BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini akan dijelaskan teori-teori yang berhubungan dengan penelitian ini. Secara garis besar teori-teori tersebut membahas mengenai tinjauan perilaku berbelanja, tinjauan ritel modern, pergerakan penduduk, struktur ruang kota dan tinjauan studi-studi terdahulu.
II.1
Tinjauan Perilaku berbelanja
Perilaku manusia merupakan fungsi dari individu dan lingkungan. Artinya Individu memiliki kehendak dan lingkungan yang turut menentukan apakah kehendak tersebut dapat dilaksanakan atau tidak. Pada dasarnya Individu dalam melakukan kegiatan berbelanja dipengaruhi oleh dua jenis kondisi, yaitu kondisi keadaan individu melalui struktur mental dan nilainya (biasanya didekati dengan karakteristik tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, etnis dan sebagainya) dan rangsangan pengaruh yang ditimbulkan oleh keadaan potensi dari tempat-tempat perbelanjaan (seperti daya tarik lokasi, jarak pencapaian dan sebagainya). Kedua keadaan tersebut berupa timbal balik dan tidak dapat dipisahkan. Penelaahan Davies dalam R.J Johnston (1973) memperlihatkan bahwa struktur pendapatan penduduk dalam suatu kawasan tertentu mempengaruhi karakteristik pola berbelanja penduduknya. Penelitian C.J Thomas dalam D.T. Herbert et.al (1976) memperlihatkan bahwa masyarakat berstatus ekonomi tinggi umumnya memiliki mobilitas yang lebih besar dibanding dengan masyarakat berstatus ekonomi rendah. Masyarakat berstatus ekonomi tinggi cenderung untuk menggunakan pusat-pusat perdagangan yang lebih besar dan jauh lokasinya. Oleh Davies, kaitan diatas dicerminkan dengan keadaan komposisi struktur fasilitas perdagangan yang terbentuk dalam kawasan yang bersangkutan. Menurut Bromley & Thomas (1993), dengan terjadinya perkembangan ritel pada saat ini yang ditandainya dengan berdirinya berbagai pusat perbelanjaan di luar kawasan pusat kota, terdapat kelompok “yang tidak diuntungkan” yang memiliki tingkat pendapatan rendah, kemampuan daya beli dan mobilitas yang
18
rendah jika dibandingkan kelompok “yang diuntungkan”. Kelompok yang tidak diuntungkan ini diantaranya masyarakat berpendapatan rendah, kelompok umur tua, pengangguran, jenis kelamin wanita dan kelompok minoritas. Kelompok yang tidak diuntungkan ini cenderung memanfaatkan supermarket lokal dan toko eceran skala kecil lainnya. Menurut Bowlby (dalam Bromley & Thomas, 1993) terdapat tiga faktor yang mempengaruhi kemampuan mobilitas seseorang. Ketiga faktor tersebut adalah pemilikan kendaraan, tingkat pendapatan, dan tingkat kesehatan. Ketiga faktor ini saling terkait satu sama lain. Menurut Daniel dan Warnes (1980) dalam pandangan konseptualnya tentang pergerakan individu dalam suatu kota terdapat enam jenis faktor yang secara nyata dan simultan memberikan andil dalam membentuk pola ruang pergerakan individunya yaitu : waktu pergerakan, karakteristik internal individu (umur, pekerjaan, pendapatan, kesehatan dan lain-lain), lokasi rumah, banyaknya pilihan moda transportasi, siklus kehidupan, kondisi-kondisi sosial budaya.
