15
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pengertian Pengelolaan dan Pemungutan Pemungutan pajak merupakan suatu rangkaian kegiatan mulai dari
penghimpunan data objek dan subjek pajak, penentuan besarnya pajak yang terutang sampai dengan kegiatan penagihan pajak kepada wajib pajak serta pengawasan dan penyetorannya. Pada dasarnya sistem pemungutan pajak jelas aturannya. Pendapatan Asli Daerah dikatakan efektif apabila cara pengelolaan pemungutan pajaknya sesuai dengan prosedur-prosedur yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah. Adapun pengertian pengelolaan dan pemungutan adalah sebagai berikut : Kata Pengelolaan menurut Kamus Bahasa Indonesia (2001:249) berarti: “Pengelolaan adalah proses, cara, perbuatan mengelola. Proses melakukan kegiatan tertentu dengan menggerakan tenaga orang lain. Proses yang membantu merumuskan kebijaksanaan dan tujuan organisasi. Proses yang memberikan pengawasan pada semua hal yang terlibat dalam pelaksanaan kebijaksanaan dan pencapaian tujuan”. Kata Pemungutan menurut Kamus Bahasa Indonesia (2001:469) berarti: “Pemungutan adalah proses, cara, perbuatan memungut”.
2.2
Pengertian Pajak Salah satu sumber yang digunakan oleh pemerintah dalam memenuhi
kebutuhan pembiayaan sehubungan dengan kegiatan pembangunan di Indonesia adalah melalui pungutan pajak, dan/atau dari hasil kekayaan alam yang ada di dalam negara itu (natural resources). Dua sumber itu merupakan sumber terpenting yang memberikan penghasilan kepada negara. Penghasilan itu untuk membiayai kepentingan umum yang akhirnya juga mencakup kepentingan individu seperti kesehatan rakyat, pendidikan, kesejahteraan, dan sebagainya. Pemasukan dari sektor ini cukup besar, sehingga sebaiknya pemerintah
16
memberikan perhatian khusus dan pengelolaan yang lebih terarah agar pembangunan dapat berjalan dengan lancar. Pungutan pajak mengurangi penghasilan/kekayaan individu tetapi sebaliknya merupakan penghasilan negara yang dikembalikan lagi kepada masyarakat,
melalui
pengeluaran-pengeluaran
rutin
dan
pengeluaran
pembangunan yang akhirnya kembali lagi kepada seluruh masyarakat yang bermanfaat bagi rakyat, baik yang membayar pajak maupun yang tidak membayar pajak. Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran, baik rutin maupun untuk pembangunan. Saat ini pemerintah sedang mensosialisasikan kepada masyarakat untuk bisa ikut berpartisipasi untuk taat dalam membayar pajak. Hal tersebut dilakukan dengan cara menyempurnakan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku dan pengenaan sanksi yang memberatkan jika wajib pajak tidak bisa membayar pajak terutangnya kepada negara secara tepat waktu. Banyak definisi dari para ahli mengenai pengertian pajak. Namun demikian definisi tersebut mempunyai inti dan tujuan yang sama. Untuk lebih jelasnya penulis mengemukakan pengertian pajak yang dikemukakan oleh beberapa ahli, yaitu : Definisi pajak menurut Prof. Dr. P.J.A Adriani yang telah diterjemahkan oleh R. Santoso Brotodihrjo, S. H. dalam buku “Pajak Pengantar Ilmu” (1991:2) : “Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib pajak membayarnya menurut peraturanperaturan dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan ,pemerintahan”. Definisi Pajak menurut Soeparman Soemahamidjaja dalam disertasinya yang berjudul “ Pajak Berdasarkan Asas Gotong Royong”, Universitas Padjajaran, Bandung, 1964 : “ Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup
17
biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum”. Definisi pajak menurut
N.
J.
