6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
PENDAHULUAN
Pada bab ini akan dijelaskan teori tentang aluminium meliputi karakteristik, sifat maupun aplikasi. Teori tentang korosi, meliputi dan Metode Sol-Gel. 2.2
ALUMINIUM
Aluminium ditemukan sebagai sebagai suatu unsur oleh Sir Humphrey Davy pada tahun 1809 dan pertama kali direduksi sebagai logam oleh H. C. Oersted pada tahun 1825. Secara industri tahun 1886, Paul Heroult di Perancis dan C. M. Hall di Amerika Serikat secara terpisah telah memperoleh logam aluminium dari alumina dengan cara elektrolisasi dari garam yang terfusi. Sampai sekarang proses Heroult Hall masih dipakai untuk memproduksi aluminium. Penggunaan aluminium sebagai logam setiap tahunnya adalah urutan yang kedua setelah besi dan baja, yang tertinggi di antara logam non ferro (Setyaji, 2012). Aluminium merupakan logam yang paling banyak terkandung di kerak bumi (lebih kurang 8,07 hingga 8,23 persen dari seluruh massa padat), dengan produksi tahunan dunia sekitar 30 juta ton pertahun dalam bentuk bauksit dan bebatuan lain. Bahan dasar terpenting untuk pembuatan aluminium adalah bauksit yang merupakan kerumunan mineral (tanah tawas, oksid aluminium) dengan imbuhan oksid besi dari asam siklat. Bauksit mengandung 55 sampai 65 persen tanah tawas, 2 sampai24 persen besi, 12 sampai 30 persen air dan 1 sampai 8 persen asam siklat.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
7
Gambar 2.1 Aluminium batangan (Sumber: PT. Krida Wijaya Kusuma, 2012) Sebelumnya (Wijaya, 2016) telah melakukan pengujian kadar logam dari beberapa kaleng bekas minuman. Adapun kadar logam yang dianalisis meliputi kadar Aluminium, Magnesium, Mangan, Besi, Silikon dan Tembaga. Logam-logam tersebut dianalisis menggunakan Spektrofotometer Serapan Atom (SSA). Sampel kaleng bekas minuman yang dianalisis merupakan beberapa merek kaleng yang banyak terdapat di Tempat Pembuangan Sampah (TPS) di daerah Cibinong dan Citeureup dimana salah satunya adalah kaleng Pocari Sweat. Kemudian hasil yang diperoleh dari pengujian tersebut adalah sebagai berikut: Tabel 2.1 Kadar Logam yang terkandung dalam kaleng Pocari Sweat No
Parameter
Satuan
Jumlah
1.
Aluminium (Al)
%
96,38
2.
Magnesium (Mg)
%
1,14
3.
Mangan (Mn)
%
0,75
4.
Besi (Fe)
%
0,51
5.
Silikon (Si)
%
0,19
6.
Tembaga (Cu)
%
0,19
Sehingga, dari data di atas dapat diketahui, komposisi Aluminium pada kaleng minuman Pocari Sweat adalah sekitar 96,38%.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
8
2.2.1 Karakteristik Aluminium Aluminium (Al) merupakan unsur kimia golongan IIIA dalam sistim periodik unsur, mempunyai massa atom 27 (hanya ada satu isotop natural), nomor atom 13, densitas 2,7 g/cm3, titik lebur 6600C (12200F). Aluminium adalah logam berwarna putih silver. Memiliki potensi redoks - 1,66 V, bilangan oksidasi + 3 dan jari-jari atom yang kecil yaitu 57 pm untuk stabilitas dari senyawa aluminium. Berat jenisnya hanya 2,7 g/cm3 sehingga walaupun kekuatannya rendah tetapi strength to weight ratio-nya masih lebih tinggi daripada baja, sehingga banyak digunakan pada konstruksi yang menuntut sifat ringan seperti alat-alat transportasi terutama pesawat terbang. Struktur kristal aluminium adalah struktur kristal FCC, yang menyebabkan aluminium tetap ulet meskipun pada temperatur yang sangat rendah. Aluminium mempunyai sifat-sifat yang sangat baik antara lain: ringan, tahan korosi, penghantar panas dan listrik yang baik. Ketahanan korosi yang sangat baik oleh aluminium disebabkan oleh adanya lapisan oksida tipis yang menempel sangat kuat di permukaannya (Al2O3). Pada berbagai lingkungan, jika lapisan ini rusak misalnya karena tergores, maka dengan seketika lapisan tersebut dapat diperbaiki kembali. Meskipun lapisan ini sangat tipis (1 nm) namun lapisan ini sangat efektif dalam melindungi aluminium dari proses korosi. Pada karakteristik lingkungan tertentu, tebal lapisan oksida dapat lebih tebal dari 1 nm (Suratman, 2001).
Gambar 2.2 Struktur kimia Al2O3 (Sumber: Royal Society of Chemistry, n.d.) Aluminium juga bersifat amfoter yang mampu bereaksi denganlarutan asam maupun basa (Irawan, 2013). Lapisan Al2O3 stabil pada lingkungan pH 4 s/d pH 9 (pasifasi) sehingga lapisan tersebut dapat melindungi logam bagian dalam dari serangan pengkorosi, namun aluminium dapat juga terkorosi dalam lingkungan yang agresif yaitu di luar kisaran pH tersebut terutama suasana asam maupun basa (Siregar, 2010).
http://digilib.mercubuana.ac.id/
9
2.2.2 Sifat Fisik Aluminium Dari karakteristik di atas, maka dapat diketahui aluminium memiliki sifat-sifat fisik, antara lain: Tabel 2.2 Sifat fisik aluminium (Surdia & Saito, 1984, p. 134) Sifat Fisik
Kemurnian Aluminium (%) 99,996
>99,0
Massa jenis (200C)
2,6968
2,71
Titik Cair
660,2
653 - 657
Panas Jenis (cal/g.0C)(1000C)
0,2226
0,2297
Tahanan Listrik (%)
64,94
59
Hantaran Listrik koefisien
0,00429
0,0115
Koefisien Pemuaian (200C - 1000C)
23,86 x 10-6
23,5 x 10-6
Jenis Kristal, Konstanta Kisi
fcc,a = 4,013 kX
fcc,a = 4,013 kX
Temperature (/0C)
Catatan: fcc; face centered cubic = kubus berpusat muka 2.2.3 Sifat MekanikAluminium Ketahan korosi aluminium berubah menurut kemurnian, pada umumnya untuk kemurnian 99,0% atau diatasnya dapat dipergunakan di udara dan tahan dalam bertahun-tahun. Hantaran listrik Al, kira-kira 65% dari hantaran listrik tembaga, tetapi masa jenisnya kira-kira sepertiganya sehingga memungkinkan untuk memperluas penampangnya. Oleh karena itu dapat dipergunakan untuk kabel tenaga dan dalam berbagai bentuk umpamanya sebagai lembaran tipis (foil). Dalam hal ini dipergunakan Al dengan kemurnian 99,0%. Untuk reflektor yang memerlukan reflektifitas yang tinggi juga untuk kondensor elektronik dipergunakan aluminium dengan kemurnian 99,99% (Surdia & Saito, 1984, p. 135). Sifat mekanik aluminium, antara lain:
http://digilib.mercubuana.ac.id/
10
Tabel 2.3 Sifat Mekanik aluminium (Surdia & Saito, 1984, p. 134) Kemurnian Aluminium (%) 99,996
Sifat Mekanis
>99,0
Dianil
75% dirol dingin
Dianil
H18
Kekuatan tarik (kg/mm2)
4,9
11,6
9,3
16,9
Kekuatan mulur (0,2%)
1,3
11,0
3,5
14,8
Perpanjangan
48,8
5,5
35
5
Kekerasan Brinell
17
27
23
44
(kg/mm2)
2.2.4 Reaksi Aluminium dengan Lingkungan dan Unsur Lainnya Aluminium merupakan logam yang berwarna putih dan mengilap, ringan, relatif lunak dan ulet, sukar mengalami korosi, serta memiliki massa jenis yang relatif rendah. Jika dilihat dari potensial elektrodanya, aluminium merupakan logam yang mudah mengalami korosi dan merupakan reduktor yang kuat. Akan tetapi, pada kenyataannya, reaksi aluminium dalam larutan sangat lambat. Hal ini disebabkan adanya lapisan oksida aluminium yang melindungi logamnya (reaksi 2.1). Jika lapisan oksida aluminium ini dihilangkan, misalnya dibentuk sebagai amalgam dengan air raksa atau diampelas, aluminium dapat bereaksi dengan berbagai pereaksi. Jika dibakar di udara menghasilkan oksida dan sedikit nitride (reaksi 2.2) (Sudarmo, 2015). 2Al(s) + 3/2O2(g) → Al2O3(s)
(2.1)
2Al(s) + N2(g) → 2AlN(s)
(2.2)
Sifat-sifat senyawa aluminium lebih banyak ditentukan oleh sifat ion Al3+ yang mempunyai kerapataan muatan sangat besar. Kerapatan muatan ini disebabkan oleh ukuran ion yang kecil, tetapi muatannya besar. Adanya kerapatan muatan yang tinggi mengakibatkan ion Al3+ mampu menarik pasangan elektron dari ion negatif yang dekat dengannya sehingga ikatan yang terbentuk mengalami pergeseran dari ikatan ion menjadi ikatan kovalen.Semakin besar ukuran ion negatif yang berikatan dengan ion Al3+, semakin mudah terpolarisasi. Hal ini tampak pada senyawa AlF3 yang
http://digilib.mercubuana.ac.id/
11
berikatan ion, sedangkan AlCl3 lebih bersifaat kovalen pada temperatur tinggi. Senyawa AlBr3 dan AlI3 merupakan senyawa kovalen. Adapun Reaksi aluminium dengan lingkungan dan unsur lainnya, antara lain (Sari, 2017): 1. Reaksi Aluminium dengan udara bebas Aluminium tidak bisa beraksi dengan udara kering, tetapi dalam udara yang lebihlembab ia akan membentuk lapisan oksida (reaksi 2.3) di permukaannya. Lapisan yang terbentuk sangat tipis sekitar 10-8 m tetapi mampu mencegah alumunium dari reaksi oksidasi lanjutan dan mencegahnya bereaksi dengan asam encer. lapisan tipis ini juga tidak dapat ditembus air. Hal tersebut sangat berbeda dengan besi yang menciptakan lapisan oksida yang berlubang sehingga mudah terjadi korosi besi. Alumunium yang terpapar oleh oksigen akan menghasilkan kilauan cahaya. Reaksinya: 4Al(s) + 3O2(l) → 2 Al2O3
(2.3)
2. Reaksi Aluminium dengan Air Kerapatan muatan ion aluminium (Al3+) dalam larutannya,menyebabkan ion Al3+ mampu menarik molekul air membentuk suatu ion kompleks [Al(H2O)6]3+. Di dalam larutannya, ion [Al(H2O)6]3+ berada dalam kesetimbangan karena mengalami hidrolisis dan bersifat asam. Reaksinya: [Al(H2O)6]3+(aq) + H2O(l) ↔ [Al(H2O)5OH]2+(aq) + H3O+(aq)
(2.4)
3. Reaksi Aluminium dengan Halogen 2Al(s) + 3I2(l) → 2 Al2I6(s)
(2.5)
2Al(s) + 3Cl2(l) → 2 Al2Cl3
(2.6)
2Al(s) + 3Br2(l) → 2 Al2Br6
(2.7)
4. Reaksi dengan Oksida Logam Aluminium dapat mereduksi oksida logam seperti Fe2O3, Cr2O3, dan Mn3O4 menjadi logamnya dengan mengeluarkan energi panas yang sangat tinggi. Pada reduksi Fe2O3
http://digilib.mercubuana.ac.id/
12
dihasilkan temperatur hingga 3.0000C. Dengan temperatur setinggi itu, logam besi (Fe) dapat meleleh dan bisa digunakan untuk mengelas logam. Proses oksidasi disebut dengan proses termit. Reaksinya: Fe2O3 + 2Al2O3(s) + Fe(l) ΔH = - 852kJ
(2.8)
5. Reaksi asam dengan basa Sifat alumunium salah satunya bisa larutan dalam basa kuat dan asam kuat seperti sodium hidroksida (NaOH) (reaksi 2.9) dan asam klorida (HCl) (reaksi 2.10) atau asam sulfat (H2SO4) (reaksi 2.11). reaksinya: 2Al(s) + 2NaOH(aq) + 2H2O → 2NaAlO2(aq) + 3H2(g)
(2.9)
2Al(s) + 6HCl(aq) → 2AlCl3(aq) + 3H2(g)
(2.10)
2Al(s) + 3H2SO4(aq) → Al2(SO4)3(aq) + 3H2(g)
(2.11)
Senyawa Al2O3 merupakan senyawa kovalen yang ikatannya sangat kuat, tidak mudah larut dalam air, dan bahkan tidak dapat tertembus air. Lapisan Al2O3 ini dapat dipertebal dengan melakukan proses anodasi. Aluminium oksida (Al2O3) merupakan oksida yang bersifat amfoter karena dapat bereaksi dengan asam (reaksi 2.12) maupun dengan basa (reaksi 2.13) meskipun berlangsung dengan lambat (Sudarmo, 2015). Reaksinya: Al2O3(s) + 6HCl(aq) → 2AlCl3(aq) + 3H2O(l)
(2.12)
Al2O3(s) + 2NaOH(aq) → 2NaAlO2(aq) + H2O(l)
(2.13)
2.2.5 Keunggulan dan Aplikasi Aluminium (Setia, 2016) memberikan contoh beberapa sifat dari aluminium yang digunakan dalam aplikasi aluminium, antara lain: a. Ringan (light in weight) Aluminium memiliki sifat ringan, bahkan lebih ringan dari magnesium dengan densitas sekitar 1/3 dari densitas besi. Kekuatan dari paduan aluminium dapat mendekati dari kekuatan baja karbon dengan kekuatan tarik 700 Mpa (100 Ksi). Kombinasi ringan dengan kekuatan yang cukup baik membuat aluminium sering
http://digilib.mercubuana.ac.id/
13
diaplikasikan pada kendaraan bermotor, pesawat terbang, alat-alat konstruksi seperti tangga, scaffolding, maupun pada roket.
