BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Produk Domestik Bruto (PDB) / Gross Domestic Product (GDP) Produk Domestik Bruto (PDB) atau Gross Domestic Product (GDP) diyakini sebagai indikator ekonomi terbaik dalam menilai perkembangan ekonomi suatu negara. Perhitungan pendapatan nasional ini mempunyai ukuran makro utama tentang kondisi suatu negara (Mankiw, 2009) dan Tong (dikutip dalam RCRS, 2010) berpendapat bahwa indikator tersebut akan dapat tercapai apabila negara tersebut mampu memproduksi bahan yang berkualitas dan bernilai jual . Pada umumnya perbandingan kondisi antar negara dapat dilihat dari pendapatan nasionalnya sebagai gambaran. Dalam menentukan apakah suatu negara berada dalam kelompok negara maju atau berkembang, maka Bank Dunia (The World Bank) melakukannya melalui pengelompokan besarnya PDB, dan PDB suatu negara sama dengan total pengeluaran atas barang dan jasa dalam perekonomian (Todaro & Smith, 2008). Todaro dan Smith (2008) lebih lanjut mengatakan bahwa PDB adalah indikator yang mengukur jumlah output final barang (goods) dan jasa (services) yang dihasilkan oleh perekonomian suatu negara, dalam wilayah negara tersebut, baik oleh penduduk (warga negara) sendiri maupun bukan penduduk (misalnya, perusahaan asing), tanpa memandang apakah produksi output tersebut nantinya akan dialokasikan ke pasar domestik atau luar negeri. Dengan demikian warga negara yang bekerja di negara lain, pendapatannya tidak dimasukan ke dalam PDB. Sebagai gambaran PDB Indonesia baik oleh warga negara Indonesia (WNI)
maupun warga negara asing (WNA) yang ada di Indonesia tetapi tidak diikutisertakan produk WNI di luar negeri (Sagir, 2009). Dan Mankiw (2009) mendefinisikan PDB sebagai nilai pasar semua barang-barang dan jasa-jasa yang diproduksi dalam perekonomian selama kurun waktu tertentu. Untuk menghitung PDB dapat berdasarkan dua harga yang telah ditetapkan pasar (Mankiw, 2009), yaitu: 1. PDB Harga Berlaku PDB pada harga berlaku (nominal GDP) adalah nilai barang-barang dan jasa
yang
dihasilkan
oleh
suatu
negara
dalam
periode
tertentu
menurut/berdasarkan harga yang berlaku pada periode tersebut. 2. PDB Harga Konstan PDB pada harga konstan (real GDP) adalah nilai barang-barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu negara dalam periode tertentu, berdasarkan harga yang berlaku pada suatu tahun tertentu yang dipakai dasar (harga dasar tahunan/ base year prices) untuk dipergunakan seterusnya dalam menilai barang-barang dan jasa yang dihasilkan pada periode/tahun berikutnya. Pendapatan nasional pada harga konstan dapat diperoleh melalui: PDB harga berlaku PDB harga konstan =
x 100 Indeks harga
Indeks harga yang digunakan untuk mendeflasi PDB harga berlaku dimana Implicit Price Deflator. PDB harga berlaku Implicit Price Deflator =
x 100 PDB harga konstan
Para ekonom dan para pembuat keputusan tidak hanya peduli pada output barang dan jasa total, tetapi juga alokasi dari output ini di antara berbagai alternatif. Pos pendapatan nasional membagi PDB menjadi empat kelompok pengeluaran (Mankiw, 2009): 1. Konsumsi (C) 2. Investasi (I) 3. Pengeluaran Pemerintah (G) 4. Net ekspor (NX) Untuk menghitung angka-angka PDB ada tiga pendekatan yang dapat digunakan, yaitu (BPS, 2010): 1. Pendekatan Produksi (Production Approach) PDB adalah jumlah nilai tambah atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di wilayah suatu negara dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). Unit-unit produksi tersebut dalam penyajian ini dikelompokkan menjadi 9 lapangan usaha (sektor) yaitu: 1) Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan. 2) Pertambangan dan Penggalian. 3) Industri Pengolahan. 4) Listrik, Gas dan Air Bersih. 5) Bangunan. 6) Perdagangan, Hotel dan Restoran. 7) Pengangkutan dan Komunikasi. 8) Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan. 9) Jasa-jasa termasuk jasa pelayanan pemerintah.
2. Pendekatan Pendapatan (Income Approach) PDB merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi di suatu negara dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). Balas jasa faktor produksi yang dimaksud adalah upah dan gaji, sewa tanah, bunga modal dan keuntungan, semuanya sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak langsung lainnya. Dalam definisi ini PDB mencakup juga penyusutan dan pajak tidak langsung neto (pajak tak langsung dikurangi subsidi). 3. Pendekatan Pengeluaran (Expenditure Approach) PDB adalah semua komponen permintaan akhir yang terdiri dari: 1) Pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta nirlaba 2) Konsumsi pemerintah. 3) Pembentukan modal tetap domestik bruto. 4) Perubahan stok. 5) Ekspor neto (ekspor neto merupakan ekspor dikurangi impor). Secara konsep ketiga pendekatan tersebut akan menghasilkan angka yang sama. Jadi, jumlah pengeluaran akan sama dengan jumlah barang dan jasa akhir yang dihasilkan dan harus sama dengan jumlah pendapatan untuk faktor-faktor produksi. PDB yang dihasilkan dengan cara ini disebut sebagai PDB yang dihasilkan atas dasar harga pasar, karena di dalamnya sudah dicakup pajak tak langsung neto.
