5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Usus Ayam Usus ayam adalah bahan makanan hewani yang banyak mengandung protein. Usus ayam merupakan organ bagian dalam ayam yang berfungsi sebagai organ pencernaaan, sehingga banyak bakteri yang bersarang di dalam usus. Oleh sebab itu usus ayam memiliki sifat yang mudah rusak jika tidak segera dibersihkan lebih dari 4 jam setelah dipotong dan cepat busuk karena hanya dapat disimpan maksimal 2 hari pada suhu 200C (Wendy, 2007). Jika lebih dari 2 hari usus ayam sudah berubah warna menjadi putih pucat kebiruan dan bau busuk yang menusuk sehingga tidak layak untuk dikonsumsi. B. Formalin Formalin merupakan larutan jernih yang tidak berwarna, baunya sangat menusuk, mempunyai rumus molekul HCOH, berat molekul 30,03 dan berat jenis 1,08. Formalin mengandung 37 persen formaldehid dalam air. Apabila formalin ditambahkan methanol hingga 15 persen dapat berfungsi sebagai pengawet. Formalin bersifat karsinogen, menyebabkan depresi susunan saraf, kegagalan peredaran darah, kejang, hematuria, tidak bisa kencing, muntah darah bahkan dapat menyebabkan kematian. Formalin dikenal dengan nama lain yaitu Formol, Methylene aldehyde, Paraforin, Morbicid, Oxomethane,
5
6
Polyoxymethylene
glycols,
Methanal,
Formoform,
Superlysoform,
Formaldehyde, dan Formalith ( Astawan, Made, 2006 ). I.
Sifat - Sifat Dari Formalin : 1. Bersifat karsinogenik (zat yang dapat menimbulkan kematian jaringan dan memicu kanker pada manusia). 2. Mudah menguap, sehingga menimbulkan bau yang kuat dan pedih di mata. 3. Merupakan senyawa desinfektan (zat yang dapat menurunkan jumlah bakteri tetapi bila terkena manusia dapat marusak jaringan) kuat untuk membasmi berbagai bakteri pembusuk, dan jamur. 4. Jika kandungan dalam tubuh tinggi, maka dapat menekan fungsi sel yang menyebabkan keracunan dalam tubuh ( ULPK BBPOM Bandung).
II. Penggunaan Formalin Formalin digunakan sebagai pembunuh kuman atau desinfektan seperti pembersih lantai, gudang, pakaian dan kapal, pembasmi lalat dan serangga lainnya, bahan pembuat sutra buatan, zat pewarna, cermin kaca dan bahan peledak. Dalam dunia fotografi biasanya digunakan untuk pengeras lapisan, gelatin dan kertas, bahan pembentuk pupuk berupa urea, bahan pembuatan produk parfum, bahan pengawet produk kosmetik dan pengeras kuku, pencegah korosi untuk sumur minyak, bahan perekat untuk produk kayu lapis (playwood), dalam konsentrasi yang sangat kecil ( < 1 persen ) digunakan sebagai pengawet, pembersih rumah tangga, cairan pencuci piring, pelembut, perawat sepatu, shampo mobil, lilin dan karpet ( Made, Astawan, 2006).
7
III. Toksisitas Formalin Formalin bersifat karsinogen atau menimbulkan penyakit kanker pada manusia. 1.
Bahaya formalin pada jangka pendek (akut) yaitu : Bila terhirup dapat menyebabkan gangguan pernafasan, rasa terbakar pada hidung dan tenggorokan, batuk, bersin, sakit kepala, mual dan muntah. Jika terkena kulit dapat menyebabkan kulit menjadi merah, mengeras, mati rasa dan ada rasa terbakar. Apabila terkena mata dapat menimbulkan iritasi mata sehingga mata akan memerah, rasanya sakit, gatal-gatal, penglihatan kabur, dan mengeluarkan air mata. Jika tertelan menyebabkan mual, muntah, dan diare, kemungkinan terjadi pendarahan, sakit perut yang hebat, sakit kepala,
hipotensi
(tekanan
darah
rendah),
kejang,
dan
dapat
menyebabkan terjadinya kerusakan hati, jantung, otak, limpa, pancreas. 2.
