BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Teori Desentralisasi Fiskal a. Defenisi Desentralisasi Menurut UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah Pasal 1 ayat 7 dan UU No 33 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Pemerintahan Daerah Pasal 1 ayat 8, “Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam system Negara Kesatuan Republik Indonesia.” b. Definisi Desentralisasi Fiskal Menurut Saragih (2003: 83) desentralisasi fiskal secara singkat dapat diartikan
sebagai
suatu
proses
distribusi
anggaran
dari
tingkat
pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah, untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintahan dan pelayanan publik sesuai dengan banyaknya kewenangan bidang pemerintahan yang dilimpahkan.
11
Universitas Sumatera Utara
12
c. Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal Tahun
2001
merupakan
awal
pelaksanaan
desentralisasi
fiskal
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 25 tahun 1999 yang secara serentak diberlakukan di seluruh provinsi di Indonesia. Menurut Widjaja (2004: 65) “dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 22 tahun 1999 dan undang-Undang No. 25 tahun 1999, mulai tanggal 1 Januari 2001 Menteri Dalam Negeri dan otonomi daerah member petunjuk yang dapat dipedomani dalam penyusunan dan pelaksanaan APBD”. Menurut Sekretaris Ditjen Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Departemen Keungan Negara djoko Hidayanto (2004 : 53) “pelaksanaan Otonomi daerah di Indonesia efektif dimulai pada tanggal 1 Januari 2001”. Menurut Direktur dana Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Departemen Keuangan Republik Indonesia Kadjatmiko (2004 : 92) “1 Januari 2001 merupakan momentum awal yang mempunyai arti penting bagi bangsa Indonesia khususnya bagi penyelenggara pemerintah di daerah, karena pada tahun tersebut kebijakan tentang otonomi daerah mulai dilaksanakan secara efektif ”. Menurut Widjaja (2004 : 100) “Inti dari konsep pelaksanaan otonomi daerah adalah upaya memaksimalkan pelaksanaan daerah dimulai dari tahun 2001”.
Universitas Sumatera Utara
13
Misi utama pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah : 1) Meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat. 2) Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah. 3) Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipaasi dalam pembangunan.
2. Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kinerja (Performance) diartikan sebagai aktivitas terukur dari suatu entitas selama periode tertentu sebagai bagian dari ukuran keberhasilan pekerjaan (Kamus
Akuntansi
Manajemen
Kontemporer,
1994).
Selanjutnya
measurement atau pengukuran kinerja diartikan sebagai suatu indikator keuangan dan non keuangan dari suatu pekerjaan yang dilaksanakan atau hasil yang dicapai dari suatu aktivitas, suatu proses atau suatu unit organisasi. Pengukuran kinerja merupakan wujud akuntabilitas, dimana penilaian yang lebih tinggi menjadi tuntunan yang harus dipenuhi, data pengukuran kinerja dapat menjadi peningkatan program selanjutnya. Menurut Sedarmayanti (2003 : 64) ”Kinerja (performance) diartikan sebagai hasil seorang pekerja, sebuah proses manajemen atau suatu organisasi
Universitas Sumatera Utara
14
secara keseluruhan, dimana hasil kerja tersebut harus dapat diukur dengan dibandingkan dengan standar yang telah ditentukan” Faktor kemampuan sumber daya aparatur pemerintah terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan kemampuan ability (knowledge + skill), sedangkan faktor motivasi terbentuk dari sikap (attitude) sumber daya aparatur pemerintah dalam menghadapi situasi kerja. Motivasi merupakan kondisi yang menggerakkan sumber daya aparatur pemerintah dengan terarah untuk mencapai tujuan pemerintah, yaitu good governance. Menurut Mardiasmo (2002 : 121) ” Sistem pengukuran kinerja sektor publik adalah suatu sistem yang bertujuan untuk membantu manajer publik menilai pencapaian suatu strategi melalui alat ukur finansial dan nonfinansial”. Dalam penelitian ini, yang dimaksudkan sebagai Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah adalah tingkat pencapaian dari suatu hasil Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah, yang meliputi anggaran dan realisasi PAD dengan menggunakan indikator keuangan yang ditetapkan melalui suatu kebijakan atau ketentuan perundang-undangan selama satu periode anggaran. Bentuk dari pengukuran kinerja tersebut berupa rasio keuangan. Kinerja (performance) menurut kamus akuntansi manajemen dikatakan sebagai aktivitas terukur dari suatu entitas selama periode tertentu sebagai
Universitas Sumatera Utara
15
bagian dari ukuran keberhasilan pekerjaan.
