10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanaman Karet 2.1.1. Asal dan Penyebaran Tanaman karet (Hevea brasiliensis Muell Erg.) berasal dari Amerika Selatan yaitu di daerah sekitar lembah Amazone, Brazil. Penyebaran tanaman karet ke negara lain termasuk Indonesia dilakukan oleh Wickham sekitar tahun 1876 (Dijkman, 1951; Jone & Allen, 1992). Populasi awal sampai dengan saat ini di Indonesia dan negara-negara produsen utama karet masih berasal dari populasi Wickham 1876. Karet merupakan komoditas perkebunan yang cukup penting bagi negara-negara produsen karet seperti Thailand, Indonesia, dan Malaysia. Total luas perkebunan karet yang terdapat di ketiga negara tersebut yaitu sekitar 7,1 juta hektar atau sekitar 71,3 % dari luas total perkebunan karet di dunia dengan jumlah produksi sekitar 4,8 juta ton per tahun atau 72,4 % dari total produksi dunia (IRSG, 1999). Dari total luasan dunia terdapat beberapa negara produsen karet lainnya seperti: India, Sri Lanka, China, Vietnam, Kamboja, Philipina, dan beberapa negara Afrika. Di Indonesia, tanaman karet tersebar diseluruh sentra-sentra produksi karet terutama Sumatra (2,4 juta ha), Kalimantan (0,8 juta ha), dan di Jawa (0,15 juta ha) ( Aidi-Daslin , 2000; Karyudi, et al., 2000). Total luas areal di Indonesia pada tahun 2000 seluas 3,5 juta, tetapi kecenderungan mulai terjadi adanya penurunan karena persaingan dengan komoditas kelapa sawit. Sekitar hampir 83 % dari total
Universitas Sumatera Utara
11
luasan tersebut merupakan kebun milik rakyat dan sisanya adalah milik perkebunan pemerintah dan swasta (Aidi-Daslin , 2000; Karyudi, et al., 2000). Botani Tanaman karet (Hevea brasiliensis Muell Arg.) termasuk famili Euphorbiacea dan dalam kelas Dicotyledoneae. Tanaman karet berakar tunggang, mempunyai lingkaran kambium, batang bercabang-cabang dan tersusun tiga dalam satu tangkai, panjang tangkai daun 3 - 20 cm dengan ketinggian pohon dapat mencapai 40 cm (Reed, 1976; Van Steenis et al., 1978; Azwar, 1989). Bunga karet berumah satu dan berbentuk malai. Setiap malai terdiri dari sumbu utama yang tumbuh dari ketiak daun dan terdapat adanya bunga betina dan bunga jantan. Bunga betina terletak pada ujung-ujung malai dan ukurannya lebih besar, sedangkan bunga jantan terletak dibagian bawah dari bunga betina, jumlahnya lebih banyak dan letaknya dibawah bunga betina. Pada bunga betina terdapat bakal buah yang beruang tiga dengan tiga kepala putik. Bunga berwarna kuning kehijauan. Bunga jantan terdiri dari stamen (tangkai sari) dan kepala sari yang terdiri dari 10 kepala sari yang tersusun dalam dua lingkaran masing-masing dengan lima kepala sari (Reed, 1976; Van et al., 1978; Setyamidjaja, 1983). Pertumbuhan batang bervariasi untuk tanaman karet yaitu ada yang berbentuk silinder dan ada pula yang pipih. Dan batang yang berasal dari tanaman biji bentuknya conis (kerucut), dibagian bawah lebih besar kemudian mengecil dibagian atasnya (Lubis, 1985). Tanaman karet mempunyai struktur anatomi seperti tanaman dikotil yang lain. Secara umum jaringan kulit karet tersusun oleh sel-sel parenchimatis yang diantaranya terdapat jaringan pengangkut xylem dan phloem, yang di keduanya
Universitas Sumatera Utara
12
