BAB IV ANALISIS 4.1. Analisis Kalibrasi Kamera Analisis kalibrasi kamera didasarkan dari hasil percobaan di laboratorium dan hasil percobaan di lapangan. 4.1.1. Laboratorium Dalam penelitian ini telah dilakukan 3 kali kalibrasi dengan software Australis untuk memantau kestabilan dari parameter kamera, dan secara hasilnya dapat dilihat di tabel 3.1 Tabel 3.1 merupakan nilai parameter internal kamera dalam waktu yang berbeda, dan terlihat bahwa nilai parameter internal kamera bervariasi di tiap kalibrasi namun cukup kecil nilai nya. Perbedaan panjang fokus terbesar adalah 0,0037 mm, dan pada Gambar 4.1ditampilkan kurva distorsi radial hasil tiap kalibrasi. Ditorsi radial 8.00E-02
distorsi radial (dr)
7.00E-02 6.00E-02 5.00E-02 4.00E-02
Kala_3
3.00E-02
Kala_2
2.00E-02
Kala_1
1.00E-02 0.00E+00 00.10.20.30.40.50.60.70.80.911.11.21.31.41.51.61.71.81.922.12.22.32.42.52.6 jarak radial (r)
Gambar 4.1 Perbandingan kurva distorsi radial
30
Untuk menguji kestabilan dari hasil kalibrasi kamera kala ke 1 sampai kala ke 3 digunakanlah uji statistik T (Student). Uji statistik T dapat dimodelkan dengan persamaan: t=
(x − x ) i
j
1 1 + ni n j
sp
(5.1 a)
sp = 2
( ni − 1) si 2 + ( n j − 1) s j 2 ni + n j − 2
(5.1 b)
Dengan: xi =nilai rata-rata parameter kalibrasi kala i x j =nilai rata-rata parameter kalibrasi kala j s p =simpangan baku ij
ni = jumlah pengamatan i n j =jumlah pengamatan j
Uji statistik dilakukan dengan membandingkan tiap 2 kala (kala1 – kala2; kala 2kala 3; kala1 – kala 3) pada tingkat kepentingan (level of significance) α sebesar 0.005. Bila
v = ni + n j − 2 , maka didapat derajat kebebasan untuk setiap uji
statistik berkisar diatas 4000. Dari tabel distribusi t, jika derajat kebebasan yang digunakan melebihi 30 maka nilai derajat kebebasan yang digunakan adalah nilai tak hingga (∞). Hipotesa nol ( Ho ) dan Hipotesa alternatif ( Ha ) adalah sebagai berikut:
Ho : μi − μ j = 0 Ha : μi − μ j ≠ 0 Ho ditolak jika berada pada selang t < −tα / 2 dan t > tα /2 . Selang ini dengan menggunakan tabel distribusi t ialah sebesar t < −1.960 dan t < 1.960 . Jika Ho
31
ditolak maka hasil kalibrasi antara dua kala tersebut tidak stabil, karena nilai µ dari 2 kala kalibrasi tidak sama. Begitu juga sebaliknya, jika Kala dan Jumlah Nilai Parameter Pengamatan Parameter 0rientasi n dalam KALA 1 2384 6.0098 c 0.0607 Xp -0.0455 Yp 4.56E-03 K1 -1.03E-04 P1 KALA 2 2390 6.0139 c 0.0688 Xp -0.0394 Yp 4.59E-03 K1 -9.49E-05 P1
Standar Deviasi s
Nilai T Ho
Sp
Ha
1.26E-03
1.86E-03 -7.61E+01
D
9.72E-04
1.71E-03 -1.63E+02
D
1.25E-03
1.97E-03 -1.07E+02
D
3.63E-05
6.85E-05 -1.51E+01
D
6.09E-06
1.01E-05 -2.77E+01
D
2.31E-03
1.86E-03
7.61E+01
D
2.22E-03
1.71E-03
1.63E+02
D
2.49E-03
1.97E-03
1.07E+02
D
8.97E-05
6.85E-05
1.51E+01
D
1.29E-05
1.01E-05
2.77E+01
D
Tabel 5.1 Uji statistik antara kala 1 dan kala 2
Kala dan Jumlah Nilai Parameter Pengamatan Parameter 0rientasi n dalam KALA 1 2384 6.0098 c 0.0607 Xp -0.0455 Yp 4.56E-03 K1 -1.03E-04 P1 KALA 3 2376 6.0135 c 0.0537 Xp -0.0507 Yp Berlanjut
Standar Deviasi s
Nilai T
Sp
1.26E-03
1.13E-03
-1.13E+02
D
9.72E-04
8.21E-04
2.94E+02
D
1.25E-03
1.02E-03
1.76E+02
D
3.63E-05
3.33E-05
1.14E+02
D
6.09E-06
5.40E-06