Feldmann,
dalam bukunya
De
overheidmiddenlen van Indonesia, Leiden, 1949, adalah : “ Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terhutang kepada penguasa (menurut norma-norma yang ditetapkan secara umum), tanpa adanya kontraprestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluran-pengeluaran umum”. Definisi menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H., dalam bukunya Dasar-dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan adalah sebagai berikut : “ Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undangundang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapatkan jasajasa timbal (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”. Melihat dari definisi tersebut di atas dapat disimpulkan beberapa ciri yang melekat pada pengertian pajak antara lain sebagai berikut : 1. Pajak adalah peralihan kekayaan dari orang/badan ke pemerintah. 2. Pajak
dipungut
berdasarkan/dengan
kekuatan
undang-undang
serta
peraturan pelaksanaannya sehingga dapat dipaksakan. 3. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi langsung secara individual yang diberikan oleh pemerintah. 4. Pajak dipungut oleh negara baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. 5. Pajak diperuntukan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun tidak rutin. 6. Pajak dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai tujun tertentu dari pemerintah. 7. Pajak dapat dipungut secara langsung atau tidak langsung
18
2.2.1
Pengelompokan Pajak Pembagian pajak menurut Mardiasmo (2003:5) dapat dilakukan
berdasarkan golongan, wewenang pemungut, maupun sifatnya. 1. Berdasarkan golongannya pajak dibagi dua, yaitu : a.
Pajak langsung Adalah pajak yang bebannya harus ditanggung sendiri oleh wajib pajak yang bersangkutan dan tidak dapat dialihkan kepada pihak lain serta dipungut secara berkala.
b.
Pajak tidak langsung Adalah pajak yang bebannya dapat dialihkan kepada pihak lain serta pajak ini tidak mempergunakan surat ketetapan pajak.
2. Berdasarkan wewenang pajak dibagi menjadi dua, yaitu : a.
Pajak Pusat Adalah pajak yang wewenang pemungutannya ada pada pemerintah pusat yang pelaksanaannya dilakukan oleh Departemen Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak. Pajak pusat diatur dalam undangundang dan hasilnya akan masuk ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pajak pusat terdiri dari : a. Pajak penghasilan b. Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah c. Pajak Bumi dan Bangunan d. Bea Materai e. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
b.
Pajak Daerah Adalah pajak yang wewenang pemungutannya ada pada Pemerintah Daerah yang pelaksanaannya dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah. Pajak Daerah diatur dalan undang-undang dan hasilnya akan masuk ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pajak daerah terbagi atas dua bagian, yaitu :
19
a. Pajak Daerah Provinsi b. Pajak Daerah Kota/Kabupaten 3. Berdasarkan sifat a. Pajak Subjektif Pajak subjektif adalah pajak yang memperhatikan kondisi/keadaan wajib pajak. Dalam menentukan pajaknya harus ada alasan-alasan objektif yang berhubungan erat dengan keadaan materialnya, yaitu gaya pikul. b. Pajak Objektif Pajak Objektif adalah pajak yang awalnya memperhatikan objek yang menyebabkan timbulnya kewajiban membayar, kemudian baru dicari subjeknya baik orang pribadi maupun badan. Jadi dengan kata lain pajak objektif adalah pengenaan pajak yang hanya memperhatikan kondisi objeknya saja.
