BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Tentang Antibiotik 2.1.1 Sejarah Antibiotik Antibiotik pertama (Penisilin) ditemukan pada tahun 1928 oleh Alexander fleming, seorang ahli mikrobiologi dari inggris tahun 1930 , penisilin mulai diresepkan untuk mengobati penyakit-penyakit infeksi .Sebelum antibiotik ditemukan banyak infeksi yang tidak bisa disembuhkan dan menyebabkan kematian , namun sejak penisilin ditemukan jutaan penderita infeksi diseluruh dunia , bisa diselamatkan nyawanya. Begitu hebatnya antibiotik , sehingga sejak tahun 1944-1972 , rata-rata harapan hidup manusia meningkat delapan tahun (Nurrachmi.2009). Antibiotik ,seperti yang kita ketahui saat ini ternyata berasal dari bakteri yang dilemahkan, tidak ada yang menduga bahwa bakteri lemah tersebut mampu membunuh bakteri lain yang berkembang dalam tubuh mahluk hidup . Antibiotik adalah zat yang dihasilkan oleh mikroba terutama jamur , yang dapat menghambat pertumbuhan ataupun membunuh mikroba lain (Schwartz .2009). Antibiotik adalah segolongan senyawa, baik alami maupun sintetik, yang mempunyai efek menekan atau menghentikan suatu proses biokimia di dalam organisme, khususnya dalam proses infeksi oleh bakteri. Penggunaan antibiotik khususnya berkaitan dengan pengobatan penyakit infeksi, meskipun dalam bioteknologi dan rekayasa genetika juga digunakan sebagai alat seleksi terhadap mutan atau transforman. Antibiotik bekerja seperti pestisida dengan menekan atau memutus satu mata rantai metabolisme, hanya saja targetnya adalah bakteri. Antibiotik berbeda dengan desinfektan karena cara kerjanya. Desifektan membunuh kuman dengan menciptakan lingkungan yang tidak wajar bagi kuman untuk hidup (schwart. 1995). Tidak seperti perawatan infeksi sebelumnya,
yang menggunakan racun seperti
strychnine.Antibiotik tidak efektif menangani infeksi akibat virus, jamur, atau nonbakteri lainnya, dan setiap antibiotik sangat beragam keefektifannya dalam melawan berbagai jenis bakteri. Ada antibiotik yang membidik bakteri gram negatif atau gram positif, ada pula yang spektrumnya lebih luas. Keefektifannya juga bergantung pada lokasi infeksi dan kemampuan antibiotik mencapai lokasi tersebut.Antibiotik oral (yang dimakan) mudah digunakan bila efektif,
dan antibiotik intravena (melalui infus) digunakan untuk kasus yang lebih serius. Antibiotik kadangkala dapat digunakan setempat, seperti tetes mata dan salep (schwartz .1995) Pada tahun 1929, Fleming mengamati substansi bakteri-ostatik yang dihasilkan jamur Penicillium notatum dan diberi nama Penicillin. Sejak itu penisilin dikenal dan diketahui dapat diproduksi oleh berbaga jamur. Namun karena kurang stabil terutamabio-aktivitasnya akan hilang bila diuapkan sampai kering, maka penisilin kemudian ditinggalkan. Sekitar tahun 1939, Florey dan kawan-kawan melakukan percobaan kembali terhadap kemungkinan penggunaan penisilin Fleming untuk terapi. Tahun 1940, Chain dan kawan-kawan juga melakukan penelitian penisilin, mereka membiakkan organisme Fleming dan pada waktu ekstraksi dikontrol pada temperatur rendah; akhirnya mereka mampu memekatkan penisilin sampai 1000 kali, serta dapat menghasilkan garam penisilin berbentuk bubuk kering yang mempunyai stabilitas baik terutama bila disimpan. Hasil ini merupakan kemajuan besar dalam perkembangan produksi antibiotik terutama penisilin dan merupakan tonggak sejarah manusia dalam memerangi penyakit infeksi ( pudjaworto,2002). Pada waktu yang hampir sama, di Rockefeller Institute for Medical Research New York. Dubos menemukan antibiotik komplek tyrothricin yang diproduksi oleh bakteri tanah Baccilus brevis. Selanjutnya Dubos, Waksman dan Woodruff menemukan aktinomisin yang diperoleh dari biakan aktinomisetes. Pada tahun 1944 Selman Waksman menemukan streptomisin yang merupakan salah satu antibiotik yang dihasilkan oleh Streptomyces anggota dari aktinomisetes. Streptomisin merupakan anti tuberkulosis yang mujarab.perkembangan ini merangsang penelitian lebih lanjut terhadap genus streptomises dalam usaha mencari mikroorganisme penghasil antibiotik. Sejak itu aktinomisetes terutama streptomises menjadi gudang utama untuk memperoleh antibiotik baru. Di berbagai lembaga penelitian dilakukan pencarian antibiotik dari berbagai tipe mikroorganisme terutama aktinomisetes dan telah berhasil mendapatkan antibiotik baru. Pada tahun 1945 telah ditemukan basitrasin yang dihasilkan oleh Bacillus, diikuti khloramfenikol oleh Strepto-myces venezuelae dan polimiksin oleh B. polymyxa pada tahun 1947, khlortetrasiklin oleh S. dan eritromisin 1952, keduanya dihasilkan oleh Streptomyces. Kanamisin ditemukan oleh Umezawa dan koleganya tahun 1957 dari biakan streptomyces. Semua ini merupakan antibiotik yang sangat penting dan sampai saat ini masih diperhitungkan sebagai salah satu antibiotik untuk melawan infeksi (Nurrachmi,2009). 2.1.2 Definisi Antibiotik
