BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Persalinan Preterm 2.1.1. Batasan persalinan preterm Persalinan preterm menurut American College of Obstetricians and Gynecologists, 1995, adalah persalinan yang terjadi pada kehamilan kurang dari 37 minggu (Cunningham, 2010). Sedangkan definisi Badan Kesehatan Dunia (WHO) untuk persalinan prematur adalah persalinan yang terjadi antara umur kehamilan 20 mingggu sampai dengan umur kehamilan kurang dari 37 minggu (Widjayanegara, 2009). Berdasarkan The American Academy of Pediatrics and the Americans College of Obstrecians indikator yang sering dipakai untuk mengetahui awal terjadinya persalinan adalah kontraksi uterus dengan frekuensi paling sedikit 4 kali setiap 20 menit atau 8 kali dalam 60 menit dan disertai perubahan serviks yang progressif, dilatasi serviks > 1 cm dan penipisan > 80% (Cunningham, 2010). Pada penelitian ini dignosis persalinan preterm berdasarkan prosedur tetap (protap) tahun 2003 yang berlaku di bag/SMF Obstetri Ginekologi Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar.
5
6 2.1.2. Insiden persalinan preterm Sekitar 5-10% dari semua persalinan ialah persalinan preterm, jumlah ini tidak berkurang dalam beberapa dekade terakhir (Haram, 2003). Angka kejadian persalinan preterm berbeda-beda di beberapa negara, di Amerika Serikat pada tahun 2000, sekitar 1 dari 9 bayi dilahirkan prematur (11,9%). Di negara berkembang angka kejadian masih lebih tinggi, misalnya di india sekitar 30%, Afrika Selatan sekitar 15%, dan Malaysia 10%. Belum didapatkan data angka kejadian persalinan preterm di Indonesia, namun angka kejadian Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) nasional sekitar 27,9% dapat memberikan gambaran kasar angka kejadian prematuritas (Widjayanegara, 2009). Sedangkan angka kejadian persalinan preterm di beberapa Rumah Sakit pemerintah pada tahun-tahun terakhir menunjukkan persentasi yang bervariasi. Di RSU Dr. Wahidin Sudirohusodo Makasar periode 1 Juli 2000 sampai 31 Juli 2003 dari 1171 persalinan didapatkan sebanyak 86 kasus persalinan preterm (7,3%) (Suhartini, 2004). Di RSU Dr. Saiful Anwar Malang pada tahun 2001 tercatat angka kejadian persalinan preterm sebesar 6,7% (Santoso, 2002). Di RSUP Sanglah sendiri, kejadian persalinan preterm periode Januari 2008 sampai dengan Oktober 2011 sebesar 9,33% dari seluruh persalinan (SMF OBGIN, RSUP Sanglah, Denpasar, 2011).
7 2.1.3. Klasifikasi persalinan preterm Menurut kejadiannya, persalinan preterm digolongkan menjadi (Moutquin, 2003) 1. Idiopatik/Spontan Sekitar 50% penyebab persalinan preterm tidak diketahui, oleh karena itu digolongkan pada kelompok idiopatik atau persalinan preterm spontan. Termasuk kedalam golongan ini antara lain persalinan preterm akibat persalinan kembar, poli hidramnion atau persalinan preterm yang didasari oleh faktor psikososial dan gaya hidup. Sekitar 12,5% persalinan preterm spontan didahului oleh ketuban pecah dini (KPD), yang sebagian besar disebabkan karena faktor infeksi (korioamnionitis). 2. Iatrogenik/Indicated Preterm Labor Perkembangan teknologi kedokteran dan perkembangan etika kedokteran menempatkan janin sebagai individu yang mempunyai hak atas kehidupannya (Fetus as a Patient). Maka apabila kelanjutan kehamilan diduga dapat membahayakan janin, janin akan dipindahkan kedalam lingkungan luar yang dianggap lebih baik dari rahim ibunya sebagai tempat kelangsungan hidupnya. Kondisi tersebut menyebabkan persalinan preterm buatan/iatrogenik yang disebut juga sebagai elective preterm atau indicated preterm labor. Sekitar 25% persalinan preterm termasuk kedalam golongan ini. a. Keadaan ibu yang sering menyebabkan persalinan preterm adalah : - Preeklamsi berat dan eklampsi, - Perdarahan antepartum (plasenta previa dan solusio plasenta), - Korioamnionitis,
8 - Penyakit jantung yang berat atau penyakit paru atau ginjal yang berat. b. Keadaan janin yang dapat menyebabkan persalinan preterm adalah : - Gawat janin, - Infeksi intrauterin, - Pertumbuhan janin terhambat (IUGR), - Isoimunisasi Rhesus. Menurut usia kehamilannya, maka persalinan preterm digolongkan menjadi (Moutquin 2003) : 1. Persalinan preterm (preterm), yaitu usia kehamilan 32-36 minggu. 2. Persalinan sangat preterm (very preterm), yaitu usia kehamilan 28-32 minggu. 3. Persalinan ekstrim preterm (extremely preterm), yaitu usia kehamilan 20-27 minggu. Menurut berat badan lahir, maka bayi prematur dibagi dalam kelompok (Widjayanegara, 2009) : 1.
Berat badan bayi 1500 – 2500 gram disebut bayi dengan berat badan lahir rendah.
2.
Berat badan bayi 1000 – 1500 gram disebut bayi dengan berat badan lahir sangat rendah.