2.2.2 Dasar Pemungutan Pajak Menurut Erly Suandy (2005;28), ada 5 macam teori pajak yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak, yaitu : 1. “Teori Asuransi 2. Teori kepentingan 3. Teori Daya Pikul 4. Teori Daya Beli 5. Teori Bhakti” Dari kutipan dasar pemungutan pajak tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Teori Asuransi Teori ini mengatakan bahwa pajak itu diibaratkan sebagai suatu premi asuransi yang harus dibayar setiap orang (warga negara), karena warga negara tersebut telah mendapatkan perlindungan atas hak-haknya dari pemerintah yaitu keselamatan jiwa dan bendanya. Dengan kata lain karena negara telah melindungi rakyat, maka rakyat harus membayar
20
premi kepada negara dalam bentuk pajak ( hampir sama dengan premi asuransi). Sekarang teori ini sudah tidak dipakai lagi karena tidak tepat lagi dan bertentangan dengan sifat pajak yang diartikan bahwa untuk pembayaran pajak tersebut rakyat tidak meminta imbalannya secara langsung bagaimana layaknya yang dilakukan oleh perusahaan asuransi. 2. Teori Kepentingan Menurut teori ini, yang harus membayar pajak adalah orang yang berkepentingan wajib pajak yang dilindungi. Teori ini tidak sesuai lagi dan ditinggalkan orang, karena tidak lagi sesuai dengan sifat pajak, dimana kadang-kadang yang berkepentingan adalah orang yang tidak mampu yang justru perlu dilindungi oleh negara, misalnya rakyat miskin. Dimana satu pihak, negara mempunyai kepentingan untuk menghimpun dana dari pajak, tetapi dilain pihak orang yang mempunyai kepentingan ini tidak mampi membayarnya. Sedangkan menurut teori seharusnya merekalah yang lebih banyak membayar pajak, oleh karena itu sesuai dengan kenyataannya. 3. Teori Gaya Pikul Menurut teori gaya pikul semua warga Negara harus membayar pajak, dimana besar kecilnya pajak tersebut sesuai dengan gaya (daya) pikul seseorang. Gaya pikul adalah besarnya kekuatan seseorang untuk mencapai pemuasan kebutuhan setinggi-tingginya, setelah dikurangi dengan yang mutlak yang untuk kebutuhan yang primer. Yang termasuk dalam gaya pikul ini adalah segala macam
beban pengeluaran dan
tanggungan keluarganya, dan ini baru dapat dipikul bila seseorang mempunyai penghasilan.
Gaya
pikul
seseorang tergantung dari
pendapatan yang diperolehnya, susunan keluarga dan dari jumlah kekayaan yang dimilikinya. Teori ini disebut juga teori modern pemungutan pajak dan hampir dipakai di semua negara. 4. Teori Daya Beli Teori ini mengatakan bahwa setiap warga Negara harus membayar pajak berdasarkan kemampuan membelinya, apabila daya belinya besar berarti
21
pendapatannya cukup besar, kemudian yang disalurkan kembali kepada masyarakat.
Jadi pihak ini berasal dari rakyat sesuai dengan
kemampuannya yang kemudian kembali kepada rakyat yang disalurkan Negara melalui pembangunan dan sebagainya. 5. Teori Bhakti Teori ini mengutamakan kepentingan negara yang merupakan satu kesatuan dari individu dimana setiap warga negara terikat kepada pemerintahannya, sehingga negara mempunyai hak atas warganya dan memungkinkan secara mutlak untuk memungut pajak dari rakyatnya. Sebaliknya rakyat secara sadar membayar pajak karena menginsafinya sebagai kewajiban asli untuk membuktikan tanda buktinya kepada negara.
2.2.3 Sistem Pemungutan Pajak Sistem pemungutan pajak yang digunakan menurut Mardiasmo (2003:7) yaitu : a. Official Assessment System Adalah suatu sisrem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (firkus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Ciri –ciri Official Assessment adalah : 1. Wewenang untuk menetapkan besarnya pajak terutang ada pada firkus. 2. Wajib pajak bersifat pasif. 3. Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh firkus. b. Self Assesment System Adalah suatu pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Ciri-ciri Self Assesment System adalah : 1. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib pajaknya sendiri.
22
2. Wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang. 3. Firkus tidak ikut campur dan hanya mengawasi. c. With Holding System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan firkus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Ciri-ciri With Holding System adalah : wewenang untuk menentukan besarnya pajak yangterutang ada pada pihak ketiga, pihak selain firkus dan wajib pajak.