II.2
Tinjauan Pusat Ritel Modern
II.2.1 Pengertian Pusat Ritel Modern
Ada beberapa definisi mengenai pusat perbelanjaan menurut beberapa ahli. Jones (1993;455) mendefinisikan pusat perbelanjaan sebagai sekelompok ritel (pada umumnya lebih dari lima ritel) yang beroperasi secara bersama-sama dan dikelola oleh satu badan usaha. Menurutnya yang membedakan pusat ritel modern dengan pertokoan adalah pembauran jenis usaha, desain bangunan, struktur biaya sewa, dan tentunya luas ukuran lantainya lebih besar. Di Indonesia sendiri belum ada peraturan baku yang mendefinisikan pengertian pusat perbelanjaan. Namun berdasarkan Rancangan Peraturan Daerah Kota Bandung tentang Pasar Modern, 2005, menyebutnya dengan istilah pasar modern dan toko modern. Pasar modern adalah pasar dengan manajemen pengelolaan gedung tetap berada di satu tangan yang kegiatan usahanya menjual dan / atau menyewa tempat usaha sebagai tempat belanja, yang menggunakan
19
metode manajemen modern, didukung dengan teknologi modern serta mengutamakan kenyamanan pelayanan berbelanja seperti plaza, mall, shopping center dan sejenisnya. Toko modern adalah toko kegiatan usahanya menjual berbagai jenis barang secara eceran atau perkulakan/grosir dengan menggunakan manajemen modern, mengutamakan kenyamanan pelayanan berbelanja dilengkapi dengan label harga seperti departement store, mini market, supermarket, hypermarket, perkulakan, cash and carry dan sejenisnya. Klasifikasi pasar modern adalah sebagai berikut :
Pasar modern kecil dengan luas bangunan sampai dengan 10.000 m2
Pasar modern menengah dengan luas bangunan diatas 10.000 m2 sampai dengan 50.000 m2
Pasar modern besar dengan luas bangunan diatas 50.000 m2
Sedangkan toko modern adalah sebagai berikut :
Toko modern kecil dengan luas gerai sampai dengan 200 m2
Toko modern menengah dengan luas gerai diatas 200 m2 sampai dengan 4.000 m2
Toko modern dengan luas gerai diatas 4.000 m2
(Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Bandung) Menurut Perwira dan Imansyah, 1998:22-23 (dalam Donny Hondy S, 1999), tempat perbelanjaan modern di Indonesia secara umum terbagi : 1. Pusat Perbelanjaan (shopping center) Pusat perbelanjaan (shopping center) adalah suatu gedung yang didalamnya mencakup berbagai toko, departement store, supermarket, restoran, bioskop, dan tempat bermain anak. Dengan demikian pusat ritel merupakan bangunan besar dengan luas lantai mencakup ribuan meter persegi. Pusat perbelanjaan ini sehari-hari dikenal dengan sebutan plaza, mall, dan shopping center. 2. Departement store Departement store adalah usaha perdagangan eceran yang dilakukan oleh suatu group/perusahaan tertentu terutama yang menjual barang jenis pakaian, aksesories, sepatu dan perlengkapan rumah tangga. Namun demikian suatu
20
departement store juga dapat menjual kebutuhan sehari-hari. Tetapi hal ini tidak umum, kalaupun ada biasanya terbatas pada barang-barang kelontongan. Barang-barang yang dijual ditata berdasarkan kelompok jenis barang dan pembeli dipersilahkan melayani diri sendiri (self service), mulai dari memilih, mengumpulkan barang belanjaan yang diakhiri dengan membayar pada kasir. Departement store dapat berlokasi pada pusat perbelanjaan dan juga bisa berdiri sendiri. 3. Pasar swalayan (Supermaket) adalah suatu usaha perdagangan eceran yang dilakukan oleh suatu perusahaan tertentu yang menjual barang-barang kebutuhan sehari-hari. Barang-barang yang dijual ditata berdasarkan kelompok jenis barang dan pembeli dipersilahkan untuk melayani diri sendiri (self service), mulai dari memilih, mengumpulkan barang belanjaan dan diakhiri dengan membayar kasir. Pasar swalayan ini bisa berlokasi pada pusat perbelanjaan dan bisa berdiri sendiri. Dalam sehari-hari dikenal juga toko serba ada (toserba), kios serba ada (kiserba), warung serba ada (waserba), dan minimarket yang kesemuanya merupakan bagian dari pasar swalayan (supermarket) Ada beberapa jenis produk yang ditemukan pada pusat ritel modern (carn, 1988. dikutip dari Bappeda kota Bandung 