3.
Berat badan bayi <1000 gram disebut bayi dengan berat badan lahir ekstrim rendah.
9 2.1.4. Faktor resiko terjadinya persalinan preterm Persalinan preterm dapat terjadi pada setiap kehamilan,tetapi pada sebagian wanita hal ini lebih cenderung terjadi dari yang lainnya. Beberapa faktor risiko yang diketahui meningkatkan persalinan preterm dibagi dalam dua kriteria (Hole, 2001), yaitu: 1. Kriteria Mayor: a. Kehamilan ganda b. Hidramnion c. Anomali uterus d. Pembukaan serviks ≥ 2 cm pada usia kehamilan > 32 minggu. e. Panjang serviks < 2,5 cm pada usia kehamilan > 32 minggu (dengan TVS) f. Riwayat abortus pada trimester II > 1x g. Riwayat persalinan preterm sebelumnya h. Operasi abdominal pada kehamilan preterm i. Riwayat konisasi j. Iritabilitas uterus k. Penggunaan cocaine atau amfetamin 2. Kriteria Minor a.
Penyakit-penyakit yang disertai demam
b.
Riwayat perdarahan pervaginam setelah usia kehamilan 12 minggu
c.
Riwayat pielonefritis
d.
Merokok lebih dari 10 batang per hari
e.
Riwayat abortus pada trimester II
10 f.
Riwayat abortus pada trimester I lebih dari 2x Wanita hamil tergolong mempunyai risiko tinggi untuk terjadi persalinan
preterm jika dijumpai satu atau lebih faktor risiko mayor atau dua atau lebih faktor risiko minor, atau ditemukan kedua faktor risiko (mayor dan minor).
2.1.5. Komplikasi persalinan preterm Persalinan preterm merupakan masalah penting di bidang obstetri, 70% kasus kematian perinatal/neonatal disebabkan oleh persalinan preterm (Hole, 2001).
Di Amerika Serikat 54% kematian bayi preterm terjadi pada umur
kehamilan kurang dari 32 minggu. Berbagai usaha telah dilakukan dalam mempertahankan kelangsungan hidup bayi lahir prematur, terutama difokuskan bagi bayi yang lahir setelah 28 minggu, dimana angka kelangsungan hidup akan meningkat hingga 95% pada umur kehamilan 28 minggu (perempuan) dan 30 minggu (laki-laki) atau berat badan lahir diatas 1000 g. (Cunningham, 2010) Bayi yang lahir preterm sering mendapat risiko yang berkaitan dengan imaturitas sistem organnnya. Komplikasi yang sering timbul pada bayi yang lahir preterm adalah sindroma gawat nafas atau respiratory distress syndrome (RDS), perdarahan otak atau intraventricular hemorrhage (IVH), bronchopulmonary dysplasia (BPD), patent ductus arteriosus (PDA), necrotizing enterocolitis (NEC), sepsis, apnea, dan retinopathy of prematurity (ROP) (Iam, 2003). Untuk jangka panjang, bayi yang lahir preterm mempunyai risiko retardasi mental berat, cerebral palsy, kejang-kejang, kebutaan, dan tuli. Di samping itu juga sering dijumpai gangguan proses belajar, gangguan adaptasi terhadap lingkungannya, dan gangguan motoris. Morbiditas jangka panjang ini kemudian menjadi masalah sosial baik pada keluarga yang terlibat maupun biaya yang dikeluarkan untuk
11 perawatannya. (Hole, 2001; Cunningham, 2010). Karena adanya morbiditas jangka pendek dan jangka panjang tersebut di atas, maka akan dapat menyebabkan rendahnya kualitas sumber daya manusia di masa yang akan datang. Morbiditas dan mortalitas tersebut berhubungan erat dengan umur kehamilan dan berat badan lahir. Makin besar umur kehamilannya dan berat bayinya, makin menurun angka morbiditas dan mortalitasnya. Tingginya biaya perawatan intensif bayi baru lahir dan pengelolaan penyulit jangka panjang pada bayi yang lahir preterm tersebut menyebabkan tindakan pencegahan sebelum terjadi persalinan akan memberikan hasil yang lebih bermanfaat dan lebih menghemat biaya. 2.1.6.
Mekanisme terjadinya persalinan preterm Persalinan yang terjadi pada kehamilan aterm dan preterm merupakan
proses yang sama (common pathway), namun persalinan aterm melalui proses yang normal (physiologic activation), sedangkan persalinan preterm melalui proses abnormal (phatologic processes). Perbedaan mendasar antara persalinan spontan aterm dan preterm adalah aktivasi fisiologis komponen-komponen pathway tersebut pada persalinan aterm, sedangkan pada persalinan preterm berasal dari proses patologis yang mengaktivasi salah satu atau beberapa komponen pathway tersebut. Common pathway yang dimaksud adalah kejadiankejadian klinis, anatomi, biokimia, imunologi, endokrinologi, yang terjadi pada ibu maupun janinnya baik pada persalinan aterm ataupun preterm. Komponen di dalam common pathway ialah peningkatan kontraksi uterus, pematangan servik, dan aktivasi desidua/membran (Romero, 2006).