dipisahkan oleh kambium (Indraty, 1987). Batang dan kulit merupakan wadah dari produksi tanaman karet, dimana segala proses asimilasi yang terjadi di daun ditransfer ke dalam tubuh pohon untuk memproduksi lateks. Terbentuknya lateks di dalam batang berhubungan dengan besarnya pertumbuhan pohon (Indraty, 1987). Dari penampang melintang batang pohon karet dapat dilihat bagian tengah sampai lapisan terluar terdiri dari bagian kayu, kambium, kulit lunak, kulit keras, dan akhirnya lapisan gabus. Dalam kulit lunak terdapat suatu deretan pembuluh tapis yang vertikal yang mengandung karbohidrat hasil dari fotosintesa (Ginting, 1983). Jumlah pembuluh lateks akan semakin banyak pada daerah yang mendekati kambium. Sistim pembuluh lateks merupakan suatu bejana yang berbentuk pipa-pipa kapiler (anastomisis), yang saling berhubungan di dalam keseluruhan pohon atau tubuh tanaman (Setyamidjaja, 1983). Jumlah dan susunan pembuluh lateks bervariasi diantara klon, dan bahkan dari pohon ke pohon. Hal ini dipengaruhi oleh umur tanaman, posisi kulit, tebal kulit, jenis pohon dan pertumbuhan batang tanaman (Lukman, 1984). Keragaman Genetik Beberapa spesies tanaman karet yang telah dikenal selain Hevea brasiliensis yaitu: Ficus elastica Roxb., Casliloa elastica Cerv., Funtumia elastica Stapf., Willughbeia spp., Landolphia spp., Palaquim gutta Burck., Payena spp., Mimosops balata (Aubl.) Gaertn., Achras zapota L., Manihot glasiovii Muell Arg., Cryptostegia spp., Parthenium argentatum Gray, dan Solidago spp. (Dikjman,1951; Jones & Allen, 1992). Produksi semua spesies
Universitas Sumatera Utara
13
tersebut di atas tidak dapat dikomersialkan karena tidak mempunyai nilai ekonomis. Tanaman karet tumbuhan dikotil yang jumlah kromosomnya yaitu 2n = 36 dan sifatnya menyerbuk silang, walaupun bunga berada pada satu pohon. Pada genus Hevea terdapat adanya 10 spesies Hevea yang berbeda yaitu diantaranya: H. Benthamiana Muell Arg., H. brasiliensis Muell Arg., H. camargoana Pires, H. camporum Ducke, H. guianensis Aubl., H. microphylla Ule, H. nitida Muell Arg., H. pauciflora Muell Arg., H. rigidofolia Muell Arg. dan H. spruceana Muell Arg. (Webster & Paardekooper, 1989; Wycherley, 1992). Spesies-spesies tersebut tidak dapat dikomersialkan oleh karena produksinya cukup rendah, kecuali H. brasiliensis (Webster & Paardekooper, 1989). Hevea brasiliensis dapat dibudidayakan sebagai tanaman komersial pada perkebunan besar dengan kerapatan tanaman dapat mencapai 500 - 700 pohon per ha (Siagian et al., 2000). Ketinggian dapat mencapai 25 - 30 meter, buka sadap sampai saat ini untuk klonklon baru dapat dilakukan antara 3,5 – 4,0 tahun dengan kriteria menggunakan lilit batang mencapai 45 cm (Azwar & Suhendry, 1998; Suhendry et al., 2001, Woelan et al., 2005 ). Keragaman genetik karet saat ini cukup sempit, faktor inilah
yang
mengakibatkan
kemajuan
genetik
karet
agak
mengalami
keterlambatan. Karena klon-klon yang dikembangkan sekarang ini berasal dari populasi hasil ekspedisi dari Wickham 1876. Beberapa upaya telah dilakukan yaitu diantaranya dengan mendatangkan Plasma Nutfah IRRDB tahun 1981. Sebanyak 8877 genotipe yang telah dikoleksi oleh Balai Penelitian Karet di Kebun Percobaan Sungei Putih.