2002) yaitu : 1. Convenience goods atau low order goods, secara umum merupakan komoditas yang tidak tahan lama, dimana secara relatif harganya tidak mahal dengan frekuensi pembelian yang tinggi (harian, mingguan, bulanan). Karena telah menjadi aktivitas yang rutin dimana kualitas dan harga telah diketahui maka dengan sendirinya telah terbentuk pola perjalanan aktivitas berbelanja. Contohnya barang kebutuhan sehari-hari. 2. Shopping goods atau high-order goods (consumer goods, istilah yang digunakan oleh Chapin), merupakan komoditas tahan lama, harganya relatif mahal dan frekuensi pembelian yang tidak terlalu sering. Faktor-faktor yang menentukan adalah besarnya keinginan untuk memilikinya. Akibatnya konsumen sering melakukan perbandingan terhadap barang tersebut untuk maksud memperoleh kualitas dan harga yang terendah dari pasaran. Oleh
21
sebab itu tidaklah mengherankan bahwa konsumen melakukan perjalanan khusus untuk berbelanja walaupun jarak yang ditempuh cukup jauh. Contohnya pakaian, sepatu, tas, perlengkapan rumah tangga dan sebagainya. 3. Specialty goods merupakan barang dengan sifat transaksi yang frekuensinya sangat jarang untuk satu keluarga atau kelompok sehingga ambang penduduk yang diperlukan lebih kecil. Misalnya barang elektronik, barang kerajinan dan sebagainya. Berdasarkan pengertian tersebut diatas, dalam penelitian ini digunakan klasifikasi ritel modern menurut Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Bandung dengan membedakan berdasarkan jenis usaha yaitu : minimarket, supermarket, departemen store, hypermarket, shopping center.
II.2.2 Hierarki Ritel Modern
Ritel modern merupakan salah satu fasilitas sosial yang dibutuhkan oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan dasarnya seperti sandang dan pangan. Ritel modern tersebut memiliki fungsi, ukuran, kapasitas dan lingkup pelayanan yang berbeda sesuai dengan besar kecilnya lingkungan dan fungsi serta peran suatu lingkungan. Bertitik tolak dari hal tersebut maka didalam suatu pelayanan ritel modern akan terdapat pengertian “tingkatan” atau hirarki dari pusat-pusat ritel modern tersebut. Semakin besar fungsi dan peranan suatu lingkungan maka akan semakin besar pula fungsi dan peranan dari pusat-pusat ritel tersebut baik dalam kuantitatif maupun kualitatif. Berdasarkan teori klasik pusat pelayanan (tempat terpusat) mengatakan bahwa suatu areal pelayanan dilayani oleh satu pusat pelayanan. Luas areal pelayanan tersebut sebanding dengan hirarki skala pelayanan dan jangkauan pelayanan. Menurut teori ini manusia secara naluriah selalu akan mengalami suatu proses dalam pemenuhan kebutuhannya. Manusia akan mencari suatu pusat pemenuhan kebutuhan yang paling dekat, mudah dan murah dicapai serta yang sesuai dan dapat memenuhi selera kebutuhannya. Demikian juga pihak penyedia kebutuhan tersebut akan selalu mempertimbangkan penempatan kegiatan
22
usahanya sebagai tempat melayani kebutuhan yang memenuhi persyaratan mudah menarik dan mendapat konsumen, lokasi yang mudah dicapai, strategis dalam arti dapat dicapai dari semua arah secara merata dan dapat memperoleh keuntungan sebesar-besarnya (Djoko Sujarto, 1989). Dengan asumsi bahwa penduduk merupakan makhluk rasional dan ekonomis yang selalu berupaya menggunakan usaha dan ongkos yang sekecil mungkin untuk mendapatkan pelayanan, maka penilaian terhadap jarak jangkau maksimal berdasarkan tata jenjang pelayanan pencapaian merupakan indikator penilaian dalam memahami ruang wilayah. Pada kenyataannya pusat pelayanan dengan tingkatan (hirarki) pelayanan yang sama sering kali mempunyai daya layan yang berbeda (Donny Prakoso, 1992:19). Menurut Berry seperti dalam Yeates dan Garner, pengertian tempat terpusat adalah pengelompokan lokasi ritel dan perusahaan jasa pada suatu tempat yang menyediakan kemudahan bagi konsumen yang mengunjunginya untuk membeli barang dan jasa yang mereka butuhkan. Dalam mengunjungi sebuah lokasi tempat terpusat, seorang konsumen menghendaki seminimum mungkin usaha yang dikeluarkan. Oleh