12 Terdapat 4 mekanisme umum yang mengatur terjadinya persalinan preterm (Nesin, 2007; Gravet, 2010) yaitu: 1
Aktivasi dari poros hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA) fetus maternal yang dicetuskan oleh stress. Pada janin dapat sebagai respon dari keadaan intra uterine yang tidak bersahabat seperti aliran uteroplasenta tergangggu dan hipoksia. Aktivasi poros HPA yang meningkatkan kadar sekresi CRH, yang akan merangsang ekspresi ACTH (Adrenocorticotropic hormone) pada organ pituitary janin dan produksi kortisol serta androgen oleh organ adrenal janin. Senyawa androgen pada janin kemudian diaromatisasi menjadi estrogen oleh plasenta. Hal ini akan menyebabkan rangkaian proses biologis
yang
mengarah
pada
jalur
umum
terjadinya
proses
persalinan,yang ditandai oleh terjadinya kontraksi uterus, pematangan serviks dan aktivasi desidua janin (Gayatri, 2013). 2
Inflamasi dan infeksi. Sumber infeksi yang telah dihubungkan dengan kelahiran preterm termasuk infeksi intauterin ( bertanggung jawab sampai 50% kelahiran preterm pada usia kehamilan < 28 minggu), infeksi sistemik maternal, bakteriuria asimtomatik, dan periodontitis maternal. Produk-produk bakteri merangsang produksi sitokin proinflamasi ( IL-1,TNF, IL-6, dan IL-8) oleh sel- sel desidua. Sitokin- sitokin ini, kemudian merangsang produksi prostaglandin oleh amnion dan desidua. Prostaglandin E2 (PGE2) menyebabkan kontraksi miometrium melalui pengikatan reseptor EP-1 dan EP-3, yang menyebabkan kontraksi miometrium melalui
13 mekanisme peningkatan mobilisasi kalsium dan menurunkan tingkat produksi
penghambat
cAMP
intraseluler.
Prostaglandin
juga
meningkatkan produksi matriks metalloproteinase (MMP) dalam serviks dan desidua untuk meningkatkan pematangan serviks serta aktivasi membran janin. Prostaglandin F2α (PGF2α) mengikat reseptor FP yang menyebabkan kontraksi miometrium. Sitokin yang diproduksi selama infeksi dapat pula mengaktifkan ekspresi dari matriks metalloproteinase dalam serviks dan desidua yang berperan dalam degradasi matriks ekstraseluler, pecahnya selaput amnion, dan perubahan serviks uteri. Keseluruhan proses tersebut menstimulasi terjadinya persalinan preterm (Handono, 2009) 3
Trombosis Uteroplasental dan Perdarahan desidua. Pada solusio plasenta, perdarahan desidua dan aktivitas uterotonik dari fibrin dapat menstimulasi kontraksi uterus. Meskipun patofisiologinya belum jelas namun thrombin dicurigai memiliki peranan besar. Thrombin adalah suatu protease multifaktorial yang merangsang aktivitas kontraksi dari otot polos vaskuler, intestinal dan miometrium. Thrombin mengaktifkan sederetan reseptor yang unik termasuk protease-activated receptor 1, protease-activated receptor 3 dan protease-activated receptor 4. Reseptor-reseptor transmembran ini adalah bagian dari superfamili protein heptahelical-G. Interaksi
dengan thrombin menghasilkan
perubahan konfirmasi yang menghasilkan pasangan G-protein dan aktivasi fosfolipase C. Aktivasi Fosfolipase C mengawali reaksi biokimia yang berakhir pada pelepasan kalsium intraseluler dari reticulum endoplasma.
14 Kombinasi antara pelepasan kalsium intraseluler dan influx kalsium ekstraseluler menyebabkan osilasi sitosolik kalsium yang mengaktivasi kalmodulin, Myosin Light Chain Kinase (MLCK), aktin dan myosin yang menghasilkan
kontraksi
uterus
secara
fasik.
Perdarahan
desidua
diasosiasikan dengan infiltrasi desidua oleh netrofil dan merupakan sumber yang kaya akan protease dan matrik metalloproteinase. Ini dapat menjadi dasar bagi mekanisme ketuban pecah dini (KPD) yang selanjutnya menyebabkan persalinan preterm. (Handono, 2009) 4.
Peregangan uterus. Distensi uterus berlebihan memerankan peran kunci pada onset persalinan preterm yang berhubungan dengan gestasional ganda,
polihidramnion,
dan
makrosomia.
Peregangan
uterus
mengakibatkan ekspresi dari celah hubungan protein, seperti Conexin-43 (CX-43) dan Conexin-26 (CX-26), seperti halnya kontraksi yang berhubungan dengan protein lain seperti reseptor oksitosin. Peregangan dari miometrium juga meningkatkan PGHS-2 dan PGE. Peregangan dari otot segmen bawah rahim telah menunjukan peningkatan dari IL-8 dan produksi kolagenase yang pada akhirnya akan memfasilitasi pematangan serviks. Hal ini selanjutnya akan menstimulasi terjadinya persalinan preterm (Handono, 2009).