2.2.4 Fungsi Pajak Menurut Erly Suandy (2005:14) terdapat 2 fungsi pajak, yaitu : 1. Fungsi Budgeter (Sumber Keuangan Negara) Pajak mempunyai fungsi Budgeter artinya pajak merupakan salah satu sumber penerimaan pemerintah untuk membiayai pengeluaran baik rutin maupun pembangunan. Sebagai sumber keuangan negara,
pemerintah
berupaya
memasukan
uang
sebanyak-
banyaknya untuk kas negara. Upaya tersebut ditempuh dengan cara ekstensifikasi maupun intensifikasi pemungutan pajak melalui penyempurnaan peraturan berbagai
jenis
pajak,
seperti,
Pajak
Penghasilan,
Pajak
Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan lain-lain. 2. Fungsi Regulated (mengatur) Pajak mempunyai fungsi Regulated artinya pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi, dan mencapai tujuan-tujuan di luar bidang keuangan.
23
2.2.5 Sifat Perpajakan Menurut Suparmoko (2000:56) sebagai sumber pendapatan pajak harus memenuhi Smith’s Cannons yang meliputi : 1. Unsur Keadilan (Equality) 2. Unsur Kepastian (Cerlainty) 3. Unsur Kelayakan (Convernience) 4. Efisiensi (Efficiency/economy) Dari empat kutipan di atas dapat dijelaskan sebagai berikut : 1.
Unsur Keadilan (Equality) Yang dimaksud dengan keadilan dalam perpajakan adalah pajak harus adil baik secara vertikal maupun horizontal. Adil secara vertikal artinya pajak harus dikenakan sedemikian rupa sehingga dirasakan adil di antara berbagai tingkat atau golongan pendapatan yang berbeda. Sedangkan adil secara horizontal artinya pajak dikenakkan sedemikian rupa sehingga dirasakan adil di antara berbagai sektor yang berbeda pada tingkat atau golongan pendapatan sama.
2. Unsur Kepastian (certainly) Yang dimaksud dengan unsur kepastian adalah bahwa pajak hendaknya dikenakan secara jelas, pasti, dan tegas kepada setiap wajib pajak. 3. Unsur Kelayakan (convenience) Yang dimaksud dengan unsur kelayakan dalam memungut pajak adalah bahwa wajib pajak harus dengan senang hati membayar pajak kepada pemerintah karena pajak yang dibayarnya layak dan tidak memberatkan wajib pajak. 4. Efisien (efficiency/economi) Yang dimaksud dengan unsur ekonomi adalah biaya yang dikeluarkan dalam melaksanakan pemungutan pajak tidak boleh lebih besar dari pada jumlah pajak yang dipungut. Dalam asas ini diberi pengertian bahwa pemungutan pajak sebaiknya memperhatikan kondisi subjek dan objek pajaknya.
24
2.2.6 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Pajak Ada beberapa faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya penerimaan pajak, yaitu: 1. Kondisi Perekonomian Kondisi perekonomian suatu negara dapat ditentukan oleh pendapatan yang diperoleh masyarakat, penerimaan PDRB, tingkat inflasi dan tingkat pengangguran yang terjadi dimasyarakat. Hal ini dapat pula dijadikan faktor penentu kemampuan masyarakat dalam membayar pajak sehingga semakin baik kondisi perekonomian suatu negara atau daerah maka semakin tinggi penerimaan pajaknya. 2. Sistem Perpajakan Undang-undang Perpajakan yang lama, misalnya Undang-undang Pajak Pendapatan (PPd) 1944 merupakan Undang-undang yang menjadi landasan untuk memungut pajak atas penghasilan (keuntungan/pendapatan). Undangundang ini berasal dari zaman kolonial dan dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan di Indonesia. Oleh karena itu untuk melengkapinya harus diberlakukan peraturan lain. Sistem perpajakan yang lama terlalu banyak dibebani fungsi mengatur, sehingga menghalangi usaha untuk meningkatkan penerimaan, misalnya tax holiday dan fasilitas lainnya yang pada hakekatnya merupakan subsidi pemerintah yang tidak dapat diawasi berapa jumlah sebenarnya. Suatu Undang-undang pada hakekatnya adalah penjabaran jiwa falsafah yang digariskan dalam Undang-undang dasar 1945. Karena Undang-undang perpajakan lama berasal dari zaman kolonial, maka keberadaannya tidak dapat dirasakan sebagai pencerminan jiwa falsafah Undang-undang Dasar 1945. Seorang wajib pajak sering memberikan informasi yang tidak benar kepada aparat pajak. Hal ini juga tidak luput dari kewajiban Direktorat Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) untuk meningkatkan peran aktif dari para pemeriksa.