karena itu, sebuah tempat terpusat harus memiliki aksesibilitas yang tinggi dan berlokasi pada wilayah pelayanannya. Kualitas lokasi diarahkan sebagai pemusatan yang direfleksikan dalam ukuran lokasinya, jumlah fungsi pelayanan terpusat yang berbeda-beda yang berada dalam satu lokasi. Karenanya semakin besar ukuran tempat fungsional maka semakin luas areal wilayah terpusat. Satu dasar hirarki dari tempat terpusat menurut Yeates dan Garner (1993) adalah lebih tinggi tingkat pemusatan yang mempunyai lebih banyak fungsi terpusat, lebih banyak populasi perusahaan dan unit fungsionalnya yang teraglomerasi di sana. Lebih tinggi level suatu tempat terpusat akan menarik konsumen melakukan perjalanan dengan jarak lebih panjang dari pada tempat terpusat dengan tingkat yang lebih rendah. Lebih dari itu luas area perdagangan untuk tempat terpusat tingkat tinggi akan lebih luas dari pada tempat terpusat yang lebih rendah untuk jenis barang.
23
Menurut Yeates & Garner (1993), faktor-faktor yang mempengaruhi jarak perjalanan oleh penghuni perdesaan ke tempat terpusat untuk membeli barang dan jasa meliputi : karakteristik individu, movement imagery dan perilaku ruang. Karakteristik individu meliputi usia, jenis kelamin, pendapatan dan pendidikan yang secara umum merupakan karakterisitik sosial ekonomi. Dengan lebih tinggi status ekonomi maka akan lebih besar kemampuan untuk membeli dan lebih mungkin untuk melakukan aktivitas belanja. Sebagai contoh, Berri mencatat dalam studinya di Midwest bahwa kelompok berpendapatan rendah
cenderung
ke
patronise
clother
centers
dari
pada
kelompok
berpendapatan tinggi yang berbelanja di tempat terpusat. Dengan sistem tempat terpusat, konsumen berpendapatan rendah cenderung mengunjungi tempat terpusat yang tingkatnya lebih rendah dan hanya sekali-kali mengunjungi tempat terpusat yang levelnya lebih tinggi. Berbeda dengan kelompok yang memiliki pendapatan lebih tinggi akan sering melakukan perjalanan jauh untuk belanja kebutuhan sehari-hari (convenience goods) maupun shopping goods dari level pusat-pusat pelayanan yang lebih tinggi. Movement Imagery didefinisikan oleh Huff sebagai dorongan pergerakan dari konsumen dari satu wilayah ke wilayah lainnya dalam usaha mencari guna mencapai objek tujuannya (Huff, 1990:163, dalam Yeates dan Garner, 1980). Dorongan pergerakan konsumen mempengaruhi panjang perjalanan, waktu perjalanan dan biaya yang mendatangkan efek gesekan terhadap jarak. Perilaku ruang secara esensi merupakan bagian dari sistem tempat terpusat yang dirasakan individu sebagai sumber potensi untuk memuaskan permintaan akan barang dan jasa. Perilaku ruang individu akan dikondisikan dari informasi konsumen yang diperoleh tentang struktur hirarki pusat pelayanan dari pengalaman pribadi sebelumnya dan atau informasi dari iklan. Kemampuan tempat terpusat untuk memuaskan permintaan konsumen tergantung dari jumlah perusahaan dan fungsi-fungsi terpusat dalam penyediaanya. Pada kenyataannya ukuran pusat pelayanan menjadi faktor pengaruh yang paling signifikan terhadap jarak perjalanan dalam belanja barang dan jasa. Menurut Dawson & Lord (1985 p.1) dalam Healey & Ilbery (1990) mendefinisikan pusat perbelanjaan sebagai sekelompok perusahaan komersial
24
yang didesain, direncanakan, dimiliki, dipasarkan dan dikelola oleh suatu unit. Menurutnya pusat perbelanjaan berbeda dengan shopping distric dimana pada shopping distric merupakan konsentrasi toko dan perusahaan komersial lainnya dimiliki dan dikelola masing-masing individu. Empat klasifikasi hirarki pusat perbelanjaan yang biasa digunakan adalah :
Tabel 2.1 Klasifikasi Hierarki Pusat Pelayanan Tipe
Lokasi
Luas (M2)
Karakteristik
Super Regional
Area pendapatan
> 100.000
Regional
-
> 100 unit ritel
menengah-tinggi Kota
-
> 3 dept. store
Metropolis
-
Fasilitas hiburan (bioskop, dll)
-
Jangkauan pelayanan lebih dari
Persimpangan Jalan Utama
40.000 – 100.000
100.000 populasi
Community
Persimpangan jalan dan
10.000 – 40.000
-
1-3 toko utama
-
Parkir utk lebih dari 4000 kend.