Universitas Sumatera Utara
14
2.2. Pemuliaan Tanaman Karet Generasi pertama (G-1) pemuliaan tanaman karet telah dimulai sejak tahun 1910 dan berlangsung sampai dengan saat ini yang mampu meningkatkan produktivitas sampai mencapai rata-rata produksi karet kering yaitu 2000 - 2500 kg/ha/th (Aidi-Daslin, 2001). Potensi produksi tersebut dapat dicapai setelah melewati 4 siklus seleksi (4 generasi) berdasarkan dari pengelompokan yang dilakukan oleh Azwar & Suhendry (1992) dan Azwar & Suhendry (1998) yaitu: •
Generasi I (< 1930): bahan tanam berupa seedling terpilih
•
Generasi II (1930-1960): bahan tanam berupa klon unggul primer (seleksi G-I) maupun persilangan (G-I x G-I) diantaranya GT1, LCB 1320, PR107, Tjir 1, AVROS 2037
•
Generasi III (1983-1992): klon unggul hasil persilangan G-I x G-I; ataupun dari G-I x G-II, dan G-II x G-II klon-klon tersebut yaitu: PR 255, PR 261, RRIM 600, BPM 1, PB 217, seri TM
•
Generasi IV (1993-sekarang): Klon hasil persilangan G-I x G-III, G-II x GIII, G-III x G-III, klon yang dihasilkan adalah klon BPM 24, BPM 107, PB 260, RRIC 100, RRIM 712 dan klon-klon seri IRR.
2.3. Biosintesis Karet Lateks terdapat dalam daun, ranting dan percabangan, namun penyadapan yang mempunyai nilai ekonomis adalah pada kulit batang. Struktur anatomi batang karet dapat dilihat pada Lampiran Gambar (Hebant, 1981). Penyadapan biasanya baru dapat dilakukan setelah tanaman memenuhi kriteria matang sadap, yaitu pada tanaman berumur 5 – 6 tahun. Penemuan klon-klon unggul baru pada generasi ke-4 saat ini membuktikan bahwa, fenomena penyadapan dapat
Universitas Sumatera Utara
15
dipercepat < 5 tahun. Kriteria matang sadap yang digunakan adalah lilit batang pada ketinggian 1,0 atau 1,3 m di atas bekas pertautan okulasi (kaki gajah) ≥ 45 cm dan 60% populasi memenuhi ukuran lilit batang tersebut (Sumarmadji, 1999). Lateks pada tanaman karet diproduksi dan disimpan dalam sel khusus yang disebut pembuluh lateks (laticifer), yang terletak di dalam fluem kulit pohon (Gomez & Moir, 1979).
Pembuluh lateks merupakan derivat kambium dan
tersusun sebagai cincin konsentris pada kulit. Terdapat adanya celah (anastomoses) diantara masing-masing cincin pembuluh yang berhubungan satu dengan yang lain, sehingga lateks dapat mengalir dari seluruh daerah aliran lateks pada kulit saat proses penyadapan (Gomez & Moir, 1979). Fraksi karet mengisi 30 - 50% dari berat lateks yang dikeluarkan oleh tanaman dewasa yang sedang disadap. Kandungan karet ini merupakan lebih dari 90% total padatan kering dari lateks. Di dalam lateks segar, karet ditemukan sebagai partikel berbentuk bulat lonjong (Dickenson, 1969). berukuran antara 0,005 sampai 3 µm (Gomez, 1976). sebagai partikel berukuran hingga 5 – 6
Partikel karet
Perkecualian ditemui
µm (Dickenson, 1969).
Beberapa
percobaan juga telah dilakukan untuk penyebaran ukuran partikel karet (van den Tempel, 1952, Cockbain & Philpott, 1963, Gomez, 1966, Gomez & Samsidar, 1989). Satu partikel karet berukuran 0,1 µm mengandung beberapa ratus molekul hidrokarbon (Cockbain & Philpott, 1963; Subramania, 1980).