Bahaya formalin pada jangka panjang (kronik) yaitu Jika tertelan akan menimbulkan iritasi pada saluran pernafasan, muntah - muntah dan kepala pusing, rasa terbakar pada tenggorokan, penurunan suhu badan dan rasa gatal di dada.
D. Degradasi kadar formalin pada usus ayam Degradasi kadar formalin perlu dilakukan dengan cara dikukus, direbus, dan digoreng, serta direndam dalam air hangat, air garam, air bersih, air leri dan ekstrak blimbing wuluh. Kandungan asam sitrat pada blimbing wuluh dapat menurunkan kadar formalin dengan kadar awal 1,069 mg% menjadi
8
0,009 mg% atau dapat menurunkan kandungan formalin hingga 90%, sehingga dapat digunakan sebagai salah satu alternatif untuk mendegradasi kadar formalin pada usus ayam, karena bersifat alami sehingga aman untuk dikonsumsi, namun perendaman menggunakan ekstrak blimbing wuluh ini tidak dapat menghilangkan kadar formalin hingga 100 % (Wikanta, 2011). Sedangkan perendam menggunakan air selama 60 menit mampu menurunkan kadar formalin pada ikan asin sampai 61,25 persen, dan perendam dalam air leri mampu menurunkan kadar formalin sampai 66,03 persen, dan dalam air garam
mampu
menurunkan
kadar
formalin
sampai
89,53
persen
(Ladyelen, 2007). C. Blimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L) Tanaman blimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L) merupakan tanaman berumur panjang, yang berbentuk pohon yang tumbuh baik di daerah tropis, tinggi tanaman dapat mencapai 5-10 m. Tanaman Ini memiliki batang pendek, jumlah cabang yang banyak dan tegak. Sebagai jenis tanaman herbal Indonesia yang sudah lama digunakan sebagai bahan ramuan herbal yang dapat digunakan untuk mengobatai beberapa penyakit seperti batuk, dan beriberi selain itu juga masyarakat sering menggunakan sebagai bumbu masakan, membersihkan noda pada kain, mengkilapkan barang-barang yang terbuat dari kuningan, membersihkan tangan yang kotor.
9
I. Klasifikasi blimbing wuluh : Divisio
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Ordo
: Oxalidales
Familia
: Oxalidaceae
Genus
: Averrhoa
Spesies
: Averrhoea bilimbi L
II. Morfologi Pohon blimbing wuluh biasanya hidup dipekarangan rumah, merupakan tumbuhan menahun yang tingginya dapat mencapai 5 – 10 m. Belimbing wuluh mempunyai batang kasar berbenjol – benjol dan memiliki percabangan sedikit. Cabang muda berambut halus seperti beludru, warnanya coklat muda. Daun berupa daun majemuk menyirip ganjil dengan 21 sampai dengan 45 pasang anak daun. Anak daun bertangkai pendek, bentuknya bulat telur, ujung runcing, pangkal membundar, tepi rata, panjang 2 sampai dengan 10 cm, lebar 1 sampai dengan 3cm, warnanya hijau, permukaan bawah hijau muda. Bunga kecil – kecil berbentuk bintang, warnanya ungu kemerahan (Wijayakusuma, 2005). Blimbing wuluh merupakan buah yang
berbentuk bulat lonjong,
warnanya hijau kekuningan, dan rasanya asam. III. Kandungan Kimia Blimbing Wuluh Blimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L) memiliki kandungan kimia yaitu vitamin C, saponin, tanin, flavonoid, glukosida, asam formiat, asam sitrat, dan
10
beberapa mineral terutama kalsium dan kalium ( Mursito, 2005 ). Blimbing wuluh memiliki rasa yang khas yaitu asam, rasa asam ini berasal dari kandungan asam sitrat, vitamin C, dan asam formiat ( Ashari, 1995 ). Komposisi vitamin buah belimbing wuluh per 100 g yaitu: Riboflavin 0,026 mg, Vitamin B1 (tiamin) 0,010 mg, Niasin 0,302 mg, vitamin C 15.6 mg, Karoten 0,035 mg, dan vitamin A 0,036 mg. Sedangkan komposisi mineral per 100 g yaitu: Fosfor
11.1 mg, Kalsium 3,4 mg, dan Besi 1 mg
(Anonimus, 2005).