Gambar 2.3 Material yang digunakan untuk konstruksi pesawat terbang (Sumber: Chun-yung, 1989) b. Mudah dalam pembentukannya (easy fabrication) Aluminium merupakan salah satu logam yang mudah untuk dibentuk dan mudah dalam fabrikasi seperti ekstrusi, forging, bending, rolling, casting, drawing, dan machining. Struktur kristal yang dimiliki aluminium adalah struktur kristal FCC (Face Centered Cubic), sehingga aluminium tetap ulet meskipun pada temperatur yang sangat rendah. Bahan aluminium mudah dibentuk menjadi bentuk yang komplek dan tipis sekalipun, sepeti bingkai jendela, lembaran aluminium foil, rel, gording, dan lain sebagainya. c. Tahan terhadap korosi (corrosion resistance) Aluminium tahan terhadap korosi karena fenomena pasifasi. Pasifasi adalah pembentukan lapisan pelindung akibat reaksi logam terhadap komponen udara sehingga lapisan tersebut melindungi lapisan dalam logam dari korosi. Hal tersebut dapat terjadi karena permukaan aluminium mampu membentuk lapisan alumina (Al2O3) bila bereaksi dengan oksigen. d. Konduktifitas panas tinggi (high thermal conductivity) Konduktifitas panas aluminium tiga kali lebih besar dari besi, maupun dalam pendinginan dan pemanasan. Sehingga aplikasi banyak digunakan pada radiator mobil, koil pada evaporator, alat penukar kalor, alat-alat masak, maupun komponen mesin.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
14
e. Konduktifitas listrik tinggi (high electrical conductivity) Konduktifitas listrik dari aluminium dua kali lebih besar dari pada tembaga dengan perbandingan berat yang sama. Sehingga sangat cocok digunakan dalam kabel transmisi listrik. f. Tangguh pada temperatur rendah (high toughness at cryogenic temperature) Aluminium tidak menjadi getas pada temperatur rendah hingga - 100oC, bahkan menjadi lebih keras dan ketangguhan meningkat. Sehingga aluminium dapat digunakan pada material bejana yang beroperasi pada temperatur rendah (cryogenic vessel). g. Tidak beracun (non toxic) Aluminium tidak memiliki sifat racun pada tubuh manusia, sehingga sering digunakan dalam industri makanan seperti kaleng makanan dan minuman, serta pipa-pipa penyalur pada industri makanan dan minuman. h. Mudah didaur ulang (recyclability) Aluminium mudah untuk didaur ulang, bahkan 30% produksi aluminium di Amerika berasal dari aluminium yang didaur ulang. Pembentukan kembali aluminium dari material bekas hanya membutuhkan 5% energy dari pemisahan aluminium dari bauksit. Dengan berbagai keunggulan dari aluminium tersebut, saat ini penggunaan aluminium sangat berkembang pesat terutama pada industri pesawat terbang dan otomotif. Masih banyak pengembangan yang dilakukan sehingga dapat menciptakan paduan aluminium baru yang memiliki sifat dan karakteristik yang berbeda. 2.3
KOROSI
Korosi berasal dari bahasa latin Corrodere yang artinya perusakan logam atau berkorosi. Korosi merupakan suatu proses perusakan logam oleh suatu reaksi kimia atau elektrokimia sebagai akibat interaksi antara logam dengan lingkungannya (Jones, 1992). Adapun definisi korosi dari pakar lainnya (Hakim, 2012):
http://digilib.mercubuana.ac.id/
15
a) Perusakan material tanpa perusakan mekanis. b) Kebalikan dari metalurgi ekstraktif. c) Proses elektrokimia dalam mencapai kesetimbangan termodinamika suatu sistem. Jadi korosi adalah merupakan sistem termodinamika logam dengan lingkungan (air, udara, tanah) yang berusaha mencapai keseimbangan. Sistem ini dikategorikan setimbang bila logam telah membentuk oksida atau senyawa kimia lain yang lebih stabil (berenergi paling rendah). 2.3.1 Klasifikasi Korosi Peristiwa korosi tidak akan terjadi dengan sendirinya melainkan ada faktor-faktor tertentu yang menyebabkan timbulnya peristiwa korosi. Faktor tersebut dapat menimbulkan terjadinya peristiwa korosi apabila komponen-komponen tersebut terjadi hubungan satu sama lain yang menimbulkan terjadinya aliran elektron. Korosi juga dapat mengakibatkan suatu material mengalami suatu reaksi oksidasi yang jika dibiarkan terus menerus akan menyebabkan material terdegradasi. Degradasi tersebut menyebabkan logam menipis, berlubang, terjadi perambatan reaktan, sifat mekanik berubah sehingga terjadi kegagalan tiba–tiba pada struktur, sifat fisik dan penampilan logam berubah (Fachri, 2011). Korosi dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara. Salah satu metode dalam pembagian korosi adalah korosi oksidasi dan korosi elektro kimia. Pembagian lain dari klasifikasi korosi adalah korosi temperatur rendah dan korosi temperatur tinggi. Adapun pembagian yang sering digunakan adalah korosi basah dan korosi kering (Hakim, 2012). 1) Korosi Oksidasi dan Korosi Elektrokimia Peristiwa korosi berdasarkan proses elektrokimia yaitu proses (perubahan/reaksi kimia) yang melibatkan adanya aliran listrik. Bagian tertentu dari besi berlaku sebagai kutub negatif (elektroda negatif, anoda), sementara bagian yang lain sebagai kutub positif (elektroda positif, katoda). Elektron mengalir dari anoda ke katoda, sehingga terjadilah peristiwa korosi (Silaban, 2016).
http://digilib.mercubuana.ac.id/
16
2) Korosi Suhu Rendah dan Suhu Tinggi Pada umumnya logam-logam pada suhu tinggi sangat mudah rusak, karena adanya reaksi yang yang cepat dengan oksigen dari udara. Kecuali logam mulia yang mempunyai daya affiniteit yang sangat rendah terhadap oksigen, sehingga terbentuk lapisan oksida yang sangat tipis. Apabila dipanaskan maka oksida tersebut akan terurai kembali. Sebagai contoh perak, diatas 1800C tidak akan terbentuk oksida lagi, juga paladium pada 4500C terjadi hal yang sama. Wolfram yang dipanaskan di udara maka tidak menunjukan perubahan warna yang nyata, hanya beratnya bisa berkurang karena terjadinya penguapan dari oksida yang terjadi. Tabel 2.4 Volume Rasio Oksida Metal (Chalmes, B. 1959, p. 445) Protective Oxide
Nonprotective Oxides
Be – 1,59
Li – 0,57
Cu – 1,68
Na – 0,57
Al – 2,27
K – 0,45
Si – 2,27
Ag – 1,59
Cr – 1,99
Cd – 1,21
Mn – 1,79
Ti – 1,95
Fe – 1,77
Mo – 3,4
Co – 1,99
Cb – 2,61
Ni – 1,52
Sc – 2,35
Pd – 1,6
W – 3,4
Pb – 1,4
Ta – 2,33
Ce – 1,16
U – 3,05 V – 3,15
Pada
logam-logam
ringan
kecuali
alumunium,
oksidanya
tidak
membentuk lapisan yang cukup kedap (tidak dapat tembus air), hingga pada suhu tinggi akan lebih mudah teroksidasi, sambil memancarkan cahaya (magnesium). Pada besi sebenarnya terjadi lapisan oksida yang merata dan kedap, tapi sering retak karena molekul oksida besi lebih besar dari besinya dan timbul dorongan sesamanya, dan oksigen dapat berdifusi lagi ke dalamnya, sehingga proses
http://digilib.mercubuana.ac.id/
17
oksidasi dapat berlangsung lagi. Faktor penentuan terjadinya proses ini adalah suhu dan waktu, maka semakin tinggi suhu maka kecepatan oksidasi juga meningkat dengan cepat. 3) Korosi Basah dan Korosi Kering Korosi dapat terjadi di dalam medium kering dan juga medium basah. Sebagai contoh korosi yang berlangsung di dalam medium kering adalah penyerangan logam besi oleh gas oksigen (O2) atau oleh gas belerang dioksida (SO2) (Permana, 2016). Di dalam medium basah, korosi dapat terjadi secara seragam maupun secara terlokalisasi. Contoh korosi seragam di dalam medium basah adalah apabila besi terendam di dalam larutan asam klorida (HCl). Korosi di dalam medium basah yang terjadi secara terlokalisasi ada yang memberikan rupa makroskopis, misalnya peristiwa korosi galvanik sistem besi-seng, korosi erosi, korosi retakan, korosi lubang, korosi pengelupasan, serta korosi pelumeran, sedangkan rupa yang mikroskopis dihasilkan misalnya oleh korosi tegangan, korosi patahan, dan korosi antar butir. 2.3.2 Mekanisme Korosi Logam Reaksi anodik dalam setiap reaksi korosi merupakan reaksi oksidasi suatu logam menjadi ionnya yang ditandai dengan kenaikan valensi atau pelepasan elektron. Secara umum reaksi anodik dapat dituliskan sebagai berikut (Permana, 2016): M 𝑀𝑛+ + n e
(2.14)
n = jumlah elektron yang dihasilkan dan nilainya sama dengan valensi ion logam yang terkorosi. Contoh reaksi anodik : Zn Zn2+ + 2e- (zinc corrosion)
(2.15)
Fe Fe2+ + 2e- (iron corrosion)
(2.16)
Al Al3+ + 3e- (aluminium corrosion)
(2.17)
Fe2+ Fe3+ + e- (ferrous ion oxidation)
(2.18)
H2 2H+ + 2e- (hydrogen oxidation)
(2.19)
2H2O O2 + 4H+ + 4e- (oxygen evolution)