15
Gambar 2.1 Pathway persalinan preterm dan mediator – mediatornya (Dikutip dari : Perkin Elmer, 2009)
Beberapa studi yang lain juga menambahkan faktor kelainan pada uterus atau serviks dan faktor fetus sebagai penyebab timbulnya persalinan preterm (Krisnadi, 2009). Walaupun masih jarang, adanya jalur oksidatif pada persalinan preterm mulai diteliti, dimana terdapat hubungan antara persalinan preterm dengan radikal bebas, stres oksidatif, dan kadar antioksidan endogen. Beberapa penelitian mengaitkan terbentuknya ROS dengan kejadian persalinan preterm melalui suatu mekanisme yang mempengaruhi fungsi dari pompa ion kalsium yang dapat memicu terjadinya kontraksi uterus
sehingga pada akhirnya
menyebabkan terjadinya persalinan preterm (Burton, 2006). Dalam suatu penelitian pemberian radikal bebas berupa hidrogen peroksida (H2O2) dapat
16 meningkatkan kontraksi uterus pada tikus akibat meningkatnya produksi prostaglandin (Cherouny, 1989).
2.2 Radikal Bebas Radikal bebas adalah setiap unsur yang mempunyai satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan di orbit yang paling luar. Adanya molekul dengan elektron yang tidak berpasangan ini membuat mereka sangat reaktif yang artinya mempunyai spesifisitas yang rendah sehingga mampu bereaksi dengan molekul-molekul yang berada disekitarnya seperti protein, lipid, karbohidrat dan DNA. Untuk mempertahankan kestabilan kimia, radikal bebas tidak dapat mempertahankan bentuk asli dalam waktu lama dan segera berikatan dengan mengambil satu elektron dari molekul stabil yang terdekat. Molekul yang diambil elektronnya kemudian juga menjadi radikal bebas dan mengambil elektron dari molekul
lain,
sehingga
akan
memulai
reaksi
berantai
yang akhirnya
mengakibatkan terjadi kerusakan sel tersebut (Burton, 2006). Terdapat 2 radikal bebas yang utama, yaitu ROS (Reactive Oksigen Spesies) dan RNS (Reactive Nitrogen Spesies) (Agarwal, 2005). Radikal bebas yang paling penting di dalam tubuh adalah radikal yang berasal dari oksigen yang disebut reactive oxygen species (ROS). ROS merupakan produk normal yang dihasilkan pada metabolisme seluler. 95% dari mekanisme ini tanpa kerusakan, sedangkan 5% dari reaksi molekul oksigen hanya tereduksi partial, yang memiliki peranan penting pada produksi Reactive Oxygen Species (ROS) (Slavic, 2006). Secara garis besar umber ROS dapat dibagi dua : sumber endogenous misalnya dari sel (netrofil), direct-producing ROS enzymes (NO synthase),
17 indirect-producing ROS enzymes (xanthin oxidase), metabolisme (mitokondria), serta penyakit (proses iskemia). Sumber eksogenous misalnya iradiasi gamma, iradiasi UV, ultrasound, makanan, obat-obatan, polutan, xenobiotik dan toksin (Kohen, 2002). Berlanjutnya paparan ROS baik dari dalam maupun dari luar mengakibatkan berlanjutnya kerusakan oksidatif terhadap komponen sel dan mengubah beberapa fungsi sel. Di antara target biologi yang paling peka adalah protein-protein enzim, membran lipid dan DNA, sehingga
ROS mampu
menyebabkan kerusakan seluler. (Burton, 2006).
Gambar 2.2 Sumber eksogenous dan endogenous ROS (Dikutip dari : Kohen, 2002)
Secara umum ROS dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu radikal dan nonradikal. Kelompok radikal yang sering dikenal dengan radikal bebas mengandung satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbit atomik atau molekulernya. Kelompok nonradikal terdiri dari berbagai bahan yang
18 beberapa diantaranya sangat reaktif walaupun secara definisi bukan radikal (Kohen, 2002). Tabel 2.1 Metabolit Radikal dan Nonradikal Oksigen (Kohen, 2002) Radikal oksigen Nama Oxygen (bi-radical)
Simbol O2-.
Superoxide ion
O2.
Hydroxyl
OH.
Peroxyl
ROO.
Alkoxyl
RO.
Nitric oxide
NO.
Turunan nonradikal oksigen Nama
Simbol
Hydrogen peroxide
H2O2
(Organic peroxide)
ROOH
Hypochlorou s acid
HOCL
Ozone
O3
Aldehydes
HCOR
Singlet oxygen Peroxynitrite
/
O2
ONOOH
Molekul oksigen memiliki konfigurasi elektron yang unik dan molekul ini sendiri merupakan bi-radikal karena memiliki dua elektron tidak berpasangan
19 pada dua orbit yang berbeda. Penambahan satu elektron pada dioksigen akan membentuk radikal superoksid (O2•¯ ). Pada pH fisiologis, superoksid ditemukan dalam bentuk ion superoksid (O2•¯) sedangkan pada pH rendah ditemukan sebagai hidroperoksil (HO2). Hidroperoksil lebih mudah berpenetrasi ke dalam membran biologis. Dalam keadaan hidrofilik, kedua substrat tersebut dapat berperan sebagai bahan pereduksi, namun kemampuan reduksi HO2 lebih tinggi. Dalam larutan organik, kelarutan O2•¯ lebih tinggi dan kemampuannya sebagai pereduksi meningkat. Reaksi terpenting dari radikal superoksid adalah dismutasi, dimana 2 radikal superoksid akan membentuk Hidrogen peroksida (H2O2) dan O2 dengan bantuan enzim superoksid dismutase maupun secara spontan (Kohen, 2002). Hidrogen peroksida dapat menyebabkan kerusakan sel pada konsentrasi yang rendah (10µM), karena mudah larut dalam air dan mudah melakukan penetrasi ke dalam membran biologis. Efek buruk kimiawinya dapat dibedakan menjadi 2, yaitu efek langsung dari kemampuan oksidasinya dan efek tidak langsung, akibat bahan lain yang dihasilkan dari H2O2, seperti OH• dan HClO. Efek langsung H2O2 seperti degradasi protein Haem, pelepasan besi, inaktivasi enzim, oksidasi DNA, lipid, kelompok -SH dan asam keto. Dalam reaksi Fenton, Ion Ferro (Fe+2) bereaksi dengan hidrogen peroksida (H2O2) membentuk ion ferri (Fe+3) dan radikal hidroksil (OH•). Reaksi Haber-Weiss merupakan reaksi antara radikal superoksid (O2•¯) dengan hidrogen peroksida (H2O2) yang kemudian menghasilkan oksigen (O2) dan radikal hidroksil (OH•). Adanya logam transisi inilah yang dapat menerangkan mekanisme kerusakan in vivo yang ditimbulkan oleh radikal hidroksil (Kohen, 2002).