25
3. Aparat pelaksana Aparat pelaksana dapat dibedakan ke dalam dua bagian, yaitu: a. Aparat/sarana keras (hard ware), misalnya komputer, mesin tik, kendaraan, gedung, dan lain-lain. b. Aparat/sarana lunak (soft ware) ialah manusia pelaksana atau pegawai. Aparat atau sarana keras sepertinya bukan merupakan masalah yang rumit di masa lalu, meskipun belum dapat dikatakan sempurna, akan tetapi sarana keras ini sudah cukup memadai. Berbeda hal dengan sarana lunak, di sini sistem perpajakan lama terlalu banyak memberikan kekuasaan kepada para pelaksana Undang-undang. Hal ini juga merupakan suatu faktor yang dapat memberikan dampak kurang positif dalam melaksanakan Undang-undang. Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan pada faktor aparat ini, maka dilakukan beberapa upaya sebagai berikut: a. Sistem pemungutan pajak pada Undang-undang lama perlu dilakukan perubahan/penyesuaian b. Dilakukan peningkatan atau
menguatkan disiplin aparat
melalui
pengawasan yang lebih kuat. c. Dilakukan peningkatan keterampilan dan kecakapan melalui pendidikan dan latihan yang terencana. 4. Sikap atau Tingkah laku Tidak dapat dipungkiri bahwa sikap dan tingkah laku dari wajib pajak sendiri tidak kalah pentingnya dalam mempengaruhi penerimaan dari sektor perpajakan. Sering seorang wajib pajak berani untuk memasukkan SPT (Surat Pemberitahuan Pajak) yang tidak benar.
26
Adapun pendapatan lain tentang faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan pajak yaitu (Hesel Nogi S, 2003;119) 1. Isi Kebijakan Yang dimaksud dengan isi kebijakan yaitu peraturan yang sedang diterapkan pada saat itu, misalnya Peraturan Daerah Kabupaten Bandung untuk Pajak Hotel Nomor 14 Tahun 2002, Peraturan Daerah Kabupaten Bandung untuk Pajak Restoran Nomor 17 Tahun 2009, Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 02 Tahun 2003 tentang Pajak Hotel dan Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 02 Tahun 2003 tentang Pajak Restoran. Dari PERDA yang berlaku itu apakah pihak wajib pajak atau para pengusaha hotel dan restoran dapat mematuhi peraturan tersebut atau tidak. Apabila wajib pajak mematuhi PERDA tersebut maka penerimaan pajak hotel dan restoran akan meningkatkan dan apabila tidak dipatuhi maka yang akan terjadi sebaliknya. 2. Sumber Daya Manusia Sumber daya manusia ini maksudnya adalah kualitas dari aparat pajak yang berada pada Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan Kabupaten bandung dan Dinas Pendapatan Kota Bandung. Apakah tingkat pendidikan dan keahlian yang dimiliki oleh para aparat pajak tersebut telah sesuai dengan tugas mereka dalam menjalankan kewajibannya untuk melayani para wajib pajak. Karena pelayanan yang optimal dari aparat pajak akan meningkatkan jumlah penerimaan pajak. 3. Kepatuhan Wajib Pajak Kepatuhan wajib pajak yaitu sikap dari wajib pajak dalam melaksanakan kewajibannya untuk membayar pajak. Apabila wajib pajak belum optimal dalam melaksanakan kewajibannya maka target penerimaan pajak tidak akan tercapai, misalnya tidak tepatnya waktu penyetoran pajak atau wajib pajak dengan sengaja menghindari untuk tidak membayar pajak.