E. Spektrofotometer I. Pengertian Spektrofotometer merupakan alat atau instrumen yang digunakan untuk mengukur transmisi atau absorbansi dengan cara melewatkan cahaya pada panjang gelombang tertentu pada objek kaca atau kuvet. Terdapat tiga metode yang sering digunakan untuk analisis spektrofotometer, yaitu: a.
Metode Standart Tunggal Metode ini sangat praktis digunakan karena hanya menggunakan satu larutan standar yang telah diketahui konsentrasinya, kemudian absorbansi larutan standar dan sampel diukur dengan spektrofotometri. Rumus perhitungan kadar sampel:
Abs sampel Abs baku
x C standar x P sampel = ........ mg/L (ppm)
11
b.
Metode Kurva Kalibrasi metode ini dibuat suatu baku seri larutan standar dengan berbagai konsentrasi,
kemudian
absorbansi
masing
–
masing
larutan
spektrofotometer. Selanjutnya dibuat grafik antar konsentrasi dengan absorbansi yang merupakan garis lurus melewati suatu titik. A Absorbansi total Y = bX + a
C standar Cstandar = C sampel
c.
Y : Absorbansi
a : Konstanta
X : Konsentrasi
b : Koefisien
Metode Adisi Standar Metode ini dapat dipakai secara luas karena hanya terjadi sedikit kesalahan yang disebabkan oleh perbedaan kondisi lingkaran (matriks) sampel dan standar. Pada metode asidi standar ini dua atau lebih sejumlah volume tertentu dari sampel dipindahkan ke labu takar. Satu larutan
diencerkan
sampai
volume
tertentu,
selanjutnya
diukur
absorbansinya tanpa ditambah dengan zat standar, sedangkan larutan yang lain sebelum diukur absorbansinya ditambahkan terlebih dahulu dengan sejumlah tertentu larutan standar, kemudian diencerkan seperti pada larutan yang pertama.
12
II. Jenis Spektrofotometer 1.
Double Beam (berkas ganda) Spektrfotometri Spektrofotometri
jenis
tersebut
sering
dijumpai
pada
spektrofotometri yang telah memakai automatis absorbansi (A) sebagai fungsi
panjang
gelombang
(λ).
Double
beam
spektrofotometri
mempunyai dua berkas sinar sehingga dalam pengukuran absorbansi tidak perlu bergantian antara sampel dan larutan blanko, namun dapat dilakukan secara parallel. 2.
Single Beam (berkas sinar tunggal) Spektrofotometri Single beam Spektrofotometri banyak digunakan karena harganya yang cukup murah dan akurat. Single beam Spektrofotometri hanya terdiri satu berkas sinar sehingga dalam praktek pengukuran sampel, sedangkan larutan blanko atau standar harus dilakukan bergantian dengan sel yang sama.
3.
Gilford Spektrofotometri Gilford spektrofotometri banyak dipakai di laboratorium biokimia karena membaca absorbansi (A) sampai satuan 3 (spektrofotometri biasa 0,1-1,0). Gilford spektrofotometri harganya relatif lebih mahal dibanding Single beam dan Double beam.
13
III.
Komponen Spektrofotometri Komponen penting spektrofotometri yang secara skema berikut ini :
Sumber
Monokromator
Sampel
Detektor
Pengganda
Piranti baca 1.
Sumber energi cahaya yang berkesinambungan yang meliputi daerah spektrum
2.
Monokromator: yakni suatu piranti yang menghubungkan dengan pita sempit panjang gelombang dari spectrum lebar yang dipancarkan oleh sumber cahaya.
3.
Wadah untuk sampel
4.
Detektor, yang berupa transduser yang mengubah energy cahaya menjadi suatu isyarat listrik
5.
Pengganda (amplifer) dan rangkaian yang berkaitan yang membuat isyarat listrik itu memadai untuk dibaca
6.
Sistem baca yang diperagakan besarnya isyarat listrik
14
F. Metode – Metode Analisis Formalin I.
Uji Kualitatif 1.
Dengan Fenilhidrazina Ditimbang 10 gram sampel kemudian memotong kecil-kecil, dan memasukkan ke dalam labu destilat, menambahkan aquadest 100 ml kedalam labu destilat, mendestilasi dan menampung filtrat dengan menggunakan labu uku 50 ml. Mengambil 2-3 tetes hasil destilat sampel, menambahkan 2 tetes Fenilhidrazina hidroklorida, 1 tetes kalium heksasianoferat (III), dan 5 tetes HCl. Jika terjadi perubahan warna merah terang positif formalin (Farmakope Indonesia. Edisi ketiga. Tahun 1979. Hal : 259).
2.
Dengan Asam Kromatofat Mencampurkan 10 gram sampel dengan 50 ml air dengan cara menggerusnya dalam lumpang. Campuran dipindahkan ke dalam labu destilat dan diasamkan dengan H3PO4. Labu destilat dihubungkan dengan pendingin dan didestilasi. Hasil destilasi ditampung Larutan pereaksi Asam kromatofat 0,5% dalam H2SO4 60% (asam 1,8 dihidroksinaftalen 3,6 disulfonat) sebanyak 5 ml dimasukkan dalam tabung reaksi, ditambahkan 1 ml larutan hasil destilasi sambil diaduk. Tabung reaksi dimasukkan dalam penagas air yang mendidih selama 15 menit dan amati perubahan warna yang terjadi. Adanya HCHO ditunjukkan dengan adanya warna ungu terang sampai ungu tua (Wisnu Cahyadi, 2008)
15
3.
Dengan Larutan Schiff Diambil 1 ml hasil destilat dalam tabung reaksi, ditambahkan 1 ml H2SO4 pekat 1:1 lewat dinding, kemudian ditambahkan 1 ml larutan schiff,
jika
terbentuk
warna
ungu
maka
positif
formalin
(Farmakope Indonesia. Edisi ketiga. Tahun 1979. Hal : 677). II. Uji Kuantitatif 1.
Dengan Metode Asidialkalimetri Dipipet 10,0 ml hasil destilat dipindahkan ke erlenmeyer, kemudian ditambah dengan campuran 25 ml hidrogen peroksida encer P dan 50 ml natrium hidroksida 0,1 N. Kemudian dipanaskan di atas penangas air hingga pembuihan berhenti, dan dititrasi dengan asam klorida 0,1 N menggunakan indikator larutan fenolftalein P. Dilakukan penetapan blanko, dipipet 50,0 ml NaOH 0,1 N, ditambah 2-3 tetes indikator fenolftalein, dititrasi dengan HCl 0,1 N. Dimana 1 ml natrium hidroksida 0,1 N~3,003 mg HCHO (Farmakope Indonesia. Edisi ketiga.Tahun 1979. Hal : 677).
2.
Dengan Metode Spektrofotometri a.
Asam Kromatofat Dibuat larutan baku induk dari konsentrasi 1000 ppm dari formalin 37 %, kemudian diencerkan dalam labu takar 100 ml dengan aquadest sampai tanda batas, kemudian larutan tersebut dibuat larutan baku standar. Larutan pereaksi asam kromatofat 5 ml dimasukkan ke dalam tabung reaksi kemudian ditambahkan 1 ml
16
larutan standar formalin sambil diaduk tabung reaksi ditangas selam 15 menit dalam penangas air yang mendidih, angkat dan didinginkan. Penetapan kadar formalin sampel, mencampurkan 10 g sampel dengan 50 ml aquadest dengan cara menggerusnya didalam lumpang. Kemudian didestilat dan diasamkan dengan H3PO4, ditampung dengan labu ukur 50 ml. Ditambahkan 5 ml asam kromatofat. Kemudian diukur absorbansi sampel dan standar dengan panjang gelombang 560 nm dan dihitung kadar formalinnya (Wisnu Cahyadi, 2008). b.
Larutan Schiff Diambil 5,0 ml hasil destilat kemudian ditambahkan ditambahkan 1 ml H2SO4 1:1 lewat dinding, kemudian ditambah 1,0 ml larutan schiff dan dibaca dengan spektrofotometri. Dibuat juga blanko serta baku seri. Dengan dicari panjang gelombang optimum, lama waktu kestabilan pada spektrofotometer, dan kurva baku standar formalin (Farmakope Indonesia. Edisi ketiga. Tahun 1979. Hal : 677).