Pengukuran kinerja diartikan
sebagai suatu sistem keuangan atau non keuangan dari suatu pekerjaan yang dilaksanakan atau hasil yang dicapai dari suatu aktivitas, suatu proses atau suatu uit organisasi.
Kinerja keuangan pemerintah daerah adalah tingkat
pencapaian dari suatu hasil kerja di bidang keuangan daerah yang meliputi peneriman dan belanja daerah dengan menggunakan sistem keuangan yang ditentukan melalui suatu kebijakan atau ketentuan perundang-undangan selama satu periode anggaran. berupa
rasio
keuangan
Bentuk dari pengukuran kinerja tersebut
yang
terbentuk
dari
sistem
laporan
pertanggungjawaban daerah berupa perhitungan APBD.
a. Tujuan dan Manfaat Pengkuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Prestasi pelaksanaan program yang dapat diukur akan mendorong pencapaian prestasi tersebut. Pengukuran prestasi yang dilakukan secara berkelanjutan memberikan umpan balik untuk upaya perbaikan secara terus menerus dan pencapaian tujuan di masa mendatang. Salah satu alat menganalisis kinerja pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerahnya adalah dengan melakukan análisis rasio keuangan terhadap APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakanya.
Universitas Sumatera Utara
16
Menurut Widodo (Halim, 2002 : 126) hasil análisis rasio keuangan ini bertujuan untuk: 1) Menilai
kemandirian
keuangan
daerah
dalam
membiayai
penyelenggaraan otonomi daerah. 2) Mengukur efektivitas dan efisiensi dalam merealisasikan pendapatan daerah. 3) Mengukur
sejauh
mana
aktivitas
pemerintah
daerah
dalam
membelanjakan pendapatan daerahnya. 4) Mengukur kontribusi masing-masing sumber pendapatan dalam pembentukan pendapatan daerah. 5) Melihat pertumbuhan/perkembangan perolehan pendapatan dan pengeluaran yang dilakukan selama periode tertentu.
b. Parameter Rasio Keuangan Pemerintah Daerah Penggunaan análisis rasio pada sektor publik khususnya terhadap APBD belum banyak dilakukan, sehingga secara teori belum ada kesepakatan secara bulat mengenai nama dan kaidah pengukurannya. Meskipun demikian, dalam rangka pengelolaan keuangan daearah yang transparan, jujur, demokratis, efektif, efesien, dan akuntabel, análisis rasio terhadap APBD perlu dilaksanakan meskipun kaidah pengakuntansian
Universitas Sumatera Utara
17
dalam APBD berbeda dengan laporan keuangan yang dimiliki perusahaan swasta. Analisis
rasio
keuangan
pada
APBD
dilakukan
dengan
membandingkan hasil yang dicapai dari satu periode dibandingkan dengan periode sebelumnya sehingga dapat diketahui bagaimana kecenderungan yang terjadi. Selain itu dapat pula dilakukan dengan cara membandingkan dengan rasio keuangan yang dimiliki suatu pemerintah daerah tertentu dengan daerah lain yang terdekat maupun yang potensi daerahnya relatif sama untuk dilihat bagaimana rasio keuangan pemerintah daerah tersebut terhadap pemerintah daerah lainnya. Adapun rasio keuangan yang sering dipakai dalam mengukur kinerja Pemerintah Daerah adalah sebagai berikut : 1) Desentralisasi Fiskal Ukuran ini menunjukkan kewenangan dan tanggung jawab yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk menggali dan mengelola pendapatan.Rasio ini dimaksudkan untuk mengukur tingkat kontribusi Pendapatan Asli Daerah sebagai sumber pendapatan yang dikelola sendiri oleh daearah terhadap total penerimaan daerah. Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan penerimaan yang berasal dari hasil pajak daerah, retribusi daerah, perusahaan milik
Universitas Sumatera Utara
18
daerah dan pengelolaan kekayaan milik daerah serta lain-lain pendapatan yang sah.Total Pendapatan Daerah merupakan jumlah dari seluruh penerimaan dalam satu tahun anggaran. Derajat desentralisasi fiskal, khususnya komponen PAD dibandingkan dengan TPD, menurut hasil penemuan Tim Fisipol UGM menggunakan sekala intervalsebagaimana yang terlihat dalam tabel berikut: Tabel 2.1 Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal PAD/TPD (%) <10.00
Kemampuan Keungan Daerah Sangat Kurang
10.01-20.00
Kurang
20.01-30.00
Cukup
30.01-40.00
Sedang
40.01-50.00
Baik
>50.00
Sangat Baik
Sumber: 2004:106 2) Tingkat Kemandirian Kinerja Keuangan Daerah dalam Bentuk Kemandirian Pembiayaan Daerah Kemandirian Pembiayaan : Pendapatan Asli Daerah (PAD) Daerah Belanja Rutin non Pegawai (BRNP)
Universitas Sumatera Utara
19
3) Tingkat Ketergantungan Diukur dengan
menganalisa
derajat
otonomi
fiskal yang
menunjukkan kemampuan daerah dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerahnya.