Antibiotik berasal dari bahasa latin yang terdiri dari anti = lawan, bios = hidup. Adalah zatzat yang dihasilkan oleh mikroba terutama fungi dan bakteri tanah, yang dapat menghambat pertumbuhan rdasaratau membasmi mikroba jenis lain, sedangkan toksisitasnya(racun) terhadap manusia relatif kecil (chambers,2006) 2.1.3 Penggolongan Antibiotik Penggolongan antibiotik dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 1. Berdasarkan struktur kimia antibiotik Berdasarkan struktur kimianya, antibiotik dikelompokkan sebagai berikut: a. Golongan Aminoglikosida, antara lain amikasin, dibekasin, gentamisin, kanamisin, neomisin, netilmisin, paromomisin, sisomisin, streptomisin, tobramisin. b. Golongan Beta-Laktam, antara lain golongan karbapenem (ertapenem, imipenem, meropenem), golongan sefalosporin (sefaleksin, sefazolin, sefuroksim, sefadroksil, seftazidim), golongan beta-laktam monosiklik, dan golongan penisilin (penisilin, amoksisilin). Penisilin adalah suatu agen antibakterial alami yang dihasilkan dari jamur jenis Penicillium chrysognum. c. Golongan Glikopeptida, antara lain vankomisin, teikoplanin, ramoplanin dan dekaplanin. d. Golongan Poliketida, antara lain golongan makrolida (eritromisin, azitromisin, klaritromisin, roksitromisin), golongan ketolida (telitromisin), golongan tetrasiklin (doksisiklin, oksitetrasiklin, klortetrasiklin). e. Golongan Polimiksin, antara lain polimiksin dan kolistin. f. Golongan Kinolon (fluorokinolon), antara lain asam nalidiksat, siprofloksasin, ofloksasin, norfloksasin, levofloksasin, dan trovafloksasin. g. Golongan Streptogramin, antara lain pristinamycin, virginiamycin, mikamycin, dan kinupristin-dalfopristin. h. Golongan Oksazolidinon, anatara lain linezolid. i. Golongan Sulfonamida, antara lain kotrimoksazol dan trimetoprim. j. Antibiotik lain yang penting, seperti kloramfenikol, klindamisin dan asam fusidat. (Mutschaler,1991) 2.
Berdasarkan toksisitas selektif
Berdasarkan sifat toksisitas selektif, ada antibiotik yang bersifat bakteriostatik dan ada yang bersifat bakterisid.Bakteriostatik menghambat pertumbuhan bakteri. Sedangkan bakterisida membunuh bakteri. Kadar minimal yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan mikroba atau membunuhnya, masing – masing dikenal sebagai kadar hambat minimal (KHM) dan kadar bunuh minimal (KBM). Antibiotik tertentu aktivitasnya dapat meningkat dari bakteriostatik menjadi bakterisid bila kadar antimikrobanya ditingkatkan melebihi KHM. 3.
Berdasarkan mekanisme kerja antibiotik Berdasarkan mekanisme kerjanya terhadap bakteri, antibiotik dikelompokkan sebagai
beirkut : a.
Inhibitor sintesis dinding sel bakteri Memiliki efek bakterisidal dengan cara memecah enzim dinding sel dan menghambat enzim dalam sintesis dinding sel. Contohnya antara lain golongan β-Laktam seperti penisilin, sefalosporin, karbapenem, monobaktam, dan inhibitor sintesis dinding sel lainnya seperti vancomysin, basitrasin, fosfomysin, dan daptomysin.
b.
Inhibitor sintesis protein bakteri Memiliki efek bakterisidal atau bakteriostatik dengan cara menganggu sintesis protein tanpa mengganggu sel-sel normal dan menghambat tahap-tahap sintesis protein. Obat-obat yang aktivitasnya menginhibitor sintesis protein bakteri
seperti
aminoglikosida,makrolida,tetrasiklin,streptogamin,klindamisin,
oksazolidinon, kloramfenikol. c.
Menghambat sintesa folat Mekanisme kerja ini terdapat pada obat-obat seperti sulfonamida dan trimetoprim. Bakteri tidak dapat mengabsorbsi asam folat, tetapi harus membuat asam folat dari PABA (asam paraaminobenzoat), pteridin, dan glutamat. Sedangkan pada manusia, asam folat merupakan vitamin dan kita tidak dapat menyintesis asam folat. Hal ini menjadi suatu target yang baik dan selektif untuk senyawa-senyawa antimikroba.
d.
Mengubah permeabilitas membran sel Memiliki efek bakteriostatik dan bakteriostatik dengan menghilangkan permeabilitas membran dan oleh karena hilangnya substansi seluler menyebabkan sel menjadi lisis. Obat- obat yang memiliki aktivitas ini antara lain polimiksin, amfoterisin B, gramisidin, nistatin, kolistin.
e.
Mengganggu sintesis DNA Mekanisme kerja ini terdapat pada obat-obat seperti metronidasol, kinolon, novobiosin. Obat-obat ini menghambat asam deoksiribonukleat (DNA) girase sehingga mengahambat sintesis DNA. DNA girase adalah enzim yang terdapat pada bakteri yang menyebabkan terbukanya dan terbentuknya superheliks pada DNA sehingga menghambat replikasi DNA.
f. 4.
Mengganggu sintesa RNA, seperti rifampisin (Setiabudi dan Gan,1995) Berdasarkan aktivitas antibiotik
Berdasarkan aktivitasnya, antibiotik dikelompokkan sebagai berikut: a.
Antibiotika spektrum luas (broad spectrum) Contohnya seperti tetrasiklin dan sefalosporin efektif terhadap organisme baik gram positif maupun gram negatif. Antibiotik berspektrum luas sering kali dipakai untuk mengobati penyakit infeksi yang menyerang belum diidentifikasi dengan pembiakan dan sensitifitas.
b.