-
Jangkauan pelayanan dari 25.000-
area permukiman baru yang
100.000 populasi
besar
-
Parkir untuk 1000-1500 kend
-
Discount dept store dan katalog showroom sebagai toko utama
Neighbourhood
Persimpangan jalan lokal di
3.000-10.000
-
area permukiman
Jangkauan pelayanan dari 8.00020.000 populasi
-
Supermarket dan/atau drugstore sering digabungkan dengan sekolah, pusat kesehatan dan atau perpustakaan distrik
Sumber : didasarkan pada informasi Dawson (1983); Rogers (1983) dan Daniels (1985a) dalam (Healley & Ilbery, 1990 p.260)
Menurut Lusch (1992) dalam Henche (2005), pusat ritel modern dengan batasan luasan lantai yang dimulai dari skala lingkungan (4.500 m2) kemudian skala kecamatan/distrik (12.500 m2) serta skala kota (36.000 m2) hingga skala metropolitan/kota raya (lebih dari 90.000 m2). Hierarki pusat perbelanjaan menurut Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum dibagi menjadi tiga yaitu pusat perbelanjaan lingkungan, pusat perbelanjaan dan pusat perbelanjaan niaga. Hierarki pusat perbelanjaan tersebut dibedakan berdasarkan jumlah penduduk pendukungnya dan tiap-tiap pusat
25
perbelanjaan memiliki luas minimum berdasarkan kepadatan penduduk di sekitarnya. Tabel II.2 Standar Perencanaan Kebutuhan Pusat Perbelanjaan menurut Cipta Karya Pekerjaan Umum
Hierarki Pusat Perbelanjaan Pusat Perbelanjaan Lingkungan Pusat Perbelanjaan Pusat Perbelanjaan Wilayah
Jumlah Pendukung (Jiwa) 30.000 120.000 480.000
Luas Tiap Unit berdasarkan Kepadatan Penduduk (m2) < 100 100-250 250-500 > 500 jiwa/ha jiwa/ha jiwa/ha jiwa/ha 27.000 20.250 13.500 10.125 72.000 54.000 36.000 27.000 192.000 144.000 96.000 72.000 P
P
Sumber : Buku Pedoman Standar Perencanaan Kebutuhan Sarana Kota Cipta Karya Departemen PU
II.2.3 Peran dan fungsi ritel modern
Ritel modern sebagai fasilitas perbelanjaan selain berfungsi sebagai tempat pelayanan atas barang-barang yang dibutuhkan penduduk, juga merupakan tempat terjadinya transaksi ekonomi antara penjual dan pembeli. Dampaknya memiliki arti penting bagi laju pertumbuhan ekonomi kota secara umum dan pola pemanfaatan ruang secara spasial. Dengan pemilihan penempatan lokasi yang khusus, pusat-pusat ritel modern menjamur disepanjang jalan utama dan hal ini berdampak pada bangkitan perjalanan berbelanja penduduk. Untuk alasan-alasan tertentu, berbelanja adalah penting untuk mendapatkan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh rumah tangga modern. Untuk beberapa kelompok masyarakat tertentu berbelanja juga merupakan bentuk penting dari interaksi sosial. Konsepnya sudah bergeser pada aktivitas yang berlandaskan kesenangan. Menurut Rosemary D.F. Bromley dan Colin J. Thomas, ada beberapa alasan mengenai perubahan sosial ekonomi masyarakat dalam pemanfaatan ritel adalah pertama, mobilitas penduduk yang tinggi sebagai akibat dari peningkatan pemilikan kendaraan. Disamping itu ditunjang dengan pembangunan dan perbaikan prasarana jalan. Hal ini berdampak terhadap meningkatnya volume lalu lintas yang mempengaruhi pergerakan didalam kota serta menimbulkan kemacetan. Kedua, perubahan dalam redistribusi spasial dan komposisi penduduk perkotaan. Dalam upaya counter urbanisasi mengakibatkan pergeseran konsentrasi penduduk dari kawasan pusat kota ke kawasan pinggiran. Kota-kota kecil tumbuh
26
