BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Status Gizi 1. Pengertian status gizi Status gizi adalah suatu keadaan tubuh yang diakibatkan oleh keseimbangan antara asupan zat gizi dengan kebutuhan. Jika keseimbangan tadi terganggu, misalnya pengeluaran energi dan protein lebih banyak dibandingkan pemasukkan maka akan terjadi kekurangan energi protein, dan jika berlangsung lama akan timbul masalah yang dikenal dengan KEP berat atau gizi buruk. (Depkes RI, 2000b). Status gizi dipengaruhi oleh konsumsi makanan dan penggunaan zat – zat gizi di dalam tubuh. Bila tubuh memperoleh cukup zat – zat gizi dan digunakan
secara
efisien
akan
tercapai
status
gizi
optimal
yang
memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin. (Almatsier, 2001). Status gizi yaitu keadaan kesehatan individu-individu atau kelompok yang ditentukan oleh derajat kebutuhan fisik akan energi dan zat-zat gizi lain yang diperoleh dari pangan dan makanan yang dampak fisiknya diukur secara antropometri (Suhardjo, 2003). Menurut Almatsier (2004), status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat – zat gizi. Penelitian status gizi merupakan pengukuran yang didasarkan pada data antropometri. Status gizi merupakan ekspresi satu aspek atau lebih dari nutriture seorang individu dalam suatu variabel (Hadi, 2002). 2. Konsep pengertian status gizi Dalam pembahasan masalah gizi ada 3 konsep yang satu sama dengan lainnya saling berkaitan yang perlu dipahami ke tiga konsep tersebut adalah a) Proses dari organisme dalam menggunakan bahan makanan melalui proses pencernaan, penyempurnaan transportasi, penyimpanagan metabolisme proses ini disebut nutrition; b) Keadaan yang diakibatkan oleh keseimbangan
antara pemasukkan gizi di suatu pihak dan pengeluaran oleh organisme dilain pihak disebut nutriture; c) ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, atau perwujudan dari nutriture disebut nutrition status. 3. Faktor yang mempengaruhi status gizi a. Faktor langsung 1) Asupan makanan. Penyebab gizi kurang tidak hanya disebabkan makanan yang kurang tetapi juga karena penyakit. Anak yang mendapat makanan yang baik tetapi karena sering sakit diare atau demam dapat menderita kurang gizi. Demikian pada anak yang makannya tidak cukup baik maka daya tahan tubuh akan melemah dan mudah terserang penyakit. Kenyataannya baik makanan maupun penyakit secara bersama – sama merupakan penyebab kurang gizi (Soekirman, 2000). Konsumsi makanan dalam keluarga dipengaruhi jumlah dan jenis pangan yang dibeli, pemasakan, distribusi dalam keluarga dan kebiasaan makan secara perorangan. Konsumsi juga tergantung pada pendapatan, agama, adat istiadat, dan pendidikan keluarga yang bersangkutan (Almatsier, 2001). 2) Penyakit infeksi. Penyakit infeksi dapat menyebabkan gizi kurang dan sebaliknya yaitu gizi kurang akan semakin memperberat sistem pertahanan tubuh yang selanjutnya dapat menyebabkan seorang anak lebih rentan terkena penyakit infeksi. Penyakit infeksi yang paling sering menyebabkan gangguan gizi dan sebaliknya adalah infeksi saluran nafas akut (ISPA) terutama tuberculosis dan diare. Sehingga disini terlihat interaksi antara konsumsi makanan yang kurang dan infeksi merupakan dua hal yang saling mempengaruhi. b. Faktor tidak langsung 1) Ketahanan pangan Kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarga dalam jumlah yang cukup dan baik mutunya.
