BAB II TINJAUAN UMUM SHALAT BERJAMAAH DAN IMAM SHALAT
A. Pengertian Shalat Berjama’ah Shalat jamaah adalah shalat yang dikerjakan secara bersama-sama di bawah pimpinan imam.1 Dalam shalat jama’ah ada dua unsur dimana salah satu diantara mareka sebagai pemimpin yang disebut dengan imam, sementara unsur yang kedua adalah mereka yang mengikutinya yang disebut dengan ma’mum.2 Maka apabila dua orang sembahyang bersama-sama dan salah seoarang dari mereka mengikuti yang
lain, maka keduanya disebut
melakukan shalat berjamaah. Shalat jamaah lebih baik (afdhal) karena mengandung hikmah yang sangat besar. Di mana di dalamnya terdapat semangat persaudaraan (ukwah), dan menambah semangat untuk melaksanakan ibadah, suasana kebersamaan dan keteraturan di bawah pimpinan seorang imam.3 Umat muslim laki-laki maupun perempuan yang berhimpun di suatu tempat (masjid) itu berdiri berbaris, sebaris atau beberpa baris dan memilih salah satu dari mereka (lakilaki) sebagai imam yang akan memimpin shalat jamaah tersebut, maka shalat tersebut sudah merupakan shalat jamaah yang sempurna. Sembahyang lima
1
Cyrl Glasse, Ensiklopedi Islam, tarj. Ghufron A. Mas’adi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999, hlm. 487 2 Muhammad Baqir al-Habsyi, Fiqh Praktis, Menurut al-Qur’an, As-Sunnah dan Pendapat Para Ulama, Bandung: Mizan, 1999, hlm. 193 3 Imam Ahmad Ibnu Hambal, Betulkah Shalat Anda, tarj. Umar Hubeis Bey Arifin, Jakarta: Bulan Bintang, 1974, hlm. 125
17
18
waktu bagi laki-laki, berjamaah di masjid lebih baik dari pada sembahyang berjama’ah di rumah, kecuali sembahyang sunnah, maka rumah lebih baik. B. Hukum Shalat Jamaah dan Dasar Hukumnya Jumhur ulama sependapat bahwa shalat berjama’ah secara umum adalah lebih afdhal dari pada shalat sendirian. Namun dalam keadaan-keadaan tertentu, para ulama berbeda pendapat tentang hukum shalat jamaah, yaitu : 1. Malikiyah diantara mereka ada yang berpendapat bahwa shalat jamaah sunnah muakkadah 4 dan ada yang berpendapat fardhu kifayah. 2. Hanabilah berpendapat wajib ‘ain atas orang-orang lelaki yang dapat melaksanakannya walaupun dalam keadaan musafir dan keadaan takut. 3. Syafi’iyyah, menentukan kewajiban sebagai fardhu a’in, bila tidak ada di suatu kota/desa selain dua orang muslim yang dapat berjama’ah, maka bagi mereka wajib melaksanakan tiap shalat fardhu dengan jamaah, agar mempertahankan syi’ar Islam dan sunnah Nabi, apabila jamaah sudah melaksanakan maka berbalik hukumnya menjadi fardhu kifayah. 4. Hanafiyah, berpendapat bahwa shalat jamaah adalah sunnah muakkadah hampir sama dengan wajib, berdosalah siapa yang biasa meninggalkanya.5 Sedangkan
Ibnu
Rusyd
membagi
hukum
shalat
jamaah
mengelompokkan menjadi dua keadaan yaitu :6
4
Sunat yang tetap Rasul kerjakan atau yang lebih banyak dikerjakan dari pada tidak dikerjakan sambil memberi pengertian bahwa dia bukan fardhu. Lihat. Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001, hlm. 434. 5 Imam Ahmad Ibnu Hambal, op. cit., hlm. 130 6 Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid, Indonesia: Daar al-Maktabah al-Arabiyah, t.th, hlm. 102
19