(2.20)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
18
Reaksi katodik dalam setiap reaksi korosi merupakan reaksi reduksi yang ditandai dengan penurunan valensi atau penyerapan elektron. Ada beberapa reaksi katodik yang berbeda yang sering dijumpai dalam korosi logam, yaitu : Lingkungan asam (pH < 7): a) Tanpa oksigen 2 H+ + 2e H2
(2.21)
b) Dengan oksigen 4 H+ + O2 + 4e 2H2O
(2.22)
c) Reduksi oksigen (larutan netral / basa, Ph ≥ 7 ) O2 + 2H2O + 4e¯ 4OH¯
(2.23)
d) Evolusi Hidrogen 2H+ + 2e¯ H2
(2.24)
e) Reduksi ion logam Fe3+ + e- Fe2+
(2.25)
f) Deposisi (pengendapan) logam Cu2+ + 2e¯ Cu
(2.26)
Adapun contoh tahapan reaksi terbentuknya korosi, adalah sebagai berikut (Reaksi pada Fe): a) Elektron mengalir dari daerah anodik ke katodik, meninggalkan ion-ion positif yang tidak stabil. Hal ini dinyatakan dalam persamaan: Fe Fe2+ + 2e- (reaksi oksidasi)
(2.27)
b) Di dalam air banyak terdapat ion hidroksil yang bermuatan negatif. Ion hidroksil berasal dari: H2O (OH)- + H+
(2.28)
Atau 4e- + O2 + 2H2O 4(OH)-
(2.29)
c) Di daerah katodik terjadi reaksi sebagai berikut 2H+ + 2e- H2 berupa gas (reaksi reduksi)
(2.30)
d) Di dalam air terjadi reaksi antara ion besi yang sangat tidak stabil dengan ion hidroksil yang bermuatan negatif menjadi garam fero hidroksida yang tidak larut. Fe+ + 2(OH)- Fe(OH)2 Ferro hidroksida
(2.31)
atau 4Fe + 6H2O + 3O2 4Fe(OH)3
(2.32)
dan 2Fe(OH)3 Fe2O3 + 3H2O (I) Ferri oksida
(2.33)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
19
Selanjutnya 2Fe(OH)3 + Fe+ + 2H2O Fe3O4 + 6H+ (II) magnetik
(2.34)
dan Fe(OH)2 + (OH)- FeO(OH) + H2O (III) korosi
(2.35)
2.3.3 Jenis-jenis Korosi menurut Bentuknya Akan lebih mudah untuk mengklasifikasikan korosi berdasarkan penampilan atau rupa logam yang terserang korosi. Masing-masing bentuk korosi dapat dikenali dengan hanya melakukan pengamatan secara visual. Pada kebanyakan kasus, pengamatan bentuk korosi hanya dengan mata telanjang sudah cukup. Tetapi kadang-kadang pengamatan dengan menggunakan perbesaran juga dibutuhkan. Informasi yang penting untuk solusi dari masalah korosi sering diperoleh melalui pengamatan yang cermat dari spesimen uji korosi (Hakim, 2012). 1) Uniform Attack (Korosi Merata) Hal ini biasanya ditandai dengan adanya reaksi kimia atau elektrokimia yang terjadi pada permukaan yang bereaksi. Logam menjadi tipis dan akhirnya terjadi kegagalan pada logam tersebut. Sebagai contoh, potongan baja atau seng dicelupkan pada asam sulfat encer, biasanya akan terlarut secara seragam pada seluruh permukaannya. Contoh lain dari korosi merata adalah pada pelat baja atau profil, permukaannya bersih dan logamnya homogen, bila dibiarkan di udara biasa beberapa bulan maka akan terbentuk korosi merata pada seluruh permukaanya.
Gambar 2.4 Korosi Merata (Sumber: Hakim, 2012) 2) Galvanic Corrosion (Korosi Galvanik) Perbedaan potensial biasanya terjadi diantara dua logam yang berbeda, ketika keduanya di celupkan ke dalam larutan korosif. Ketika logam tersebut berkontak, dengan adanya perbedaan potensial akan menghasilkan aliran elektron. Elektron mengalir dari logam yang kurang mulia (anodik) menuju ke metal yang lebih mulia (katodik). Akibatnya metal yang kurang mulia berubah menjadi ion-ion
http://digilib.mercubuana.ac.id/
20
positif karena kehilangan elektron. Ion-ion positif metal bereaksi dengan ion-ion negatif yang berada di dalam elektrolit menjadi garam metal. Karena peristiwa tersebut permukaan anoda kehilangan metal. Korosi akan menyerang logam yang ketahanan korosinya lebih rendah dan serangan pada logam yang lebih tahan korosi akan lebih sedikit. Logam yang terserang korosi akan menjadi anoda dan logam yang lebih tahan terhadap serangan korosi akan menjadi katoda. Biasanya logam yang katodik akan terserang sedikit bahkan tidak terjaidi korosi ketika kedua logam tersebut disambungkan. Jenis korosi ini disebut korosi galvanik.
Gambar 2.5 Korosi Galvanik (Sumber: Kopeliovich, 2015) 3) Crevice Corrosion (Korosi Celah) Korosi celah sebenarnya adalah sel korosi yang diakibatkan oleh perbedaan konsentrasi zat asam. Proses pengkorosiannya karena celah sempit terisi dengan elektrolit (air yang pH-nya rendah) maka terjadilah suatu sel korosi dengan katodanya permukaan sebelah luar celah yang basah dengan air yang banyak mengandung zat asam daripada bagian dalam celah yang sedikit mengandung zat asam sehingga bersifat anodik. Akibatnya terjadi kehilangan metal pada bagian yang di dalam celah. Proses pengkorosian ini berlangsung cukup lama karena cairan elektrolit di dalam celah cenderung lama mengeringnya walaupun bagian luar celah telah lama mengering.
Gambar 2.6 Korosi celah (Sumber: Wibowo, 2012)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
21
4) Pitting Corrosion (Korosi Sumur) Pitting corrosion adalah bentuk serangan korosi yang sangat lokal (menyerang pada daerah tertentu saja) yang mengakibatkan lubang dalam logam. Lubang terisolasi atau kadang-kadang terlihat seperti permukaan yang kasar. Pits umumnya dapat digambarkan sebagai rongga atau lubang dengan diameter permukaan kurang lebih sama atau kurang dari kedalaman. Terjadinya korosi bentuk ini antara lain karena karena komposisi logam tidak homogen dan dapat menimbulkan korosi yang dalam pada beberapa tempat. Dapat juga karena ada kontak antara logam yang berlainan dan logam kurang mulia, maka pada daerah batas, timbul korosi berbentuk sumur.
Gambar 2.7 Korosi Sumur (Sumber: Kopeliovich, 2015) 5) Intergranular Corosion (Korosi antar Batas Butir) Jika logam terkena korosi, maka di daerah batas butir akan terkena serangan terlebih dahulu dibandingkan daerah yang jauh dari batas butir. Serangan yang terjadi pada daerah batas butir dan daerah yang berdekatan dengan batas butir hal ini biasa disebut intergranular corrosion. Intergranular corrosion dapat terjadi karena adanya kotoran pada batas butir, penambahan pada salah satu unsur paduan, atau penurunan salah satu unsur di daerah batas butir. Sebagai contoh paduan besi dan alumunium, dimana kelarutan besi lambat maka akan terjadi serangan pada batas butir.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
22
Gambar 2.8 Korosi antar Batas Butir (Sumber: Furqon, 2013) 6) Selective leaching (pelarutan selektif) Selective leaching (pelarutan selektif) adalah pemindahan salah satu unsur dari sebuah paduan yang padat akibat proses korosi. Contoh yang paling umum adalah pelarutan selektif dalam paduan seng kuningan (dezinfication). Zat komponen yang larut adalah selalu bersifat anodik terhadap komponen yang lain. Walaupun secara visual tampak perubahan warna pada permukaan paduan namun tidak tampak adanya kehilangan materi berupa takik, perubahan dimensi, retak atau alur. Bentuk permukaan tampaknya tetap tidak berubah tingkat kehalusan atau kekasarannya. Namun sebenarnya berat bagian yang terkena korosi ini menjadi berkurang, berpori-pori dan yang terpenting adalah kehilangan sifat mekanisnya yaitu menjadi getas dan memiliki kekuatan tarik yang sangat yang rendah. Gambar 2.9 adalah contoh uniform dezincfication. Lapisan bagian dalam adalah bagian yang terlarut dan bagian luar adalah bagian yang tidak terserang Gambar 2.10 adalah contoh yang tepat untuk kasus plug-type dezincification. Daerah yang gelap pada pipa adalah daerah yang terserang. Sementara bagian yang lainnya tidak terserang korosi. Serangan dapat terjadi pada permukaan setempat dan bekembang makin ke dalam bukan mendatar. Hal inilah yang membedakan antara plug-type dan uniform type.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
23
Gambar 2.9 Uniform dezincfication (Sumber: Hakim, 2012)
Gambar 2.10 Plug-type dezincfication (Sumber: Hakim, 2012) 7) Erosion Corrosion (Korosi Erosi) Korosi erosi adalah percepatan atau peningkatan tingkat kerusakan atau serangan pada logam karena gerakan relatif antara cairan korosif dan permukaan logam. Umumnya gerakan ini cukup cepat, dan berkaitan dengan abrasi. Logam yang berada di permukaan akan berubah menjadi ion terlarut atau menjadi bentuk produk korosi yang padat. Bentuk fisik dari korosi erosi ditandai dalam penampilan berupa alur, parit, gelombang, lubang bulat, lembah-lembah, dan biasanya menunjukan pola arah.