Antibiotika spektrum sempit (narrow spectrum) Golongan ini terutama efektif untuk melawan satu jenis organisme.Contohnya penisilin dan eritromisin dipakai untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh bakteri gram positif. Karena antibiotik berspektrum sempit bersifat selektif, maka obat-obat ini lebih aktif dalam melawan organisme tunggal tersebut daripada antibiotik berspektrum luas.(siswandono dan soekardjo,2000)
5.
Berdasarkan pola bunuh antibiotik
Terdapat 2 pola bunuh antibiotik terhadap kuman yaitu : a.
Time dependent killing. Pada pola ini antibiotik akan menghasilkan daya bunuh maksimal jika kadarnya dipertahankan cukup lama di atas Kadar Hambat Minimal kuman. Contohnya pada antibiotik penisilin, sefalosporin, linezoid, dan eritromisin.
b.
Concentration dependent killing. Pada pola ini antibiotik akan menghasilkan daya bunuh maksimal jika kadarnya relatif tinggi atau dalam dosis besar, tapi tidak perlu mempertahankan kadar tinggi ini dalam waktu lama. Contohnya pada antibiotik aminoglikosida, fluorokuinolon, dan ketolid.(Ganiswarna,1995)
2.2 Rasionalitas penggunaan antibiotik Pemakaian obat secara rasional berarti hanya menggunakan obat-obatan yang telah terbukti keamanan dan efektifitasnya dengan uji klinik.Suatu pengobatan dikatakan rasional bila memenuhi beberapa kriteria tertentu. (DepartemenKesehatan R.I,1997).
2.2.1. Tepat indikasi Indikasi pemakaian obat secara khusus adalah indikasi medik bahwa intervensi dengan obat (antibiotik) memang diperlukan dan telahdiketahui memberikan manfaat terapetik. Pada banyak keadaan,ketidakrasionalan
pemakaian
obat
terjadi
oleh
karena
keperluan
intervensi
farmakoterapi dan kemanfaatannya tidak jelas. 2.2.2. Tepat obat Pemilihan jenis obat harus memenuhi beberapa segi pertimbangan,yakni : a. Kemanfaatan dan keamanan obat sudah terbukti secara pasti. b. Obat (antibiotik) memiliki efektifitas yang telah terbukti. c. Jenis antibiotik sesuai dengan sensitivitas dari dugaan kumanpenyebab berdasarkan terapi empirik (educated guess) atausesuai dengan hasil uji sensitifitas terhadap kuman penyebab jika uji sensitifitas dilakukan. d. Derajat penyakit pasien o pasien dengan penyakit berat butuhobat yang bisa cepat mencapai kadar obat dalam plasma dancepat mengeradikasi kuman penyebab infeksi sehingga cepat meredakan penderitaan pasien. e. Risiko dari pengobatan dipilih yang paling kecil untuk pasiendan
imbang dengan manfaat
yang akan diperoleh. Risikopengobatan mencakup toksisitas obat, efek samping, dan interaksi dengan obat lain. f. Biaya obat paling sesuai untuk alternatif-alternatif obat denganmanfaat dan keamanan yang sama dan paling terjangkau olehpasien g. Jenis obat yang paling mudah didapat h. Cara pemakaian paling cocok dan paling mudah diikuti pasien. i. Sedikit mungkin kombinasi obat atau jumlah jenis obat.7 Banyak ketidakrasionalan terjadi oleh karena pemilihan obat-obat dengan manfaat dan keamanan yang tidak jelas atau pemilihan obat-obat yang mahal padahal alternatif yang sama dengan harga lebih murah juga tersedia. 2.2.3. Tepat penderita Ketepatan pasien serta penilaiannya mencakup pertimbangan apakahada kontraindikasi atau adakah kondisi-kondisi khusus yang memerlukan penyesuaian dosis secara individual. 2.2.4. Tepat cara pemakaian dan dosis obat Cara pemakaian obat memerlukan pertimbangan farmakokinetika, yakni:cara pemberian, besar dosis, frekuensi pemberian dan lama pemberian, sampai ke pemilihan cara pemakaian yang paling mudah diikuti oleh pasien dan paling aman serta efektif untuk pasien. Apakah pasien
benar-benar memerlukan suntikan? Oleh karena sebagian besar pemberian suntikan yang terjadi umumnya tidak ada indikasi secara jelas, dan sering tidak memberikan kelebihan manfaat dibandingkan alternatif pemberian lain. Juga perlu dipertimbangkan di sini adalah kemungkinan terjadinya interaksi bila diberikan obat lebih dari satu a. besar dosis : tergantung usia, fungsi organ hepar, ginjal,jantung,1 jenis infeksi dan penetrasi obat ke tempat infeksi. b. frekuensi/interval pemberian : tergantung waktu paruh obat,kadar obat dalam plasma (KOP). c. cara/rute pemberian : tergantung derajat berat gejala klinik openyakit berat butuh waktu cepat untuk mencapai kadar obatdalam plasma sehingga cepat meredakan penderitaan pasien tergantung kemampuan pasien meminum obat lewat mulut(kesadaran pasien, keadaan fisik pasien, kemampuan absorpsi saluran cerna) d. lama pemberian : tergantung pada respon/perbaikan gejalaklinik, mikrobiologik, ataupun radiologik. 2.3 Resistensi Resistensi didefinisikan sebagai tidak terhambatnya pertumbuhan bakteri dengan pemberian antibiotik secara sistemik dengan dosis normal yang seharusnya atau kadar hambat minimalnya. Sedangkan multiple drugs resistance didefinisikan sebagai resistensi terhadap daua atau lebih obat maupun klasifikasi obat. Sedangkan cross resistance adalah resistensi suatu obat yang diikuti dengan obat lain yang belum pernah dipaparkan (Tripathi, 2003). Resistensi terjadi ketika bakteri berubah dalam satu atau lain hal yang menyebabkan turun atau hilangnya efektivitas obat, senyawa kimia atau bahan lainnya yang digunakan untuk mencegah atau mengobati infeksi. Bakteri yang mampu bertahan hidup dan berkembang biak, menimbulkan lebih banyak bahaya. Kepekaan bakteri terhadap kuman ditentukan oleh kadar hambat minimal yang dapat menghentikan perkembangan bakteri (Bari,2008). Timbulnya resistensi terhadap suatu antibiotika terjadi berdasarkan salah satu atau lebih mekanisme berikut 1.
