 3) Hak Partai politik diatur lebih terperinci dalam Pasal 8 UU No. 31 Tahun 2002 baik terkait dengan eksistensinya sebagai suatu organisasi maupun keikutsertaannya dalam pemilihan umum. Hak partai politik tersebut meliputi : a. memperoleh perlakuan yang sama, sederajat, dan adil dari negara; b. mengatur dan mengurus rumah tangga organisasi secara mandiri; c. memperoleh hak cipta atas nama, lambang, dan tanda gambar partainya dari Departemen Kehakiman sesuai dengan peraturan perundang-undangan; d. ikut serta dalam pemilihan umum sesuai dengan ketentuan Undang-undang Pemilihan Umum; e. mengajukan calon untuk mengisi keanggotaan di lembaga perwakilan rakyat; f. mengusulkan penggantian antarwaktu anggotanya di lembaga perwakilan rakyat sesuai dengan peraturan perundang-undangan; g. mengusulkan pemberhentian anggotanya di lembaga perwakilan rakyat sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan h. mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Demikian pula dengan kewajiban partai politik yang semula hanya terdiri dari lima (UU No. 2 Tahun 1999), ditambah dan diuraikan lebih rinci dalam Pasal 9 meliputi : a. mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya; b. memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; c. berpartisipasi dalam pembangunan nasional; d. menjunjung tinggi supremasi hukum, demokrasi, dan hak asasi manusia; e. melakukan pendidikan politik dan menyalurkan aspirasi; f. menyukseskan penyelenggaraan pemilihan umum; g. melakukan pendaftaran dan memelihara ketertiban data anggota; h. membuat pembukuan, memelihara daftar
95
penyumbang dan jumlah sumbangan yang diterima, serta terbuka untuk diketahui oleh masyarakat dan pemerintah; i. membuat laporan neraca keuangan secara berkala satu tahun sekali kepada Komisi Pemilihan Umum setelah diaudit oleh akuntan publik; dan j. memiliki rekening khusus dana kampanye pemilihan umum dan menyerahkan laporan neraca keuangan hasil audit akuntan publik kepada Komisi Pemilihan Umum paling lambat 6 (enam) bulan setelah hari pemungutan suara. 4) Bab tentang Peradilan Perkara partai politik adalah salah satu bab baru dalam UU No. 31 Tahun 2002. Dalam Pasal 16 dinyatakan bahwa untuk perkara partai politik, selain pembubaran partai politikdiajukan kepada Pengadilan negeri yang Putusannya mrupakan putusan pertama dan terakhir dan hanya dapat diajukan kasasi kepada mahkamah Agung. Perkara tersebut diselesaikan oleh Pengadilan Negeri paling lama 60 hari dan oleh Mahkamah Agung paling lama 30 hari. Adanya batas waktu penyelesaian tersebut dengan tujuan tidak mengganggu konsolidasi partai yang juga dapat mengganggu situasi politik dan pelaksanaan pemilihan umum.176 5). Mengenai masalah keuangan partai politik , Pasal 18 ayat (1) dan (2) UU No. 31 tahun 2002 meningkatkan batasan jumlah sumbangan baik dari perseorangan maupun perusahaan. Sumbangan dari perseorangan yaitu paling banyak Rp. 200.000.000,- dalam waktu satu tahun, sedangkan sumbangan dari perusahaan paling banyak senilai Rp. 800.000.000,- dalam waktu satu tahun. 6). Larangan terhadap partai politik dalam UU No. 31 tahun 2002 diatur dalam bab tersendiri pula, yaitu dalam Pasal 19: Ayat (1)
Partai Politik dilarang menggunakan nama, lambang atau tanda gambar yang sama dengan : a. bendera atau lambang negara Republik Indonesia; b. lambang lembaga negara atau lambang Pemerintah; c. nama, bendera, atau lambang negara lain dan nama, bendera, atau lambang lembaga/badan internasional; d. nama dan gambar seseorang; atau e. yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan partai politik lain.
176
A.A. Oka Mahendra dan Soekedy, Sistem Multi Partai ; Prospek Politik Pasca 2004, Jakarta, Yayasan Pancur Siwah , 2004, hlm. 104
96
Ayat (2) Partai politik dilarang : a. melakukan kegiatan yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau peraturan perundang-undangan lainnya; b. melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; atau c. melakukan kegiatan yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah negara dalam memelihara persahabatan dengan negara lain dalam rangka ikut memelihara ketertiban dan perdamaian dunia. Ayat (3) Partai politik dilarang : a. menerima dari atau memberikan kepada pihak asing sumbangan dalam bentuk apa pun, yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; b. menerima sumbangan, baik berupa barang maupun uang, dari pihak mana pun tanpa mencantumkan identitas yang jelas; atau c. meminta atau menerima dana dari badan usaha milik negara, i badan usaha milik daerah, badan usaha milik desa atau dengan sebutan lainnya, koperasi, yayasan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, dan organisasi kemanusiaan. Ayat (4) Partai politik dilarang mendirikan badan usaha dan/atau memiliki saham suatu badan usaha. Ayat
7)
(5)
Partai politik dilarang menganut, mengembangkan, dan Menyebarkan ajaran atau paham Komunisme/ MarxismeLeninisme.
Wewenang pengawasan partai politik yang semula berada di tangan Mahkamah Agung , dialihkan ke tiga Instansi yaitu Departemen Hukum dan HAM, Departemen Dalam Negeri dan Komisi Pemilihan Umum dengan pembagian lingkup pengawasan masing-masing. Pengawasan partai politik meliputi beberapa macam kegiatan. Dalam Pasal 24 ayat (1) huruf a : dinyatakan bahwa Departemen Kehakiman di dalam melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d; yaitu berwenang untuk a) melakukan penelitian secara administratif dan substantif terhadap akta pendirian dan syarat pendirian partai politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 5; b) melakukan pengecekan terhadap kepengurusan partai politik yang tercantum dalam akta pendirian partai politik dan kepengurusan sebagaimana 97
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b; c) melakukan pengecekan terhadap nama, lambang, dan tanda gambar partai politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1); d) menerima laporan perubahan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, nama, lambang, dan tanda gambar partai politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan pergantian atau penggantian kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4); sementara itu dalam pasal 24 ayat (1) huruf b di nyatakan bahwa Komisi Pemilihan Umum di dalam melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf e yaitu ;meminta hasil audit laporan keuangan tahunan partai politik dan hasil audit laporan keuangan dana kampanye pemilihan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf h, huruf i, dan huruf j; selanjutnya Pasal 24 ayat (1) huruf c di nyatakanDepartemen
Dalam
Negeri
melaksanakan
pengawasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf f yaitu melakukan penelitian terhadap kemungkinan dilakukannya pelanggaran terhadap laranganlarangan partai politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2), (3), (4), dan (5); 8)
Masalah pembubaran dan penggabungan partai politik juga diatur secara khusus dalam Pasal 20 dan pasal 22. Suatu partai politik bubar apabila membubarkan diri atas keputusan sendiri, menggabungkan diri dengan partai politik lain, atau di bubarkan oleh Mahkamah Konstitusi. Pembubaran dan penggabungan partai politik diumumkan dalam Berita negara Oleh departemen Hukum dan HAM. Selain itu terkait pembubaran partai politik , terdapat ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang memberikan wewenang memutus pembubaran partai politik kepada Mahkamah Konstitusi
9)
Sanksi yang diberikan terhadap partai Politik dibedakan menurut ketentuan yang dilanggar oleh partai politik. -
Dalam ketentuan pasal 26 ayat (1) menyatakan Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 5 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa penolakan pendaftaran sebagai
98
partai politik oleh Departemen Kehakiman. Pelanggaran yang dimaksud diatas adalah pelanggaran terhadap persyaratan pembentukan partai politik, ketentuan tentang azas partai politik serta larangan nama dan tanda gambar. -
Pelanggaran terhadap kewajiban membuat pembukuan dan daftar sumbangan , dikenai sanksi teguran secara terbuka oleh Komisi Pemilihan umum, sebagaimana tercantum dalam pasal 26 ayat (2) dan dan Pasal 24 ayat (3)
-
Pasal 26 ayat (3), mengatur tentang pelanggaran terhadap kewajiban membuat laporan keuangan secara berkala dapat dikenakan sanksi dihentikannya bantuan dari anggaran negara.
-
Pasal 27 ayat (4) , Partai politik juga dapat dikenai sanksi berupa larangan untuk mengikuti pemilihan umum berikutnya oleh pengadilan jika melanggar larangan pendirian atau kepemilikan saham suatu badan usaha.
-
Sanksi lainnya diatur dalam Pasal 27 ayat (2) yaitu pembekuan partai politik dalam waktu 1 tahun oleh Pengadilan negeri apabila Partai Politik melakukan kegiatan=kegiatan yang dilarang oleh UU no. 31 Tahun 2002, sedangkan sanksi pembubaran partai politik ditentukan apabila pengurus partai politik menggunakan partainya untuk melakukan kegiatan menganut, mengembangkan, dan meyebarkan ajaran atau paham komunisme/ marxixme – leninisme.
c. Pengaturan Terhadap Partai Politik dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik
UU Partai Politik 2008 tersebut sebenarnya tidak jauh berbeda dengan UU Partai Politik 2002. Pokok-pokok materi muatan UU Partai Politik 2008 tersebut adalah sebagai berikut:
99
1) Pembentukan Partai Politik (Bab II, Pasal 2, 3, dan 4). - Didirikan dan dibentuk oleh 50 orang WNI yang telah berusia 21 tahun dengan akta notaris (sama denganUU Partai Politik 2002), dalam akta notaris pendirian harus memuat AD dan ART serta kepengurusan Partai Politik tingkat pusat yang menyertakan minimal 30% keterwakilan perempuan (quota 30% perempuan tak ada dalam UU Partai Politik 2002). Sedangkan AD Partai Politik minimal memuat: 1) asas dan ciri Partai Politik; 2) visi dan misi Partai Politik; 3) nama, lambang dan tanda gambar; 4) tujuan dan Partai Politik;5) organisasi, tempat kedudukan,dan pengambilan kcputusan; 6) kepengurusan; 7) peraturan dan keputusan Partai Politik; 8) pendidikan politik; dan 9) keuangan Partai Politik. - Untuk menjadi badan hukum, Partai Politik harus didaftarkan ke Departemen Hukum dan HAM dan harus mempunyai: 1) akta notaris pendirian Partai Politik; 2) nama, lambang, atau tanda gambar yang tak punya kesamaan pada pokoknva atau keseluruhannya dengan nama, lambang, atau tanda gambar yang telah dipakai secara sah oleh Partai Politik Iain; 3) kantor tetap; 4) kepengurusan minimal 60% jumlah provinsi (dalam UU Partai Politik 2002 hanya 50%), 50% jumlah kabupaten/ kota pada provinsi yang bersangkutan, dan 25% jumlah kecamatan pada setiap kota/ kabupaten yang bersangkutan; dan 5) memiliki rekening atas nama Partai Politik. - Departemen menerima pendaftaran dan melakukan penelitian dan /atau verifikasi kelengkapan dan kebenaran persyaratan Partai Politik paling lama 45 hari sejak diterimanya dokumen persyaratan secara lengkap, dan 15 hari sesudah selesai proses veritikasi memberikan pengesahan Partai Politik sebagai badan hukum dengan Keputusan Menteri yang diumumkan dalam Berita Negara RI (BNRI). 2). Perubahan AD dan ART Partai Politik (Bab III, Pasal 5,6,7, dan 8). Diatur lebih rinci jika dibandingkan dengan UU Parpol 2002 adalah sebagai berikut : -
Perubahan AD dan ART harus didaftarkan departemen paling lama 14 hari sejak terjadinya perubahan, disertai akta notaris
100
perubahan AD dan ART, kecuali jika tak menyangkut hal pokok; -
Menteri dengan Keputusan Menteri mengesahkan perubahan AD dan ART dimaksud paling lama 14 hari sejak diterimanya dokumen persyaratan secara lengkap dan mengumumkan dalam BNRI;
-
Apabila terjadi perselisihan Partai Politik, pengesahan perubahan AD dan ART tidak dapat dilakukan oleh Menteri.
3). Asas dan Ciri Partai Politik (Bab IV, Pasal 9) Awalnya Partai Politik besar seperti Partai Golkar dan PDIP berkeinginan agar Pancasila menjadi satu-satunya asas semua Partai Politik, namun ditcntang oleh Partai Politik-Partai Politik lain dan juga tak sesuai dengan draft RUU dari Pemerintah, sehingga akhirnya disepakati ketentuan yang hampir sama dengan UU Partai Politik 2002 sebagai berikut. : -
Asas Partai Politik tak boleh bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945;
- Partai Politik dapat mencantumkan ciri tertentu yang men- cerminkan kehendak dan cita-cita Partai Politik, asal tidak bertentangan dengan dan merupakan penjabaran dari Pancasila dan UUD 1945 (hal yang terakhir ini merupakan hal baru dan nampaknya adalah kompromi dari yang pro dan kontra asas tunggal Pancasila). 4). Tujuan dan Fungsi Partai Politik (Bab V, Pasal 10 dan Pasal 11). Berbeda dengan UU Partai Politik 2002 yang memisahkan fungsi dengan tujuan dan menggabungkannya dengan hak dan kewajiban, maka UU Partai Politik 2008 mengatur Tujuan dan Fungsi Partai Politik dalam satu bab, yaitu Bab V : -
Tujuan Partai Politik (Pasal 10) yang dibagi dalam tujuan umum dan tujuan khusus yang harus diwujudkan secara konstitusional, yakni Tujuan Umum: 1) me- vvujudkan cita-cita nasional sebagaimana dimaksud Pembukaan UUD 1945; 2) menjaga dan memelihara ke- utuhan NKRI (hal baru); 3) mengembangkan kehidupan demokrasi nerdasarkan Pancasila dengan menjunjung
101
tinggi kedaulatan rakyat dalam NKRI; dan 4) mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia; sedangkan Tujuan Khusus (lebih rinci dibanding UU Partai Politik 2002): 1) meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka menyelenggara- kan kehidupan politik dan pemerintahan; 2) mem- perjuangkan cita-cita Partai Politik dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa, dan bernegara; dan 3) mom- bangun etika dan budaya politik dalam kehidupan ber- masyarakat, berbangsa, dan bernegara; -
Fungsi Partai Politik (Pasal 11) yang harus diwujudkan secara konstitusional, yakni sebagai sarana: 1) pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi WN1 yang sadar akan hak
dan
kewajibannya
dalam
kehidupan
bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara; 2) penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa indonesia untuk kesejahteraan masyarakat; 3) penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara; 4) partisipasi polkitik WNI; dan 5) rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesataraan dan keadilan gender. 5). Hak dan Kewajiban Partai Politik (Bab VI, Pasal 12 dan pasal 13). - Hak Partai Politik: 1) memperoleh perlakuan yang sama, sederajat, dan adil dari negara; 2) mengatur dan meng- urus rumah tangga organisasi secara mandiri;3) memperoleh hak cipta atas nama, lambang, dan tanda gambar Partai Politik sesuai dengan peraturan perundang- undangan; 4) ikut serta dalam pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD, Presiden dan Wakil presiden, serta kepala daerah dan wakil kepala daerah sesuai dengan peraturan peundang-undangan; 5) membentuk fraksi di MPR, DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/ kota sesuai dengan peraturan perundangundangan (Catatan: dalam UU Partai Politik 2002 tak ada); 6) mengajukan calon untuk mengisi keanggotaan DPR dan DPRD
102
sesuaidengan peraturan perundang-undangan; 7) meng- usulkan pergantian antarwaktu (PAW) anggotanya di DPR dan DPRD sesuai dengan peraturan
perundang-
undangan;
8)
mengusulkan
pemberhentian
anggotanya di DPR dan DPRD sesuai dengan peraturan perundangundangan; 9) mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, calon gubernur dan wakil gubernur, calon bupati dan wakil bupati, serta calon walikota dan wakil walikota sesuai dengan peraturan perundangundangan; 10) membentuk dan memiliki organisasi sayap Partai Politik (Catalan: dalam UU Partai Politik 2002 tak ada, berarti kembali kc era Orla yang pada era Orba dilarang)); 11) memperoleh bantuan keuangan dari APBN dan APBD sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Catalan: UU Partai Politik 2002 tak ada). -
Kewajiban Partai Politik : 1) mengamalkan pancasila, me- laksanakan UUD 1945, dan peraturan perundang- undangan; 2) memelihara dan mempertahankan ke- utuhan NKRI; 3) berpartisipasi dalam pembangunan nasional; 4) menjunjung tinggi supremasi hukum, demokrasi, dan HAM; 5) melakukan pendidikan politik dan menyalurkan aspirasi politik anggotanya; 6) menvukseskan penyelenggaraan pemilu; 7) melakukan pendaftaran dan memelihara ketertiban data anggota; 8) membuat pembukuan, memelihara daftar penyum- bang dan jumlah sumbanagn yang diterima, serta terbuka kepada masyarakat; 9) menyampaikan laporan pertanggungjawaban penerimaan
dan
pengeluaran keuangan
yang
bersumber dari dana bantuan APBN dan APBD secara berkala satu tahun sekali kepada Pemerintah setelah diperiksa oleh BPK; 10) memiliki rekening khusus dana kampanye pemilu; dan 11) menyosialisasikan program Partai Politik kepada masyarakat. 6). Keanggotaan dan Kedaulatan Anggota (Bab VII) Pada dasarnya, ketentuan mengenai hal ini hampir sama dengan ketentuan dalam UU Partai Politik 2002, hanya dengan perbaikan rumusan dan penambahan mengenai akibat pemberhentian keanggotaan yang pokok-pokok isinya adalah sbb.:
103
-
Syarat dan sifat keanggotaan Partai Politik (Pasal 14): VVNII telah berusia 17 tahun atau sudah/pernah kawin, bersifat sukarela, terbuka, dan tidak diskriminatif bagi VVNI yang menyetujui AD dan ART;
-
Kedaulatan anggota (Pasal 15): kedaulatan Partai Politik berada di tangan anggota yang dilasaksanakan *esuai AD/ART. Anggota punya hak menentukan kebijakan dan hak memilih/dipilih, dan vvajib mematuhi dan nie- laksanakan AD/ART serta berpartisipasi dalam kogiatan Partai Politik;
-
Pemberhentian anggota (Pasal 16): Alasan pemberhentian karena 1) meninggal dunia, 2) mengundurkan diri secara tertulis, 3) menjadi anggota Partai Politik lain, 4) me- langgar AD/ART, yang tata caranva diatur dalam peraturan Partai Politik dan berakibat pada pemberhentian keanggotaan di lembaga pervvakilan rakyat bagi mereka yang berstatus anggota lembaga tersebut menurut peraturan perundang-undangan.