2. Penanaman Modal Asing Langsung (PMAL) / Foreign Direct Investment (FDI) 2.1.
Arti Penting PMAL Salah satu ciri negara berkembang adalah “modal kurang” atau tabungan
yang rendah dan investasi yang rendah. Rata-rata investasi kotornya hanya mencapai 5% sampai dengan 6% dari GNP, padahal untuk negara maju berkisar antara 25% sampai dengan 20%. Laju pertumbuhan yang rendah ini sudah barang tentu tidak cukup untuk menghadapi pertumbuhan penduduk mencapai 2-2,5% per tahun, apalagi untuk investasi ke dalam proyek-proyek baru. Upaya memobilisasi tabungan domestik melalui perpajakan dan pinjaman masyarakat tidak cukup untuk meningkatkan laju pertumbuhan modal, malahan langkah tersebut menyebabkan merosotnya standar daya konsumsi dan daya beli masyarakat, sehingga justru membuat masyarakat menderita. Dalam hal ini pilihan alternatif PMAL dapat membantu kekurangan tabungan domestik melalui peralatan modal dan bahan mentah, sehingga menaikkan laju tabungan marjinal dan laju pembentukan modal (Todaro & Smith, 2008). Pemanfaatan modal asing tidak hanya akan mengatasi masalah keterbelakangan teknologi dan kelangkaan modal, namun lebih jauh dari itu akan membawa serta ketrampilan teknik, tenaga ahli, pengalaman organisasi, informasi pasar, teknik produksi yang maju serta pembaharuan dan diversifikasi produk. Keterbelakangan teknologi merupakan ciri lain dari negara berkembang. Keterbelakangan teknologi ini terlihat pada biaya rata-rata yang tinggi serta produktivitas modal dan buruh yang rendah, sebagai akibat rendahnya kualitas
buruh dan peralatan modal. Keterbelakangan ini terlihat pula pada rasio output modal yang tinggi. Penggunaan modal asing oleh negara berkembang dapat pula membantu pembangunan-pembangunan yang sekaligus mengurangi kekurangan modal overhead ekonomi yang sangat penting untuk lebih mempermudah investasi. Seperti proyek jalan raya, sungai, bendungan, jalan kereta api ataupun infrastruktur yang lain. Karena merupakan beban yang berat bagi negara berkembang untuk membangun semua itu tanpa dukungan modal asing (Kuncoro, 2010). Demikian menurut Todaro dan Smith (2008), negara berkembang tidak sanggup mengawali industri dasar dan industri kunci secara sendiri-sendiri. Sekali lagi melalui modal asinglah mereka dapat mendirikan pabrik baja, alat-alat mesin, pabrik elektronika berat dan kimia, dan lain-lain. Lebih dari itu, penggunaan modal asing pada suatu industri akan dapat mendorong perusahaan setempat dengan mengurangi biaya pada industri-industri lain yang dapat mengarah pada perluasan mata rantai industri terkait lainnya. Dalam hal ini modal asing akan membantu mengindustrialisasikannya. Selanjutnya dikatakan pula bahwa perusahaan swasta di negara berkembang kurang berani melakukan usaha yang mengandung resiko, seperti penggarapan sumber daya alam yang belum dimanfaatkan dan penggarapan daerah-daerah baru. Modal asing biasanya lebih berani menanggung semua resiko dan kerugian yang timbul pada tahap perintisan. Dengan demikian, modal asing membuka daerah-daerah baru dan membantu melipatgandakan sumber alam dan menghilangkan ketidakseimbangan kawasan.
Modal asing dapat membantu menekan laju inflasi sebagai akibat kesenjangan antara penawaran dan permintaan. Di samping itu keuntungan lain dari pemanfaatan modal asing adalah dapat membantu mengatasi kesulitan neraca pembayaran yang dialami oleh negara berkembang akibat tidak serasinya antara ekspor dan impor. Melalui modal asing negara berkembang dapat memenuhi semua keperluan impornya pada saat yang sama menghindarkan kesulitan dalam neraca perdagangan dan sekaligus menambah devisa untuk membayar utang luar negeri. Menurut Kurniati et al (2007) Penanaman Modal Asing Langsung (PMAL) atau Foreign Direct Investment (FDI) juga didefinisikan sebagai investasi jangka panjang yang dilakukan secara langsung oleh investor asing di dalam suatu bidang usaha warga negara domestik. Investasi di dalam bentuk PMAL merupakan investasi yang relatif stabil di dalam jangka panjang. Hal ini akan membantu dalam pemulihan ekonomi yang membutuhkan banyak dana dan penyerapan tenaga kerja yang cukup luas. Selain itu, masuknya PMAL menunjukkan kepercayaan investor asing untuk melakukan kegiatan ekonominya di Indonesia sehingga mendorong capital inflow (arus modal masuk). PMAL yang dilakukan oleh negara-negara di dunia pada hakekatnya berawal dari pemikiran sebagai berikut (Rashmi, dikutip dalam Kurniati et al, 2007): 1. Ketidaksempurnaan pasar Hymer (1976), mengemukakan bahwa PMAL merupakan efek langsung dari pasar yang tidak sempurna.
2. Teori internalisasi Rugman (1986) berpendapat bahwa PMAL digunakan oleh perusahaanperusahaan multinasional untuk mengambil keuntungan dari efisiensi internal host country. 3. Pendekatan eklektik Dunning (1988) berpendapat bahwa PMAL digunakan untuk mengambil keuntungan ownership, internalisation, dan locational advantages. Terdapat beberapa alasan mengapa investor menanamkan modalnya di luar negeri, selain untuk mencari pasar dan ekspektasi keuntungan yang lebih besar. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh IMF, investasi-investasi asing yang dilakukan oleh 20 perusahaan multinasional terbesar di Amerika Serikat disebabkan oleh motivasi untuk mencari return yang lebih besar (Deutsche Bundesbank, dikutip dalam Kurniati et al, 2007). 2.2. Jenis-Jenis PMAL Kjetil dan Kind membagi beberapa jenis PMAL sebagai berikut (Kurniati et al, 2007): 1. PMAL vertikal PMAL yang dilakukan secara vertikal menyangkut desentralisasi secara geografis dari aliran produksi perusahaan. Perusahaan akan melakukan kegiatan produksi di negara-negara yang memiliki biaya tenaga kerja yang rendah, kemudian hasil produksi di negara tersebut akan disalurkan kembali ke negara induk. Misalnya suatu produk yang proses produksinya capital-intensive akan memindahkan proses produksinya ke negara-negara yang kaya akan modal.