20
Gambar 2.3 Fisiologi pembentukan dan katalisasi radikal bebas (Dikutip dari : Jauniaux, 2000)
2.3 Antioksidan Antioksidan adalah zat kimia dengan konsentrasi rendah, secara signifikan dapat mencegah atau mereduksi suatu zat yang teroksidasi. Disebut antioksidan karena zat tersebut dapat melawan proses oksidasi. Zat-zat ini melindungi bahan kimia lain dari reaksi oksidasi yang dapat merusak sel. Antioksidan bekerja dengan cara bereaksi dengan radikal bebas yang ada di dalam tubuh. Sehingga bila radikal bebas (oksidan) adalah penerima elektron maka antioksidan secara kimia adalah semua senyawa yang mampu memberikan elektron. Dalam arti biologis, antioksidan mempunyai pengertian yang luas yaitu semua senyawa yang dapat meredam dampak negatif oksidan, termasuk enzimenzim dan protein pengikat logam. Dalam meredam efek negatif dari oksidan dilakukan dengan dua cara yaitu mencegah terjadinya dan tertimbunnya senyawa oksidan secara berlebihan, serta mencegah terjadinya reaksi rantai yang berkelanjutan (Burton, 2006).
21
Gambar 2.4
Klasifikasi Mekanisme Pertahanan Antioksidan Seluler
( Dikutip dari : Kohen, 2002)
Pengelompokan antioksidan berdasarkan mekanisme proteksi endogen terhadap radikal bebas (Kohen, 2002) yaitu: 1.
Antioksidan Non-enzimatik Antioksidan non enzimatik dapat digolongkan menjadi Low-Molecular-
Weight Antioxidant (LMWA) yang disintesis sendiri oleh sel, misalnya histidine di-peptides, carnosine, serta gluthathione, dan indirect-acting LMWA yang didapatkan dari diet sehari misalnya tokoferol, karoten, dan
asam askorbat
(Kohen, 2005). Antioksidan nonenzimatik ada yang larut dalam lemak dan yang larut dalam air. Antioksidan nonenzimatik bekerja langsung berikatan dengan radikal
22 bebas sehingga mengurangi reaktifitasnya Beta karoten dan vitamin E adalah antioksidan yang larut dalam lemak sedangkan asam askorbat dan glutation larut dalam air (Kohen, 2005). Alfa tokoferol (Vitamin E) adalah nutrisi esensial yang berfungsi sebagai antioksidan, dalam mencegah peroksidasi membran fosfolipid dan membersihkan radikal bebas sebelum radikal bebas bereaksi dengan protein membran sel atau bereaksi membentuk lipid peroksidasi. Beta karoten (Vitamin A) berfungsi sebagai antioksidan adalah karena kemampuannya untuk bereaksi dengan radikal bebas walaupun karotenoid sendiri dapat mengalami oksidasi (auto-oksidasi). Fungsi antioksidan Asam askorbat (vitamin C) adalah kemampuannya sebagai agen pereduksi (donor elektron) radikal bebas. Pemberian satu elektron yang berasal dari asam askorbat membentuk radikal semi-dehidroaskorbat (DHA). -
Askorbat bereaksi dengan O2 dan OH untuk membentuk DHA (Tegelli, 2014). 2.