7). Organisasi dan Tempat Kedudukan (Bab VIII, Pasal 17dan 18). - Susunan organisasi (Pasal 17): tersusun secara hierarkis dalam organisasi tingkat pusat, tingkat provinsi, tingkat kabupaten/kota, dan dapat dibentuk sampai tingkat kelurahan/desa/sebutan lain; - Kedudukan organisasi (Pasal 18): tingkat pusat di ibu kota negara, tingkat provinsi di ibu kota provinsi, dan tingkat kabupaten/kota di ibu kota kabupaten/kota. 8). Kepengurusan (Bab IX, Pasal 19 s.d. Pasal 26). - Kedudukan kepengurusan (Pasal 19): Tingkat pusat di ibu kota negara, tingkat provinsi di ibu kota provinsi, tingkat kabupaten/kota di ibu kota kabupaten/kota,
dan
apabila
kepengurusan
sampai
tingkat
kelurahan/desa/ sebutan lain menyesuaikan dengan wilayahnya; - Ada keterwakilan perempuan 30% pada kepengurusan tingkat provinsi dan kabupaten/kota yang diatur dalam AD/ART (Pasal 20) dan dapat dibentuk badan/lembaga penjaga kehormatan dan martabat Partai
104
Politik beserta anggotanya (Pasal 21); - Pemilihan dan penggantian pengurus: kepengurusan dipilih secara demokratis melalui musyawarah sesuai ketentuan AD dan ART (Pasal 22), demikian juga tata cara penggantiannya yang untuk tingkat pusat harus didaftarkan di Departemen paling lambat 30 hari sejak terjadinya pergantian dalam mana susunan kepengurusan baru Partai Politik ditetapkan dengan Keputusan Menteri dengan tenggat 7 hari sejak diterimanya pendaftaran (Pasal 23); - Perselisihan kepengurusan hasil forum tertinggi Partai Politik berakibat tidak dapat disahkannya perubahan kepengurusan oleh Menteri sampai perselisihan terselesaikan (Pasal 24), yaitu yang terjadi apabila pergantian kepengurusan ditolak oleh minimal 2/3 jumlah peserta forum tertinggi Partai Politik (Pasal 25); - Larangan membentuk kepengurusan dan/atau Partai Politik yang sama bagi anggota Partai Politik yang diberhentikan dari keanggotaan dan/atau kepengurusan Partai Politik (Pasal 26). 9).
Pengambilan Keputusan (Bab X, Pasal 27 dan 28). Pengambilan keputusan Partai Politik di semua tingkatan dilakukan secara demokratis (Pasal 27) sesuai dengan AD dan ART (Pasal 28)).
10). Rekrutmen Politik (bab XI, Pasal 29). Partai Politik melakukan rekrutmen politik terhadap WNI secara demokratis dengan keputusan pengurussesuai dengan AD dan ART untuk menjadi 1) anggota Partai Politik; b) bakal calon anggota DPR dan DPRD; c) bakal calon Presiden dan Wakil Presiden; dan d) bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. 11). Peraturan dan Keputusan Partai Politik (Bab XII, Pasal 30). Partai Politik berwenang membentuk dan menetapkan peraturan dan/atau keputusan Partai Politik berdasarkan AD dan ART serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
105
12). Pendidikan Politik (bab XIII, Pasal 31). Partai Politik melakukan pendidikan politik bagi masyarakat sesuai dengan ruang lingkup tanggung javvabnya dengan mem- perhatikan keadilan dan keseteraan gender untuk membangun etika dan budaya politik sesuai dengan Pancasila dengan tujuan antara lain : -
meningkatkan kesadaran hak dan kevvajiban masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
-
meningkatkan partisipasi politik dan inisitatit niasya- rakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangs.1, dan bernegara;
-
meningkatkan
kemandirian,
kedewasaan,
dan
membangun
karakter bangsa dalam rangka memelihara per- satuan dan kesatuan bangsa. 13). Penyelesaian Perselisihan Partai Politik (Bab XIV), Pasal 32 dan 33). Mungkin karena banyak Partai Politik mengalami perpecahan internal, maka secara eksplisit perlu pengaturan tentang hal ini yang dalam UU Partai Politik 2002 dirumuskan sebagai "Peradilan Perkara Partai Politik (Bab VIII) yang tidak jelas apa yang dimaksud dengan “perkara Partai Politik” tersebut. -
Pasal 32 : Perselisihan Partai Politik diselesaikan secara musyawarah mutakat, apabila tak tercapai diselesaikan levvat pengadilan atau di luar pengadilan (misal rekon- siliasi, mediasi atau arbitrase Partai Politik yang mekanisme- nya diatur dalam AD dan ART).
-
Pasal 33 : Forum pengadilan perkara Partai Politik adalah pengadilan negeri sebagai peradilan pertama dan terakhir yang harus selesai dalam vvaktu 60 hari sejak gugatan perkara terdaftar di kepaniteraan dan hanya dapat diajukan kasasi ke MA yang harus selesai dalam vvaktu 30 hati sejak memori kasasi terdaftar di kepaniteraan MA.
106
14). Keuangan Partai Politik (Bab XV, Pasal 34 s.d. Pasal 39). - Sumber keuangan Partai Politik berasal dari 1) iuran anggota; 2) sumbangan yang sah menurut hukum; dan 3) bantuan keuangan dari APBN dan APBD; - Sumbangan yang dapat berupa uang, barang dan/atau jasa didasarkan pada prinsip kejujuran, sukarela, keadilan, terbuka, tanggung jawab, serta kedaulatan dan kemandirian Partai Politik dapat berasal dari: 1) perseoranga anggota Partai Politik yang pelaksanaannya diatur dalam AD dan ART; 2) perseorangan bukan anggota Partai Politik maksimal 1 (satu milyar rupiah per orang per tahun anggaran; dan 3) perusahaan dan/atau badan usaha maksimal senilai 4 (empat) milar rupiah per perusahaan per tahun anggaran; - Bantuan keuangan dari APBN dan APBD diberikan secara proporsional kepada Partai Politik yang mendapatkan kursi di DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/ kota yang penghitungannya berdasarkan jumlah per- olehan suara yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah (PP). - Pengelolaan keuangan Partai Politik: 1) digunakan untuk pe- laksanaan program yang mencakup pendidikan politikdan operasional sekrctariat; 2) dikelola melalui rekening kas umum Partai Politik; 3) penerimaan dan pengeluaran dicatat oleh pengurus Partai Politik di semua tingkatan yang juga menyusun laporan pertanggungjawaban setelah tahun anggaran berakhir yang hasil pemeriksaannya terbuka untuk publik; 4) pengelolaan Partai Politik diatur lebih Ian jut dalam AD dan ART. 15). Larangan bagi Partai Politik (Bab XVI, Pasal 40). UU Partai Politik juga memuat larangan bagi Partai Politik yang mencakup : -
Larangan menggunakan nam a, lambang, atau tanda gambar yang sama dengan (ayat 1): 1) bendera atau lambang bendera RI; 2) lambang lembaga negara atau lambang Pemerintah; 3) nama, bendera, lambang negara lain atau lembaga/badan internasional; 4)
107
nama, bendera, simbol organisasi gerakan separatis atau organisasi terlarang; 5) nama atau gambar seseorang; atau 6) pada pokoknva atau keseluruhannya dengan kepunyaan Partai Politik lain. -
Larangan melakukan kegiatan yang bertentangan dengan UUD 1945dan peraturan perundang-undangan atau membahayakan keutuhan dan keselamatan NKRI (ayat 2).
-
Larangan: l)menerima dari atau memberikan kepada pihak asing sumbangan dalam bentuk apa pun yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; 2) menerima sumbangan berupa uang, barang, atau jasa dari pihak mana pun tanpa mencantumkan identitas yang jelas; 3) menerima sumbangan dari perseorangan dan/atau perusahaan/badan usaha melebihi batas yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan; 4) meminta atau menerima dana dari BUMN, BUMD, dan BUMDesa atau dengan sebutan lainnya; 5) menggunakan fraksi di MPR, DPR, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/kota sebagai sumber pendanaan Partai Politik (ayat3).
-
Larangan mendirikan bada usaha dan/atau memiliki saham suatu badan usaha (aval 4), meskipun ada wacana sebelumnya bahwa Partai Politik boleh memiliki suatu badan usaha.
-
Larangan menganut dan mengembangkan serta menyebarkan ajaran atau paham Komunisme/ Marxisme-Leninisme (ayat 5).
16). Pengawasan (Bab XVIII, Pasal 46). Berbeda dengan UU Partai Politik 2002 yang mengatur secara lebih rinci mengenai pengawasan dalam tiga pasal dan betul- betul mengenai pengawasan terhadap Partai Politik, UU Partai Politik 2008 hanya merumuskan secara umum dalam satu pasal bahwa "Pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-undang ini dilakukan oleh lembaga negara yang berwanang secara fungsional sesuai dengan undang-undang". Penjelasan pasal tersebut hanya mengenai pengertian "sesuai dengan undang-undang" yang dimaksudkan sebagai undang-undang organik yang memberikan
108
kewenangan kepada lembaga negara untuk melakukan pengawasan. Dengan demikian, rumusan pengawasan dalam UU Partai Politik 2008 justru kabur dan bisa menimbulkan multitafsir. 17). Sanksi (Bab XIX, Pasal 47 s.d. Pasal 50). Sanksi terhadap pelanggaran ketentuan UU ini meliputi : Sanksi administratif yang dapat berupa : - penolakan pendaftaran Partai Politik sebagai badan hukum, apabila melanggar ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 (syarat-syarat pembentukan), Pasal 9 ayat (1) menganai asas Partai Politik, dan pasal 40 ayat (1) mengenai penggunaan nama, lambang, dan tanda gambar (Pasal 47 ayat (1)); -
teguran oleh Pemerintah, jika melanggar ketentuan Pasal 13 huruf h mengenai
kewajiban
membuat
pembukuan,
memelihara
daftar
penyumbang dan jumlah sumbangan yang diterima yang terbuka untuk masyarakat (Pasal 47 ayat (2)) ; - penghentian bantuan APBN/APBD sampai laporan diterima oleh pemerintah, jika melanggar ketentuan Pasal 13 huruf i mengenai kewajiban menyampaikan laporan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran keuangan yang bersumber dari dana bantuan APBN dan APBD(Pasal 47 ayat (3)); teguran oleh KPU terhadap pelanggaran atas Pasal 13 huruf j mengenai kevvajiban memiliki rekening khusus dana kampanye pemilu (Pasal 47 ayat (4)); - ketentuan yang ditetapkan oleh lembaga/badan yang bertugas untuk menjaga kehormatan dan martabat Partai Politik beserta anggotanya, jika melanggaran Pasal 40ayat (3) huruf e mengenai penggunaan fraksi di MPR, DPR, dan DPRD sebagai sumber pendanaan Partai Politik (Pasal 47 ayat (5)); - pembekuan kepengurusan Partai Politik oleh pengadilan negeri bagi Partai Politik yang telah memiliki badan hukum, jika melanggar ketentuan pasal 40 ayat (1) mengenai larangan penggunaan nama, lambang, atau tanda gambar yang sama (pasal 48 ayat (1));
109
- pembekuan sementara kepengurusan Partai Politik sesuai dengan tingkatannya oleh pengadilan negeri serta aset dan sahamnya untuk negara, apabila melanggar Pasal 40 ayat (4) tentang larangan Partai Politik mendirikan badan usaha dan/atau memiliki saham suatu badan usaha [Pasal 48 ayat (6)); -
pembekuan sementara Partai Politik oleh pengadilan negeri sesuai dengan tingkatannya paling lama satu tahun, jika melanggar ketentuan Pasal 40 ayat (2) mengenai larangan melakukan kegiatan yang bertentangan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan, serta yang membahayakan keutuhan dan keselamatan NKRI [Pasal 48 ayat (2)).
- Sanksi pembubaran Parpol oleh mahkamah konstitusi apabila : - Parpol yang telah dibekukan sementara melakukan pelanggaran lagi atas ketentuan pasal yang sama (Pasail 48 ayat (3)); - Parpol melanggar ketentuan Pasal 48 ayat (5) tentang larangan menganut dan mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham komunisme/ Marxisme- Leninisme; - pengurus Partai Politik melakukan kegiatan yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara (Pasal 50). Sanksi pidana terhadap: -
Pengurus Partai Politik yang melanggar ketentuan Pasal 40 ayat (3) huruf a mengenai larangan Partai Politik menerima atau memberikan kepada pihak asing sumbangan dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dengan pidana penjara maksimal dua tahun dan denda dua kali lipat dari jumlah dana yang diterimanya (Pasal 48 ayat (4) j ;
- Pengurus Partai Politik yang melanggar ketentuan Pasal 40 ayat (3) huruf b (menerima sumbangan dalam bentuk apapun tanpa identitas yang jelas), huruf c (menerima sumbangan melebihi ketentuan), huruf d (meminta atau menerima dana dari BUMN/ BUMD/ BUMDes dengan pidana penjara maksimal satu tahun dan denda dua kali lipat jumlah dana yang diterimanya (Pasal 48 ayat (5);
110
-
Setiap orang atau perusahan dan/atau badan usaha yang memberi sumbangan kepada Partai Politik melebihi ketentuan Pasal 35 ayat (1) huruf b (satu milyar per orang per tahun) dan huruf c (empat milyar per tahun per perusahaan) dipidana dengan pidana penjara paling lama enam bulan dan denda dua kali lipat dari jumlah dana yang disumbangkannya (Pasal 49 ayat (1));
-
Pengurus Partai Politik yang mcnerima sumbangan dari perseorangan dan/atau badan usaha yang melebihi ketentuan Pasal 35 ayat (1) huruf b dan huruf c dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun dan denda dua kali lipat jumlah dana yang diterima (Pasal 49 ayat (2)); sedangkan
sumbangan
yang
diterima
Partai
Politik
dari
perseorangan/perusahaan yang melebih ketentuan disita untuk negara (pasal 49 ayat (3)). 18). Ketentuan peralihan (Bab XX, Pasal 51) - Partai Politik yang telah disahkan sebagai badan hukum berdasarkan UU Partai
Politik
2002
tetap
diakui
keberadaannya,
tetapi
harus
menyesuaikan diri dengan ketentuan Pasal 2 ayat (5) UU Partai Politik 2008; - Partai Politik yang sudah mendaftarkan diri ke Departemen sebelum UU ini diundangkan, diproses sebagai badan hukum menurut UU Partai Politik 2008 - Penyelesaian perkara Partai Politik yang sedang dalam proses pemeriksaan di pengadilan sebelum UU ini diundangkan diputus berdasarkan UU Partai Politik 2002, sedangkan yang sudah didaftarkan di pengadilan namun belum diproses, diproses dan diputus berdasarkan UU Partai Politik 2008. d. Pengaturan Terhadap Partai Politik dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang –Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik Reformasi politik pada tahun 1998 telah membuka ruang yang cukup bebas bagi Partai Politik di Indonesia. Semenjak itu banyak kelompok mendirikan 111
dan membangun Partai Politik dengan visi baru, ciri baru ataupun menggunakan visi dan ciri dimasa lalu untuk dijadikan pengingat bagi warga Negara tentang kejayaan Partai Politik dimasa lalu. Tahun 2011 pemerintah mengadakan perubahan terhadap UU No. 2 Tahun 2008 Tentang partai Politik yaitu dengan mengeluarkan Undang-undang No. 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Perubahan atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. Perubahan undang- undang ini telah merubah cukup banyak tentang ketentuan yang diatur dalam. Perubahan yang dimaksud yaitu 17 pasal dengan penambahan 1 pasal baru. Sedangkan pada tingkat ayat, terdapat 27 ayat yang diubah dengan disertai adanva penambahan 14 ayat baru. Dari adanya perubahan ketentuan yang dimaksud, kemudian memunculkan banyak kontroversi diantaranya mengenai syarat pembentukan dan pendaftaran Partai Politik sebagai badan hukum, yang dinilai jauh lebih berat dibandingkan dengan UU sebelumnya. Dalam UU Partai Politik sebelumnya, untuk membentuk partai, syaratnya paling sedikit oleh 50 Warga Negara Indonesia (VVNI) yang sudah berusia 21 tahun sebagai pendiri. Sedangkan dalam UU Partai Politik baru syarat untuk mendirikan partai paling sedikit 30 orang yang telah berusia 21 tahun disetiap provinsi sebagai pendiri. Selanjutnya para pendiri yang berada disetiap provinsi ini diwakili oleh 50 orang di antara mereka untuk mendaftarkan partai tersebut. Artinya, pendirian sebuah Partai Politik hanya bisa dianggap sah jika didirikan oleh 30 orang pendiri dari tiap provinsi (pasal 1 ayat 2 angka 1 dan la) dengan adanya pembatasan umur minimal yaitu 21 tahun. Jika kemudian pasal ini pahami maka ke 30 orang ini harus berasal dari setiap provinsi masing-masing. Untuk mekanisme pendaftarannya diharuskan memiliki jumlah pengurus sebanyak 50 orang yang mendaftarkan kekementerian agar mendapatkan status Badan lukum dengan memperhatikan adanya keterwakilan perempuan sebanyak 30%. Selanjutnya untuk mendapatkan pengesahan sebagai badan hukum partai maka salah satu syaratnya adalah telah memiliki kepengurusan paling sedikit 75% dari jumlah kota atau kabupaten daiam satu provinsi dan dalam satu kota atau kabupaten dalam satu provinsi. Dan diharuskan pula partai tersebut telah memiliki pengurus minimal sebanyak 50% dari seluruh kecamatan dalam kota atau
112
kabupaten tersebut. Jadi, dengan demikian setelah semuanya terpenuhi syarat administrasinya maka barulah pihak kementerian akan melakukan verifikasi yang dapat dilakukan paling lama 45 hari semenjak telah diterimanya dokumen persyaratan lengkap dari sebuah partai yang diajukan. Secara hukum semua Partai Politik harus melalui verifikasi oleh kementerian, dan pada saat dilakukan verifikasi oleh kementerian pada waktu lalu banvak yang tidak memenuhi syarat pendirian. Partai Politik yang lolos verifikasi hanyalah partai Nasional Demokrat (Nasdem) dari 14 Partai Politik baru yang mengikuti verifikasi. Partai Nasdem dinyatakan berbadan hukum dan layak mengikuti verifikasi partai peserta pemilu sesuai dengan amanat UU No. 2 Tahun 2008 jo UU No. 2Tahun 2011 tentang Partai Politik. Dalam UU dimaksud setiap Partai Politik baru yang akan mengikuti pemilu harus terlebih dahulu memenuhi syarat administrasi sebagai badan hukum dengan memenuhi ketentuan dalam pasal 1 ayat 2 angka 1 dan la. Ketentuan yang tercantum dalam perubahan UU Partai Politik tidak hanya berlaku untuk partai baru, namun juga berlaku untuk partai-partai lama. Hal ini bisa dilihat dalam ketentuan peralihan yang termuat dalam pasal 51 UU No. 2 tahun 2011 telah disebutkan bahwa partai politik yang telah disahkan sebagai badan hukum berdasarkan UU sebelumnya tetap wajib melakukan penyesuain dengan UU Partai Politik baru ini dan melakukan verifikasi. Artinya, partai-partai lama jugaterancam bubar jika tidak dapat memenuhi ketentuan UU Partai Politik yang baru. Muatan dalam pasal 51 UU Partai Politik yang baru mcnimbulkan masalah tcrsendiri karena tidak dapat memberikan kepastian. Pada ayat 1 dalam pasal 51 pada frasa kalimat "partai politik yang telah disahkan sebagai badan hukum berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang partai politik tetap diakui keberadaannya..."lalu disambung dengan frasa kalimat ..."dengan kewajiban melakukan penyesuaian menurut undang-undang ini dengan mengikuti verifikasi". Disinilah letak perdebatanya, sehingga dengan munculnya pasal ini banyak menimbulkan reaksi yang cukup serius dari para partai politik lama maupun baru. Sehingga, dengan adanya pasal ini telah memicu sebagian warga
113
Negara untuk melakukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi. Seharusnya semangat perubahan dalam UU ini semestinya tidak bertentangan dengan semangat yang ada dalam konstitusi hasil amandemen yaitu "Kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan sesuai Undang-Undang" bukan seperti dimasa lalu yaitu "kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan olcli MPR" dengan pengertian kedaulatan dilaksanakan oleh sebuah lembaga perwakilan. Dalam kaitan ini seharusnya DPR menekankan partisipasi warga Negara sebagai subyek dan pemilik utama atas kedaulatan. Pembahasan diatas menggambarkan masa reformasi telah merubah peta politik di Indonesia. Undang undang tentang Partai Politik yang terus berubah, seiring berjalannya waktu. Sejak reformasi 1998 sampai dengan 2011 telah terjadi 4 (empat) kali perubahan Undang undang tentang Partai Politik. Tidak konsistennya Undang undang tentang Partai Politik di Indonesia salah satunya disebabkan oleh kuatnya dinamika menuju kedewasaan politik Indonesia pasca orde baru. Perubahan tersebut terutama dilakukan pada prasyarat untuk mendirikan partai politik. Berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana terhadap partai politik dikemukakan pula mengenai perbandingan pengaturan ketentuan pidana. Untuk lebih memudahkan dalam memahami perubahan-perubahan dalam pengaturan mengenai Partai politik dalam masa reformasi sebagaimana telah dikemukakan diatas, dapat dilihat dalam bentuk tabel dibawah ini :
114
Tabel 8.Perbandingan persyaratan mendirikan partai politik PERBANDINGAN PERSYARATAN MENDIRIKAN PARPOL No
1
UU No 2
UU No 31
UU No 2
UU No 2
Tahun 1999
Tahun 2002
Tahun 2008
Tahun 2011
Pasal 2 ayat (2) : Partai Politik harus memenuhi syarat : a. mencantumkan Pancasila sebagai dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam anggaran dasar partai; b. asas atau ciri, aspirasi dan program Partai Politik tidak bertentangan dengan Pancasila; c. keanggotaan Partai Politik bersifat terbuka untuk setiap warga negara Republik Indonesia yang telah mempunyai hak pilih; d. Partai Politik tidak boleh menggunakan nama atau lambang yang sama dengan lambang negara asing, bendera Negara
Pasal 2 ayat (3) : Partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didaftarkan pada Departemen Kehakiman dengan syarat : a. memiliki akta notaris pendirian partai politik yang sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundangundangan lainnya; b. mempunyai kepengurusan sekurang kurangnya 50% (lima puluh persen) dari jumlah provinsi, 50% (lima puluh persen) dari jumlah kabupaten/kota pada setiap provinsi yang bersangkutan, dan 25% (dua puluh lima persen)
Pasal 3 : (1) Partai Politik harus didaftarkan ke Departemen untuk menjadi badan hukum. (2) Untuk menjadi badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Partai Politik harus mempunyai : a. akta notaris pendirian Partai Politik; b. nama, lambang, atau tanda gambar yang tidak mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, atau tanda gambar yang telah dipakai secara sah oleh Partai Politik lain
Pasal 2 (1) Partai Politik didirikan dan dibentuk oleh paling sedikit 30 (tiga puluh) orang warga negara Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau sudah menikahdari setiap provinsi. (1a) Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didaftarkan oleh paling sedikit 50 (limapuluh) orang pendiri yang mewakili seluruh pendiri Partai Politik dengan akta notaris. (1b) Pendiri dan pengurus Partai Politik dilarang merangkap sebagai
115
Kesatuan Republik Indonesia Sang Merah Putih, bendera kebangsaan negara asing, gambar perorangan dan nama serta c. lambang partai lain yang telah ada
d.