1. Segi hukum shalat berjama’ah Dalam hal ini yang dijadikan pertimbangan adalah keadaan jamaah apakah mendengar suara azan atau tidak. Bagi orang yang mendengar azan jumhur fuqaha berpendapat hukumnya sunnah atau fardhu kifayah, sedangkan menurut kelompok ahlu dhahir,7 hukumnya adalah fardhu ‘ain bagi setiap mukallaf.8 2. Menjalankan Shalat yang sudah dilakukan di Masjid dengan jama’ah Seseorang yang memasuki masjid, padahal ia sudah menjalankan shalat wajib. Jika ia melakukan shalat sendirian, kemudian ada shalat jamaah, maka ia harus mengulangi shalat secara berjamaah, kecuali untuk shalat maghrib. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Malik dan Malikiyah. Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat, mengulangi seluruh shalatnya (dengan berjamaah) kecuali shalat maghrib dan ashar. Sedangkan al-Auza’i mengecualikan untuk shalat maghrib dan subuh. Abu Staur mengecualikan shalat ashar dan subuh, sedangkan Imam Syafi’i tidak mengecualikan apapun.9
7
Ulama Dzahir adalah ulama yang mengutamakan dzahir ayat saja (harfiyah) di dalam menafsirkan ayat al-Qur'an dan Hadits tidak melakukan ta’wil. Maka ajaranya sering disebut dengan mazhab al-Zahiriyah yang salah satu tokohnya adalah Daud bin al-Zahiriyyah (815883.M)di mana pada masanya aliran ini cukup berpengaruh di Afrika Utara. Lihat : Mochtar Effendy, Ensiklopedi Agama dan Filsafat, Universitas Sriwijaya, 2001, hlm. 51 8 Ibnu Rusyd, Loc. .cit 9 Ibid., hlm. 103
20
Shalat berjama’ah diperintahkan untuk melaksanakan, dalam keadaan apapun termasuk dalam keadaaan perang sekalipun. dapat kita lihat dalam firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 102 :
(102:)ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ
ﻙ ﻌ ﻤ ﻡ ﻬ ﻡ ﻁﹶﺎ ِﺌ ﹶﻔ ﹲﺔ ِﻤ ﹾﻨ ﻼ ﹶﺓ ﹶﻓ ﹾﻠ ﹶﺘ ﹸﻘﻡ ﺍﻟﺼ ﻬ ﺕ ﹶﻟ ﻤ ﹶ ﻡ ﹶﻓَﺄ ﹶﻗ ﺕ ﻓِﻴ ِﻬ ﻭِﺇﺫﹶﺍ ﹸﻜ ﹾﻨ ﹶ
Artinya : Apabila engkau (Rasullah Saw) berserta mereka dalam peperangan, sedang engkau bermaksud hendak sembahyang dengan mereka, maka hendaklah sebagian dari mereka berdiri untuk sembahyang dengan Engkau. (Q.S. an-Nisa :102)10 Sedangkan dalam hadist Rasulullah banyak sekali yang menjelaskan tentang keutamaan shalat berjamaah, diantaranya :
ﻋ ِﺔ ﺎﺠﻤ ﻼ ﹸﺓ ﺍ ﹾﻟ ﺼﹶ ﻡ ﺴﱠﻠ ﻭ ِﻴﻪ ﹶﻠﷲ ﻋ ُ ﺼﻠﱠﻰ ﺍ ﷲ ِ ﻭلُ ﺍ ﺴ ﺭ ل َ ﺭ ﻗﹶﺎ ﻤ ﻋ ﻥ ِ ﺒ ﻥ ﺍ ﻋ 11
( ) ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻯ ﻭ ﻤﺴﻠﻡ
ﺠ ﹰﺔ ﺭ ﺩ ﻥ ﻴ ﺸ ِﺭ ﻋﹾ ِ ﻭ ﺒ ٍﻊ ﺴ ﻼﺓِ ﺍ ﹾﻟ ﹶﻔ ﱢﺫ ِﺒ ﹶﻋﻠﹶﻰ ﺼ ُﻀل ﹶﺘ ﹾﻔ
Artinya : Dari Ibnu Umar, katanya Rasulullah telah bersabda : “Kebaikan sembahyang berjama’ah melebihi sembahyang sendirian sebanyak 27 derajat. (HR. Bukhari dan Muslim) C. Syarat-Syarat Shalat Jama’ah Menurut Muhammad Jawad Mughniyah bahwa shalat berjamaah harus memenuhi syarat-syarat tertentu, ia membagi 11 persyaratan yang harus dipenuhi dalam melaksanakan shalat jamaah :12 1. Islam, menurut kesepakatan ulama 2. Berakal, menurut kesepakatan ulama
10
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjamahnya, Jakarta: Intermassa, 1986, hlm. Imam Muslim, Shahih Muslim, Beirut Libanon: Daar al-Fikr al-Ilmiyah, t. th. 113 12 Muhammad JawadMughniyah, Fiqh Lima Mazhab, (tarj.), Jakarta: Lentera, 2001, hlm. 11
135.