Bakteri mensintesis suatu enzim inaktivator atau penghancur antibiotika . Misalnya Stafilokoki, resisten terhadap penisilin G menghasilkan beta-laktamase, yang merusak obat tersebut. Beta-laktamase lain dihasilkan oleh bakteri batang Gram-negatif.
2.
Bakteri mengubah permeabilitasnya terhadap obat. Misalnya tetrasiklin, tertimbun dalam bakteri yang rentan tetapi tidak pada bakteri yang resisten.
3.
Bakteri mengembangkan suatu perubahan struktur sasaran bagi obat. Misalnya resistensi kromosom terhadap aminoglikosida berhubungan dengan hilangnya (atau perubahan) protein spesifik pada subunit 30s ribosom bakteri yang bertindak sebagai reseptor pada organisme yang rentan.
4.
Bakteri mengembangkan perubahan jalur metabolik yang langsung dihambat oleh obat. Misalnya beberapa bakteri yang resisten terhadap sulfonamid tidak membutuhkan PABA ekstraseluler, tetapi seperti sel mamalia dapat menggunakan asam folat yang telah dibentuk.
5.
Bakteri mengembangkan perubahan enzim yang tetap dapat melakukan fungsi metabolismenya tetapi lebih sedikit dipengaruhi oleh obat dari pada enzim pada kuman yang rentan. Misalnya beberapa bakteri yang rentan terhadap sulfonamid, dihidropteroat sintetase, mempunyai afinitas yang jauh lebih tinggi terhadap sulfonamid dari pada PABA (Jawetz, 1997).
Penyebab utama resistensi antibiotika adalah penggunaannya yang meluas dan irasional. Lebih dari separuh pasien dalam perawatan rumah sakit menerima antibiotik sebagai pengobatan ataupun profilaksis. Sekitar 80% konsumsi antibiotik dipakai untuk kepentingan manusia dan sedikitnya 40% berdasar indikasi yang kurang tepat, misalnya infeksi virus. Terdapat beberapa factor yang mendukung terjadinya resistensi,antara lain 1. Penggunaannya yang kurang tepat (irrasional) : terlau singkat, dalam dosis yang terlalu rendah, diagnose awal yang salah, dalam potensi yang tidak adekuat. 2. Faktor yang berhubungan dengan pasien . Pasien dengan pengetahuan yang salah akan cenderung menganggap wajib diberikan antibiotik dalam penanganan penyakit meskipun disebabkan oleh virus, misalnya flu, batuk-pilek, demam yang banyak dijumpai di masyarakat. Pasien dengan kemampuan financial yang baik akan meminta diberikan terapi antibiotik yang paling baru dan mahal meskipun tidak diperlukan. Bahkan pasien membeli antibiotika sendiri tanpa peresepan dari dokter (self medication).
Sedangkan pasien
dengan kemampuan financial yang rendah seringkali tidak mampu untuk menuntaskan regimen terapi.
3. Peresepan : dalam jumlah besar, meningkatkan unnecessary health care expenditure dan seleksi resistensi terhadap obat-obatan baru. Peresepan meningkat ketika diagnose awal belum pasti. Klinisi sering kesulitan dalam menentukan antibiotik yang tepat karena kurangnya pelatihan dalam hal penyakit infeksi dan tatalaksana antibiotiknya. 4. Penggunaan monoterapi : dibandingkan dengan penggunaan terapi kombinasi, penggunaan monoterapi lebih mudah menimbulkan resistensi. 5. Perilaku hidup sehat : terutama bagi tenaga kesehatan, misalnya mencuci tangan setelah memeriksa pasien atau desinfeksi alat-alat yang akan dipakai untuk memeriksa pasien. 6. Penggunaan di rumah sakit : adanya infeksi endemic atau epidemic memicu penggunaan antibiotika yang lebih massif pada bangsal- bangsal rawat inap terutama di intensive care unit. Kombinasi antara pemakaian antibiotic yang lebih intensif dan lebih lama dengan adanya pasien yang sangat peka terhadap infeksi, memudahkan terjadinya infeksi nosokomial. 7. Penggunaannya untuk hewan dan binatang ternak :
antibiotic juga dipakai untuk
mencegah dan mengobati penyakit infeksi pada hewan ternak. Dalam jumlah besar antibiotic digunakan sebagai suplemen rutin untuk profilaksis atau merangsang pertumbuhan hewan ternak. Bila dipakai dengan dosis subterapeutik, akan meningkatkan terjadinya resistensi 8. Promosi komersial dan penjualan besar-besaran oleh perusahaan farmasi serta didukung pengaruh globalisasi, memudahkan terjadinya pertukaran barang sehingga jumlah antibiotika yang beredar semakin luas. Hal ini memudahkan akses masyarakat luas terhadap antibiotika 9. Penelitian : kurangnya penelitian yang dilakukan para ahli untuk menemukan antibiotika baru (Bisht et al, 2009) 10. Pengawasan : lemahnya pengawasan yang dilakukan pemerintah dalam distribusi dan pemakaian antibiotika. Misalnya, pasien dapat dengan mudah mendapatkan antibiotika meskipun tanpa peresepan dari dokter. Selain itu juga kurangnya komitmen dari instansi terkait baik untuk meningkatkan mutu obat maupun mengendalikan penyebaran infeksi (Kemenkes RI, 2011). 2.4 ISPA (infeksi saluran pernafasan atas) 2.4.1 Definisi ISPA