dari jumlah kecamatan sesuai dengan anggota Partai Politik pada setiap peraturan perundanglain. kabupaten/kota yang undangan; (2) Pendirian dan bersangkutan; c. kantor tetap; pembentukan Partai memiliki nama, lambang, d. kepengurusan paling Politik sebagaimana dan tanda gambar yang sedikit 60% (enam puluh dimaksud pada ayat (1) tidak mempunyai perseratus) dari jumlah menyertakan 30% (tiga persamaan pada pokoknya provinsi, 50% (lima puluh perseratus) atau keseluruhannya puluh perseratus) dari keterwakilan dengan nama, lambang, jumlah kabupaten/kota perempuan dan tanda gambar partai pada setiap provinsi (3) Akta notaris sebagaimana politik lain; dan yang bersangkutan, dan dimaksud pada ayat (1a) mempunyai kantor tetap. 25% (dua puluh lima harus memuat AD dan perseratus) dari jumlah ART serta kepengurusan kecamatan pada setiap Partai Politik tingkat kabupaten/kota pada pusat. daerah yang bersangkut (4) AD sebagaimana an ; dan dimaksud pada ayat (3) e. memiliki rekening atas memuat paling sedikit: nama Partai Politik. a. asas dan ciri Partai Politik; b. visi dan misi Partai Politik; c. nama, lambang, dan tanda gambar Partai Politik; d. Tujuan dan fungsi Partai Politik;
116
e. organisasi, tempat kedudukan, dan pengambilan keputusan; f. kepengurusan Partai Politik; g. mekanisme rekrutmen keanggotaan Partai Politik dan jabatan politik; h. sistematika kaderisasi; i. mekanisme pemberhentian anggota Partai Politik; i. mekanisme pemberhentian anggota Partai Politik; j. peraturan dan keputusan Partai Politik; k. pendidikan politik; l. keuangan Partai Politik; dan m. mekanisme penyelesaian perselisihan internal Partai Politik. (5) Kepengurusan Partai Politik tingkat pusat sebagaimanadimaksud pada ayat (2) disusun dengan menyertakan paling sedikit 30% (tiga
117
puluh perseratus) keterwakilan perempuan
Tabel 9.Perbandingan Larangan terhadap Partai politik PERBANDINGAN LARANGAN No
1
Pasal 16
UU No 2
UU No 31
UU No 2
UU No 2
Tahun 1999
Tahun 2002
Tahun 2008
Tahun 2011
Pasal 19
Pasal 40
Partai Politik tidak boleh (1) Partai Politik dilarang (1) a. menganut, menggunakan nama, mengembangkan, lambang atau tanda menyebarkan ajaran atau gambar yang sama paham dengan : komunisme/Marxisme/ a. bendera atau lambang Leninisme dan ajaran negara Republik lain yang bertentangan Indonesia ; dengan Pancasila; b.lambang lembaga b. menerima sumbangan negara atau lambang dan atau bantuan dalam Pemerintah; bentuk apa pun dari c. nama, bendera, atau pihak asing, baik lambang negara lain langsung maupun tidak dan nama, bendera, langsung; atau lambang lembaga/badan
118
Partai Politik dilarang menggunakan nama, lambang, atau tanda gambar yang sama dengan: a. bendera atau lambang negara Republik Indonesia; b. lambang lembaga negara atau lambang Pemerintah; c. nama,bendera, lambang negara lain atau lembaga/ badan internasional; d. nama, bendera,
Tidak ada perubahan
internasional; d. nama dan gambar seseorang; atau e. yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan partai politik lain.
simbol organisasi gerakan separatis atau organisasi terlarang; e. Nama atau gambar seseorang ; atau f. yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, atau tanda gambar Partai Politik lain.
c. memberi sumbangan dan/atau bantuan dalam bentuk apa pun kepada pihak asing, baik langsung maupun tidak langsung, yang dapat merugikan kepentingan bangsa dan negara; (2) Partai politik dilarang : d. melakukan kegiatan yang a. melakukan kegiatan bertentangan dengan yang bertentangan (2) Partai Politik dilarang: kebijakan Pemerintah dengan Undanga. melakukan kegiatan yang Republik Indonesia Undang Dasar Negara bertentangan dengan dalam memelihara Republik Indonesia Undang-Undang Dasar persahabatandengan Tahun 1945 atau Negara Republik negara lain. peraturan perundangIndonesia Tahun 1945 undangan lainnya; Dan peraturan . b. melakukan kegiatan perundang- undangan; yang membahayakan atau keutuhan Negara b. melakukan kegiatan Kesatuan Republik yang membahayakan Indonesia; atau keutuhan dan c. melakukan kegiatan keselamatan Negara yang bertentangan Kesatuan Republik dengan kebijakan Indonesia. pemerintah negara dalam memelihara
119
persahabatan dengan (3) Partai Politik dilarang: negara lain dalam a.menerima dari atau rangka ikut memelihara memberikan kepada pihak ketertiban dan asing sumbangan dalam perdamaian dunia. bentuk apa pun yang (3) Partai politik dilarang : bertentangan dengan a. menerima dari atau peraturan perundangmemberikan kepada undangan; pihak asing sumbangan b.menerima sumbangan dalam bentuk apa pun, berupa uang, barang, yang bertentangan ataupun jasa dari pihak dengan peraturan mana pun tanpa perundang-undangan; mencantumkan identitas b. menerima sumbangan, yang jelas; baik berupa barang c. menerima sumbangan dari maupun uang, dari perseorangan dan/atau pihak mana pun tanpa perusahaan/badan usaha mencantumkan melebihi batas yang identitas yang jelas; ditetapkan dalam atau peraturan- perundangc. meminta atau menerima undangan; dana dari badan usaha d. meminta atau menerima milik negara, badan dana dari badan usaha usaha milik daerah, milik negara, badan usaha badan usaha milik desa milik daerah, dan badan atau dengan sebutan usaha milik desa atau lainnya, koperasi, dengan sebutan lainnya; yayasan, lembaga atau
120
(4)
(5)
swadaya masyarakat, e.menggunakan fraksi di organisasi kemasyara Majelis Permusyawaratan katan, dan organisasi Rakyat,Dewan Perwakilan kemanusiaan. Rakyat, Dewan Perwakil Partai politik dilarang an Rakyat Daerah mendirikan badan provinsi, dan Dewan usaha dan/ atau Perwakilan Rakyat Daerah memiliki saham suatu kabupaten/kota sebagai badan usaha. sumber pendanaan Partai Partai politik dilarang Politik. menganut,mengembang (4) Partai Politik dilarang kan, dan menyebarkan mendirikan badan usaha ajaran atau paham dan/ atau memiliki saham Komunisme/Marxismesuatu badan usaha. `Leninisme. (5) Partai Politik dilarang menganut dan mengem bangkan serta menyebar kan ajaran atau paham komunisme/MarxismeLe ninisme.
121
Tabel 10. Perbandingan ketentuan sanksi dalam UU Partai politik PERBANDINGAN KETENTUAN SANKSI No
1
UU No 2
UU No 31
UU No 2
UU No 2
Tahun 1999
Tahun 2002
Tahun 2008
Tahun 2011
Pasal 19
Pasal 26
Pasal 47
(1)Barangsiapa dengan sengaja memberikan sumbangan kepada Partai Politik melebihi ketentuan yang diatur dalam Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) Undangundang ini diancam pidana kurungan selamalamanya 30 (tiga puluh) hari atau pidana denda sebanyak-banyaknya Rp100.000.000,00 seratus juta rupiah).
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 5 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa penolakan pendaftaran sebagai partai politik oleh Departemen Kehakiman.
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 9 ayat (1), dan Pasal 40 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa penolakan pendaftaran Partai Politik sebagai badan hukum oleh Departemen.
(2)Barangsiapa dengan sengaja memberikan uang atau barang kepada orang lain dengan maksud agar orang
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 9 huruf h dikenai sanksi administratif berupa teguran secara terbuka oleh Komisi Pemilihan Umum.
122
Pasal 47
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 9 ayat (1), dan Pasal 40 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa penolakan pendaftaran Partai Politik sebagai badan hukum oleh Kementerian. (2) (2)Pelanggaran terhadap Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dimaksud dalam Pasal 13 huruf h dikenai sanksi huruf h dikenai sanksi administratif berupa teguran administratif berupa oleh Pemerintah. teguran oleh Pemerintah.
tersebut menyumbangannya kepada Partai Politik sehingga melebihi ketentuan yang diatur dalam Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) undangundang ini diancam pidana kurungan selamalamanya 30 (tiga puluh) hari atau pidana denda sebanyak-banyaknya Rp100.000.000,00 ( seratus juta rupiah). (3)Barangsiapa dengan sengaja menerima uang atau barang dari seseorang untuk disumbangkan kepada Partai Politik dengan maksud agar orang tersebut dapat menyumbang melebihi ketentuan yang diatur dalam Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) undangundang ini diancam
(3) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 9 huruf I dan huruf j dikenai sanksi administratif berupa diberhentikannya bantuan dari anggaran negara. Pasal 27
(3) Pelanggaran (3) Pelanggaran terhadap terhadap ketentuan ketentuan sebagaimana sebagaimana dimaksud dimaksud dalam Pasal 13 dalam Pasal 13 huruf i huruf i dikenai sanksi dikenai sanksi administratif administratif berupa berupa penghentian bantuan penghentian bantuan Anggaran Pendapatan dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Pendapatan dan Belanja Daerah sampai laporan Daerah sampai laporan diterima oleh Pemerintah diterima oleh Pemerintah dalam tahun anggaran dalam tahun anggaran berkenaan. berkenaan.
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana (4) Pelanggaran terhadap (4) Pelanggaran terhadap dimaksud dalam Pasal ketentuan sebagaimana ketentuan sebagaimana 19 ayat (1) dikenai dimaksud dalam Pasal 13 dimaksud dalam Pasal 13 sanksi administratif huruf j dikenai sanksi huruf j dikenai sanksi berupa penolakan administratif berupa teguran administratif berupa pendaftaran partai politik oleh Komisi Pemilihan teguran oleh Komisi oleh Departemen Umum. Pemilihan Umum. (5) Kehakiman. Pelanggaran terhadap (5) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana (2) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) huruf e dikenai dimaksud dalam Pasal ayat (3) huruf e dikenai sanksi administratif yang 19 ayat (2) dikenai sanksi administratif yang ditetapkan oleh sanksi administratif ditetapkan oleh badan/lembaga yang berupa pembekuan
123
pidana kurungan selama - Selamanya 30 (tiga puluh) hari atau pidana denda sebanyak - banyaknya Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (4)Barangsiapa dengan sengaja memaksa seseorang atau badan untuk memberikan sumbangan kepada Partai Politik dalam bentuk apa pun diancam pidana kurungan selama - selamanya 30 (tiga puluh) hari atau pidana denda sebanyak - banyaknya Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
sementara partai politik paling lama 1 (satu) tahun oleh pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1). (3) Pelarangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa teguran secara terbuka oleh Komisi Pemilihan Umum. (4) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4) dikenai sanksi administratif berupa larangan mengikuti pemilihan umum berikutnya oleh pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1).
124
badan/lembaga yang bertugas untuk menjaga kehormatan dan martabat Partai Politik beserta anggotanya. Pasal 48 (1) Partai politik yang telah memiliki badan hukum melanggar ketentuan Pasal 40 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa pembekuan kepengurusan oleh pengadilan negeri. (2) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa pembekuan semen tara Partai Politik yang bersangkutan sesuai dengan tingkatannya oleh pengadilan negeri paling lama 1 (satu) tahun.
bertugas untuk menjaga kehormatan dan martabat Partai Politik beserta anggotanya.
(5) Sebelum dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat 92), ayat (3), dan ayat (4) pengurus pusat partai politik yang bersangkutan terlebih dahulu didengar keterangannya.
(3) Partai Politik yang telah dibekukan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan melakukan pelanggaran lagi terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) dibubarkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi.
