BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pemeriksaan Pajak
2.2.1 Pengertian Pemeriksaan Pajak Pemeriksaan menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 tentang Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2000, Pasal 1 angka 24, adalah : “Serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, mengolah data dan atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.” Dalam
Keputusan
Menteri
Keuangan
Republik
Indonesia
Nomor 545/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak, Pasal 1 angka 1 yang dimaksud dengan pemeriksaan, adalah : “Serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, mengolah data dan atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.” Dari kedua pengertian di atas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa pemeriksaan merupakan kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, mengolah data dan atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Seorang pemeriksa pajak harus melaksanakan tugas-tugas pemeriksaan berdasarkan norma-norma dan kaidah-kaidah yang harus dipatuhi. Norma dan kaidah
tersebut
terdapat
dalam
Surat
Keputusan
Menteri
Keuangan
Nomor 545/KMK.04/2000 yang isinya secara garis besar mengatur hal-hal sebagai berikut :
11
12
Bab II Tinjauan Pustaka
a. Tujuan pemeriksaan. b. Ruang lingkup pemeriksaan. c. Norma pemeriksaan yang mengatur tentang: -
Hak dan kewajiban pemeriksa.
-
Hak dan kewajiban Wajib Pajak yang diperiksa.
d. Tata cara pelaksanaan pemeriksaan dan pelaporan. Pemeriksaan dapat dilakukan terhadap Wajib Pajak, termasuk instansi pemerintah dan badan lain sebagai pemungut pajak atau pemotong pajak yang dilakukan dengan menerapkan pemeriksaan dengan bobot dan kedalaman yang sederhana yang sesuai dengan ruang lingkup pemeriksa baik dilakukan di kantor maupun di lapangan yang dinamakan pemeriksaan sederhana.
2.2.2 Tujuan dan Sasaran Pemeriksaan Pajak Keputusan
Menteri
Keuangan
Republik
Indonesia
Nomor
545/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak, Pasal 2, yaitu : 1. Tujuan pemeriksaan adalah untuk : a. Menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dalam rangka memberikan kepastian hukum, keadilan, dan pembinaan kepada Wajib Pajak; dan b. Tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan. 2. Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dapat dilakukan dalam hal : a. Surat Pemberitahuan (SPT) menunjukkan kelebihan pembayaran pajak, termasuk yang telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak; b. Surat Pemberitahuan (SPT) pajak penghasilan menunjukkan rugi; c. Surat Pemberitahuan (SPT) tidak disampaikan atau disampaikan tidak tepat waktu yang telah ditetapkan; d. Surat Pemberitahuan (SPT) yang memenuhi kriteria seleksi yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak;
13
Bab II Tinjauan Pustaka
e. Ada indikasi kewajiban perpajakan selain kewajiban tersebut pada huruf c tidak dipenuhi. 3. Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b meliputi pemeriksaan yang dilakukan dalam rangka: a. Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) secara jabatan; b. Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak; c. Pengukuhan atau pencabutan pengukuhan pengusaha kena pajak; d. Wajib Pajak mengajukan keberatan; e. Pengumpulan bahan guna penyusunan Norma Penghitungan Penghasilan Neto; f. Pencocokan data dan atau alat keterangan; g. Penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil; h. Penentuan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai; i. Pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan untuk tujuan lain selain huruf a sampai dengan huruf h.
2.2.3 Ruang Lingkup dan Jangka Waktu Pemeriksaan Berdasarkan
Keputusan
Menteri
Keuangan
Republik
Indonesia
Nomor 545/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak, Pasal 3 adalah sebagai berikut : 1. Ruang Lingkup pemeriksaan terdiri dari : a. Pemeriksaan lapangan, yang meliputi suatu jenis pajak atau seluruh jenis pajak, untuk tahun berjalan dan atau tahun-tahun sebelumnya dan atau untuk tujuan lain yang dilakukan di tempat Wajib Pajak. b. Pemeriksaan kantor, yang meliputi suatu jenis pajak tertentu, baik tahun berjalan dan atau tahun-tahun sebelumnya yang dilakukan di Kantor Direktorat Jenderal Pajak. 2. Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dapat dilaksanakan dengan pemeriksaan lengkap atau pemeriksaan sederhana; 3. Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b hanya dapat dilaksanakan dengan pemeriksaan sederhana;
14
Bab II Tinjauan Pustaka
4. Pemeriksaan lengkap sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan dalam jangka waktu 2 (dua) bulan dan dapat diperpanjang menjadi paling lama 8 (delapan) bulan; 5. Pemeriksaan Sederhana sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan dan dapat diperpanjang menjadi paling lambat 2 (dua) bulan; 6. Pemeriksaan Sederhana sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dilaksanakan dalam jangka waktu 4 (empat) minggu dan dapat diperpanjang menjadi paling lama 6 (enam) minggu; 7. Apabila dalam pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b ditemukan indikasi adanya transaksi yang mengandung unsur transfer
pricing,
maka
lingkup
pemeriksaan
ditingkatkan
menjadi
pemeriksaan lapangan; 8. Pemeriksaan lapangan berkenaan dengan ditemukannya indikasi adanya unsur transfer pricing, yang memerlukan pemeriksaan yang lebih mendalam serta memerlukan pemeriksaan yang lebih mendalam serta memerlukan waktu yang lebih lama dilaksanakan; 9. Jangka waktu pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 8 (delapan) tidak berlaku dalam hal pemeriksaan yang dilaksanakan berkenaan dengan Surat Pemberitahuan (SPT) yang menyatakan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-722/PJ./2001, Pasal 1, menjelaskan yang dimaksud dengan: 1. Pemeriksaan lapangan adalah pemeriksaan yang dilakukan terhadap Wajib Pajak ditempat Wajib Pajak yang dapat meliputi kantor Wajib Pajak, pabrik, tempat usaha atau tempat tinggal atau tempat lain yang diduga ada kaitannya dengan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak atau tempat lain yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak; 2. Pemeriksaan lengkap adalah pemeriksaan lapangan untuk seluruh jenis pajak, baik untuk tahun berjalan dan atau tahun-tahun sebelumnya, yang dilaksanakan dengan menerapkan teknik-teknik pemeriksaan yang lazim
Bab II Tinjauan Pustaka
15
digunakan dalam pemeriksaan pada umumnya dalam rangka mencapai tujuan pemeriksaan; 3. Pemeriksaan sederhana lapangan adalah pemeriksaan lapangan untuk seluruh jenis pajak atau jenis pajak tertentu, baik untuk tahun berjalan dan atau tahuntahun sebelumnya, yang dilaksanakan dengan menerapkan teknik-teknik pemeriksaan yang dipandang perlu menurut keadaan dalam rangka mencapai tujuan pemeriksaan. Menurut surat edaran Nomor: SE-01/PJ.7/2003 tentang Kebijakan Pemeriksaan Pajak, ruang lingkup pemeriksaan terdiri dari : 1. Pemeriksaan lapangan dilakukan ditempat Wajib Pajak atas satu, beberapa atau seluruh jenis pajak, untuk tahun berjalan dan atau tahun-tahun sebelumnya. Pemeriksaan lapangan dapat dibedakan menjadi : a. Pemeriksaan Lengkap (PL) adalah pemeriksaan lapangan yang dilakukan terhadap Wajib Pajak, termasuk kerja sama operasi dan konsorsium, atas seluruh jenis pajak, untuk tahun berjalan dan atau tahun-tahun sebelumnya, yang dilaksanakan dengan menerapkan teknik-teknik pemeriksaan yang lazim digunakan dalam rangka mencapai tujuan pemeriksaan. b. Pemeriksaan sederhana lapangan (PSL) adalah pemeriksaan lapangan yang secara terkoordinasi antar seksi oleh Kepala Kantor, dalam tahun berjalan dan atau tahun-tahun sebelumnya, yang dilaksanakan dengan menerapkan teknik-teknik pemeriksaan yang dipandang perlu menurut keadaan dalam rangka mencapai tujuan pemeriksaan. 2. Pemeriksaan kantor, yaitu pemeriksaan yang dilakukan di Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Pemeriksaan, Penyidikan, dan Penagihan Pajak (tertentu) Direktorat Jenderal Pajak atas satu atau beberapa jenis pajak secara terkoordinasi antar seksi oleh kepala kantor, dalam tahun berjalan dan atau tahun-tahun sebelumnya. Pemeriksaan kantor hanya dapat dilaksanakan dengan Pemeriksaan Sederhana Kantor (PSK).