Antioksidan Enzimatik Pada sistem pertahanan enzymatik, glutathione peroxidase (GPx), Katalase
(CAT), dan superoxide dismutase (SOD) memainkan peranan yang utama. Superoksid dismutase (SOD) bereaksi dengan radikal bebas sebagai pereduksi superoksid untuk membentuk H2O2. Enzim katalase dan glutathione peroxidase mereduksi H2O2 menjadi H2O. Peningkatan superoksid akan menghambat glutathione peroxidase dan katalase. Peningkatan H2O2 akan menurunkan aktifitas CuZn-SOD. Sementara katalase dan glutathione peroxidase dengan mereduksi H2O2 akan menghemat SOD. SOD dengan mereduksi superoksid akan menghemat katalase dan glutathione peroxidase. Melalui sistem umpan balik ini tercapailah
23 keadaan SOD, katalase, glutathione peroxidase, superoksid dan H2O2 dalam keadaan seimbang (Tegelli, 2014). Enzim SOD akan merubah superoksid, O2ˉ menjadi H2O2: 2O2ˉ + 2H+
SOD
O2 + H2O2
Katalase dan glutathione peroxidase mengubah hidrogen peroksida menjadi air dan oksigen. Peningkatan produksi hidrogen peroksida oleh enzim SOD tanpa diikuti peningkatan katalase atau glutathione peroxidase akan menyebabkan penumpukan hidrogen peroksida. Kapasitas reduksi katalase tinggi pada suasana H2O2 konsentrasi tinggi, sedangkan pada konsentrasi rendah kapasitasnya menurun. Hal ini disebabkan karena katalase memerlukan reaksi dua molekul H2O2 dalam proses reduksinya, sehingga hal ini lebih jarang ditemukan pada konsentrasi substrat rendah (Miwa, 2008). Katalase akan merubah H2O2 menjadi air dan oksigen: 2 H2O2
Katalase
H2O + O2
c. Enzim Glutathione peroxidase Glutahione peroxidase (GPx) merupakan enzim yang paling
penting
untuk mengikat hidrogen peroksida (H2O2) dari sel manusia. Glutathione peroxidase mereduksi H2O2 menjadi H2O dan glutathione disulfide (GSSG) dengan bantuan glutathione tereduksi (GSH). H2O2 + 2 GSH
Glutation peroxidase
2 H2O + GSSG
Sesungguhnya dalam keadaan normal, sistem pertahanan tubuh sudah mampu meredam radikal atau oksidan yang timbul dengan memproduksi
24 antioksidan dalam jumlah yang memadai. Tetapi apabila keseimbangan tersebut terganggu dalam artian oksidan atau radikal bebas diproduksi dalam jumlah yang melebihi kemampuan tubuh untuk memproduksi antioksidan maka akan terjadi suatu keadaan yang disebut sebagai stres oksidatif yang selanjutnya akan diikuti perusakan jaringan (Kohen, 2002).
2.4 Stress Oksidatif Sistem pertahanan antioksidan ialah keseimbangan, dimana bila keseimbangan ini terganggu dapat menyebabkan terjadinya stress oksidatif. Stress oksidatif dapat didefinisikan sebagai perubahan pada keseimbangan antara prooksidan (radikal bebas) dan antioksidan yang dapat menyebabkan kerusakan potensial sel. Dengan kata lain, stress oksidatif terjadi akibat reaksi metabolik yang menggunakan oksigen dan menunjukkan gangguan keseimbangan status reaksi oksidan dan antioksidan pada mahluk hidup. ROS yang berlebihan akan merusak lipid seluler, protein maupun DNA dan menghambat fungsi normal sel (Kohen, 2002).
25 Gambar 2.5 Kerusakan Akibat Reaktif Oksigen Spesies. (Dikutip dari : Kohen, 2002) Gangguan keseimbangan antara pro-oksidan dan antioksidan dapat disebabkan oleh produksi ROS berlebih atau defisiensi pada pertahanan antioksidan. Keseimbangan kedua faktor ini yang dikenal dengan nama redoks potensial, bersifat spesifik untuk tiap organel dan lokasi biologis. Perubahan keseimbangan ke arah peningkatan pro-oksidan yang disebut stress oksidatif akan menyebabkan kerusakan oksidatif (Kohen, 2002). Stress oksidatif ditenggarai memiliki peran utama dalam patofisiologi berbagai penyakit termasuk komplikasi pada kehamilan (Burton, 2006)
2.5. Peran Stress Oksidatif terhadap Persalinan Preterm Beberapa keadaan dapat berperan dalam terjadinya persalinan preterm. Salah satunya adalah terjadinya ketidakseimbangan antara produksi ROS (Reactive Oxygen Species) dengan antioksidan sebagai mekanisme pertahanan pertama dalam mencegah timbulnya stress oksidatif. Jika terdapat keseimbangan antara produksi ROS dengan antioksidan maka tidak akan terbentuk stress oksidatif, sehingga proses kehamilan dapat berjalan sebagai mestinya. Namun pada kondisi dimana terjadi peningkatan kadar ROS tanpa disertai mekanisme pertahanan antioksidan yang adekuat maka akan memicu terjadinya stress oksidatif. Hidrogen peroksida ( H2O2) merupakan salah satu ROS non radikal yang sangat reaktif, yang dihasilkan pada metabolisme seluler. H2O2 dihasilkan dari dismutasi 2 radikal Superoksid secara spontan maupun dengan bantuan enzim
26 Superoksid Dismutase dimana radikal superoksid sendiri dihasilkan dari Reaksi Fosforilasi Oksidatif pada pembentukan ATP di mitokondria dimana 1-5% oksigen keluar dari jalur ini dan mengalami reduksi univalent membentuk radikal superoksid. Disamping itu, dapat dihasilkan melalui system oksidase NADPHdependen, yang jika teraktivasi misalnya oleh bakteri, mitogen atau sitokin, akan mengkatalisis reaksi reduksi mendadak dari oksigen menjadi hydrogen peroksida dan O2- ( Kohen, 2002 ). Efek buruk H2O2 secara kimiawi dapat dibedakan menjadi 2 yaitu efek langsung dari kemampuan oksidasinya dan efek tidak langsung,akibat bahan lain yang dihasilkan dari H2O2 seperti OH- dan HClO. Kedua efek inilah yang menyebabkan degradasi protein, lipid, asam amino,oksidasi DNA dan inaktivasi enzim. Yang selanjutnya berefek pada banyak sel target yang meliputi channels ion membrane. (Kohen, 2002) Penelitian yang dilakukan oleh Cherouny (1989), ditemukan bahwa pemberian H2O2 sebagai ROS pada tikus dapat memicu kontraksi uterus akibat meningkatnya pelepasan prostaglandin (PGE2 dan PGF2). Pada penelitian yang sama, tikus juga di beri butylated hydroxyl anisole (BHA) sebagai antioksidan dan terbukti dapat menurun kontraksi otot uterus dan kadar prostaglandin dibandingkan dengan kelompok tanpa pemberian antioksidan.