Pasal 28 (1) Setiap orang yang memberikan sumbangan kepada partai politik melebihi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 18 diancam dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan dan/atau pidana denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(4) Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) huruf a, pengurus Partai Politik yang bersangkutan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda 2 (dua)kali lipat dari jumlah dana yang diterimanya. (5) Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana
125
(2) Pengurus partai politik yang menerima sumbangan dari perseorangan dan/atau perusahaan/bdan usaha yang melebihi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 18, diancam dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (3) Setiap orang yang mempengaruhi atau memaksa sehingga seseorang dan/atau perusahaan/badan usaha memberikansumbangan kepada partai politik melebihi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 18, diancam dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan/atau pidana denda
126
dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) huruf b, huruf c, dan huruf d, pengurus Partai Politik yang bersangkutan dipidana dengan pidana penjara palinglama 1 (satu) tahun dan denda 2 (dua) kali lipat dari jumlah dana yang diterimanya. (6)Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (4) dikenai sanksi administratif berupa pembekuan sementara kepengurusan Partai Politik yang bersangkutan sesuai dengan tingkatannya oleh pengadilan negeri serta aset dan sahamnya disita untuk negara. (7)Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (5) dikenai sanksi
paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
pembubaran Partai Politik oleh Mahkamah Konstitusi. Pasal 49
(4) Sumbangan yang diterima partai politik dari perseorangan dan/atau perusahaan/badan usaha yang melebihi batas ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, disita untuk negara. (5) Pengurus partai politik yang melakukan pelanggaran sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 19 ayat (3) diancam dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1,000.000.000,00 (satu miliar rupiah) (6) Pengurus partai politik yang menggunakan partainya untuk
127
(1)Setiap orang atau perusahaan danjatau badan usaha yang memberikan sumbangan kepada Partai Politik melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf b dan huruf c dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan denda 2 (dua) kali lipat dari jumlah dana yang disumbangkannya. (2)Pengurus Partai Politik yang menerima sumbangan dari perseorangan dan/atau perusahaan/badan usaha yang melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf b dan huruf c
melakukan kegiatan dipidana dengan pidana sebagaimana dimaksud penjara paling lama 1 (satu) dalam Pasal 19 ayat (5) tahun dan denda 2 (dua) kali dituntut berdasarkan lipat dari jumlah dana yang Undang-Undang Nomor diterima. 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab (3) Sumbangan yang diterima Undang-Undang Hukum Partai Politik dari Pidana yang berkaitan perseorangan dan/atau dengan Kejahatan perusahaan/badan terhadap Keamanan usaha yang melebihi batas Negara dalam Pasal 107 ketentuan sebagaimana huruf c, huruf d, dan dimaksud dalam Pasal 35 huruf e, dan partainya ayat (1) huruf b dan huruf c dapat dibubarkan. disita untuk negara. Pasal 50 Pengurus Partai Politik yang menggunakan Partai Politiknya untuk melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (5) dituntut berdasarkan Undang -undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab UndangUndang Hukum Pidana yang berkaitan dengan Kejahatan
128
terhadap Keamanan Negara dalam Pasal 107 huruf c, huruf d, atau huruf e, dan Partai Politiknya dapat dibubarkan.
129
B.
Formulasi
Pertanggungjawaban
Pidana
Badan
Hukum
Dalam
Kebijakan Legislasi di Indonesia Sejak Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa Ke 7 tentang Prevention of Crime and The Treatment of Offenders yang dilaksanakan di Milan-ltali pada 26 Agustus sampai 6 September 1985 pengaturan pertanggungjawaban pidana badan hukum (korporasi) telah menjadi perhatian khusus masyarakat Internasional Dalam Guiding Principles for Crime Prevention and Criminal Justice in the Context of Development and a new International economc order terdapat keputusan konggres mengenai issue of corporate responsibility yang dirumuskan : Due consideration sholud be given by Member States to making criminally responsible not only those persons who have acted on behalf of an institution, corporation or enterprise, or who are in policy-making of executive capacity, but also the institution, corporation or enterprise itself, by devising appropriate measure that would prevent or sanction the furtherance of criminal activities (Pertimbangan yang adil harus diberikan oleh negara anggota untuk menciptakan pertanggungjawaban pidana, tidak hanya terhadap orang yang bertindak atas nama suatu institusi, korporasi atau perusahaan, atau orang yang membuat kebijakan atau kapasitas eksekutif, tetapi juga institusi, korporasi atau perusahaan itu sendiri, dengan memikirkan tindakan yang tepat atau sanksi yang dapat mencegah meningkatnya aktivitas kriminal) Pentingnya perubahan paradigma terhadap korporasi dikemukakan oleh Nicolaz dalam artikel "Trans-national Crime and Corporate Responsibility, yang didalamnya
mengurai
persoalan
kejahatan
korporasi
trans-nasional
dan
pertanggungjawaban korporasi yang dihadapkan pada suatu paradoks hukum nasional suatu negara. Menurutnya sampai saat ini masih ada perbedaan hukum nasional mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi, karena hukum nasional suatu negara masih tetap atau berpegang teguh pada prinsip lama hukum pidana yang masih berlaku di kebanyakan negara (Swiss pada khususnya) yang berpendirian bahwa perusahaan tidak dapat melakukan kejahatan (Societas delinquere non potest) dan oleh karena itu pertanggungjawaban pidana tidak diperlukan.' (...continue to cling for dear life to the old principle of criminal law that still prevails in most countries (Switzerland in particular), according to
129
which companies cannot commit an offence ('societas delinquere nonpotest') and therefore do not have to assume criminal responsibility,)177Lebih lanjut Nicolaz mengatakan Since the mid 1990s, national laws (in Norway of Denmark, in the Netherlands, France or Belgium, for example) and international conventions have attempted to achieve wides pread recognition of the notion of the responsibility of legal persons for criminal acts'
178
(Mulai pertengahan tahun 1990 hukum
nasional (di Norwegia atau Denmark, Belanda, Perancis, Belgia) dan konvensi internasional telah berusaha memperluas gagasan mengenai pertanggungjawaban manusia hukum terhadap tindak pidana) Berdasarkan kedua hal diatas yaitu himbauan Kongress PBB dan tentang masih adanya perbedaan pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam hukum nasional suatu negara sebagaimana dikemukakan Nicolas, maka pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi yang dirumuskan secara umum dalam KUHP mendatang (ius constituendum) sudah menjadi suatu kebutuhan dalam rangka pencegahan dan penanggulangan tindak pidana korporasi dan badan hukum lainnya . Berdasarkan paradigma yang dikemukakan Nicholas dan himbauan Kongres PBB di atas, sangat wajar jika pembaharuan hukum pidana yang berpusat pada pembaharuan KUHP mempertimbangkan perumusan pertanggungjawaban korporasi secara khusus dalam KUHP, karena KUHP merupakan kodifikasi hukum pidana yang memuat ketentuan umum yang berlaku untuk tindak pidana yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan di luar KUHP.179 Pengaturan pertanggungjawaban pidana terhadap badan hukum yang diatur dalam peraturan perundang-undangan pidana yang berlaku saat ini dapat dijadikan dasar yuridis untuk merumuskan secara umum pertanggungjawaban pidana badan hukum dalam KUHP sebagai payung hukum pidana di masa datang.
177
Trans-national Crime and Corporate Responsibility-article-publiele 3/05/2001 auteure(s)Cetim,QuelozNicolas' ehttp://www.france.attac.org/spip.php?article 2549, dliakses 13 September 2015, pk. 13.18. 178 Trans-national Crime and Corporate Responsibility-article-publiele 3/05/ 2001auteure(s): Cetim, QuelozNicolas : diakses 13 September 2015, pk. 13.18. 179 Sudarto, Hukum dan hukum Pidana, Op. Cit., hlm. 61
130
Untuk kepentingan kajian disertasi ini, dalam Bab ini dikemukakan hasil temuan, baik bahan hukum normatif berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini (ius constitutum) dan RUU-KUHP, maupun fakta empirik sebagai penunjang,
penulis
berpendapat
bahwa
bukan
hanya
perumusan
pertanggungjawaban korporasi yang perlu diperhatikan, namun perlu untuk mereformulasi kembali konsep korporasi yang selama ini telah di gunakan dalam hukum pidana. Dengan memformulasikan kembali konsep normatif korporasi maka secara langsung akan berkorelasi dengan pertanggungjawaban pidannya. Berikut ini akan dipaparkan beberapa undang-undang yang dapat diterapkan terhadap badan hukum berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana korporasi. 1. Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Badan Hukum dalam Undang-undang Diluar KUHP a. Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Badan Hukum dalam Undang- undang Tindak Pidana Ekonomi. Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 /Drt. Tahun 1955 Tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi (selanjutnya disebut Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi) telah mengatur tanggung jawab recht person sebagai subjek hukum dengan menggunakan berbagai istilah yang dapat ditemukan dalam rumusan sebagai berikut: Pasal 15 ayat (1): Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau suatu yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu, baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan tindak-pidana ekonomi itu atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu, maupun terhadap kedua-duanya. Pasal 15 ayat (2): Suatu tindak pidana ekonomi dilakukan juga oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau suatu yayasan, jika tindakan itu dilakukan oleh orang-orang yang, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, bertindak dalam lingkungan badan hukum,
131
perseroan, perserikatan atau yayasan itu, tak perduli apakah orang-orang itu masing-masing tersendiri melakukan tindak pidana ekonomi itu atau pada mereka bersama ada anasir- anasir tindak pidana tersebut. Secara eksplisit rumusan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi mengakui suatu subyek hukum selain manusia. Sebagai subjek hukum legal person atau recht person ini dapat melakukan tindak pidana, dan oleh karena itu dapat dituntut dan dapat dijatuhkan sanksi berupa pidana dan tindakan. Hal ini didasarkan pada kata-kata "Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau suatu yayasan..." Dalam Pasal 15 ayat (1) tersebut pengakuan terhadap legal person atau recht person disebutkan secara rinci yaitu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau suatu yayasan. Rumusan tersebut dapat dijadikan dasar pertimbangan dan alasan yuridis untuk merumuskan pertanggungjawaban pidana korporasi dan atau badan hukum dalam KUHP Nasional. Selanjutnya kejelasan dan ketegasan mengenai kapan tindak pidana tersebut dapat dilakukan oleh badan hukum tercantum dalam Pasal 15 ayat (2) namun batasan tindak pidana yang dilakukan korporasi menjadi penting untuk dipikirkan jika dihubungkan dengan rumusan redaksi pasal tersebut yaitu : "Suatu tindak pidana ekonomi dilakukan juga oleh atau atas nama badan hukum... baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain..." Rumusan demikian tidak memiliki kepastian hukum, karena akan menimbukan multi intepretasi, diantaranya suatu tindak pidana yang belum tentu termasuk lingkup aktivitas korporasi dapat dianggap termasuk tindak pidana badan hukum. Dalam rangka menentukan kebijakan pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi dan atau badan hukum, maka hal yang sangat mendesak untuk dikaji ulang adalah terminologi mengenai subjek hukum yaitu " badan hukum dan perseroan, perserikatan orang atau yayasan" yang dirumuskan dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) Undang- Undang Tindak Pidana Ekonomi. Perbedaan ini sangat penting dalam menentukan tanggung jawab antara badan hukum yang berbentuk organisasi orang-orang dan badan hukum (korporasi) sebagai bentuk organisasi
132
orang-orang dan kekayaan yang berorientasi pada profit. Di samping itu UndangUndang Tindak Pidana Ekonomi telah membedakan terminologi “ badan hukum dan perseroan” hal ini dapat menjadi acuan yuridis dalam mereformulasi terminologi “korporasi” dalam KUHP mendatang. Ditinjau dari sisi teori pertanggungjawaban pidana terhadap badan hukum, Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi memuat teori identifikasi (identification theory), teori organik, atau teori fungsional sebagai konstruksi hukum pertanggungjawaban pidana yang dapat diadopsikan ke dalam KUHP sebagai kodifikasi hukum pidana nasional di masa datang. Teori identifikasi tersirat melalui rumusan "... tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau suatu yayasan..." yang berarti organ korporasi yang melakukan suatu perbuatan atas nama korporasi diidentifikasikan sebagai perbuatan korporasi. Dengan demikian secara fungsional organik, suatu korporasi melakukan perbuatan melalui fungsi-fungsi organ korporasi. b. Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Badan Hukum dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140; Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134 (selanjutnya disebut Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) mengakui keberadaan recht person sebagai subjek hukum yang dapat melakukan tindak pidana dan dapat dijatuhi pidana, yang menyebutnya dengan menggunakan istilah korporasi. Korporasi dinyatakan dapat melakukan tindak pidana korupsi tercantum dalam Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) dengan bunyi redaksi sebagai berikut: (1) Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya.
133
(2) Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang- orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama. Penjelasan Pasal 20 ayat (1): "Pengurus" adalah: "organ korporasi yang menjalankan kepengurusan korporasi yang bersangkutan sesuai dengan anggaran dasar, termasuk mereka yang dalam kenyataannya memiliki kewenangan dan ikut memutus- kan kebijakan korporasi yang dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi." Jika rumusan Pasal 20 ayat (1) Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dibandingkan dengan rumusan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Ekonomi, maka ada persamaan dan perbedaan. Persamaannya terletak pada pengaturan korporasi melakukan suatu tindak pidana, yakni
melalui
manusia
alamiah
sebagai
organ
korporasi.
Sedangkan,
perbedaannya: Pertama, penyebutan subjek hukum recht person dalam UndangUndang Pemberantasan Tindak Pidana Ekonomi menggunakan nama atau sebutan "badan hukum, perseroan, perserikatan orang, dan yayasan," sedangkan UndangUndang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menggunakan nama "korporasi". Kedua, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi membatasi perbuatan korporasi berdasarkan kewenangan dan keikutsertaan organ dalam memutuskan kebijakan korporasi sesuai anggaran dasar korporasi . Sedangkan dalam Undang-undang Tindak Pidana Ekonomi tidak ada batasan yang tegas.
c. Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Badan Hukum dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Undang-Atas Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 30 dan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 108. Undang-undang ini diganti
134
Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 122) dalam uraian selanjutnya disebut Undang- Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menyebut recht person dengan menggunakan isttilah korporasi. Dalam undang-undang ini dinyatakan bahwa korporasi dapat melakukan tindak pidana pencucian uang dan dapat dipertanggungjawabkan. Ketentuan kapan korporasi dinyatakan bertanggung jawab karena melakukan tindak pidana pencucian uang dapat dipahami dari rumusan Pasal 4 Ayat (1), Ayat (2), dan Ayat (3) UU No. 8 Tahun 2010, sebagai berikut: Pasal 4 ayat (1): Apabila tindak pidana dilakukan oleh pengurus dan/atau kuasa pengurus atas nama korporasi, maka penjatuhan pidana dilakukan baik terhadap pengurus dan/atau kuasa pengurus maupun terhadap korporasi. Pasal 4 Ayat (2): Pertanggungjawaban pidana bagi pengurus korporasi dibatasi sepanjang pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi. Pasal 4 ayat (3): Korporasi tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh pengurus yang mengatasnamakan korporasi, apabila perbuatan tersebut dilakukan melalui kegiatan yang tidak termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan". Patut pula dikemukakan bahwa Pasal 4 Ayat (1) Undang- Undang Tindak Pidana Pencucian Uang Tahun 2003 merupakan rumusan yang terlalu luas, karena korporasi dapat dinyatakan sebagai pembuat meskipun tindak pidana pencucian uang dilakukan oleh pihak lain atas kuasa pengurus korporasi. Sedangkan Pasal 4 Ayat (3) Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang Tahun 2003 menggunakan rumusan terbalik yang dapat diartikan, bahwa korporasi dipertanggungjawabkan secara pidana dalam hal suatu tindak pidana pencucian
135
uang dilakukan oleh pengurus atas nama korporasi yang termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan. Dengan demikian, dalam hal korporasi melakukan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan melalui pengurus korporasi dan untuk kepentingan korporasi, maka korporasi dapat dijatuhi tanggung jawab pidana. Ketentuan mengenai kapan dan bagaimana korporasi melakukan dan bertanggung jawab sebagai pembuat tindak pidana pencucian uang yang di dirumuskan dalam Pasal 6 dengan bunyi redaksi sebagai berikut: Pasal 6: (1) Dalam hal tindak pidana Pencucian Uang dilakukan oleh Korporasi, pidana dijatuhkan terhadap Korporasi dan/atau Personil Pengendali Korporasi. (2) Pidana dijatuhkan terhadap Korporasi apabila tindak pidana Pencucian Uang: a. dilakukan atau diperintahkan oleh Personil Pengendali Korporasi; b.dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan Korporasi; c.dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah; dan d. dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi Korporasi. Berdasarkan rumusan Pasal 6 di atas dapat dikemukakan bahwa meskipun tidak lagi terdapat kata-kata "...kuasa pengurus ." tetapi rumusan Pasal 6 Ayat (2) butir (b) dan butir (d) merupakan rumusan bermakna sama. d. Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Badan Hukum dalam Undang-undang No. 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang. Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, mengatur korporasi sebagai subyek hukum dalam rumusan Pasal 1 butir 4: korporasi. Dalam redaksi Pasal 1 butir 4 korporasi yaitu : "Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi yang melakukan tindak pidana perdagangan orang. Berdasarkan redaksi tersebut tersirat bahwa korporasi disetarakan dengan orang . Khusus mengenai korporasi sebagai subjek hukum dirumuskan dalam Pasal 1 butir 6: "Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang
136
terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum." Pengaturan mengenai kapan suatu korporasi dinyatakan sebagai pelaku tindak pidana dirumuskan dalam Pasal 13 dengan rumusan lengkap sebagai berikut: Pasal 13: (1) Tindak pidana perdagangan orang dianggap dilakukan oleh korporasi apabila tidak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi atau untuk kepentingan korporasi, baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama. (2) Dalam hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh suatu korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka penyidikan, penuntutan, dan pemidanaan dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya. Pasal 14: Dalam hal panggilan terhadap korporasi, maka pemanggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan disampaikan kepada pengurus di tempat pengurus berkantor, di tempat korporasi itu beroperasi, atau di tempat tinggal pengurus. Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang ada dua istilah yang patut dicermati yaitu “kelompok yang terorganisasi” dan “kumpulan orang yang terorganisasi”, hal tersebut dapat dilihat dari rumusan Pasal 1 buitr (6) dan rumusan Pasal 16. Dalam hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh kelompok yang terorganisasi, maka setiap pelaku tindak pidana perdagangan orang dalam kelompok yang terorganisasi tersebut dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditambah 1/3 (sepertiga). Penjelasan Pasal 16 menerangkan bahwa dalam ketentuan yang dimaksud kelompok yang terorganisasi adalah kelompok terstruktur yang terdiri dari 3 (tiga) orang atau lebih, yang eksistensinya untuk waktu tertentu dan bertindak dengan tujuan melakukan satu atau lebih tindak pidana yang diatur dalam Undang-undang ini dengan tujuan memperoleh keuntungan materiil atau finansial baik langsung maupun tidak langsung. Sedangkan pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Badan Hukum dalam beberapa undang-undang
pidana di luar KUHP diatas
menunjukkan keberagaman pola mengenai kapan, bagaimana cara dan batasan 137
korporasi melakukan tindak pidana , serta jenis sanksi pidana dan tindakan yang dapat diterapkan terhadap korporasi sebagai pembuat. Untuk lebih mudah dapat dipahami disajikan dalam tabel di bawah ini:
2. Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Badan Hukum dan/ atau Korporasi dalam RUU- KUHP. Naskah RUU-KUHP180 menggunakan istilah korporasi untuk menyebut recht person. Pengaturan mengenai korporasi terdapat dalam Buku Kesatu mengenai Ketentuan Umum pada Bab II Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Bagian Kedua Pertanggungjawaban Pidana, paragraf 6, Pasal 48 sampai dengan pasal 54, dan arti istilah korporasi pada Bab V : Pengertian istilah dalam Pasal 183. Rumusan lengkap mengenai pengaturan tersebut sebagai berikut : Pasal 48 Korporasi merupakan subjek tindak pidana. Pasal 49 Tindak pidana dilakukan oleh korporasi jika dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi yang bertindak untuk dan atas nama korporasi atau demi kepentingan korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain, dalam lingkup usaha korporasi tersebut,baik sendiri-sendiri atau bersama-sama. Pasal 50 Jika tindak pidana dilakukan oleh korporasi, pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya. Pasal 51 Korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu perbuatan yang dilakukan untuk dan/atau atas nama korporasi, jika perbuatan tersebut termasuk dalam lingkup usahanya sebagai mana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan. Pasal 52 Pertanggungjawaban pidana pengurus korporasi dibatasi sepanjang pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi. 180
RUU-KUHP 2015
138
Pasal 53 (1) Dalam mempertimbangkan suatu tuntutan pidana, harus dipertimbang kan apakah bagian hukum lain telah memberikan perlindungan yang lebih berguna daripada menjatuhkan pidana terhadap suatu korporasi. (2) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dinyatakan dalam putusan hakim. Pasal 54 Alasan pemaaf atau alasan pembenar yang dapat diajukan olehpembuat yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi, dapat diajukan oleh korporasi sepanjang alasan tersebut langsung berhubungan dengan perbuatan yang didakwakan kepada korporasi. Pasal 190 Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Naskah RUU-KUHP hanya memberikan penjelasan Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, dan Pasal 52 sebagai berikut: Pasal 47: Berdasarkan ketentuan dalam Pasal ini korporasi telah diterima sebagai subjek hukum pidana, dalam arti dapat dipertanggungjawabkan secara pidana atas perbuatan yang dilakukan. Pasal 48: Kedudukan fungsional diartikan bahwa orang tersebut mempunyai kewenangan mewakili, kewenangan meng- ambil keputusan, dan kewenangan untuk menerapkan pengawasan terhadap korporasi tersebut. Termasuk di sini orangorang tersebut berkedudukan sebagai orang yang menyuruh lakukan, turut serta melakukan, penganjuran, atau pembantuan tidak pidana tersebut. Pasal 50: Mengenai kedudukan sebagai pembuat tindak pidana dan sifat pertanggungjawaban pidana dari korporasi terdapat kemungkinan sebagai berikut: 1. pengurus korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan oleh karena itu penguruslah yang bertanggung jawab; 2. korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan pengurus yang bertanggung jawab; atau 3. korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan juga sebagai yang bertanggung jawab.