2) Pola pengasuhan Kemampuan keluarga untuk menyediakan waktunya, perhatian dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal baik fisik, mental, dan sosial. 3) Pelayanan kesehatan dan sanitasi lingkungan Tersedianya air bersih dan sarana pelayanan kesehatan dasar yang terjangkau oleh seluruh keluarga. Sistem pelayanan kesehatan yang ada diharapkan dapat menjamin penyediaan air bersih dan sarana pelayanan kesehatan dasar yang terjangkau oleh setiap keluarga yang membutuhkan. Faktor – faktor tersebut sangat terkait dengan tingkat pendidikan, pengetahuan,
dan
ketrampilan
keluarga.
Makin
tinggi
pendidikan,
pengetahuan, dan ketrampilan keluarga terdapat kemungkinan makin baik tingkat ketahanan pangan keluarga, makin baik pola pengasuhan anak dan keluarga makin banyak memanfaatkan pelayanan yang ada. Ketahanan pangan keluarga juga terkait dengan ketersediaan pangan, harga pangan, dan daya beli keluarga, serta pengetahuan tentang gizi dan kesehatan. Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), ada 3 faktor penyebab gizi buruk , yaitu: 1) Keluarga miskin, 2) Ketidaktahuan orangtua atas pemberian gizi yang baik bagi anak, 3) Faktor penyakit bawaan pada anak, seperti : jantung, tbc, hiv / aids, saluran pernafasan, dan diare. c. Penilaian Status Gizi. Salah satunya dengan pengukuran tubuh manusia yang dikenal antropometri. Antropometri telah dikenal sebagai indicator untuk penilaian status gizi perseorangan maupun masyarakat. Pengukuran antropometri dapat dilakukan oleh siapa saja dengan hanya memerlukan latihan sederhana. Di Indonesia jenis antropometri : Indeks BB/U Adalah pengukuran total berat badan, termasuk air, lemak, tulang, dan otot, dan diantara beberapa macam indeks antropometri, indeks BB/U merupakan indikator yang paling umum digunakan.
Kelebihan indeks ini, yaitu : Indikator yang baik untuk KEP akut dan kronis dan untuk memonitor program yang sedang berjalan, sensitif terhadap perubahan keadaan gizi yang kecil, pengukuran obyektif dan bila diulang memberikan hasil yang sama, peralatan dapat dibawa kemana – mana dan relatif mudah, pengukuran mudah dilaksanakan dan teliti, pengukuran tidak memerlukan waktu yang lama. Kelemahan indeks ini : Tidak sensitif terhadap anak yang terlalu tinggi tetapi gizi kurang, data umur kadang – kadang kurang dapat dipercaya, umur anak kurang 2 tahun biasanya teliti dan bila ada kesalahan mudah dikoreksi, sebaliknya sulit memperkirakan umur anak lebih dari 2 tahun. Indeks TB/U atau PB/U Tinggi badan kurang peka dipengaruhi oleh pangan dibandingkan dengan berat badan. Oleh karena itu tinggi badan menurut umur yang rendah biasanya akibat dari keadaan kurang gizi yang kronis, tetapi belum pasti memberikan petunjuk bahwa konsumsi zat gizi pada waktu ini tidak cukup. TB/U lebih menggambarkan status gizi masa lalu. Indeks TB/U disamping dapat memberikan gambaran tentang status gizi masa lampau juga lebih erat kaitannya dengan masalah sosial ekonomi. Oleh karena itu indeks TB/U selain digunakan sebagai indikator status gizi dapat pula digunakan sebagai indikator perkembangan keadaan sosial ekonomi masyarakat. Indeks BB/TB atau BB/PB Ukuran antropometri yang terbaik adalah menggunakan BB/TB atau BB/PB karena dapat menggambarkan status gizi saat ini dengan lebih sensitif dan spesifik. Berat badan memiliki hubungan linier dengan berat badan dalam keadaan normal akan searah dengan pertambahan tinggi badan dengan kecepatan tertentu. Penggunaan indeks BB/TB untuk identifikasi status gizi, indeks BB/TB merupakan indikator yang baik untuk menanyakan status gizi saat ini, terlebih bila data umur akurat sulit diperoleh, oleh karena itu indeks BB/TB disebut pula indikator status gizi yang independen terhadap umur.