Bab II Tinjauan Pustaka
16
Mengenai jangka waktu penyelesaian pemeriksaan, dalam surat edaran Nomor : SE-01/PJ.7/2003 tentang Kebijakan Pemeriksaan Pajak, dijelaskan : 1. Untuk meningkatkan produktivitas, jangka waktu penyelesaian pemeriksaan ditetapkan sebagai berikut : a. Pemeriksaan Lengkap (PL) 1. Pemeriksaan lengkap harus diselesaikan dalam jangka waktu 2 (dua) bulan, terhitung sejak saat Surat Pemberitahuan (SPT) pemeriksaan pajak diterima oleh Wajib Pajak; 2. Pemeriksaan Lengkap yang dilaksanakan berdasarkan instruksi dari Direktur Pemeriksaan, Penyidikan dan Penagihan Pajak (Direktur P4) harus diselesaikan dengan memperhatikan jangka waktu sebagaimana tersebut dalam intruksi dimaksud; b. Pemeriksaan Sederhana Lapangan (PSL) 1. Pemeriksaan sederhana lapangan harus diselesaikan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan, terhitung sejak saat Surat Pemberitahuan (SPT) pemeriksaan pajak diterima oleh Wajib Pajak; 2. Pemeriksaan sederhana lapangan yang dilaksanakan berdasarkan instruksi dari Direktur P4 harus diselesaikan dengan memperhatikan jangka waktu sebagaimana tersebut dalam instruksi dimaksud; c. Pemeriksaan Sederhana Kantor (PSK) Pemeriksaan sederhana kantor harus diselesaikan dalam jangka waktu 4 (empat) minggu, terhitung sejak saat surat panggilan pemeriksaan dikirimkan kepada Wajib Pajak. 2. Jangka waktu penyelesaian pemeriksaan seperti tersebut diatas tidak dapat diubah meskipun terjadi pergantian pemeriksa pajak. 3. Dalam rangka pelaksanaan pengawasan atau waktu penyelesaian pemeriksaan, Kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Pajak (Ka. UP3) harus melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) pemeriksaan pajak yang telah diterima oleh Wajib Pajak dan surat panggilan yang telah dikirim ke Wajib Pajak kepada Kepala Kantor Wilayah (Ka. Kanwil) Direktorat Jenderal Pajak atasannya. Daftar dibuat setiap bulan dan dikirimkan kepada Ka. Kanwil Direktorat Jenderal Pajak
17
Bab II Tinjauan Pustaka
atasannya paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya dengan menggunakan formulir. 4. Perpanjangan jangka waktu penyelesaian pemeriksaan a. Berdasarkan permintaan, Ka. Kanwil Direktorat Jenderal Pajak atau Direktur
P4
Pemeriksaan
dapat
memperpanjang
Lengkap,
Pemeriksaan
jangka
waktu
Sederhana
penyelesaian
Lapangan,
dan
Pemeriksaan Sederhana Kantor dengan ketentuan sebagai berikut : 1. Permintaan perpanjangan harus diajukan sebelum jangka waktu penyelesaian pemeriksaan lapangan, pemeriksaan sederhana lapangan, dan pemeriksaan sederhana kantor berakhir dengan menggunakan formulir surat permintaan perpanjangan jangka waktu penyelesaian pemeriksaan dan disertai laporan kemajuan pemeriksaan (audit progress report); 2. Perpanjangan dapat diberikan paling lama 6 (enam) bulan untuk pemeriksaan lapangan atau 1 (satu) bulan untuk pemeriksaan sederhana lapangan atau 2 (dua) minggu untuk pemeriksaan sederhana kantor,
kecuali
terdapat
indikasi
transfer
pricing,
dengan
menggunakan formulir Surat Persetujuan atau penolakan perpanjangan jangka waktu penyelesaian pemeriksaan. b. Surat Permintaan Perpanjangan jangka waktu penyelesaian pemeriksaan dibuat oleh : 1. Kepala Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak (Karipka) atau supervisor pada kelompok fungsional Kanwil Direktorat Jenderal Pajak dan dikirimkan kepada Kepala Kanwil Direktorat Jenderal Pajak; 2. Supervisor pada kelompok Fungsional Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak dan dikirimkan kepada Direktur P4. c. Untuk pemeriksaan khusus yang dilakukan berdasar instruksi Direktur P4, maka surat permintaan perpanjangan jangka waktu penyelesaian pemeriksaan dibuat oleh Kepala UP3 dan dikirimkan kepada Direktur P4.
Bab II Tinjauan Pustaka
18
d. Apabila terdapat transaksi transfer pricing, jangka waktu pemeriksaan dapat diperpanjang menjadi paling lama 2 (dua) tahun. 5. Apabila perpanjangan tidak disetujui, Direktur P4 atau kepala Kanwil menentukan tindak lanjut pemeriksaan. 6.
Apabila jangka waktu maksimal terlampaui, kepala UP3 harus menentukan tindak lanjut pemeriksaan (Sumier, pembahasan akhir, sesuai data, bukti permulaan) dan terhadap pemeriksa diberikan teguran.
7. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak setiap triwulan harus melaporkan pemeriksaan yang tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu yang telah ditetapkan ke Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak c.q. Direktur P4 untuk dievaluasi lebih lanjut dengan menggunakan surat pengantar dan formulir.
2.2.4 Norma Pemeriksaan Pajak Pemeriksaan dilakukan dengan berpedoman pada norma pemeriksaan yang berkaitan dengan pemeriksaan pajak, pemeriksaan, dan Wajib Pajak. Hal ini tercantum dalam Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 545/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak, Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7. Pasal 5 1. Norma pemeriksaan yang berkaitan dengan pemeriksa pajak dalam rangka pemeriksaan lapangan adalah sebagai berikut : a. Pemeriksa pajak harus memiliki tanda pengenal pemeriksa dan dilengkapi dengan surat perintah pemeriksaan pada waktu melakukan pemeriksaan; b. Pemeriksa pajak wajib memberitahukan secara tertulis tentang akan dilakukan pemeriksaan kepada Wajib Pajak; c. Pemeriksa pajak wajib memperlihatkan tanda pengenal pemeriksa dan surat perintah pemeriksaan kepada Wajib Pajak; d. Pemeriksa pajak wajib menjelaskan maksud dan tujuan pemeriksaan kepada Wajib Pajak yang akan diperiksa; e. Pemeriksa pajak wajib membuat Laporan Pemeriksaan Pajak (LPP);
19
Bab II Tinjauan Pustaka
f. Pemeriksa pajak wajib memberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak tentang hasil pemeriksaan berupa hal-hal yang berbeda antara Surat Pemberitahuan (SPT) dengan hasil pemeriksaan untuk ditanggapi Wajib Pajak; g. Pemeriksa pajak wajib memberi petunjuk kepada Wajib Pajak mengenai penyelenggaraan pembukuan atau pencatatan dan petunjuk lainnya mengenai
pemenuhan
kewajiban
perpajakan
sehubungan
dengan
pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan agar penyelenggaraan pembukuan atau pencatatan dan pemenuhan kewajiban perpajakan dalam tahun-tahun selanjutnya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku; h. Pemeriksa pajak wajib mengembalikan buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen pendukung lainnya yang dipinjam dari Wajib Pajak paling lama 14 (empat belas) hari sejak selesainya pemeriksaan; i. Pemeriksa pajak dilarang memberitahukan kepada pihak lain yang tidak berhak segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka pemeriksaan. 2. Norma pemeriksaan yang berkaitan dengan pemeriksaan pajak dalam rangka pemeriksaan kantor adalah sebagai berikut : a. Pemeriksa
pajak
dengan
menggunakan
surat
panggilan
yang
ditandatangani oleh Kepala Kantor yang bersangkutan, memanggil Wajib Pajak untuk datang ke Kantor Direktorat Jenderal Pajak yang ditunjuk dalam rangka pemeriksaan; b. Pemeriksa pajak wajib menjelaskan maksud dan tujuan pemeriksaan kepada Wajib Pajak yang akan diperiksa; c. Pemeriksa pajak wajib membuat laporan Pemeriksaan Pajak; d. Pemeriksa pajak wajib memberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak tentang hasil pemeriksaan berupa hal-hal yang berbeda antara Surat Pemberitahuan (SPT) dengan hasil pemeriksaan; e. Pemeriksa pajak wajib memberi petunjuk kepada Wajib Pajak mengenai penyelenggaraan pembukuan atau pencatatan dan pemenuhan kewajiban
Bab II Tinjauan Pustaka
20
perpajakan dalam tahun-tahun selanjutnya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku; f. Pemeriksa pajak wajib mengembalikan buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen pendukung lainnya yang dipinjam dari Wajib Pajak paling lama 7 (tujuh) hari sejak selesainya pemeriksaan; g. Pemeriksa pajak dilarang memberitahukan kepada pihak lain yang tidak berhak segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka pemeriksaan. Pasal 6 Norma pemeriksaan yang berkaitan dengan pelaksanaan pemeriksaan adalah sebagai berikut : a. Pemeriksaan dapat dilakukan oleh seorang atau lebih pemeriksa pajak; b. Pemeriksaan dilaksanakan di Kantor Direktorat Jenderal Pajak, di Kantor Wajib Pajak atau di kantor lainnya atau di pabrik atau di tempat usaha atau di tempat lain yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak; c. Pemeriksaan dilaksanakan pada jam kerja apabila dipandang perlu dapat dilanjutkan di luar jam kerja; d. Hasil pemeriksaan dituangkan dalam kertas kerja pemeriksaan; e. Laporan pemeriksaan pajak disusun berdasarkan kertas kerja pemeriksaan; f. Hasil pemeriksaan lapangan yang seluruhnya disetujui Wajib Pajak atau kuasanya, dibuatkan surat pernyataan tentang persetujuan tersebut dan ditandatangani oleh Wajib Pajak yang bersangkutan atau kuasanya; g. Terhadap temuan sebagai hasil pemeriksaan lengkap yang tidak atau tidak seluruhnya disetujui oleh Wajib Pajak, dilakukan pembahasan akhir hasil pemeriksaan dan dibuatkan berita acara hasil pemeriksaan; h. Berdasarkan laporan pemeriksaan pajak, diterbitkan surat ketetapan pajak dan surat tagihan pajak, kecuali pemeriksaan dilanjutkan dengan tindakan penyidikan.