Gambar 2.11 Korosi erosi pada pipa air laut (Sumber: Hakim, 2012)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
24
Korosi erosi terjadi ketika permukaan logam rusak atau usang karena diserang dengan kecepatanyang tinggi. Banyak jenis media korosi dapat menyebabkan korosi erosi. Misalnya gas, larutan,sistem organik dan logam cair. Sebagai contoh, gas panas dapat mengoksidasi logam dan paduan ketika bergerak dengan kecepatan yang tinggi. Dari sudut pandang korosi erosi, padatan dalam suatu cairan (lumpur) adalah sangat merusak. Semua jenis peralatan yang terkena fluida yang bergerak akan rentan terhadap korosi erosi. Beberapa diantaranya sistem perpipaan terutama bagian tikungan pipa, alat pengukur aliran air seperti orifice, sistem pipa-pipa pada alat heat-exchanger seperti pada heaters dan kondensator.
Gambar 2.12 Sketsa korosi erosi (Sumber: Hakim, 2012) 8) Stress Corrosion (Korosi Tegangan) Gaya-gaya mekanis seperti tarikan atau kompresi berpengaruh sangat kecil pada proses pengkaratan pada bagian metal yang sama jika ditinjau dari laju pengkaratan dalam mil per tahun. Namun demikian apabila itu merupakan kombinasi antara tensile stress dan lingkungan yang korosiif, maka kondisi ini merupakan salah satu dari penyebab utama kegagalan material. Kegagalan ini berupa retakan yang lazim disebut korosi tegangan. Sifat retak jenis ini sangat spontan (tiba-tiba terjadinya). Bila logam telah dibentuk dingin (diregang, ditekuk) maka walaupun tidak sampai patahan atau retak, tetapi butiran logamnya berubah bentuk hingga timbul tegangan dalam. Butiran logam yang tegang ini mudah sekali bereaksi dengan lingkungannya, hingga suatu saat benda itu akan retak atau pecah dengan sendirinya.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
25
Mekanisme korosi tegangan: terjadi akibat adanya hubungan dari 3 faktor komponen, yaitu Bahan rentan terhadap korosi, adanya larutan elektrolit (lingkungan) dan adanya tegangan. Sebagai contoh, tembaga dan paduan rentan terhadap senyawa amonia, baja ringan rentan terhadap larutan alkali dan baja tahan karat rentan terhadap klorida. 2.3.4 Karakteristik Korosi Logam Aluminium Menurut (Suratman, 2001) bahwa dalam deret Volta, aluminium merupakan logam yang reaktif. Ketahanan korosi yang sangat baik yang dimiliki oleh aluminium disebabkan oleh adanya lapisan oksida yang tipis dan menempel sangat kuat pada permukaan aluminium. Pada berbagai lingkungan, jika lapisan ini rusak (tergores) maka dengan seketika lapisan tersebut dapat diperbaiki kembali. Meskipun lapisan ini sangat tipis (1nm), namun lapisan ini sangat efektif melindungi aluminium dari proses korosi. Pada karakteristik lingkungan tertentu, tebal dari lapisan oksidanya bisa lebih dari 1nm. Korosi aluminium membentuk lapisan Al2O3, dimana lapisan tersebut terbentuk secara spontan pada permukaan logam, karena logam mempunyai komposisi kimia yang tidak homogen. Lapisan Al2O3 stabil pada lingkungan pH 4 s/d pH 9 (pasifasi) sehingga lapisan tersebut dapat melindungi logam bagian dalam dari serangan pengkorosi, namun aluminium dapat juga terkorosi dalam lingkungan yang agresif yaitu di luar kisaran pH tersebut terutama suasana asam maupun basa. Lapisan Al2O3 terdiri dari dua bagian, yaitu lapisan oksida bagian dalam yang bersentuhan dengan permukaan logam yang merupakan suatu lapisan yang kompak dan amorf, dimana ketebalan hanya dipengaruhi oleh temperatur lingkungan. Pada suatu temperatur tertentu dalam lingkungan oksigen, udara kering, maupun lembap, ketebalan lapisannya akan tetap sama. Lapisan sebelah luar lebih tebal, permeable dan terdiri dari oksida yang terhidasi. Karakteristik korosi dari logam aluminium lazimnya dikaitkan dengan sifat kimia dari lapisan-lapisan oksida tersebut. Jika gaya yang merusak tidak ada seperti misalnya lingkungan udara yang kering, maka lapisan oksida yang akan terbentuk adalah lapisan yang kompak dan terbentuk secara cepat sampai tercapai ketebalan tertertu. Namun apabila gaya yang merusak tersebut terlalu kuat, maka lapisan oksida akan lebih cepat terhidrasi dan menyisakan lapisan oksida
http://digilib.mercubuana.ac.id/
26
yang kompak dan relatif tipis. Diantara kedua kondisi ekstrim tersebut, dimana kedua gaya mencapai keseimbangan maka akan terbentuk lapisan oksida yang relatif tebal antara 20 sampai 200nm. Kondisi stabilitas termodinamik lapisan oksida tersebut dinyatakan dengan suatu diagram yang menghubungkan potensial dengan pH. Dimana dapat dilihat pada gambar 2.13 diagram pourbaix Al, bahwa aluminium sangat resisten terhadap korosi pada larutan yang netral. Pada diagram ini dapat dilihat bahwa Al3+ stabil atau terjadi korosi pada pH yang sangat rendah (- 2 sampai 4) dan Al202- stabil atau terjadi korosi pada pH yang sangat tinggi (8,3 - 16), aluminium memasuki kondisi pasif dimana terbentuk lapisan Al2O3 yang mencegah terjadi korosi lebih lanjut pada pH antara 4 8, kondisi imun pada aluminium terjadi pada potensial yang rendah. Diagram ini juga memprediksi sifat amfoter dari aluminium, dengan korosi dalam kondisi sangat asam dan sangat basa dan kondisi pasif.