21
3. Adil, menurut mazhab Imamiyah, Maliki dan Hambali, bahwa imam shalat itu menunjukkan kepemimpinan, sedangkan orang yang durhaka tidak pantas sama sekali untuk menjadi imam. Kemudian juga bahwa orang yang merasa percaya kepada seorang laki-laki lalu ia shalat di belakangnya (menjadi makmum), kemudian ternyata orang tersebut fasik, maka dalam hal ini tidak wajib mengulangi shalatnya. 4. Laki-laki, wanita tidak sah menjadi imam untuk laki-laki, dan sah apabila mengimami sesama kaum wanita, demikian menurut seluruh mazhab selain Maliki. Pertimbangan lain ketidakbolehan ini dikhawatirkan dapat menimbulkan fitnah.13 5. Baligh, ini merupakan syarat pada Maliki, Hanafi dan Hambali. Sedangkan Syafi’i sah istida’ (mengikuti) dengan anak yang mumayiz (dapat membedakan yang baik dan yang buruk). 6. Jumlah, seluruh ulama sepakat bahwa sekurang-kurangnya sah jamaah selain pada shalat jum’ata itu apabila jumlahnya dua orang, di mana salah satunya imamnya. 7. Makmum tidak menempatkan dirinya di depan Imam, menurut semua pendapat semua ulama kecuali pada mazhab Maliki. Maliki mengatakan makmum tidak batal shalatnya walaupun ia berada di depan Imam. 8. Berkumpul dalam satu tempat tanpa penghalang, Syafi’i mengatakan bahwa jarak antara imam dan makmum bisa lebih dari tiga ratus hasta,
13
Abu Bakar Jabir El-Jaziri, Pola Hidup Muslim : Thaharah, ibadah dan Akhlak, (tarj.) Rachmat Djatnika & Ahmad Sumpeno, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991, hlm. 93. lihat juga. Ahmad Husnan, Keadilan Hukum Islam Antara Wanita dan Laki-laki, Solo : Alhusna, 1995, hlm. 110.
22
dengan syarat tidak ada penghalang antara keduanya. Hanafi berpendapat jika seorang yang berada di rumah dan posisinya bergandengan dengan masjid dan hanya dipisahkan dengan dinding, maka shalatnya sah dengan syarat gerakan imam tidak samar bagi si miskin. Namun bila letaknya berjauhan dengan masjid dan dipisahkan dengan sungai misalnya, maka jamaahnya tidak sah. Maliki, perbedaan tempat tidak menjadi penghalang sahnya jama’ah, meskipun terhalang dengan jalan, sungai atau dinding selama makmum masih bisa mengikuti gerakan imam dengan tapat.14 9. Makmum harus niat mengikuti imam. Makmum yang akan shalat di belakang seseorang harus berniat mengikuti shalat tersebut. Sebab jelas sekali bahwa sekedar shalat di belakang seseorang, atau di sampingnya, tanpa niat bukanlah disebut shalat jamaah.15 10. Shalat makmum dan imam harus sama, jumhur sepakat tidak sah jika terdapat perbedaan antara dua shalat dalam hak rukun dan perbuatannya. Seperti shalat dengan fardhu dengan shalat jenazah atau shalat ied. 11. Bacaan yang sempurna, orang yang bacaannya baik (fasih) tidak boleh bermakmum kepada orang yang kurang baik bacaannya, demikian seluruh ulama.16
14
Dalam susunan barisan jamaah, menurut para ulama ada ketentuan untuk meluruskan shaf dan mendirikannya dengan sebaik-baiknya, yaitu : meluruskan barisan shaf, merapatkan shaf, tidak jauh antara shaf pertama dengan shaf di belakng, mengisi shaf yang pertama, imam berdiri di tengah-tengah, jangan berat ke kanan atau ke kiri. Lihat : Hasbi Ash Shiddieqy, Kuliah Ibadah, Semarang: Pustaka Rizki Putera, 2000, hlm. 176 15 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Ja’fari, (tarj.) Syamsuri Rifa’i dkk, Jakarta: Lentera Basritama, 1996, hlm. 208 16 Ibid, hlm. 135-137