27 PGF-2α bertanggung jawab terhadap kontraksi miometrium sedangkan PGE-2 menurunkan resistensi jaringan servik, merupakan dua proses yang penting dalam kemajuan persalinan, bersama-sama estrogen bekerja pada miometrium meningkatkan pembentukan gap junction PGF-2α dan reseptor oksitosin. Saat mekanisme tersebut terjadi maka akan terjadi penjalaran depolarisasi antar sel yang akan menyebabkan peningkatan kadar kalsium di dalam sel. Ion kalsium di dalam sel berperan pada Calmodulin membentuk Ca-Calmodulin mengaktifkan enzim Myosin Light Chain Kinase (MLCK) yang berperan pada proses fosforilasi dari myosin yang bila berinteraksi dengan actin akan menyebabkan pemendekan dari serat otot sehingga terjadi kontraksi miometrium (Burton, 2006).
Gambar 2.6 Peran PGF-2α pada kontraksi miometrium (dikutip dari: Cunningham et al, 2010)
28 H2O2 dapat mengubah struktur dan fungsi dari Ca2+ channel yang akan menyebabkan kehilangan homeostasis dari Ca2+. Hal ini akan diikuti pelepasan ion Ca2+ dari retikulum endoplasmik dan sumber penyimpanan lainnya. Konsentrasi kalsium dalam lumen retikulum endoplasmik menjadi lebih tinggi daripada yang terdapat pada sitosol. Kadar kalsium tersebut dipertahankan oleh mekanisme pompa kalsium ATPase yang terdapat pada sarko dan retikulum endoplasma. Pada saat terjadi peningkatan produksi stress oksidatif akan memicu terjadinya peningkatan kadar Ca2+ intraselular. Kondisi ini kemudian akan mengaktifkan ikatan Ca2+ dengan kalmodulin, suatu protein pengatur pengikatan kalsium, yang selanjutnya akan mengaktifkan Myosin Light Chain Kinase (MLCK) yang akan memodulasi reaksi aktin-miosin. Dengan cara ini, agen-agen yang bekerja pada otot polos miometrium untuk meningkatkan konsentrasi Ca2+ intraseluler dapat memicu terjadinya kontraksi miometrium (Burton, 2006; Warren, 2005; Haram, 2003)
Gambar 2.7 Cyclic AMP pathways pada jaringan miometrium (dikutip dari: Yuan, 2005)
29 2.6 Glutathione Peroxidase Sebagai Mekanisme Pertahanan terhadap Stress Oksidatif Glutathione peroxidase (GPx) merupakan seleno-enzim yang pertama kali ditemukan pada mamalia. Kadarnya tinggi pada ginjal, liver, dan darah, sedang pada lensa dan eritrosit, dan rendah pada alveoli dan plasma darah. Glutathione peroxidase (GPx) adalah protein dengan bentuk tetramer dan mempunyai berat molekul sebesar 85.000 D. Setidaknya 6 tipe GPx telah diidentifikasi dan dibagi sebagai berikut : cystosolic-glutathione peroxidase (cGPX1 atau GPX1), gastrointestinal-glutathione peroxidase (GI-GPX atau GPX2), plasma-glutathione peroxidase
(pGPX
atau
GPX3),
phospolipid
hydroperoxide-glutathione
peroxidase (PHGPX atau GPX4), GPX5 dan GPX6 (Jurkovic, 2008) Glutahione peroxidase (GPx) merupakan enzim yang paling
penting
untuk mengikat hidrogen peroksida (H2O2) dari sel manusia. Enzim glutathione peroxidase membantu mencegah kerusakan sel yang disebabkan oleh radikal bebas dengan cara mengkatalisa berbagai hidroperoksida. Glutathione peroxidase mereduksi H2O2 menjadi H2O dan glutathione disulfide (GSSG) dengan bantuan glutathione tereduksi (GSH), sehingga aktifitas glutatione peroxidase bergantung pada GSH sebagai donor hidrogen. (Burton, 2006). GPx memiliki afinitas yang tinggi dalam mengkatalase H2O2 dan dapat bekerja pada konsentrasi H2O2 rendah. Proses katalase oleh GPx terbilang ‘mahal’ karena mengunakan 2 molekul GSH untuk menghilangkan 1 molekul H2O2. (Kohen, 2002) Glutathione (GSH) adalah LWMA, merupakan sebuah tripeptida yang terdiri dari glutamid acid, cysteine, dan glycine. Banyak terdapat pada sitosol, nuclei, dan mitokondria. Disebut GSH dalam bentuk tereduksi dan GSSG dalam
30 bentuk teroksidasi.
Sulfur dari cysteine merupakan bagian fungsional GSH.