Gambar 2.13 Diagram Pourbaix Al (Sumber: Suratman, 2001) 2.3.5 Potensial Korosi pada Aluminium dan Paduannya Potensial korosi aluminium dan paduannya sangat dipengaruhi oleh karakteristik struktur mikronya. Komposisi larutan padat, fasa, jumlah dan distribusinya sangat mempengaruhi jumlah dan bentuk korosi. Potensial korosi aluminium dan paduannya
http://digilib.mercubuana.ac.id/
27
akan selalu ditentukan oleh komposisi larutan padat yang merupakan bagian terbesar dari struktur mikro. Potensial korosi aluminium tidak dipengaruhi oleh partikel fasa kedua yang berukuran mikroskopik. Namun karena fasa kedua memiliki potensial yang berbeda dengan matriknya, maka korosi akan terjadi (galvanik). Oleh karena itu potensial aluminium dan paduannya terkadang dinyatakan dengan istilah potensial larutan (padat). Pengukuran potensial larutan sangat berguna dalam menentukan proses perlakuan panas, quench, dan aging, terutama pada paduan-paduan Al dengan Cu, Mg atau Zn. 2.3.6 Laju Korosi Karena hampir semua korosi adalah merupakan suatu reaksi elektrokimia, semua yang mempengaruhi kecepatan suatu reaksi kimia atau jumlah arus yang mengalir akan mempengaruhi laju korosi. 1) Metode Kehilangan Berat Metode kehilangan berat adalah perhitungan laju korosi dengan mengukur kekurangan berat akibat korosi yang terjadi. Metode ini menggunakan jangka waktu penelitian hingga mendapatkan jumlah kehilangan akibat korosi yang terjadi. Jika diketahui penurunan massa dari suatu material yang terkorosi maka laju korosi dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Fontana, 1987): (2.1) dimana, CR
= laju korosi (mpy = mils penetration per year)
K
= konstanta laju korosi = 534
W
= kehilangan berat (mg)
T
= waktu perendaman (jam)
A
= luas permukaan specimen (in2)
D
= densitas spesimen (g/cm3)
Adapun untuk mengetahui laju korosi dari aluminium dengan menggunakan persamaan di atas, maka perlu untuk diketahui nilai dari densitas aluminium (D). Dimana untuk setiap material memiliki densitas material yang berbeda, antara lain:
http://digilib.mercubuana.ac.id/
28
Tabel 2.5 Densitas Spesimen Logam (Sumber: Ambrsoft, 2017) Material
Densitas g/cm3
Material
Densitas g/cm3
Aluminum, 2024-T3
2,7
Magnesium, alloy
1,77
Aluminum 6061-T6
2,7
Manganese
7,19
Aluminum, 7075-T6
2,8
Molybdenum
10,3
Aluminum
2,64
Monel
8,69
Brass
8,55
Nickel
8,89
Bronze, manganese
8,3
Nickel, silver
8,44
Bronze, phosphor
8,8
Platinum
21,45
Cadmium
8,65
Silicon
2,33
Chromium
6,86
Silver
10,49
Cobalt
8,91
Steel, carbon
7,85
Copper, cast rolled
8,91
Steel, high speed tool
8,75
Copper, pure
8,94
Steel, stainless 304
8,03
Gold
19,32
Steel, tool
7,72
Iron
7,87
Tin
7,3
Iron, cast
7,21
Titanium
4,54
Iron, gray cast
7,08
Titanium, alloy
4,51
Iron, wrought
7,66
Tungsten
18,82
Lead
11,34
Uranium
18,7
Magnesium
1,75
Zinc
7,14
Dari tabel di atas dapat diketahu nilai densitas dari aluminium yang digunakan dalam memperkirakan laju korosi pada penelitian ini adalah 2,64 g/cm3. Sedangkan untuk waktu perendaman dapat divariasikan sesuai jenis material dan larutan yang digunakan dalam pengujian serta perubahan berat yang terjadi pada material sebelum dan setelah proses pengujian. Sebagai contoh, untuk pengujian material pada perendaman asam kuat, dilakukan perendaman yang singkat sehingga material tidak terlarut dan habis seluruhnya karena sifat asam kuat (Nisa et al., 2014). Sedangkan pada perendaman Asam Lemah dapat dilakukan perendaman yang lama karena perubahan berat yang terjadi sangat sedikit.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
29
Kemudian untuk menentukan efisiensi laju korosi aluminium yang telah dilapisi membran Sol-Gel dengan aluminium sebelum dilapisi, digunakan persamaan: (2.2) dimana, Vko
= Nilai rata-rata laju korosi tanpa inhibitor
Vki
= Nilai rata-rata laju korosi dengan inhibitor
2) SEM (Scanning Electron Microscopy) SEM terdiri dari sebuah senapan elektron yang memproduksi berkas elektron pada tegangan dipercepat sebesar 2 – 30 kV. Berkas elektron tersebut dilewatkan pada beberapa lensa elektromagnetik untuk menghasilkan image berukuran <~10nm pada sampel yang ditampilkan dalam bentuk film fotografi atau ke dalam tabung layar. Diagram skematik dan cara kerja SEM digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.14 Diagram skematik fungsi dasar dan cara kerja SEM (Sumber: Anggraeni, 2008) SEM sangat cocok digunakan dalam situasi yang membutuhkan pengamatan permukaan kasar dengan pembesaran berkisar antara 20 kali sampai 500.000 kali. Sebelum melalui lensa elektromagnetik terakhir scanning raster mendeflesikan berkas elektron untuk men-scan permukaan sampel. Hasil scan ini tersinkronisasi dengan tabung sinar katoda dan gambar sampel akan tampak pada area yang di-scan.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
30
Tingkat kontras yang tampak pada tabung sinar katoda timbul karena hasil refleksi yang berbeda-beda dari sampel. Sewaktu berkas elektron menumbuk permukaan sampel sejumlah elektron direfleksikan sebagai Backscattered Electron (BSE) dan yang lain membebaskan energi rendah Secondary Electron (SE). Emisi radiasi elektromagnetik dari sampel timbul pada panjang gelombang yang bervariasi tapi pada dasarnya panjang gelombang yang lebih menarik untuk digunakan
adalah
daerah
panjang
gelombang
cahaya
tampak
(cathodoluminescence) dan sinar-X. Elektron-elektron BSE dan SE yang direfleksikan dan dipancarkan sampel dikumpulkan oleh sebuah scintillator yang memancarkan sebuah pulsa cahaya pada elektron yang datang. Cahaya yang dipancarkan kemudian diubah menjadi sinyal listrik dan diperbesar oleh photomultiplier. Setelah melalui proses pembesaran sinyal tersebut dikirim ke bagian grid tabung sinar katoda. Scintillator biasanya memiliki potensial positif sebesar 5 - 10 kV untuk mempercepat energi rendah yang dipancarkan elektron agar cukup untuk mengemisikan cahaya tampak ketika menumbuk scintillator. Scintillator harus dilindungi agar tidak terkena defleksi berkas elektron utama yang memiliki potensial tinggi. Pelindung metal yang mengandung metal gauze terbuka yang menghadap sampel memungkinkan hampir seluruh elektron melalui permukaan scintillator (Anggraeni, 2008). 2.4
SOLGEL
Metode preparasi yang sering digunakan pada sintesis nanomaterial berlapis dan berpori adalah metode Sol-Gel, interkalasi dan inklusi. Metode Sol-Gel adalah metode preparasi padatan dengan teknik temperatur rendah yang melibatkan transisi dari suatu sistem dengan partikel-partikel mikroskopik yang terdispersi dalam suatu cairan (sol) menjadi material makroskopik (gel) yang mengandung cairan. Pada saat cairan menguap maka yang tertinggal adalah material keras seperti gelas. Sol-Gel merupakan material amorf dan tidak memiliki dimensi pori yang seragam. Sintesis Sol-Gel umumnya melalui tahap-tahap hidrolisis dan kondensasi (Djayasinga, 2015).