TABEL 1 GABUNGAN BEBERAPA INDEKS ANTROPOMETRI BB / TB BB / U TB / U Status gizi Normal Rendah Rendah Baik, pernah kurang gizi Normal Normal Rendah Baik Normal Tinggi Tinggi Jangkung, baik Rendah Rendah Tinggi Buruk Rendah Rendah Normal Buruk / kurang Rendah Normal Tinggi Kurang Tinggi Tinggi Rendah Lebih, kemungkinan obes Tinggi Normal Rendah Lebih, pernah kurang gizi Tinggi Tinggi Normal Lebih, tetapi tidak obes Sumber : Arisman, 2007 Bentuk indikator gabungan diatas dimaksudkan untuk mempertajam dan memperjelas interprestasi status gizi agar penanggulangannya dapat lebih baik dalam menentukan prioritas maupun jenis perlakuan atau intervensi. TABEL 2 KLASIFIKASI STATUS GIZI Indeks BB/U
Status gizi Ambang batas Gizi lebih > 2, 0 SD Gizi baik - 2, 0 SD / + 2 SD Gizi kurang < - 2 SD Gizi buruk < -3,0 SD TB / U Normal > 2, 0 SD Pendek < - 2 SD BB / TB Gemuk > 2, 0 SD Normal - 2,0 SD / + 2, 0 SD Kurus < -2, 0 SD Sangat kurus < - 3,0 SD Sumber : Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII, 2004. * SD = Standar Deviasi. B. Faktor – faktor yang berhubungan dengan status gizi balita 1. Tingkat Pendidikan Ibu Pendidikan adalah jenjang pendidikan formal yang pernah dialami seseorang dan berijazah. Pendidikan dapat mempengaruhi seseorang dalam kesehatan terutama pada pola asuh anak, alokasi sumber zat gizi serta utilisasi informasi lainnya. Rendahnya tingkat pendidikan ibu menyebabkan berbagai keterbatasan dalam menangani masalah gizi dan keluarga serta anak
balitanya. Pendidikan ibu merupakan modal utama dalam menunjang ekonomi keluarga juga berperan dalam penyusunan makan keluarga, serta pengasuhan dan perawatan anak. Bagi keluarga dengan tingkat pendidikan yang tinggi akan lebih mudah menerima informasi kesehatan khususnya di bidang gizi, sehingga dapat menambah pengetahuannya dan mampu menerapkan dalam kehidupan sehari- hari. Pendidikan adalah suatu proses yang berjalan berkesinambungan. Mulai dari usia anak – anak sampai dewasa karena itu memerlukan beraneka cara dan sumber. Tingkat pendidikan merupakan salah satu indikator sosial dalam masyarakat karena melalui pendidikan sikap tingkah laku manusia dapat meningkat dan berubah citra sosialnya. Disamping itu, tingkat pendidikan dapat juga dijadikan sebagai cermin keadaan sosial ekonomi didalam masyarakat. Tujuan akhir dari suatu pendidikan pada dasarnya adalah untuk menghilangkan faktor-faktor perilaku dan sosial budaya yang merupakan hambatan bagi perbaikan kesehatan, menumbuhkan perilaku dan sosial budaya yang positif sehingga baik individu maupun masyarakat itu dapat meningkatkan sendiri taraf kesehatan masyarakat. Tingkat pendidikan turut menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap atau memahami pengetahuan gizi yang mereka peroleh. Peningkatan tingkat pendidikan akan meningkatkan pengetahuan kesehatan dan gizi yang selanjutnya menimbulkan sikap dan perilaku yang positif. Keadaan ini dapat mencegah timbulnya masalah gizi yang tidak diinginkan. Sebagian besar kejadian gizi buruk dapat dihindari apabila ibu mempunyai cukup pengetahuan tentang cara memelihara gizi dan mengatur makanan anak, tetapi pandangan yang semata – mata menghubungkan kejadian gizi buruk dengan tingkat penghasilan keluarga menyebabkan pendidikan ibu seakan – akan tidak bermanfaat. Meningkatkan pengetahuan sedimikian penting orang tua yang buta huruf dengan kemampuan yang terbatas akan memberikan makanan yang salah, sehingga akan dapat menimbulkan masalah malnutrisi.