139
Oleh karena itu jika suatu tindak pidana dilakukan oleh dan untuk suatu korporasi, maka penuntutannya dapat dilakukan dan pidananya dapat dijatuhkan terhadap korporasi sendiri, atau korporasi dan pengurusnya, atau pengurusnya saja. Pasal 51: Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 50 tanggung jawab korporasi dalam hukum pidana telah diterima sebagai suatu prinsip hukum. Namun korporasi tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana terhadap semua obyek, kecuali jika secara khusus telah ditentukan bahwa perbuatan tersebut masuk dalam lingkungan usahanya. Hal ini harus secara tegas diatur dalam Ang- garan Dasar atau ketentuan lain yang berlaku sebagai Anggaran Dasar dari korporasi yang bersangkutan. Pasal 52: Dalam hukum pidana, penjatuhan pidana selalu harus dipandang sebagai ultimum remedium. Oleh karena itu, dalam menuntut korporasi harus dipertimbangkan apakah bagian hukum lain telah memberikan perlindungan yang lebih berguna dibandingkan dengan tuntutan pidana dan pemidanaan. Jika memang telah ada bagian hukum lain yang mampu memberikan perlindungan yang lebih berguna, maka tuntutan pidana atas korporasi tersebut dapat dikesampingkan. Pengenyampingan tuntutan pidana atas korporasi tersebut harus didasarkan pada motif atau alasan yang jelas. Suatu kemajuan bahwa konseptor RUU KUHP memasukkan korporasi sebagai subyek hukum pidana dan sudah mengatur secara khusus. Namun terdapat beberapa kekurangan dalam pengaturannya.. Pertama, Jika mencermati rumusan pasal dan penjelasannya sebagaimana telah dikemukakan diatas dapat dipahami bahwa RUU KUHP meskipun telah merumuskan korporasi sebagai subyek hukum pidana, namun terdapat kelamahan yaitu tidak memberikan penjelasan terminologi korporasi sebagai suatu entitas. Apakah merupakan badan hukum privat atau bisnis atau badan hukum yang lain. Hal ini sangat penting karena dalam lingkup keberagaman badan hukum sebagai ide dasar pembentukan UU Tindak Pidana Ekonomi yang pertama kali menggunakan istilah korporasi dan beberapa undang-undang pidana diluar KUHP adalah merujuk pada badan hukum usaha. Demikian juga dengan istilah korporasi yang digunakan oleh negara lain adalah menunjuk pada badan usaha yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi. Hal ini sangat penting karena bukan hanya korporasi atau
140
badan usaha saja tetapi bentuk-bentuk badan hukum lain juga dapat melakukan tindak pidana yang mengakibatkan kerugian pada individu, masyarakat dan negara. Kedua, dalam hal pertanggungjawaban pidana RUU KUHP telah mengatur konstruksi pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi dan/atau badan hukum lainnya. Namun perlu adanya ketegasan dan kejelasan konstruksi, mekanisme dan azas pertanggungjawaban pidana mengingat korporasi dan/ atau badan hukum memiliki karakteristik yang berbeda dengan subyek hukum manusia alamiah.
Hal
yang
bisa
ditempuh
yaitu
dengan
mengadopsi
teori
pertanggungjawaban pidana korporasi yang berkembang dinegara-negara lain seperti doktrin identifikasi, vicarious, dan strict liability. Ketiga,
Alasan
pembenar dan pemaaf yang tercantum kandung dalam Pasal 54 RUU-KUHP menyiratkan bahwa konseptor menyetarakan korporasi dan/atau badan hukum lainnya dengan manusia alamiah sedangkan korporasi “tidak memiliki sikap batin”. Dalam hal ini konseptor harus memperhatikan perbedaan mendasar antara korporasi dan/ atau badan hukum dengan manusia alamiah. Keempat, prinsip ultimum remedium yang terkandung dalam Pasal 53 RUU KUHP tidak perlu ada, sebagai alternatif dapat di atur mengenai beberapa jenis sanksi pidana yang dapat diterapkan pada korporasi/ dan atau badan hukum sehingga dapat menjadi pilihan bagi Hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana. Patut dikemukakan bahwa beberapa hal pengaturan diatas masih memerlukan penyempurnaan agar pertanggungjawaban pidana korporasi dan/atau badan hukum dimasa yang akan datang untuk pendayagunaan hukum pidana sebagai sarana pencegahan dan penanggulangan kejahatan korporasi dan/atau badan hukum lainnya dalam rangka menegakkan fungsi pengayoman hukum untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum berdasarkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
141
C. Jenis- jenis Pidana dan Tindakan Terhadap Badan Hukum Dalam sistem penyelenggaraan hukum pidana (Criminal justice System), sanksi pidana menempati posisi sentral. Sebagaimana dikemukakan oleh Muladi karena sanksi pidana menggambarkan nilai-nilai sosial budaya bangsa dan seringkali tidak lepas pula dari format politik bangsa yang bersangkutan. Sanksi harus dipandang sebagai salah satu unsur yang esensial, bila kita melihat hukum sebagai kaidah. Hampir semua juris yang berpandangan dogmatik, memandang hukum sebagai kaidah bersanksi yang didukung oleh otoritas tertinggi di dalam masyarakatnya.181 Secara umum sanksi merupakan alat pemaksa, selain hukuman, juga untuk mentaati hukum yang ditentukan dalam peraturan maupun perjanjian. Sanksi juga diartikan sebagai alat pemaksa sebagai hukuman jika tidak taat kepada perjanjian .182 Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa sanksi merupakan alat kekuasaan yang bersifat hukum publik yang digunakan oleh penguasa sebagai reaksi terhadap ketidakpatuhan pada norma hukum. Dengan demikian unsur-unsur sanksi meliputi: 1)
Sebagai alat kekuasaan;
2)
Bersifat hukum publik;
3)
Digunakan oleh penguasa;
4)
Sebagai reaksi terhadap ketidakpatuhan183
Sanksi merupakan bagian penutup yang penting dalam hukum, dan hampir setiap aturan hukum yang berlaku di Indonesia selalu ada sanksi pada akhir aturan hukum tersebut. Pembebanan sanksi di Indonesia tidak hanya terdapat dalam bentuk undang-undang, tetapi bisa dalam bentuk peraturan lain, seperti keputusan Menteri ataupun bentuk lain di bawah undang-undang.
181
Muladi, Hak Azazi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1997, him. 151; lihat pula Achmad Ali,Menguak Tabir Hukum, (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Chandra Pratama, Jakarta, 1996, him. 62. 182 S.Wojowasito,Kamus Umum Belanda - Indonesia, Ichtiar Baru - Van Hoeve, Jakarta, 1995, him. 560 183 Philipus M. Hadjon,Penegakan Hukum Administrasi dalam Kaitannya dengan ketentuan Pasal 20 Ayat (3) dan (4) UU No. 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup,Yuridika, Fakultas Huklum Universilas Airlangga, No. 1 Tahun XI, lanuari - Februari 1996, him. 1
142
Pencantuman sanksi dalam berbagai aturan hukum tersebut seperti merupakan kewajiban yang harus dicantumkan dalam tiap aturan hukum. Seakan-akan aturan hukum yang bersangkutan tidak bergigi atau tidak dapat ditegakkan atau tidak akan dipatuhi jika pada bagian akhir tidak mencantumkan sanksi. Tidak ada gunanya memberlakukan kaidah-kaidah hukum manakala kaidah-kaidah itu tidak dapat dipaksakan melalui sanksi dan menegakkan kaidah-kaidah dimaksud secara prosedural (hukum acara). 184 Sanksi ini selalu dicantumkan
pada aturan-aturan hukum
yang
dikualifikasikan sebagai aturan hukum yang memaksa. Ketidaktaatan atau pelanggaran terhadap suatu kewajiban yang tertulis dalam aturan hukum mengakibatkan terjadinya ketidakteraturan yang hendak dicegah oleh aturan hukum yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan fungsi sanksi yang dipakai untuk penegakan hukum terhadap ketentuan-ketentuan yang biasanya berisi suatu larangan atau yang mewajibkan.185 Dengan demikian pada sanksi hakekatnya merupakan instrumen yuridis yang biasanya dikenakan apabila kewajiban-kewajiban atau larangan-larangan yang ada dalam ketentuan hukum telah dilanggar.186 , dan dibalik pintu ketentuan pemerintah dan larangan (geen verboden) tersedia sanksi untuk memaksa kepatutan, kepantasan.187 Hakekat sanksi secara umum sebagai suatu paksaan berdasarkan hukum, juga untuk memberikan penyadaran kepada pihak pelanggarnya, bahwa suatu tindakan yang dilakukannya tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, juga untuk menjaga keseimbangan berjalannya suatu aturan hukum.188 Sanksi pidana (punishment) menurut Alf Roos seperti yang pernah dikutip oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief bahwa suatu sanksi harus memenuhi dua syarat dan tujuan di antaranya:
184
Dedi mulyadi, Perbandingan tindak Pidana Pemilu Legislatif Dalam Perspektif Hukum Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2012: hlm 185 185 Philipus M. Hadjon,Pemerintahan Menurut Hukum,Cet. I, Yuridika, Surabaya, 1992, him. 6 186 Tatiek Sri Djatmiati, Tentang Wewenang, Yuridika, Surabaya, 1997, Him. 1 187 Philipus M. Hadjon, Pemerintahan Op Cit, Him. 5 188 Habib Adjie,Sanksi Perdata Administralif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, Cel.I, Refika Aditama, Bandung, 2()08, him. 89-90
143
a. Pidana ditujukan pada pengenaan penderitaan terhadap orang yang bersangkutan; b. Pidana itu merupakan suatu pernyataan pencelaan terhadap perbuatan si pelaku. Dengan demikian sanksi pidana itu selain ditujukan pada pelaku, sekaligus dimaksudkan untuk mencela perbuatan si pelaku. Rudolph J. Gerber dan Patrick D.Mc Anany mempertegas bahwa hukuman (sanksi dalam hukum pidana) selaku menyangkut penderitaan sejauh ia bersifat memaksa yang dialami oleh terpidana karena melakukan perbuatan yang ditentukan (sebagai dilarang) oleh pengadilan dan masyaarakat.189 Demikian juga menurut Ted Honderich yang menegaskan, apapun yang dikatakan sebagai pemidanaan, pertama-tama harus merujuk kepada semacam kehilangan (deprivation) atau kesengsaraan (distress) yang biasanya secara wajar dirumuskan sebagai sasaran dari tindakan hukuman.190 Hal ini sejalan dengan pembahasan tentang sanksi pidana terhadap badan hukum maka berikut ini akan dikemukakan mengenai jenis-jenis sanksi pidana dalam beberapa undang-undang sebagai berikut :
1. Jenis Sanksi Pidana dan Tindakan dalam Undang-undang Pidana Diluar KUHP Sejalan dengan pengaturan pertanggungjawaban pidana terhadap badan hukum dalam sub bab sebelumnya, berikut ini dikemukakan pengaturan tentang jenis sanksi pidana dan tindakan terhadap Badan Hukum dalam Undang-undang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang
Tindak
Pidana
Pencucian
Uang,
dan
Undang-undang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
189
Rudolph J. Gerber and Patrick D. McAnany, The Philosophy of Punishment, dalam ' The Soc iology of Punishment & Correction', John Wiley and Sonc, Inc., New York, 1970, Him. 361 190 Ted Honderich, Punishment : The Supppsed lustification, revised edition Penguin Books, Harmondsworth, 1976, him. 2
144
a. Jenis Sanksi Pidana dan Tindakan Terhadap Badan Hukum Dalam Undang-undang Tindak Pidana Ekonomi. Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi mengatur sanksi pidana penjara dan denda untuk person alamiah, sedangkan terhadap korporasi dikategorikan dalam hukuman tambahan dan tindakan tata tertib yang dirumuskan dalam Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 8 dengan rumusan redaksi sebagai berikut: Pasal 7: (1) Hukuman tambahan adalah: a. pencabutan hak-hak tersebut dalam pasal 35 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana untuk waktu sekurang-kurangnya enam bulan dan selama-lamanya enam tahun lebih lama dari hukuman kawalan atau dalam hal dijatuhkan hukuman denda sekurang-kurangnya enam bulan dan selama-lamanya enam tahun; b. penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan si terhukum, di mana tindak pidana ekonomi dilakukan, untuk waktu selamalamanya satu tahun; c. perampasan barang-barang tak tetap yang berwujud dan yang tak berwujud, dengan mana atau mengenai mana tindak pidana ekonomi itu dilakukan, atau yang seluruhnya atau sebagian diperolehnva dengan tindak pidana ekonomi itu, begitu pula hargalawan barang-barang itu yang menggantikan barang-barang itu, tak peduli apakah barang-barang atau harga-lawan itu kepunyaan si terhukum atau bukan; d. perampasan barang-barang tak tetap yang berwujud dan yang tak berwujud, yang termasuk perusahaan si terhukum, di mana tindak pidana ekonomi itu dilakukan, begitu pula harga lawan barangbarang itu yang menggantikan barang- barang itu, tak perduli apakah barang atau harga lawan itu kepunyaan si terhukum atau bukan, akan tetapi hanya sekadar barang-barang itu sejenis dan, mengenai tindak pidananya, bersangkutan dengan barang-barang yang dapat dirampas menurut ketentuan tersebut sub c di atas; e. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan kepada si terhukum oleh Pemerintah berhubung dengan perusahaannya, untuk waktu selama-lamanya dua tahun; f. pengumuman putusan hakim. Pasal 8: Tindakan Tata Tertib ialah: a. penempatan perusahaan siterhukum, dimana dilakukan suatu tindak pidana ekonomi di bawah pengam- puan untuk waktu selama-lamanya tiga tahun dalam hal tindak pidana ekonomi itu adalah kejahatan dan dalam hal tindak pidana ekonomi itu adalah pelang- garan untuk waktu
145
selama-lamanya dua tahun. b. Mewajibkan pembayaran uang jaminan sebanyak- banyaknya seratus ribu rupiah dan untuk waktu selama-lamanya tiga tahun dalam hal tindak pidana ekonomi adalah kejahatan; dalam hal tindak-pidana ekonomi adalah pelanggaran maka uang-jaminan itu adalah sebanyakbanyaknya lima puluh ribu rupiah untuk waktu selama-lamanya oleh si terhukum. c. Mewajibkan membayar sejumlah uang sebagai pencabutan keuntungan menurut taksiran yang diperoleh dari suatu tindak pidana atau dari tindak pidana-tindak pidana semacam itu, dalam hal cukup buktibukti, bahwa tindak pidana itu dilakukan oleh si terhukum. d. Mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak, meniadakan apa yang dilakukan tanpa hak, dan melakukan jasa-jasa untuk memperbaiki akibat- akibat satu sama lain, semua atas biaya siterhukum sekedar hakim tidak menentukan lain. Mencermati sanksi hukuman tambahan dan tindakan tata- tertib yang dirumuskan Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 8 Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi, sesungguhnya merupakan bentuk pidana tambahan yang diatur dalam Pasal 10 KUHP, yakni pencabutan hak- hak tertentu, perampasan barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim. Dengan demikian, sangat wajar jika KUHP di masa datang mengatur secara khusus mengenai sanksi pidana dan tindakan terhadap badan hukum.
b. Jenis Sanksi Pidana dan Tindakan Terhadap Badan Hukum dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jika suatu korporasi terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi, maka pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana tambahan dan denda yang diatur dalam Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (7) dan bunyi redaksi sebagai berikut: Pasal 20 ayat (7): Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada korporasi hanya pidana dengan denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu pertiga). Pasal 18 ayat (1): Selain pidana tambahan dimaksud dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana sebagai pidana tambahan adalah:
146
a. perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan dan diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana tempat tindak pidana korupsi dilakukan, begitupun harga barang yang menggantikan barang tersebut; b. pembayaran uang pengganti yang jumlah sebanyak- banyaknya dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi; c. penutupan usaha atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun; d. pencabutan seluruh atau sebagain hak-hak tertentu atau penghapusan sebagian keuntungan tertentu,yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana. Dalam Penjelasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diterangkan yang dimaksud "penutupan usaha atau sebagian perusahaan" adalah pencabutan izin usaha atau penghentian sementara waktu sesuai dengan putusan pengadilan. Berdasarkan rumusan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, selain empat bentuk pidana tambahan yang tersebut pada butir a, b, c, dan d di atas, terhadap korporasi berlaku pula pidana tambahan yang diatur dalam Pasal 10 KUHP, yakni "pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang- barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim." c. Jenis Sanksi Pidana dan Tindakan Terhadap Korporasi Dalam UndangUndang Tindak Pidana Pencucian Uang. Jika korporasi melakukan tindak pidana pencucian uang, maka terhadap korporasi dapat dijatuhi tanggung jawab pidana berdasarkan Pasal 5 UndangUndang Tindak Pidana Pencucian Uang Tahun 2003 dengan bunyi rumusan: (1) Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap korporasi adalah pidana denda, dengan ketentuan maksimum pidana denda ditambah 1/3 (satu per tiga). (2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terhadap korporasi juga dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha dan/atau pembubaran korporasi yang diikuti dengan likuidasi.