http://digilib.mercubuana.ac.id/
31
Sol adalah suspensi koloid yang fasa terdispersinya berbentuk padat dan fasa pendispersinya berbentuk cairan. Suspensi dari partikel padat atau molekul-molekul koloid dalam larutan, dibuat dengan metal alkoksi dan dihidrolisis dengan air, menghasilkan partikel padatan metal hidroksida dalam larutan, dan reaksinya adalah reaksi hidrolisis (Paveena et al., 2011). Gel (gelation) adalah jaringan partikel atau molekul, baik padatan dan cairan, dimana polimer yang terjadi di dalam larutan digunakan sebagai tempat pertumbuhan zat anorganik. Pertumbuhan anorganik terjadi di gel point, dimana energi ikat lebih rendah. Reaksinya adalah reaksi kondensasi, baik alkohol atau air, yang menghasilkan oxygen bridge (jembatan oksigen) untuk mendapatkan metal oksida (Paveena et al., 2011). Struktur dan sifat fisik gel sangat bergantung pada beberapa hal, diantaranya: a) Pemilihan bahan baku material b) Laju hidrolisis dan kondensasi c) Modifikasi kimiawi dari sistem Sol-Gel. 2.4.1 Proses Sol-Gel Precursor atau bahan awal dalam pembuatannya adalah alkoksida logam dan klorida logam, yang kemudian mengalami reaksi hidrolisis dan reaksi polikondensasi untuk membentuk koloid, yaitu suatu sistem yang terdiri dari partikel-partikel padat (ukuran partikel antara 1 nm sampai 1 μm) yang terdispersi dalam suatu pelarut. Bahan awal atau precursor juga dapat disimpan pada suatu substrat untuk membentuk film (seperti melalui dip-coating atau spin-coating), yang kemudian dimasukkan kedalam suatu kontainer yang sesuai dengan bentuk yang diinginkan contohnya untuk menghasilkan suatu keramik monolitik, gelas, fiber atau serat, membran, aerogel, atau juga untuk mensitesis bubuk baik butiran mikro maupun nano (Hench & West, 1990). Dari beberapa tahapan proses Sol-Gel, terdapat dua tahapan umum dalam pembuatan metal oksida melalui proses Sol-Gel, yaitu hidrolisis dan polikondensasi seperti terlihat pada Gambar 15. Pada tahap hidrolisis terjadi penyerangan molekul air.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
32
Gambar 2.15 Proses Sol-Gel (Sumber: Widodo, 2010) 2.4.2 Reaksi Sol-Gel Kimia Sol-Gel adalah didasarkan pada hidrolisis dan kondensasi dari precursors. Umumnya pada sol gel ditunjukkan penggunaan alkoksida sebagai precursor. Alkoksida memberikan suatu monomer yang dalam beberapa kasus yang terlarut dalam bermacam-macam pelarut khususnya alkohol. Alkohol membolehkan penambahan air untuk mulai reaksi, keuntungan lain alkoksida adalah untuk mengontrol hidrolisis dan kondensasi. Dengan alkoksida sebagai precursor, kimia Sol-Gel dapat disederhanakan dengan persamaan reaksi berikut. 1. Hidrolisis metal alkoksida
Gambar 2.16 Hidrolisis metal alkoksida Sol-Gel (Sumber: Widodo, 2010) Si(OC2H5)4 + H2O Si(OC2H5)3OH + C2H7 (Hidrolisis)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
(2.36)
33
2. Kondensasi - M – OH + OX – M - - M – O – M - + XOH
(2.37)
Kondensasi Air Si(OC2H5)3OH + Si(OC2H5)3OH (OC2H5)3Si-O-Si(OC2H5)3 + H2O
(2.38)
Kondensasi Alkohol Si(OC2H5)4 + Si(OC2H5)3OH (OC2H5)3Si-OSi(OC2H5)3 + C2H5OH
(2.39)
Hidrolisis molekul TEOS membentuk gugus silanol, sedangkan kondensasi antara gugus silanol dan gugus ethoxy membuat jembatan siloxane (Si-O-Si) yang membentuk silika seutuhnya (Rahman &Vejayakumaran, 2012). Reaksi kondensasi berlangsung sangat cepat, sulit untuk dikendalikan dan reaksinya membentuk jaringan dimensi tiga atau partikel dengan ikatan tunggal. Kondensasi air berlangsung lebih cepat dibandingkan kondensasi alkohol (Arjasa &Jarot, 2012). Menurut Iler, polimerisasi Sol-Gel terjadi dalam tiga tahap: 1. Polimersasi monomer-monomer membentuk partikel. 2. Penumbuhan partikel. Pengikatan
partikel
membentuk
rantai,
kemudian
jaringan
diperpanjang dalam medium cairan, mengental menjadi suatu gel.
Gambar 2.17 Diagram proses Sol-Gel (Sumber: Centexbel, 2017)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
yang
terbentuk
34
2.4.3 Pematangan (Ageing) Setelah reaksi hidrolisis dan kondensasi, dilanjutkan dengan proses pematangan gel yang terbentuk. Proses ini lebih dikenal dengan proses ageing. Pada proses pematangan ini, terjadi reaksi pembentukan jaringan gel yang lebih kaku, kuat, dan menyusut di dalam larutan. 2.4.4 Pengeringan Tahapan terakhir adalah proses penguapan larutan dan cairan yang tidak diinginkan untuk mendapatkan struktur Sol-Gel yang memiliki luas permukaan yang tinggi. 2.4.5 Keuntungan dan Kerugian Metode Sol-Gel 1) Keuntungan menggunakan metode Sol-Gel
Homogenitasnya lebih baik, temperatur rendah, kemurnian lebih baik, hemat energi.
Pencemaran rendah, menghindari reaksi dengan container dan kemurnian tinggi.
Fase pemisahan cepat, kristalisasi cepat, padatan non kristalin keluar membentuk gelas.
Pembentukan fase kristal baru dari padatan non kristal baru.
Produk glass lebih baik ditentukan dengan sifat-sifat gel, produk film spesial.
2) Kerugian menggunakan metode Sol-Gel
Material proses cukup mahal, residu butir-butir halus, residu hidroksil.
Residu carbon, waktu proses cukup lama.
(Widodo, 2010) 2.4.6 Aplikasi Sol-Gel Teknik Sol-Gel banyak dimanfaatkan untuk proses sintesis material, terutama memperlihatkan kemampuan, versatilitas, kemurnian, homogenitas, dan modifikasi sifat material dengan mengubah parameter sintesisnya (Zawrah et al., 2009).
http://digilib.mercubuana.ac.id/
35
Penelitian tentang Sol-Gel yang telah ada menunjukkan bahwa proses solgel tidak hanya menghasilkan material yang homogen, tetapi juga Sol-Gel dapat digunakan untuk sintesis berbagai macam material campuran antara organik dan anorganik (Bandyopadhyay et al., 2005). Kondisi yang ringan ditawarkan proses Sol-Gel dengan membiarkan penggabungan prekursor polimer organik matrik membentuk materi hibrid. Tetapi sifat sukar larut, kehomogenan larutan polimer hanya dapat dihasilkan dengan menggunakan polimer tertentu saja. Kekurangan lain dari proses Sol-Gel terjadinya penyusutan dari xerogel karena berkurangnya pelarut, air ekses, dan pelepasan alkohol selama proses pengeringan (Hsu et al., 2001). Contoh aplikasi aplikasi dari Metode Sol-Gel dewasa ini semakin meluas, diantaranya Sintesis SiO2 Nanopartikel (Fadhlulloh et al., 2014), Nanopartikel Titania termodifikasi silika (TiO2-SiO2) secara Sol-Gel sebagai bahan antifogging (Rissa et al., 2012), ZnO-Silika Nanokomposit (Nisaet al., 2010), Metal Oksida (MOX) untuk lapisan aktif pada pembuatan sensor gas (Widodo, 2010), film pelindung optical biosensor (Wong et al., 2006), dan masih banyak aplikasi lainnya. 2.5
BATERAI
Baterai adalah suatu sel elektrokimia yang mengubah energi kimia menjadi energi listrik. Listrik yang dihasilkan oleh sebuah baterai muncul akibat adanya perbedaan potensial energi listrik dari buah elektrodanya (katoda dan anoda). Baterai merupakan sumber energi listrik yang digunakan oleh sistem starter dan sistem kelistrikan yang lain. Baterai ada dua tipe yaitu tipe kering dan tipe basah. Berdasarkan cara kerjanya, sel elektrokimia dapat dibagi menjadi dua, yaitu sel galvanis dan sel elektrolisa. Sel galvanis disebut juga dengan sel volta, merubah energi kimia menjadi kerja listrik. Sedangkan sel elektrolisa merubah kerja listrik untuk menggerakkan reaksi kimia tak spontan. Baterai merupakan perangkat yang mengandung sel listrik yang dapat menyimpan energi yang dapat dikonversi menjadi daya. Baterai menghasilkan listrik melalui proses kimia. Baterai atau akkumulator adalah sebuah sel listrik dimana didalamnya berlangsung proses elektrokimia yang reverseible adalah didalam baterai dapat berlangsung proses pengubahan kimia menjadi tenaga listrik (proses
http://digilib.mercubuana.ac.id/
36
pengosongan) dan sebaliknya dari tenaga listrik menjadi tenaga kimia (proses pengisian) dengan cara proses regenerasi dari elektroda-elektroda yang dipakai yaitu dengan melewatkan arus listrik dalam arah polaritas yang berlawanan didalam sel. 2.5.1 Baterai Logam Udara Baterai logam udara adalah jenis baterai yang berbeda dari baterai pada umumnya, yaitu salah satu bahan elektro aktifnya (oksigen) tidak perlu disimpan. Secara teoritis, hal ini dapat menyederhanakan desain dan juga dapat meningkatkan kepadatan energi dari sel, dan baterai ini juga disebut sebagai baterai hibrida. Teknologi ini memiliki potensi untuk mencapai energi spesifik tertinggi dari setiap teknologi baterai yang pernah ada. Baterai logam udara pertama kali dikembangkan pada tahun 1868, berbasis disekitar MnO2 per-karbon katoda, sebelum banyak desain yang lebih modern diciptakan pada tahun 1932. Sejak saat itu banyak logam yang tepat yang bisa digunakan termasuk Ca, Al, Fe, Cd dan Zn. Isi ulang baterai Li-udara pertama kali dibuat pada tahun 1996, meskipun tidak sampai tahun 2006 penelitian yang signifikan telah memulai teknologi sel ini (Martin et al., 2009).