Hidrokarbon
dikelilingi oleh sebuah membran terdiri protein dan lipid termasuk fosfolipid (Cockbain & Philpott, 1963, Ho, et al., 1976, Hasma, 1987). Membran tampak sebagai bagian yang ultra tipis untuk menjaga osmotikum partikel karet dan
Universitas Sumatera Utara
16
ketipisannya mencapai 0,01 µm (Andrew & Dickensis, 1961).
Puncak berat
molekul karet yang tinggi sampai rendah tampaknya berkisar antara 1 – 2,5 x 106 dan 1 – 2 x 105 (Tanaka, 1989). Biosintesis karet dimulai dari sukrosa sampai formasi poliisoprena. Biosintesis karet diperlukan 4 tahap proses biokimia, yaitu: 1) pembentukan isopentil difosfat (IDP), 2) inisiasi biosintesis karet, 3) propagasi (perbanyakan) biosintesis karet, dan 4) terminasi biosintesis karet. Beberapa karakter fisiologis yang dapat digunakan untuk menduga potensi produksi tanaman karet yaitu sukrosa, fosfat anorganik, tiol, magnesium, pH, kadar karet kering dan bursting indeks (Jacob et al., 1989; Chrestin, 1989; Jacob et al., 1998).
Indeks penyumbatan
juga perlu dipertimbangkan di dalam
pendugaan potensi produksi. 2.4. Marka Molekuler Pemanfaatan Marka Molekuker Pemanfaatan marka molekuler dalam bidang pemuliaan tanaman digunakan sejak metode sintesis DNA atau RNA secara invitro menggunakan polymerase chain reaction (PCR) diperkenalkan pada tahun 1980 oleh Mullis. Tehnik pemuliaan secara molekuler (molecular breeding) merupakan alat untuk melengkapi pemuliaan secara konvensional (Forbes, 2000). Fragmen yang teramplifikasi dipisahkan melalui gel elektroforesis dan divisualisasikan melalui pewarnaan dengan dye spesifik untuk DNA. Diharapkan dengan penggunaan marka molekuler proses seleksi dapat dipercepat. Dan lokus DNA yang bertanggung jawab terhadap sifat kuantitatif tertentu dapat dipetakan (Jung, 1999).
Universitas Sumatera Utara
17
Karena itu metode ekstrasi DNA untuk berbagai organismepun semakin banyak dikembangkan dibeberapa organisme. Metode ekstrasi DNA yang cukup populer dilakukan pada tanaman adalah menggunakan RAPD (Random Amplified Polymorfhism DNA) (William et al., 1990). Mengetahui keragaman genetik tanaman dengan menggunakan metode tersebut juga telah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti diantaranya Russel et al., (1993); Shah et al., (1994), Fofana et al., (1997). Sedangkan untuk mendeteksi ketahanan terhadap penyakit juga dapat dilakukan dengan pemanfaatan molekuler seperti yang telah dikemukakan oleh Agwanda et al. (1997); Kuginuki et al., (1997). Disamping itu untuk mengetahui polymorphisme dari kedekatan jarak genetik suatu tanaman juga dilakukan dengan menggunakan marka molekuler seperti yang telah dilaporkan oleh Wilde et al., (1992); Toruan-Matheius et al. (1996). Pada tanaman karet teknik biologi molekuler RAPD (Random Amplified Polymorphisme) telah dilakukan oleh Rieter & Salamini (1992); Chaparro et al. (1994); Hadi ( 2003) yaitu untuk mendeteksi molekul penanda resistensi tanaman terhadap suatu patogen. Analisis keragaman genetik pada tanaman karet dengan menggunakan teknik RAPD telah dilakukan oleh Nurhaimi-Haris et al. (1998). Dalam penelitian tersebut digunakan sebanyak 11 primer arbitrari untuk mengamplifikasi beberapa fragmen DNA pada 79 klon. Informasi yang dihasilkan dari analisis kesamaan genetik diantara klon yang digunakan cukup tinggi yaitu berkisar antara 60 - 70%. Analisis genetik dan identifikasi kemurnian genotipe hasil persilangan telah dilakukan dengan memanfaatkan marka molekuler. Berdasarkan analisis gerombol dapat ditunjukkan jarak genetik antara dua tetua
