10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan tentang Pembuktian a. Pengertian Pembuktian Pembuktian adalah usaha dari yang berwenang untuk mengemukakan kepada hakim sebanyak mungkin hal-hal yang berkenaan dengan suatu perkara yang bertujuan agar supaya dapat dipakai oleh hakim sebagai bahan untuk memberikan keputusan seperti perkara tersebut (J.C.T Simorangkir, dkk, 1983: 135). Pembuktian
adalah
kegaiatan
membuktikan,
membuktikan berarti memperlihatkan bukti-bukti yang ada, melakukan
sesuatu
sebagai
kebenaran,
melaksanakan,
menandakan, menyaksikan, dan meyakinkan (Putra Akbar Saleh, 2013: 79). Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan
yang berisi
penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan (M. Yahya Harahap, 2012: 274). Pengertian dari beberapa ahli di atas dapat disimpulkan bahwa pembuktian adalah suatu pencarian kebenaran materiil di muka persidangan guna membuktikan kesalahan terdakwa menurut pasal yang didakwakan dengan menggunakan alat-alat bukti menurut undang-undang sebagai pertimbangan hakim dalam memutuskan suatu perkara.
11
b. Macam-macam Teori atau Sistem Pembuktian (M. Yahya Harahap, 2012: 277-280): 1)
Sistem Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Belaka (Conviction-in Time) Sistem pembuktian conviction-in time menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim. Ketentuan hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Dalam sistem ini sekalipun kesalahan terdakwa sudah cukup terbukti,
pembuktian
yang
cukup
itu
dapat
dikesampingkan dengan keyakinan hakim. Sebaliknya, walaupun kesalahan terdakwa “tidak terbukti” berdasarkan alat-alat bukti yang sah, terdakwa dapat dinyatakan bersalah, semata-mata atas “dasar keyakinan” hakim. Keyakinan hakim yang “dominan” atau yang paling menentukan salah tidaknya terdakwa. Keyakinan tanpa alat bukti yang sah, sudah cukup membuktikan kesalahan terdakwa.
Seolah-olah
sistem
ini
menyerahkan
sepenuhnya nasib terdakwa kepada keyakinan hakim semata. Keyakinan hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian ini 2)
Sistem Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Atas Alasan yang Logis (Conviction-Raisonee) Sistem pembuktian ini dapat dikatakan keyakinan hakim
tetap
memegang
peranan
penting
dalam
menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi dalam sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim dibatasi. Pada
sistem
conviction-raisonee,
harus
dilandasi
reasoning atau alasan-alasan, dan reasoning itu harus reasonable, yakni berdasar alasan yang dapat diterima. Keyakinan hakim harus mempunyai dasar-dasar alasan
12
yang logis dan benar-benar dapat diterima. Tidak sematamata atas dasar keyakinan yang tertutup tanpa uraian alasan yang masuk akal. 3)
Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif (Positif Wettelijk Bewijs Theorie) Pembuktian menurut undang-undang secara positif, keyakinan
hakim
tidak
ikut
ambil
bagian
dalam
membuktikan kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim dalam sistem ini, tidak ikut berperan dalam salah tidaknya terdakwa. Sistem ini berpedoman pada alat-alat bukti yang ditentukan Undang-Undang. Apabila sudah terpenuhi cara-cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang, hakim tidak lagi menanyakan keyakinan hati nuraninya atas kesalahan terdakwa. 4)
Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif (Negatif Wettelijk Bewijs Theorie) Sistem pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif menggabungkan ke dalam dirinya terpadu sistem pembuktian menurut keyakinan dengan sistem UndangUndang secara positif. Dari hasil penggabungan kedua sistem yang saling bertolak belakang itu, terwujudlah suatu sistem pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif. Rumusannya berbunyi: salah tidaknya seorang terdakwa
ditentukan
oleh
keyakinan
hakim
yang
didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang. Bertitik tolak dari uraian tersebut, untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa menurut sistem pembuktian undang-undang secara negatif terdapat dua komponen:
13
a) Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undangundang; dan b) Keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Prakteknya, keyakinan hakim itu dapat dikesampingkan apabila keyakinan hakim tersebut tidak dilandasi oleh suatu pembuktian
yang cukup. Dengan demikian
pada praktek
penegakan hukum (dalam mengadili) kita lebih cenderung pada pendekatan sistem pembuktian menurut undang-undang positif (M. Yahya Harahap, 2012: 185). c. Asas-asas Pembuktian Asas-asas yang mendasari dalam proses pembuktian hukum acara pidana antara lain: 1)
Pengakuan terdakwa tidak menghapuskan kewajiban penuntut umum membuktikan kesalahan terdakwa Asas ini terdapat dalam Pasal 189 ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berbunyi : “Keterangan terdakwa saja tidak cukup membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai alat bukti lain”. Pengakuan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), bukan merupakan alat bukti yang mempunyai kekuatan hukum sempurna atau bukan volledig bewijs kracht. Juga tidak memiliki kekuatan pembuktian yang menentukan atau bukan beslissende bewijs kracht (M. Yahya Harahap, 2012: 257).