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) adalah infeksi saluran pernafasan akut yang menyerang tenggorokan, hidung dan paru-paru yang berlangsung kurang lebih 14 hari, ISPA mengenai struktur saluran di atas laring, tetapi kebanyakan penyakit ini mengenai bagian saluran atas dan bawah secara stimulan atau berurutan (Muttaqin, 2008). ISPA adalah penyakit yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran pernafasan mulai dari hidung hingga alveoli termasuk jaringan adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura Jadi disimpulkan bahwa ISPA adalah suatu tanda dan gejala akut akibat infeksi yang terjadi disetiap bagian saluran pernafasan atau struktur yang berhubungan dengan pernafasan yang berlangsung tidak lebih dari 14 hari. 2.4.2 Etiologi ISPA Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia.Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah dari genus Streptokokus, Stafilokokus, Pneumokokus, Hemofillus, Bordetelia dan Korinebakterium.Virus penyebab ISPA antara lain adalah golongan Miksovirus, Adnovirus, Koronavirus, Pikornavirus, Mikoplasma, Herpesvirus dan lain-lain (Suhandayani, 2007). 2.4.3 Klasifikasi ISPA Klasifikasi penyakit ISPA dibedakan untuk golongan umur di bawah 2 bulan dan untuk golongan umur 2 bulan-5 tahun (Muttaqin,2008): A. Golongan Umur Kurang 2 Bulan 1. Pneumonia Berat Bila disertai salah satu tanda tarikan kuat di dinding pada bagian bawah atau napas cepat. Batas napas cepat untuk golongan umur kurang 2 bulan yaitu 6x per menit atau lebih. 2. Bukan Pneumonia (batuk pilek biasa) Bila tidak ditemukan tanda tarikan kuat dinding dada bagian bawah atau napas cepat. Tanda bahaya untuk golongan umur kurang 2 bulan, yaitu: 3. Kurang bisa minum (kemampuan minumnya menurun sampai kurang dari ½ volume yang biasa diminum) 4. Kejang 5. Kesadaran menurun 6. Stridor 7. Wheezing 8. Demam / dingin.
B. Golongan Umur 2 Bulan-5 Tahun 1. Pneumonia Berat Bila disertai napas sesak yaitu adanya tarikan di dinding dada bagian bawah ke dalam pada waktu anak menarik nafas (pada saat diperiksa anak harus dalam keadaan tenang, tidak menangis atau meronta). 2.
Pneumonia Sedang Bila disertai napas cepat. Batas napas cepat ialah:
a) Untuk usia 2 bulan-12 bulan = 50 kali per menit atau lebih b) Untuk usia 1-4 tahun = 40 kali per menit atau lebih. 3.
Bukan Pneumonia Bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah dan tidak ada napas cepat. Tanda bahaya untuk golongan umur 2 bulan-5 tahun yaitu :
a) Tidak bisa minum b) Kejang c)
Kesadaran menurun
d)
Stridor
e)
Gizi buruk
Klasifikasi ISPA menurut Depkes RI (2002) adalah : a. ISPA ringan seseorang yang menderita ISPA ringan apabila ditemukan gejala batuk, pilek dan sesak. b. ISPA sedang apabila timbul gejala sesak nafas, suhu tubuh lebih dari 39C dan bila bernafas mengeluarkan suara seperti mengorok. c. ISPA berat gejala meliputi: kesadaran menurun, nadi cepat atau tidak teraba, nafsu makan menurun, bibir dan ujung nadi membiru (sianosis) dan gelisah. 2.4.4 Penyebab ISPA ISPA disebabkan oleh bakteri atau virus yang masuk kesaluran nafas. Salah satu penyebab ISPA yang lain adalah asap pembakaran bahan bakar kayu yang biasanya digunakan untuk memasak. Asap bahan bakar kayu ini banyak menyerang lingkungan masyarakat, karena masyarakat terutama ibu-ibu rumah tangga selalu melakukan aktifitas memasak tiap hari menggunakan bahan bakar kayu, gas maupun minyak. Timbulnya asap tersebut tanpa disadarinya telah mereka hirup sehari-hari, sehingga banyak masyarakat mengeluh batuk, sesak
nafas dan sulit untuk bernafas. Polusi dari bahan bakar kayu tersebut mengandung zat-zat seperti Dry basis, Ash, Carbon, Hidrogen, Sulfur, Nitrogen dan Oxygen yang sangat berbahaya bagi kesehatan (Depkes RI, 2002). 2.3.5 Tanda dan gejala ISPA merupakan proses inflamasi yang terjadi pada setiap bagian saluran pernafasan atas maupun bawah, yang meliputi infiltrat peradangan dan edema mukosa, kongestif vaskuler, bertambahnya sekresi mukus serta perubahan struktur fungsi siliare (Muttaqin, 2008). Tanda dan gejala ISPA banyak bervariasi antara lain demam, pusing, malaise (lemas), anoreksia (tidak nafsu makan), vomitus (muntah), photophobia (takut cahaya), gelisah, batuk, keluar sekret, stridor (suara nafas), dyspnea (kesakitan bernafas), retraksi suprasternal (adanya tarikan dada), hipoksia (kurang oksigen), dan dapat berlanjut pada gagal nafas apabila tidak mendapat pertolongan dan mengakibatkan kematian. (dahlan,2009). Sedangkan tanda gejala ISPA menurut Depkes RI (2002) adalah : A. Gejala dari ISPA Ringan Seseorang anak dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan satu atau lebih gejalagejala sebagai berikut: a) Batuk b) Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara (misal pada waktu berbicara atau menangis). c) Pilek, yaitu mengeluarkan lender atau ingus dari hidung. d) Panas atau demam, suhu badan lebih dari 370 C atau jika dahi anak diraba. B. Gejala dari ISPA Sedang Seorang anak dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala dari ISPA ringan disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut: 1. Pernafasan lebih dari 50 kali per menit pada anak yang berumur kurang dari satu tahun atau lebih dari 40 kali per menit pada anak yang berumur satu tahun atau lebih. Cara menghitung pernafasan ialah dengan menghitung jumlah tarikan nafas dalam satu meni Untuk menghitung dapat digunakan arloji. 2. Suhu lebih dari 390 C (diukur dengan termometer). 3. Tenggorokan berwarna merah. 4. Timbul bercak-bercak merah pada kulit menyerupai bercak campak. 5. Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga.