147
Ketentuan sanksi pidana korporasi di atas diganti melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 122) yang mengatur jenis sanksi pidana korporasi dalam Pasal 7 dan Pasal 9 dengan rumusan redaksi sebagai berikut: Pasal 7: (1)
Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap Korporasi adalah pidana denda paling banyak Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah). (2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap Korporasi juga dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa: a. pengumuman putusan hakim; b. pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha Korporasi; c. pencabutan izin usaha; d. pembubaran dan/atau pelarangan Korporasi; e. perampasan aset Korporasi untuk negara; dan/atau f. pengambilalihan Korporasi oleh negara. Pasal 9: (1) Dalam hal Korporasi tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), pidana denda tersebut diganti dengan perampasan Harta Kekayaan milik Korporasi atau Personil Pengendali Korporasi yang nilainya sama dengan putusan pidana denda yang dijatuhkan. (2) Dalam hal penjualan Harta Kekayaan milik Korporasi yang dirampas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)tidak mencukupi, pidana kurungan pengganti denda dijatuhkan terhadap Personil Pengendali Korporasi dengan memperhitungkan denda yang telah dibayar. Berdasarkan ketentuan sanksi pidana dalam Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencudan l/iang, korporasi dapat dijatuhi sanksi kumulatif, yakni sanksi pidana pokok berupa denda dan pidana tambahan. Dalam hal korporasi tidak membayar denda yang dijatuhkan, maka pengurus korporasi dijatuhkan pidana kurungan pengganti denda. d. Jenis sanksi pidana dan tindakan terhadap korporasi dalam UndangUndang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Apabila korporasi melakukan tindak pidana perdagangan orang, maka korporasi dapat dijatuhi pidana pokok berupa denda pemberatan tiga kali dan 148
dikenakan pidana tambahan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Pasal 15 dengan bunyi rumusan redaksi sebagai berikut: Ayat (1) Dalam hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh suatu korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6. Ayat (2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa: a. pencabutan izin usaha; b. perampasan kekayaan hasil tindak pidana, c. pencabutan status badan hukum; d. pemecatan pengurus; dan/atau e.pelarangan kepada pengurus tersebut untuk mendirikan korporasi dalam bidang usaha yang sama. Berdasarkan rumusan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Pemberantasa, Tindak Pidana Perdagangan Orang, jumlah pidana denda yang dijatuhkan terhadap korporasi paling sedikit Rp. 360.000.000,00 (tiga atus enam puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.800.000.000,00 (satu miliyar delapan ratus juta rupiah). Untuk lebih mempermudah dalam membandingkan mengenai jenis sanksi pidana dalam undang-undang pidana diluar KUHP, uraian sebagaimana telah dikemukakan diatas di sajikan dalam bentuk tabel sebagai berikut :
149
Tabel 11: Pengaturan pertanggungjawaban Korporasi dan Jenis Sanksi Korporasi dalam UU Di Luar KUHP NO
Undang-undang
Rumusan Pidana Pokok
1
Undang-undang Nomor 7 Drt.Tahun 1955 Tentang Pengusustan, Penuntutan dan Peradilan tindak Pidana Ekonomi
Pasal 15 ayat (1): Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau suatu yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu, baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan tindakpidana ekonomi itu atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu, maupun terhadap kedua-duanya. Pasal 15 ayat (2): Suatu tindak pidana ekonomi dilakukan juga oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau suatu yayasan, jika tindakan itu dilakukan oleh orang-orang
Denda Pasal 6 ayat 1 dan 2
150
Sanksi Pidana Pidana Tindakan Tata Tambahan Tertib Pasal 7 ayat (1) a. Penutupan seluruhnya atau sebaagian perusahaansi terhukum selama lamanya 1 tahun. b. Perampasan barang barang tak tetap yang berwujud dan tak bereujud c. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu d. Pengumuman putusan Hakim .
Pasal 8 a. Penempatan perusahaan di bawah pengampuan b. Pembayaran uang harian seratus ribu rupiah c. Pembayaran sejumlah uang sebagai pencabutan keuntungan menurut taksiran d. Mewajibkan mengerjakan yang dilalaikan tanpa hak ; meniadakan yang dilakukan tanpa hak ; memperbaiki kerusakankerusakan satu sama lain atas biaya si terhukum .
Administrasi
yang, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu, tak perduli apakah orangorang itu masing-masing tersendiri melakukan tindak pidana ekonomi itu atau pada mereka bersama ada anasiranasir tindak pidana tersebut. 2
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo.Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang N0. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi
Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2): (1) Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya. (2) Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang- orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.
Pasal 20 Ayat 7 : Pidana denda dengan pemberatan 1/3 (satu pertiga)
151
Pasal 18 Ayat (1) 1.Perasmpasan barang bergerak yang berwujud atau tidak berwujud atau barang tidak bergerak 2. Pembayaran uang pengganti dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi 3.Penutupan usaha atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun. 4. Pencabutan
seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan sebagian keuntungan tertentu 3
Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
Pasal 4 ayat (1): Apabila tindak pidana dilakukan oleh pengurus dan/atau kuasa pengurus atas nama korporasi, maka penjatuhan pidana dilakukan baik terhadap pengurus dan/atau kuasa pengurus maupun terhadap korporasi.
Pasal 5 Ayat (1) : Pidana denda maksimum ditambah 1/3 (satu per tiga)
1. Pencabutan izin usaha 2. Pembubaran korporasi yang diikuti dengan likuidasi, atau 3. Pencabutan izin usaha dan pembubaran korporasi yang diikuti dengan likuidasi
Pasal 5 Ayat (1) : Pidana denda dengan pemberatan ditambah 1/3 (satu per tiga)
Pasal 5 Ayat (2) 1. Pencabutan izin usaha ; 2. Perampasan kekayaan hasil tindak pidana; 3. Pencabutan status badan hukum
Pasal 4 Ayat (2): Pertanggungjawaban pidana bagi pengurus korporasi dibatasi sepanjang pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi. 4
Undang-undang No. 21 Tahun 2007Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Pasal 13: (1)Tindak pidana perdagangan orang dianggap dilakukan oleh korporasi apabila tidak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang yang bertindak untuk dan/atau
152
atas nama korporasi atau untuk kepentingan korporasi, baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama. (2) Dalam hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh suatu korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka Penyidikan, Penuntut an, dan Pemidanaan dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.
4. Pemecatan pengurus, dan /atau 5. Pelarangan pengurus mendirikan korporasi dalam bidang usaha yang sama.
153
b. Jenis Sanksi Pidana dan Tindakan Dalam RUU- KUHP Jenis sanksi pidana dan tindakan terhadap korporasi dalam RUU-KUHP 2015 terdapat dalam Bagian kedua paragrap 1 Pasal 66 sampai Pasal 68. Sebagai konsep KUHP di masa datang RUU-KUHP tidak mengatur secara khusus dalam Pasal tersendiri sanksi pidana dan tindakan terhadap korporasi, tetapi disatukan dalam jenis pidana dan tindakan terhadap manusia alamiah, sebagai berikut : Pasal 66 191 Ayat (1) Pidana pokok terdiri atas: a. pidana penjara; b. pidana tutupan; c. pidana pengawasan; d. pidana denda; dan e. pidana kerja sosial. Ayat (2) Urutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menentukan berat ringannya pidana. Berdasarkan rumusan pasal diatas dapat diketahui bahwa : 1.
Sanksi pidana denda satu-satunya pidana pokok yang dapat diterapkan terhadap korporasi dan/ atau badan hukum yang disatukan dalam pidana denda terhadap manusia alamiah. Pengaturan mengenai pidana denda secara khusus dirumuskan dalam Pasal 82 RUU-KUHP 2015 adalah sebagai berikut: (1) Pidana denda merupakan pidana berupa sejumlah uang yang wajib dibayar oleh terpidana berdasarkan putusan pengadilan. (2) Jika tidak ditentukan minimum khusus maka pidana denda paling sedikit Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah). (3) Pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan kategori, yaitu: a. kategori I Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah); b. kategori II Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah); c. kategori III Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah); d. kategori IV Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah); e. kategori V Rp1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah); dan f. kategori VI Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah). (4) Pidana denda paling banyak untuk korporasi adalah kategori lebih tinggi berikutnya, kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang. (5) Pidana denda paling banyak untuk korporasi yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan:
191
RUU-KUHP 2015, Buku I Ketentuan Umum, hlm. 18
154
a. pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun adalah pidana denda Kategori V; b. pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun adalah pidana denda Kategori VI. (6) Pidana denda paling sedikit untuk korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) adalah pidana denda Kategori IV kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang. (7) Dalam hal terjadi perubahan nilai uang, ketentuan besarnya pidana denda ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah..192 Penjelasan Pasal 82 RUU-KUHP: Ayat (1): Pidana denda sebagai salah satu sarana dalam politik kriminal tidak kalah efektif dengan jenis pidana lainnya, oleh karena itu dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini jenis pidana denda tetap dipertahankan. Ayat (2): Dalam menentukan satuan terkecil pidana denda sebagaimana ditentukan pada ayat ini dipergunakan jumlah besarnya "upah maksimum harian". Ayat (3): Dalam ketentuan ayat ini, pidana denda dirumuskan secara kategoris. Perumusan secara kategoris ini dimaksudkan agar: a. diperoleh pola yang jelas tentang maksimum denda yang dicantumkan untuk berbagai tindak pidana; dan b. lebih mudah melakukan penyesuaian, apabila terjadi perubahan ekonomi dan moneter. Maksimum kategori pidana denda yang teringan (kategori I) adalah kelipatan 100 (seratus) kali jumlah pidana denda sebagaimana ditentukan pada ayat (2), sedangkan maksimum kategori pidana denda yang terberat (kategori VI) adalah kelipatan 200.000 (dua ratus ribu) kali. Kategori lainnya (II, III, IV, dan V) berturut-turut merupakan kelipatan 500 (lima ratus) kali, 2000 (dua ribu), 5000 (lima ribu), dan 20.000 (duapuluh ribu) kali jumlah pidana denda sebagaimana ditentukan dalam ayat (2). Ayat (4): Mengingat pidana pokok yang dapat dijatuhkan pada korporasi hanya pidana denda, maka wajar apabila ancaman maksimum pidana denda yang dijatuhkan pada korporasi lebih berat daripada ancaman pidana denda terhadap orang perseorangan. Untuk itu telah dipilih cara menentukan maksimum pidana denda bagi korporasi yang melakukan tindak pidana yaitu kategori lebih tinggi berikutnya. 192
RUU-KUHP 2015, Buku I Ketentuan Umum, hlm. 24.
155
Ayat (5): Dalam hal rumusan tindak pidana dalam suatu peraturan perundang-undangan tidak mencantumkan ancaman pidana denda terhadap korporasi, maka berlaku ketentuan pada ayat ini, dengan minimum pidana denda sebagaimana ditentukan pada ayat (6)193 2. Sanksi pidana tambahan yang diusulkan dalam Naskah RUU-KUHP 2015 untuk korporasi diatur dalam Pasal 68 dengan redaksi sebagai berikut:194 Ayat (1) Pidana tambahan terdiri atas: a. pencabutan hak tertentu; b. perampasan barang tertentu dan/atau tagihan; c. pengumuman putusan hakim; d. pembayaran ganti kerugian; dan e. pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat. Ayat (2) Pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri sendiri atau dapat dijatuhkanbersama-sama dengan pidana tambahan yang lain. Ayat (3) Pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempatatau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakatatau pencabutan hak yang diperoleh korporasi dapat dijatuhkanwalaupun tidak tercantum dalam perumusan tindak pidana. Ayat (4) Pidana tambahan untuk percobaan dan pembantuan adalah samadengan pidana tambahan untuk tindak pidananya. Ayat (5) Anggota Tentara Nasional Indonesia yang melakukan tindak pidanadapat dikenakan pidana tambahan sebagaimana diatur dalamperaturan perundangundangan bagi Tentara Nasional Indonesia. Ayat (6) Pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat atau pencabutan hak yang diperoleh korporasi dapat dijatuhkan walaupun tidak tercantum dalam rumusan tindak pidana.
193
Ibid.hlm. 219 Ibid. hlm. 18
194
156
Penjelasan 68 Ayat (1) RUU-KUHP: Pidana tambahan dimaksudkan untuk menambahkan pidana pokok yang dijatuhkan dan pada dasarnya bersifat fakultatif. Pidana tambahan harus dicantumkan secara jelas dalam rumusan tindak pidana yang bersangkutan, sehingga hakim dapat mempertimbangkan untuk dikenakan terhadap terpidana. Pidana tambahan yang berupa pencabutan hak tertentu. apabila terpidananva adalah korporasi dalam keadaan tertentu mempunvai efek penanqkalan yang lebih efektif. Karena itu hakim dapat mengenakan pidana pencabutan hak yang dimiliki suatu korporasi meskipun dalam rumusan pidana ancaman tersebut tidak dicantumkan. Begitu pula pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat, hakim bebas untuk mempertimbangkan apakah akan menjatuhkan pidana tambahan ini, meskipun tidak tercantum sebagai ancaman dalam rumusan tindak pidana. Pemenuhan kewajiban adat yang dijatuhkan oleh hakim diharapkan dapat mengembalikan keseimbangan dalam masyarakat yang terganggu karena dilakukannya suatu tindak pidana.195 Berdasarkan Pasal 82
ayat (4) RUU-KUHP, konseptor Naskah
berpendirian bahwa pidana denda merupakan satu- satunya pidana pokok yang dapat diterapkan terhadap korporasi. Oleh karena denda merupakan bentuk sanksi yang mewajibkan korporasi membayar sejumlah uang kepada negara, maka dapat dikemukakan bahwa konseptor RUU- KUHP mengutamakan kepentingan negara sebagai korban tindak pidana korporasi dan/ atau badan hukum lainnya, sehingga kepentingan masyarakat yang menjadi korban kejahatan korporasi dan/ atau badan hukum lainnya terabaikan. RUU-KUHP hanya merumuskan pidana pokok berupa denda, sehingga tidak ada altematif sanksi pidana pokok lainnya yang dapat menjadi pilihan bagi hakim dalam menerapkan sanksi pidana yang bertujuan untuk memulihkan keseimbangan masyarakat yang terganggu karena tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dan/atau badan hukum lainnya. Dengan demikian dalam disertasi ini, penulis mengajukan
usulan berupa sanksi pidana dan tindakan terhadap
korporasi dengan menggunakan paradigma penyetaraan sanksi pidana dan tindakan terhadap subjek hukum alamiah menjadi sanksi pidana dan tindak terhadap korporasi dan/ atau badan hukum lainnya sebagai recht person. Pengajuan usul sanksi pidana dan tindakan terhadap korporasi akan kemukakan 195
Ibid., Penjelasan, hlm.
157
dalam bahasan tentang formulasi tanggung jawab terhadap korporasi dan/ atau badan hukum lainnya sebagai subjek hukum dalam hukum pidana di masa datang.
Tabel 12. Jenis Sanksi Pidana Badan Hukum dan/ Korporasi dalam RUU KUHP No
Undangundang RUU KUHP 2015
Jenis Sanksi Pidana Pokok Denda Pasal 66 ayat 1 huruf d Pasal 68
Pidana Tambahan
Tindakan
Pasal 68 (1) Pidana tambahan terdiri atas: a. pencabutan hak tertentu; b. perampasan barang tertentu dan/atau tagihan; c. pengumuman putusan hakim; d. pembayaran ganti kerugian; dan e. pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat.
-
(2) Pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan bersamasama dengan pidana tambahan yang lain.. (4) Pidana tambahan untuk percobaan dan pembantuan adalah sama dengan pidana tambahan untuk tindak pidananya.