21
Bab II Tinjauan Pustaka
Pasal 7 Norma pemeriksaan yang berkaitan dengan Wajib Pajak adalah sebagai berikut : a. Dalam hal pemeriksaan lapangan, Wajib Pajak berhak meminta kepada pemeriksa pajak untuk memperlihatkan surat perintah pemeriksaan dan tanda pengenal pemeriksa; b. Wajib Pajak berhak meminta kepada pemeriksa pajak untuk memberikan penjelasan tentang maksud dan tujuan pemeriksaan; c. Dalam hal pemeriksaan kantor, Wajib Pajak wajib memenuhi panggilan untuk datang menghadiri pemeriksaan sesuai dengan waktu yang ditentukan; d. Wajib Pajak wajib memenuhi permintaan peminjaman buku-buku, catatancatatan,
dan
dokumen-dokumen
yang
diperlukan
untuk
kelancaran
pemeriksaan dan memberikan keterangan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak tanggal surat permintaan, dan apabila permintaan tersebut tidak dipenuhi oleh Wajib Pajak, maka pajak yang terutang dapat dihitung secara jabatan; e. Wajib Pajak berhak meminta kepada Pemeriksa Pajak rincian yang berkenaan dengan hal-hal yang berbeda antara hasil pemeriksaan dengan Surat Pemberitahuan (SPT); f. Wajib Pajak/kuasanya wajib menandatangani surat pernyataan persetujuan apabila seluruh hasil pemeriksaan disetujuinya; g. Dalam hal pemeriksaan lengkap, Wajib Pajak atau kuasanya wajib menandatangani berita acara hasil pemeriksaan apabila hasil pemeriksaan tersebut tidak/tidak seluruhnya disetujui; h. Dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan, Wajib Pajak wajib melaksanakan ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 29 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000.
2.2.5 Pedoman Pemeriksaan Pajak Berdasarkan
Keputusan
Menteri
Keuangan
Republik
Indonesia
Nomor 545/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak, Pasal 8, bahwa
22
Bab II Tinjauan Pustaka
pelaksanaan pemeriksaan didasarkan pada pedoman pemeriksaan pajak, yang meliputi:
Pedoman
Umum
Pemeriksaan
Pajak,
Pedoman
Pelaksanaan
Pemeriksaan Pajak, dan Pedoman Laporan Pemeriksaan Pajak. -
Pedoman umum pemeriksaan pajak adalah sebagai berikut a. Pemeriksaan dilaksanakan oleh pemeriksa pajak yang: 1. Telah mendapat pendidikan teknis yang cukup dan memiliki keterampilan sebagai pemeriksa pajak; 2. Bekerja dengan jujur, bertanggung jawab, penuh pengabdian, bersikap terbuka, sopan, dan objektif, serta menghindarkan diri dari perbuatan tercela; dan 3. Menggunakan
keahliannya
secara
cermat
dan
seksama
serta
memberikan gambaran yang sesuai dengan keadaan sebenarnya tentang Wajib Pajak. b. Temuan hasil pemeriksaan dituangkan dalam kertas kerja pemeriksaan sebagai bahan untuk menyusun Laporan Pemeriksaan Pajak. -
Pedoman pelaksanaan pemeriksaan adalah sebagai berikut : a. Pelaksanaan pemeriksaan harus didahului dengan persiapan yang baik, sesuai dengan tujuan pemeriksaan, dan mendapat pengawasan yang seksama; b. Luas pemeriksaan ditentukan berdasarkan petunjuk yang diperoleh yang harus dikembangkan melalui pencocokan data, pengamatan, tanya jawab, dan tindakan lain berkenaan dengan pemeriksaan; c. Pendapat dan kesimpulan pemeriksa pajak harus didasarkan pada temuan yang kuat dan berlandaskan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
-
Pedoman laporan pemeriksaan pajak adalah sebagai berikut: a. Laporan pemeriksaan pajak disusun secara ringkas dan jelas memuat ruang lingkup
sesuai
dengan
tujuan
pemeriksaan,
memuat
kesimpulan
pemeriksaan pajak yang didukung temuan yang kuat tentang ada atau tidak adanya
penyimpangan
terhadap
peraturan
perundang-undangan
perpajakan; dan memuat pula pengungkapan informasi lain yang terkait.