Universitas Sumatera Utara
18
jantan dan betina serta turunannya tanaman F1 (Woelan, 2007). Genotipe yang dikategorikan off type dan true type dapat dilihat dari nilai deviasinya. Terbentuknya konstruksi peta pautan dapat dijadikan sebagai penanda keberadaan suatu karakter tertentu yang ditunjukkan dengan ukuran lokus (Woelan et al., 2007). Hasil penelitian Daslin ( 2006) dari 36 primer yang polymorfisme dapat diperoleh konstruksi peta pautan sebanyak 4 kelompok peta pautan. RAPD Random Amplified Polymorphisme DNA (RAPD) merupakan teknik dalam biologi molekuler yang dapat digunakan antara lain untuk membuat peta genetik tanaman, melakukan identifikasi molekuler penanda, identifikasi polimorfisme, dan hubungan kekerabatan suatu tanaman. Marka RAPD yang dihasilkan melalui amplikasi DNA secara in vitro dengan menggunakan teknik PCR telah dikembangkan oleh Williams et al. (1990). Sedangkan teknik PCR sendiri di dalam biologi molekuler perkembangannya cukup cepat (Mullis, 1980). Pada PCR, sejumlah kecil molekul DNA diamplifikasi dengan menggunakan DNA Polimerase, 4 macam deoksiNTP (dATP, dCTP, dGTP, dan dTTP), serta sepasang primer yang terdiri atas kurang lebih 20 nukleotida. Hasil amplifikasi pada gel agarose tervisualisasi sebagai satu pita yang menggambarkan segmen DNA mempunyai perbedaan yang cukup mendasar yaitu dari penggunaan primer tunggal yang biasanya terdiri dari 9 - 10 nukleotida dan secara umum untuk mengamplifikasi secara acak beberapa segmen pada genom target. Prosedur dalam teknik PCR terdiri dari tiga tahapan yaitu: Tahap pertama. Denaturasi (denaturation) DNA template menjadi DNA utas tunggal dengan perlakuan panas tinggi ± 95°C selama satu menit. Perlakuan panas
Universitas Sumatera Utara
19
tersebut mengakibatkan ikatan hidrogen yang menghubungkan basa-basa penyusun molekul DNA putus, sehingga DNA berada dalam utas tunggal. Tahap kedua. Annealing, temperatur diturunkan menjadi ± 55°C selama satu atau dua menit sehingga primer oligonukleotida akan berikatan dengan sekuen komplemen yang terdapat pada DNA template yang dalam keadaan utas tunggal. Sebagai tahap akhir atau yang ke tiga adalah: Ekstention, suatu reaksi perpanjangan primer secara enzimatik menghasilkan suatu copy DNA yang komplemen dengan utas tunggal tersebut. Proses ini terjadi dengan menaikkan temperatur menjadi ± 72°C selama tiga menit, melalui aktivitas enzim Taq DNA Polymerase yang stabil pada temperatur tinggi. Kunci dalam reaksi PCR adalah adanya DNA polymerase tahan panas. Enzim tersebut diisolasi dari bakteri Thermus aquaticus yang hidup di sumber mata air panas. DNA template, diperoleh dari hasil isolasi DNA yang akan diamplifikasi. Primer, merupakan beberapa nukleotida yang berfungsi sebagai inisiasi proses sintesis DNA. Dalam PCR dibutuhkan 2 primer yaitu left primer (Forward) dan right primer (Reverse), dan apabila menggunakan satu primer, teknik ini disebut RAPD-PCR (Hoy, 1994). Ketiga tahapan dari reaksi PCR tersebut diatas diulang antara 25 sampai 40 kali. Keuntungan dari penggunaan metode RAPD yaitu: 1). DNA tidak perlu dipotong dengan enzim restriksi, 2). Sampel DNA yang diperlukan relatif sedikit, 3). Tidak diperlukan pemindahan DNA ke membran nilon, 4). Tidak memerlukan hibridisasi DNA, dan 5). Tidak memerlukan prosedur labelling. Penggunaan RAPD pada Tanaman Karet Penggunaan penanda molekuler pada tanaman tahunan dalam mendeteksi polimorfisme akan sangat menguntungkan dibanding dengan penanda morfologi.