6. Pernafasan berbunyi seperti mengorok (mendengkur). 7. Pernafasan berbunyi menciut-ciut. C. Gejala dari ISPA Berat Seorang anak dinyatakan menderita ISPA berat jika dijumpai gejala-gejala ISPA ringan atau ISPA sedang disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut: 1. Bibir atau kulit membiru. 2. Lubang hidung kembang kempis (dengan cukup lebar) pada waktu bernafas. 3. Anak tidak sadar atau kesadaran menurun. 4. Pernafasan berbunyi seperti orang mengorok dan anak tampak gelisah. 5. Nadi cepat lebih dari 160 kali per menit atau tidak teraba. 6. Tenggorokan berwarna merah. 2.4.7 Terapi ISPA Terapi yg diberikan pada penyakit ini biasanya pemberian antibiotik walaupun kebanyakan ISPA disebabkan oleh virus yang dapat sembuh dengan sendirinya tanpa pemberian obat obatan terapeutik, pemberian antibiotik dapat mempercepat penyembuhan penyakit ini dibandingkan hanya pemberian obat obatan symptomatic, selain itu dengan pemberian antibiotik dapat mencegah terjadinya infeksi lanjutan dari bakterial, pemberian, pemilihan antibiotik pada penyakit ini harus diperhatikan dengan baik agar tidak terjadi resistensi kuman/baterial di kemudian hari. Namun pada penyakit ISPA yg sudah berlanjut dengan gejala dahak dan ingus yg sudah menjadi hijau, pemberian antibiotik merupakan keharusan karena dengan gejala tersebut membuktikan sudah ada bakteri yg terlibat 2.5 Penggunaan antibiotik pada ISPA Infeksi saluran napas berdasarkan wilayah infeksinya terbagi menjadi infeksi saluran napas atas dan infeksi saluran napas bawah. Infeksi saluran napas atas meliputi rhinitis, sinusitis, faringitis, laringitis, epiglotitis, tonsilitis, otitis. Sedangkan infeksi saluran napas bawah meliputi infeksi pada bronkhus, alveoli seperti bronkhitis, bronkhiolitis, pneumonia. A. FARINGITIS Faringitis adalah peradangan pada mukosa faring dan sering meluas ke jaringan sekitarnya. Faringitis biasanya timbul bersama-sama dengan tonsilitis, rhinitis dan laryngitis. Faringitis banyak diderita anak-anak usia 5-15 th di daerah dengan iklim panas. Faringitis dijumpai pula pada dewasa yang masih memiliki anak usia sekolah atau bekerja di lingkungan anak-anak.
Terapi antibiotika ditujukan untuk faringitis yang disebabkan oleh Streptococcus Grup A, sehingga penting sekali untuk dipastikan penyebab faringitis sebelum terapi dimulai. Terapi dengan antibiotika dapat dimulai lebih dahulu bila disertai kecurigaan yang tinggi terhadap bakteri sebagai penyebab, sambil menunggu hasil pemeriksaan kultur. Terapi dini dengan antibiotika menyebabkan resolusi dari tanda dan gejala yang cepat. Sejumlah antibiotika terbukti efektif pada terapi faringitis oleh Streptococcus grup A, yaitu mulai dari Penicillin. Penicillin tetap menjadi pilihan karena efektivitas dan keamanannya sudah terbukti, spektrum sempit serta harga yang terjangkau. Amoksisilin menempati tempat yang sama dengan penicilin, khususnya pada anak dan menunjukkan efektivitas yang setara. Lama terapi dengan antibiotika oral rata-rata selama 10 hari untuk memastikan eradikasi Streptococcus, kecuali pada azitromisin hanya 5 hari Berikut adalah panduan pemilihan antibiotik yang dapat digunakan Lini Pertama
Penicilin
G
(untuk
1 x 1,2 juta U
pasien yang tidak dapat i.m
1 dosis
menyelesaikan terapi oral selama 10 hari Penicilin VK
Anak :
10
2-3 x 250 mg
hari
Dewasa: 2-3 x 500 mg
Amoksisilin (klavulanat) 3 x 500 mg selama 10 hari
Anak : 1
10 X
250 mg Dewasa : 3 x 500 mg
hari
Lini Kedua :
Eritromisin
(untuk
Anak :
pasien yang alergi terhadap
4
penicilin )
10 X 250 hari
mg Dewasa : 4 x 500 mg
Azitromisin,
( ihat
5
dosis pada sinusitis) Cefalosporin generasi 1 atau 2
hari Bervariasi sesuai agen
10 hari
Levofloksasin (hindari untu anak maupun wanita hamil
B. BRONKHITIS Bronkhitis adalah kondisi peradangan pada daerah trakheobronkhial. Peradangan tidak meluas sampai alveoli. Bronkhitis seringkali diklasifikasikan sebagai akut dan kronik. Bronkhitis akut mungkin terjadi pada semua usia, namun bronkhitis kronik umumnya hanya dijumpai pada dewasa. Pada bayi penyakit ini dikenal dengan nama bronkhiolitis. Bronkhitis akut umumnya terjadi pada musim dingin, hujan, kehadiran polutan yang mengiritasi seperti polusi udara, dan rokok. Terapi antibiotika pada bronkhitis akut tidak dianjurkan kecuali bila disertai demam dan batuk yang menetap lebih dari 6 hari, karena dicurigai adanya keterlibatan bakteri saluran napas seperti S. pneumoniae, H. Influenzae. Untuk batuk yang menetap > 10 hari diduga adanya keterlibatan Mycobacterium pneumoniae sehingga penggunaan antibiotika disarankan. Untuk anak dengan batuk > 4 minggu harus menjalani pemeriksaan lebih lanjut terhadap kemungkinan TBC, pertusis atau sinusitis Antibiotika yang dapat digunakan lihat tabel 5.1, dengan lama terapi 5-14 hari sedangkan pada bronkhitis kronik optimalnya selama 14 hari Pemberian antiviral amantadine dapat