158
------------
D. Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Badan Hukum Dalam Undang-undang Partai Politik Perkembangan Formulasi Pertanggungjawaban Pidana Partai Politik dalam sejarah Undang-undang Partai Politik di Indonesia dapat diketahui bahwa UU No.31 Tahun 1999 dan UU No. 2 Tahun 2008 yang mencantumkan mengenai pertanggungjawaban pidana dan sanksi pidana. Namun demikian dalam pengaturan tersebut pertanggungjawaban pidana hanyalah kenakan pada pengurus partai politik yaitu berupa pidana penjara dan denda sebagaimana yang di maksud dalam Pasal 48 Ayat (4) dan ayat (5) UU No. 2 Tahun 2011, untuk partai politik dikenakan sanksi berupa perampasan aset. Hampir semua sanksi sebagai bentuk pertanggungjawaban atas pelanggaran perbuatan yang di maksud dalam UU Partai politik adalah sanksi administratif berupa penolakan pendaftaran parpol, teguran pemerintah, pembekuan sementara dan pembubaran parpol. Pengaturan mengenai sanksi pidana terhadap korporasi dalam Undangundang partai Politik berkaitan dengan badan usaha yang memberi sumbangan kepada Partai Politik melebihi ketentuan, sebaliknya tidak ada sanksi bagi Parpol yang menerima bantuan melebihi ketentuan. Sanksi Pidana hanya diterapkan terhadap pengurus Parpol yaitu berupa sanksi pidana penjara dan denda. Ketentuan tersebut terdapat dalam rumusan pasal 48 Ayat (4) dan (5) sebagai berikut: Ayat (4) Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) huruf a, pengurus Partai Politik yang bersangkutan dipidana dengan pidanapenjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda 2 (dua) kali lipat dari jumlah dana yangditerimanya. Ayat (5) Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal40 ayat (3) huruf b, huruf c, dan huruf d, pengurus Partai Politik yang bersangkutan dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda 2 (dua) kali lipatdari jumlah dana yang diterimanya. Berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana dari rumusan Pasal diatas dipahami beberapa hal sebagai berikut : a. Pengurus Partai Politik yang melanggar ketentuan Pasal 40 ayat (3) huruf a
159
yaitu mengenai larangan Partai Politik menerima atau memberikan kepada pihak asing sumbangan dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan maka akan diterapkan sanksi pidana penjara maksimal dua tahun dan denda dua kali lipat dari jumlah dana yang diterimanya sebagaimana yang dirumuskan Pasal 48 ayat (4). b. Terhadap pengurus Partai Politik yang melanggar ketentuan Pasal 40 ayat (3) huruf b yaitu menerima sumbangan dalam bentuk apapun tanpa identitas yang jelas, huruf c yaitu menerima sumbangan melebihi ketentuan, dam huruf d meminta atau menerima dana dari BUMN/ BUMD/BUMDes akan diterapkan sanksi berupa pidana penjara maksimal satu tahun dan denda dua kali lipat jumlah dana yang diterimanya sebagaimana dirumuskan Pasal 48 ayat (5) c. Pengurus Partai Politik yang mcnerima sumbangan dari perseorangan dan/atau badan usaha yang melebihi ketentuan Pasal 35 ayat (1) huruf b dan huruf c dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun dan denda dua kali lipat jumlah dana yang diterima (Pasal 49 ayat (2)); sedangkan sumbangan yang diterima Partai Politik dari perseorangan/perusahaan yang melebih ketentuan disita untuk negara. (Pasal 49 ayat (3)). Berdasarkan pengaturan mengenai sanksi pidana yang termuat dalam UU Partai Politik, dapat dipahami bahwa : 1). UU Parpol menekankan bahwa tindak pidana yang berkaitan dengan Parpol secara implisit adalah masalah pendanaan partai politik 2). UU parpol hanya membebankan pertanggungjawaban pidana terhadap pengurusnya jika Parpol menerima sumbangan melebihi yang telah ditetapkan oleh undang-undang . Sementara Parpol yang menerima keuntungan atas sumbangan dana tersebut sama sekali tidak tersentuh, sebagaimana kita pahami bahwa pengurus suatu badan hukum merupakan organ yang menjalankan badan hukum tersebut. Sikap batin pengurus dalam rangka menjalankan aktivitas suatu badan hukum sesuai sepanjang sesuai dengan fungsi dan kewenangannya dan tidak bertentangan dengan AD/ART dapat direpresentasikan sebagai sikap batin badan hukum. Parpol identik dengan pengurusnya, pengurus atau
160
elit Parpol adalah mesin uang Parpol. Adalah rasional jika pengurus menerima sumbangan melebihi yang telah ditetapkan dan pihak yang dilarang oleh undang-undang maka Parpol juga harus dikenakan pertanggungjawaban pidana. 3). Sebagai subyek hukum yang dipersamakan dengan manusia dan memiliki hak serta kewajiban maka Parpol juga dapat melakukan perbuatan hukum dan dapat pula melanggar hukum. Berkaitan dengan kapan , dalam hal apa, dan bagaimana Parpol dikatakan melakukan tidak pidana dan dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana harus diatur secara tegas dalam UU Parpol. Hal tersebut sangat penting mengingat fungsi dan tujuan akhir dari Parpol adalah untuk memperoleh kekuasaan maka dalam proses-proses politik Parpol harus tunduk dan mentaati peraturan perundang-undangan yang ada. Produk Parpol adalah kekuasaan, melalui organnya yang menduduki kekuasaan di eksekutif dan legislatif, Parpol dapat memasuki , bahkan mengintervensi dan mengendalikan berbagai kebijakan, keputusan aparatur negara yang dapat berakibat menimbulkan kerugian negara. Menjadi sangat urgen dalam UU Parpol untuk merumuskan pertanggungjawaban pidana terhadap Parpol dalam rangka menegakkan fungsi pengayoman hukum yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum berdasarkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia Pengaturan mengenai sanksi pidana terhadap badan hukum d an/ atau korporasi dalam Undang-undang partai Politik berkaitan dengan badan usaha yang memberi sumbangan kepada Partai Politik melebihi ketentuan, sebaliknya tidak ada sanksi bagi Parpol yang menerima bantuan melebihi ketentuan. Sanksi Pidana hanya diterapkan terhadap pengurus Parpol yaitu berupa sanksi pidana penjara dan denda. Ketentuan tersebut terdapat dalam rumusan pasal 48 Ayat (4) dan (5) sebagai berikut: Ayat (4) Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal40 ayat (3) huruf a, pengurus Partai Politik yang bersangkutan dipidana dengan pidana penjara
161
paling lama 2 (dua) tahun dan denda 2 (dua) kali lipat dari jumlah dana yang diterimanya. Ayat (5) Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal40 ayat (3) huruf b, huruf c, dan huruf d, pengurus Partai Politik yang bersangkutan dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda 2 (dua) kali lipat dari jumlah dana yang diterimanya. Berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana dari rumusan Pasal diatas dipahami beberapa hal sebagai berikut : a. Pengurus Partai Politik yang melanggar ketentuan Pasal 40 ayat (3) huruf a yaitu mengenai larangan Partai Politik menerima atau memberikan kepada pihak asing sumbangan dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan maka akan diterapkan sanksi pidana penjara maksimal dua tahun dan denda dua kali lipat dari jumlah dana yang diterimanya sebagaimana yang dirumuskan Pasal 48 ayat (4). b. Terhadap pengurus Partai Politik yang melanggar ketentuan Pasal 40 ayat (3) huruf b yaitu menerima sumbangan dalam bentuk apapun tanpa identitas yang jelas, huruf c yaitu menerima sumbangan melebihi ketentuan, dam huruf d meminta atau menerima dana dari BUMN/ BUMD/BUMDes akan diterapkan sanksi berupa pidana penjara maksimal satu tahun dan denda dua kali lipat jumlah dana yang diterimanya sebagaimana dirumuskan Pasal 48 ayat (5) c. Pengurus Partai Politik yang mcnerima sumbangan dari perseorangan dan/atau badan usaha yang melebihi ketentuan Pasal 35 ayat (1) huruf b dan huruf c dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun dan denda dua kali lipat jumlah dana yang diterima (Pasal 49 ayat (2)); sedangkan sumbangan yang diterima Partai Politik dari perseorangan/perusahaan yang melebih ketentuan disita untuk negara. (Pasal 49 ayat (3)). Berdasarkan pengaturan mengenai sanksi pidana yang termuat dalam UU Partai Politik, dapat dipahami bahwa : 1). UU Parpol menekankan bahwa tindak pidana yang berkaitan dengan Parpol tersirat adalah masalah pendanaan partai politik
162
2). UU parpol hanya membebankan pertanggungjawaban pidana terhadap pengurusnya jika Parpol menerima sumbangan melebihi yang telah ditetapkan oleh undang-undang . Sementara Parpol yang menerima keuntungan atas sumbangan dana tersebut sama sekali tidak tersentuh, sebagaimana kita pahami bahwa pengurus suatu badan hukum merupakan organ yang menjalankan badan hukum tersebut. Sikap batin pengurus dalam rangka menjalankan aktivitas suatu badan hukum sesuai sepanjang sesuai dengan fungsi dan kewenangannya dan tidak bertentangan dengan AD/ART dapat direpresentasikan sebagai sikap batin badan hukum. Parpol identik dengan pengurusnya, pengurus atau elit Parpol adalah mesin uang Parpol. Adalah rasional jika pengurus menerima sumbangan melebihi yang telah ditetapkan dan pihak yang dilarang oleh undang-undang maka Parpol juga harus dikenakan pertanggungjawaban pidana. 3). Sebagai subyek hukum yang dipersamakan dengan manusia dan memiliki hak serta kewajiban maka Parpol juga dapat melakukan perbuatan hukum dan dapat pula melanggar hukum. Berkaitan dengan kapan , dalam hal apa, dan bagaimana Parpol dikatakan melakukan tidak pidana dan dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana harus diatur secara tegas dalam UU Parpol. Hal tersebut sangat penting mengingat fungsi dan tujuan akhir dari Parpol adalah untuk memperoleh kekuasaan maka dalam proses-proses politik Parpol harus tunduk dan mentaati peraturan perundang-undangan yang ada. Produk Parpol adalah kekuasaan, melalui organnya yang menduduki kekuasaan di eksekutif dan legislatif, Parpol dapat memasuki , bahkan mengintervensi dan mengendalikan berbagai kebijakan, keputusan aparatur negara yang dapat berakibat menimbulkan kerugian negara. Dalam upaya penangulangan kejahatan maka menjadi penting untuk merumuskan pertanggungjawaban pidana terhadap Parpol dalam rangka menegakkan fungsi pengayoman hukum yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
163
memajukan kesejahteraan umum berdasarkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
E Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana dan Jenis Sanksi Pidana dan Tindakan terhadap Badan Hukum Di Negara Lain Negara-negara Eropa seperti Perancis dan Neteherland yang semula menganut universitas delinquere non potest, saat ini telah menerima pertanggungjawaban pidana korporasi dalam hukum pidana dengan konsep pelaku fungsional. Berikut dikemukakan pengaturan pertanggungjawaban pidana dan jenis sanksi pidana dan tindakan terhadap badan hukum di negara Netherland, Perancis, Australia. 1. Pengaturan Mengenai Pertanggungjawaban Pidana terhadap Badan Hukum a. KUHP Netherland Netherland menetapkan tanggung jawab pidana secara umum dalam WvS berdasarkan Undang-Undang tanggal 23 Juni 1976, Stb. 377 yang disahkan 1 September 1976.238 Undang- undang ini mengganti rumusan Pasal 51 WvS lama dengan rumusan baru dengan redaksi: 1. Strafbare feiten kunnen worden begaan door natuurlijke personen en rechtspersonen. 2. Indien een strafbaar feit wordt begaan door een k&n do strufvervolging worden ingesteld en kunnen de in de wet voorziene straffenen maatregelen, indien zij daarvoor in aanmerking komen, worden uitgesproken: a. tegen die rechtspersoon, dan wel b. tegen hen die tot het feit opdracht hebben gegeven, alsmede tegen hen die feitelijke leiding hebben gegeven aan de verboden gedraging, dan wel c. tegen de onder a en b genoemden te zamen. 3. Voor de toepassing van de vorige leden wordt met de rechtspersoon gelijkgesteld: de venootschap zonder rechtspersoonlijkheid, de maatschap, de rederij en het doelvermogen.239 238
J.M van Bemmelen, Hukum Pidana 1: Hukum Pidana Material Bagian Umum, Bandung:Binacipta, 1987, him. 236. 239 Lex Mundi. Business Crimes and Compliance Criminal Liability of Companies Survey, Februari 2008, p. 245. www.lexmundi.com/images/lexmundi/PDF/com/../Criminal Liability Survev.pdf. diakses 24 Agustus 2015 pukul 16.34 WIB
164
Terjemahan : 1. Tindak pidana dapat dilakukan oleh badan alamiah dan badan hukum; 2. Apabila suatu tindak pidana dilaksanakan oleh badan hukum, dapat dilakukan tuntutan pidana, dan jika dianggap perlu dapat dijatuhkan pidana dan tindak-tindakan yang tercantum dalam undang- undang, terhadap: a. badan hukum atau b.Terhadap mereka yang memerintahkan melakukan perbuatan itu, demikian pula terhadap mereka yang bertindak sebagai pemimpin melakukan tindakan yang dilarang itu, atau c. Terhadap yang disebutkan di dalam a dan b bersama-sama. 3. Bagi pemakaian ayat selebihnya disamakan dengan badan hukum perseroan tanpa hak badan hukum, perserikatan dan yayasan.240 Persoalan dapat terjadi berkaitan dengan penerapan Pasal 51 Ayat (2) KUHP Netherland, yaitu: kapan suatu korporasi dapat dinyatakan telah melakukan suatu tindak pidana?241 Jika tidak ada kriteria mengenai badan hukum melakukan tindak pidana, maka tidak mungkin melakukan tuntutan pidana terhadap badan hukum, dan dengan sendirinya tidak mungkin menjatuhkan pidana dan tindakan tertentu terhadap badan hukum. Hali ini dikritisi oleh Bemmelen karena merupakan hal yang sangat urgen untuk dipecahkan, badan hukum melakukan perbuatan melalui manusia alamiah sebagai organnya. Perlunya ketegasan “kriteria badan hukum melakukan tindak pidana” didasarkan pada pertimbangan dan alasan bahwa operasional korporasi dalam menjalankan usahanya memiliki unsur yang berbeda. Misalnya, dalam manajemen korporasi terdapat beberapa unsur, antara lain work flow chart yang menjelaskan who to do; job description yang menjelaskan what to do; operation guide yang menjelaskan how to do.242 Melalui pendekatan itu, dapat dirumuskan batasan kriteria "kapan dan melalui siapa suatu korporasi melakukan tindak pidana."
240
J.M van Bemmelen, Op. Cit., hlm. 236 Ibid 242 Mochtar Riady, Filsafat Kumo dan Manajement Modern, Buana Ilmu, Jakarta, 2008, 241
hlm. 6
165
Maglie mengkritisi mekanisme tanggung jawab pidana korporasi dalam Pasal 51 KUHP Netherland, dikatakannya bahwa 'The respondeat superior theory also is adopted, with insignificant variations, by the Australian Criminal Code, the Dutch Penal Code, and the Danish Penal Code243Artinya, teori majikan bertanggung jawab (respondeat superior) juga diadopsi oleh hukum pidana Australia, hukum pidana Netherland, dan hukum pidana Denmark dalam viariasi yang tidak signifikan. Disebut tidak significant karena ada ketidakjelasan mengenai kapan dan melalui siapa korporasi dapat dinyatakan melakukan suatu tindak pidana. Sejalan dengan pendapat Maglie diatas untuk itu penulis tegaskan kembali bahwa prinsip atau teori respondeat superior sesungguhnya memiliki substansi yang sebangun dengan doktrin vicarious liability, karena vicarious liability berarti dalam hal tertentu, orang bertanggung jawab atas kesalahan yang dilakukan orang lain, sedangkan teori respondeat superior berarti atasan atau majikan bertanggung jawab atas perbuatan salah yang dilakukan oleh bawahan (seperti para pekerja atau karyawan atau buruh) dalam kegiatan operasional usaha korporasi. Jika pemahaman teori respondeat superior atau vicarious liability digunakan untuk mengembangkan tanggung jawab korporasi dalam hukum pidana, maka teori organik (organic theory)yang dikembangkan Otto von Gierke di Jerman dapat menjadi dasar pertimbangan dan alasan rasional, karena kegiatan operasional korporasi dijalankan oleh person alamiah sebagai organ korporasi. Dengan demikian, dengan berdasarkan teori organik, tanggung jawab pidana korporasi dapat dijatuhkan, apabila an agent of the corporation commits a crime, while acting within the scope of employment, with the intent to benefit the corporation244Artinya, korporasi bertanggung jawab berdasarkan hukum pidana, apabila agen korporasi melakukan kejahatan dalam lingkup menjalankan pekerjaan korporasi dengan maksud atau tujuan menguntungkan korporasi.
243
Cristina De Maglie, "Models of Corporate Criminal Liability in Comparative law."
Washington University Global Studies Law Review (Vol. 4:547-566), 11 Agustus 2005, p. 553. 244
Ibid., 554
166
b. KUHP Perancis Pengaruh dewan Eropa berperan penting terhadap negara-negara Eropa mengenai pemberdayaan hukum pidana sebagai sarana pengendalian perbuatan tercela korporasi. Pengaruh Dewan Eropa ini dikemukakan oleh Guy Stessens: For the purpose of controlling the corporate misconduct, the Council 0f Europe recommended that"those member states whose criminal law had not yet provided for corporate criminal liability to reconsider the matter." France responded by making several revisions of its Penal Code for the purpose of modernizing its text. The revision of 1992 officially recognized the corporate criminal liability...245 (Untuk tujuan mengendalikan perbuatan tercela korporasi, Dewan Eropa merekomendasikan bahwa "hukum pidana negara-negara anggota yang belum mengatur tanggung jawab pidana korporasi untuk mempertimbangkan kembali masalah ini. Perancis merespon dengan membuat beberapa revisi teks dalam KUHP untuk tujuan modernisasi. Revisi Tahun 1992 secara resmi mengakui tanggung jawab pidana korporasi) Pengakuan mengenai tanggungjawab pidana korporasi dalam Revisi RUU KUHP Perancis tahun 1992 tersebut dirumuskan dalam bagian 121-2 : Juridical persons, with the exception of the State, are criminally liable for the offences committed on their account by their organs or representatives, according to the distinctions set out in articles 121-4 and 121-7 and in the cases provided for by statute or regulations. However, local public authorities and their associations incur criminal liability only for offences committed in the course of their activities which may be exercised through public service delegation conventions. The criminal liability of legal persons does not exclude that of the natural persons who are perpetrators or accomplices to the same act, subject to the provisions of the fourth paragraph of article 121-3.246 Badan hukum, kecuali Negara, bertanggung jawab secara hukum pidana atas pelanggaran yang dilakukan oleh organ-organnya atau yang mewakilinya atas nama person hukum, sesuai dengan perbedaan yang ditetapkan dalam pasal 121-4 dan 121-7 dan dalam kasus-kasus yang sesuai dengan ketentuan undang- undang atau regulasi
245
Anca Iulia Pop, Criminal Liability of Corporations—Comparative Jurisprudence, 2006, p. 12. www.law.msu.edu/king/2006/2006_Pop.pdf,diakses 5Maret 2015 pukul 11.06 WIB. 246 French Penal Code, Article 121.2.http://195.83.177.9/upl/pdf/code_33.pdf, diakses 17 Maret 2015 Pukul 08.55 WIB.