Derajat otonomi fiskal diukur dengan mengukur
rasio antara PAD terhadap penerimaan APBD tanpa subsidi. Tingkat Ketergantungan
=____ Pendapatan Asli Daerah______ Pendapatan APBD Tanpa Subsidi
3. Pengelolaan Keuangan Daerah Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 58 tahun 2005, keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 58 tahun 2005, pengelolaan keuangan daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggugjawaban, dan pengawasan keuangan daerah. Terwujudnya pelaksanaan desentralisasi fiskal secara efektif dan efisien, salah satunya tergantung pada pengelolaan keuangan daerah.
Universitas Sumatera Utara
20
Sebelum adanya Undang -
Undang Otonomi Daerah, sistem
penatausahaan pembiayaan daerah sudah menerapkan konsep perimbangan keuangan antara pusat dan daerah tetapi belum didasarkan pada kontribusi setiap daerah dalam hal pendapatan yang diperolah dari sumber daya alam yang dieksploitasi. 4. Pendapatan Daerah Menurut UU No 32 Tahun 2004 Pasal 157 sumber pendapatan daerah terdiri atas: a). Pendapatan Asli Daerah yang selanjutnya disebut PAD, yaitu: 1) hasil pajak daerah 2) hasil retribusi daerah 3) hasil pengelolaan kekayaan yang dipisahkan, dan 4) lain-lain PAD yang sah d) Dana perimbangan e) Lain-lain pendapatan daerah yang sah (Undang-Undang Otonomi Daerah 2004:103-104) a).
Pendapatan Asli Daerah (PAD) Menurut UU No 33 Pasal 1 ayat 18, “Pendapatan Asli Daerah, selanjutnya disebut PAD adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang
Universitas Sumatera Utara
21
dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.” b).
Dana Perimbangan Menurut UU No 33 Tahun 2004 Pasal 1 ayat 19, 20, 21, dan 23, Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. Dana perimbangan terdiri dari: 1. Dana bagi hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka presentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana bagi hasil terdiri dari: a. Bagi hasil pajak, yang meliputi bagi hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 .
Universitas Sumatera Utara
22
b. Bagi hasil sumber daya alam, yang meliputi sektor kehutanan, pertambangan umum, perikanan, minyak bumi, gas alam, dan panas bumi. 2. Dana Alokasi Umum, selanjutnya disebut DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. 3. Dana Alokasi Khusus (DAK), selanjutnya disebut DAK adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. c. Lain-lain pendapatan daerah yang sah. Menurut UU No 32 Tahun 2004 Pasal 164 ayat 1,
Lain-lain
pendapatan daerah yang sah merupakan seluruh pendapatan daerah selain PAD dan dana perimbangan, yang meliputi hibah, dana darurat, dan lain-lain pendapatan yang ditetapkan Pemerintah
Universitas Sumatera Utara
23
B. Review Penelitian Terdahulu 1. Penelitian Sudono Susanto Penelitian ini berjudul “Analisis Perkembangan Pembiayaan Fiskal Pemerintah Pusat dan Daerah (studi kasus Daerah Tingkat II Banjarnegara)“. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui derajat otonomi fiskal (DOF) di Daerah Tingkat II Banjarnegara yang diukur dengan variabel tingkat perkembangan ekonomi (TPE) dan bantuan pemerintah pusat (G). Kesimpulan dari penelitian ini adalah tingkat perkembangan ekonomi (TPE) dan bantuan pemerintah pusat (G) berpengaruh negatif terhadap derajat otonomi fiskal daerah (DOF). 2. Penelitian Yuliati Penelitian yang dilakukan oleh Yuliati (Halim, 2004: 21) yang berjudul “Analisis Kemampuan Keuangan Daerah dalam Menghadapi Otonomi Daerah (Kasus Kabupaten Malang)”. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur dan menganalisis derajat otonomi Kabupaten Malang yang ditekankan kepada derajat desentralisasi, bantuan serta kapasitas fiskal.