berdampak memperpendek lama sakit bila diberikan dalam 48 jam setelah terinfeksi virus influenza A. C. SINUSITIS Sinusitis merupakan peradangan pada mukosa sinus paranasal. Peradangan ini banyak dijumpai pada anak dan dewasa yang biasanya didahului oleh infeksi saluran napas atas. Sinusitis dibedakan menjadi sinusitis akut yaitu infeksi pada sinus paranasal sampai dengan selama 30 hari baik dengan gejala yang menetap maupun berat. Gejala yang menetap yang dimaksud adalah gejala seperti adanya keluaran dari hidung, batuk di siang hari yang akan bertambah parah pada malam hari yang bertahan selama 10-14 hari, yang dimaksud dengan gejala yang berat adalah di samping adanya sekret yang purulen juga disertai demam (bisa sampai 39ºC) selama 3-4 hari. Sinusitis berikutnya adalah sinusitis subakut dengan gejala yang menetap selama 30-90 hari. Sinusitis berulang adalah sinusitis yang terjadi minimal sebanyak 3 episode dalam kurun waktu 6 bulan atau 4 episode dalam 12 bulan. Sinusitis kronik didiagnosis bila gejala sinusitis terus berlanjut hingga lebih dari 6 minggu.
Agen Antibiotika
DOSIS
SINUSITIS AKUT Anak : 20 – 40 mg /kg/hari terbagi dalam 3
Lini 1 Amoksisilin
dosis, 25 – 45 mg/kg/hari terbagi dalam 2 dosis Dewasa : 3 x 500 mg , 2 x 875 mg Anak : 6 – 12 mg TMP: 30 – 60 mg
Kotrimoxazol
terbagi dalam 2 dosis Dewasa : 2 x 2 tablet dewasa Anak : 30 – 50 mg/kg/hari terbagi setiap 6
Eritromisin jam
Amoksi -klavt
Anak : 25 – 45 mg/kg/hari terbagi dalam dua dosis Dewasa : 2 x 875 mg
Cefuroksim
2 x 500 mg
Klaritromisin
Anak : 15 mg/kg/hari terbagi dalam 2 dosis Dewasa : 2 x 250 mg Dewasa : 1 x 250 – 500 mg
Levofloxsasin
api pokok meliputi pemberi an antibioti ka dengan
Dewasa : 4 x 250-500 mg Lini II
Ter
lama terapi 10-14 hari, kecuali bila menggu nakan azitromi
Sinusitis kronik
sin. Anak : 25 – 45 mg/kg/hari, terbagi dalam
Amoksi-clavt
dua dosis Dewasa : 2 x 875 mg Azitromisin
Anak : 10 mg /kg pada hari pertama diikuti 5 mg/kg selama 4 hari berikutnya Dewasa : 1 x 500 mg, kemudian 1 x 250 mg selama 4 hari
Secara rinci antibioti ka yang dapat dipilih tertera pada
tabel 3.1. Untuk gejala yang menetap setelah 10-14 hari maka antibiotika dapat diperpanjang hingga 10-14 hari lagi. (Suriyana,1997) 2.5.1 Penggunaan Antibiotik pada Anak
Penggunaan Antibiotik pada anak pada penggunaan antibiotik terhadap anak, hasil studi di Indonesia, Pakistan dan India menunjukkan bahwa pada 25% responden memberikan antibiotik pada anak dengan demam. Hal ini menunjukkan peningkatan penggunaan antibiotik secara irasional juga terjadi pada anak. Fakta ini sangat perlu diperhatikan karena prevelansi penggunaan antibiotik tertinggi didapat pada anak-anak. Sebuah studi menunjukan 62% orang tua anak mengharapkan dokter meresepkan antibiotik dan hanya 7% yang tidak mengharapkan dokternya meresepkan antibiotik. Anak memiliki risiko mendapatkan efek merugikan lebih tinggi akibat infeksi bakteri karena tiga faktor. Pertama, karena sistem imunitas anak yang belum berfungsi secara sempurna, kedua, akibat pola tingkah laku anak yang lebih banyak berisiko terpapar bakteri, dan ketiga, karena beberapa antibiotik yang cocok digunakan pada dewasa belum tentu tepat jika diberikan kepada anak karena absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat termasuk antibiotik pada anak berbeda dengan dewasa, serta tingkat maturasi organ yang berbeda sehingga dapat terjadi perbedaan respon terapetik atau efek sampingnya. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat dalam hal indikasi, maupun cara pemberian dapat merugikan penderita dan dapat memudahkan terjadinya resistensi terhadap antibiotik serta dapat menimbulkan efek samping. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah dosis obat yang tepat bagi anak-anak,
cara
pemberian,
indikasi,
kepatuhan,
jangka
waktu
yang
tepat
dan
denganmemperhatikan keadaan patofisiologi pasien secara tepat, diharapkan dapat memperkecil efek samping yang akan terjadi. 2.5 Profil Rumah sakit Umum Daerah Prof.Dr.Aloe Saboe Gorontalo 2.5.1 Sejarah Rumah sakit umum daerah Prof.Dr.Aloe Saboe Rumah Sakit Umum Daerah Prof. Dr. H. Aloei Saboe Kota Gorontalo dibangun pada tahun 1926 dan dimanfaatkan sejak tahun 1929 dengan nama RSU Kotamadya Gorontalo. Semula hanya satu gedung yang terdiri dari 4 (empat) ruangan, yaitu apotik, poliklinik, dan rawat inap. Tahun demi tahun bangunan ditambah dan sejak akhir PELITA I (1978), pembangunan Rumah Sakit fisik maupun non fisik ditambah. Pada tahun 1979, Rumah Sakit Umum Daerah Prof. Dr. H. Aloei Saboe ditetapkan dengan SK MENKES RI Nomor : 51/Men.Kes/SK/II/79 sebagai rumah sakit kelas C yang memenuhi persyaratan 4 (empat) spesialis dasar. Tahun 1991 dan tahun 1992 ditambah spesialis mata dan spesialis anak dan tahun 1995 ditambah spesialis THT.