23
D. Pengertian Imam Shalat Kata imam dalam bahasa Arab adalah pemimpin, pemuka.17 Sedangkan imam menurut istilah adalah pemuka di dalam berbagai aspek kehidupan umat Islam.18 Sedangkan pengertian imam dalam konteks shalat adalah pimpinan dalam shalat jama’ah, baik dalam kedudukannya yang tetap maupun dalam keadaan yang sementara, sang imam berdiri paling depan dari barisan jama’ah shalat.19 Seorang imam biasanya adalah orang yang baik dalam shalatnya, orang-orang yang berhati-hati mengerjakan shalat, yang memperbaiki caracara shalat, agar mendapat ganjaran orang-orang yang menjadi pengikut (makmum) dan bukan mendapat dosa dari kesalahan orang yang berada di belakangnya.20 Keberadaan imam dalam shalat tidak lepas adanya shalat yang dilakukan secara berjamaah, yaitu shalat yang dilakukan dua orang atau lebih secara bersama-sama dengan ketentuan tertentu, di mana seorang menjadi imam dan yang lainnya menjadi makmum. Maka para jamaah bahu- membahu antara satu dengan yang lain, dengan membentuk satu barisan tentara yang siap melaksanakan perintah dari komandannya. Dengan berdiri satu barisan dan melakukan gerakan-gerakan secara serempak, maka perasaan akan kesatuan tujuan akan tertanam yaitu mengabdi kepada Allah dengan
17
Ahamd Warson Munawir, al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1997, hlm. 40 18 IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992, hlm. 420 19 Cyrl Glasse, op. Cit. hlm. 166-167 20 Imam Ahmad Ibnu Hambal, op. Cit., hlm. 35
24
sedemikian rupa, sehingga bergerak secara serempak, serempak mengangkat tangan dan serempak menggerakkan kaki dan gerakan-gerakan shalat lainnya secara sempurna.21 E. Orang yang Layak Menjadi Imam Imam adalah pemimpin yang menjadi panutan oleh para makmum, maka seorang imam haruslah betul-betul orang yang layak dan pantas untuk memimpin dalam shalat. Tidak diperbolehkan menjadi imam shalat bagi seorang wanita, banci, orang kafir, gila dan bodoh.22 Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa ketentuan imam shalat tidak tidak diatur dalam al-Qur’an. Ketentuan siapa yang berhak menjadi imam dalam shalat dapat kita lihat dalam hadits riwayat Imam Abu Daud sebagai berikut :
ﻓﺈﻥ ﻜﺎﻨﻭﺍ ﻓﻰ ﺍﻟﻘﺭﺍﺓ,ﻴﺅﻤﻥ ﺍﻟﻘﻭﻡ ﺃﻗﺭﺅﻫﻡ ﻟﻜﺘﺎﺏ ﺍﷲ ﻭﺃﻗﺩﻤﻬﻡ ﺍﻟﻘﺭﺍﺓ
ﻓﺈﻥ ﻜﺎﻨﻭﺍ ﻓﻰ ﺍﻟﻬﺠﺭﺓ ﺴﻭﺍﺀ ﻓﻠﻴﺅﻤﻬﻡ,ﺴﻭﺍﺀ ﻓﻠﻴﺅﻤﻬﻡ ﺃﻗﺩﻤﻬﻡ ﺍﻟﻬﺠﺭﺓ
ﺃﻜﺒﺭﻫﻡ ﺴﻨﺎ ﻭﻻ ﻴﺅﻡ ﺍﻟﺭﺠﺎل ﻓﻰ ﺒﻴﺘﻪ ﻭﻻ ﻓﻰ ﺴﻠﻁﺎﻨﻪ ﻭﻻ ﻴﺠﻠﺱ 23
(ﻋﻠﻰ ﺘﻜﺭﻤﺘﻪ ﺇﻻ ﺒﺄﺫﻨﻪ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺒﻭ ﺩﺍﻭﺩ
Artinya : Orang yang lebih menguasai (isi al-Qur’an) dan yang lebih menguasai bacaan (ilmu qira’at dan bacaanya lebih bagus) yang lebih berhak menjadi imam shalat, apabila dalam penguasaan bacaan al-Qur’an berkualitas sama, maka yang lebih berhak menjadi imam adalah orang yang lebih awal melakukan hijrah (ke 21