Bab II Tinjauan Pustaka
23
b. Laporan pemeriksaan pajak yang berkaitan dengan pengungkapan penyimpangan Surat Pemberitahuan (SPT) harus memperhatikan kertas kerja pemeriksaan antara lain mengenai : 1. Berbagai faktor perbandingan; 2. Nilai absolut dari penyimpangan; 3. Sifat dan penyimpangan; 4. Petunjuk atau temuan adanya penyimpangan; 5. Pengaruh penyimpangan; 6. Hubungan dengan permasalahan lainnya. c. Laporan pemeriksaan pajak harus didukung oleh daftar yang lengkap dan rinci sesuai dengan tujuan pemeriksaan. Sejalan dengan itu, menurut Sophar Lumbantoruan (1999:385), bahwa pedoman ditetapkan oleh pemerintah dimaksudkan agar pemeriksa pajak tidak menghambat jalannya perusahaan Wajib Pajak yang sedang diperiksa. Selain itu jangan sampai pemeriksa pajak mencari-cari kesalahan atau menakut-nakuti Wajib Pajak. Adapun pedoman tersebut adalah sebagai berikut : a. Tidak diperkenankan adanya pemeriksaan berulang-ulang tahun yang sama. Berarti pemeriksaan sekarang ini bersifat all tax sistem (sekali pemeriksaan menyangkut semua jenis pajak). Ini dimaksudkan untuk menghindarkan agar perusahaan Wajib Pajak di dalam melakukan pekerjaannya tidak terganggu; b. Tidak diperkenankan adanya pemeriksaaan ulang, kecuali jika terungkap data baru yang menunjukkan adanya indikasi penggelapan pajak. Itu pun pemeriksaan ulang hanya dapat dilakukan atas izin Direktur Jenderal Pajak; c. Pemeriksa harus menjelaskan maksud dan tujuan pemeriksaan dan menunjukkan tanda pengenal pemeriksaan serta surat perintah pemeriksaan. Petugas pemeriksa pajak harus menjelaskan mengapa perusahaan Wajib Pajak harus diperiksa dan sebagainya. Apabila petugas pemeriksa perlu meminjam buku, maka hanya buku atau buku-buku yang ada kaitannya dengan kegiatan pemeriksaan yang boleh dipinjam;
Bab II Tinjauan Pustaka
24
d. Pemeriksaan harus dilakukan dalam waktu yang secepat-cepatnya. Artinya, jangan terlalu lama memakan waktu sehingga menggangu konsentrasi Wajib Pajak untuk melaksanakan kegiatan sehari-harinya; e. Tugas pemeriksa pajak harus memberitahukan rincian yang berkenaan dengan hal-hal yang berbeda antara hasil pemeriksaan dengan yang dilaporkan Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan (SPT). Dalam kesempatan Closing Confrence (pertemuan diskusi antara petugas pemeriksa pajak dengan Wajib Pajak) kepada Wajib Pajak harus diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk menyatakan pedapatnya. Setelah melalui diskusi itu, barulah diterbitkan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Ketetapan Pajak Tambahan (SKPT). Maksud pertemuan ini adalah untuk menghindari agar petugas pemeriksa tidak boleh apriori terhadap Wajib Pajak;
2.2.6 Tahap-tahap Pemeriksaan Pajak 2.2.6.1 Persiapan Pemeriksaan Persiapan pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemeriksa sebelum melaksanakan tindakan pemeriksaan dan meliputi kegiatankegiatan sebagai berikut: 1. Mempelajari berkas Wajib Pajak /Berkas data Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh gambaran umum mengenai kegiatan Wajib Pajak, antara lain: kegiatan usaha, kewajiban perpajakan, organisasi dan administrasi perusahaan, struktur permodalan, susunan direksi. 2. Menganalisis Surat Pemberitahuan (SPT) dan laporan keuangan Wajib Pajak. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk: a. Menetukan hal-hal yang harus diperhatikan pada waktu melakukan pemeriksaan; b. Untuk menentukan perkiraan-perkiraan yang diprioritaskan dan atau dikembangkan pemeriksaannya; 3. Mengidentifikasi masalah. Hal ini dilakukan dengan tujuan:
25
Bab II Tinjauan Pustaka
a. Untuk menentukan apakah ada masalah-masalah yang memerlukan perhatian khusus. b. Sebagai bahan untuk menentukan ruang lingkup pemeriksaan yang akan dilakukan. 4. Melakukan pengenalan lokasi. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan kepastian mengenai alamat Wajib Pajak, lokasi usaha, denah lokasi, kebiasaan-kebiasaan lain yang perlu diketahui, misalnya jam kerja, dan sebagainya. 5. Menentukan ruang lingkup pemeriksaan. Menentukan ruang lingkup pemeriksaan dimaksudkan agar pemeriksa dapat menentukan luas dan arah pemeriksaan secara tepat. Ruang lingkup pemeriksaan ditentukan berdasarkan hasil penelaahan yang diperoleh pemeriksa pada waktu : -
mempelajari berkas Wajib Pajak/berkas data dan data/informasi lainnya;
-
menganalisis Surat Pemberitahuan (SPT)/laporan keuangan;
-
mengidentifikasi masalah;
-
melakukan pengenalan lokasi.
Hasil penentuan ruang lingkup pemeriksaan dicatat dan dituangkan ke dalam kertas kerja pemeriksaan dan dapat berubah sesuai dengan keadaan yang dihadapi berdasarkan hasil pemeriksaan setempat dan penilaian terhadap Sistem Pengendalain Intern. 6. Menyusun program pemeriksaan. Program pemeriksaan adalah suatu daftar prosedur-prosedur pemeriksaan yang akan dilakukan oleh pemeriksa dalam suatu pemeriksaan. Sedangkan prosedur pemeriksaan,
merupakan langkah-langkah pemeriksaan
atau
pengujian yang akan dilakukan terhadap obyek yang diperiksa. Program pemeriksaan disusun berdasarkan hasil penelaahan yang diperoleh pada tahaptahap persiapan pemeriksaan sebelumnya. Hal ini dilakukan dengan tujuan : a. Agar pemeriksaan dapat mencapai hasil yang optimal; b. Sebagai
alat
untuk
mengawasi,
pelaksanaan pemeriksaan;
membimbing,
dan
mengarahkan
Bab II Tinjauan Pustaka
26
c. Dapat merupakan referensi untuk pemeriksaan berikutnya. 7. Menentukan buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen yang akan dipinjam. Berdasarkan hasil penelaahan pada tahap-tahap persiapan pemeriksaan sebelumnya. Pemeriksa harus dapat menentukan buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen yang akan dipinjam. Sekaligus menyusun daftar pertanyaan yang akan diajukan kepada Wajib Pajak sesuai dengan program pemeriksaan yang telah disusun. Pemeriksa harus menghindari terjadinya peminjaman buku-buku, catatancatatan, dan dokumen-dokumen yang sebelumnya diperlukan. 8. Menyediakan sarana pemeriksaan. Agar pelaksanaan pemeriksaan dapat berjalan dengan lancar, maka sebelum pemeriksa melakukan pemeriksaan, perlu disiapkan sarana-sarana yang terdiri dari : -
Kartu Tanda Pengenal Pemeriksa;
-
Surat Perintah Pemeriksaan Pajak (SPPP);
-
Surat Pemberitahuan (SPT) tentang pemeriksaan pajak kepada Kantor Pelayanan Pajak (Kepada KPP dan UPP bila pemeriksaan dilakukan oleh Kantor Pusat);
-
Surat Pemberitahuan (SPT) tentang pemeriksaan pajak kepada Wajib Pajak;
-
Formulir surat pernyataan penolakan pemeriksaan;
-
Formulir Berita Acara Penolakan Pemeriksaan;
-
Formulir Surat Pernyataan Penolakan Membantu Kelancaran Pemeriksaan;
-
Formulir Permintaan Keterangan Kepada Pihak Ketiga;
-
Formulir Surat Pernyataan Penolakan Membantu Kelancaran Pemeriksaan;
-
Formulir Surat Permintaan Peminjaman Buku-buku, Catatan-catatan, dan Dokumen lainnya;
-
Formulir Daftar Buku-buku, Catatan-catatan, dan Dokumen lainnya yang akan dipinjam oleh pemeriksa;
27
Bab II Tinjauan Pustaka
-
Formulir Surat
Persetujuan/Penolakan Perpanjangan
Batas
Waktu
Peminjaman Buku, Catatan, dan Dokumen Lainnya; -
Formulir Bukti Peminjaman Buku-buku, Catatan-catatan, dan Dokumen Lainnya;
-
Formulir Surat Pernyataan telah menyerahkan photo copy Buku-buku, Catatan-catatan, dan Dokumen Lainnya;
-
Formulir Bukti Pengembalian Buku-buku, Catatan-catatan, dan Dokumen Lainnya;
-
Formulir Segel;
-
Formulir Berita Acara Penyegelan;
-
Formulir Berita Acara Pembukaan Segel;
-
Formulir Kertas Kerja Pemeriksaan;
-
Formulir Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan;
-
Formulir Surat Pernyataan mengenai Persetujuan Hasil Pemeriksaan;
-
Formulir Tanda Terima Penerimaan mengenai Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan dan Lembar Pernyataan Persetujuan;
-
Berita Acara Hasil Pemeriksaan;
-
Formulir Surat Panggilan;
-
Formulir Berita Acara Ketidakhadiran Wajib Pajak;
-
Formulir Berita Acara Penolakan Penandatanganan Berita Acara Hasil Pemeriksaan.
2.2.6.2 Pelaksanaan Pemeriksaan Pelaksanaan Pemeriksaan adalah Serangkaian kegiatan yang dilakukan pemeriksaan dan meliputi: 1. Memeriksa di tempat Wajib Pajak. Yang dimaksud dengan memeriksa di tempat Wajib Pajak adalah pemeriksaan yang dilakukan di kantor atau di tempat usaha atau ditempat lain yang diduga ada kaitannya dengan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak. Pemeriksaan dapat pula dilakukan di tempat lain yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Bab II Tinjauan Pustaka
28
Kegiatan pemeriksaan ini dilakukan dengan tujuan : a. Untuk mengetahui dan mendapatkan data-data/fakta-fakta mengenai kegiatan Wajib Pajak yang sebenarnya; b. Untuk dapat mengetahui dan menilai sistem pengendalian intern; c. Untuk meyakinkan kebenaran/keberadaan secara fisik Aktiva Tetap yang dilaporkan dan kepemilikannya. 2. Melakukan penilaian atas sistem pengendalian intern. Hal ini dilakukan dengan tujuan : Untuk mengetahui lemah/kuatnya sistem pengendalian intern sebagai dasar untuk menentukan dalamnya pengujian-pengujian yang akan/harus dilakukan. 3. Memutakhirkan ruang lingkup dan program pemeriksaan. Berdasarkan data/fakta/informasi yang diperoleh pada waktu pemeriksaan setempat dan setelah memperhatikan hasil penilaian sistem pengendalian intern. Pemeriksa menelaah dan menyusun kembali program pemeriksaan yang dibuat pada tahap persiapan pemeriksaan. 4. Melakukan pemeriksaan atas buku-buku, catatan-catatan, dan dokumendokumen. Hal ini dilakukan dengan tujuan : a. Untuk meyakinkan kebenaran angka-angka yang dicantumkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) dengan membandingkannya terhadap angka-angka yang ada dalam pembukuan dan dokumen-dokumen pendukungnya. b. Untuk menentukan apakah angka-angka yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan. 5. Melakukan konfirmasi kepada pihak ketiga. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk meneguhkan kebenaran data/informasi dari Wajib Pajak dengan bukti-bukti yang diperoleh dari pihak ketiga. 6. Memberitahukan hasil pemeriksaan kepada Wajib Pajak. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menjelaskan mengenai koreksi fiskal dari hasil pemeriksaan yang telah dilakukan.
Bab II Tinjauan Pustaka
29
7. Melakukan sidang penutup (Closing Conference). Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk membuat berita acara hasil pemeriksaan yang harus ditandatangani oleh Wajib Pajak dan Pemeriksa.
2.2.6.3 Pembuatan Laporan Pemeriksaan Pajak (LPP) Laporan pemeriksaan pajak adalah laporan yang dibuat oleh pemeriksa pada akhir pelaksanaan pemeriksaan yang merupakan ikhtisar dan penuangan semua hasil pelaksanaan tugas pemeriksaan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Laporan pemeriksaan pajak menyajikan penilaian serta pengujian atas ketaatan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak yang diperiksa, yang disarikan dari kertas kerja pemeriksaan. Laporan Pemeriksaan Pajak digunakan sebagai dasar untuk penerbitan Surat Ketetapan Pajak (SKPKB/SKPKBT/SKPLB/SKPN). Cara Penyusunan Laporan Pemeriksaan Pajak Laporan Pemeriksaan Pajak disusun dengan mengunakan sistematika sebagai berikut : 1. Umum Memuat keterangan-keterangan mengenai : -
Identitas Wajib Pajak;
-
Pemenuhan kewajiban perpajakan;
-
Gambaran kegiatan Wajib Pajak;
-
Penugasan dan alasan pemeriksaan;
-
Data/Informasi yang tersedia;
2. Pelaksanaan pemeriksaan Memuat penjelasan secara lengkap mengenai : -
Pos-pos yang diperiksa;
-
Penilaian pemeriksa atas pos-pos yang diperiksa;
-
Temuan-temuan pemeriksa;
Bab II Tinjauan Pustaka
30
3. Hasil pemeriksaan Merupakan hasil ikhtisar yang menggambarkan perbandingan antara laporan Wajib Pajak (SPT) dengan hasil pemeriksaan dan perhitungan mengenai besarnya pajak-pajak yang terhutang. 4. Kesimpulan dan usul pemeriksa Menggambarkan hasil pemeriksaan dalam bentuk perbandingan antar pajakpajak yang terhutang berdasarkan laporan Wajib Pajak dengan hasil pemeriksaan, data/informasi yang diproduksi dan usul-usul pemeriksa. Pengesahan Laporan Pemeriksaan Pajak Konsep Laporan Pemeriksaan Pajak ditandatangani oleh pemeriksa harus disampaikan bersama-sama dengan lembar pengawasan laporan pemeriksaan pajak kepada ketua tim pemeriksa/Kepala Seksi. Pemeriksaan untuk ditelaah. Setiap konsep Laporan Pemeriksaan Pajak yang diserahkan untuk ditelaah harus selalu disertai dengan berkas Kertas Kerja Pemeriksaan (KKP). Bila telah disetujui, penelaah akan membubuhkan parafnya pada konsep laporan pemeriksaan pajak tersebut. Setelah konsep laporan pemeriksaan pajak yang bersangkutan selesai ditelaah, maka konsep tersebut diteruskan untuk mendapat persetujuan dan diparaf oleh pejabat yang berwenang, yaitu : 1. Kepala Unit Pemeriksa dan Penyidikan Pajak bagi pemeriksaan yang dilakukan oleh UPP. 2. Direktorat pemeriksaan pajak atau pejabat yang ditunjuk oleh Direktur pemeriksaan pajak bagi pemeriksaan yang dilakukan oleh Direktur Pemeriksaan Pajak. Konsep yang telah disetujui oleh Ka. Unit Pemeriksa dan Penyidikan Pajak/Dir. Rikpa diteruskan ke bagian Tata Usaha (TU) untuk diketik dan diperbanyak. Laporan Pemeriksaan Pajak yang telah diketik dikembalikan kepada penelaah dan pemeriksaan untuk ditandatangani dan digunakan sebagai dasar pembuatan nota penghitungan dan DKHP.
Bab II Tinjauan Pustaka
31
Laporan pemeriksaan pajak yang telah diketik bersama-sama dengan Nota Penghitungan dan DKHP disampaikan Ka.UPP/Dir. Rikpa untuk ditandatangani (LPP) dan diparaf (Nota Perhitungan) sebagai pengesahan. Pembuatan Nota Penghitungan dan DKHP. Setelah laporan pemeriksaan pajak disetujui, selanjutnya pemeriksa membuat Nota Penghitungan yang akan digunakan sebagai dasar untuk penerbitan Surat Ketetapan Pajak (SKPKB/SKPKBT/SKPLB/SKPN) yang diparaf oleh : -
Kolom “Dihitung” : diparaf oleh Ketua tim pemeriksa.
-
Kolom “Disetujui” : diparaf oleh Kepala Unit Pemeriksa dan Penyidikan Pajak.
-
Kolom “Ditetapkan” : diparaf oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak. Sedangkan kolom-kolom lainnya diparaf oleh petugas pada Kantor Pelayanan Pajak terkait. Sedangkan DKHP dikirim ke Direktorat Pemeriksaan Pajak untuk diproses lebih lanjut.
2.2.7
Metode Pemeriksaan Pajak. Dalam pelaksanaan pemeriksaan pajak dikenal beberapa metode
pemeriksaan, yang dapat dikelompokan sebagai berikut : a. Metode Langsung Metode langsung adalah teknik dan prosedur pemeriksaan dengan melakukan pengujian atas kebenaran angka-angka dalam Surat Pemberitahuan (SPT), yang langsung dilakukan terhadap laporan keuangan dan buku-buku, catatancatatan serta dokumen pendukungnya dan sesuai dengan urutan proses pemeriksaan. Pelaksanaan pemeriksaan dengan metode langsung ini dilakukan sesuai dengan program pemeriksaan yang terinci untuk setiap pos neraca dan rugilaba yang menjadi sumber utama, atau berkaitan dengan angka-angka dalam Surat Pemberitahuan (SPT). b. Metode Tidak Langsung. Metode tidak langsung adalah teknik dan prosedur pemeriksaan pajak dengan melakukan pengujian atas kebenaran-kebenaran angka-angka dalam Surat
Bab II Tinjauan Pustaka
32
Pemberitahuan (SPT), dilakukan secara tidak langsung melalui suatu pendekatan perhitungan tertentu mengenai penghasilan dan biaya. Metode tidak langsung dapat dipergunakan untuk melengkapi metode langsung, atau dalam keadaan dimana pemakaian metode langsung tidak dapat atau tidak dapat sepenuhnya dilaksanakan, misalnya : 1. Pembukuan dan catatan Wajib Pajak tidak lengkap, sehingga urutan proses pemeriksaan tidak dapat sepenuhnya dilaksanakan; 2. Catatan atau berkas maupun dokumen pendukung hilang atau tidak ada; 3. Ditemukan ketidakberesan dalam buku-buku dan catatan-catatan Wajib Pajak; 4. Wajib Pajak menggunakan norma perhitungan. Penerapan metode tidak langsung perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut : 1. Kalau dipakai lebih daripada satu metode langsung, maka dalam pengambilan kesimpulan atas hasil pemeriksaan harus dipertimbangkan secara seksama. 2. Kalau dipakai metode pemeriksaan tidak langsung sebagai pelengkap maupun sebagai alat pengecekan terhadap metode pemeriksaan langsung. Maka kalau perbedaan jumlah hasil perhitungan, perlu didiskusikan dengan Wajib Pajak dan dipertimbangkan secara seksama. 3. Hasil perhitungan dari pemakaian metode pemeriksaan tidak langsung baru merupakan petunjuk untuk dapat mengambil kesimpulan tentang ketidakbenaran angka-angka dalam Surat Pemberitahuan (SPT) diperlukan pembuktian secukupnya.