lebih pesat dari pusat kota. Fenomena tersebut diikuti juga oleh pergeseran pengalokasian ritel ke arah pinggiran kota. Ketiga, perubahan karakter dari masyarakat pekerja. Terdapat peningkatan jumlah pekerja wanita paruh waktu selama dasa warsa 1970-an dan 1980-an menyebabkan bisnis dibidang perbelanjaan makin meningkat. Wanita merupakan kelompok masyarakat utama dalam pemanfaatan pusat perbelanjaan. Terakhir, perubahan perilaku sosial dan politik penduduk. Penduduk makin sadar akan pemanfaatan waktu. Aktivitas belanja digunakan sebagai pemanfaatan waktu luang dan hiburan atau berbelanja secara cepat dan tepat waktu.
II.3
Tinjauan Pergerakan Penduduk
Kebutuhan akan pergerakan bersifat sebagai kebutuhan turunan. Pergerakan terjadi karena adanya proses pemenuhan kebutuhan. Pemenuhan kebutuhan merupakan kegiatan yang biasanya harus dilakukan setiap hari, misalnya pemenuhan kebutuhan akan ekonomi, pendidikan, hiburan, sosial, budaya dan lain sebagainya. Pola pergerakan secara fisik sebagian besar ditentukan oleh kebiasaan sosial-ekonomi penduduk, misalnya jam-jam kerja normal, waktu buka toko dan sekolah, waktu-waktu hiburan masyarakat dan peristiwa-peristiwa sosial. Pola pergerakan penduduk dapat dibagi dalam pola pergerakan harian, mingguan dan bulanan. Sebagai makhluk individu dan sosial, manusia mempunyai kebutuhan yang harus dipenuhi baik kebutuhan jasmani maupun rohani. Kebutuhan tersebut menjadi alasan bagi manusia untuk melakukan pergerakan. Ada berbagai alasan mengapa manusia melakukan pergerakan. Alasan-alasan tersebut secara umum mempunyai karakteristik yang sama dan menjadi karakteristik pergerakan yang polanya lebih terlihat di perkotaan. Menurut Bromley dan Thomas, 1993, salah satu alasan terjadinya pergerakan di perkotaan adalah mengenai kecenderungan sosial ekonomi, yaitu mobilitas masyarakat yang tinggi sebagai akibat dari peningkatan pesat pemilikan kendaraan. Hal ini ditunjang dengan pembangunan dan perbaikan prasarana jalan, sehingga masyarakat mampu untuk menjangkau tempat
27
berbelanja yang lebih jauh. Disamping itu, kelompok masyarakat yang tidak memiliki kendaraan menjadi terkelompok sebagai golongan dengan mobilitas rendah terhadap fasilitas perkotaan. Akibat selanjutnya dari pertumbuhan pemilikan kendaraan ini adalah meningkatnya volume lalu lintas yang mempengaruhi pergerakan di dalam kota, serta menimbulkan kemacetan. Daniel dan Warners (1983) menyatakan bahwa faktor yang berpengaruh terhadap pergerakan adalah kondisi sosial ekonomi seperti banyaknya anggota keluarga yang bekerja dan penghasilan keluarga (atau sesuatu yang mencerminkan penghasilan keluarga seperti pemilikan kendaraan), pola guna lahan dan pembangunan, serta daya hubung. Menurut Warpani (1990) beberapa penentu pergerakan yang dapat diterapkan di Indonesia adalah; penghasilan keluarga, jumlah pemilikan kendaraan, jarak dari pusat kegiatan kota, moda perjalanan, penggunaan kendaraan dan waktu. Pergerakan keluarga erat kaitannya dengan aktivitas-aktivitas yang dilakukan keluarga. Sedangkan aktivitas-aktivitas keluarga sangat dipengaruhi oleh karakteristik keluarga. Karakteritik keluarga yang mempengaruhi pergerakan ini antara lain adalah pendapatan keluarga, pemilikan kendaraan serta struktur dan jumlah jiwa per-keluarga. Semua karakteristik ini mempengaruhi tingkat kebutuhan keluarga dan frekuensi pergerakan yang dilakukan keluarga tersebut.
II.4
Tinjauan Struktur Kota
Dalam membahas fasilitas pelayanan suatu wilayah atau kawasan tidak akan terlepas dari teori struktur kota. Hal ini dikarenakan fasilitas merupakan salah satu komponen yang dibutuhkan oleh suatu kota. Berdasarkan perkembangannya, ada tiga teori struktur kota, yaitu : konsentrik, sektoral dan pusat banyak.
28
II.4.1 Teori Konsentrik
Dalam teori struktur kota konsentrik yang dikemukakan oleh Burgess, kota dibagi ke dalam beberapa zona. Secara garis besar model konsentris terbagi menjadi tiga zona, yaitu zona pusat, zona transisi/peralihan dan zona pinggiran. Secara berurut dari pusat ke pinggiran, struktur konsentrik terdiri dari komponenkomponen sebagai berikut : -
Pusat Kota
-
Industri Ringan
-
Permukiman golongan rendah
-
Permukiman golongan menengah
-
Permukiman golongan tinggi
Salah satu komponen yang ada di pusat kota adalah fasilitas pelayanan (khususnya pusat perbelanjaan) yang dalam teori ini dianggap mampu melayani penduduk dalam skala kota yang mencakup penduduk yang berada di zona pinggiran.
II.4.2 Teori Sektoral
Berbeda dengan teori konsentrik, teori struktur kota sektroral yang dikembangkan oleh Hommer Hoyt menjelaskan bahwa semua jenis permukiman baik permukiman golongan rendah, menengah maupun tinggi mempunyai akses yang sama ke pusat kota. Dengan demikian, semua penduduk di setiap permukiman
mendapat
kesempatan
yang
sama
(aksesibilitas)
dalam
mengkonsumsi fasilitas pelayanan yang berada di pusat kota.
II.4.3 Teori Pusat Banyak (Multiple Nuclei)
Seiring dengan berkembangnya kegiatan, yang didukung oleh sistem transportasi, memudahkan pergerakan individu ke pusat-pusat kegiatan. Namun perkembangan ini tidak selamanya menguntungkan. Pada suatu titik tertentu perkembangan itu justru merugikan individu maupun pusat kegiatan itu sendiri karena timbul kemacetan sehingga individu mengkonsumsi di pusat-pusat pelayanan yang berada tidak di pusat kota.