Abul A’la al-Maududi, Dasar-dasar Islam, tarj. Achsin Mohammad, Bandung: Pustaka, 1984, hlm. 140-141 22 Imam Al-Qurtubi, Jami’ al-Ahkami al-Fiqhiyah, Juz. I, Beirut Libanon: Daar al-Kutub al-Ilmiyah, t. th, hlm.223. Lihat juga. An-Nawawi, Minahaju at-Thalibin, Beirut Libanon : Daar al-Kutub al-Ilmiyah, t. th, 21. 23 Imam Abu Daud, Ain al-Ma’bud, Beirut: Al-Maktabah al-Salafiyah, t.th. hlm. 173
25
Madinah), apabila dalam hal berhijarah juga sama, maka yang lebih berhak mejadi imam adalah yang usianya lebih tua. Seseorang tidak boleh diimami (orang lain) di rumah dan daerahnya, dan tidak mempersilahkan orang lain duduk di tempat yang dimuliakan itu kecuali atas izinnya. (HR. Abu Daud) Dari hadits di atas, dapat kita pahami bahwa ada beberapa pertimbangan
dalam
menentukan
imam
shalat.
Pertimbangan-
pertimbangan tersebut adalah penguasaan bacaan dan ilmu al-Qur’an, hijrah, dan usia. Imam Syafi’i berpendapat bahwa orang yang lebih berhak menjadi imam shalat adalah orang yang paling bagus dalam penguasaan ilmu dan bacaan al-Qur’an (aq’ra), serta orang yang lebih menguasai fiqh (afqah).24 Jika sama dalam posisi tersebut masih sama, menurut Imam Syafi’i adalah orang yang lebih mulia (al-Asyraf), apabila kemuliaannya pun sama maka yang lebih berhak menjadi imam adalah orang yang lebih dahulu melakukan hijrah. Apabila dalam hal hijrah sama, maka yang berhak adalah yang lebih tua umurnya. Abu A’la al-Maududi merumuskan ketentuan imam shalat ini secara lebih luas dan komprehensif, yaitu :25 a. Salih dan Baik Ia mewajibkan bahwa orang yang menjadi imam adalah orang baik, tinggi ilmunya, lebih banyak pengetahuannya tentang al-Qur’an dari
24
Al-Syirazi, Al-Muhadzab fi Fiqh al-Imam al-Syafi’i Radhiya Allahu ‘anh, dalam Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam : Studi tentang Qawl Qadim dan Qawl Jadid, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 143 25 Abul A’la al-Maududi, op. cit., hlm. 142 – 143
26
pada orang lain, serta paling tua umurnya, sebagaimana dijelaskan dalam hadits. b. Mewakili Mayoritas Diwajibkan imam adalah orang yang banyak disukai dan diterima oleh para jama’ah, hampir tidak mempunyai musuh satupun dalam jama’ah tersebut. c. Bersimpati Kepada Pengikut Diwajibkan seorang imam pandai membaca situasi jama’ah. Ia tidak boleh membaca surat-surat panjang, melakukan rukuk dan sujud berlama-lama sementara jama’ahnya terdiri dari pada orang tua, orang sakit, lemah serta orang-orang sibuk yang ingin cepat-cepat menyelesaikan shalatnya dan kembali kepada pekerjaannya. d. Imam Harus Mundur Bila Tidak Mampu Melaksanakan Tugas Apabila seorang imam yang sedang memimpin shalat mengalami suatu hal yang menyebabkan ia tidak dapat menjalankan tugasnya, maka ia harus segera mengundurkan diri dan menempatkan salah seorang yang berada di belakangnya untuk menggantikan kedudukannya. e. Kepatuhan Sepenuhnya Kepada Imam Diwajibkan bagi makmum untuk mengikuti perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh imam dengan sempurna, dalam hal ini makmum tidak boleh mendahului gerakan imam.