2.2.8
Kertas Kerja Pemeriksaan (KKP)
2.2.8.1 Pengertian Kertas Kerja Pemeriksaan (KKP) Kertas Kerja Pemeriksaan menurut Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 545/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak, Pasal 1 angka 5, adalah catatan secara rinci dan jelas yang diselenggarakan oleh pemeriksa pajak mengenai prosedur pemeriksaan yang ditempuh, pengujian
33
Bab II Tinjauan Pustaka
yang dilakukan, bukti dan keterangan yang dikumpulkan dan kesimpulan yang diambill sehubungan dengan pelaksanaan pemeriksaan.
2.2.8.2 Tujuan Pembuatan Kertas Kerja Pemeriksaan (KKP). Tujuan utama dari pembuatan Kertas Kerja Pemeriksaan sebagai bukti bahwa pemeriksa telah melaksanakan tugas pemeriksaan sebagaimana mestinya berdasarkan ilmu, kepandaian dan pengalaman yang dimilikiya. Selain itu, penyusunan Kertas Kerja Pemeriksaan juga mempunyai tujuan antara lain : a. Sebagai dasar menarik kesimpulan dalam pembuatan laporan pemeriksaan pajak; b. Sebagai bahan bagi atasan pemeriksa untuk menelaah hasil pemeriksaan yang dilakukan bawahannya; c. Sebagai bahan dalam melakukan pembicaraan dengan Wajib Pajak; d. Sebagai bahan untuk pemeriksaan di masa yang akan datang; e. Sebagai sumber data/informasi bagi Wajib Pajak dalam mengajukan keberatan.
2.2.8.3 Syarat-syarat Pembuatan Kertas Kerja Pemeriksaan (KKP) Kertas kerja harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. Lengkap; b. Akurat, yaitu bebas dari kesalahan, baik dari kesalahan hitung maupun kesalahan menyajikan informasi; c. Didasarkan pada fakta dan argumentasi yang rasional; d. Sistematis, bersih, mudah diikuti dan diatur rapih; e. Memuat hal-hal yang penting dan ada hubungannya dengan pemeriksaan; f. Mempunyai tujuan yang jelas; g. Diparaf pemeriksa dan penelaah.
2.3
Wajib Pajak Wajib
Pajak
berdasarkan
Undang-undang
Republik
Indonesia
Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Undang-
34
Bab II Tinjauan Pustaka
undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Pasal 1 angka 1, adalah : “Orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu.”
2.4
Pembukuan dan Pencatatan Pengertian pembukuan menurut Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Undangundang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Pasal 26, adalah : “Suatu
proses
pencatatan
yang
dilakukan
secara
teratur
untuk
mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang dan jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi pada setiap tahun pajak berakhir.” Kewajiban
pembukuan
menurut
ketentuan
perundang-undangan
perpajakan talah diatur dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Dalam Pasal 28 ayat (1), disebutkan bahwa : “Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia, wajib menyelenggarakan pembukuan.” Namun bagi Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan pekerjaan bebas yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto dan Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan, tetapi wajib melakukan pencatatan.
35
Bab II Tinjauan Pustaka
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pembukuan atau pencatatan berdasarkan Pasal 28 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, adalah : 1. Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya. 2. Pembukuan dan pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka Arab, satuan mata uang rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan. 3. Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel kas. 4. Perubahan terhadap metode pembukuan dan atau tahun buku, harus mendapat persetujuan dari Direktorat Jenderal Pajak. 5. Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri dari catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian, sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang. 6. Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain rupiah dapat diselenggarakan oleh Wajib Pajak setelah mendapat Izin Menteri Keuangan. 7. Pencatatan terdiri dari data yang dikumpulkan secara teratur tentang peredaran atau penerimaan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang, termasuk penghasilan yang bukan objek pajak atau yang dikenakan pajak bersifat final. 8. Dikecualikan dari kewajiban pembukuan dan melakukan pencatatan adalah Wajib Pajak orang pribadi yang tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Penghasilan. 9. Buku-buku,
Catatan-catatan,
dokumen-dokumen
yang
menjadi
dasar
pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain wajib disimpan selama 10
36
Bab II Tinjauan Pustaka
(sepuluh) tahun di Indonesia, yaitu di tempat kegiatan atau tempat tinggal bagi Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan bagi Wajib Pajak Badan.
2.5
Surat Pemberitahuan (SPT)
2.5.1 Pengertian Surat Pemberitahuan (SPT) Pasal 1 angka 10, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, menyebutkan yang dimaksud dengan Surat Pemberitahuan (SPT), adalah : “Surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan atau pembayaran pajak, objek pajak dan atau bukan objek pajak dan atau harta dan kewajiban, menurut ketentuan peraturan dan perundangundangan perpajakan.”
2.5.2 Fungsi Surat Pemberitahuan (SPT) Adapun fungsi Surat Pemberitahuan (SPT) berdasarkan penjelasan Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, adalah sebagai berikut : 1. Fungsi Surat Pemberitahuan (SPT) bagi Wajib Pajak Penghasilan adalah sebagai
sarana
untuk
melaporkan
dan
mempertanggungjawabkan
penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang : -
pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan tahun pajak atau bagian tahun pajak;
-
penghasilan yang merupakan objek pajak dan atau bukan objek pajak;
-
harta dan kewajiban;
-
pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau pemungutan pajak orang pribadi atau badan lain dalam 1 (satu) masa
Bab II Tinjauan Pustaka
37
pajak, yang ditentukan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. 2. Bagi pengusaha kena pajak fungsi Surat Pemberitahuan (SPT) adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang : -
pengkreditan pajak masukan terhadap pajak keluaran;
-
pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh pengusaha kena pajak dan atau melalui pihak lain dalam suatu masa pajak, yang ditentukan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
-
bagi pemotong atau pemungut pajak, fungsi Surat Pemberitahuan (SPT) adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan disetorkannya. Mengisi Surat Pemberitahuan (SPT) adalah mengisi formulir Surat
Pemberitahuan (SPT) dengan benar, jelas, dan lengkap sesuai dengan petunjuk yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Pengisian Surat Pemberitahuan (SPT) yang tidak benar mengakibatkan pajak yang terutang kurang dibayar, akan dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan.
Lampiran Surat Pemberitahuan (SPT) Hal-hal yang perlu dilampirkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT): 1. Wajib Pajak yang melakukan pembukuan, Surat Pemberitahuannya harus dilampirkan/dilengkapi dengan laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi serta keterangan-keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak. 2. Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan, dalam Surat Pemberitahuannya harus dilampiri/dilengkapi peredarannya yang terjadi dalam tahun pajak yang bersangkutan.
Bab II Tinjauan Pustaka
38
Jenis-jenis Surat Pemberitahuan (SPT) Bila diperhatikan saat pelaporannya, Surat Pemberitahuan (SPT) dibedakan menjadi dua : 1. Surat Pemberitahuan (SPT) Masa adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan atau pembayaran pajak yang terutang dalam suatu masa pajak atau pada suatu saat. 2. Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan pembayaran pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak.