Pada tanggal 17 September 1987 berubah nama menjadi Rumah Sakit Umum Prof. Dr. H. Aloei Saboe Gorontalo yang diambil dari nama seorang perintis kemerdekaan putera daerah yang diabadikan sebagai penghargaan atas pengabdiannya dibidang kesehatan dan ditetapkan berdasarkan SK Walikotamadya Gorontalo No. 97 tahun 1987. Pada tanggal 31 Agustus 1995 oleh PEMDA Tingkat II (Walikotamadya KDH Tingkat II Gorontalo) diusulkan kenaikan kelas Rumah Sakit Umum Daerah Prof. Dr. H. Aloei Saboe dari kelas C Plus ke kelas B Non Pendidikan. Namun hal tersebut belum terealisasi. Selanjutnya berdasarkan Surat Keputusan Walikota Gorontalo Nomor : 315 tanggal 25 Maret tahun 2002 RSUD Prof. Dr. H. Aloei Saboe ditetapkan menjadi Badan Pengelola RSUD Prof. Dr. H. Aloei Saboe Kota Gorontalo dan berkedudukan sebagai unit pelaksana pemerintah di bidang pelayanan kesehatan masyarakat yang berlokasi di Jl. Sultan Botutihe No. 7 Kelurahan Heledulaa Selatan Kecamatan Kota Selatan Kota Gorontalo. Pada tanggal 19 Maret 2005 dilaksanakan relokasi ke rumah sakit baru di Jl. Taman Pendidikan Kelurahan Wongkaditi Timur Kecamatan Kota Utara Kota Gorontalo dengan luas lahan 5,4 Ha. Relokasi rumah sakit tersebut dipersiapkan sejak tahun 2001. Sejak berdirinya RSUD Prof. Dr. H. Aloei Saboe Kota Gorontalo telah beberapa kali mengalami perubahan kepemimpinan sebagai berikut : Prof. Dr. H. Aloei Saboe Tahun 1929 Dr. Lim Tang Hong (-) Dr. Tek San (-) Dr. Nicartin Pakaya (-) Dr. Hudaya Sudarman (- 1979) Dr. Abdul Latif Hiola Tahun 1979 sampai 1983 Dr. H. Rahman Pakaya Tahun 1983 sampai 1997 Dr. T. D. E. Abeng Tahun 1997 sampai 1998 Dr. H. A. Tolohula Tahun 1998 sampai 1999 Dr. H. Sudirman M. Tahun 1999 sampai 2004 Dr. Hj. Nurinda Rahim Tahun 2004 sampai sekarang 2.5.2 Visi “Terselenggaranya pelayanan kesehatan yang bermutu dengan dilandasi sentuhan manusiawi serta terjangkau oleh seluruh masyarakat”
2.5.3 Misi Untuk mewujudkan visi Badan Pengelola Rumah Sakit Umum Daerah Prof. Dr. H. Aloei Saboe Kota Gorontalo, maka ditetapkan misi sebagai berikut : a. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan secara komprehensif. b. Meningkatkan dan mengembangkan sumber daya manusia. c. Meningkatkan dan mengembangkan system manajemen rumah sakit. 2.5.4 Tujuan a. Meningkatkan kualitas pelayanan dan system rujukan secara komprehensif. b. Meningkatkan profesionalisme dan kualitas sumber daya manusia. c. Menciptakan sistem manajemen dan informasi yang optimal. 2.5.5 Motto “Tekadku pelayanan terbaik” Berdasarkan visi pembangunan kesehatan yakni INDONESIA SEHAT 2010 dimana diharapkan masyarakat, bangsa dan Negara dapat hidup dalam lingkungan dan perilaku sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya di seluruh wilayah Republik Indonesia.Dengan pembangunan yang lebih intensif, berkesinambungan, dan merata dengan ditunjang oleh informasi kesehatan yang semakin mantap maka diharapkan derajat kesehatan masyarakat yang telah dicapai tersebut semakin ditingkatkan. Rumah Sakit sebagai sarana pelayanan kesehatan dan pusat rujukan mengemban misi untuk mencapai tujuan pembangunan tersebut. Misi rumah sakit dikatakan berhasil dengan baik seandainya rumah sakit dapat memberikan pelayanan yang bermutu. Dengan berusaha meningkatkan mutu pelayanan secara intensif dan berkesinambungan serta ditunjang oleh kelengkapan sarana yang makin memadai, diharapkan RSUD Aloei Saboe semakin berperan dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat di Kabupaten/Kota Gorontalo dan sekitarnya pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya