BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Sunat Perempuan 1. Pengertian Sunat Perempuan Banyak konsep yang digunakan untuk menjelaskan tentang sunat perempuan. Dalam Islam khitan atau sunat berasal dari bahasa arab “Al-khitan” yang merupakan isim masdar dari kata kerja “Khatana” yang berarti memotong. Khitan pada perempuan dilakukan dengan cara memotong bagian atas (klentit) dari kemaluan (faraj) (Jendrius, dkk.2005. Hal 3). Khitan perempuan adalah memotong sedikit kulit labia minora atau preputium clitoridis di atas uretra di farji atau kemaluan. Kata lain yang sering digunakan adalah sunat dan istilah lain yang kurang dikenal yaitu khifad yang berasal dari kata khafd , istilah ini khusus untuk khitan perempuan (Gani, 2007. ¶ 3). Secara internasional sunat perempuan dikenal dengan istilah female genital cutting (FGC) atau genital mutilation. Genital cutting adalah pemotongan alat kelamin sedangkan genital mutilation identik dengan perusakan alat kelamin. FGC merupakan segala prosedur menghilangkan sebagian atau seluruh bagian alat kelamin luar perempuan atau perlukaan organ genital perempuan baik karena didasari oleh alasan kebudayaan atau alasan nonmedis lainnya (Juli, 2006) Aide Medicale Internationale, hal 39.
Universitas Sumatera Utara
2. Tipe-tipe Sunat Perempuan WHO mengklasifikasikan bentuk FGC dalam 4 tipe, yaitu : a)
Tipe I : Clitoridotomy, yaitu eksisi dari permukaan (prepuce) klitoris, dengan atau tanpa eksisi sebagian atau seluruh klitoris. Dikenal juga dengan istilah “hoodectomy”.
b)
Tipe II : Clitoridectomy, yaitu eksisi sebagian atau total dari labia minora. Banyak dilakukan di Negara-negara bagian Afrika Sahara, Afrika Timur, Mesir, Sudan, dan Peninsula.
c)
Tipe III: Infibulasi/Pharaonic Circumcision/Khitan ala Firaun, yaitu eksisi sebagian atau seluruh bagian genitalia eksterna dan penjahitan untuk menyempitkan mulut vulva. Penyempitan vulva dilakukan dengan hanya menyisakan lubang sebesar diameter pensil, agar darah saat menstruasi dan urine tetap bisa keluar.
d)
Tipe IV: Tidak terklarifikasi, termasuk di sini adalah menusuk dengan jarum baik di permukaan saja ataupun sampai menembus, atau insisi klitoris dan atau labia; meregangkan (stretching) klitoris dan atau vagina; kauterisasi klitoris dan jaringan sekitarnya; menggores jaringan sekitar introitus vagina (angurya cuts) atau memotong vagina (gishiri cut), memasukkan benda korosif atau tumbuhtumbuhan agar vagina mengeluarkan darah, menipis, dan menyempit. Tipe I dan III adalah tipe yang paling sering dilakukan di berbagai negara. Di Indonesia, berdasarkan penelitian Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM di Madura dan Yogyakarta 2002, prosedur yang paling sering dilakukan adalah tipe II dan tindakan yang sering dilakukan oleh tenaga medis adalah tipe IV (Juli, 2006) Aide Medicale Internationale, hal 39.
Universitas Sumatera Utara
Prosedur penyunatan yang umum dilakukan dalam praktek sunat perempuan di antaranya: a.
Memotong sedikit puncak klitoris
b.
Mencongkel atau melukai klitoris
c.
Mengorek lender atau selaput kulit klitoris
d.
Menusuk dengan jarum atau ujung pisau untuk mengeluarkan setetes darah (Jendrius, 2005).