27
f. Mengoreksi Kesalahan Apabila imam mengalami kekeliruan gerakan dalam memimpin shalat, maka para jama’ah harus memperingatkannya dengan mengucap tasbih “subhanallah” . inilah cara untuk mengoreksi kesalahan imam. g. Tidak Boleh Patuh dalam Dosa Makmum tidak boleh patuh apabila imam berlawanan dengan sunnah Raasul, imam mengubah cara shalat atau dengan sengaja membaca ayat-ayat al-Qur’an secara salah, atau dalam shalat mengerjakan perbuatan-perbuatan syirk atau kufr, atau melakukan dosa yang terang, maka jama’ah wajib menghentikan shalat dan memisahkan diri dari imam. Shalat jama’ah menurut al-Maududi merupakan miniatur atau latihan kecil untuk menjalankan sebuah pemerintahan yang besar. Suatu latihan yang harus dilakukan lima kali sehari di setiap masjid-masjid. F. Hukum Wanita Sebagai Imam Shalat Mengenai wanita menjadi imam shalat, para fuqaha berbeda pendapat. Jumhur fuqaha berpendapat bahwa kaum wanita tidak boleh mengimami kaum
laki-laki. Menurut Imam Syafi’i wanita mengimami kaum wanita
diperbolehkan,26 imam Malik melarang.27 Imam Abu Hanifah walaupun boleh
26
Al-Mawardi, al-Khawi al-Kabiir, Juz. II, Beirut Libabanon : Daar al-Kutub al-Ilmiyah, t. th., hlm. 356. 27 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima…., op. cit., hlm. 136
28
namun hukumnya makruh.28 Sedangkan pendapat Abu Tsaur dan at-Thabari membolehkan wanita menjadi imam secara mutlak.29 Tentang wanita tidak boleh menjadi imam shalat bagi laki-laki tersebut berdasarkan pada Hadits Rasulullah :
)ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺒﻥ
ﻼ ﺠﹰ ﺭ ﺭَﺃ ﹲﺓ ﻤ ﻥ ﺍ ﻤ ﻻ ﹸﺘ َﺅ ﹶ:ﻡ ﺴﱠﻠ ﻭ ِﻴﻪ ﹶﻠﷲ ﻋ ُ ﺼﻠﱠﻰ ﺍ ﷲ ِ ﻭلُ ﺍ ﺴ ﺭ ل َ ﻗﹶﺎ 30
(ﻤﺎﺠﺔ
Artinya : Telah bersabda Rasulullah Saw : Perempuan janganlah dijadikan imam sedang makmumnya laki-laki. (HR. Ibnu Majjah) Sedangkan fuqaha yang membolehkan kaum wanita menjadi imam atas kaum wanita adalah alasan karena persamaan derajat dalam shalat. Lebihlebih kenyataanya bahwa ketentuan pembolehan ini sudah banyak diriwayatkan dari sejak permulaan Islam. Hal tersebut dapat dilihat dari hadits Riwayat Abu Daud dari Ummu Waraqah sebagai berikut :
ﺎل ﹶﻟﻬ َ ﻌﺠﺎ ﻭﻴ ِﺘﻬ ﺒ ﺎ ﻓِﻰﺭﻫ ﻭ ﺯ ﻴ ﻥ ﻡ ﻜﹶﺎ ﺴﱠﻠ ﻭ ِﻴﻪ ﹶﻠﷲ ﻋ ِ ﺼﻠﱠﻰ ﺍ ﷲ ِ لﺍ َ ﻭ ﺴ ﻥ ﺭ َﺃ 31
(ﺎ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺒﻭﺩﺍﻭﺩﺍ ِﺭﻫل ﺩ َ ﻫ َﺃﻥ ﹶﺘ ُﺅﻡ ﺎ َﺃﺭﻫ ﻤ ﻭﹶﺍ ﺎﻥ ﹶﻟﻬ ﻴ َﺅﺫﱢ
Artinya : Bahwa Rasullah Saw pernah mengunjungi (Ummu Waraqah) di rumahnya, dan menunjuk seorang muadzin yang melakukan azan untuknya, dan memerintahkan Ummu Waraqah untuk menjadi imam (shalat) bagi seisi rumahnya. (HR. Abu Daud). Berdasarkan hadits inilah perempuan boleh menjadi imam bagi perempuan, karena Rasulullah telah memberikan izin kepada Ummu Waraqah nin Naufal ketika menyuruhnya menjadi muadzin untuk shalat di rumahnya