2. Tingkat pengetahuan ibu Ibu adalah seorang yang paling dekat dengan anak haruslah memiliki pengetahuan tentang gizi. Pengetahuan minimal yang harus diketahui seorang ibu adalah tentang kebutuhan gizi, cara pemberian makan, jadwal pemberian makan pada balita, sehingga akan menjamin anak dapat tumbuh dan berkembang dengan optimal. Kurangnya pengetahuan gizi dan kesehatan orang tua khususnya ibu, merupakan salah satu penyebab terjadinya kekurangan gizi pada balita. Masa peralihan antara saat disapih dan mengikuti pola makan orang dewasa, merupakan masa rawan karena ibu anak mengikuti kebiasaan yang keliru. Penyuluhan gizi dengan bukti – bukti perbaikan gizi pada anak dapat memperbaiki sikap ibu yang kurang menguntungkan pertumbuhan anak. Pengetahuan gizi dipengaruhi oleh beberapa faktor, disamping pendidikan yang pernah dijalani, faktor lingkungan sosial dan frekuensi kontak dengan media massa juga mempengaruhi pengetahuan gizi. Salah satu penyebab terjadinya gangguan gizi adalah kurangnya pengetahuan gizi atau kemampuan untuk menerapkan informasi tentang gizi dalam kehidupan sehari-hari. (Suhardjo, 2003). Tingkat pengetahuan gizi ibu sebagai pengelola rumah tangga akan berpengaruh pada macam bahan makanan yang dikonsumsinya. Adapun tingkat pengetahuan ibu dalam pemberian makanan adalah sebagai berikut: 1) Ketidaktahuan akan hubungan makanan dan kesehatan. Kehidupan sehari-hari terlihat keluarga yang berpenghasilan cukup akan tetapi makanan yang disajikan seadanya saja. Dengan demikian, kejadian gangguan gizi tidak hanya ditemukan pada keluarga yang berpenghasilan kurang akan tetapi juga pada keluarga yang berpenghasilan relatif baik (cukup). Keadaan ini menunjukkan bahwa ketidaktahuan akan faedah makanan bagi kesehatan tubuh merupakan sebab buruknya mutu gizi makanan keluarga, khususnya makanan balita (Moehji, 2002).
2) Kesukaan terhadap jenis pangan tertentu. Mengembangkan kebiasaan pangan, mempelajari cara berhubungan dengan konsumsi pangan dan menerima atau menolak bentuk atau jenis pangan tertentu, dimulai dari permulaan hidupnya dan menjadi bagian dari perilaku yang berakar diantara kelompok penduduk. Dimulai sejak dilahirkan sampai beberapa tahun makanan anak-anak tergantung pada orang lain. Anak balita akan menyukai makanan dari makanan yang dikonsumsi orang tuanya. Dimana makanan yang disukai orang tuanya akan diberikan kepada anak balitanya (Suhardjo, 2003). Kebiasaan makan inilah akan menyebabkan kesukaan terhadap makanan. Tetapi kesukaan yang berlebihan terhadap suatu jenis makanan tertentu atau disebut sebagai faddisme makanan akan mengakibatkan kurang bervariasinya makanan dan akan mengakibatkan tubuh tidak memperoleh semua zat gizi yang diperlukan (Sjahmien Moehji, 2002). Pengetahuan gizi yang baik akan menyebabkan seseorang mampu menyusun menu yang baik untuk dikonsumsi. Semakin banyak pengetahuan gizi seseorang, maka ia akan semakin memperhitungkan jenis dan jumlah makanan yang diperolehnya untuk dikonsumsi (Sediaoetama, 2000). Semakin bertambah pengetahuan ibu maka seorang ibu akan semakin mengerti jenis dan jumlah makanan untuk dikonsumsi seluruh anggota keluarganya termasuk pada anak balitanya. Hal ini dapat meningkatkan kesejahteraan anggota keluarga, sehingga dapat mengurangi atau mencegah gangguan gizi pada keluarga. Kurangnya pengetahuan dan salah konsepsi tentang kebutuhan pangan dan nilai pangan adalah umum dijumpai setiap negara di dunia. Kemiskinan dan kekurangan persediaan pangan yang bergizi merupakan faktor penting dalam masalah kurang gizi, penyebab lain yang penting dari gangguan gizi adalah kurangnya pengetahuan tentang dan mengetahui kemampuan untuk menerapkan informasi tersebut dalam kehidupan sehari-hari (Suhardjo, 2003).