3. Pelaksanaan Sunat Perempuan Pelaksaan sunat perempuan sangat bervariasi, mulai dilakukan oleh tenaga medis (perawat, bidan, maupun dokter), dukun bayi dan dukun/tukang sunat dengan menggunakan alat-alat tradisional seperti pisau, sembilu, bambu, kaca dan kuku, hingga alat modern seperti gunting dan skapula, pelaksanaannya dengan atau tanpa anastesi. Usia pelaksanaannya juga bervariasi mulai dari neonatus, anak usia 6-10 tahun, remaja, hingga dewasa. Masyarakat di Indonesia melakukan sunat perempuan pada usia anak 0- 18 tahun, tergantung budaya setempat. Namun pada umumnya sunat perempuan dilakukan pada bayi setelah dilahirkan. Di Jawa dan Madura, sunat perempuan 70% dilaksanakan pada anak usia kurang dari satu tahun (Juliansyah, 2009). 4. Alasan Pelaksanaan Sunat Perempuan Sunat perempuan merupakan perpaduan budaya dan tradisi yang timbul sejak dahulu dari berbagai nilai, khususnya nilai agama dan nilai budaya. Alasan- alasan yang menyebabkan terpelihara dan tetap berlangsungnya sunat perempuan yaitu agama, adat, mengurangi hasrat seksual, kesehatan, keindahan dan kesuburan. Secara umum
Universitas Sumatera Utara
perempuan yang masih memelihara praktek sunat pada perempuan adalah perempuan yang hidup dalam masyarakat tradisional di wilayah pedalaman (Coomaraswamy, 2000). WHO (Dalam Juliansyah, 2009) membedakan alasan pelaksanan sunat perempuan menjadi lima kelompok, yaitu: a) Psikoseksual Pemotongan klitoris diharapkan akan mengurangi libido pada perempuan, mengurangi atau menghentikan masturbasi, menjaga kesucian dan keperawanan sebelum menikah, kesetiaan sebagai istri, dan meningkatkan kepuasan seksual bagi laki- laki. b) Sosiologi Melanjutkan tradisi, menghilangkan hambatan dan kesialan bawaan, sama peralihan pubertas atau wanita dewasa, dan lebih terhormat. c) Hygiene Organ genitalia eksterna dianggap kotor dan tidak bagus bentuknya, sunat dilakukan untuk meningkatkan kebersihan dan keindahan. d) Mitos Meningkatkan kesuburan dan daya tahan anak e) Agama Dianggap sebagai perintah agama, agar ibadahnya lebih diterima.
5. Resiko Sunat Perempuan Menurut Koblinsky (1997) Resiko yang timbul akibat sirkumsisi pada wanita dapat berupa perdarahan, tetanus, infeksi yang disebabkan oleh alat yang digunakan tidak steril, dan syok karena rasa nyeri saat dilakukan tindakan tanpa anastesi.
Universitas Sumatera Utara
Dalam pandangan medis kegiatan sunat pada perempuan dapat membahayakan, karena menyangkut menghilangkan alat vital pada perempuan. Dari tindakan sunat perempuan dapat mengakibatkan komplikasi yang bersifat jangka panjang pada perempuan seperti: Kesulitan menstruasi, infeksi saluran kemih kronis, kemandulan, disfungsi seksual, kesulitan saat hamil dan persalinan, dan meningkatkan resiko tertular HIV. Selain berdampak secara medis, sunat perempuan juga dapat menimbulkan dampak yang bersifat psikoseksual, psikologis, dan sosial (Gani, 2007). Ditinjau dari segi medis dan kesehatan, sunat perempuan tidak ada manfaat dan kegunaan. Berbeda dengan dengan sunat yang dilakukan pada laki- laki yaitu berguna untuk menjaga kebersihan dari alat kelamin luar (Juli, 2006) Aide Medicale Internationale, hal 39. Sehubungan dengan masalah tersebut, sebaiknya dilakukan program edukasi tentang
sunat
pada
anak
perempuan
di
masyarakat.
Namun,
tentu
harus
mempertimbangkan faktor budaya dari masyarakat setempat ( Taufiq, 2010.¶ 5).
B. Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Sunat Perempuan 1. Psikoseksual Seksualitas dalam arti yang luas ialah semua aspek badaniah, psikologik dan kebudayaan yang berhubungan langsung dengan seks dan hubungan seks manusia (Rosidi dkk, 2008). Klitoris adalah organ yang sangat sensitif seperti ujung zakar. Organ ini juga bisa ereksi, mampu meningkatkan libido dan nafsu birahi. Khitan yang dilakukan pada perempuan diyakini dapat mengendalikan gejolak nafsu seksual, terutama pada masa
Universitas Sumatera Utara
pubertas yang merupakan fase usia paling berbahaya dalam kehidupan anak gadis (Hindi, 2008). Sunat pada perempuan berawal dari keinginan laki- laki untuk mengendalikan seksual wanita. Dalam tradisi masyarakat, laki- laki tidak akan menikahi wanita yang belum disunat dan menganggap wanita tersebut akan gemar bersetubuh dengan siapa saja, tidak bersih dan tidak layak dipercaya secara seksual (Koblinsky, 1997). Female Genital Mutilation (FGM) dipercaya dapat mengurangi hasrat sksual seorang peempuan sehingga dapat mengurangi terjadinya praktek seksual diluar nikah. Dalam masyarakat yang mempraktekkan sunat perempuan, seorang perempuan yang tidak disunat tidak akan mendapatkan jodoh dan kesetiaan perempuan yang tidak disunat sangat diragukan oleh masyarakat (Ana, 2009). Ada beberapa anggapan yang dipercayai masyarakat tentang manfaat khitan perempuan yaitu: Mengurangi dan menghilangkan jaringan sensitif dibagian luar kelamin terutama klitoris agar dapat menahan keinginan seksualitas perempuan, memelihara kemurnian dan keperawanan sebelum menikah, kesetiaaan di dalam pernikahan, dan menambah kenikmatan seksual laki- laki. Namun, manfaat tersebut tidak didasari fakta ilmiah ( Gani, 2007). Perilaku seksualitas yang normal ialah yang dapat menyesuaikan diri bukan saja dengan tuntutan masyarakat, tetapi dengan kebutuhan individu mengenai kebahagiaan dan pertumbuhan yaitu perwujudan diri sendiri atau peningkatan kemampuan individu untuk mengembangkan kepribadian menjadi lebih baik (Rosidi dkk, 2008). Menurut Ilyas (2009) dorongan seksual seorang perempuan tidak ditentukan oleh sunat atau tidaknya seorang perempuan, tetapi karena faktor- faktor psikologis dan hormonal.
Universitas Sumatera Utara
2. Sosiologi Allan Jahnson (Herlinawati, 2010) mengatakan Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari kehidupan dan perilaku,terutama dalam kaitannya dengan suatu sistem sosial dan bagai mana sisten tersebut mempengaruhi individu dan bagai mana pula orang yang terlibat didalamnya mempengaruhi sistem tersebut. Secara sosiologis khitan pada perempuan merupakan bagian dari identifikasi warisan budaya, tahapan anak perempuan memasuki masa kedewasaan, integrasi sosial dan memeliharaan kohesi sosial (Gani, 2007 hal.4). Budaya dan tradisi merupakan alasan utama dilakukannya sunat perempuan. Sunat menentukan siapa saja yang dapat dianggap sebagai bagian dari masyarakat, sehingga dianggap sebagai tahap inisiasi bagi perempuan untuk memasuki tahap dewasa. Dalam masyarakat yang mempraktekkan sunat perempuan tindakan sunat dianggap sebagai hal yang biasa dan seorang perempuan tidak akan dianggap dewasa sebelum melakukan sunat (Heitman, 2003). Saadawi (2001) berpendapat Seorang gadis yang tidak disunat akan menjadi bahan gunjingan oleh masyarakat, mendapat anggapan negative sebagai perempuan yang memiliki tingkah laku buruk, dan akan mengejar laki- laki. Bila datang saatnya menikah, tidak ada laki- laki yang datang untuk meminang Saat ini
khitan perempuan sebagai suatu kegitan yang menjadi tradisi di
masyarakat tentunya harus memiliki dasar yang kuat, bukan sekedar tradisi masa lalu. Sebagian masyarakat sejak jaman Nabi Ibrahim hingga saat ini masih melakukan tradisi sunat perempuan dengan berlandaskan keagamaan dan taqwa kepada sang khaliq ( Gani, 2007).