-4.60E+01
D
9.92E-04
D
6.34E-04
1.13E-03 -1.13E+02 8.21E-04 2.94E+02
7.15E-04
1.02E-03 1.76E+02
D
Ho
Ha
D
32
Lanjutan K1 P1
4.45E-03
3.00E-05
3.33E-05 1.14E+02
D
-9.58E-05
4.60E-06
5.40E-06 -4.60E+01
D
Tabel 5.2 Uji statistik antara kala 2 dan kala 3
Kala dan Jumlah Nilai Parameter Pengamatan Parameter 0rientasi n dalam KALA 2 2390 6.0139 c 0.0688 Xp -0.0394 Yp 4.59E-03 K1 -9.49E-05 P1 KALA 3 2376 6.0135 c 0.0537 Xp -0.0507 Yp 4.45E-03 K1 -9.58E-05 P1
Standar Deviasi s
Sp
2.31E-03
1.78E-03
7.76E+00
D
2.22E-03
1.63E-03
3.19E+02
D
2.49E-03
1.83E-03
2.13E+02
D
8.97E-05
6.70E-05
7.22E+01
D
1.29E-05
9.70E-06
3.20E+00
D
9.92E-04
1.78E-03 7.76E+00
D
6.34E-04
1.63E-03 3.19E+02 1.83E-03 2.13E+02
D
6.70E-05 7.22E+01 9.70E-06 3.20E+00
D
7.15E-04 3.00E-05 4.60E-06
Nilai T Ho
Ha
D D
Tabel 5.3 Uji statistik antara kala 1 dan kala 3
Dari hasil uji statistik terlihat bahwa Ho ditolak untuk setiap uji statistik yang dilakukan. Hal ini menunjukan bahwa nilai sebenarnya (µ) tiap parameter orientasi dalam yang diuji pada tiap kala kalibrasi tidak sama (tidak stabil). 4.1.2. Lapangan Proses bundle adjustment Hasil kalibrasi dengan foto lapangan dengan foto di laboratorium menunjukan hasil yang berbeda.
33
Laboratorium Lapangan
∆
C
6.0139
5.9295
-0.0844
XP
0.0688
0.0685
-0.0003
YP
-0.0394
-0.0478
-0.0084
K1
4.59E-03
5.17E-03
0.00057659
K2
7.87E-05
5.97E-06
-7.27E-05
K3
-1.20E-05
-1.30E-05 -1.0172E-06
P1
-9.49E-05
-9.51E-05
P2
2.07E-06
-5.12E-05 -5.32752E-05
B1
-2.43E-05
2.97E-04 0.000321776
B2
4.25E-06
-8.03E-04 -0.000807156
-2.131E-07
Tabel 4.4 Perbandingan hasil self calibration
Dengan asumsi mode fokus kamera saat pengambilan foto tidak berubah, maka dapat diambil beberapa faktor faktor yang mempengaruhi hasil kalibrasi kamera, yaitu: 1. Objek kalibrasi. Penggunaan objek kalibrasi yang kurang sesuai dengan daerah/objek yang akan di ukur akan berpengaruh terhadap hasil pengukuran. Sebuah percobaan telah dilakukan dengan menggunakan kardus kecil, dimana ukuran bidang kalibrasi lebih besar dari kardus. Hasil nya, perbedaan yang dihasilkan lebih kecil dibandingkan dengan dilakukan pengukuran di lapangan. Dengan menggunakan objek yang memiliki dimensi fisik mendekati daerah/objek yang akan diukur maka nilai dari kalibrasi akan lebih stabil. 2. Geometri Pemotretan. Geometri pemotretan kalibrasi akan sangat berpengaruh terhadap hasil kalibrasi kamera, agar parameter kalibrasi kamera tidak saling berkorelasi (Photomodeler Help File). Untuk keperluan fotogrametri maka parameter internal kamera seharusnya stabil, sehingga dapat meningkatkan kualitas hasil hitungan. Maka penggunaan metode
self calibration sangatlah tepat, karena dapat memperkecil resiko tidak stabilnya 34
parameter internal kamera, sebab kamera akan dikalibrasi menggunakan data ukuran saat kamera itu digunakan. Namun, untuk mendapatkan hasil self
calibration yang baik, dibutuhkan konfigurasi jaring stasiun pemotretan yang sangat konvergen dan sebaran titik yang baik (menyebar), dan pelaksanaan di lapangan tidak selalu menjamin didapatkannya geometri terbaik. Oleh karena itu baiknya
kalibrasi
dilakukan
sebelum pengukuran
yang
sebenarnya
dan
menggunakan objek yang sesuai.
4.2. Analisis Pengambilan Data 4.2.1. Analisis Pengukuran dengan ETS Dalam pengukuran titik titik yang terletak di muka gedung, dilakukan 2 cara: 1. Memproyeksikan titik yang terletak di muka gedung dari titik yang berada tepat dibawahnya. 2. Dengan menaruh prisma tepat di titik yang akan diukur Cara pertama menyebabkan bagian gedung yang dapat diukur adalah bagian berada di sisi gedung (Gambar 4.2) sedangkan bagian yang menjorok keluar tak dapat diukur menggunakan ETS jenis ini.
Gambar 4.2 Ilustrasi pengambilan titik tinggi gedung
Dan cara kedua pun hanya dapat diterapakan di titik titik yang dapat dijangkau. Hal ini menyebabkan pengambilan data titik muka gedung cukup. Pengukuran dengan
35
menggunakan ETS yang menggunakan teknologi laser akan memperbaiki hasil pengukuran karena dapat menjangkau tempat-tempat yang tak terjangkau oleh ETS dengan EDM. 4.2.2. Analisis pengambilan foto Objek utama pemetaan berupa gedung tinggi. Dengan sudut pemotretan yang terbatas maka menyebabkan tidak semua bagian gedung terlihat. Pada beberapa foto yang diambil hanya dapat merekam dengan jelas sampai lantai 3. Pada salah beberapa ujung bangunan, terdapat pohon yang cukup menghalangi gedung, sehinga geometri stasiun pemotretan “terputus” menjadi 2 bagian. Pemotretan dilakukan pada sekitar tengah hari dengan tujuan membuat bayangan seminimal mungkin. Hasil menunjukan foto secara umum memiliki memiliki kekontrasan yang baik sehingga memudahkan penandaan titik (point marking). 4.3. Analisis Pengolahan Data 4.3.1. Analisis Kepresisian Data Koordinat dari Foto Analisis didasarkan oleh hasil bundle adjustment dari software Australis. Jumlah titik yang diolah sebanyak 359 titik, namun 84 titik yang ditolak, sehingga titik yang berhasil diolah berjumlah 275 titik. Rata-rata sigma untuk tiap titik adalah 0.0380092 ke arah X, 0.099461 ke arah Y, dan 0.026411 kearah Z (satuan dalam m). Hasil ini sesuai dengan asumsi bahwa untuk pengukuran CRP ketelitian kearah Y akan lebih jelek dibandingkan pengukuran ke arah X dan Z. Ini karena pada CRP arah Y adalah jarak pemotretan sebanding dengan arah Z pada fotogrametri udara. Foto yang titik nya selalu banyak ditolak adalah foto nomor 12 dan 13. Namun eliminasi 2 foto ini menyebabkan banyak pasangan titik yang tidak teramati, sehingga kedua foto ini tetap dimasukan dalam proses pengolahan. Residu dari kedua foto ini memang besar. Total residu dari tiap foto adalah 1,38 ke arah X,
36
1,49 ke arah Y dan 1,44 ke arah XY. Dari hasil pengolahan bundle adjustment dapat dikatakan hasil pengolahan foto menunjukan hasil yang presisi. 4.3.2. Analisis Keakurasian Data Koordinat dari Foto Tingkat akurasi koordinat hasil pengolahan foto dapat dilihat dengan menghitung kesalahan terhadap data koordinat dari ukuran ETS. Nilai koordinat dari data ETS diasumsikan sebagai nilai yang benar. Besar kesalahan dihitung dengan menggunakan RMS (Root Mean Square). Secara matematis, persamaan RMS adalah sebagai berikut:
RMS =
∑ ( xi − foto − xi − ETS )
2
n
(5.2)
Dengan menggunakan data ETS, diperoleh RMS sebesar 0.132965 m Tingkat keakurasian ini dapat dibandingkan dengan resolusi spasial dari kamera (Gambar 4.3). Resolusi spasial adalah kemampuan sensor kamera untuk mendeteksi objek terkecil. Resolusi spasial kamera dapat dihitung menggunakan perbandingan sebagai berikut: p r = c D
(5.3)
p = ukuran sensor c = panjang fokus D = Jarak kamera terhadap objek r = resolusi spasial