3. Tingkat pendapatan Anak-anak yang tumbuh dalam suatu keluarga miskin paling rentan terhadap kurang gizi diantara seluruh anggota keluarga dan anak yang paling kecil biasanya paling terpengaruh oleh kekurangan pangan. Jumlah keluarga juga mempengaruhi keadaan gizi. (Suhardjo, 2003). Kemiskinan sebagai penyebab kurang gizi menduduki posisi pertama pada kondisi yang umum. Hal ini harus mendapat perhatian yang serius karena keadaan ekonomi ini relatif mudah diukur dan berpengaruh besar pada konsumsi pangan. Golongan miskin menggunakan bagian terbesar dari pendapatan untuk memenuhi kebutuhan makanan. Pendapatan keluarga merupakan penghasilan dalam jumlah keluarga yang akan dibelanjakan oleh keluarga dalam bentuk makanan. Ketidakstabilan ekonomi dapat berakibat pada rendahnya tingkat kesejahteraan rakyat yang antara lain tercermin pada maraknya masalah gizi kurang dan gizi buruk di masyarakat. Masalah kurang gizi memperlambat pertumbuhan ekonomi dan mendorong proses kemiskinan melalui tiga cara. Pertama, kurang gizi secara langsung menyebabkan hilangnya produktivitas karena kelemahan fisik. Kedua, kurang gizi secara tidak langsung menurunkan kemampuan fungsi kognitif dan berakibat pada rendahnya tingkat pendidikan. Ketiga, kurang gizi dapat menurunkan tingkat ekonomi keluarga karena meningkatnya pengeluaran untuk berobat. Tingkat dan kualitas konsumsi makanan anggota rumah tangga miskin tidak memenuhi kecukupan gizi sesuai kebutuhan. Asupan makanan yang tidak mencukupi, anggota rumah tangga, termasuk anak balitanya menjadi lebih rentan terhadap infeksi sehingga sering menderita sakit. Umumnya, jika pendapatan naik, jumlah dan jenis makanan cenderung ikut membaik juga. Akan tetapi, mutu makanan tidak selalu membaik kalau diterapkan tanaman perdagangan. Tanaman perdagangan menggantikan produksi pangan untuk rumah tangga dan pendapatan yang diperoleh dari tanaman perdagangan itu atau upaya peningkatan pendapatan yang lain tidak dicanangkan untuk membeli pangan atau bahan-bahan pangan berkualitas gizi tinggi (Suhardjo, 2003).
