BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERAN KYAI DAN PEMBINAAN MENTAL AGAMA PADA REMAJA
A. Peranan Kyai 1. Pengertian Kyai Sebelum meninjau lebih jauh tentang peranan Kyai dalam proses dakwah, terlebih dahulu penulis akan memberikan pengertian dan istilah Kyai itu sendiri. Sebagaimana kita ketahui istilah Kyai yang lekat dengan masalah agama Islam, ternyata bukan berasal dari bahasa Arab, tetapi berasal dari bahasa Jawa. Menurut Zamakhsyari Dhofier dalam bukunya “Tradisi Pesantren”, mengatakan bahwa istilah Kyai dalam bahasa Jawa dipakai untuk tiga jenis gelar yang saling berbeda yaitu ; a. Kyai dipakai sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat. Kyai Garuda Kencana dipakai untuk sebutan “kereta emas” yang abadi di Keraton Yogyakarta. b. Kyai dipakai sebagai gelar kehormatan untuk orang-orang tua pada umumnya. c. Kyai sebagai gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab klasik kepada para santrinya. (Dhofier, 1982 : 55)
11
12
Dari tiga pemakaian istilah tersebut di atas yang banyak dipakai oleh masyarakat adalah yang terakhir sekali pendapat ini hampir sama dengan pendapat yang dikemukakan oleh Dr. Manfred Ziemek dalam bukunya "Pesantren dalam Perubahan Sosial", yang mengatakan bahwa pengertian Kyai yang paling luas dalam Indonesia modern adalah pendiri dan pimpinan sebuah pesantren, yang sebagai muslim terpelajar telah membaktikan
hidupnya
demi
Allah
serta
menyebarluaskan
dan
memperdalam ajaran-ajaran dan pandangan Islam melalui kegiatan pendidikan. (Ziemek, 1986 : 131) 2. Sifat-sifat Kyai Tugas Kyai sebagai pimpinan masyarakat membutuhkan sifat-sifat atau pribadi untuk menunjang keberhasilan tugasnya. Adapun sifat-sifat seorang Kyai adalah sebagai berikut ; a. Ikhlas Dalam
melaksanakan
tugasnya
seorang
Kyai
selalu
mendasarkan kepada keikhlasan yang dilaksanakan dengan kerelaan dan tanpa rasa berat. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Bachtiar Effendi dalam makalahnya “Nilai Kaum Santri”, bahwa pengabdian seorang Kyai untuk mengembangkan lembaga yang dikelolanya tanpa mementingkan kepentingan pribadi, merupakan sikap ikhlas timbal balik antara diri seorang santri dan Kyai. (Effendi, 1998 : 50) Pengabdian Kyai dalam mendidik santri dan masyarakat diwarnai oleh nilai keikhlasan tanpa pamrih hanya karena Allah.
13
Sehingga menimbulkan keikhlasan santri atau masyarakat untuk melaksanakan sepenuhnya apa yang diperintahkan Kyai. Sikap yang demikian memang sesuai dengan ajaran Islam sebagaimana yang tersebut dalam al-Qur'an surat Hud ayat 29 yang berbunyi ;
ﻋﻠﹶﻰ ﺍﻟﹼﻠ ِﻪ ﻱ ِﺇﻻﱠ ﺟ ِﺮ ﺎ ﹰﻻ ِﺇ ﹾﻥ ﹶﺃﻴ ِﻪ ﻣﻋﹶﻠ ﻢ ﺳﹶﺄﻟﹸﻜﹸ ﻮ ِﻡ َﻵ ﹶﺃ ﺎ ﹶﻗﻭﻳ Artinya :
"Dan (dia berkata), "Hai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah". (Depag RI, 2003 : 185)
b. Berniat Ibadah Sifat utama yang dimiliki seorang Kyai adalah segala sesuatu perbuatan diniati sebagai ibadah. Konsep “lillahi ta’ala” dalam artian tidak menghiraukan kehidupan duniawi dipegang teguh oleh seorang Kyai dan ditanamkan ke dalam masyarakat. Dengan demikian ketaatan seorang santri kepada Kyainya misalnya, dipandang sebagai suatu manifestasi ketaatan mutlak yang dipandang
ibadah.