Cysteine adalah asam amino yang memberikan fleksibilitas yang besar dalam reaktivitas kimia karena adanya atom sulfur hadir sebagai thiol (-SH). Thiol ini sangat penting untuk fungsi biologis hampir sebagian besar enzim. Sulfur dari cysteine, baik dalam bentuk cysteine bebas, dalam protein, atau pada glutathione hadir sebagai sebuah thiol (-SH) yang dapat teroksidasi menjadi sebuah disulfida. Pada GSH, cysteine dioksidasi untuk membentuk disulfida (GSSG) saat GSH berfungsi sebagai reduktan, dan juga digunakan untuk detoksifikasi kimia reaktif elektrofilik dan
sering dikatalisis oleh glutation S-transferase. Apabila kadar
cysteine berkurang maka terjadi penurunan kadar GSH dan sistem detoksifikasi akan terganggu. Akan tetapi, karena terdiri dari kelompok amino bebas maka thiol pada cysteine juga dapat dengan mudah teroksidasi menjadi ROS. Reaksi ini tidak terjadi karena adanya
glutamat
yang dapat menangkap kelompok amino
sehingga fungsi dari glutamate pada GSH ialah untuk menurunkan reaktivitas dari thiol sehingga pada konsentrasi tinggi tidak menimbulkan ROS .
Gambar 2.8 Reduksi GSH sebagai keseimbangan ROS dan antioksidan ( Dikutip dari : Jones , 2002, Handbook of Antioxidant)
31 Kadar GSH intraselular dipengaruhi faktor fungsional dan lingkungan dalam hal ini keseimbangan antar pemakaian dan sintesa. Adanya paparan ROS (terutama yang melibatkan H2O2), RNS, atau senyawa yang dapat meningkatkan ROS dapat meningkatkan jumlah GSH dengan cara meningkatnya sintesis GSH. (Jurkovic, 2008)
Gambar 2.9 Struktur GSH dan GSSG ( Dikutip dari : Jones , 2002, Handbook of Antioxidant)
GSH selain berperan sebagai substrat untuk enzim glutathione peroxidase juga berperan sebagai substrat pada enzim detoksifikasi lain seperti glutathione transferase.
Sebagai komponen penting dalam sistem pertahan antioksidan
intraselular, GSH berperan dalam transport asam amino melewati membran plasma, secara langsung sebagai scavenger terhadap radikal hidroksil dan singlet oksigen, mencegah reaksi Haber-Weis, detoksifikasi hidrogen peroksida dan peroksidasi lipid melalui proses katalitik dari GPx. (Jukorvic, 2008). GSH juga melindungi organel cystosolic dari efek pengerusakan oleh hidroperoksida.Selain
32 itu GSH juga bekerja secara sinergis dengan ascorbic acid dan alphatocopherol dalam mendaur ulang antioksidan vitamin tersebut ke bentuk aktifnya setelah mengalami interaksi dengan senyawa kimia reduksi di dalam cell. (schneidkofman, 2009). GSH memiliki peran terbesar dalam reaksi detoxifikasi yang menghasilkan glutathione disulfide (GSSG), yang mana nantinya akan dikonversi kembali menjadi GSH melalui aksi glutathione reduktase dengan menggunakan NADPH. (Burton, 2006)
Gambar 2.10 Katalisa hidrogen peroksida oleh GPx ( Dikutip dari : Jones , 2002, Handbook of Antioxidant)
Secara signifikan, GPx bersaing dengan catalase sebagai substrat dalam mereduksi H2O2. Siklus redoks glutathione merupakan sumber utama dalam perlindungan melawan stress oksidatif ringan, dimana catalase lebih berperan dalam perlindungan melawan stress oksidatif yang parah. Akan tetapi pada sel, terutama pada sel eritrosit manusia, GPx telah dianggap sebagai antioksidan enzimatik dalam detoksifikasi H2O2 karena catalase memiliki afinitas yang lebih rendah terhadap H2O2 dibandingkan dengan GPx (Jurkovic, 2008)
33 Berdasarkan penelitian yang dilakukan Sarkar et al (2006) kadar SOD dan Catalase menurun sedangkan kadar MDA meningkat pada persalinan preterm dibandingkan kehamilan normal. Hal ini menunjukkan bahwa stress oksidatif memiliki peranan dalam terjadinya persalinan preterm. Sedangkan aktivitas GPx meningkat dan kadar GSH menurun menunjukkan sistem GPx/GSH menjadi sangat penting dalam proses katabolis H2O2.
Peningkatan aktivitas GPX
dikaitkan sebagai penyebab dari menurunnya GSH pada penelitian ini. Aktivitas GPx dihitung melalui beberapa reaksi yang melibatkan gluthatione reductase (GR), dimana GPx mereduksi H2O2 dan mengoksidase GSH menjadi GSSG kemudian GSSG akan diubah kembali menjadi GSH oleh GR dengan memakai NADPH. Penurunan kadar NADPH dihitung sebagai aktivitas GPx. Sedangkan dalam beberapa penelitian didapatkan kadar selenium sebagai komponen GPx mengalami penurunan pada abortus dan persalinan preterm dimana efek protektif dari selenium diasosiasikan sejalan dengan aktifitas GPx (Jurkovic et al, 2008). Sehingga perbedaan hasil dimana aktivitas GPx yang meningkat pada persalinan preterm memerlukan penelitian lebih lanjut.