27
4. Kondisi Sosial Ekonomi Yang dimaksud dengan kondisi sosial ekonomi adalah potensi yang dimiliki oleh suatu daerah, misalnya penghasilan yang diperoleh masyarakat. Semakin besar jumlah penghasilan masyarakat maka semakin besar pula penerimaan yang akan diperoleh pajak.
2.3
Pengertian Realisasi dan Penerimaan Kata Realisasi menurut Kamus Bahasa Indonesia(2001:484) berati : re·a·li·sa·si /réalisasi/ n 1 proses menjadikan nyata; perwujudan; 2 cak wujud; kenyataan; pelaksanaan yg nyata; Kata Penerimaan menurut Kamus Bahasa Indonesia(2001:631) berarti : pe·ne·ri·ma·an n 1 proses, cara, perbuatan menerima; penyambutan: ~ tamu; ~ murid baru; 2 sambutan: ~ rakyat Jawa Timur atas kedatangan Presiden sangat memuaskan; 3 perlakuan; sikap thd (kpd): ~ rakyat kpd camat yg baru kurang menggembirakan; 4 anggapan; pendapat: terjadinya percekcokan yg dahsyat itu krn adanya ~ yg salah saja; 5 besarnya uang yg diterima dr hasil penjualan barang atau jasa
2.4
Pajak Parkir
2.4.1
Pengertian Pajak Parkir Pajak parkir adalah pajak yang dikenakan atas penyelenggaraan tempat
parkir di luar badan jalan oleh orang pribadi atau badan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor dan garasi kendaraan bermotor yang memungut bayaran. Dalam pemungutan pajak parkir ada beberapa terminologi yang perlu diketahui. Terminologi tersebut antara lain: 1. Tempat parkir adalah tempat parkir di luar badan jalan yang disediakan oleh pribadi atau badan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor dan garasi kendaraan bermotor yang memungut bayaran.
28
2. Pembayaran adalah jumlah yang diterima atau seharusnya diterima sebagai imbalan
atas
oenyerahan
barang
dan
jasa
pembayaran
kepada
penyelenggaraan tempat parkir. 3. Pengusaha
parkir
adalah prang
pribadi atau
badan
hukum
yang
menyelenggarakan usaha tempat parkir atau jenis lainya pada gedung, pelataran milik pemerintah/swasta orang pribadi atau badan yang dijadikan tempat parkir untuk dan atas namanya sendiri atau untuk dan atas nama pihak lain yang menjadi tanggungan. 4. Gedung parkir adalah tempat parkir kendaraan, tempat menyimpan kendaraan dan atau tempat memamerkan kendaraan yang berupa gedung milik pemerintah/swasta, orang pribadi, atau badan yang dilelola sebagai tempat parkir kendaraan. 5. Pelataran parkir adalah pelataran milik pemerintah/swasta, orang prbadi, atau badan diluar badan jalan atau yang dikelola sebagai tempat parkir secara terbuka. 6. Garasi adalah bangunan atau ruang rumah yang dipakai untuk menyimpan kendaraan bermotor yang dipungut bayaran. 7. Tempat penitipan kendaraan adalah suatu ruang, bidang yang dipakai untuk menyimpan, menaruh, mengumpulkan, memamerkan, memajang kendaraan untuk jangka waktu tertentu, dan alat untuk diperjualbelikan. 8. Kendaraan bermotor adalah setiap kendaraan yang digerakan oleh peralatan yang ada pada kendaraan itu dan dipergunakan untuk pengangkutan orang dan atau barang di jalan.
2.4.2
Dasar Hukum Pajak Parkir Pemungutan Pajak parkir di Indonesia saat ini didasarkan pada hukum
yang jelas dan kuat sehingga harus dipatuhi oleh masyarakat dan pihak yang terkait. Dasar hukum pemungutan Pajak parkir pada suatu Kabupaten atau Kota adalah sebagai berikut: 1. Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 yang merupakan atas Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
29
2. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang mengatur tentang Pajak Daerah. 3. Keputusan Bupati/Walikota yang mengatur tentang Pajak Parkir sebagai aturan pelaksanaan peraturan daerah tentang Pajak pada Kabupaten/ Kota yang dimaksud.