29
Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka dikembangkan pusat-pusat kegiatan baru di daerah pinggiran. Munculnya teori Multiple Nuclei yang dikembangkan oleh Harris Ullman mengarah pada desentralisasi kegiatan sehingga terbentuk pusat-pusat kegiatan baru yang berada di luar kawasan pusat. Menurut teori ini perkembangan suatu kota cenderung membentuk suatu pusat banyak dimana kegiatan-kegiatan yang saling menguntungkan akan beraglomerasi pada suatu kawasan, sehingga muncul suatu kawasan perdagangan, kawasan pemerintahan, kawasan pendidikan dan sebagainya. Perkembangan teori pusat banyak mengilhami arahan pengembangan kegiatan ke wilayah pinggiran dengan membentuk/membangun pusat-pusat kegiatan baru yang menarik penduduk berpendapatan menengah ke atas dari pusat sebagai akibat kepadatan di pusat kota. Perkembangan wilayah pinggiran lebih dipercepat dalam tumbuhnya “bussiness parks and offices towers” mulai tahun 1970-an (Cervero, 1989:136 dalam Rudi Danarto, 2003) yang mengarah pada pergeseran strktur ekonomi (Pivo, 1990:457 dalam Rudi Danarto,2003), sehingga terjadi desentralisasi ke wilayah pinggiran termasuk di dalamnya fasilitas pelayanan, dimana wilayah pinggiran telah berkembang menjadi pusat-pusat kegiatan baru (Raharjo, 1997:18 dalam Rudi Danarto,2003)
II.5
Tinjauan studi-studi terdahulu
Ridwan Sutriadi, 1996, dalam mengamati keadaan dan proses pemanfaatan fasilitas toko oleh penduduk kawasan pinggiran lebih melihat pada faktor-faktor yang mempengaruhi penduduk wilayah pinggiran dalam memanfaatkan fasilitas toko dan proses perkembangan pemanfaatan toko tersebut. Ridwan menemukan bahwa 68.69% penduduk pinggiran sudah memanfaatkan fasilitas toko di kawasan pinggiran dan hanya 14% yang masih memanfaatkan fasilitas toko di kawasan transisi maupun pusat kota. Untuk kawasan pinggiran bagian Timur, 17.65% penduduk memanfaatkan fasilitas toko di kawasannya sendiri. Untuk pergerakan ke fasilitas toko terdekat, ditemukan ridwan bahwa antara pergerakan ke fasilitas toko terdekat dengan fasilitas toko tidak dekat seimbang. Alasan penduduk kawasan tidak menggunakan fasilitas toko terdekat dikarenakan faktor kualitas
30
dan kuantitas. Sedangkan bagi penduduk yang menggunakan fasilitas terdekat lebih disebabkan karena kemudahan trasnportasi. Selain ini ridwan menemukan juga bahwa umumnya 52% penduduk memindahkan lokasi pemanfaatan fasilitas toko mereka ke tempat tinggal yang baru dengan alasan transportasi. Dengan jarak jangkau sama seperti jarak jangkau fasilitas toko yang lama. Henche,
2005
dalam
studinya
berusaha
untuk
mengidentifikasi
karakteristik pemanfaatan pusat-pusat perbelanjaan skala kota oleh rumah tangga di kota Bandung dengan titik berat kapasitas pelayanan, kelengkapan sarana dan prasaran penunjang serta karakteristik pengguna pusat perbelanjaan disimpulkan bahwa sebagian besar rumah tangga di Kota Bandung lebih memilih berbelanja di pusat perbelanjaan yang telah berdiri lama di pusat kota dan sekitarnya dan pola pemanfaatan pusat perbelanjaan skala kota tersegmentasi artinya ada golongan rumah tangga tertentu dengan karakter perjalanan yang melekat pada dirinya untuk berbelanja dipusat perbelanjaan tersebut. Hondri Donny S, 1999 dalam studinya membahas karakteristik tempat perbelanjaan modern meliputi perkembangan dan pola sebarannya juga kedudukan pusat perbelanjaan di kawasan sekitar alun-alun sebagai pusat CBD dan Bandung Indah Plaza sebagai pusat pembelanjaan wilayah di kota Bandung. selain itu studi ini juga membahas perilaku berbelanja dan kapasitas pelayanan pusat perbelanjaan di kawasan sekitar Alun-alun (pusat kegiatan kota) dan Bandung Indah Plaza (pusat perbelanjaan wilayah). Hasilnya adalah tidak ada perbedaan gender dalam berbelanja ke pusat ritel modern baik di kawasan alunalun maupun BIP. Perbedaannya terletak pada perbedaan umur antara penduduk yang berbelanja di BIP dan di kawasan Alun-alun. Kelompok umur dewasa dan remaja sebanding berbelanja di sekitar alun-alun sedangkan di BIP kaum remaja proporsinya lebih dominan di banding orang dewasa. Kelompok pelajar dan mahasiswa yang mendominasi BIP. Terdapat perbedaan sasaran pelayanan antara pusat perbelanjaan di kawasan sekitar alun-alun dengan Bandung Indah Plaza akan tetapi tumpang tindih wilayah pelayanan telah terjadi jika ditinjau berdasarkan beberapa aspek perilaku berbelanja dan aspek jangkauan wilayah pelayanan.
31