Tingkat penghasilan ikut menentukan jenis pangan apa yang akan dibeli dengan adanya tambahan uang. Semakin tinggi penghasilan, semakin besar pula persentase dari penghasilan tersebut dipergunakan untuk membeli buah, sayur mayur dan berbagai jenis bahan pangan lainnya. Jadi penghasilan merupakan faktor penting bagi kuantitas dan kualitas. Antara penghasilan dan gizi, jelas ada hubungan yang menguntungkan. Pengaruh peningkatan penghasilan terhadap perbaikan kesehatan dan kondisi keluarga lain yang mengadakan interaksi dengan status gizi yang berlawanan hampir universal. Ahli ekonomi berpendapat bahwa dengan perbaikan taraf ekonomi maka tingkat gizi pendukung akan meningkat. Namun ahli gizi dapat menerima dengan catatan, bila hanya faktor ekonomi saja yang merupakan penentu status gizi. Kenyataannya masalah gizi bersifat multikompleks karena tidak hanya faktor ekonomi yang berperan tetapi faktor-faktor lain ikut menentukan. Oleh karena itu perbaikan gizi dapat dianggap sebagai alat maupun sebagai sasaran daripada pembangunan (Suhardjo, 2003). 4. Jumlah anggota keluarga Anak – anak yang sedang tumbuh dari suatu keluarga miskin, adalah yang paling rawan terhadap gizi kurang diantara semua anggota keluarga. Anak yang paling kecil biasanya yang paling terpengaruh oleh kekurangan pangan. Situasi semacam ini sering terjadi sebab seandainya besar keluarga bertambah, maka pangan untuk setiap anak berkurang dan banyak orang tua yang tidak menyadari bahwa anak – anak yang sedang tumbuh memerlukan pangan relative lebih tinggi daripada golongan yang lebih tua. Semua keluarga tanpa memandang pendapatannya, harus mengetahui batas tertinggi persediaan pangan yang tersedia dihubungkan dengan pertumbuhan penduduk, terutama di negara – negara sedang berkembang yang laju kelahirannya paling tinggi. Banyak sumber daya yang diperlukan untuk pengembangan dan pemeliharaan manusia sangat terbatas, yang salah satu pokok diantaranya adalah pangan. Anak-anak, wanita yang sedang hamil dan menyusui merupakan kelompok yang rawan akan kekurangan gizi. Apabila mereka hidup dalam
keluarga dengan jumlah yang besar dan kesulitan dalam persediaan pangan tentunya masalah gizi atau gangguan gizi akan timbul (Suhardjo, 2003). Pembagian pangan yang tepat kepada setiap anggota keluarga sangat penting untuk mencapai gizi yang baik. Pangan harus dibagikan untuk memenuhi kebutuhan gizi setiap orang dalam keluarga. Anak, wanita hamil dan menyusui harus memperoleh sebagian besar pangan yang kaya akan protein. Semua anggota keluarga sesuai dengan kebutuhan perorangan, harus mendapat bagian energi, protein dan zat-zat gizi lain yang cukup setiap harinya untuk memenuhi kebutuhan tubuh (Suhardjo, 2003). Semua keluarga tanpa memandang pendapatannya, harus mengetahui batas tertinggi persediaan pangan yang tersedia dihubungkan dengan pertumbuhan penduduk. Banyak sumber daya yang diperlukan untuk pengembangan dan pemeliharaan manusia, salah satunya adalah pangan, sangat terbatas. Oleh karena itu, semua program masyarakat terutama dalam pertanian, perlu menekankan pentingnya keluarga berencana dan pembatasan penduduk, sehingga petani dapat menanam cukup pangan guna menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan dan kesehatan keluarganya. Selain itu juga menyediakan kebutuhan keluarga dan pendapatan melalui tanaman perdagangan yang dihasilkan (Suhardjo, 2003).
C. Kerangka Teori Status gizi
Infeksi penyakit
Asupan gizi
-Persediaan makanan tingkat Rumah Tangga.
Jumlah anggota keluarga
Pendapatan per kapita
-Perilaku / asuhan ibu dan anak
Pelayanan kesehatan lingkungan
Pengetahuan ibu
Kemiskinan, kurang pendidikan, ketersediaan pangan pemanfaatan SDM.
Stabilitas ekonomi, sosial, dan politik.
GAMBAR 1 FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI STATUS GIZI Sumber : Soekirman, 2000 dengan modifikasi
D. K erangka Konsep Pendidikan ibu
Status gizi balita
Pengetahuan ibu
Pendapatan per kapita Jumlah anggota keluarga
GAMBAR 2
Hipotesis 1. Ada hubungan pendidikan ibu dengan status gizi balita. 2. Ada hubungan pengetahuan ibu dengan status gizi balita. 3. Ada hubungan pendapatan per kapita dengan status gizi balita. 4. Ada hubungan jumlah anggota keluarga dengan status gizi balita.