2)
Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan
14
Menurut Leden Marpaung yang mengutip pendapat Mr. H. H. Tirtaamidjaja menjelaskan bahwa peristiwaperistiwa dan keadaan-keadaan yang telah diketahui umum tidak memerlukan pembuktian, hal itu bukanlah dianggap telah diketahui oleh hakim, misalnya hal, bahwa anjing adalah binatang, atau bahwa hidup manusia itu tidak kekal ataupun bahwa emas kuning warnanya (Leden Marpaung, 2011: 26). 3)
Kewajiban seorang saksi Kewajiban seorang saksi diatur dalam Pasal 159 ayat (2)
Kitab
Undang-Undang
Hukum
Acara
Pidana
(KUHAP) yang menyebutkan bahwa: “Orang yang menjadi saksi setalah dipanggil ke suatu sidang pengadilan untuk memberikan keterangan tetapi dengan menolak kewajiban itu ia dapat dikenakan pidana berasarkan undang-undang yang berlaku, demikian pula dengan ahli”. 4)
Satu saksi bukan saksi (ulus testis nullus testis) Prinsip satu saksi bukan saksi (ulus testis nullus testis) dimuat didalam Pasal 185 ayat (2) Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berbunyi: “Keterangan seorang saksi saja tidak cukup membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap berbuatan yang didakwakan kepadanya”. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) keterangan satu saksi bukan saksi hanya berlaku bagi pemeriksaan biasa dan pemeriksaan singkat, tidak berlaku bagi pemeriksaan cepat. Hal ini disimpulkan dari Pasal 184 Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berbunyi: “Dalam acara pemerisaan cepat, keyakinan hakim cukup didukung satu alat bukti yang sah”. Jadi ini berarti satu saksi, satu keterangan ahli, satu surat, satu petunjuk atau
15
keterangan tedakwa disertai keyakinan hakim cukup sebagai alat bukti untuk memidana terdakwa dalamm perkara cepat (Andi Hamzah, 1985: 249). 5)
Keterangan terdakwa hanya mengikat pada dirinya sendiri Keterangan
terdakwa
dalam
persidangan
di
pengadilan hanya boleh diterima dan diakui sebagai alat bukti yang berlaku dan mengikat bagi diri terdakwa sendiri. Hal ini sejalan dengan bunyi Pasal 189 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berbunyi: “Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan tehadap dirinya sendiri”. Menurut asas ini, apa yang diterangkan seseorang didalam persidangan dalam kedudukannya sebagai terdakwa, hanya dapat digunakan sebagai alat bukti bagi dirinya sendiri. Jika dalam suatu perkara terdakwa terdiri dari beberapa orang, masingmasing keterangan terdakwa hanya merupakan alat bukti yang mengikat pada dirinya sendiri. Keterangan terdakwa A tidak dapat digunakan pada keterangan terdakwa B, demikian sebaliknya (M. Yahya Harahap, 2012: 321).
2. Tinjauan tentang Alat Bukti Hukum Acara Pidana
Indonesia hanya mengakui alat
bukti yang sah mennurut ketentuan dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hal-hal yang dinilai sebagai alat bukti dan yang dibenarkan mempunyai kekuatan pembuktian hanya terbatas kepada alat-alat bukti itu saja. Pembuktian dengan alat bukti diluar Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang
Hukum
Acara
Pidana
(KUHAP)
tidak
mempunyai nilai serta tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat. Alat bukti yang sah menutut Pasal 184 ayat (1)
16
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah sebagai berikut: a. Keterangan Saksi Menurut Pasal 1 butir 27 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dimaksud dengan keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, Ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dan pengetahuannya itu. Terdapat
perluasan
pengertian
keterangan
saksi,
berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUUVIII/2010 yaitu pengertian saksi menurut Pasal 1 butir 27 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 apabila tidak dimaknai, termasuk pula orang yang dapat memberikan keterangan
dalam
rangka
penyidikan
,penuntutan,
dan
peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Keterangan saksi sebagai alat bukti diatur dalam Pasal 185 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyebutkan bahwa: “Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan”. Alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Boleh dikatakan, tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu bersandar kepada pemeriksaan keterangan saksi. Sekurangkurangnya di samping pembuktian dengan alat bukti lain, masih diperlukan pembuktian dengan alat bukti saksi (M. Yahya Harahap, 2012: 286). Saksi menurut sifatnya dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
17
1)
Saksi A Charge (saksi yang memberatkan terdakwa) Saksi ini adaalah saksi yang telah dipilih dan diajukan oleh penuntut umum, dengan keterangan atau kesaksian akan memberatkan terdakwa.
2)
Saksi A De Charge (saksi yang meringankan atau menguntungkan terdakwa) Saksi ini dipilih atau diajukan oleh penuntut umum atau terdakwa atau penasihat hukum, yang mana keterangan atau kesaksian yang diberikan akan meringankan atau menguntungkan terdakwa (Andi Sofyan, Abd. Asis, 2014: 242).
b. Keterangan Ahli Kata ahli menurut Karim Nasution dalam bukunya Djoko Prakoso, dapat disimpulakan bahwa seorang ahli bukan berarti seseorang yang telah memperoleh suatu pendidikan khusus atau orang yang memiliki penilaian tertentu. Sehingga ahli belum tentu spesialis di lapangan suatu ilmu pengetahuan tertentu, karena menurut hukum acar pidana ahli ialah setiap orang yang mempunyai lebih banyak pengetahuan dan pengalaman yang khusus mengenai sesuatu hal tertentu (Djoko Prakoso, 1988: 83). Menurut Pasal 1 angka 28 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) berbunyi bahwa: “Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seoang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat keterangan
suatu
perkara
pidana
guna
kepentingan
pemeriksaan”. c. Surat Menurut Sudikno Mertokusimo (2014: 264) dalam bukunya Andi Sofyan dan Abd. Asis mengatakan bahwa alat bukti tertulis atau surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi
18
hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan digunakan sebagai pembuktian. Selain Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang memberikan keterangan tentang alat bukti, alat bukti surat hanya diatur dalam satu Pasal saja, yaitu pada Pasal 187 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Menurut ketentuan tersebut surat yang dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang ialah: 1) Surat yang dibuat atas sumpah jabatan 2) Surat yang dikuatkan dengan sumpah d. Petunjuk Menurut Pasal 188 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), bahwa yang dimaksud dengan alat bukti petunjuk adalah: (1)
Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain,
maupun
dengan
tindak
pidana
itu
sendiri,
menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. (2)
Petunjuk sebagaimana dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari: a. Keterangan saksi; b. Surat; c. Keterangan terdakwa.
(3)
Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya.
19
e. Keterangan Terdakwa Secara impisit penjelasan tentang pengertian terdakwa sebagai alat bukti terdapat dalam Pasal 189 ayat (1) Kitab Undang-Undang
Hukum
Acara
Pidana
(KUHAP)
yang
berbunyi: “keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang pengadilan tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri”.
3. Tinjauan teantang Saksi Verbalisan a. Pengertian Saksi Verbalisan Ketentuan tentang saksi verbalisan ini belum diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP) maupun peraturanperaturan lainnya di Indonesia, namun dalam prakteknya saksi verbalisan ini banyak dijumpai di dalam ranah hukum acara pidana di Indonesia. Menurut praktek penegakan hukum acara pidana, saksi verbalisan atau saksi penyidik adalah penyidik yang kemudian menjadi saksi suatu perkara pidana di muka persidangan karena terdakwa mengatakan bahwa keterangan yang dimuat dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dibuat dalam keadaan dibawah tekanan atau terdapat perbedaan keterangan saksi dengan yang tertulis di Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Penjelasan tentang dapat dihadirkan saksi verbalisan dalam pembuktian di sidang pengadilan untuk meyakinkan hakim sebagai klarifikasi terdapat dalam Pasal 163 Kitab Undang-Undang
Hukum
Acara
Pidana
(KUHAP)
yang
berbunyi: “Jika keterangan saksi di persidangan berbeda dengan keterangan yang terdapat dalam berita acara, hakim ketua sidang mengingatkan saksi akan hal itu serta meminta keterangan
20
mengenai perbedaan yang ada dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan persidangan”. b. Alasan Keterangan Saksi Verbalisan Kehadiran saksi verbalisan atau saksi penyidik ini kerap dijumpai di muka persidangan karena terdakwa membantah tuduhan karena berita acara yang telah dibuat oleh penyidik diberikan dalam keadaan tertekan atau dibawah paksaan. Namun kehadiran penyidik sebagai saksi umumnya membantah, jadi dapat dikatakan bahwa saksi verbalisan hampir tidak pernah mengakui perbuatannya. Terlepas dari praktek-praktek demikian, dengan kehadiran seorang saksi penyidik dalam persidangan, hakim dapat mendapatkan informasi mengenai latar belakang suatu perkara secara kronologis. Apakah sebelumnya sudah mencukupi alatalat bukti permulaan, sebelum dilakukan penyelidikan terhadap seseorang. Pada pokoknya dengan bertanya kepada penyidik, bisa diketahui secara lengkap, mulai dari laporan atau pengaduan tentang adanya tindak pidana (Lily Rosita, 2003: 50).
4. Tinjauan tentang Pertimbangan Hakim dalam Pengambilan Keputusan a. Pengertian Putusan Pengadilan Bab I tentang Ketentuan Umum Pasal 1 angka 11 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ditentukan bahwa: “Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. Putusan hakim itu merupakan putusan yang diucapkan oleh hakim karena jabatannya dalam persidangan perkara pidana yang terbuka untuk umum setelah melalui proses dan prosedural
21
hukum acara pidana pada umumnya, berisikan amar pemidanaan atau bebas atau pelepasan dari segala tuntutan hukum dibuat dalam bentuk tertulis dengan segala tujuan menyelesaikan perkara (Lilik Mulyadi, 2007: 121). Mengenai putusan apa yang akan dijatuhkan pengadilan, tergantung hasil mufakat musyawarah hakim berdasarkan penilaian yang mereka peroleh dari surat dakwaan dihubungkan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan. Ada beberapa jenis bentuk putusan yang dapat mereka jatuhkan sesuai
dengan hasil yang mereka
mufakati (M. Yahya Harahap, 2012: 347). b. Macam-macam Putusan Pengadilan Bentuk
putusan
yang
akan
dijatuhkan
pengadilan
tergantung dari hasil musyawarah yang bertitik tolak pada surat dakwaan
dengan
segala
sesuatu
yang
terbukti
dalam
pemeriksaan di pengadilan. Bertitik tolak pada kemungkinankemungkinan yang akan terjadi, menurut Taufik Makarao putusan yang dapat dijatuhkan pengadilan mengenai suatu perkara pidana dapat berbentuk sebagai berikut (2004: 172-177): 1) Putusan Bebas (vrijspraak) Pasal 191 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan bahwa: “Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang kesalahan terdakwa atas perbuatan yang dilakukan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka terdakwa diputus bebas”.
2) Putusan Lepas Dari Segala Tuntutan Hukum (ontslag van recht vervolging) Pasal 191 ayat (2) mengatakan bahwa: “Jika pengadilan
berpendapat
bahwa
perbuatan
yang
22
didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindakan pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum”. Putusan ini semua yang didakwakan oleh Penuntut Umum terbukti secara sah, akan tetapi hal yang didakwakan bukan merupakan tindak pidana atau dengan kata lain perbuatan tersebut tidak memenuhi unsur tindak pidana. Sehingga hakim menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum.
3) Putusan Pemidanaan (veroordeling) Putusan pemidanaan dijatuhkan oleh hakim apabila terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya sesuai ketentuan Pasal 193 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana
(KUHAP).
Terhadap
putusan
ini
sebenarnya tidak ada masalah karena hal yang didakwakan
oleh
penuntut
umum
terbukti
dan
perbuatan tersebut merupakan tindak pidana. Hanya saja menjadi permasalahan apabila terhadap putusan pemidanaan ini kemudian terpidana ditahan lalu dibebaskan lagi dengan berbagai alasan sehingga akan mencederai penegak hukum.
c. Dasar Pertimbangan Hakim Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Hakim adalah Pejabat Peradilan Negara yang diberi wewenang oleh
Undang-Undang
untuk
mengadili.
Kemudian
kata
“mengadili” sebagai rangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur,
23
dan tidak memihak dalam sidang suatu perkara dan menjunjung tinggi tiga asas peradilan yaitu sederhana, cepat, dan biaya ringan. Seorang hakim dalam menjatuhkan putusan harus memutus
sesuai
dengan
tujuan
hukum
yaitu
keadilan,
kemufakatan, dan kepastian hukum. Bahwa hakikatnya pada pertimbangan yuridis hakim merupakan pembuktian suatu unsur-unsur dari suatu delik, apakah perbuatan terdakwa tersebut menemui dan sesuai dengan delik yang didakwakan oleh penuntut umum. Sehingga pertimbangan tersebut relevan terhadap amar/dictum putusan hakim (Lilik Mulyadi, 2007:193). Pertimbangan hakim dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu pertimbangan yuridis dan pertimbangan non yuridis. 1)
Pertimbangan yang bersifat yuridis Pertimbangan
yang
bersifat
yuridis
adalah
pertimbangan hakim yang didasarkan pada fakta-fakta yuridis yang terungkap dalam persidangan dan oleh undang-undang ditetapkan sebagai hal yang harus dibuat di dalam putusan. Hal-hal yang dimaksud antara lain: a) Dakwaan jaksa penuntut umum b) Keterangan terdakwa c) Keterangan saksi d) Barang-barang bukti e) Pasal-Pasal dalam peraturan pidana
2)
Pertimbangan hakim yang bersifat non yuridis Hal-hal yang dimaksud didalam pertimbangan hakim yang bersifat non yuridis antara lain yaitu (Muhammad Rusli, 2007:94) : a) Latar belakang terdakwa
24
Latar belakang perbuatan terdakwa adalah setiap keadaan yang menyebabkan timbulnya keinginan serta dorongan keras pasa diri terdakwa dalam melakukan tindak pidana kriminal b) Akibat perbuatan terdakwa Perbuatan pidana yang dilakukan terdakwa sudah pasti membawa korban ataupun kerugian pada pihak lain. Bahkan akibat dari perbuatan terdakwa dari kejahatan
yang
dilakukan
tersebut
dapat
pula
berpengaruh buruk kepada masyarakat luas, paling tidak keamanan dan ketentraman mereka senantiasa terancam. c) Kondisi terdakwa Pengertian kondisi terdakwa adalah keadaan fisik maupun
psikis
terdakwa
sebelum
melakukan
kejahatan, termasuk pula status sosial yang melekat pada terdakwa. Keadaan fisik dimaksudkan adalah usia dan tingkat kedewasaan, sementara keadaan psikis dimaksudkan adalah berkaitan dengan perasaan yang dapat berupa: mendapat tekanan dari orang lain, pikiran sedang kacau, keadaan marah dan lain-lain. Adapun yang dimaksudkan dengan status sosial adalah predikat yang dimiliki dalam masyarakat. d) Agama terdakwa Keterikatan para hakim terhadap ajaran agama tidak cukup bila sekedar meletakkan kata “Ketuhanan” pada kepala putusan, melainkan harus menjadi ukuran penilaian dari setiap tindakan baik tindakan para hakim itu sendiri maupun dan terutama terhadap tindakan para pembuat kejahatan.
25
5. Tinjaun tentang Anak a. Pengertian Batas Usia Anak Melakukan perlindungan terhadap anak pasti diawali dengan pertanyaan tentang berapa batasan usia anak. Dengan kaitan itu, pengaturan tentang batasan anak dapat dilihat pada: 1)
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 330 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) memuat batas anak belum dewasa dengan telah dewasa yaitu 21 tahun, kecuali anak tersebut telah kawin sebelum berumur 21 tahun dan pendewasaan.
2)
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak merumuskan secara eksplisit tentang pengertian anak, tetapi dapat dijumpai antara laian pada Pasal 45 dan Pasal 72 yang memakai batasan usia 16 tahun, serta ada Pasal 283 yang memberikan batasan usia 17 tahun.
3)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Undang-undang ini tidak secara eksplisit mengatur tentang batas usia pengertian anak, namun dalam Pasal 153 ayat (5) memberi wewenang kepada hakim untuk melarang anak yang belum mencapai usia 17 tahun untuk menghadiri sidang.
4)
Undang-Undang
Nomor
1
Tahun
1974
tentang
Perkawinan Berdasarkan ketetntuan Pasal 47 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (1) Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974, maka batasan untuk disebut anak adalah belum mencapai 18 tahun atau belum melangsungkan perkawinan. 5)
Undang-Undang
Nomor
Kesejahteraan Anak
4
Tahun
1979
tentang
26
Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979, maka anak adalah seseorang yang belum mencapai 21 tahun dan belum pernah kawin. 6)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan Menurut ketentuan Pasal 1 angka 8 huruf a, b, dan c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 bahwa anak didik pemasyarakatan baik anak pidana, anak negara, dan anak sipil untuk dapat dididik di Lembaga Pemasyarakatan Anak adalah paling tinggi sampai berumur 18 tahun.
7)
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Menurut Pasal 1 sub 5 dinyatakan bahwa anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 tahun dan belum menikah, termasuk anak yang maish dalam kandungan apabila hal tersebut demi kepentingannya.
8)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Jo UndangUndang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak Menurut Pasal 1 butir 1 menyatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Pengertian usia anak berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak tidak ada perubahan.
9)
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1988 tentang Usaha Kesejahteraan Anak Bagi Anak yang Mempunyai Masalah Menurut ketentuan ini anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin.
27
10)
Hukum Adat dan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Menurut hukum adat Indonesia, batasan umur untuk disebut anak bersifat pluralistik. Dalam artian kriteria untuk menyebut bahwa seseorang tidak lagi disebut anak dan telah dewasa beraneka ragam istilahnya.
11) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 1 butir 3
yang menyatakan anak yang
berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Penjelasan tentang anak yang menjadi korban juga dijelaskan dalam Pasal 1 butir 4 yaitu anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana. Sedangkan penjelasan tentang anak yang menjadi saksi terdapat dalam Pasal 1 butir 5 yaitu anak yang menjadi saksi tindak pidana yang selanjutnya disebut Anak Saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.
b. Sanksi Pidana terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Sanksi yang dapat diberikan kepada orang yang belum dewasa secara umum telah diatur dalam Pasal 45 KUHP yaitu dapat berupa pengembalian kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya, tanpa pidana apa pun; atau memerintahkan
28
supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apa pun, jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran berdasar- kan pasal-pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503 - 505, 514, 517 - 519, 526, 531, 532, 536, dan 540 serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut di atas, dan putusannya telah menjadi tetap; atau menjatuhkan pidana kepada yang bersalah. Sehubungan dengan berlaku asas lex specialis derogat legi generalis, sanksi umum dikesampingkan dan berlakulah sanksi khusus yang dapat diberikan kepada anak nakal, yaitu berdasarkan
Undang-Undang
Perlindungan
Anak
telah
mengaturnya sebagaimana telah ditetapkan dalam Bab III dan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak diatur dalam Bab V tentang Pidana dan Tindakan. Secara garis besar, sanksi yang dapat dijatuhkan bagi anak yang telah melakukan kenakalan terdiri dari dua, yaitu sanksi pidana dan sanksi tindakan. Penyidik menerima perkara anak berasal dari laporan, aduan dan kemungkinan penyidik mengetahui sendiri. Bersamasama dengan Bapas, pihak korban dan pihak orang tua pelaku serta
LSM,
penyidik
mengadakan
musyawarah
untuk
menentukan tindakan selanjutnya dalam perkara anak nakal yang bersangkutan. Tindak lanjut dari penyidikan ini untuk menentukan apakah anak nakal tersebut perlu diteruskan kepada penuntutan atau dilakukan diversi. Di dalam penentuan ini perlu ada pemberitahuan dan kesepakatan dengan orang tua wali atau pihak lain yang berperan untuk menentukan bagaimana perlakuan terhadap anak nakal tersebut (Juhadi, 2013). Sanksi bagi anak nakal yang berupa sanksi pidana, terdiri atas pidana pokok dan pidana tambahan. Untuk pidana pokok
29
ada lima macam sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 71 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yaitu pidana peringatan, pidana dengan syarat, pelatihan kerja, pembinaan dengan lembaga, dan penjara. Sedangkan
untuk
pidana
tambahan
yaitu
perampasan
keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, atau pemenuhan kewajiban adat. Sanksi lain bagi anak pelaku tindak pidana yang berupa tindakan diatur dalam Pasal 82 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, dapat diketahui bahwa tindakan yang dapat dikenakan kepada anak meliputi: pengembalian kepada orang tua/wali, penyerahan kepada seseorang, perawatan di rumah sakit jiwa, perawatan di LPKS, kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swast, pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau perbaikan akibat tindak pidana.
6. Tinjauan tentang Tindak Pidana Pembunuhan Pembunuhan adalah suatu tidakan dilakukan untuk menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja. Tindak pidana pembunuhan dapat diklasifikasikan kedalam beberapa jenis, antara lain: a. Pembunuhan Biasa Menurut Pasal 338 KUHP berbunyi bahwa:
“Barangsiapa
dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”. b. Pembunuhan Berencana Menurut Pasal 340 KUHP berbunyi bahwa: “Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
30
hidupatau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun”.
B. Kerangka Pemikiran Perkara Pembunuhan oleh Anak Secara Bersama-sama (Pasal 338 jo Pasal 55 ayat (1) KUHP)
Alat Bukti (Pasal 184 Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana)
Pasal 183 jo Pasal 193 ayat (1) Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana
Pembuktian
Pertimbangan Hakim
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor: 1131/Pid.An/2013/PN.Jkt.Sel
Saksi Verbalisan
Pasal yang Didakwakan
31
Keterangan: Kerangka pemikiran diatas, maka akanmenjelaskan alur pemikiran penulis dalam menyusun penulisan hukum (skripsi) mengenai argumentasi pembuktian dengan menghadirkan saksi verbalisan dan pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap terdakwa anak pelaku pembunuhan secara bersama-sama. Cara berfikir mulai dari perkara terbunuhnya seorang pengamen cilik yang bernama Dicky Maulana di daerah Cipulir yang melibatkan enam anak sebagai terdakwa pembunuhan secara bersama-sama. Dalam persidangan para terdakwa mencabut Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang telah dibuat oleh para penyidik. Alasan yang dikemukakan para terdakwa dalam mencabut Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tersebut karena para terdakwa berada dibawah tekanan dan siksaan. Karena pencabutan berita acara pemeriksaan yang dilakukan oleh para terdakwa, maka penuntut umum menghadirkan saksi verbalisan di dalam persidangan untuk membuktikan kebenaran alasan para terdakwa tersebut. Namun keterangan dua polisi anggota Polsek Metro Kebayoran, Yudi Pendi dan Dwi Kustianti yang dihadirkan di persidangan berbeda dan tidak sinkron mengenai waktu kejadian. Sehingga menjadi perhatian penulis untuk mengetahui penilaian hakim atas pembuktian dengan menghadirkan saksi verbalisan, dihubungkan dengan keterangan para terdakwa, untuk membuktikan bagi para terdakwa terbukti bersalah atau tidak. Berdasarkan penjabaran keterangan kerangka pemikiran di atas adalah guna untuk mengkaji apakah argumentasi pembuktian dengan menghadirkan saksi verbalisan serta pertimbangan hukum hakim menjatuhkan putusan kepada terdakwa anak pelaku pembunuhan secara bersama-sama sudah sesuai dengan ketentuan KUHAP