Kesimpulan dari
penelitian ini adalah ketergantungan pemerintah Kabupaten Malang terhadap pemerintah pusat pada tahun anggaran 1995/1996-1999/2000 masih sangat tinggi, yang dibuktikan dengan masih rendahnya rata-rata proporsi Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD) selama kurun waktu 5 tahun, yaitu hanya sebesar 15%, walaupun dari tahun ke tahun
Universitas Sumatera Utara
24
mengalami peningkatan. Rata-rata proporsi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP) terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD) selama kurun waktu 5 tahun hanya sebesar 29% saja.
Kondisi ini
menunjukkan bahwa peran pemerintah pusat terhadap keuangan daerah Kabupaten Malang selama kurun waktu 5 tahun tersebut masih sangat besar yang juga ditunjukkan dengan tingginya rata-rata proporsi pemerintah pusat terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD), yaitu sebesar 71%. Kabupaten Malang memiliki kapasitas fiskal yang relatif baik dibandingkan dengan standar fiskal rata-rata kabupaten/kota se-Jawa Timur. Namun apabila dibandingkan dengan kebutuhan fiskalnya maka terdapat kekurangan (gap) sebesar 12%. Jadi, untuk menutupi kekurangan tersebut memang masih diperlukan dana dari pemerintah pusat. 3. Penelitian Jasagung Hariyadi. Penelitian yang dilakukan oleh Jasagung Hariyadi (Halim, 2004: 339) yang berjudul “Estimasi Penerimaan dan Belanja Daerah serta Derajat Desentralisasi Fiskal Kabupaten Belitung: Studi Kasus Tahun Anggaran 2001.“
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui estimasi penerimaan
daerah dan tingkat kemandirian keuangan daerah melalui pengukuran derajat desentralisasi fiskal untuk tahun 2001, sehingga terlihat kemampuan Kabupaten Belitung dalam rangka melaksanakan otonomi daerah yang mulai berlaku efektif pada tahun 2001. Kesimpulan dari penelitian ini, berdasarkan estimasi
Universitas Sumatera Utara
25
APBD Kabupaten Belitung tahun anggaran 2001 perbandingan antara Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD) adalah sebesar 11,61%. Sedangkan perbandingan antara Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak dengan Total Penerimaan Daerah (TPD) adalah sebesar 7,18% dan Sumbangan Daerah dan Total Penerimaan Daerah (TPD) adalah sebesar 81,21%. 4. Penelitian Kifliansyah Penelitian yang dilakukan oleh Kifliansyah (Halim, 2004: 329) yang berjudul “Analisa Realisasi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (Kasus Kabupaten Hulu Sungai Tengah).“ Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui tingkat kemandirian daerah pada tahun anggaran 1999/2000. Kesimpulan dari penelitian ini adalah proporsi Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD) sebesar 3,21%, proporsi Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD) sebesar 18,80%, proporsi Sumbangan Daerah terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD) sebesar 76,61%.
Dengan kondisi ini ketergantungan daerah terhadap
pemerintah pusat masih sangat besar.
Universitas Sumatera Utara
26
C. Kerangka Konseptual dan Hipotesis 1. Kerangka Konseptual Sebelum Desentralisasi Fiskal Kinerja Keuangan
Sesudah Desentralisasi Fiskal P
Kinerja Keuangan
E
R B A
Derajat Desentralisasi Fiskal
N
Derajat Desentralisasi Fiskal
D
Tingkat Kemandirian Pembiayaan
I
Tingkat Kemandirian Pembiayaan
N
Tingkat Ketergantungan
G
Tingkat Ketergantungan
A N
Pada pemerintahan kabupaten/kota di Sumatera Utara, data yang dipakai adalah realisasi Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah(APBD). Kemudian dari APBD diambil data-data yang diperlukan dalam penelitian ini, yang kemudian akan dianalisis dengan meggunakan rasio kinerja keuangan daerah yaitu : rasio derajat desentralisasi fiskal, rasio tingkat kemandirian pembiayaan daerah, dan rasio tingkat ketergantungan daerah.
Universitas Sumatera Utara
27
2. Hipotesis Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian. Jawaban yang diberikan didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data. Hipotesis dari penelitian ini adalah : H1: Ada perbedaan tingkat kemandirian daerah sebelum dan sesudah kebijakan desentralisasi fiskal di Propinsi Sumatra Utara. H2: Ada perbedaan kebutuhan fiskal daerah sebelum dan sesudah kebijakan desentralisasi fiskal di Propinsi Sumatra Utara. H3: Ada perbedaan kapasitas fiskal daerah sebelum dan sesudah kebijakan desentralisasi fiskal di Propinsi Sumatra Utara. .
Universitas Sumatera Utara