Universitas Sumatera Utara
20
Nurhaimi-Haris et al., (1998) telah mempelajari hubungan kekerabatan antar klon karet (72 klon) dengan menggunakan RAPD. Ekstrasi DNA dilakukan dengan metode Khanuja et al., (1994) dengan beberapa modifikasi yaitu mengurangi berat daun yang akan diekstrak dan menggunakan 1 - 2 % mercaptoetanol yang berfungsi sebagai antioksidan sebagai subtitusi atau pengganti untuk DDT. Sedangkan menurut hasil penelitian pendahuluan Darmono et al.(1995) pada buffer ekstrak tidak perlu ditambah CTAB (Cetyltrimetylammonium Chloride). DNA hasil ektrasi kemudian dilarutkan di dalam 1 mL TE (10 mM Tris-HCl pH 8,0; 1mM EDTA) dan disimpan pada - 20°C. Primer yang dibutuhkan yang dapat menghasilkan polymorfisme diantara jenis klon yang dianalisis. Seleksi primer dilakukan terhadap 10 jenis dari kit-C dan kit-D dari Operon (Alameda, USA) dan primer Kit-D dari Operon (Alameda, USA) dan 3 jenis dari abi primer (Bresatec, Australia), dengan susunan basa seperti yang disajikan pada Tabel 1. Klon yang digunakan sebanyak 79 klon dan hasilnya diketemukan 85 fragmen DNA dari 11 primer. Ukuran dari fragmen DNA antara 300 - 2000 bp. Ukuran fragmen mencapai 1800 bp diketemukan pada klon LCB 1320, PPN 2035, PPN 2058 dan WR 101. Sedangkan ukuran fragmen pada klon seri BPM (2, 13, 22, 24) hanya 550 bp. Untuk mengetahui hubungan kekerabatan pada tanaman karet diantara klon maupun plasma nutfah juga dilakukan oleh Annamma-Varghese et al.(1997). Woelan (2007) menyatakan bahwa, hasil penelitiannya dari 14 primer yang bersifat polymorphisme menghasilkan sebanyak 73 pita dengan ukuran fragmen antara 200 bp sampai 5000 bp. Rata-rata pita yang dihasilkan dari 14 primer yaitu sebanyak 5,2 pita, diantaranya Abi 117-17, OPC (05, 14, 16, 20), OPD 05, OPJ (04, 11, 14, 20), OPH (04, 18), OPN 05, OPM 20.
Universitas Sumatera Utara
21
Tabel 1. Sekuen Basa dan Fragment DNA Yang Dihasilkan dengan Beberapa Primer Pada Tanaman Karet No
Primer
Sekuen primer (5´ → 3´)
1. Abi 117.17 GCTCGTCAAC 2. OPC05 GATGACCGCC 3. OPC09 CTCACCGTCC 4. OPC13 AAGCCTCGTC 5. OPC14 TGCGTGCTTG 6. OPC16 CACACTCCAG 7. OPC20 ACTTCGCCAC 8. OPD01 ACCGCGCCAC 9. OPD03 GTCGCCGTCA 10. OPD04 TCTGGTGAGG 11. OPD05 TGAGCGGACA Sumber (Nurhaimi-Haris et al., 1998)
Jumlah fragmen DNA 7 5 7 8 8 11 8 9 8 8 6
Universitas Sumatera Utara