Gambar 2.18 Skema Baterai Logam Udara (Sumber: Mohamad, 2008) Secara umum, baterai logam udara mempunyai tiga komponen utama, pertama yaitu anoda yang berupa bahan logam. Kedua adalah elektrolit, dimana elektrolit yang paling umum adalah Kalium Hidroksida atau disingkat dengan KOH. Dan yang ketiga adalah katoda yang berbentuk karbon berpori yang berfungsi untuk mempermudah
http://digilib.mercubuana.ac.id/
37
masuknya ion (Caramia et al., 2014). Namun ada beberapa jenis baterai logam udara yang menambahkan satu komponen berupa bahan pemisah didalam sistem baterai logam udara tersebut (Lee et al., 2011). 2.5.2 Anoda Anoda adalah elektroda, bisa berupa logam maupun penghantar listrik lain pada sel elektrokima yang terpolarisasi jika arus listrik mengalir kedalamnya. Arus listrik mengalir berlawanan dengan arah pergerakan elektron. Pada proses elektrokimia, baik sel galvanik (baterai) maupun sel elektrolis anoda mengalami oksidasi. Tidak selalu anion (ion yang bermuatan negatif) bergerak menuju anoda, ataupun tidak selalu kation (ion yang bermuatan positif) akan bergerak menjauhi anoda. Pergerakan anion maupun kation tergantung dari jenis sel elektroki mianya. Secara teoritis, nilai tegangan (voltage) yang dihasilkan oleh tiap jenis baterai logam udara ini akan berbeda, karena mengikut dari pada jenis logam yang akan digunakan sebagai anoda. Perbedaan ini di dasarkan kepada nilai energi potensial standar masing-masing logam. Pada penelitian ini peneliti mengunakan logam aluminium sebagai anodanya. 2.5.3 Katoda Katoda adalah kutub yang mempunyai potensial lebih rendah dan diberi tanda negatif (-). Katoda merupakan kutub elektroda dalam sel elektrokimia yang terpolarisasi jika kutub ini bermuatan positif, sehingga arus listrik akan mengalir keluar darinya atau gerakan elektron akan masuk kekutub ini. Pada baterai biasa (baterai karbon-seng), yang menjadi kutub katoda biasanya adalah logam seng, yang juga biasa menjadi pembungkus dari kotak baterai tersebut. Sedangkan pada baterai alkalin yang menjadi katoda adalah logam mangan oksida (MnO2). Sedangkan katoda dalam sistem baterai logam udara termasuk baterai aluminium udara terdiri dari tiga komponen utama yaitu, karbon berpori, katalis, serta polimer pengikat. Pada baterai logam udara ion logam dari anoda bergerak melalui elektrolit dan bereaksi dengan ion O22- atau O2- yang diperoleh dari reaksi reduksi O2 oleh katalis pada permukaan katoda udara untuk membentuk suatu endapan oksida dari ion logam
http://digilib.mercubuana.ac.id/
38
anoda. O2 yang terlibat dalam sistem baterai logam udara berasal dari udara yang masuk melalui pori-pori karbon pada yang terdapat pada katoda (Sun, 2013). Keberadaan endapan oksida logam dari ion logam anoda yang berlebihan akan membawa masalah kepada sistem baterai logam udara. Endapan oksida ini dapat menutupi pori-pori karbon pada katoda, sehingga oksigen dari udara tidak dapat masuk kedalam sistem baterai logam udara. Kondisi ini akan menyebabkan turunnya densitas energi baterai, karena reaksi elektrokimia dalam sistem baterai terhambat. Hal ini menunjukan bahwa mikrostruktur dari korban akan memberikan efek pada performa dari baterai. Ukuran partikel karbon yang terlalu kecil kurang sesuai digunakan sebagai matriks pembuatan katoda udara. Dikarenakan dengan ukuran partikel karbon yang kecil, ketika terjadi penyusunan partikel karbonnya akan membentuk pori-pori yang lebih kecil dan rapat. Kondisi ini menyebabkan kemampuan oksigen untuk masuk kedalam sistem melalui katoda akan turun. Ukuran ideal daripada karbon adalah sekitar 30nm (Lee et al., 2011). Jika partikel karbon besar, maka pori-pori yang terbentuk pun otomatis besar, secara teoritis akan memudahkan masuknya oksigen kedalam sistem baterai. Fenomena ini terjadi karena semakin banyak oksigen yang masuk kedalam sistem baterai, maka kecepatan reaksi elektrokimia yang terjadi juga semakin cepat sehingga pembentukan endapan endapan dan korosi pada permukaan anoda akan berlangsung cepat (Zheng et al., 2008). 2.5.4 Elektrolit Elektrolit
merupakan
bagian
penting dalam
sel
elektrokimia
baik
dalam
pengoperasiannya maupun dalam sistem kelengkapannya. Selain itu elektrolit harus dapat menghantarkan elektron dan menghasilkan elektron untuk menjalakan sel elektrokimia. Elektrolit merupakan komponen yang berfungsi sebagai jembatan garam dalam sistem sel galvanis atau baterai. Tujuan dari elektrolit ini adalah sebagai mediator untuk terjadinya perpindahan ion di dalam sistem baterai, sehingga reaksi elektrokimia dapat berlangsung. Jenis elektrolit yang digunakan akan mempengaruhi densitas energi, konduktivitas, waktu hayat, kapasitas energi. Dengan demikian, pemilihan elektrolit yang sesuai sangat penting. Elektrolit adalah zat yang jika
http://digilib.mercubuana.ac.id/
39
dilarutkan dalam air menghasilkan larutan yang dapat menghantar arus listrik. Elektrolit yang digunakan dalam sel mempunyai persyaratan yaitu, mempunyai konduktivitas yang baik dan tidak bereaksi dengan komponen lain dalam baterai. 2.5.5 Matriks Pemisah Salah satu keuntungan menggunakan sistem akues pada baterai logam udara adalah densitas energi yang diperoleh adalah cukup tinggi. Ini karena proses migrasi ion logam dari anoda menuju katoda melalui media elektrolit akan berlangsung secara lebih baik (Christensen et al., 2011). Namun begitu, penggunaan sistem akues juga mempunyai kerugian seperti logam anoda yang terkorosi akibat reaksi antara elektrolit dengan permukaan anoda baterai logam udara, selain itu juga dapat membentuk lapisan logam hidroksida. Hal ini menyebabkan proses migrasi ion logam menuju katoda akan terhambat dan ini menyebabkan densitas energi yang menurun dan masa hidup baterai menjadi singkat (Mohamad, 2008., Gelman et al., 2013., Caramia et al., 2014).
Gambar 2.19 Matriks Pemisah (Sumber: Lee et al., 2011) Salah satu cara untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan cara meletakan matriks pemisah seperti pada gambar. Tujuannya adalah untuk menghindari kontak lansung antara anoda dengan elektrolit. Syarat dasar dari matriks pemisah antara lain adalah mempunyai kestabilan dengan larutan elektrolit, terutama alkali. Selain itu juga bersifat sebagai penghantar ion yang tinggi, mempunyai pori-pori yang sesuai dengan ion logam, bersifat inert terhadap reaksi pengoksidaan, stabil sewaktu proses discharge dan charge berlangsung (Lee et al., 2011). Bahan matriks pemisah
http://digilib.mercubuana.ac.id/
40
yang biasa digunakan diantaranya adalah keramik, polimer, membran gelas, serta komposit polimer keramik. 2.5.6 Separator Separator adalah suatu material berpori yang terletak diantara anoda dan katoda yang berfungsi untuk mencegah agar tidak terjadi hubungan singkat dan kontak antara katoda dan anoda. Separator dapat berupa elektrolit yang berbentuk gel, atau plastik film nano pori (microporous), atau material inert berpori yang diisi dengan ektrolit cair. Sifat listrik separator ini mampu dilewati oleh ion, tetapi juga mampu memblokir elektron. Jadi separator ini bersifat konduktif ionik sekaligus tidak konduktif elektron (Prihandoko et al., 2008).
http://digilib.mercubuana.ac.id/