2. PMAL horizontal PMAL yang dilakukan secara horizontal akan memproduksi barang yang sama di beberapa negara. PMAL jenis ini memiliki motivasi untuk mencari pasar yang baru. Keuntungan dari PMAL dengan jenis ini adalah efisiensi di dalam biaya transportasi, karena tempat produksi yang ada menjadi lebih dekat dengan konsumen. PMAL juga dapat dibedakan menjadi jenis greenfield dan akuisisi. PMAL dengan jenis greenfield akan membangun unit produksi yang baru, sementara PMAL dengan tipe akuisisi akan membeli sebagian kepemilikan dari perusahaan yang sudah ada sebelumnya. Kjetil dan Kind juga membedakan PMAL berdasarkan motivasi yang melatarbelakangi investor asing, yaitu: 2. Resource seeking Penanaman modal atau investasi dilakukan untuk mencari faktor-faktor produksi yang lebih efisien di negara lain dibandingkan dengan menggunakan faktor produksi di dalam negeri yang lebih mahal. 3. Market seeking Investasi yang dilakukan dengan tujuan mencari pasar yang baru atau mempertahankan pasar yang lama. Strategi ini dapat juga dilakukan sebagai strategi pertahanan. Investasi dengan latar belakang untuk mencari pasar direalisasikan di dalam bentuk merger dan akuisisi.
4. Efficiency seeking Investasi dimana perusahaan berusaha untuk meningkatkan efisiensinya dengan mengambil keuntungan dari economic scale dan scope. Tipe PMAL ini banyak digunakan di negara-negara berkembang. Pilihan investor asing untuk menanamkan investasinya dalam bentuk PMAL dibanding modal lainnya di suatu negara dipengaruhi oleh kondisi dari negara penerima PMAL (pull factor) yang dapat terdiri dari kondisi pasar, sumber daya, daya saing, kebijakan yang terkait dengan perdagangan dan industri serta kebijakan PMAL itu sendiri. Selain itu juga kondisi dan strategi dari penanam modal asing (push factors) yang berinvestasi. Minat penanam modal atau investor asing untuk menanamkan dana dalam bentuk PMAL menurut Dunning (dikutip dalam Kurniati et al, 2007) dapat didasarkan oleh karakteristik utama, yaitu: 1. Ownership advantages Pada dasarnya ownership advantages adalah keunggulan yang dimiliki oleh perusahaan tersebut, yang menjadikan perusahaan tersebut maju atau menonjol pada sektor-sektor tertentu. Keunggulan tersebut yang dimiliki secara internal oleh perusahaan tersebut, dapat dimanfaatkan baik di dalam negeri maupun di luar negeri, biasanya disebut firm specific asset yang terdiri dari tangible assets seperti barang modal dan mesin, serta intangible assets seperti knowledge, organizational & entrepreneurial skill, access to market, teknologi. 2. Location advantage Location advantage merupakan keunggulan yang dimiliki di daerah tersebut dan hanya dapat digunakan di daerah tersebut. Namun pemakaian
keunggulan tersebut terbuka untuk semua perusahaan, seperti tenaga kerja yang murah, sumber-sumber alam yang murah, iklim yang menunjang. 3. Internalization advantages Internalization advantages adalah tindakan untuk menghindar dari adanya disadvantages ataupun kapitalisasi sumber-sumber daya alam yang disebabkan sistem harga di pasar dan sistem kebijakan pemerintah. Internalisasi aktivitas terhadap sistem harga diberlakukan bila terjadi ketidaksempurnaan pasar yang disebabkan karena adanya hambatan untuk berkompetisi atau tingginya biaya transaksi, sehingga aktivitas ekonomi tidak berjalan dengan efisien. Selain itu juga karena tidak tersedianya informasi mengenai barang dan jasa yang akan dipasarkan, atau bila informasi itu memiliki biaya. Sementara itu internalisasi aktivitas terhadap kebijakan pemerintah dilakukan bila terjadi ketimpangan dalam alokasi sumber-sumber daya alam. Intervensi pemerintah sering dilakukan untuk melindungi suatu produk yang menggunakan sumber alam tertentu. Sektor publik berperan sangat penting dalam menciptakan dan memperkuat
benefit
lokasi
dengan
menyediakan
barang/jasa,
mendidik
keterampilan tenaga kerja, penyediaan infrastruktur serta menjalankan kebijakan. Sebaliknya sektor publik yang tidak efisien akan cenderung men-discourage investor. Sebagai contoh, Singapura yang memiliki infrastruktur yang sangat baik dan birokrasi yang efisien tetap menjadi lokasi yang menarik investor meskipun tingkat biaya di Singapura telah tinggi dan cenderung meningkat. Insentif yang banyak digunakan untuk menarik investor adalah dengan kebijakan perpajakan (misalnya pemberian tax privileges kepada investor asing yang berminat