Universitas Sumatera Utara
3. Hygiene Menurut kamus keperawatan hygiene merupakan ilmu pengetahuan mengenai cara-cara mempertahankan dan melestarikan kesehatan, khususnya melalui upaya menggalakkan kebersihan (Hinchuff, 1999). Alasan kebersihan, kesehatan dan keindahan merupakan dalih pembenaran yang diakui oleh masyarakat untuk melakukan sunat perempuan. Pemotongan klitoris dikaitkan dengan tindakan penyucian dan pembersihan oleh masyarakat yang mempraktekkan sunat perempuan. Seorang perempuan yang tidak disunat dianggap tidak bersih dan tidak diperkenankan menyentuh makanan atau air ( Lubis, 2006. Hal 499). Dalam beberapa budaya menganggap alat kelamin perempuan yang tidak disunat di pandang jelek dan najis. Sunat diyakini sebagai prosedur membersihkan alat kelamin perempuan dan meningkatkan kondisi estetikanya. Sunat perempuan juga menjadi alasan kesehatan, kebersihan, dan keindahan alat kelamin perempuan. Sunat perempuan melahirkan kebersihan dan kesucian. Kebersihan dan kesucian di balik sunat, mencegah menumpuknya cairan lemak yang menjadi penyebab peradangan pada daerah sensitive, uretra dan pada sistem reproduksi, juga dapat menyebabkan timbulnya penyakit- penyakit mematikan (Hindi, 2008). 4. Mitos Masalah lain dalam sunat perempuan yang perlu mendapat perhatian adalah mitos- mitos yang mendasari pelaksaan sunat perempuan. Masyarakat menyakini bahwa bila anak perempuan yang tidak disunat kan menjadi nakal dan genit. Mitos lain yang berkembang dimasyrakat yaitu sunat perempuan akan menjadikan perempuan lebih
Universitas Sumatera Utara
feminin, mengontrol kegiatan seksual perempuan dan menjadikan perempuan selalu tunduk kepada laki-laki (Aida, 2009). Terdapat pula beberapa mitos yang menguatkan keberadaan sunat perempuan. Mitos tersebut menempatkan perempuan sebagai makhluk nomor dua yang yang tidak pantas mengapresiasikan kebutuhan seksualnya, perempuan hanya sebagai pelengkap kepuasan seksual laki- laki. Untuk alsan tersebut praktek sunat perempuan yang memotong organ seks yang paling sensitive pada perempuan dibenarkan ( Prafitri, 2008 hal. 78). Tindakan Famale Genital Mutilation (FGM) atau sunat perempuan dipromosikan dapat meningkatkan kesehatan perempuan serta anak yang dilahirkannya, dikatakan bahwa perempuan yang disunat akan lebih subur dan mudah melahirkan. Pendapat ini merupakan mitos yang dipercaya masyarakat dan tidak memiliki bukti medis (Ana, 2009). 5. Agama Dalam Islam khitan perempuan lazim menggunakan bahasa khitan yang diambil dari kata khatana yang berarti memotong, maksudnya adalah memotong kulit yang menutup bagian ujung kemaluan dengan tujuan bersih dari najis atau disebut dengan thahur yang artinya membersihkan ( Umar, 2010. Hal. 51). Masyarakat mengganggap bahwa sunat pada repempuan adalah bagian dari ajaran Islam, sama seperti laki- laki. Dalam Al-Quran tidak ada ketegasan hukum mengenai sunat perempuan, tetapi terdapat dalam hadits. Beberapa kitab hadits dan fiqih memuat hadits- hadits yang berkaitan dengan sunat perempuan, diantara lain yang diriwayatkan oleh Ahmad Bin Hanbal: “Khitan itu dianjurkan untuk laki- laki (sunnah), dan kehormatan bagi perempuan(makromah)”. Hadits lain yaitu dari Abu Daud
Universitas Sumatera Utara
meriwayatkan: “Potong sedikit kulit atas dan jangan potong terlalu dalam agar wajahnya lebih bercahaya dan lebih disukai oleh suaminya. Namun hadits- hadits tersebut sanadnya tidak ada yang mencapai derajat shahih (Gani, 2007) Dalam analisis dalil tidak ada hadits yang shahih sebagai dasar hukum sunat pada perempuan. Ulama- ulama mazhab berisikeras menyatakan bahwa sunat pada perempuan adalah perbuatan mulia untuk tidak mengatakan wajib ( YPKP, 2004). Beberapa ulama lain berpendapat, bahwa khitan perempuan sebagai kehormatan. Artinya, sebagai perbuatan mulia yang sangat baik untuk dikerjakan dan meninggalkannya sama dengan mengundang penyakit dan keburukan. Mengikuti ajaran Islam dalam perkara keci maupun besar adalah satu- satunya jalan untuk mendapat keselamatan dari kehinaan dunia dan azab akhirat (Hindi, 2010). Landasan agama sebagai alasan pokok mengapa tradisi khitan pada perempuan sampai sekarang masih dilaksanakan oleh sebagian masyarakat, di antaranya adalah adanya kewajiban dalam Islam walaupun sejarah menemukan sunat perempuan sudah ada sebelum adanya Islam dan sebagai bagian dari proses mengislamkan, jika tidak dikhitan tidak diperkenankan membaca Al-Quran dan melakukan shalat lima waktu (Gani, 2007. Hal 4). Atas nama agama dan kemashalatan, sunat pada perempuan seharusnya tidak lagi dilanjutkan. Karena tidak memiliki dasar hadist yang shahih, alasan medis yang kuat dan tidak sesuai dengan rasionalitis kesetaraan relasi laki- laki dan perempuan. Sunat perempuan hanya diperbolehkan jika mendatangkan kemashalatan, bila tidak sama saja dengan melukai anggota tubuh perempuan (YPKP, 2004. Hal. 26).
Universitas Sumatera Utara