Batas Waktu Penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Sesuai dengan pasal 2 ayat (3) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) adalah : a. untuk Surat Pemberitahuan (SPT) masa, paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah akhir masa pajak; b. untuk Surat Pemberitahuan tahunan, paling lambat 3 (tiga) bulan setelah akhir tahun pajak.
Subjek Pajak Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan. Bahwa yang menjdi subjek pajak adalah : a. 1). orang pribadi; 2). warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak; b. badan; c. bentuk usaha tetap.
39
Bab II Tinjauan Pustaka
Penjelasan Pasal 2 Ayat (1) Pengertian subjek pajak meliputi orang pribadi, warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, badan, dan bentuk usaha tetap. Huruf a Orang pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun di luar Indonesia. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan subjek pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. Penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai subjek pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan. Huruf b Sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan pengertian Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainnya termasuk reksadana. Dalam Undang-undang ini (lihat huruf c berikut), bentuk usaha tetap ditentukan sebagai subjek pajak tersendiri, terpisah dari badan.
Oleh karena itu, walaupun
perlakuan
perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan, untuk pengenaan pajak penghasilan, bentuk usaha tetap mempunyai eksistensinya sendiri dan tidak termasuk dalam pengertian badan. Badan Usaha Milik Negara dan Daerah merupakan subjek pajak tanpa memperhatikan nama dan bentuknya sehingga setiap unit tertentu dari Badan Pemerintah, misalnya lembaga, badan, dan sebagainya yang dimiliki oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan merupakan subjek pajak.
40
Bab II Tinjauan Pustaka
Unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria berikut tidak termasuk sebagai subjek pajak, yaitu: 1. Dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 2. Dibiayai dengan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD); 3. Penerimaan lembaga tersebut dimasukkan dalam anggaran pemerintah pusat atau daerah; dan 4. Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional Negara. Sebagai subjek pajak, perusahaan reksadana baik yang berbentuk perseroan terbatas maupun bentuk lainnya termasuk dalam pengertian badan. Dalam pengertian perkumpulan termasuk pula asosiasi, persatuan, perhimpunan atau ikatan dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan sama. Huruf c Lihat ketentuan pada ayat (5) dan penjelasannya. Pada
penulisan
skripsi
ini,
penulis
lebih
mengkonsentrasikan
penelitiannya pada subjek pajak Badan.
Tarif Pajak Ketentuan yang mengatur tentang tarif umum adalah Pasal 17 Undangundang Pajak Penghasilan, sebagai berikut: Tabel 2.1 Tarif Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri Untuk lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak berjumlah sampai dengan Rp. 25.000.000,00 5% berjumlah di atas Rp. 25.000.000,00 s/d Rp. 50.000.000,00 10% berjumlah di atas Rp. 50.000.000,00 s/d Rp. 100.000.000,00 15% berjumlah di atas Rp. 100.000.000,00 s/d Rp. 200.000.000,00 25% berjumlah di atas Rp. 200.000.000,00 35% Tarif Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan Wajib Pajak BUT Untuk lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak berjumlah sampai dengan Rp. 50.000.000,00 10% berjumlah di atas Rp. 50.000.000,00 s/d Rp. 100.000.000,00 15% berjumlah di atas Rp. 100.000.000,00 30% Sumber: UURI No. 17 Tahun 2000 Pasal 17ayat (1)
Bab II Tinjauan Pustaka
41
Penghasilan 2.8.1
Pengertian Penghasilan Menurut Ketentuan Peraturan Perundangundangan Perpajakan. Di Indonesia, menurut Muda Markus dan Lalu Hendry Yujana (2002:110),
Wajib Pajak dikenai pajak atas transaksi yang menimbulkan penghasilan baginya. Dengan demikian, yang dijadikan objek pajak adalah penghasilan Wajib Pajak, bukan kekayaan atau pengeluaran konsumsinya. Pengertian penghasilan menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan, Pasal 4 ayat (1), adalah : “Setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun.” Menurut Muda Markus dan Lalu Hendry Yujana (2002:181), untuk kepentingan perhitungan atau pengenaan pajak penghasilan (PPh), Undangundang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan, membedakan tiga macam penghasilan: -
Penghasilan yang objek pajak yang dipakai pajak secara umum (Global Taxation) (Pasal 4 ayat (1)).
-
Penghasilan yang objek pajak yang dikenai pajak bersifat final (scedular taxation) (pasal 4 ayat (2)).
-
Penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak (pasal 4 ayat (3)).
Secara lengkap pasal yang terkait dengan penghasilan, dapat disajikan sebagai berikut : Pasal 4 Ayat (1) Yang menjadi Objek adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau
42
Bab II Tinjauan Pustaka
untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk : a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini; b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan; c. laba usaha; d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk : 1. Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal; 2. Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota; 3. Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambil alihan usaha; 4. Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan; e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya; f. Bunga
termasuk
premium,
diskonto,
dan
imbalan
karena
jaminan
pengembalian utang; g. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi; h. Royalti; i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; j. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
Bab II Tinjauan Pustaka
43
k. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah; l. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing; m. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva; n. Premi asuransi; o. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas; p. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak. Ayat (2) Atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuiritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah. Ayat (3) Yang tidak termsuk sebagai Objek Pajak adalah : a. 1). Bantuan sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan para penerima zakat yang berhak; 2). Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan; b. Warisan; c. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal;
Bab II Tinjauan Pustaka
44
d. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah; e. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa; f. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat : 1. Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan 2. Bagi Perseroan Terbatas, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetorkan dan harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut; g. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai; h. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; i. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi; j. Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama 5 (lima) tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pembirian izin usaha; k. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
45
Bab II Tinjauan Pustaka
1. Merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;dan 2. Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
2.9
Biaya
2.9.1
Pengertian
Biaya
Menurut
Ketentuan
Peraturan
Perundang-
undangan Perpajakan Menurut Waluyo dan Wirawan B.Ilyas (2002:6), beban-beban yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto bagi Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap dapat dibagi dalam 2 (dua) golongan, yaitu: 1. Beban atau biaya yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun. Beban yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun merupakan biaya pada tahun yang bersangkutan, misalnya: gaji, biaya administrasi dan bunga, biaya rutin pengolahan limbah, dan sebagainya. 2. Beban atau biaya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun. Pengeluaran yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau melalui amortisasi. Kemudian pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak dapat pula dibedakan menjadi : 1. Pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai biaya (deductible expense). 2. Pengeluaran yang tidak dapat dibebankan sebagai biaya (non-deductible expense).
2.9.1.1 Pengeluaran yang Dapat Dibebankan Sebagai Biaya (deductible expense) Pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai biaya adalah pengeluaran yang mempunyai hubungan langsung dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak yang pembebanannya dapat dilakukan dalam tahun pengeluaran atau selama masa manfaat dari pengeluaran tersebut.
Bab II Tinjauan Pustaka
46
Biaya yang diperkenankan bagi Wajib Pajak Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap (deductible expense) berdasarkan pasal 6 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan, yaitu : Pasal 6 Ayat (1) Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi : a. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang, bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi, biaya administrasi, dan pajak kecuali Pajak Penghasilan; b. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1(satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 dan pasal 11A; c. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan; d. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan; e. Kerugian dari selisih kurs mata uang asing; f. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia; g. Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan; h. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat: 1. Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial; 2. Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) atau adanya
Bab II Tinjauan Pustaka
47
perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; 3. Telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; dan 4. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak, yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direktur JenderalPajak. Ayat (2) Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didapat kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun. Ayat (3) Kepada orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri diberikan pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 7.
2.9.1.2 Pengeluaran yang Tidak Dapat Dibebankan Sebagai Biaya (non deductible expense). Pengeluaran yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto atau tidak dapat dibebankan sebagai biaya adalah pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan objek pajak atau pengeluaran dilakukan tidak dalam batas-batas yang wajar sesuai dengan adat kebiasaan pedagang yang baik. Oleh karena itu, pengeluaran yang melampaui batas kewajaran dipengaruhi oleh hubungan istimewa, sehingga pengeluaran tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. Sesuai dengan pasal 9 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan, maka untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap tidak boleh dikurangkan :
Bab II Tinjauan Pustaka
48
Pasal 9 Ayat (1) Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan : a. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi; b. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota; c. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan kecuali cadangan piutang tidak tertagih untuk usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi, cadangan untuk usaha asuransi, dan cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan, yang ketentuan dan syarat-syaratnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; d. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan; e. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; f. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan; g. Harta yang dihabiskan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan atau Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki
49
Bab II Tinjauan Pustaka
oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah; h. Pajak Penghasilan; i. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya; j. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham; k. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan.