menanamkan modalnya pada industri-industri yang memiliki spillover effect yang tinggi bagi perekonomian). Terkait dengan kebijakan publik, perusahaan asing tidak hanya semata mencari kebijakan yang business-friendly. Investasi dalam bentuk PMAL merupakan exposure jangka panjang perusahaan asing tersebut terhadap kondisi ekonomi dan politik dari host country, karenanya investor mementingkan komitmen pemerintah sehingga mereka yakin bahwa investasi yang mereka tanamkan aman dari expropriation, profit dapat ditransfer ke luar negeri, potential dispute antara pemerintah host country dan perusahaan multinational dapat diselesaikan dengan cara yang fair dan efisien. Dalam kaitan ini negara yang ekonomi, politik dan sosialnya stabil, memiliki kebijakan perdagangan bebas, serta kedekatan geografis dengan ekonomi yang besar dan sedang bertumbuh akan lebih menarik bagi investor asing (Kurniati et al, 2007). Pendekatan Eclectic Approach to International Production yang dibuat oleh Dunning pada 1988, dimana PMAL timbul didorong oleh alasan ownership, internalization dan locational advantages. Dalam hal ini pendekatan ekletik dimaksud disesuaikan dengan perubahan global yang terjadi dimana aliran PMAL dari negara industri maju lebih mempertimbangkan kebijakan pemerintah yang transparan serta dukungan infrastruktur. Sementara itu, aliran PMAL dari negara berkembang yang besar masih tergantung pada determinan tradisional seperti market size, tingkat pendapatan, labor skills, infrastruktur dan sumber-sumber lainnya yang dapat memfasilitasi spesialisasi produksi yang efisien, serta stabilitas politik dan ekonomi yang terjaga. Di samping itu insentif untuk investasi dalam bentuk kebijakan selektif pemerintah (misalnya insentif fiskal dan penghapusan hambatan untuk masuk) diperkirakan dapat mempengaruhi PMAL secara
langsung maupun tidak langsung. Faktor-faktor yang dapat menjadi determinan PMAL menurut Dunning diringkas dalam tabel 2.1 (Kurniati et al, 2007). Tabel 2.1: Faktor-faktor yang Mempengaruhi PMAL
Sumber: Kurniati et al (2007) 3. Hubungan Positif antara PMAL dan Pertumbuhan Ekonomi Tambunan (2007) berpendapat bahwa PMAL berpengaruh positif terhadap pembangunan ekonomi atau pertumbuhan ekonomi pada khususnya di negara tuan rumah lewat beberapa jalur (gambar 2.1). Pertama, lewat pembangunan pabrikpabrik baru (PP) yang berarti juga penambahan output atau produk domestik bruto (PDB), total ekspor (X) dan kesempatan kerja (KK). Ini adalah suatu dampak langsung. Pertumbuhan X berarti penambahan cadangan devisa (CD) yang selanjutnya peningkatan kemampuan dari negara penerima untuk membayar utang luar negeri (ULN) dan impor (M).
Kedua, masih dari sisi suplai, namun sifatnya tidak langsung, adalah sebagai berikut: adanya PP baru berarti ada penambahan permintaan di dalam negeri terhadap barang-barang modal, barang-barang setengah jadi, bahan baku dan input-input lainnya. Jika permintaan antara ini sepenuhnya dipenuhi oleh sektor-sektor lain (SSL) di dalam negeri (tidak ada yang diimpor), maka dengan sendirinya efek positif dari keberadaan atau kegiatan produksi di pabrik-pabrik baru tersebut sepenuhnya dinikmati oleh sektor-sektor domestik lainnya; jadi output di SSL tersebut mengalami pertumbuhan. Ini berarti telah terjadi suatu efek penggandaan dari keberadaan PMAL terhadap output agregat di negara penerima. Dalam kata lain, semakin besar komponen M dari sebuah proyek PMAL, atau semakin besar ”kebocoran” dari keterkaitan produksi antara PMAL dengan ekonomi domestik, semakin kecil efek penggandaan tersebut. Gbr. 2.1: Efek Positif dari PMAL terhadap Pertumbuhan Ekonomi Lewat Beberapa Jalur
Sumber: Tambunan (2007)
Ketiga, peningkatan kesempatan kerja akibat adanya pabrik-pabrik baru tersebut berdampak positif terhadap ekonomi domestik lewat sisi permintaan: peningkatan kesempatan kerja menambah kemampuan belanja masyarakat dan selanjutnya meningkatkan permintaan di pasar dalam negeri. Sama seperti kasus sebelumnya, jika penambahan permintaan konsumsi tersebut tidak serta merta menambah impor, maka efek positifnya terhadap pertumbuhan output di sektorsektor domestik sepenuhnya terserap. Sebaliknya, jika ekstra permintaan konsumsi tersebut adalah dalam bentuk peningkatan impor, maka efeknya nihil. Bahkan jika pertumbuhan impor lebih pesat daripada pertumbuhan ekspor yang disebabkan oleh adanya PMAL, maka terjadi defisit neraca perdagangan. Ini berarti kehadiran PMAL memberi lebih banyak dampak negatif daripada dampak positif terhadap negara tuan rumah. Keempat, peran PMAL sebagai sumber penting peralihan teknologi dan knowledge lainnya. Peran ini bisa lewat dua jalur utama. Pertama, lewat pekerjapekerja lokal yang bekerja di perusahaan-perusahaan PMAL. Saat pekerja-pekerja tersebut pindah ke perusahaan-perusahaan domestik, maka mereka membawa pengetahuan atau keahlian baru dari perusahaan PMAL ke perusahaan domestik. Kedua, lewat keterkaitan produksi atau subcontracting antara PMAL dan perusahaan-perusahaan lokal, termasuk usaha kecil dan menengah, seperti kasus PT Astra Internasional dengan banyak subkontraktor skala kecil dan menengah.
3. Pengeluaran Pemerintah (PP) / Government Expenditure (GE) 3.1.
Peranan Pemerintah Dalam Perekonomian John Maynard Keynes berpendapat tingkat kegiatan dalam perekonomian
ditentukan oleh perbelanjaan agregat. Pada umumnya perbelanjaan agregat dalam suatu periode tertentu adalah kurang dari perbelanjaan agregat yang diperlukan untuk mencapai tingkat full employment. Keadaan ini disebabkan karena investasi yang dilakukan para pengusaha biasanya lebih rendah dari tabungan yang akan dilakukan dalam perekonomian full employment. Keynes berpendapat sistem pasar bebas
tidak
akan
dapat
membuat
penyesuaian-penyesuaian
yang
akan
menciptakan full employment. Untuk mencapai kondisi tersebut diperlukan kebijakan pemerintah. Tiga bentuk kebijakan pemerintah, yaitu kebijakan fiskal, ekonomi dan pengawasan langsung. Kebijakan fiskal melalui pengaturan anggaran pengeluaran dan penerimaan pemerintah. Dalam masa inflasi biasanya kebijakan fiskal akan berbentuk mengurangi pengeluaran pemerintah dan meningkatkan pajak. Sebaliknya apabila pengangguran serius maka pemerintah berusaha menambah pengeluaran dan berusaha mengurangi pajak. Kebijakan ekonomi dilakukan dengan mempengaruhi jumlah uang beredar dan tingkat suku bunga (Boediono, 2009). 3.2.
Teori Perkembangan Pengeluaran Pemerintah Mangkoesoebroto (2001) membagi teori perkembangan pengeluaran
pemerintah menjadi tiga golongan, yaitu: 1. Model pembangunan tentang perkembangan pengeluaran pemerintah Model
ini
dikembangkan
oleh
Rostow
dan
Musgrave
yang
menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap
pembangunan ekonomi yaitu tahap awal, tahap menengah dan tahap lanjut. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, persentase investasi pemerintah terhadap total investasi besar sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan prasarana seperti pendidikan, kesehatan, prasarana transportasi. Pada tahap menengah pembangunan
ekonomi,
investasi
pemerintah
tetap
diperlukan
untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas, namun pada tahap ini peranan investasi swasta sudah semakin besar. Peranan pemerintah tetap besar pada tahap menengah, oleh karena peranan swasta semakin besar akan menimbulkan banyak kegagalan pasar dan juga menyebabkan pemerintah harus menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih banyak. Selain itu pada tahap ini perkembangan ekonomi menyebabkan terjadinya hubungan antar sektor yang makin komplek. Misalnya pertumbuhan ekonomi yang ditimbulkan oleh perkembangan sektor industri akan menimbulkan semakin tingginya pencemaran atau polusi. Pemerintah harus turun tangan mengatur dan mengurangi dampak negatif dari polusi. Pemerintah juga harus melindungi buruh dalam meningkatkan kesejahteraannya. Musgrave (1980) berpendapat bahwa dalam suatu proses pembangunan, investasi swasta dalam persentase terhadap PDB semakin besar dan persentase investasi pemerintah terhadap PDB akan semakin kecil. Pada tingkat ekonomi lebih lanjut, Rostow mengatakan bahwa aktivitas pemerintah dalam pembangunan ekonomi beralih dari penyediaan prasarana ke pengeluaran-pengeluaran untuk aktivitas sosial seperti program kesejahteraan hari tua dan pelayanan kesehatan masyarakat (Mangkoesoebroto, 2001).
2. Hukum Wagner mengenai perkembangan aktivitas pemerintah Adolph
Wagner
(1890)
mengemukakan
suatu
teori
mengenai
perkembangan pengeluaran pemerintah yang semakin besar dalam persentase terhadap PDB. Wagner mengemukakan pendapatnya bahwa dalam suatu perekonomian apabila pendapatan per kapita meningkat maka secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat. Hukum Wagner dikenal dengan “The Law of Expanding State Expenditure”. Dasar dari hukum tersebut adalah pengamatan empiris dari negara-negara maju (Amerika Serikat, Jerman, Jepang). Dalam hal ini Wagner menerangkan mengapa peranan pemerintah menjadi semakin besar, terutama disebabkan karena pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat. Kelemahan Hukum Wagner adalah karena hukum tersebut tidak didasarkan pada suatu teori mengenai pemilihan barang-barang publik. Wagner mendasarkan pandangannya dengan suatu teori yang disebut teori organis mengenai pemerintah (organic theory of the state) yang menganggap pemerintah sebagai individu yang bebas bertindak, terlepas dari anggota masyarakat
lainnya.
Hukum
Wagner
(Mangkoesoebroto, 2001):
Dimana: PkPP : Pengeluaran Pemerintah per Kapita PPK
: Pendapatan per Kapita
1,2,…,n: Jangka Waktu (tahun)
diformulasikan
sebagai
berikut
3. Teori Peacock & Wiseman Peacock dan Wiseman (1961) adalah dua orang yang mengemukakan teori mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah yang terbaik. Teori mereka didasarkan pada suatu pandangan bahwa pemerintah senantiasa berusaha untuk memperbesar pengeluaran sedangkan masyarakat tidak suka membayar pajak yang semakin besar untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang semakin besar tersebut. Teori Peacock dan Wiseman merupakan dasar teori pemungutan suara. Peacock dan Wiseman mendasarkan teori mereka pada suatu teori bahwa masyarakat mempunyai suatu tingkat toleransi pajak, yaitu suatu tingkat dimana masyarakat dapat memahami besarnya pungutan pajak yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Jadi masyarakat menyadari bahwa pemerintah membutuhkan dana untuk membiayai aktivitas pemerintah sehingga mereka mempunyai tingkat kesediaan masyarakat untuk membayar pajak. Tingkat toleransi ini merupakan kendala bagi pemerintah untuk menaikkan pemungutan pajak secara semena-mena. Teori Peacock dan Wiseman adalah sebagai berikut: Pertumbuhan ekonomi (PDB) menyebabkan pemungutan pajak semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak berubah; dan meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran pemerintah juga semakin meningkat (Mangkoesoebroto, 2001). Oleh karena itu, dalam keadaan normal, meningkatnya PDB menyebabkan penerimaan pemerintah yang semakin besar, begitu juga dengan pengeluaran pemerintah menjadi semakin besar. Apabila keadaan normal tersebut terganggu, misalnya karena adanya perang, maka pemerintah harus memperbesar pengeluarannya untuk membiayai perang. Karena itu penerimaan pemerintah dari
pajak juga meningkat dan pemerintah meningkatkan penerimaannya tersebut dengan cara menaikkan tarif pajak sehingga dana swasta untuk investasi dan konsumsi menjadi berkurang. Keadaan ini disebut efek pengalihan (displacement effect), yaitu adanya gangguan sosial menyebabkan aktivitas swasta dialihkan pada aktivitas pemerintah. Perang tidak hanya dibiayai dengan pajak, akan tetapi pemerintah juga melakukan pinjaman ke negara lain. Akibatnya setelah perang sebetulnya pemerintah dapat kembali menurunkan tarif pajak, namun tidak dilakukan karena pemerintah masih mempunyai kewajiban untuk mengembalikan pinjaman tersebut. Sehingga pengeluaran pemerintah meningkat karena PDB yang mulai meningkat, pengembalian pinjaman dan aktivitas baru setelah perang. Ini yang disebut efek inspeksi (inspection effect). Adanya gangguan sosial juga akan menyebabkan terjadinya konsentrasi kegiatan ke tangan pemerintah dimana kegiatan ekonomi tersebut semula dilaksanakan untuk swasta, ini disebut efek konsentrasi (concentration effect). Adanya ketiga efek tersebut menyebabkan aktivitas pemerintah bertambah. Setelah perang selesai dan keadaan kembali normal maka tingkat pajak akan turun kembali. Jadi berbeda dengan pandangan Wagner, perkembangan pengeluaran pemerintah versi Peacock dan Wiseman tidaklah berbentuk suatu garis,tetapi seperti tangga. Hukum Wagner ditunjukkan dalam gambar 2.2, dimana kenaikan pengeluaran pemerintah mempunyai bentuk eksponensial yang ditunjukkan oleh kurva 1 dan Hukum Peacock dan Wiseman ditunjukkan oleh kurva 2 yang berbentuk garis linear yang lurus.
Gambar 2.2: Hukum Wagner dan Hukum Peacock-Wiseman
Sumber: Mangkoesoebroto (2001) Bird (1972) mengkritik hipotesa yang dikemukakan oleh Peacock dan Wiseman. Bird menyatakan bahwa selama terjadinya gangguan sosial memang terjadi pengalihan aktivitas pemerintah dari pengeluaran sebelum gangguan ke pengeluaran yang berhubungan dengan gangguan tersebut. Hal ini akan diikuti oleh peningkatan persentase pengeluaran pemerintah terhadap PDB. Akan tetapi setelah terjadinya gangguan, persentase pengeluaran pemerintah terhadap PDB akan menurun secara perlahan-lahan kembali ke keadaan semula. Jadi menurut Bird, efek pengalihan merupakan gejala dalam jangka pendek, tetapi tidak terjadi dalam jangka panjang (Mangkoesoebroto, 2001). Satu hal yang perlu dicatat dari teori Peacock dan Wiseman adalah bahwa mereka mengemukakan adanya toleransi pajak, yaitu suatu limit perpajakan, akan tetapi mereka tidak menyatakan pada tingkat berapa toleransi pajak tersebut.
Clarke (1977) menyatakan bahwa limit perpajakan adalah sebesar 25 % dari pendapatan nasional. Apabila limit dilampaui maka akan terjadi inflasi dan gangguan lainnya (Mangkoesoebroto, 2001). 4. Dr. Guritno Mangkoesoebroto, M.Ec Menurut
Mangkoesoebroto
(2001),
perkembangan
pengeluaran
pemerintah ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu: a. Perubahan permintaan akan barang publik. b. Perubahan aktivitas pemerintah dalam menghasilkan barang publik, dan juga perubahan dari kombinasi faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi. c. Perubahan kualitas barang publik. d. Perubahan harga-harga faktor-faktor produksi. 3.3. Jenis-Jenis Pengeluaran Pemerintah Dalam kebijakan fiskal dikenal ada beberapa kebijakan anggaran, yaitu anggaran berimbang, anggaran surplus dan anggaran defisit. Dalam pengertian umum, anggaran berimbang yaitu suatu kondisi di mana penerimaan sama dengan pengeluaran (G = T). Anggaran surplus, yaitu pengeluaran lebih kecil dari penerimaan (G < T). Sedangkan anggaran defisit, yaitu anggaran pengeluaran lebih besar dari penerimaan (G > T). Anggaran surplus digunakan jika pemerintah ingin mengatasi masalah inflasi. Sedangkan anggaran defisit digunakan jika pemerintah ingin mengatasi masalah pengangguran dan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Jika pemerintah merencanakan peningkatan pertumbuhan ekonomi untuk mengurangi angka pengangguran maka pemerintah dapat meningkatkan pengeluarannya. (Mangkoesoebroto, 2001).
Pengeluaran pemerintah terdiri dari: 1. Pengeluaran rutin Pengeluaran rutin, yaitu pengeluaran yang digunakan untuk pemeliharaan dan penyelenggaraan pemerintah yang meliputi belanja pegawai, belanja barang, pembayaran bunga utang, subsidi dan pengeluaran rutin lainnya. Melalui pengeluaran rutin, pemerintah dapat menjalankan misinya dalam rangka menjaga kelancaran penyelenggaraan pemerintah, kegiatan operasional dan pemeliharaan aset negara, pemenuhan kewajiban pemerintah kepada pihak ketiga, perlindungan kepada masyarakat miskin dan kurang mampu serta menjaga stabilitas perekonomian. (Mangkoesoebroto, 2001). Anggaran belanja rutin memegang peranan penting untuk menunjang kelancaran mekanisme sistem pemerintahan serta upaya peningkatan efisiensi dan produktivitas yang pada gilirannya akan menunjang tercapainya sasaran dan tujuan setiap tahap pembangunan. Besarnya dipengaruhi oleh berbagai langkah kebijakan yang ditempuh pemerintah dalam rangka pengelolaan keuangan negara dan stabilitas perekonomian seperti perbaikan pendapatan aparatur pemerintah, penghematan pembayaran bunga utang dan pengalihan subsidi agar lebih tepat sasaran. Kenaikan pengeluaran pemerintah biasanya dari pos belanja pegawai yang dialokasikan untuk menaikan gaji pegawai dan pensiunan. Selain itu, juga terjadi pada pos pembayaran bunga utang luar negeri dan dalam negeri. Perbedaan karakteristik yang paling mendasar antara pinjaman dalam dan luar negeri yaitu pada saat implikasi di saat pengembalian. Dalam kasus pinjaman dalam negeri, pembayaran bunga utang oleh pemerintah akan kembali dinikmati oleh masyarakat Indonesia karena terjadi
transfer pendapatan oleh kelompok masyarakat yang membayar pajak kepada kelompok masyarakat yang menjadi kreditur. Dampak dari aliran ini masih berputar di dalam negeri karena masing-masing pihak adalah warga negara Indonesia. Sedangkan dalam kasus pinjaman luar negeri, terjadi aliran dampak ekonomi (multiplier effect) yang berbeda. Pihak-pihak yang menerima pengembalian pinjaman adalah pihak kreditur di luar negeri (Mangkroesoeboto, 2001). Jumlah utang luar negeri yang semakin besar menyebabkan anggaran yang digunakan untuk membayar bunga utang juga semakin meningkat. Meningkatnya jumlah pembayaran bunga utang tersebut selain disebabkan oleh membengkaknya jumlah utang jatuh tempo juga dipengaruhi oleh perubahan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing. Selain pengeluaran untuk belanja pegawai dan pembayaran bunga utang, pos lain yang menarik adalah pengeluaran pemerintah untuk berbagai subsidi. Satu pos diantaranya yang berperan cukup besar adalah subsidi bahan bakar minyak (BBM). Subsidi ini muncul pada pada tahun 1997/1998 sebagai akibat dari melonjaknya harga minyak mentah di pasar dunia menyebabkan meningkatnya biaya pengadaan BBM sehingga melebihi hasil penjualan BBM itu sendiri. Akibatnya pemerintah terpaksa memberikan subsidi terutama terhadap minyak tanah dan solar. Penghematan dan efisiensi pengeluaran rutin perlu dilakukan untuk menambah besarnya tabungan pemerintah yang diperlukan untuk pembiayaan pembangunan nasional. Penghematan dan efisiensi tersebut antara lain diupayakan melalui penajaman alokasi pengeluaran rutin, pengendalian dan koordinasi pelaksanaan pembelian barang dan jasa kebutuhan departemen atau lembaga
negara non departemen dan pengurangan berbagai macam subsidi secara bertahap. (Dumairy, 1997). 2. Pengeluaran pembangunan Pengeluaran pembangunan, yaitu pengeluaran yang digunakan untuk membiayai pembangunan di bidang ekonomi, sosial dan umum dan yang bersifat menambah modal masyarakat dalam bentuk pembangunan baik prasarana fisik maupun non fisik yang dilaksanakan dalam periode tertentu. Anggaran pembangunan secara fisik maupun nonfisik selalu disesuaikan dengan dana yang dimobilisasi. Dana ini kemudian dialokasikan pada berbagai bidang sesuai dengan prioritas yang telah direncanakan. Peranan anggaran pembangunan lebih ditekankan pada upaya penciptaan kondisi yang stabil dan kondusif bagi berlangsungnya proses pemulihan ekonomi dengan tetap memberikan stimulus bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam kaitan dengan pengelolaan APBN secara keseluruhan dengan keterbatasan sumber pembiayaan yang tersedia maka pencapaian sasaran pembangunan harus dilakukan seoptimal mungkin. (Nota Keuangan dan APBN, 2004). Sehubungan dengan hal tersebut formulasi distribusi dan alokasi dari penentuan besarnya pengeluaran memegang peranan penting dalam pencapaian target kebijaksanaan fiskal. Di samping itu, pengelolaan anggaran permbangunan juga harus tetap di tempatkan sebagai bagian yang utuh dari upaya menciptakan anggaran pendapatan dan belanja negara yang sehat melalui upaya mengurangi secara bertahap peran pembiayaan yang bersumber dari luar negeri tanpa mengurangi upaya menciptakan pertumbuhan yang berkesinambungan.
Pengeluaran pembangunan dibedakan atas pengeluaran pembangunan yang dibiayai dengan dana rupiah dan bantuan proyek. Pembiayaan pembangunan rupiah dibiayai dari sumber pembiayaan dalam negeri dan luar negeri dalam bentuk pinjaman program. Pengelolaan dana tersebut akan dialokasikan kepada departemen dan dan lembaga pemerintah non departemen di tingkat pusat termasuk departemen Hankam dan pemerintah daerah yang diklasifikasikan ke dalam dana pembangunan yang dikelola instansi pusat dan dana pembangunan yang dikelola daerah. (Basri, 2004). Dalam rangka menutupi kesenjangan antara kebutuhan pembangunan dengan kemampuan dana dalam negeri maka pembiayaan proyek masih tetap dibutuhkan. Pembiayaan proyek bersumber dari luar negeri dalam bentuk pinjaman proyek dan dimanfaatkan untuk pembangunan sumber daya manusia di bidang pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan sosial dalam rangka mendukung program jaringan pengaman sosial, penyediaan sarana dan prasarana transportasi, pembangunan di bidang pertanian, tenaga listrik dan pengairan. Di samping itu juga dilakukan pengadaan prasarana pendukung Hankam, Telekomunikasi dan pembangunan prasarana perkotaan (Basri, 2004). Sebagaimana diamanatkan oleh UU No.17 Tahun 2003, maka sistem penganggaran mengacu pada praktek-praktek yang berlaku secara internasional. Menurut GFS (Government Financial Statistics) Manual 2001, sistem penganggaran belanja negara secara implisit menggunakan sistem unified budget, dimana tidak ada pemisahan antara pengeluaran rutin dan pembangunan, sehingga klasifikasi menurut ekonomi akan berbeda dari klasifikasi sebelumnya. Sejak tahun 2005 mulai ditetapkan penyatuan anggaran antara pengeluaran rutin dan
pengeluaran pembangunan serta pengklasifikasian anggaran belanja pemerintah pusat menurut jenis belanja, organisasi dan fungsi (Nota Keuangan dan APBN, 2005). Dengan berbagai perubahan dan penyesuaian format dan struktur belanja negara yang baru, maka belanja negara menurut klasifikasi ekonomi (jenis belanja) terdiri dari (1) belanja pegawai, (2) belanja barang, (3) belanja modal, (4) pembayaran bunga utang, (5) subsidi, (6) hibah, (7) bantuan sosial, dan (8) belanja lain-lain. Sedangkan belanja untuk daerah, sebagaimana yang berlaku selama ini terdiri dari (1) dana perimbangan, dan (2) dana otonomi khusus dan penyesuaian. Dengan adanya perubahan format dan struktur belanja negara menurut jenis belanja maka secara otomatis tidak ada lagi pemisahan antara belanja rutin dan belanja pembangunan (unified budget) (Fuad et al, 2006). Beberapa pengertian dasar terhadap komponen-komponen penting dalam belanja tersebut antara lain (Fuad et al, 2006): 1. Belanja pegawai menampung seluruh pengeluaran negara yang digunakan untuk membayar gaji pegawai, termasuk berbagai tunjangan yang menjadi haknya, dan membayar honorarium, lembur, tunjangan khusus dan belanja pegawai, serta membayar pensiun dan asuransi kesehatan (kontribusi sosial). Dalam klasifikasi tersebut termasuk pula belanja gaji/upah proyek yang selama ini diklasifikasikan sebagai pengeluaran pembangunan. Dengan format ini, maka akan terlihat pos yang tumpang tindih antara belanja pegawai yang diklasifikasikan sebagai rutin dan pembangunan. Di sinilah nantinya efisiensi akan bisa diraih.
2. Demikian juga dengan belanja barang yang seharusnya digunakan untuk membiayai kegiatan operasional pemerintahan untuk pengadaan barang dan jasa, dan biaya pemeliharaan aset negara. Demikian juga sebaliknya sering diklasifikasikan sebagai pengeluaran pembangunan. 3. Belanja modal menampung seluruh pengeluaran negara yang dialokasikan untuk pembelian barang-barang kebutuhan investasi (dalam bentuk aset tetap dan aset lainnya). Pos belanja modal dirinci atas (1) belanja modal asset tetap/fisik, dan (2) belanja modal aset lainnya/non-fisik. Dalam prakteknya selama ini belanja lainnya nonfisik secara mayoritas terdiri dari belanja pegawai, bunga dan perjalanan yang tidak terkait langsung dengan investasi untuk pembangunan. 4. Subsidi menampung seluruh pengeluaran negara yang dialokasikan untuk membayar beban subsidi atas komoditas vital dan strategis tertentu yang menguasai hajat hidup orang banyak, dalam rangka menjaga stabilitas harga agar dapat terjangkau oleh sebagian besar golongan masyarakat. Subsidi tersebut dialokasikan melalui perusahaan negara dan perusahaan swasta. 5. Sementara itu, selama ini ada jenis subsidi yang sebetulnya tidak ada unsur subsidinya, maka belanja tersebut akan dikelompokkan sebagai bantuan sosial. Bantuan sosial menampung seluruh pengeluaran negara yang dialokasikan sebagai transfer uang/barang yang diberikan kepada penduduk, guna melindungi dari kemungkinan terjadinya resiko sosial, misalnya transfer untuk pembayaran dana kompensasi sosial.
6. Sementara itu, belanja untuk daerah menampung seluruh pengeluaran pemerintah pusat yang dialokasikan ke daerah, yang pemanfaatannya diserahkan sepenuhnya kepada daerah. 3.4. Peranan Strategis Anggaran Belanja Negara Anggaran belanja negara mempunyai peranan yang sangat strategis dalam pelaksanaan ketiga fungsi kebijakan fiskal, yaitu alokasi sumber daya, stabilisasi, serta distribusi. Fungsi alokasi diterjemahkan dalam bentuk pengalokasian dana melalui anggaran belanja negara untuk membiayai penyediaan barang dan jasa publik, seperti pertahanan negara, ketertiban dan keamanan masyarakat, serta penyediaan sarana dan prasarana dasar khususnya yang tidak mungkin disediakan oleh swasta tanpa campur tangan pemerintah. Sementara itu, pelaksanaan fungsi stabilisasi dilakukan melalui alokasi anggaran belanja negara untuk mendukung upaya pemeliharaan kestabilan harga, serta pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja yang cukup memadai. Adapun pelaksanaan fungsi distribusi diupayakan untuk menjamin terjadinya efisiensi dan keadilan dalam alokasi sumber daya melalui berbagai unsur pengeluaran negara dalam APBN untuk mengurangi kesenjangan dan pemerataan pendapatan antarwarga masyarakat (Fuad et al, 2006).