Sifat
keibadatan
disini
bukan
berarti
menghilangkan aktifitas formal yang memberikan pengaruh material, akan tetapi mengorientasi keseluruh aktifitas keduniawian ke dalam suatu tatanan ilahiyah. Sebagaimana yang ditekankan oleh Allah dalam firman-Nya yang berbunyi ;
14
.ﻭ ِﻥﺒﺪﻌ ﻴﺲ ِﺇ ﹼﻻ ِﻟ ﺍﹾﻟﺈِﻧﻦ ﻭ ﺠ ِ ﺍﹾﻟﺧﹶﻠ ﹾﻘﺖ ﺎﻭﻣ Artinya ; “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. (Q.S. Adz-Dzariyat : 56). (Depag RI, 2003 : 417) Kehidupan yang serba ibadah ini dimanifestasikan ke dalam berbagai bentuk, antara lain ; kesadaran untuk berkorban, bekerja keras untuk kemajuan agama, berlaku adil kepada masyarakat, dan solidaritas yang tinggi. 3. Tugas dan Kedudukan Kyai Mengenai tugas dan kedudukan Kyai ini ada beberapa ulama’ yang memberikan gambaran tentang posisi ahli agama ini sebagai berikut ; Manfred Ziemek menempatkan kedudukan seorang Kyai sebagai pemimpin sentral yang berkuasa pernah di dalam pesantren. Di dalam bukunya “Pesantren dalam Perubahan Sosial”, bahwa dalam pesantren Kyai memiliki otoritas, wewenang yang menentukan semua aspek kegiatan pendidikan dan kehidupan agama atas tanggung jawabnya sendiri. (Ziemek, 1986 : 138) Sedangkan Zamakhsyari Dhofier berpendapat tentang tugas dan kedudukan Kyai dalam bukunya “Tradisi Pesantren”, bahwa profil mereka (Kyai) sebagai pengajar Islam membuahkan pengaruh yang
15
melampui batas-batas desa dimana pesantren mereka berada. (Dhofier, 1982 : 56) Dari kedua pendapat ulama’ tersebut di atas dapat dipahami bahwa tugas Kyai tidak hanya mengajar di pesantren tetapi juga menanamkan nilai-nilai agama di masyarakat. Hal ini selaras dengan pendapat Abdur Rahman Wahid “Kyai pengasuh utama pesantren tidak hanya menjadi bapak dalam pesantren, tetapi bapak dalam masyarakat lingkungannya. (Waligang, 1987 : 277) Demikian juga pendapat Abdullah Fajar dalam bukunya “Pesantren, Profil Kyai, Pesantren dan Madrasah, dalam penelitiannya yang berjudul “Image Masyarakat” tentang Kyai di desa panyaman, mengatakan ; “sesungguhnya Kyai dikenal sebagai tokoh yang bergerak dalam pengajaran agama, tetapi menurut pengamatan dan studi-studi tertulis mereka mempunyai status dan peranan yang lebih luas. Kyai menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan perjalanan hidup masyarakatnya dan mereka mendapatkan dari arti dan tempat tersendiri, penempatan ini didukung oleh beberapa alasan ; a. Kyai merupakan personifikasi orang yang dipandang luas dan dalam pengetahuannya tentang agama Islam. b. Kyai adalah cermin orang yang patuh menjalankan syari’at agama Islam.
16
c. Kyai
adalah
penjunjung
moralitas
Islam
dan
sekaligus
penterjemah dalam perilaku sehari-hari, mereka diberi predikat orang shaleh. d. Kyai merupakan tempat pelarian untuk mengadukan kesulitan hidup, tidak hanya soal agama tetapi juga tentang hal-hal duniawi yang kadangkala bersifat sangat pribadi. e. Kyai merupakan tokoh yang mempunya kemampuan membantu usaha-usaha desanya. f. Kyai memiliki latar belakang pendidikan pondok pesantren yang juga dihargai cukup tinggi oleh masyarakat, artinya karena pengalaman pendidikannya itu Kyai merupakan barisan orang terdidik. g. Kyai kebanyakan memiliki status ekonomi yang tidak rendah di masyarakat. h. Kyai memiliki nasab keluarga yang dipandang tinggi. i.
Kyai sering menjadi penggerak perjuangan. (Fajar, 1985 : 51)
4. Fungsi dan Peranan Kyai Sebagai kelompok “elite” dalam struktur sosial, politik, ekonomi, dan lebih-lebih dikalangan kelompok agama Islam, di masyarakat seorang Kyai mempunyai fungsi dan peranan yang sangat penting sekali. a. Sebagai Ulama’ Kyai sebagai ulama’ artinya ia harus mengetahui, menguasai ilmu tentang agama Islam, kemudian menafsirkan ke dalam tatanan
17
kehidupan masyarakat, menyampaikan dan memberi contoh dalam pengamalan dan memutuskan perkara yang dihadapi oleh masyarakat. Ulama' adalah seseorang yang ahli dalam ilmu agama Islam dan ia mempunyai integritas kepribadian yang tinggi dan mulia serta berakhlakul karimah dan ia sangat berpengaruh di tengah-tengah masyarakat. (Depag RI, 1993 : 1249) Syarat ulama' adalah orang yang takut kepada Allah dalam artian ia orang yang bertaqwa takut terhadap Allah ta'ala dengan menghindari seluruh larangan-larangan-Nya dan selalu mengikuti perintah-perintah-Nya. Allah ta'ala berfirman surat al-Fatir ayat 28 :
ﺎﺀﹶﻠﻤﺎ ِﺩ ِﻩ ﺍﹾﻟﻌﻦ ِﻋﺒ ﻪ ِﻣ ﻰ ﺍﻟﻠﱠﺨﺸ ﻳ ﺎﻧﻤِﺇ Artinya : Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hambahamba-Nya, hanyalah ulama'. (Depag RI, 2003 : 349) Ulama' juga sebagai pewaris para Nabi sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
ﺭﻭﺍﻩ ﺍﳊﻄﻴﺐ ﺍﻟﺒﻐﺪﺍ ﺩﻯ ﻋﻨﺠﺎ ﺑﺮ: ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ﻭﺭﺛﺔ ﺍﻷﻧﺒﻴﺎﺀ b. Sebagai Pengendali Sosial Para Kyai khususnya di daerah Jawa merupakan sektor kepemimpinan Islam yang dianggap paling dominan dan selama berabad-abad telah memainkan peranan yang menentukan dalam proses perkembangan sosial, kultur, dan politik. Berkat pengaruhnya yang besar sekali di masyarakat, seorang Kyai mampu membawa masyarakatnya kemana ia kehendaki dengan demikian seorang Kyai
18
mampu mengendalikan keadaan sosial masyarakat yang penuh dengan perkembangan dan perubahan itu. Seperti yang dikatakan oleh Horikosi, bahwa “Kyai berperan kreatif dalam perubahan sosial. Bukan karena sang Kyai meredam akibat perubahan yang terjadi, melainkan justru karena mempelopori perubahan sosial dengan cara sendiri. Kyai yang terkenal dengan memimpin yang tradisional ini ternyata mampu mengendalikan masyarakat akibat dari perubahan yang terjadi dengan memberikan solusi yang tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah ajaran Islam. Seperti juga dikatakan Horikosi ilmu-ilmu agama Islam digunakan secara kreatif untuk melakukan antisipasi terhadap kebutuhan akan perubahan, disamping sebagai alat penentu mana bagian yang esensi dari kehidupan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi dan harus dipertahankan. c. Sebagai Penggerak Perjuangan Kyai sebagai pemimpin tradisional di masyarakat sudah tidak diragukan lagi fungsinya sebagai penggerak perjuangan masyarakat setempat untuk mencapai tujuan yang diharapkan oleh masyarakatnya. Sejak zaman kolonial Belanda para Kyai sudah banyak yang memimpin rakyat untuk mengusir para penjajah. Bahwa Islam di zaman penjajahan Belanda merupakan faktor nomor satu bagi kelompok-kelompok suku bangsa yang tinggal berpencar-pencar diberbagai kepulauan itu semua tidak lepas dari gerakan perjuangan para Kyainya. (Dhofier, 1982 : 172)
19
Selanjutnya Zamakhsyari Dhofier juga menjelaskan bahwa, berkat perjuangan para Kyai itu juga berhasil menanamkan rasa anti penjajah kepada beberapa suku bangsa di Indonesia. Demikian juga pada periode setelah kemerdekaan, para Kyai juga telah berperan mengisi kemerdekaan seperti yang telah dijelaskan oleh Zamakhsyari Dhofier, bahwa ditengah-tengah gejolaknya pembangunan ekonomi di Indonesia dewasa ini para Kyai tetap merupakan sekelompok orangorang yang bersedia membangun kesejahteraan bangsanya. Status Kyai yang tinggi itu tak tergoyahkan oleh para pejabat pemerintah, dan keadaan ini dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Kyai untuk kepentingan
masyarakat.
Prestasi
Kyai
semasa
perjuangan
kemerdekan melawan Belanda dan selama revolusi ditambah dengan penghormatan masyarakat atas keahliannya terhadap ilmu agama dan ketaatan masyarakat kepada perintah-perintah-Nya menyebabkan para pejabat pemerintah segan mempersulit Kyai. Dengan demikian selama Kyai masih memberikan dukungannya kepada program-program pembinaan mental spiritual dan kesediaannya tidak mengkritik terhadap kebijaksanaan pemerintah dimuka umum, martabat Kyai jauh lebih baik ketimbang pejabat pemerintah yang harus mempertahankan namanya baik dihadapan umat Islam maupun dimuka pemerintah. Kyai melanjutkan tugas kemasyarakatan mereka ditengah umat Islam dan bersama-sama masyarakat menanggung beban memperjuangkan tujuan-tujuan Islam.
20
B. Pembinaan Mental Agama 1. Pengertian Pembinaan Mental Agama Secara harfiah “pembinaan” berasal dari kata ‘bina’ yang berarti “bangun” mendapat awalan “per” dan akhiran “an” menjadi pembinaan yang berarti pembangunan. Sedang mental berarti yang mengenai batin.(Poerwadaminta, 1976 : 141). Mengenai mental Dr. Zakiyat Darodjat berpendapat ; “Mental sering digunakan sebagai ganti dari kata personality (kepribadian) yang berarti semua unsur jiwa termasuk pikiran, emosi, sikap, dan perasaan yang dalam keseluruhan dan kebulatannya akan menentukan corak laku cara menghadapi suatu hal yang menekan perasaan, mengecewakan atau menyenangkan dan sebagainya”.(Darodjat, 1982 : 38-39) Secara sederhana mental dapat diartikan sebagai kebulatan yang dinamik
seseorang
yang
tercermin
dalam
cita-cita,
sikap,
dan
perbuatannya. (Mursal, 1977 : 86) Sedangkan agama adalah serangkaian perintah Tuhan tentang perbuatan dan akhlak, yang dibawa oleh para Rasul untuk menjadi pedoman bagi umat manusia. (Husein, 1989 : 23) Yang dimaksud agama disini adalah Islam berdasarkan definisi masing-masing istilah tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud pengertian pembinaan mental agama adalah usaha yang diarahkan bagi terbentuknya kebulatan gerak-gerik yang dinamis sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. Dalam arti yang luas pembinaan mental agama adalah
21
bagian dari da’wah yakni suatu usaha untuk merealisasikan ajaran Islam dalam semua segi kehidupan manusia. (Ahmadi, 1986 : 2) Dengan demikian dalam pelaksanaannya baik yang berhubungan dengan objek, sobjek, metode, materi, dan media yang digunakan tidak berbeda dengan aktifitas dakwah. 2. Fungsi dan Tujuan Pembinaan Mental Agama a. Fungsi Pembinaan Mental Agama Pembinaan mental agama mempunyai fungsi-fungsi yang bermaksud untuk membantu individu yang bermasalah diantaranya adalah : 1. Fungsi rehabilitasi, peran pada pembinaan mental terfokus pada penyesuaian
diri,
menyembuhkan
masalah
psikologi yang
dihadapi, mengembalikan kesehatan mental dan mengatasi gangguan emosional. 2. Fungsi Preventif adalah suatu upaya untuk mencapai individuindividu sebelum mereka mencapai masalah kejiwaan karena kurangnya perhatian. Upaya ini meliputi pengembangan strategistrategi dan program-program yang dapat digunakan untuk mencoba mengantisipasi dan mengelakan resiko-resiko hidup yang tidak perlu terjadi. 3. Fungsi Edukatif, peran edukatif terfokus pada membantu orangorang
yang
meningkatkan
ketrampilan
dalam
kehidupan,
mengidentifikasikan dan memecahkan masalah-masalah hidup,
22
dan membantu meningkatkan kemampuannya menghadapi transisi dalam kehidupan untuk keperluan-keperluan jangka pendek, membantu orang-orang mengendalikan kecemasan, meningkatkan ketrampilan komunikasi antar pribadi memutuskan arah hidup, menghadapi kesepian dan semacamnya. (Manrihu, 1996 : 17-20) Dalam literatur keislaman, kita menemukan bahwasannya fungsi tersebut dapat dikelompokkan menjadi: 1. Fungsi preventif: yakni membantu individu menjaga atau mencegah timbulnya masalah bagi dirinya. 2. Fungsi
Kuratif
atau
korektif,
yakni
membantu
individu
memecahkan masalah-masalah yang sedang dihadapi atau dialaminya. 3. Fungsi Preservatif, yakni membantu individu menjaga agar situasi dan kondisi yang semula tidak baik (mengandung masalah) yang telah menjadi baik (terpecahkan) itu kembali menjadi baik (tidak menimbulkan masalah kembali). 4. Fungsi Developmen atau pengembangan, yakni membantu individu memelihara dan mengembangkan situasi dan kondisi yang telah baik agar tetap baik atau menjadi lebih baik. b. Tujuan Pembinaan Mental Agama. Dalam konteks kehidupan beragama pembinaan mental agama adalah usaha yang dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran memelihara secara terus menerus terhadap tatanan nilai agama agar
23
perilaku hidupnya senantiasa pada norma-norma yang ada dalam tatanan itu. (Su’udi, 1986 : 1) Menurut Hamdhani Khalifah, usaha tersebut dilakukan dengan maksud/tujuan tertentu sebagai berikut. “Maksud diadakan pembinaan kehidupan moral manusia dan penghayatan keagamaan dalam kehidupan seseorang bukan sekedar mempercayai aqidah dan pelaksanaan tata upacara keagamaan saja, tetapi merupakan usaha yang terus-menerus untuk menyempurnakan diri pribadi dalam hubungan vertikal dengan Tuhan dan horisontal dengan sesama manusia dan alam sekitarnya sehingga mewujudkan keselarasan dan keseimbangan hidup menurut fitrah kejadiannya”. (Kholifah, 1984 : 16) Sedangkan
Hussein
Segaf
menyatakan
bahwa
tujuan
pembinaan mental agama tersebut dapat dijabarkan secara operasional, yaitu : a. Memperkuat ketaqwan dan amal keagamaan di dalam masyarakat. b. Terwujudnya sikap masyarakat yang konstruktif dan responsif terhadap gagasan-gagasan pembangunan. c. Mempertahankan masyarakat dan mengamalkan Pancasila dan membudayakan P4. d. Memperkuat komitmen (keterikatan) bangsa Indonesia, mengikis sebab-sebab dan kemungkinan, serta berkembangnya atheisme, komunisme, kemusyrikan, dan kesesatan masyarakat.
24
e. Menimbulkan sikap mental yang didasari oleh Rahman dan Rahim Allah, pergaulan yang rukun dan serasi baik antar golongan maupun antar agama ; f. Mengembangkan generasi muda yang sehat, cakap, terampil dan taqwa kepada Allah SWT ; g. Terwujudnya lembaga-lembaga ketaqwaan yang memberikan peran bagi terwujudnya pembangunan nasional ; dan h. Tumbuhnya kegairahan dan kebanggaan hidup beragama dan mengenali motivasi keagamaan untuk lebih mendorong kemajuan gerak pembangunan bangsa Indonesia. (Segaf, 1989 : 29-30) 3. Metode Pembinaan Mental Agama Sebagaimana dijelaskan bahwa dalam arti yang lebih luas, pembinaan mental agama merupakan bagian dari dakwah. Karena pengertian dakwah dapat ditinjau dari dua segi ; segi pembinaan dan segi pengembangan. (Syukir, 1983 : 20) Oleh karena itu, baik metode media maupun materi pembinaan mental agama tidak berbeda jauh dengan aktivitas dakwah. Metode pembinaan mental agama menurut Hussein Segaf, dapat dilihat dari dua segi ; sasaran yang dihadapi dan sifat pembinaan. Dari segi sasaran yang dihadapi, pembinaan mental agama dapat dilakukan melalui ; metode individual dan metode kelompok. (Segaf, 1989 : 47) Metode individu disebut dengan personal approach (pendekatan pribadi), karena dalam pelaksanaannya secara langsung dilakukan secara
25
pribadi yang bersangkutan, seperti ; dengan memberi nasehat, memberi penjelasan maupun dengan membantu memecahkan masalah yang dihadapi. Sedangkan metode kelompok, lebih menitikberatkan pada komunikasi umat secara komprehensif, dengan menggunakan komunikasi massa. Hal ini disebabkan oleh karena jumlah umat (mad’u) yang demikian banyak memerlukan sentuhan menyeluruh dan sekaligus. Adapun pembinaan agama dilihat dari sifat pembinaannya, adalah melalui lisan, seperti ceramah, diskusi, tanya jawab dan sebagainya, dan metode keteladanan (akhlak), yaitu pembinaan melalui keteladanan yang diwujudkan dalam bentuk sikap, kreatifitas, kemampuan menunjukkan prestasi maupun hidup rukun dalam masyarakat.(Ya'kub, 1986 : 47-48) Selain media tersebut, ada media lain yang dapat pula dimanfaatkan dalam pembinaan mental Agama. Media yang dimaksud seperti ; lembaga pendidikan, lingkungan keluarga, seni budaya, hari-hari besar Islam, dan juga organisasi-organisasi Islam. (Syukir, 1983 : 168169) Sedangkan mengenai materi pembinaan adalah ajaran Islam itu sendiri, yaitu semua ajaran yang datangnya dari Allah yang dibawa oleh Rasulullah SAW, meliputi Aqidah, Syari’ah, serta akhlakul karimah.
26
C. Remaja 1. Pengertian Remaja Istilah yang sering dipakai untuk menunjukkan kata remaja adalah pubertas dan adolesen. Menurut Singgih D. Gunarsa, pengertian remaja adalah : "Masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa, meliputi semua perkembangan yang dialami sebagai persiapan memasuki masa dewasa, seperti perubahan-perubahan pada jasmani, kepribadian, intelek dan peranannya di dalam maupun di luar lingkungan dan perbedaan proses perkembangan
pada
psiko-seksualitas
dan
emosionalitas
yang
mempengaruhi tingkah laku pada remaja yang sebelumnya pada masa anak-anak tidak nyata pengaruhnya. (Gunarsa, 1989 : 16-17) 2. Kebutuhan Psikologis Remaja Pada mulanya remaja kurang aman dalam hidupnya, hal ini disebabkan karena banyaknya kebutuhan yang diinginkan remaja sebagai akibat
dari
proses
perkembangan
sosial
maupun
psikologis.
Keseimbangan antara kebutuhan dan rasa puas yang dialami remaja sering menjadi sumber masalah bagi remaja itu sendiri maupun orang lainnya, seperti keadaan keluarga yang kurang harmonis, pandangan tentang masa depan yang kurang pasti, baik bagi remaja yang bersekolah maupun yang tidak sekolah.
27
Suatu hal yang menjadi persoalan bagi remaja adalah tentang keyakinan agama. Dalam menjalankan aktifitas agama, beribadah dan sebagainya, remaja sangat dipengaruhi oleh lingkungannya. Andi Mappiare berpendapat bahwa kuat atau lemahnya minat keagamaan pada remaja dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu : a. Ada atau tidaknya pembiasaan sebagai pengaruh pendidikan keagamaan sejak kecil yang dapat mempolakan praktek keagamaan sejak dalam remaja. b. Ada atau tidaknya praktek keagamaan dalam lingkungan, terutama teman pergaulan. Jika tetangga dan sahabat seseorang banyak yang aktif beribadah maka individu tadi sangat mungkin akan minatnya dalam praktek keagamaan. c. Ada atau tidaknya tanggung jawab terhadap pendidikan agama terhadap remaja. Jika orang tua punya tanggung jawab kuat terhadap agama dan aktif beribadah untuk memberikan contoh kepada anakanak mereka. (Mappiare, 1983 : 71) 3. Remaja Sebagai Potensi Umat Remaja memiliki peranan yang amat penting dalam kehidupan umat manusia, karena wataknya yang dinamis dan penuh harapan. Sejak dahulu para Nabi dan para pemimpin telah melakukan pembinaan pada remaja, mereka mengharapkan untuk mempunyai generasi yang handal untuk menggantikan mereka (kaum tua) sebagai pemimpin umat.
28
Dalam kenyataan ini remaja banyak berperan serta dalam roda pembangunan, tidak heran jika perencanaan dalam pembangunan Indonesia meletakkan pemuda sebagai kader penerus, sebagai dinyatakan dalam GBHN sebagai berikut : "Penyelenggara pembinaan dan pembinaan pemuda menjadi tanggung jawab bersama antara orang tua, masyarakat, pemerintah dan pemuda itu sendiri melalui upaya peningkatan, pemantapan menanamkan dan menumbuhkembangkan kesadaran bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,
memperkukuh
kepribadian,
meningkatkan
disiplin,
mempertinggi budi pekerti, meningkatkan kecerdasan dan kreatifitas, memperkuat semangat belajar dan etos kerja serta memliki keahlian dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani untuk mewujudkan pemuda Indonesia yang berkualitas. (Tap MPR RI, 1995 : 117)