2.10
Koreksi Fiskal Muda Markus dan Lalu Hendry Yujana (2002:704), menjelaskan bahwa
rekonsiliasi fiskal adalah usaha mencocokan perbedaaan yang terdapat dalam laporan keuangan komersial (yang disusun berdasarkan prinsip fiskal). Rekonsiliasi fiskal biasanya dilakukan oleh fiskus pada waktu pemeriksaan pajak, karena laporan keuangan yang disampaikan oleh Wajib Pajak ke Kantor Pelayanan Pajak adalah laporan keuangan fiskal, atau dilakukan oleh akuntan dalam rangka menghitung pajak penghasilan (PPh) tahunan terutang. Sekurang-kurangnya ada dua cara Wajib Pajak menyusun Laporan Keuangan Fiskal yang tidak melanggar ketentuan pidana. Cara pertama adalah segala transaksi atau informasi yang ada dibukukan berdasarkan prinsip pajak atau tepatnya
prinsip
Undang-undang
Pajak
Penghasilan
demi
kepentingan
perhitungan Pajak Penghasilan Tahunan terutang, yang dikenal dengan sebutan akuntansi perpajakan. Di samping itu, informasi yang sama tersebut dibukukan berdasarkan prinsip akuntansi untuk keperluan komersial. Cara ini (separated approach) memakan banyak biaya dan tenaga yang tidak perlu. Oleh karena itu, pada umumnya Wajib Pajak menempuh cara kedua, (extra compatible approach) yaitu semua transaksi atau informasi yang ada hanya dibukukan berdasarkan prinsip akuntansi. Kemudian pada akhir tahun dalam rangka untuk melindungi berapa besarnya utang PPh tahunan, Wajib Pajak
50
Bab II Tinjauan Pustaka
melakukan koreksi terhadap laporan keuangan komersial tersebut supaya sesuai dengan prinsip Undang-undang Pajak Penghasilan. Koreksi tersebut dinamakan koreksi fiskal, yaitu koreksi terhadap laporan keuangan akuntansi/komersial yang dibuat menurut prinsip akuntansi (SAK) yang berbeda dengan prinsip Undangundang Pajak Penghasilan
supaya sesuai dengan Undang-undang Pajak
Penghasilan. Sehingga menjadi sesuai dengan prinsip Undang-undang Pajak Penghasilan, dinamakan Laporan Keuangan fiskal. Laporan keuangan fiskal tersebut dipakai untuk menghitung Pajak Penghasilan Tahunan terutang. Dilihat dari segi akibat yang ditimbulkan pada penghasilan kena pajak, koreksi fiskal ada dua macam, yaitu : 1. Koreksi fiskal positif atau koreksi positif, yaitu koreksi atas laporan keuangan komersial agar sesuai dengan prinsip Undang-undang Pajak Penghasilan (PPh), sehingga menyebabkan jumlah Penghasilan Kena Pajak (PKP) membesar. 2. Koreksi fiskal negatif atau koreksi negatif, yaitu koreksi atas laporan keuangan komersial agar sesuai prinsip Undang-undang Pajak Penghasilan (PPh), sehingga menyebabkan jumlah Penghasilan Kena Pajak (PKP) mengecil.
2.11
Sanksi Administrasi dan Sanksi Pidana Sanksi perpajakan merupakan jaminan bahwa ketentuan peraturan
perundang-undangan
perpajakan
(norma
perpajakan)
akan
dituruti/ditaati/dipatuhi. Sehingga sanksi perpajakan dapat dikatakan sebagai alat pencegah (preventif) agar Wajib Pajak tidak melanggar norma perpajakan. Dalam Undang-undang perpajakan dikenal dua macam sanksi, yaitu sanksi Administrasi dan Sanksi Pidana.
2.11.1 Sanksi Administrasi 1. Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan atau disampaikan tidak sesuai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) atau batas waktu
perpanjangan
penyampaian
Surat
Pemberitahuan
sebagaimana
Bab II Tinjauan Pustaka
51
dimaksud dalam pasal 3 ayat (4), dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp. 50.000,00 untuk Surat Pemberitahuan Masa (lima puluh ribu rupiah) dan sebesar Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan. (Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2000) 2. Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan (SPT) yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, maka kepadanya dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) berakhir sampai dengan tanggal pembayaran karena pembetulan Surat Pemberitahuan (SPT) itu. (Pasal 8 ayat (2) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2000) 3. Sekalipun telah dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi sepanjang belum dilakukan tindakan penyidikan mengenai adanya ketidakbenaran yang dilakukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 38, terhadap ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak tersebut tidak akan dilakukan penyidikan, apabila Wajib Pajak dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya tersebut dengan disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 2 (dua) kali jumlah pajak yang kurang dibayar. (Pasal 8 ayat (3) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2000) 4. Pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan (SPT) sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang kurang dibayar, harus dilunasi sendiri oleh Wajib Pajak sebelum laporan tersendiri dimaksud disampaikan. (Pasal 8 ayat
Bab II Tinjauan Pustaka
52
(5) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2000) 5. Apabila pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), atau ayat (2) dilakukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak, dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung dari jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. (Pasal 8 ayat (5) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2000) 6. Jumlah pajak dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar : a. 50% (lima puluh persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar dalam satu Tahun Pajak; b. 100% (seratus persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dipotong, tidak atau kurang dipungut, tidak atau kurang disetor, dan dipotong atau dipungut tetapi tidak atau kurang disetorkan; c. 100% (seratus persen) dari Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang tidak atau kurang dibayar. (Pasal 13 ayat (3) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2000) 7. Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan huruf b ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk selama-lamanya 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Tagihan Pajak. (Pasal 14 ayat (3) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2000)
Bab II Tinjauan Pustaka
53
8. Terhadap Pengusaha atau Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d, huruf e, dan huruf f masing-masing dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak. (Pasal 14 ayat (4) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2000) 9. Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut. (Pasal 15 ayat (2) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2000) 10. Apabila jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah lewat, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tetap dapat diterbitkan ditambah sanksi administrasi berupa bunga 48% (empat puluh delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, dalam hal Wajib Pajak setelah jangka waktu 10 (sepuluh) tahun tersebut dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. (Pasal 15 ayat (4) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2000) 11. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, jumlah kekurangan pajak ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pembayaran pajak. (Pasal 17 ayat (5) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2000)
54
Bab II Tinjauan Pustaka
2.11.2 Sanksi Pidana 1. Setiap orang yang karena kealpaannya: a. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT); atau b. menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT), tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar; Sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara, diancam dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling tinggi 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. (Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2000) 2. Setiap orang dengan sengaja : a. Tidak mendaftarkan diri, atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2; atau b. Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT); atau c. Menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap; atau d. Menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 29; atau e. Memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar; atau f. Tidak
menyelenggarakan
pembukuan
atau
pencatatan,
tidak
memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen laiannya; atau g. Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun dan dengan paling tinggi 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. (Pasal 39 ayat (1) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2000)
Bab II Tinjauan Pustaka
55
3. Pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilipatkan 2 (dua) apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan. (Pasal 39 ayat (2) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2000) 4. Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, atau menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah restitusi yang dimohon dan atau kompensasi yang dilakukan oleh Wajib Pajak. (Pasal 39 ayat (3) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2000)
2.12
Surat Ketetapan Pajak Pengertian Surat Ketetapan Pajak sesuai dengan Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, adalah Surat Ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, Surat Ketetapan Pajak Nihil. a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Menurut Pasal 1 angka 15 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pengertian Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar adalah surat
Bab II Tinjauan Pustaka
56
ketetapan yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi dan jumlah yang masih harus dibayar; b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan Menurut Pasal 1 angka 16 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pengertian Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan adalah surat ketetapan yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan; c. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar Menurut Pasal 1 angka 17 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pengertian Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar surat ketetapan yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar dari pajak yang terutang atau tidak seharusnya terutang. d. Surat Ketetapan Pajak Nihil Menurut Pasal 1 angka 18 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pengertian Surat Ketetapan Pajak Nihil adalah surat ketetapan yang menetukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.