28
Al-Mawardi al-Basri, loc. cit. Ibnu Rusyd, op. cit., hlm. 105 30 Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, 31 Imam Abu Daud, op. cit., hlm. 167 29
29
bersama keluarganya.32 Menurut keterangan al-Asqalani dalam kitab Bulugh al-Maram bahwa di rumah tersebut terdapat dua lelaki tanggunganya, yaitu seorang kakek dan seorang budak (laki-laki).33
32
Al-Hanbali, Syarkhu az-Zarkasyi, Beirut : Huquq al-Thaba’ Mahfudhah, t.th., hlm. 95-
33
Lihat keterangan dalam Al-Asqalani, Bulughul Maram, Bandung : Almaarif, 1984,
96 hlm. 158
30
1. Cyrl Glasse, Ensiklopedi Islam, tarj. Ghufron A. Mas’adi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999. 2. Muhammad Baqir al-Habsyi, Fiqh Praktis, Menurut al-Qur’an, AsSunnah dan Pendapat Para Ulama, Bandung: Mizan, 1999. 3. Imam Ahmad Ibnu Hambal, Betulkah Shalat Anda, tarj. Umar Hubeis Bey Arifin, Jakarta: Bulan Bintang, 1974. 4. Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid, Indonesia: Daar al-Maktabah alArabiyah, t.th. 5. Mochtar Effendy, Ensiklopedi Agama dan Filsafat, Universitas Sriwijaya, 2001. 6. Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjamahnya, Jakarta: Intermassa, 1986, hlm. 7. 1 Imam Muslim, Shahih Muslim, 8. Muhammad JawadMughniyah, Fiqh Lima Mazhab, (tarj.), Jakarta: Lentera, 2001. 9. Abu Bakar Jabir El-Jaziri, Pola Hidup Muslim : Thaharah, ibadah dan Akhlak, (tarj.) Rachmat Djatnika & Ahmad Sumpeno, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991. 10. Hasbi Ash Shiddieqy, Kuliah Ibadah, Semarang: Pustaka Rizki Putera, 2000. 11. Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Ja’fari, (tarj.) Syamsuri Rifa’i dkk, Jakarta: Lentera Basritama, 1996. 12. Ahamd Warson Munawir, al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1997. 13. IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992. 14. Abul A’la al-Maududi, Dasar-dasar Islam, tarj. Achsin Mohammad, Bandung: Pustaka, 1984. 15. Imam Al-Qurtubi, Jami’ al-Ahkami al-Fiqhiyah, Juz. I, Beirut Libanon: Daar al-Kutub al-Ilmiyah, t. th. 16. Al-Syirazi, Al-Muhadzab fi Fiqh al-Imam al-Syafi’i Radhiya Allahu ‘anh, dalam Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam : Studi tentang Qawl Qadim dan Qawl Jadid, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002. 17. Al-Mawardi al-Basri, Al-Khawi al-Kabir, Beirut Libanon: Daar alKutub al-Ilmiah, t.th.