37
Gambar 4.3 perbandingan resolusi kamera dengan ukuran sensor (Hanifa, 2007)
Kamera KODAK C643 yang digunakan memiliki ukuran sensor sebesar 0.0019 mm, dengan jarak fokus 6 mm. Jika rata-rata jarak pemotretan adalah 20 m, maka resolusi spasial yang diharapkan adalah 0.063333 m. 4.3.4. Pengolahan data CRP Dari seluruh data CRP, yang berhasil diolah adalah data gedung Labtek IX C saja. Hal ini diperkirakan disebabkan oleh: 1. Data koordinat pendekatan yang digunakan dari hasil transformasi koordinat. 2. Geometri pemotretan kurang baik. 3. Penandaan titik yang tidak tepat 4. Jumlah kemunculan titik yang sama dalam foto.
1. Transformasi Koordinat Reseksi dapat dilakukan jika minimal terdapat 3 titik koordinat yang telah diketahui dan terlihat di foto. Praktek di lapangan, untuk membuat 3 titik yang konstan terlihat dari banyak posisi kamera cukup sulit, tergantung daerah/objek yang akan dipetakan. Dan untuk mengukur secara manual banyak titik akan menghabiskan waktu. Oleh karena itu dilakukan serangkaian transformasi
38
koordinat agar diperoleh koordinat pendekatan yang dapat digunakan sebagai
driveback. Dengan menggunakan data simulasi berupa foto lantai, Percobaan ini dilakukaan untuk mencoba pengolahan data tanpa menggunakan alat bantu survey untuk memperoleh koordinat pendekatan. Hasilnya adalah terbukti bahwa data koordinat pendekatan hasil transformasi bisa digunakan untuk data koordinat pendekatan dalam reseksi. Namun jumlah transformasi yang dilakukan sedikit (4 kali) dan tidak dilakukan perbandingan dengan menggunakan data ukuran (ETS, pita ukur), sehingga belum diketahui sejauh mana efek perambatan kesalahan ketika data pendekatan yang digunakan adalah hasil transformasi koordinat. Dengan menggunakan 18 foto akan dihasilkan 20 pasang model relatif yang masing-masing terdiri dari 2 foto. Kemudian dilakukan transformasi koordinat untuk mementuk 1 model relatif dari 20 foto. Model relatif inilah yang digunakan sebagai koordinat pendekatan dalam proses reseksi. Banyak nya transformasi koordinat ini akan sangat berpengaruh terhadap hasil pengolahan karena akan ada perambatan kesalahan. Hasil nya adalah banyaknya titik yang akan ditolak ketika dilakukan bundle adjustment, atau bundle adjustment tak akan berhasil dilakukan. 2. Geometri Pemotretan Dari banyak literatur surveying, sering disebutkan bahwa geometri pengukuran sudut yang baik adalah yang mendekati sudut 90°. Dari Gambar 3.5, terlihat bahwa cukup banyak foto sudut pengambilan fotonya tidak 90°. Ini dikarenakan gedung yang diambil cukup tinggi, sedangkan jarak yang dapat diambil cukup dekat. Hal ini menyebabkan foto yang mencakup area yang luas hanya ada sedikit, dan mau tidak mau foto diambil dari sudut pemotretan yang dekat agar foto yang diambil memiliki pertampalan yang baik (±60%). 3. Penandaan titik 39
Titik yang ditandai di foto berupa target natural, bukan titik target. Hal ini menyebabkan penandaan titik tidak bisa dilakukan dengan bantuan penanda otomatis (Automatic Marking) software yang digunakan. Ketidak tepatan dalam penandaan posisi titik di foto, antara satu foto dengan foto lainnya (proses
referencing) akan menyebabkan kesalahan dalam penghitungan posisi titik tersebut sehingga menurunkan ketelitiannya. Jika sebuah titik muncul dalam dua atau lebih foto dan pengguna memperkirakan lokasi titik yang muncul dalam salah satu foto (misal : karena titik itu terhalang objek lain), maka hasil nya akan memberikan ketelitian yang kurang dan mungkin akan ditempatkan dalam posisi yang salah dalam ruang 3D. Jika ada banyak titik yang ditandai dengan cara seperti ini, maka titik lainnya yang ditandai dengan teliti akan terpengaruh dan seluruh model akan menjadi tidak akurat. Untuk membantu penandaan, dapat dilakukan proses zoom
in/zoom out agar titik yang sama dapat diidentifikasi dengan mudah. Ketidak tepatan penandaan titik bisa dikarenakan faktor manusia yang kurang teliti, kualitas gambar yang tidak bagus (gelap/blur), dan alat yang digunakan (monitor, mouse). 4. Jumlah kemunculan titik pada foto Posisi yang direkam lebih dari dua posisi kamera (foto), dapat memberikan ketelitian posisi yang lebih baik dari pada yang hanya dihitung dari dua posisi kamera, karena semakin banyak persamaan pengamatan yang dibentuk dari perpotongan berkas-berkas sinar untuk menentukan posisi titik tersebut dengan tepat. Dengan menghitung posisi titik yang direkam lebih dari dua foto, maka dapat mengurangi kesalahan dalam proses penandaan titik (point marking) di foto, karena kesalahan penandaan titik pada satu foto akan dikompensasi dari foto-foto lainnya. Jika hanya ada dua posisi kamera untuk sebuat titik, maka jika terjadi kesalahan penandaan titik, kesalahan akan sulit diketahui dan menyebabkan posisi titik tidak akurat. Dari hasil pengolahan bundle adjustment, dapat terlihat jumlah kemunculan titik pada foto (Tabel 4.2)
40
Jumlah titik Kemunculan Persentase 2 98 35.38 % 3 116 41.88 % 4 35 12.64 % 5 10 3.61 % 6 6 2.166 % 7 3 1.805 % 8 7 2.527 % Total 257 100 % Tabel 4.2 Jumlah kemunculan titik pada tiap foto
Dari tabel 4.2 terlihat bahwa titik yang ditentukan dari 2 foto cukup banyak, sehingga kemungkinan terjadinya kesalahan semakin besar. 4.4. Analisis Perbandingan Metode Salah satu tujuan dari penelitian ini adalah membandingkan antara kedua metode dalam pekerjaan pemetaan. Analisis didasarkan oleh Biaya, Waktu (pengambilan data hingga pengolahan), dan Hasil. 1. Biaya Dalam penelitian ini penggunaan Metode CRP masih belum bisa mengungguli Metode Tachymetry untuk daerah studi kasus dalam hal biaya yang dikeluarkan. Rencana awal adalah dengan menyertakan titik yang telah diketahui koordinatnya yang bedasa di sekitar daerah yang akan diukur (BM), namun pemilihan titik sekawan akan menjadi sulit. Oleh karena itu tetap digunakan ETS sebagai alat ukur titik kontrol, sehingga total biaya metode ini lebih mahal dibandingkan metode tachymetry. 2. Waktu Waktu yang diperlukan untuk memotret seluruh bagian gedung adalah ±30 menit. Sedangkan dengan menggunakan ETS butuh waktu ±4 jam. Dalam hal pengambilan data Metode CRP lebih unggul, bahkan dengan menambahkan waktu untuk mengukur 41
titik kontrol. Namun dalam pengolahan data metode tachymetry mengungguli metode CRP. Dengan penggunaan ETS, hasil hitungan dapat langsung di record dan dihitung, sehingga waktu pengolahan data hingga menghasilkan data koordinat titik lebih cepat dibandingkan metode CRP. 3. Hasil Hasil yang diberikan oleh Metode Tachymetry hanya dapat berupa koordinat titik beserta deskripsinya. Hasil dari metode CRP lebih banyak, selain data koordinat titik, metode ini juga secara tidak langsung mengambil data kualitatif berupa foto daerah yang dipetakan. Penambahan data juga tidak mengharuskan pergi ke lapangan, karena hanya perlu menambahkan titik yang ingin di laboratorium.
42