2.4.3
Objek Pajak Parkir Menurut Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 5 tahun 2004, yang
merupakan objek pajak parkir adalah penyelenggara tempat parkir di luar parkir badan jalan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor dan garasi kendaraan bermotor yang memungut bayaran. Klasifikasi tempat parkir di luar badan jalan yang dikenakan Pajak Parkir: 1. Gedung parkir 2. Pelataran parkir 3. Garasi kendaraan bermotor yang memungut bayaran, dan 4. Tempat penitipan kendaraan bermotor.
2.4.4
Bukan Objek Pajak Parkir Pada Pajak Parkir, tidak semua penyelenggaraan parkir dikenakan pajak. Ada beberapa pengecualian yang tidak termasuk objek pajak, yaitu: 1. Penyelenggaraan tempat parkir dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. 2. Penyelenggaraan tempat parkir dilakukan oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk karyawannya sendiri. 3. Penyelenggaraan tempat parkir oleh kedutaan,
konsulat, dan
perwakilan negara asing dengan asas timbal balik. 4. Penyelenggaraan tempat parkir lainnya yang diatur dengan Peraturan Daerah setempat.
30
2.4.5
Subjek Pajak dan Wajib Pajak Parkir Pada Pajak Parkir, subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang
melakukan pembayaran atas tempat parkir. Pajak Parkir dibayar oleh pengusaha yang menyediakan tempat parkir dengan dipungut bayaran. Pengusaha tersebut secara otomatis ditetapkan sebagai wajib pajak yang harus membayar Pajak Parkir terutang. Dengan demikian, pada Pajak Parkir subjek pajak dan wajib pajak tidak sama. Konsumen yang menggunakan tempat parkir merupakan subjek pajak yang membayar (menanggung) pajak, sedangkan pengusaha yang menyediakan tempat parkir dengan dipungut bayaran bertindak sebagai wajib pajak yang diberi wewenang untuk menanggung pajak dari konsumen (subjek pajak). Dalam menjalankan kewajiban perpajakannya, wajib pajak yang dapat diwakili oleh pihak tertentu yang diperkenankan oleh Undang-undang dan peraturan daerah tentang Pajak Parkir. Wakil wajib pajak bertanggung jawab secara pribadi dan atau secara tanggung rentang atas pembayaran pajak terutang. Selain itu, wajib pajak dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya.
2.4.6
Dasar Pengenaan dan Perhitungan serta Tarif Pajak Parkir Yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak Parkir adalah jumlah pembayaran
atau yang seharusnya dibayar kepada penyelenggara tempat parkir dan dapat ditetapkan dengan peraturan daerah. Dasar Pengenaan Pajak parkir didasarkan pada klasifikasi tempat parkir, daya tampung, dan frekwensi kendaraan bermotor. Setiap kendaraan bermotor yang parkir pada tempat parkir di luar badan jalan akan di tetapkan oleh pengelola parkir. Tarif parkir yang ditetapkan oleh pengelola tempat parkir di luar badan jalan yang memungut bayaran umumnya disesuaikan dengan tarif parkir yang ditetapkan paling tinggi sebesar 20%(dua puluh persen) dan ditetapkan berdasarkan peraturan daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan keleluasaan kepada pemerintah kabupaten/kota untuk menetapkan tarif pajak yang dipandang sesuai dengan kondisi masingmasing daerah Kabupaten/kota. Dengan demikian, setiap daerah Kabupaten/Kota
31
diberi kewenangan untuk menetapkan besarnya tarif pajak yang mungkin berbeda dengan Kabupaten/Kota lainnya, selama tidak melebihi 20%(dua puluh persen). Besarnya pokok Pajak Parkir yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan dasar pengenaan pajak. Rumusnya adalah sebagai berikut:
Pajak Terutang= Tarif Pajak x Dasar Pengenaan Pajak = Tarif Pajak x Jumlah pembayaran untuk Pemakaian tempat parkir