167
Namun, otoritas publik lokal dan asosiasinya dikenakan tanggung jawab pidana hanya untuk pelanggaran yang dilakukan dalam rangka kegiatan mereka yang dapat dilaksanakan melalui kebiasaan pendelegasian pelayanan publik. Tanggung jawab pidana badan hukum tidak mengecualikan person alamiah yang melakukan atau bersama-sama melakukan tindakan yang sama,tunduk pada ketentuan pasal 121-3 ayat keempat. Berdasarkan rumusan diatas ditegaskan bahwa negara tidak dibebani tanggungjawab pidana, tetapi otoritas lokal dikenakan tanggungjawab pidana atas pelanggaran yang dilakukan dalam rangka pelayanan publik. Khusus mengenai Tanggung jawab manusia alamiah dalam lingkup aktivitas korporasi, berlaku ketentuan Pasal 121-3 Ayat keempat yang dirumuskan : Article 121-3 In the case as referred to in the above paragraph, natural persons who have not directly contributed to causing the damage, but who have created or contributed to create the situation which allowed the damage to happen who failed to take steps enabling it to be avoided, are criminally liable where it is shown that they have broken a duty of care or precaution laid down by statute or regulation in a manifestly deliberate mnner, or have commited a specified piece of misconduct wich exposed another person to a particularly serious risk of wich they must have been aware.247 Dalam hal sebagaimana dimaksud pada paragraf di atas, manusia almiah yang tidak memberikan kontribusi secara langsung menyebabkan kerusakan, tetapi telah menciptakan atau berkontribusi untuk menciptakan situasi yang memungkinkan terjadi kerusakan yang gagal untuk mengambil langkah-langkah yang memungkinkan untuk dihindari, dikenakan tanggung jawab pidana dimana ia dengan cara yang nyata sengaja menunjukkan mereka melanggar kewajiban perawatan atau pencegahan yang ditetapkan oleh undang-undang atau peraturan secara, atau telah melakukan suatu bagian tertentu yang menunjukkan kesalahan orang lain dengan risiko sangat serius yang harus mereka sadari. Dalam KUHP Perancis secara khusus telah memisahkan jenis pidana terhadap badan hukum dari jenis pidana terhadap manusia alamiah. Jenis pidana yang dapat diaplikasikan terhadap korporasi, baik yang dikategori kejahatan berat (felony) maupun kejahatan ringan (misdemeanour; petty) diatur dalam Section II 247
Ibid., Article 121.7.
168
Penalties Applicable to legal Person, Articles 131-37 to 131-49 French Penal Code akan diuraikan pada sub bab selanjutnya.
c. KUHP Australia Setelah diamandemen Australia Criminal Code Act 1995 (Act No. 12 of 1995) merumuskan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam bagian 2.5 Corporate Criminal Responsibility pada divisi 12.1 General Principles yang dirumuskan sebagai berikut : General 12.1. General Principles (1) This Code applies to bodies corporate in the same way as it applies to individuals.... by the fact that criminal liability is being imposed on bodies corporate rather than individuals. (2) A body corporate may be found guilty of any offence, including one punishable by imprisonment.248 Terjemahan : (1) Pedoman ini berlaku bagi badan-badan korporasi dengan cara yang sama seperti yang berlaku untuk perorangan....bahwa tanggungjawab pidana dapat dikenakan pada badan korporat bukan individu. (2) Suatu badan korporat dapat dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan apapun, termasuk pidana penjara bagi orangnya. Division 12.2 Physical Elements: If a physical element of an offence is committed by an employee, agent or officer of a body corporate acting within the actual or apparent scope of his or her employment, or within his or her actual or apparent authority, the physical element must also be attributed to the body corporate."249 Terjemahan: Apabila elemen fisik suatu pelanggaran dilakukan oleh agen, karyawan atau petugas dari badan bertindak secara aktual dalam ruang lingkup pekerjaannya, atau secara nyata sesuai dengan kewenangannya secara aktual, secara fisik harus dikaitkan kepada badan korporasi.
248
Australia, Australia Criminal Code Act 1995 (Act No. 12 of 1995), p. 28 Ibid
249
169
Berdasarkan rumusan diatas dapat ketahui bahwa pertanggungjawaban pidana terhadap badan hukum di Australia diperlakukan sama dengan manusia alamiah. Australia mengggunakan model Corporate Culture yang dirumuskan dalam Divisi 12.3 (2) dan Divisi 12.3 (6) sebagai berikut: Divisi 12.3(2): a. proving that the body corporate's board of directors intentionally, knowingly or recklessly earned out the relevant conduct, or expressly, tacitly or impliedly authorised or permitted the commission of the offence; or b.proving that a high managerial agent of the body corporate intentionally, knowingly or recklessly engaged in the relevant conduct, or expressly, tacitly or impliedly authorised or permitted the commission of the offence; or c. proving that a corporate culture existed within the body corporate that directed, encouraged, tolerated or led to non-compliance with the mlevant provision; or d. proving that the body corporate failed to create and maintain a corporate culture that required compliance with the relevant provision. 250 Terjemahan: a. dewan direksi korporasi terbukti secara sengaja, secara sadar atau termasuk tindakan yang berkaitan dengan tidak berhati-hati, atau membahasakan, diam-diam, atau secara tersirat membenarkan atau membiarkan perbuatan melanggar hukum, atau b. agen manajerial utama ternyata secara sengaja, secara sadar atau termasuk tindakan yang berkaitan dengan tidak hati-hati; atau membahasakan, diam-diam, atau secara tersirat membenarkan atau membiarkan perbuatan melanggar hukum. c. adanya budaya korporasi dalam badan korporasi yang diarahkan, didorong, ditoleransi atau menyebabkan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan tertentu. d. badan korporasi terbukti gagal menciptakan dan memelihara budaya korporasi yang mewajibkan korporasi mematuhi peraturan tertentu. Divisi 12.3 (6) : 1. board of directors means the body (by whatever name called) exercising the executive authority of the body corporate. 2. corporate culture means an attitude, policy, rule, course of conduct 250
Ibid., P.29
170
or practice existing within the body corporate generally or in the part of the body corporate in which the relevant activities takes place. 3. high managerial agent means an employee, agent or officer of the body corporate with duties of such responsibility that his or her Terjemahan: 1.dewan direksi berarti badan (dengan apapun namanya) Melaksanakan kewenangan eksekutif badan korporasi. 2. budaya perusahaan berarti sikap, kebijakan, peraturan, program melakukan atau praktek yang ada pada badan korporasi umum atau dalam bagian badan korporasi sesuai dengan penempatan tempat kegiatan. 3. Agen manajerial tinggi berarti seorang karyawan,agen atau petugas pelaksana badan korporasi dengan tugas tanggung jawab seperti dirinya sendiri. Corporate culture model akan menentukan kepatuhan korporasi terhadap peraturan yang berlaku, adanya budaya korporasi ini
ditentukan oleh dewan
direksi (board of director) yang melaksanakan kekuasaan korporasi, serta agen manajerial utama (high managerial agent) seperti agen atau petugas korporasi yang bertugas dan bertanggung jawab mewakili korporasi dalam menjalankan aktivitas korporasi. Menurut Wells, aturan (rule) dalam corporate culture model dapat diartikan sebagai the company's unwritten rules'251 atau aturan perusahaan yang tidak tertulis yang dapat menciptakan budaya ketidakpatuhan korporasi terhadap aturan tertentu yang seharusnya dipatuhi dalam menjalankan aktivitasnya.
2. Pengaturan mengenai Jenis sanksi Pidana dan Tindakan Terhadap Badan Hukum. Dalam rangka memformulasi pengaturan pertanggungjawaban pidana terhadap badan hukum dalam KUHP yang akan datang, sebagai perbandingan berikut ini dikemukakan KUHP negara Perancis, Netherlands, dan Australia yang 251
Celia Wells, “Criminal responsibility of Legal Person in Common law Jurisdiction” Paper Prepared for OECD Anti Corruption Unit Working Group on Bribery in International Business Transactions Paris 4th October 2000, p. 9.
171
didalamnya telah mengatur mengenai sanksi pidana terhadap badan hukum. 1. KUHP Perancis Pembedaan dan pengelompokan pengaturan mengenai subyek hukum manusia alamiah dan badan hukum Perancis mengamandemen KUHP-nya, yang didalamnya membedakan kelompok pengaturan mengenai subyek hukum manusia alamaniah dan badan hukum. Ketentuan pidana terhadap badan hukum, diatur dalam "Book l-General Provisions, Title Ill-Of Penalties, Section 2- Penalties Aplicable to Legal Person". Pemidanaan terhadap badan hukum dibedakan pidana untuk kejahatan berat dan ringan serta pelanggaran ringan, yang akan dikemukakan sebagai berikut : Sub-section 1 Penalties for felonies and misdemeanours Article 131-37: Penalties for felonies and misdemeanours incurred by juridical persons are: (1) a fine; (2) in the cases set out by law, the penalties enumerated under Article 131-39. (Pidana untuk tindak pidana berat dan ringan yang diakibatkan oleh person hukum adalah: (1) denda, (2) dalam kasus-kasus yang ditetapkan oleh hukum, denda disebutkan dalam Pasal 131-39) Article 131-38: The maximum amount of fine applicable to legal persons five times the sum laid down for natural persons by the law that sanctions the offence. (Jumlah maksimum denda yang berlaku untuk badan hukum lima kali lipat dari jumlah sanksi bagi person alamiah yang melakukan pelanggaran yang ditetapkan oleh hukum) Article 131-39: Where a statute so provides against a legal person, a felony or misdemeanour may be punished by one or more of the following penalties: (1) dissolution, where the legal person was created to commit a felony, or, where the felony or misdemeanour is one which carries a sentence of imprisonment of three years or more, where it was . diverted from its objects in order to commit them; (2) prohibition to exercise, directly or indirectly one or more social or professional activity, either permanently or for a maximum period of five years; (3) placement under judicial supervision for a maximum period of five years; (4) permanent closure or closure for up to five years of the establishment,
172
or one or more of the establishments, of the enterprise that was used to commit the offences in question; (5) disqualification from public tenders, either permanently or for a maximum period of five years; (6) prohibition, either permanently or for a maximum period of five years to make public appeal for funds. (7) prohibition to draw cheques,...or certified cheques, and the prohibition to use credit cards, for a maximum period of five years; (8) the public display of the sentence or its dissemination either by the written press or by any type of broadcasting. The penalties under (1) and (3) above do not apply to those public bodies which may incur criminal liability. Nor do they apply to political parties or associations, or to unions. The penalty under (1) does not apply to institutions representing workers. Apabila undang-undang menetapkan badan hukum melakukan pelanggaran, tindak pidana atau pelanggaran undang-undang maka dapat dikenakan lebih dari satu pidana: 1. pembubaran, dalam hal person hukum diciptakan untuk melakukan kejahatan, atau, kejahatan berat atau kejahatan ringan yang salah satu diancam pidana penjara penjara tiga tahun atau lebih, karena telah melakukan penyimpangan dalam lingkup tujuan-tujuannya; 2. larangan untuk melaksanakan, secara langsung atau tidak langsung satu atau lebih kegiatan sosial atau profesional, baik secara permanen atau untuk jangka waktu maksimum lima tahun; 3. penempatan di bawah pengawasan pengadilan untuk jangka waktu maksimum lima tahun; 4. penutupan permanen atau penutupan sampai lima tahun pendirian, atau satu atau lebih dari perusahaan, dari perusahaan yang digunakan untuk melakukan tindak pidana yang bersangkutan; 5. didiskualifikasi dari tender publik, baik permanen atau untuk jangka waktu maksimum lima tahun; 6. larangan penawaran publik untuk memperoleh dana, baik secara permanen atau untuk jangka waktu maksimum lima tahun. 7. larangan untuk menarik cek... atau cek berser tifikat, dan larangan untuk menggunakan kartu kredit, untuk jangka waktu maksimum lima tahun; 8. Publikasi pemidanaan atau menyebarluaskan melalui setiap media cetak atau penyiaran . Pidana dalam ayat (1) dan (3) di atas tidak berlaku bagi badan publik yang mungkin dapat dikenakan tanggung jawab pidana. Ketentuan tersebut juga tidak berlaku untuk partai politik atau asosiasi, atau serikat pekerja. Pidana dalam ayat (1) tidak berlaku untuk institusi yang mewakili pekerja.
173
Sub-section 2 Penalties for petty offences Article 131-40: The penalties incurred by legal persons for petty offences are: (1) a fine (2) the penalties entailing forfeiture or restriction of rights set out under These penalties do not preclude the imposition of one or more of the additional penalties set out under article 131-43. Pidana yang dilakukan oleh badan hukum atas pelanggaran ringan adalah 1) denda, 2) pidana penyitaan atau pembatasan hak-hak yang ditetapkan berdasarkan Pasal 131-42. Sanksi tersebut tidak menghalangi penerapan satu atau lebih hukuman tambahan yang ditetapkan berdasarkan Pasal 131-43 Article 131-42: In relation to any petty offence of the fifth class, a fine may be replaced by one or more of the following penalties entailing forfeiture or restriction of rights: (1) prohibition to draw cheques, except those allowing the withdrawal of funds by the drawer from the drawee or certified cheques, and the prohibition to use credit cards, for a maximum period of one year, (2) confiscation of tho thing which was used or was intended for the commission of an offence, or of any thing which is the product of it. Dalam kaitannya dengan setiap pelanggaran kecil dari kategori kelima, denda dapat digantikan dengan satu atau lebih pidana perampasan atau pembatasan hak: (1) larangan untuk menarik cek, kecuali yang memungkinkan pengambilan dana atau cek bersertifikat, dan larangan untuk menggunakan kartu kredit, dengan jangka waktu maksimum satu tahun; (2) penyitaan barang yang digunakan atau dapat digunakan melakukan tindak pidana, atau barang- barang yang merupakan hasil tindak pidana. Article 131-43: The regulation that sanctions a petty offence may provide for the additional penalty mentioned under (5°) of article 131-16 where the offender is a legal person. In relation to petty offences of the fifth class, the regulation may also set out the additional penalty referred to under the first paragraph of Article 131-17. 174
Ketentuan sanksi pelanggaran kecil dapat diajukan pidana tambahan yang disebutkan berdasarkan ayat (5) Pasal 131-16 dimana pelaku adalah badanhukum. Berdasarkan pelanggaran ringan dari klasifikasi kelima peraturan tersebut , juga dapat ditetapkan pidana tambahan sepertiu yang dimaksud dalam ayat pertama Pasal 131-17. Berdasarkan rumusan ketentuan diatas dapat dipahami bahwa terhadap badan hukum KHUP Perancis menetapkan denda sebagai sanksi pidana pokok, serta mengatur mengenai pidana tambahan, dan sanksi berupa tindakan. 2. KUHP Netherland KUHP Netherland tidak serinci KUHP Perancis dalam menentukan sanksi pidana terhadap badan hukum. Dalam Pasal 51 ayat (2) KUHP Netherland di nyatakan bahwa "Apabila suatu tindak pidana dilakukan oleh badan hukum, dapat dilakukan tuntutan pidana dan jika dianggap perlu dapat dijatuhkan pidana dan tindakan-tindakan
yang
tercantum
dalam
undang-undang."
Sebagaimana
dikemukakan oleh Tijs Kooijmans252Deutch Criminal Code does not incorporate specific penalties for legal persons(KUHP Belanda tidak mengatur secara khusus pidana untuk person hukum.Lebih lanjut dikemukakan oleh Houthoff Buruma bahwa : A legal person is subject to the following sanctions under art. 9 of the DPC: a fine, withdrawal of certain rights, forfeiture, public disclosure of the sentence, compensation of the victims. Sanctions such as closure of the business enterprise (art. 7(c) EOA) and legal restraint of the enterprise (art. 8(b) EOA) can also be imposed on a legal entity when it has been convicted for an economic crime.253 (badan hukum tunduk pada sanksi Pasal 9 KUHP: denda, pencabutan hak tertentu, perampasan, publikasi, kompensasi para korban. Sanksi seperti penutupan perusahaan bisnis (pasal 7 (c) dan tindakan tata-tertib Pasal (pasal 8 (b) Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi, juga dapat dikenakan pada badan hukum apabila melakukan kejahatan ekonomi) 252
Tijs Kooijmans, The Netherlands,htto.//halarchives-ouvertes fr/docs/00/41 / 91/59/PDF/d1 99 214.PPF. diunduh. 23April 2015, pukul 14.35 WIB. 253 Houthoff Buruma, Criminal Liability of Companies Survey, Lex Mundi Publication. www lexmundi.com/images/../PDF/../Crim Liability Nether1ands.pdf.diaksesdiunduh. 23 April 2015, pukul 15.45 WIB
175
Berdasarkan rumusan Pasal 51 Ayat (2) KUHP Netherland dan yang dikemukakan oleh Houthoff Buruma dapat dipahami bahwa sanksi pidana terhadap badan hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 9 KUHP Netherland cukup beragam denda, pencabutan hak tertentu, perampasan, publikasi, kompensasi para korban.Selain itu terhadap badan hukum dapat dikenakan sanksi seperti penutupan perusahaan bisnis (pasal 7 (c) dan tindakan tata-tertib jika melakukan kejahatan ekonomi. Dengan demikian Hakim memiliki pilihan untuk menjatuhkan sanksi yang tepat terhadap badan hukum.
3. KUHP Australia Mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi dalam hukum pidana Australian yang diamandemen pada tahun 2002 (Criminal Code 2002) diatur pada bagian 2.5, angka 49 tentang Corporate criminal responsibility sebagai berikut : (1) This Act applies to corporations as well as individuals. (2) The Act applies to corporations in the same way as it applies to individuals, but subject to the changes made by this part and any other changes necessary because criminal responsibility is being imposed on a corporation rather than an individual. Terjemahan : (1) Undang-undang ini berlaku untuk perusahaan maupun individu. (2) Undang-undang berlaku untuk perusahaan dengan cara yang sama seperti yang berlaku untuk individu, tetapi tunduk pada perubahan yang dilakukan oleh bagian ini dan perubahan lainnya yang diperlukan karena tanggung jawab pidana yang dikenakan pada perusahaan bukan individu.
Ketentuan mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi dalam KUHP Australia tetap berpedoman padaCrimes Act 1914-Section 4B yang mengatur tentang Pecuniary penalties-natural persons and bodies corporate atau Pidana denda manusia alamiah dan badan korporasi. Khusus mengenal pidana korporasi diatur dalam Pasal 3:
176
Article 3: Where a body corporate is convicted of an offence against a law of the Commonwealth, the court may, if the contrary intention does not appear and the court thinks fit, impose a pecuniary penalty not exceeding an amount equal to 5 times the amount of the maximum pecuniary penalty that could be imposed by the court on a natural person convicted of the same offence254 (Apabila suatu badan hukum dipidana karena pelanggaran terhadap hukum Persemakmuran, jika pengadilan berpendapat tidak dilakukan dengan niat, maka pengadilan dapat menjatuhkan pidana berupa uang tidak melebihi jumlah yang sama dengan 5 (lima) kali jumlah maksimum berupa uang denda yang dapat dikenakan oleh pengadilan pada person alamiah yang dipidana karena pelanggaran yang sama).
254
Commonwealth Consolidated Acts, Crime Act 1914-Section 4B, http://www. edu.au/au/legis/cth/consol_actyca191482ys4b.html., diunduh. 23 April 2015, pukul 19.05 WIB.
177